Morphology of the gastrointestinal tract of Bandicoot Echymipera kalubu (Marsupialia: Peroryctidae).

MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BANDIKUT,
Echymipera kalubu (MARSUPIALIA: PERORYCTIDAE)

URSULA PAULAWATI MAKER

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Morfologi Saluran
Pencernaan Bandikut, Echymipera kalubu (Marsupialia: Peroryctidae) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Ursula paulawati Maker
NIM B152100011

RINGKASAN
URSULA PAULAWATI MAKER. Morfologi Saluran Pencernaan
Bandikut Echymipera kalubu (Marsupialia: Peroryctidae). Dibimbing oleh
CHAIRUN NISA’ dan SRIHADI AGUNGPRIYONO.
Bandikut (Echymipera kalubu) adalah salah satu spesies marsupial
kelompok peroryctidae yang endemik di Papua. Di Papua bandikut diburu untuk
dimanfaatkan sebagai sumber protein dan obat-obatan. Untuk itu diperlukan suatu
upaya konservasi agar bandikut dapat tetap dimanfaatakan dan lestari. Sejauh ini
informasi biologi E. kalubu masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian yang
bertujuan mengkaji karakteristik morfologi saluran pencernaan bandikut E. kalubu
(Marsupialia: Peroryctidae) secara makroanatomi, mikroanatomi dan histokimia
perlu dilakukan.
Penelitian ini menggunakan lima ekor bandikut (E. kalubu) dewasa dengan
berat badan rata-rata 1.16 ± 0.29 kg dan panjang kepala serta tubuh 38.2 ± 4.76
cm. Variabel pengamatan makroanatomi meliputi pengamatan karakteristik
morfologi dan morfometrik tubuh bagian luar, serta organ pencernaan termasuk

situs viscerum. Hewan terlebih dahulu dianestesi dengan kombinasi ketamin
50mg/kg BB dengan xylazine 10 mg/kg BB melalui injeksi IM. Pengamatan
mikroanatomi menggunakan teknik pewarnaan HE, AB pH 2.5 dan PAS. Hasil
pewarnaan difoto menggunakan alat mikrofotografi. Semua hasil yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Esofagus bandikut E. kalubu berukuran panjang 10.92 ± 1.97 cm dan
diameter 0.28 ± 0.06 cm, berlokasi di sepanjang dorsamedial trakhea. Lambung
berada di bagian kranial ruang abdomen sebelah kiri. Bagian anteriornya
berbatasan dengan otot diafragma, bagian ventromedial ditutupi oleh hati dan
bagian lateral oleh limpa. Lambung bandikut bertipe tunggal dengan ukuran
curvatura major 9.1 ± 2.2 cm dan curvatura minor 2.1 ± 0.6 cm. Panjang total
usus E. kalubu adalah 77.5 ± 14.4 cm atau sekitar 2 kali panjang tubuhnya. Pada
jarak sekitar ± 1.8 cm dari kranial usus kecil ditemukan permuaraan ductus
choledocus, dan ductus pancreaticus. Batas antara usus kecil dan usus besar
mudah dibedakan karena adanya sekum dengan ukuran 3.4 ± 0.68 cm.
Mukosa esofagus E. kalubu tersusun atas epitel pipih banyak lapis. Pada
daerah perbatasan esofagus dan lambung, epitel mukosa berubah secara mendadak
dari epitel pipih banyak lapis menjadi silindris sebaris. Lapis epitel pada esofagus
bandikut tidak mengalami keratinisasi. Hal ini terkait dengan adaptasi terhadap
jenis makanan yang dikonsumsi. Lapisan muskularis mukosa tersusun atas otot

polos yang makin tebal ke arah kaudal. Pada lapisan submukosa ditemukan
kelenjar esofagus yang bertipe mukus, berjumlah banyak di bagian kranial dan
semakin sedikit ke arah kaudal. Banyaknya kelenjar esofagus diduga berkaitan
dengan ukuran esofagus yang cukup panjang, sehingga dibutuhkan untuk
melicinkan makanan. Lapisan muskularis eksterna sepanjang esofagus tersusun
oleh otot bergaris melintang. Adanya otot bergaris melintang menunjukkan bahwa
fungsi mekanis pada esofagus bandikut cukup dominan.
Lambung memiliki tiga daerah kelenjar yaitu: daerah kelenjar kardia, fundus
dan pilorus. Daerah kelenjar kardia sempit terdapat di permuaraan esofagus.
Kelenjarnya berbentuk tubular sederhana yang tersusun oleh sel-sel kuboidal

dengan inti terletak di basal. Kelenjar kardia berfungsi menghasilkan mukus untuk
melindungi mukosa esofagus terhadap kemungkinan terjadinya reflux ingesta dari
lambung. Daerah kelenjar fundus E. kalubu memiliki daerah yang paling luas,
terutama di bagian curvatura major. Kelenjar fundus memiliki setidaknya empat
macam sel penyusun mukosa, yaitu sel parietal, sel utama, sel leher mukus dan sel
epitel permukaan. Sel parietal yang berukuran besar dengan inti bulat ditemukan
sangat banyak di curvatura major, tetapi sangat sedikit di curvatura minor. Pada
curvatura major, sel parietal terdistribusi mulai basal sampai leher kelenjar dan
paling banyak ditemukan di bagian medial. Pada curvatura minor, sel parietal

sedikit ditemukan di medial kelenjar. Sel parietal berfungsi mensekresikan HCl.
Banyaknya sel parietal pada kelenjar fundus menunjukkan bahwa sel tersebut
memegang peran penting dalam proses pencernaan di lambung bandikut. Sel
utama (sel chief) ditemukan dalam jumlah cukup banyak di bagian curvatura
major dan sangat sedikit di curvatura minor. Sel utama terdistribusi paling banyak
di bagian basal dan sedikit di bagian medial diantara sel parietal. Sel utama
berfungsi mensekresikan pepsinogen yang merupakan bentuk inaktif dari enzim
pepsin. Pepsinogen akan diaktivasi menjadi enzim pepsin oleh HCl. Kelenjar
pilorus berbentuk tubulus sederhana atau bercabang dengan gastric pit yang
dalam. Kelenjar pilorus bertipe mukus, ditemukan di daerah sepertiga akhir
bagian lambung. Pada bagian perbatasan antara pilorus lambung dengan usus,
ditemukan adanya otot sfingter yang tebal namun tidak simetris. Sfingter pilorus
berperan dalam mengatur masuknya makanan dari lambung menuju ke usus.
Lapisan mukosa pada daerah hubungan usus dengan lambung mulai
ditemukan vili yang dilapisi oleh epitel silindris sebaris dengan sel-sel goblet.
Lapisan submukosa bagian kranial duodenum bandikut
E. kalubu yang
berbatasan dengan pilorus terdapat kelenjar submukosa (Brunner) yang
terlokalisir di daerah collar. Kelenjar Brunner berfungsi mensekresikan cairan
alkali yang berguna untuk menetralisir keasaman ingesta dari lambung, sehingga

tidak mengganggu kerja enzim-enzim di usus. Vili usus semakin tinggi dari
duodenum ke yeyunum dan semakin rendah pada ileum dengan jumlah sel-sel
goblet yang makin banyak ke arah kaudal. Lapisan mukosa usus besar tersusun
atas sel epitel silindris sebaris dan tidak lagi ditemukan vili, sedangkan jumlah sel
goblet makin bertambah.
Kandungan mukopolisakarida netral dan asam dengan konsentrasi tinggi
terdapat pada kelenjar esofagus bandikut E. kalubu. Adapun pada kelenjar
lambung, yang meliputi kardias, fundus dan pilorus, kandungan mukopolisakarida
netral dan asam bervariasi pada daerah kelenjar dan epitel permukaan. Kelenjar
Brunner hanya mengandung mukopolisakarida netral. Pada kelenjar usus dan selsel goblet yang tersebar di sepanjang vili usus kecil dan usus besar mengandung
mukopolisakarida asam dan netral dengan konsentrasi bervariasi dan intensitas
warna yang semakin kuat ke arah kaudal. Mukopolisakarida netral merupakan
kandungan utama pada mukus yang dihasilkan oleh saluran pencernaan. Pada
lambung mukopolisakarida netral berperan penting untuk menetralisir asam
lambung yang berlebihan dan melindungi mukosa lambung terhadap kerusakan
oleh HCl. Adapun mukopolisakarida asam diduga berperan sebagai proteksi
terhadap agen patogen potensial yang terbawa bersama pakan.
Kata-kata kunci: Bandikut, Echymipera kalubu, marsupialia, saluran pencernaan

SUMMARY

URSULA PAULAWATI MAKER. Morphology of the gastrointestinal tract of
Bandicoot Echymipera kalubu (Marsupialia: Peroryctidae). Supervised by
CHAIRUN NISA’ and SRIHADI AGUNGPRIYONO.
Bandicoot (Echymipera kalubu) is one of marsupial which belonging to
peroryctidae as well classified as endemic in Papua Island. In Papua, that species
has been commonly utilized for dishes as source of protein, and traditional
medicine purposed. Therefore, it requires a conservation effort in order to provide
sustainability. Biological information of E. kalubu as a baseline data was quite
limited. Aim of this study was to assess morphological characteristics of the
digestive tract of E. kalubu’s (Marsupialia: Peroryctidae) macroscopically,
microscopically and histochemically.
The study was used five of adult E. kalubu with the average of body weight
was 1.16 ± 0.29 kg and length of head and body was 38.2 ± 4.76 cm. Macroscopic
observation were consist of morphological characteristic and morfometric of the
body and the digestive track including situs viscerum. Firstly the animals was
anaesthetized by combination of 50mg/kg BB Ketamine ® and 10mg/kg BB
Xylazine ® by IM injection. The microscopic observation was used of HE, AB pH
2.5 and PAS staining methods. The result was documented with Cannon EOS
400D and microscope facilitated with Nikon Eclipse E600 for macro- and
microphotography respectively. The results were then analyzed descriptively and

presenting on tables and figures.
Esophagus of E. kalubu was quite long with 10.92 ± 1.97 cm in length and
0.28 cm in diameter, and located along dorsamedial tracheal tube. The stomach
was located in the cranial part of the left abdominal cavity. The anterior part was
adjacent to diaphragm muscle, the ventro medial was covered by liver and the
lateral part by spleen. The stomach of E. kalubu was simple type with short lesser
curvature. The length of greater curvature was 9.1 ± 2.2 cm dan lesser curvature
was 2.1 ± 0,6 cm. The intestine was relatively short that were 77.5 ± 14.4 cm in
length or about two times of the body length. About ± 1.8 cm of cranial part of
small intestine was piercing of both bile duct and pancreatic duct to the duodenal
mucosa. However, the small and large intestines could be distinguished by the
presence of caecum that was 3.4 ± 0.68 cm in length.
The mucosae of esophagus E. kalubu was consist of stratified squamous
epithelium with no keratinization. At the border of esophagus and stomach, the
epithelium was change abruptly to a simple columnar epithelium. The muscularis
mucosae was composed of smooth muscle which tends to be thicker to the caudal.
The mucus type of esophageal glands were examined in the submucosal layer.
The glands were found in large number in the cranial and decreased gradually
toward the caudal. The number of esophageal gland was allegedly to be related to
the long size of esophagus which was necessary for lubricating of food. The

muscularis externa as long as the esophagus of E. kalubu were consisted of
skeletal muscle. Existence of the skeletal muscle in the whole parts of esophagus
presumed that mechanical function of esophagus was dominant.

The glandular stomach of E. kalubu’s was differentiated as cardiac, proper
gastric (fundic) and pyloric glands region. The cardiac gland was quite narrow and
found in the esophageal junction. The gland was simple and short tubular which
composed of cuboidal cells with nuclei located in the basal. Cardiac gland
producing mucus provide to protect the esophageal mucosae from the possibility
of reflux ingesta. Meanwhile, the fundic gland region was the largest area mostly
at the greater curvature. It has at least four types of cells i.e. parietal, chief, neck
and mucous epithelium cells. The parietal cell was big size with round nuclei in
the centre. The cell was found in large number in greater curvature, and small
number in lesser curvature. In greater curvature, the parietal cells were distributed
from basal toward the neck and mostly found in the middle part. Its cells were
secreted HCl to activate pepsinogen to pepsin. The large number of parietal cells
suggests that the cells were play important role in digestive process of E. kalubu.
The chief cells were found in the moderate number at the greater curvature instead
of the lesser curvature. The chief cells were mostly distributed in the basal and
less in the middle between the parietal cells. The cells were produced pepsinogen

which is an inactive form of pepsin. The pyloric glands composed of simple
tubular, branched which has a deep gastric pit. The gland was a mucous type and
found in one third of caudal part of the stomach. At the border of pylorus and
intestine, there was a thickened muscle made asymmetrical sphincter. The
sphincter plays a role in regulating of food passages from stomach to intestine.
There were relatively short of vili found in the mucosa lining of intestine in
adjacent with the stomach and lined with goblet cells. In the submucosal layers of
cranial duodenum of E. kalubu were found submucosal (Brunner) glands which
restricted in collar. Brunner gland was secreted alkaline substance that function to
neutralize acidity of ingesta from stomach, so it does not interfere working of
enzymes in intestine. The vili sized tends to increase from duodenum to jejunum
and decrease to ileum.. The mucosae of large intestine was lack of vili.
Meanwhile the number of goblet cell increasing towards caudally.
The high consentration of neutral and acid mucopolysaccharide were
examined in the esophageal glands of E. kalubu. In the stomach glands i.e cardiac,
fundic, and pyloric glands were identified neutral and acid mucopolysaccharide
that varies in intensity. In the intestine glands and goblet cells which were
scattered along small and large intestine were also identified neutral and acid
mucopolysaccharide that varies in intensity. The neutral mucopolysaccharide was
main content of the mucous in the digestive tract. Neutral mucopolysaccharide in

the stomach was provide to neutralize of acid and protecting the stomach mucosa
against HCl. While acid mucopolysaccharide was provide to protect the digestive
tract from potential patogen wich entered together food.
Key words: Bandicoot, Echymipera kalubu, marsupials, gastrointestinal tract

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BANDIKUT,
Echymipera kalubu (MARSUPIALIA: PERORYCTIDAE)

URSULA PAULAWATI MAKER


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Anatomi dan Perkembangan Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Drh IKM Adnyane, MSi PhD PAVet

Judul Tesis : Morfologi Saluran Pencernaan Bandikut, Echymipera kalubu
(Marsupialia: Peroryctidae)
: Ursula Paulawati Maker
Nama
: B152100011
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Chairun Nisa' , MSi PAVet
Ketua

Drh Srihadi Agungpriyono, PhD P AVet (K)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Anatomi dan Perkembangan
Hewan

OJDr Drh Ita Djuwita, MPhil

Tanggal Ujian: 24 Oktober 2013

Tanggal Lulus:

11 DEC 2()13

Judul Tesis : Morfologi Saluran Pencernaan Bandikut, Echymipera kalubu
(Marsupialia: Peroryctidae)
Nama
: Ursula Paulawati Maker
NIM
: B152100011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Chairun Nisa’, MSi PAVet
Ketua

Drh Srihadi Agungpriyono, PhD PAVet (K)
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Anatomi dan Perkembangan
Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Drh Ita Djuwita, MPhil

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Oktober 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Morfologi Saluran Pencernaan Bandikut, Echymipera kalubu
(Marsupialia: Peroryctidae). Karya ilmiah ini dilaksanakan sejak bulan Februari
2012.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Drh
Chairun Nisa, MSi PAVet dan Bapak Drh Srihadi Agungpriyono, PhD PAVet (K)
selaku pembimbing, yang telah banyak membantu selama menyusun karya ilmiah
ini. Serta Bapak Drh IKM Adnyane, MSi PhD PAVet yang telah banyak
memberikan saran. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
UNIPA, PEMDA Kabupaten Manokwari dan LMPAK Timika Papua yang telah
memberikan bantuan dana penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua, suami, anak, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013
Ursula Paulawati Maker

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Bandikut
Anatomi Saluran Pencernaan
Beberapa Teknik Pewarnaan Histologi

2
2
5
11

3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisis Data

12
12
12
13
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

15
15
27

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
1 Morfometrik saluran pencernaan bandikut E. kalubu
2 Intensitas substansi mukopolisakarida saluran pencernaan bandikut
E. kalubu
3 Komparasi struktur umum esofagus bandikut E. kalubu dengan
beberapa hewan

16
24
29

DAFTAR GAMBAR
1 Komparasi saluran pencernaaan omnivora pada bandikut Perameles
nasuta dan babi (Sus scrofa)
2 Struktur dasar dinding saluran pencernaan mamalia
3 Komparasi lapisan mukosa saluran pencernaan dari esofagus hingga
kolon pada mamalia
4 Komparasi antara lambung tunggal dan lambung majemuk
5 Komparasi anatomi duodenum, yeyunum, dan ileum
6 Cara pengukuran curvatura major dan curvatura minor lambung
7 Morfologi luar tubuh Echymipera kalubu jantan dan betina
8 Situs viscerum saluran pencernaan bandikut E. kalubu
9 Morfologi eksterior dan interior lambung bandikut E. kalubu
10 Struktur dinding esofagus E. kalubu
11 Daerah perbatasan esofagus dan lambung E. kalubu
12 Distribusi sel pada kelenjar fundus E. kalubu
13 Daerah mukosa kelenjar pilorus E. kalubu
14 Daerah perbatasan pilorus (Py) dengan duodenum (Duo)
15 Struktur dinding usus kecil E. kalubu
16 Struktur dinding usus besar E. kalubu
17 Kelenjar esofagus E. kalubu
18 Kelenjar lambung E. kalubu
19 Kelenjar usus kecil E. kalubu
20 Kelenjar usus besar E. kalubu

5
6
6
8
10
15
16
17
18
19
20
20
21
22
22
23
25
25
26
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
2 Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS)
3 Prosedur pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5

36
37
38

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan untuk mendapatkan energi
sehingga dapat melakukan aktivitasnya. Makanan berfungsi sebagai sumber
pengatur dan pelindung tubuh terhadap penyakit, sumber pembangun tubuh baik
untuk pertumbuhan maupun perbaikan tubuh dan sebagai sumber bahan pengganti
sel-sel yang rusak (Campbell et al. 2004). Untuk melaksanakan fungsinya, sistem
pencernaan memiliki serangkaian organ pencernaan meliputi saluran pencernaan
dan kelenjar asesoris. Saluran pencernaan terdiri dari rongga mulut, esofagus,
lambung, usus kecil, dan usus besar serta anus, sedangkan organ asesoris terdiri
dari gigi, lidah, kelenjar saliva, pankreas, hati, dan kantung empedu. Semua organ
di dalam sistem pencernaan mempunyai fungsi masing-masing yang khas dan
khusus dalam membantu melakukan proses pencernaan (Getty 1975).
Variasi jenis pakan yang dikonsumsi serta perilaku makan mengakibatkan
terjadinya adaptasi mofologik pada saluran pencernaan hewan, baik secara
makroanatomi dan mikroanatomi. Hal ini mengakibatkan terjadinya variasi pada
saluran pencernaan setiap spesies sesuai dengan adaptasi jenis pakan dan perilaku
makannya (Stevens and Hume 1995). Secara makroanatomi perbedaan tersebut
dapat diamati pada bentuk dan ukuran setiap bagian organ pencernaan dan situs
viscerum. Sedangkan secara mikroanatomi perbedaannya dapat terlihat dari
struktur mikroskopis pada setiap lapisan-lapisan dinding saluran pencernaan,
bentuk lipatan dan penjuluran mukosa, bentuk dan macam sel pada kelenjar dan
substansi mukus yang dihasilkan oleh sel (Eurell and Frappier 2006).
Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu spesies endemik di
Pulau Papua (wilayah Provinsi Papua, Papua Barat, dan negara Papua New
Guinea). Bandikut merupakan kelompok mamalia berkantung yang memiliki
keunikan yaitu adanya plasenta yang mirip dengan eutharian yang disebut dengan
plasenta korioalantois (Pough et al. 2005). Plasenta korioalantois berupa suatu
saluran panjang yang menghubungkan dinding uterus induk dengan embrio.
Plasenta ini juga memiliki fungsi lain yaitu membantu mengikat embrio pada saat
embrio akan bergerak menuju ke kantung induknya untuk mengalami
perkembangan selanjutnya (Petocz 1994). Bandikut hanya memiliki satu saluran
pembuangan akhir baik untuk sistem pencernaan dan urogenital yang mirip
dengan kloaka pada unggas (Warsono 2009; Tethool 2011). Bandikut paling
mudah diidentifikasi berdasarkan bentuk jari sindaktilnya (Feldhamer et al. 1999).
Bandikut bersifat nokturnal, soliter dan omnivora karena mengkonsumsi
berbagai jenis pakan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya informasi tentang
macam-macam jenis pakannya. Di habitat aslinya bandikut memakan beberapa
jenis insekta dan invertebrata seperti cacing tanah, laba-laba, keong, dan ulat kayu
(Anderson et al. 1988). Selain itu bandikut juga memakan vertebrata kecil, dan
bagian tanaman seperti buah-buahan, biji-bijian, akar dan batang pohon yang
lapuk, serta sisa makanan dari manusia. Dari semua jenis pakan, bandikut paling
menyukai jenis insekta dan invertebrata (Quin 1985), berikutnya biji-bijian dan
buah (Anderson et al. 1988). Menurut penelitian McClelland et al. (1999), di
penangkaran bandikut juga menyukai pakan dalam bentuk konsentrat.

2
Di Papua bandikut diburu langsung dari alam untuk dikonsumsi sebagai
sumber protein. Berdasarkan aspek warna, bau dan rasa, daging bandikut disukai
oleh masyarakat Papua. Selain itu adanya kepercayaan masyarakat bahwa bagian
tubuh seperti rambut, tulang, dan anak bandikut yang berumur 12 hari memiliki
khasiat obat (Warsono 2009). Sejauh ini, pemanfaatan bandikut sebagai sumber
protein dan obat-obatan dilakukan dengan cara menangkap langsung dari alam
tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya
konservasi seperti melakukan penangkaran, agar bandikut dapat tetap
dimanfaatkan dan terus lestari. Untuk melaksanakan upaya tersebut dibutuhkan
informasi dasar mengenai biologi bandikut. Salah satu aspek penelitian yang
pernah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan dalam mengoptimalkan
produktivitas bandikut adalah kajian mengenai jenis pakan alami dan upaya
memperkenalkan pakan buatan berupa konsentrat (Warsono 2009). Selain itu
informasi mengenai biologi bandikut yang juga penting dilakukan adalah
mengetahui morfologi saluran pencernaan untuk dapat menduga fungsi fisiologi
dari proses pencernaan bandikut, sehingga dapat mendukung upaya penangkaran
dengan pemberian pakan yang sesuai.
Sampai sejauh ini, informasi biologi sebagai data dasar dari spesies bandikut
E. kalubu masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari minimnya publikasi
tentang bandikut E. kalubu. Penelitian mengenai bandikut yang telah
dipubikasikan diantaranya adalah mengenai saluran pencernaan bandikut
omnivora Isodon macrourus (McClelland et al. 1999; O’Hara et al. 2011), pola
tingkah laku E. rufescens di penangkaran (Manufandu 2000), sifat biologis dan
karakteristik karkas dan daging bandikut E. kalubu (Warsono 2009), karakteristik
reproduksi bandikut E. kalubu jantan (Tethool 2011), dan daerah jelajah bandikut
E. kalubu (Anderson et al. 1988). Sedangkan data mengenai morfologi saluran
pencernaan bandikut E. kalubu baik makroskopis maupun mikroskopis masih
kurang. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik morfologi
saluran pencernaan bandikut E. kalubu (Marsupialia: Peroryctidae) secara
makroanatomi dan mikroanatomi. Manfaat penelitian ini adalah untuk melengkapi
informasi dasar mengenai data biologi E. kalubu khususnya tentang morfologi
saluran pencernaan, sehingga dapat digunakan dalam menunjang upaya
konservasinya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Bandikut
Bandikut (bandicoot) berasal dari kata “pandi kokku” yang artinya “tikus
babi” dari bahasa Telugu, yaitu bahasa kelompok suku yang tinggal di dataran
Deccan India tengah. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1799 oleh
peneliti marsupial Australia. Pandi kokku sendiri adalah sebutan untuk kelompok
tikus lokal yang ada di Negara India dari marga bandicota (Petocz 1994). Sebutan

3
bandikut untuk kelompok Peroryctidae sebenarnya adalah salah karena sebutan
bandikut adalah untuk kelompok tikus yang berasal dari India, akan tetapi sampai
dengan saat ini sebutan bandikut tetap populer untuk kelompok Peroryctidae yang
tersebar di Pulau Papua (Warsono 2009).
Bandikut merupakan salah satu anggota kelas mamalia yang temasuk
dalam superordo marsupialia yang berarti memiliki marsupium/pouch (pada
individu betina). Pada jantan kantung tidak berkembang. Kantung ini berfungsi
untuk membesarkan fetus yang baru dilahirkan karena terdapat kelenjar susu di
dalamnya. Kantung terletak di bagian kaudal abdomen dekat dengan vagina.
Saluran reproduksi jantan bersatu dengan saluran akhir sistem pencernaan,
sehingga mirip dengan kloaka (Tethool 2011). Pada betina memiliki sepasang
saluran reproduksi: yaitu sepasang ovari, oviduct, dan uterus yang akan bermuara
ke vagina. Vagina terdiri atas tiga saluran yaitu sepasang vagina lateral untuk
deposisi sperma pada saat kopulasi, dan vagina medial untuk jalan keluarnya fetus
pada saat melahirkan. Ketiga saluran vagina tersebut bermuara ke sinus
urogenitalis (Feldhamer et al. 1999).
Menurut Feldhamer et al. (1999), klasifikasi bandikut E. kalubu adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class
: Mammalia
Subclass
: Theria
Infraclass
: Metatheria
Superordo
: Marsupialia
Ordo
: Peramelemorphia
Family
: Peroryctidae
Genus
: Echymipera
Spesies
: Echymipera kalubu
Ordo Peramelemorphia terdiri atas dua famili yaitu Peramelidae dan
Peroryctidae. Peramelidae terdiri dari empat genus dan sepuluh spesies, yaitu:
genus Chaeropus (satu spesies), Isodon (tiga spesies), Macrotis (dua spesies) dan
Perameles (empat spesies). Sedangkan famili Peroryctidae (Peroryctid
bandicoots), biasa dikenal dengan bandikut New Guinea terdiri dari empat genus
dan 11 spesies, yaitu: genus Echymipera (empat spesies), Microperoryctes (tiga
spesies), Peroryctes (tiga spesies) dan Rhynchomeles (satu spesies).
Secara umum kelompok bandikut memiliki ciri spesifik yang berbeda
dengan kelompok marsupial lainnya. Ciri spesifik tersebut adalah pada jari
tungkai kaki belakang. Pangkal jari ke-dua dan ke-tiga disatukan oleh kulit dan
hanya ujung sendi terakhir serta cakar yang terpisah (tipe jari sindaktil)
(Feldhamer et al. 1999). Adapun ciri pengenal jenis E. kalubu adalah karakter
warna rambut. Menurut Menzies (1991), warna rambut bandikut pada bagian
dorsal berwarna coklat gelap dan bagian ventral berwarna putih serta memiliki
ekor yang pendek. Rambut terdiri dari campuran rambut yang kasar, kaku dan
berduri. Bandikut juga memiliki bentuk kepala dan moncong yang tidak begitu
panjang. Ukuran bobot tubuh maksimal dapat mencapai 5 kg. Bandikut umumnya
memiliki susunan gigi poliprotodont dengan rumus gigi I 4-5/3, C 1/1, P 3/3 dan
M 4/4 dengan jumlah total gigi antara 46-48.

4
Bandikut bersifat omnivora memiliki banyak variasi jenis pakan. Pakan
yang dikonsumsi oleh bandikut diantaranya adalah beberapa invertebrata dan
insekta seperti semut, keong, siput, dan cacing. Bandikut juga mengonsumsi
vertebrata kecil seperti katak, kadal, dan tikus, serta beberapa bagian tumbuhan
seperti buah, biji dan akar. Buah-buahan yang dikonsumsi seperti pisang, kelapa,
pepaya dan buah hutan seperti buah roda (Ficus sp.) (Manufandu 2000).
Perilaku mencari makan pada bandikut berbeda antara jantan, betina, dan
betina yang sedang menyusui. Misalnya dalam aktivitas mencari makan, betina
lebih aktif dari pada jantan (Manufandu 2000). Perilaku makan bandikut di dalam
penangkaran menunjukkan bahwa aktivitas makan terjadi pada periode waktu
pukul 18.00-22.00 WIT, dan 02.00-06.00 WIT, sedangkan selang waktu yaitu
pukul 22.00-02.00 WIT bandikut melakukan aktivitas membersihkan diri
(grooming). Rata-rata waktu untuk aktivitas makan dalam satu malam adalah
± 6 menit dengan frekuensi 7.4 kali dan untuk minum 1 menit 54 detik dengan
frekuensi 5.3 kali. Sedangkan rata-rata waktu grooming adalah 2 menit 32 detik
dengan frekuensi 4-5 kali. Aktivitas bandikut pada siang hari adalah beristirahat di
dalam sarang (Warsono 2009).
Sistem reproduksi bandikut memiliki keunikan dari kelompok marsupial
lainnya. Keunikan tersebut adalah adanya plasenta korioalantois tanpa adanya vili.
Plasenta korioalantois merupakan saluran panjang dari dinding uterus induk ke
embrio yang berfungsi sebagai pengikat embrio saat embrio lahir yang akan
berpindah ke kantung induknya (Feldhamer et al. 1999). Bandikut merupakan
kelompok poliestrus dengan rata-rata siklus estrus 21 hari dengan aktivitas
kopulasi terjadi pada malam hari sesuai dengan sifatnya yang nokturnal. Betina
dewasa mulai kawin pada umur ± 4 bulan dan jantan ± 5 bulan. Rata-rata lama
kebuntingan berkisar 12.5 hari, sedangkan masa penyapihan di dalam kantung
sekitar umur 48-53 hari dan berakhir pada umur ± 60 hari. Proses kelahiran terjadi
pada siang hari saat bandikut sedang beristirahat. Dalam setahun bandikut mampu
beranak sebanyak 5-6 kali dengan interval waktu kelahiran ± 58 hari. Setiap kali
beranak dapat menghasilkan tiga sampai empat individu baru (Broughton and
Dickman 1991).
Individu baru yang dilahirkan memiliki bobot tubuh 0.2 gram dengan
panjang tubuh 10 mm yang kemudian akan berkembang di dalam kantung
induknya. Pada saat fetus dilahirkan dalam keadaan prematur, secara naluri akan
bergerak masuk ke dalam kantung induknya. Induk betina akan membantu dengan
gerakan membasahi rambut di sekitar liang sinus urogenitalis menuju ke kantung.
Hal ini diduga untuk memudahkan fetus bandikut masuk menuju kantung. Fetus
bandikut saat dilahirkan memiliki kuku cakar yang tajam dan kuat untuk
membantu memegang dengan erat saat menuju ke kantung induknya. Dalam
perkembangannya kuku cakar tersebut akan tanggal dan mengalami pergantian
(Manufandu 2000). Induk betina mampu kawin lagi ketika anaknya masih
berumur 49-50 hari. Sehingga setelah anak bandikut dapat keluar dari kantung
induknya, maka induk betina sudah mampu melahirkan kembali individu baru
yang akan tinggal di dalam kantung tersebut. Anak bandikut akan terus
berdampingan dengan induk betina selama perkembangannya dalam mencari
makan, sampai anak bandikut tersebut mampu untuk hidup soliter (Lyne 1964).
Menurut Muller (2005), jenis bandikut dari genus Echymipera dapat
dijumpai di daerah padang rumput dan daerah kebun, hutan belukar dan hutan

5
hujan. Selama musim kering, bandikut akan bergerak menuju ke hutan yang lebat,
sedangkan pada musim hujan bandikut akan keluar ke area yang terbuka seperti
kebun. Hal ini terkait dengan adanya kelimpahan pakan. Menurut Petocz (1994),
bandikut tersebar di pandang rumput dan hutan terbuka yang berada kurang lebih
2000 m di atas permukaan laut. Di Papua lokasi ini tersebar mulai dari pulaupulau seperti kepulauan Raja Ampat, kepulauan Teluk Cenderawasih sampai
dengan Pegunungan tengah, kecuali bagian tertinggi dari Pegunungan tengah.
Anatomi Saluran Pencernaan
Berdasarkan variasi jenis pakannya, beberapa anggota dari marsupial terbagi
ke dalam kelompok yang bersifat omnivora, herbivora dan karnivora. Kelompok
yang bersifat omnivora hanya ditemukan pada bilbis dan bandikut. Sebagai hewan
yang bersifat omnivora bandikut secara umum mempunyai saluran pencernaan
yang sama dengan mamalia ataupun marsupial lainnya. Saluran pencernaan secara
umum terdiri dari rongga mulut, esofagus, lambung, usus kecil yang terdiri dari
duodenum, yeyunum dan ileum serta usus besar yang terdiri dari kolon, sekum,
dan rektum yang bermuara ke anus (Stevens and Hume 1995) (Gambar 1).

A

B

Gambar 1 Komparasi saruran pencernaaan omnivora pada bandikut Perameles
nasuta (A) yang relatif sederhana dibandingkan babi (Sus scrofa) (B).
Saluran pencernaan terdiri dari esofagus (Eso), lambung (Lam), usus
kecil (Uk) dan usus besar (Ub) yang dibatasi dengan sekum (Sek).
(Sumber : A. Hume 1982; B. Stevens and Hume 1995)
Saluran pencernaan berfungsi dalam mencerna makanan menjadi molekul
yang lebih sederhana, menyerap sari-sari makanan dan mengeliminasi sisa-sisa
makanan yang sulit dicerna (Kent and Miller 1997). Proses pencernaan dimulai di
dalam rongga mulut saat makanan pertama kali masuk. Di dalam rongga mulut
makanan dicerna secara mekanik oleh gigi dan lidah, serta secara kimiawi oleh

6
enzim amilase yang dihasilkan oleh kelenjar ludah. Selanjutnya proses pencenaan
terjadi secara mekanis dan enzimatis di lambung dan usus halus dengan bantuan
enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar lambung dan usus serta
kelenjar asesoris (pankreas) (Frandson 1992).
Secara mikroanatomi saluran pencernaan mamalia mempunyai struktur
dasar pada dinding salurannya. Struktur dasar tersebut terdiri dari empat lapisan
yaitu: mukosa, submukosa, muskularis eksterna dan serosa (Gambar 2).

Gambar 2 Struktur dasar dinding saluran pencernaan mamalia
(Sumber: Akers and Denbow 2008)
Lapisan mukosa pada dinding saluran pencernaan mengalami perubahan
mulai dari esofagus sampai ke usus besar. Komparasi lapisan mukosa saluran
pencernaan dari esofagus sampai kolon pada mamalia dapat dilihat pada Gambar
3.

Gambar 3 Komparasi lapisan mukosa saluran pencernaan dari esofagus
hingga kolon pada mamalia (Sumber: Kardong 2009)

7
Esofagus
Esofagus merupakan saluran pencernaan yang menghubungkan faring
dengan lambung yang berfungsi sebagai jalannya makanan ke lambung. Secara
mikroanatomi lapisan mukosa esofagus, terdiri dari tunika mukosa, lamina propria
dan muskularis mukosa. Tunika mukosa dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis.
Pada beberapa spesies lapisan ini mengalami keratinisasi yang ketebalannya
bervariasi menurut jenis pakannya (Bacha and Bacha 2000). Menurut Frandson
(1992), pada sebagian hewan terdapat kelenjar mukus yang berfungsi untuk
membasahi dan melicinkan makanan sehingga dapat dengan mudah menuju ke
lambung. Lamina propria terdiri dari jalinan serabut kolagen dengan banyak
serabut elastik yang tersebar merata. Sedangkan muskularis mukosa terdiri dari
otot polos yang tersusun sirkuler.
Submukosa tersusun atas jaringan ikat longgar yang mengandung arteri,
vena, pembuluh limfe besar yang tersusun longitudinal serta mengandung berkas
saraf. Adapun bagian tunika muskularis pada umumnya hanya bagian kranial yang
tersusun atas otot bergaris melintang dan selanjutnya adalah otot polos. Dinding
terluar dari esofagus dilapisi oleh tunika adventisia di daerah leher dan oleh tunika
serosa di daerah rongga dada. Lapisan ini merupakan suatu jaringan ikat longgar
yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf (Eurell and
Frappier 2006).
Pada perbatasan antara esofagus dan lambung ditandai dengan adanya
perubahan epitel yang terjadi secara mendadak dari epitel pipih banyak lapis
menjadi epitel silindris sebaris. Pada daerah hubungan ini juga dapat ditemui
adanya sfingter. Sfingter merupakan lapis otot sirkuler bagian dalam yang melebar
di daerah hubungan esofagus-lambung (Eurell and Frappier 2006).
Ketebalan lapisan mukosa antara satu spesies dengan spesies lainnya
dipengaruhi oleh jenis pakannya. Pada hewan yang pakannya keras dan kasar
memiliki lapisan mukosa yang lebih tebal dibandingkan dengan hewan yang
pakannya lunak. Misalnya pada kelelawar pemakan serangga lapisan mukosanya
lebih tebal dan rapat serta lapis basalnya lebih aktif membelah bila dibandingkan
dengan kelelawar pemakan buah (Nisa’ 1997).
Lambung
Lambung merupakan perluasan dari saluran pencernaan. Secara anatomis
terdapat dua tipe lambung yaitu lambung tunggal dan lambung majemuk (Gambar
4 A dan B). Lambung mempunyai dua curvatura yaitu curvatura major dan minor
serta dua permukaan yaitu permukaan parietalis dan viceralis. Berdasarkan
lamanya proses pencernaan, lambung tunggal membutuhkan waktu lebih cepat
dibandingkan dengan lambung majemuk. Lambung majemuk hanya terdapat pada
hewan ruminansia (Montagna 1963).
Lambung berfungsi menampung sementara makanan hingga dapat diproses
lebih lanjut di dalam duodenum. Lambung juga berfungsi dalam proses
pencernaan secara mekanis dan enzimatis. Pencernaan secara mekanik dibantu
oleh gerakan peristaltik dan secara enzimatik oleh enzim-enzim protease seperti
pepsin dan renin dengan bantuan asam hidroklorida (HCl) (Telford and Bridgman
1995).

8

A

B
Gambar 4 Komparasi lambung tunggal (A) dan lambung majemuk (B)
(Sumber: Montagna 1963)

Secara mikroanatomi, dinding lambung memiliki empat lapis dasar utama
yaitu tunika mukosa, submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa. Tunika
mukosa terdiri dari lamina epitelialis, lamina propria (mengandung serabut
kolagen, elastik dan retikuler) dan lamina muskularis mukosa. Submukosa
mengandung serabut kolagen, sel lemak dan pleksus saraf submukosa (plexus
Meissner), sedangkan tunika muskularis mempunyai tiga lapis yaitu lapis dalam
yang berjalan miring (oblique), lapis tengah sirkuler dan lapis luar longitudinal.
Di antara lapis otot sirkuler dan longitudinal terdapat pleksus saraf myenteric
(plexus Auerbach). Tunika serosa terdiri dari mesotel yang membalut lapis
jaringan ikat longgar yang disebut subserosa (Telford and Bridgman 1995; Eurell
and Frappier 2006).
Berdasarkan daerah penyebaran kelenjar, lambung dibedakan atas lambung
tanpa kelenjar dan lambung berkelenjar. Daerah lambung tanpa kelenjar tidak
ditemukan pada semua spesies. Lambung tanpa kelenjar, umumnya tidak
ditemukan pada karnivora, sedikit ditemukan pada omnivora (misalnya lambung
pada babi) dan cukup luas ditemukan pada herbivora. Ruminansia merupakan
hewan herbivora yang memiliki daerah lambung tanpa kelenjar yang sangat luas
terbagi atas rumen, retikulum dan omasum (Eurell and Frappier 2006).
Berdasarkan distribusi sel-sel penyusun kelenjarnya, lambung terbagi atas
tiga daerah kelenjar, yaitu kardia, fundus dan pilorus. Daerah kardia merupakan
daerah yang yang sempit yang berbatasan dengan gastroesophageal junction
(Telford and Bridgman 1995). Kelenjar kardia berjumlah sedikit, berbentuk
tubulus sederhana, sedikit mengulir dan bermuara ke gastric pit. Ujung kelenjar,
relatif pendek dan lumennya lebih luas dibanding dengan kelenjar fundus dan
pilorus (Eurell and Frappier 2006).
Daerah fundus merupakan awal curvatura major yang berbentuk kubah,
terletak sebelah kiri dari esofagus, merupakan bagian terluas dari lambung dan
terdapat kelenjar fundus (Telford and Bridgman 1995). Kelenjar fundus bersifat
tubulus sederhana, sedikit bercabang dan menjulur ke dalam lamina propria.
Kelenjarnya memiliki daerah leher, corpus yang panjang dengan ujung sedikit
meluas dan buntu (dasar fundus kelenjar). Pada daerah ini terdapat empat macam

9
sel yang dibedakan berdasarkan bentuk dan fungsinya yaitu sel mukus (sel epitel
permukaan dan sel leher), sel utama, sel parietal, dan sel endokrin (Eurell and
Frappier 2006).
Sel mukus tersebar pada permukaan mukosa lambung dan pada daerah leher
kelenjar (sel leher mucus/mucous neck cells). Sel epitel permukaan menghasilkan
mukus yang akan melapisi seluruh permukaan mukosa. Sel leher menghasilkan
mukus yang bersifat khas berbeda dengan mukus yang dihasilkan oleh sel epitel
permukaan. Sel utama (chief cells) merupakan mayoritas sel pada kelenjar
lambung. Bentuknya seperti kubus, piramidal atau segi tiga dengan inti berbentuk
bulat kecil sampai besar dan berada di daerah basal, medial atau lateral. Sel utama
menghasilkan pepsinogen yang merupakan prekursor dari enzim pencernaan
pepsin. Sel parietal memiliki ukuran diameter lebih besar dari sel utama dan
jumlahnya lebih sedikit, cenderung tidak mengelompok, umumnya berbentuk
bulat pada bagian apikal dan semakin ke arah basal berbentuk piramid dan terletak
perifer terhadap sel utama. Sel parietal memiliki inti berbentuk bulat dan berada
ditengah. Sel parietal mensekresikan asam klorida (HCl) yang berfungsi untuk
mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin (Gartner and Hiatt 2001).
Pilorus merupakan bagian akhir dari lambung. Pada bagian akhir pilorus
terdapat sfingter yang merupakan penebalan dari lapisan otot sirkuler pada tunika
muskularis dan berperan dalam mengatur pelepasan chime ke dalam duodenum
(Kent and Miller 1997). Daerah kelenjar pilorus menempati hampir separuh
mukosa lambung karnivora, tetapi hanya sepertiga pada lambung kuda dan
abomasum ruminansia. Pada babi daerah pilorus sempit hanya sekitar seperempat
lambung. Kelenjar pilorus berbentuk tubulus sederhana, bercabang, atau mengulir
dengan ukuran kelenjar relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan kelenjar
lambung yang lain, namun memiliki gastric pit yang paling dalam. Sel-sel
kelenjar bertipe mukus dan mengambil warna basofil lemah, dengan inti
berbentuk pipih dan berada di bagian basal (Eurell and Frappier 2006).
Usus kecil
Usus kecil terdiri dari duodenum, yeyenum dan ileum. Proses pencernaan
yang terjadi di usus adalah pemecahan ingesta menjadi bentuk yang siap untuk
diserap, dimulai dengan bekerjanya enzim pankreas, empedu dan hati dan sekreta
kelenjar usus. Lapisan-lapisan penyusun dinding usus kecil terdiri dari tunika
mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis dan tunika serosa (Kardong 2009).
Seperti halnya lambung, pada usus juga terdapat pleksus saraf submukosa (plexus
Meissner), dan pleksus saraf myenteric (plexus Auerbach) pada tunika muskularis
di antara lapis otot sirkuler dan longitudinal. Komparasi duodenum, yeyunum dan
ileum pada mamalia dapat dilihat pada Gambar 5.

10

Gambar 5 Komparasi anatomi duodenum, yeyunum dan ileum
(Sumber: Kardong 2009)
Duodenum merupakan bagian awal usus kecil yang berhubungan dengan
lambung. Pada pangkal duodenum ditemukan kelenjar submukosa (kelenjar
Brunner). Pada duodenum terdapat permuaraan dari saluran empedu yaitu ductus
choledocus yang menyalurkan empedu dari hati dan ductus pancreaticus yang
menyalurkan sekresi dari pankreas. Duodenum memiliki dua macam sel epitel
yaitu sel epitel penyerap dan sel goblet. Sel penyerap mengandung beberapa
enzim seperti Alkalin phospatase, ATPase, maltase, dan amino peptidase.
Sedangkan sel goblet mensekresikan musinogen yang merupakan komponen
mukus lapisan pelindung epitel permukaan. Permukaan mukosa duodenum
memiliki penjuluran yang disebut vili. Bentuk dan ukuran vili bervariasi
tergantung pada bagian usus dan jenis hewannya (Shackelford and Elwell 1999).
Sel-sel Paneth ditemukan di bagian basal dari kelenjar Lieberkuhn atau kelenjar
intestinal sepanjang usus halus. Sel Paneth merupakan sel khusus yang
sitoplasmanya mengandung granula asidofilik dan inti yang berbentuk oval berada
di bagian basal (Eurell and Frappier 2006). Granula tersebut berisi prekursor
lysozyme yang diduga berperan dalam pengaturan mikroflora yang ada di usus
halus (Telford and Bridgman 1995).
Yeyunum merupakan usus halus yang berukuran paling panjang, karena
terkait dengan fungsinya untuk penyerapan nutrient. Yeyunum memiliki
gambaran histologis yang mirip dengan duodenum. Namun, ukuran vili pada
yeyunum lebih tinggi dan memiliki saluran lakteal yang lebih berkembang untuk
penyerapan lemak. Begitu pula jumlah sel goblet pada yeyunum lebih banyak
dibandingkan duodenum. Kelenjar submukosa (Brunner) tidak ditemukan lagi
pada yeyunum (Telford and Bridgman 1995; Eurell and Frappier 2006).
Ileum merupakan bagian akhir dari usus halus dan berukuran paling pendek.
Ileum ke arah kaudal akan berhubungan dengan sekum. Struktur vili pada ileum
berukuran semakin rendah dengan jumlah sel goblet semakin bertambah (Eurell
and Frappier 2006). Ciri khas lain dari ileum adalah ditemukannya kumpulan
limfonodus (Peyer’s patches) pada bagian lamina propria (Telford and Bridgman
1995).

11
Usus besar
Usus besar (intestinum crassum) terdiri dari sekum, kolon dan rektum. Pada
usus besar umumnya tidak lagi ditemukan adanya vili dan mengandung lebih
banyak sel goblet yang tersebar di permukaan sel epitel mukosa. Selain itu, pada
lamina propria usus besar terdapat jaringan limfatik yang berperan dalam
pertahanan terhadap infestasi parasit (Aughey and Frederic 2001). Fungsi usus
besar adalah absorpsi cairan, merubah chyme (bahan setengah cair) menjadi feses
(bahan setengah padat), menghasilkan mukus sebagai pelumas untuk melumasi
feses agar tidak merusak mukosa usus besar, dan sebagai tempat fermentasi sisa
makanan oleh bakteri (Eurell and Frappier 2006).
Lapisan submukosa tersusun atas Jaringan ikat longgar dan terdapat plexus
Meissner. Tunika muskularis tersusun atas otot sirkuler dan longitudinal dan
terdapat plexus Auerbach diantaranya. Pada kuda dan babi, lapis luar yang
memanjang dari tunika muskularis kolon dan sekum membentuk pita otot besar
yang mengandung serabut elastik dan disebut taenia coli dan taenia caeci
(Aughey and Frederic 2001).
Rektum dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris, yang ke arah anus berganti
menjadi sel epitel pipih banyak lapis. Kelenjar mukus ke arah anus semakin
berkurang dan hilang. Pada daerah hubungan antara rektum dengan anus terdapat
garis anorektal yang merupakan daerah perubahan mukosa dari sel epitel silindris
sebaris menjadi epitel pipih banyak lapis dan berkeratin. Pada beberapa spesies
ditemukan kelenjar anal (anal gland) yang berbentuk tubuloalveolar dan
menghasilkan sekreta yang khas. Pada anjing dan kucing sekreta bersifat lemak,
sedangkan pada babi bersifat lendir (Aughey and Frederic 2001).
Beberapa Teknik Pewarnaan Histologi
Penggolongan pewarnaan terdiri dari dua yaitu pewarnaan umum dan
pewarnaan khusus. Pewarnaan umum digunakan untuk melihat gambaran
mikromorfologi umum yaitu pewarnaan terhadap inti dan sitoplasma. Sedangkan
pewaranaan khusus untuk mendeteksi bahan khusus misalnya karbohidrat. Salah
satu pewarnaan umum yang digunakan adalah pewarnaan hematoksilin eosin (HE),
dan pewarnaan khusus yang digunakan adalah pewarnaan alcian blue (AB) dan
periodic acid Schiff (PAS). Prinsip-prinsip pewarnaan umum yang digunakan
umumnya mengacu pada Kiernan (1990) dengan beberapa modifikasi.
Pewarnaan HE
Pewarnaan umum HE digunakan untuk melihat struktur umum sel dan
jaringan. Hematoksilin merupakan zat garam-garam dari basa-basa pembawa
warna dengan radikal asam yang tidak berwarna sehingga menurut sifatnya
hematoksilin dikelompokkan kedalam zat warna basa atau hemetoksilin akan
mewarnai bagian dari sel dan jaringan yang bersifat basofilik terutama inti sel
dengan memberikan warna biru atau ungu.
Pewarnaan eosin merupakan garam-garam dari asam-asam pembawa
warna dengan radikal basa yang tidak berwarna sehingga menurut sifatnya
dikelompokkan dalam zat warna asam. Dengan kata lain eosin akan mewarnai

12
bagian sel yang bersifat asidofilik, seperti sitoplasma, jaringan ikat kolagen,
keratin, eritrosit, atau bagian-bagian lain yang tidak diambil warna oleh
hematoksilin, dengan memberikan warna merah muda. Warna yang dihasilkan
dengan menggunakan HE akan didapatkan warna yang kontras sehingga
memudahkan dalam pengamatan struktur umum sel dan jaringan.
Pewarnaan AB dan PAS
Pewarnaan alcian blue (AB) adalah metode pewarnaan yang digunakan
untuk mendeteksi mukopolisakarida yang bersifat asam dengan mengikat gugus
karboksil pada pH 2,5 meskipun tidak spesifik. Pewarnaan ini menggunakan
copper pthalicyanin yang larut dalam air sehingga reaksi positif akan berwarna
biru karena adanya copper. Intensitas warna ditentukan oleh kadar
mukopolisakarida asam yang menyusun substansi mukus (Kiernan 1990).
Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi mukopolisakarida yang
bersifat netral. Reaksi yang terjadi adalah pemutusan pada ikatan 1,2 glikol
(karbohidra netral) oleh asam periodat kemudian mengalami oksidasi menjadi
gugus aldehid. Gugus aldehid kemudian berikatan dengan pereaksi Schiff
sehingga tervisualisasi dengan warna merah magenta (Kiernan 1990). Intensitas
warna merah magenta yang dihasilkan pada reaksi PAS positif ditentukan oleh
kadar mukopoliskarida netral yang menyusun substansi mukus.
Karbohidrat terbagi dalam tiga golongan yaitu polisakarida, monosakarida
dan oligosakarida. Monosakarida adalah gula yang paling sederhana, sedangkan
oligosakarida merupakan karbohidrat yang molekulnya tersusun atas beberapa
unit monosakarida, dan polisakarida tersusun atas banyak monosakarida.
Mukopolisakarida umumnya berfungsi sebagai pelindung dan pelumas jaringan
(Kiernan 1990).

3 METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di dua tempat yaitu Laboratorium Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Papua dan
di Laboratorium Riset Anatomi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian pada
bulan Februari – Agustus 2012.
Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan lima individu E. kalubu dewasa terdiri dari
tiga jantan dan dua betina, (bobot badan 800 – 1600 gram, dan panjang kepala
tubuh 38.2 ± 4.76 cm). Pengambilan sampel dilakukan di lokasi sekitar
Manokwari, Papua Barat.

13
Prosedur Penelitian
Survei awal dilakukan untuk menentukan lokasi pemasangan perangkap.
Bandikut yang tertangkap selanjutnya diidentifikasi kemudian dimasukkan ke
sangkar dalam keadaan hidup untuk diadaptasikan.
Setelah diadaptasikan selama tiga hari, hewan dianestesi dengan
kombinasi Ketamin 50mg/kg BB dengan Xylasine 10 mg/kg BB yang diinjeksi
secara intramuskular melalui otot paha (Tethool 2011). Setelah hewan pings