Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BAHAN OLAH KARET
PADA PERKEBUNAN KARET RAKYAT DENGAN
PENDEKATAN PRODUKTIVITAS HIJAU

ADHITIYA DWI RAHMANTO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peningkatan
Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan
Produktivitas Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Adhitiya Dwi Rahmanto
NIM F34090100

ABSTRAK
ADHITIYA DWI RAHMANTO. Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet
pada Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau. Dibimbing
oleh MARIMIN dan MUHAMMAD ARIF DARMAWAN.
Rendahnya produktivitas dan kualitas dari bahan olah karet serta kurangnya
memperhatikan lingkungan merupakan kendala utama dalam pengembangan
industri karet. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumusan peningkatan
produktivitas bahan olah karet dengan pendekatan produktivitas hijau yang ramah
lingkungan. Penentuan strategi peningkatan produktivitas dihasilkan dari 3 tahap
analisis. Yang pertama, analisis kelembagaan di dalam perkebunan karet rakyat
dilakukan dengan menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM)
untuk mengidentifikasi hubungan kontekstual antar subelemen dimana petani
merupakan elemen terpenting. Yang kedua, analisis proses produksi dilakukan
dengan memetakan setiap aliran proses menggunakan Green Value Stream

Mapping (GVSM) dan dilakukan perhitungan Green Productivity Index (GPI)
kondisi awal. Kemudian yang ketiga, analisis kualitas dilakukan dengan
menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD) dan dihasilkan
kegiatan penanganan bahan baku dan pembekuan lateks perlu diperhatikan dalam
menghasilkan bahan olah karet berkualitas. Setelah dilakukan analisis mendalam
untuk mendapatkan rumusan peningkatan produktivitas barulah dilakukan dengan
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Dari keseluruhan
analisis dihasilkan skenario terbaik dengan nilai GPI sebesar 1,875. Nilai tersebut
mengalami kenaikan dibandingkan dengan GPI kondisi awal sebesar 1,138.
Kata Kunci : AHP, Bokar, GPI, ISM, QFD

ABSTRACT
ADHITIYA DWI RAHMANTO. Productivity Improvement of Pre-processed
Rubber at Rubber Smallholder Plantation with Green Productivity Approach.
Supervised by MARIMIN and MUHAMMAD ARIF DARMAWAN.
Low productivity and quality of pre-processed rubber and lack of
environmental consideration is the main obstacle in the development of the rubber
industry. The main objective of this research was to obtain productivity
improvement formulation of pre-processed rubber with green productivity
approach. Research applied 3 stages of analysis. First, institutional analysis in the

smallholder plantations using ISM to identify the contextual relationships between
subelemen where farmers are the most important element. Second, production
process analysis by mapping each stream process using GVSM and the initial GPI
calculation. Third, pre-processed rubber quality analysis using QFD, and produced
raw materials handling activities and freezing latex, need to be considered in
producing a quality pre-processed rubber. After further analysis to obtain
productivity improvement formulation, AHP then applied to weigh the
improvement alternative. Based on the overall analysis, the best scenario obtained
a GPI value of 1.875. It is better compared to the initial GPI of 1.138.
Keyword : AHP, GPI, ISM, Pre-processed Rubber, QFD

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BAHAN OLAH KARET
PADA PERKEBUNAN KARET RAKYAT DENGAN
PENDEKATAN PRODUKTIVITAS HIJAU

ADHITIYA DWI RAHMANTO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada Perkebunan
Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau
Nama
: Adhitiya Dwi Rahmanto
NIM
: F34090100

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc.
Pembimbing I


M. Arif Darmawan, S.TP. MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
produktivitas hijau, dengan judul Peningkatan Produktivitas Bahan Olah Karet pada
Perkebunan Karet Rakyat dengan Pendekatan Produktivitas Hijau.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan Bapak M. Arif Darmawan, S.TP, MT
selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama
penelitian dan penyelesaian skripsi serta Bapak Andes Ismayana, S.TP, MT yang

telah banyak memberikan saran dalam skripsi ini.
2. Bapak Sutiarto selaku Kepala Bidang Perkebunan Banyumas, Bapak Lasim
selaku Ketua Gapoktan karet Manggar Sari di Desa Kemawi Kec. Somagede
Kab. Banyumas atas bimbingannya selama penelitian.
3. Ayahanda Sudarno, S.Pd, ibunda Ely Faridah, S.Pd.SD, kakak Malikus Dhanu
Setyanto, S.Pi, dan adik kecil Nadela Hanu Azzahra atas doa dan dukungan tanpa
henti kepada penulis.
4. Irchami Putriningtas atas doa dan motivasi yang selalu mengiringi langkah saya.
5. Teman-teman TIN 46 atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Adhitiya Dwi Rahmanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Produktivitas

3

Produktivitas Hijau (Green Productivity)


4

Green Productivity Index (GPI)

4

Green Value Stream Mapping (GVSM)

5

Interpretative Structural Modelling (ISM)

5

Quality Function Deployment (QFD)

6

Analytical Hierarchy Process (AHP)


7

METODE

8

Kerangka Pemikiran

8

Pengukuran Produktivitas Hijau

9

Peningkatan Produktivitas

11

Pendekatan Sistem


11

Penetapan Responden

11

Tata Laksana Penelitian

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Analisis Kondisi Awal

12

Analisis Kelembagaan

13

Analisis Kegiatan Proses

16

Pengukuran Produktivitas

18

Analisis Kualitas

21

Analisis Peningkatan Produktivitas

23

Peningkatan Produktivitas Hijau

24

Evaluasi Skenario Perbaikan

28

Implikasi Manajerial

31

SIMPULAN DAN SARAN

33

Simpulan

33

Saran

33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

68

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Tujuh Sumber Pembangkit Limbah (Wills 2009)
Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tujuan dari Program dalam
Peningkatan Produktivitas Bokar
Hasil Analisis Tujuh Sumber Limbah Hijau (seven green wastes)
Perhitungan Biaya Kebutuhan dalam Proses
Bobot Atribut Kualitas Bokar
Hierarki Perhitungan Bobot Level 5 (Alternatif) Penentuan Strategi
Skenario Rancangan Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas
Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan.

10
14
19
21
22
24
29
31

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Diagram Alir Kerangka Berpikir
Tahap Pengukuran Produktivitas Hijau
Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tujuan dari Program
Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan dari Program
Bagan Kegiatan pada Perkebunan Karet Rakyat di Desa Kemawi
Alat Penggiling (handmangle) Polos
Alat Penggiling (handmangle) Bermotif
Rumah Kualitas Bokar Perkebunan Karet Rakyat Desa Kemawi
Rancangan Upaya Peningkatan Produktivitas
Diagram Perbandingan Indeks Keempat Rancangan Perbaikan
Urutan Langkah Peningkatan Produktivitas Bokar
Ilustrasi Pengurangan Dampak Lingkungan dalam Kegiatan Peningkatan
Produktivitas Bokar

8
9
14
15
16
18
18
22
28
31
32
32

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Perhitungan Variabel Dampak Lingkungan
Analisis Kelembagaan Delapan Elemen
Dosis Pemupukan
Diagram Proses Pengolahan Karet Slab Giling / Tipis
Standar Mutu Bokar Berdasarkan SNI 06-2047-2002
Peta Aliran Material (GVSM current state)
Perhitungan Biaya Kebutuhan Proses Produksi Karet Slab
Tampilan Hasil Perhitungan AHP Bobot Kriteria Kualitas Bokar
Struktur Hierarki Penentuan Strategi Peningkatan Produktivitas Bokar
dengan Pendekatan Produktivitas Hijau
Tampilan Pengisian Model AHP Penentuan Strategi Peningkatan
Produktivitas
Keseluruhan Perhitungan Skenario
Peta Aliran Material (GVSM future state)
Program Perangkat Lunak

36
38
50
51
52
53
54
55
56
57
58
64
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia (2012),
luas areal perkebunan karet di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 3.456.128 ha
yang terdiri dari 2.931.844 ha perkebunan rakyat, 257.005 ha perkebunan besar
negara, dan 267.278 ha perkebunan besar swasta. Luas areal tersebut menghasilkan
produksi karet sebesar 2.990.184 ton. Produktivitas terbesar sebesar 1.867 kg/ha
dimiliki oleh perkebunan besar swasta, namun produktivitas perkebunan rakyat
masih rendah yaitu 989 kg/ha. Sebagian besar produsen karet yang merupakan
pengusaha kecil rata-rata memiliki lahan yang tergolong kecil dan masih
menggunakan cara berkebun secara tradisional. Hal ini menyebabkan rendahnya
produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil dan berdampak pada
profitabilitas rantai nilai perkebunan secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu
adanya peningkatan produktivitas untuk dapat membantu perekonomian negara di
bidang perkebunan. Peningkatan produktivitas tersebut bukan hanya dilakukan
pada perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta, namun
peningkatan produktivitas tersebut harus dilakukan pada perkebunan rakyat yang
menyumbang luas areal perkebunan dan produksi yang besar.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
menjelaskan bahwa komoditas karet termasuk dalam komoditas utama negara dan
potensi sumber alam Indonesia. Pada Peraturan Presiden No. 26 tahun 2012 tentang
Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas), kedepannya Sislognas akan
memperkuat program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sislognas dan MP3EI diharapkan saling memberikan
sinergi positif bagi pembangunan ekonomi dan daya saing bangsa. Antara MP3EI
dengan Sislognas memiliki keterikatan yang sangat erat. MP3EI mengidentifikasi
potensi kekuatan ekonomi dan komoditi andalan nasional, sementara Sislognas
sangat berkepentingan dalam menjamin pergerakan komoditi tersebut dapat
berjalan dengan lancar dan efesien (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
2011).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu daya saing karet alam
adalah melalui peningkatan produksi karet per satuan luas, penurunan biaya
produksi, peningkatan mutu dan penyajian, pengembangan kegunaan, serta
langkah-langkah promosi dan strategi pemasaran yang tepat. Keseluruhan hal ini
dapat dilakukan melalui penerapan konsep produktivitas hijau dalam kegiatan
produksi karet alam, terutama pada kegiatan budidaya dan penanganan serta
pengolahan proses pascapanen karet alam.
Peningkatan produktivitas industri karet alam dapat dilakukan melalui
pendekatan produktivitas hijau. Selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat
meningkatkan nilai jual produk karet alam tersebut dikarenakan dalam proses
produksinya memperhatikan dimensi lingkungan. Dengan lebih memperhatikan
aspek lingkungan maka produk yang dihasilkan akan bersifat lebih ramah
lingkungan dan menurunkan limbah yang dihasilkan.

2
Sejalan dengan pemikiran produktivitas hijau, Peraturan Menteri Pertanian
No. 38 tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet
(Bokar) dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 tahun 2009 tentang
Pengawasan Mutu Bahan Olah Komoditi Ekspor Standard Indonesian Rubber yang
diperdagangkan, menguatkan akan pentingnya pengolahan karet alam yang ramah
lingkungan. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas mutu bokar yang
dihasilkan sehingga dapat bersaing dalam dunia perdagangan.
Dengan meningkatnya isu akan besarnya dampak lingkungan yang dihasilkan
pada proses kegiatan industri, diperlukan suatu bentuk pendekataan yang
memperhatikan aspek lingkungan dalam pelaksanaan proses kegiatan industri yang
dilakukan. Pendekatan yang dilakukan harus turut memperhitungkan hubungan
antara kegiatan ekonomi dan aspek dampak lingkungan yang terjadi melalui proses
kegiatan eksploitasi, produksi, dan konsumsi berbagai jenis sumber daya alam yang
berdampak pada dihasilkannya limbah (Saputra 2012 : Marimin et al. 2013).
Produktivitas hijau merupakan suatu pendekatan yang dapat membantu
perusahaan atau instansi untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan
dampak lingkungan. Implementasi produktivitas hijau akan memungkinkan
terjadinya eco-efficiency yang pada akhirnya mengarah pada sustainable
development. Putra (2012) mengembangkan konsep produktivitas hijau pada
budidaya karet di perkebunan karet swasta. Wiguna (2012) juga mengembangkan
konsep produktivitas hijau pada produksi karet alam di perusahaan swasta. Pada
kasus perkebunan karet rakyat ini yang memproduksi bahan olah karet secara
tradisional, dalam peningkatan produktivitas bokar dikembangkan konsep
produktivitas hijau dengan memadukan metode ISM (Interpretative Structural
Modelling), GVSM (Green Value Stream Mapping), QFD (Quality Function
Deployment), serta AHP (Analytical Hierarchy Process).
Perumusan Masalah
Perkebunan karet rakyat memproduksi karet lebih rendah dibandingkan
dengan perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Begitu juga produktivitas
yang dihasilkan oleh perkebunan karet rakyat rendah. Perlu ditingkatkannya
produktivitas dengan memaksimalkan sumber daya dan input yang dimiliki untuk
meningkatkan output yang akan dihasilkan. Untuk mengatasi permasalah tersebut
selain peningkatan produktivitas dengan pendekatan produktivitas hijau, diperlukan
peningkatan kualitas karet alam yang dihasilkan agar dapat mendongkrak
perekonomian petani karet rakyat itu sendiri. Dari segi harga bokar di lapangan,
permainan harga dilakukan oleh pedagang pengumpul sehingga petani pun
mengalami penerimaan harga yang sedikit. Karena panjangnya rantai tata niaga
bokar mengindikasi permainan harga di setiap level/lembaga masyarakat terkait.
Untuk itu perlu adanya efisiensi dan efektivitas di dalam suatu sistem kelembagaan
pada perkebunan karet rakyat itu sendiri.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan strategi peningkatan
produktivitas bokar pada perkebunan karet rakyat dengan pendekatan produktivitas
hijau yang ramah lingkungan.

3

1.
2.
3.
4.

Tujuan antara penelitian ini adalah :
Menerangkan pola kelembagaan untuk memberikan arahan mengenai elemen
yang menjadi prioritas dalam peningkatan produktivitas.
Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi produktivitas serta kualitas yang
dihasilkan.
Mengukur dan mengevaluasi tingkat produktivitas hijau bokar.
Memperoleh strategi terbaik yang akan digunakan dalam meningkatkan
produktivitas bokar.
Manfaat Penelitian

Output yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani
maupun instansi terkait di perkebunan karet rakyat dalam memberikan solusi
peningkatan produktivitas agar dapat menghasilkan bokar yang bernilai dan
berkualitas dengan pendekatan yang ramah lingkungan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup kegiatan dari mulai penanganan pasca
panen sampai distribusi ke industri hulu dari bokar, yang terdiri atas : analisis
kelembagaan, analisis tingkat produktivitas bokar, analisis mutu bokar yang
dihasilkan, penerapan produktivitas hijau sebagai solusi peningkatan produktivitas
bokar, serta nalisis dan penentuan strategi peningkatan produktivitas bokar.

TINJAUAN PUSTAKA
Produktivitas
Produktivitas merupakan perbandingan antara efektivitas pelaksanaan tugas
dengan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya. Efektivitas diartikan sebagai
suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat tercapai
baik secara kuantitas maupun waktu Sedangkan efisiensi merupakan suatu ukuran
dalam membandingkan penggunaan masukan input yang direncanakan dengan
penggunaan masukan yang sebenarnya dilakukan. Semakin besar nilai persentase
pencapaian target, maka semakin tinggi tingkat efektivitasnya.
Menurut Al-Darrab di dalam Gandhi et.al. (2006) produktivitas dapat
ditingkatkan dengan lebih banyak melakukan perbaikan sumber daya secara efektif
dan efisien untuk menghasilkan output yang diinginkan. Hal yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas, diantaranya adalah penerapan teknologi
produksi maju untuk meningkatkan output dan mengurangi input melalui kegiatan
minimasi limbah.
Sumanth di dalam Gaspersz (2000) memperkenalkan suatu konsep formal
yang disebut sebagai siklus produktivitas untuk dipergunakan dalam peningkatan
produktivitas terus-menerus. Ada empat tahap daur yang saling berkaitan dan
berkesinambungan, yaitu :
1. Pengukuran Produktivitas
3. Perencanaan Produktivitas
2. Evaluasi Produktivitas
4. Perbaikan Produktivitas

4
Dalam peningkatan produktivitas perlu diketahui unsur-unsur yang terkait
yaitu : kualitas, efektivitas dan efisiensi (Sumanth di dalam Gaspersz 2000). Naik
turunnya tingkat produktivitas disebabkan oleh faktor pada pihak manajemen,
karena pihak manajemen merupakan faktor yang paling berpengaruh, terutama
dalam proses perencanaan dan penjadwalan, pengaturan beban kerja, kejelasan
instruksi kerja dan evaluasi, serta dalam menumbuhkan motivasi kerja dan loyalitas
pekerja terhadap institusi.
Produktivitas Hijau (Green Productivity)
Produktivitas hijau didefinisikan sebagai suatu strategi dalam peningkatan
produktivitas dan pencapaian aspek lingkungan untuk keseluruhan yang
berlandaskan pada pengembangan sosial ekonomi. Faktor-faktor dari aplikasi
produktivitas terdiri atas alat pada manajemen lingkungan, teknik, dan teknologi
untuk mengurangi dampak yang mempengaruhi lingkungan yang diakibatkan dari
aktivitas perusahaan atau organisasi. Tujuan dari produktivitas hijau adalah untuk
menghasilkan capaian lingkungan yang menggunakan sumber daya dan energi
material yang lebih sedikit, sehingga akan berdampak pada minimasi pemborosan.
Dengan kata lain maka akan lebih efektif dan efisien dalam proses kerja yang
dilakukan (Putra 2012).
Tiga kunci utama dalam pelaksanaan produktivitas hijau adalah strategi,
produktivitas, dan pencapaian lingkungan. Secara fungsional produktivitas hijau
bertujuan untuk : memastikan tingkat keuntungan bagi organisasi atau perusahaan
(tingkat profitabilitas), meningkatkan mutu hidup dan mengurangi dampak
lingkungan (APO 2006).
Penerapaan konsep produktivitas hijau diartikan sebagai tindakan
menerapkan suatu konsep penggunaan sumber daya yang lebih sedikit dan lebih
efisien dalam pemanfaatan semua sumber daya yang terlibat, serta memastikan
bahwa semua output memiliki tujuan penggunaan. Konsep produktivitas hijau
merupakan konsep yang mencakup suatu hierarki perbaikan peluang bisnis agar
dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pasar. Perubahan harapan
pasar di masa sekarang mengharuskan adanya proses pengelolaan lingkungan yang
baik sebagai bentuk permintaan harapan pelanggan, selain dari harapan akan
kualitas, pasokan, pengiriman, teknologi, kesehatan dan keselamatan, serta biaya
(APO 2006).
Green Productivity Index (GPI)
Pendekatan kuantitatif dan sistematis perlindungan lingkungan diperlukan
untuk mengidentifikasi masalah serta menyoroti penerapan keunggulan program
lingkungan, teknologi, strategi, dan pendekatan yang dilakukan. Green Productivity
Index (GPI) atau indeks produktivitas hijau digunakan untuk mengisi kesenjangan
panjang yang ada dalam evaluasi kinerja lingkungan dan juga menawarkan langkah
kecil ke arah pendekatan yang lebih kuat dan kuantitatif untuk pengambilan
keputusan lingkungan. Green Productivity Index (GPI) didefinisikan sebagai rasio
sistem produktivitas terhadap dampak lingkungannya, persamaan GPI dituliskan
sebagai (Hur et.al. 2004) :
GPI = Productivity/Environmental Impact

5
Produktivitas didefinisikan sebagai rasio perbandingan antara harga jual
produk (SP) terhadap biaya produksi (PC) :
SP / PC
GPI =
EI
Dimana, “SP” merupakan harga jual sebuah produk, “PC” merupakan biaya
produksi sebuah produk, dan “EI” merupakan dampak lingungan sebuah produk
selama proses produksi pabrik.
Green Value Stream Mapping (GVSM)
Pada penelitian Putra (2012), Bangkit (2012) dan Darmawan et al. (2012)
digunakan metode GVSM dalam memetakan aliran proses yang terjadi. Metode
pemetaan baru yang merupakan pengembangan dari peta aliran nilai (VSM) dikenal
di dalam konsep pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan. Metode
pemetaan ini dikembangkan oleh Wills (2009), yang dikenal dengan metode
pemetaan aliran material hijau atau green value stream mapping (GVSM) sebagai
prinsip green intentions. Pada konsep peta aliran material (VSM) dikenal tujuh
sumber pembangkit limbah terdiri dari inventori, perpindahan, kerusakan produk,
transportasi, produksi berlebih, selisih berlebih proses, dan waktu menunggu.
Berbeda halnya pada GVSM dikenal tujuh sumber pembangkit limbah hijau yang
terdiri dari pemakaian energi, air, material, sampah, transportasi, emisi, dan
biodiversitas. Sama halnya dengan konsep VSM, pemetaan GVSM juga memiliki
dua jenis pemetaan, yaitu pemetaan saat ini (current state) dan pemetaan masa
mendatang (future state).
Secara khusus, diusulkan metodologi sistematis GVSM menganggap semua
kegiatan dalam value stream atau operasi bisnis dan menentukan apakah, dari
perspektif lingkungan (dibandingkan dengan pelanggan dalam konteks lean VSM),
masing-masing kegiatan, proses, operasi, atau hal yang positif, baik, atau berharga.
Jika tidak, itu dianggap boros dan harus diubah atau dihilangkan. Tujuannya adalah
untuk memindahkan organisasi terhadap keberlanjutan dengan berfokus pada
pengurangan "limbah hijau" yang berdampak lingkungan (Wills 2009).
Interpretative Structural Modelling (ISM)
Interpretative Structural Modelling (ISM) atau teknik permodelan
interpretasi struktural menurut Eriyatno (1998) adalah proses pengkajian kelompok
(group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret
perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara
seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Metode ini dapat digunakan
untuk membantu suatu kelompok, dalam mengidentifikasi hubungan kontekstual
antar subelemen dari setiap elemen yang membentuk suatu sistem berdasarkan
gagasan/ide atau struktur penentu dalam sebuah masalah yang komplek (Saxena et
al. 1992).
Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi
menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip
dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan
nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk
pengambilan keputusan yang lebih baik. Program yang ditelaah penjenjangan

6
strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya
diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Menurut Saxena (1992) program dapat
dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu : sektor masyarakat yang terpengaruh,
kebutuhan dari program, kendala utama, perubahan yang dimungkinkan, tujuan dari
program, tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, aktivitas yang dibutuhkan guna
perencanaan tindakan, ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh
setiap aktivitas, lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Metode ISM yang dikembangkan oleh Saxena (1992) diarahkan untuk
memperoleh struktur hierarki subelemen di dalam elemen-elemen sistem
berdasarkan hubungan kontekstual dalam bentuk hubungan V, A, X, O yang
kemudian dikenal dengan istilah ISM VAXO. Hubungan kontekstual antara
subelemen di dalam ISM VAXO menunjukkan hubungan yang bersifat langsung
dan tidak menunjukkan hubungan antara subelemen yang bersifat tidak langsung.
Simbol VAXO antar subelemen pada matriks SSIM akan tergantung dari sifat
hubungan antara elemen tersebut yaitu :
V adalah eij = 1 dan eji = 0
A adalah eij = 0 dan eji = 1
X adalah eij = 1 dan eji = 1
O adalah eij = 0 dan eji = 0
Dengan simbol angka 1 menunjukkan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0
menunjukkan tidak terdapat hubungan kontekstual antar subelemen. Hasil penilaian
tersebut tersusun dalam Structural Self Interaction Matrix (SSIM). SSIM
selanjutnya ditransformasi menjadi RM (Reachability Matrix) yang merupakan
matriks bilangan biner.
Metode klasifikasi subelemen yang distrukturisasi berdasarkan tingkat driver
power dan dependence serta menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji
(Saxena 1992). Klasifikasi subelemen dibagi menjadi empat struktur, yaitu :
1. Sektor 1 : weak driver – weak dependent variables (autonomous) yang berisi
peubah yang umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai
hubungan yang kecil walaupun dapat saja hubungan tersebut kuat;
2. Sektor 2 : weak driver – strongly dependent variables (dependent) yang berisi
peubah tidak bebas;
3. Sektor 3 : strong driver – strongly dependent variables (linkage) yang berisi
peubah yang harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah yang
tidak stabil dan setiap tindakan pada peubah ini dapat memberikan dampak
terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar
dampak;
4. Sektor 4 : strong driver – weak dependent variables (independent) yang berisi
bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Subagyo (2000) QFD adalah suatu cara untuk meningkatkan
kualitas barang atau jasa dengan memahami kebutuhan konsumen, lalu
menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa
di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan. QFD mencakup juga
monitor dan pengendalian yang tepat dari proses operasional menuju sasaran.

7
QFD merupakan suatu alat untuk mendesain dan mengembangkan produk
baru yang mampu mengintegrasikan kualitas ke dalam desain, memenuhi keinginan
dan kebutuhan konsumen (customer needs and wants) yang diterjemahkan ke
dalam technical responses. Pada proses desain dan pengembangan produk, QFD
digunakan pada tahap evaluasi konsep-konsep produk (Green dan Bonollo 2002).
Keinginan dan kebutuhan konsumen tersebut dijabarkan dalam fase-fase desain dan
manufakturing.
Proses QFD terdiri dari satu atau lebih matriks-matriks kualitas. Matriks
pertama dinamai House of Quality (HOQ). Matriks HOQ tersebut terdiri dari
beberapa matriks-matriks yang digabungkan yang masing-masing matriks berisi
informasi yang saling berhubungan antara satu matriks dengan matriks lainnya
(Cohen 1995).
Semua matriks pada HOQ menggambarkan pemahaman tim pengembang
produk atau proses mengenai aspek semua proses perencanaan produk, jasa, atau
proses baru. Adapun fase-fase dalam QFD adalah :
Fase 0 : Perencanaan QFD
Fase 1 : Menggali Voice of Customer
Fase 2 : Membangun House of Quality
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pada tahun 1970-an Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business
mengembangkan Analytical Hierarchy Process AHP untuk mengorganisir
informasi dan pendapat ahli dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin
dan Maghfiroh 2010). Suatu persoalan akan diselesaikan dengan menggunakan
AHP dalam suatu kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat
diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut.
Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan
keputusannya.
Saaty (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip di dalam metode AHP.
Prinsip pertama ialah penyusunan hierarki, yaitu menguraikan permasalahan yang
kompleks menjadi elemen pokoknya, lalu prinsip kedua ialah penentuan prioritas,
yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut kepentingannya, serta prinsip
ketiga ialah konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan
dan diperingkatkan secara logis.
Menurut Fewidarto (1996), AHP dapat diterapkan untuk memecahkan
masalah-masalah yang terukur maupun yang memerlukan suatu pendapat.
Penggunaan pendapat dalam memecahkan masalah dilakukan dengan
membandingkan elemen-elemen secara berpasangan (pairwise comparison).
Penilaian dilakukan dengan cara memberikan bobot dan membandingkan antara
satu elemen dengan elemen lain berdasarkan skala komparasi yang telah ditetapkan.
Tahap berikutnya adalah melakukan sintesis terhadap hasil penilaian yang
dilakukan untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan
terendah.

8

METODE
Kerangka Pemikiran
Bokar merupakan getah karet yang disadap dalam bentuk gumpalan lateks
sebagai hasil proses alami maupun hasil proses sederhana yang menggunakan
bahan penggumpal. Tingkat produktivitas bokar bergantung pada integrasi dan
keterkaitan antara seluruh kegiatan yang terjadi pada perkebunan karet rakyat
sampai rantai pasokan ke industri hulu. Kegiatan di perkebunan dari mulai
budidaya, panen, pasca panen sampai distribusi bokar ke industri hulu pada
kenyataannya masih terjadi ketidakefisiensian dan ketidakefektifan. Hal tersebut
yang menyebabkan petani karet mengalami kerugian baik materil maupun moril.
Pengelolaan kebun yang seadanya dan karena keterbatasan petani dalam mengolah
perkebunan karet ini yang menjadi faktor penghambat dalam peningkatan
produktivitas. Keterampilan petani dan kurangnya kesadaran menerapkan pasca
panen yang baik dan sering mengesampingkan dampak terhadap lingkungan juga
mengakibatkan mutu bokar yang dihasilkan rendah. Belum lagi kelembagaan yang
belum terbangun dengan baik menyebabkan lemahnya petani karet Indonesia. Tata
niaga yang panjang dan banyaknya pedagang pengumpul karet dapat
mengakibatkan harga jual yang diterima petani rendah. Semua ini merupakan faktor
penghambat dalam suatu sistem peningkatan produktivitas bokar. Kerangka
pemikiran diilustrasikan pada Gambar 1.
Mulai
Analisis Kondisi Awal

GVSM

Analisis Kelembagaan

ISM

Analisis Proses

GPI

Analisis Kualitas

QFD

Analisis Peningkatan
Produktivitas

AHP

Peningkatan Produktivitas dengan
Pendekatan Produktivitas Hijau

GPI

Selesai

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Berpikir
Untuk mengurai masalah tersebut, dalam penelitian di lakukan terlebih
dahulu analisis kondisi awal, kemudian dilanjutkan analisis kelembagaan. Dalam
menganalisis kelembagaan dilakukan dengan metode ISM untuk mendapatkan

9
rancangan sistem secara efektif dalam pengambilan keputusan yang lebih baik
nantinya. Setelah menganalisis kelembagaan selanjutnya dilakukan analisis proses
dan kebutuhan bokar. Pada tahap analisis ini dilakukan identifikasi kegiatan yang
memiliki pengaruh terhadap capaian tingkat produktivitas bokar dengan
menggunakan GVSM. Melalui pemetaan ini, maka didapatkan data sumber
material yang berpotensi sebagai sumber pembangkit limbah, yang kemudian
dijadikan dasar pengukuran produktivitas, setelah diperolehnya nilai indikator
lingkungan dan indikator ekonomi. Setelah produktivitas diukur, selanjutnya
dilakukan analisis kebutuhan konsumen akan bokar yang sesuai dengan standar
baku mutu yang ditetapkan. Pada analisis ini diidentifikasi kualitas dari bokar yang
dihasilkan petani kemudian menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk
menghasilkan bokar tersebut dalam tiap tahap proses menghasilkan bokar. Semua
identifikasi kualitas bokar ini dilakukan dengan metode QFD.
Kesemua tahapan tersebut nantinya akan digunakan untuk pengambilan
keputusan untuk meningkatkan produktivitas bokar. Peningkatan produktivitas
melalui pendekatan produktivitas hijau dilakukan dengan meminimalisir atau
mengeliminasi penggunaan sumberdaya yang memiliki dampak dan pengaruh
terhadap lingkungan. Penentuan strategi peningkatan produktivitas yang tepat
diperoleh melalui metode AHP yang selanjutnya diukur kembali GPI dari skenario
strategi terbaik.
Pengukuran Produktivitas Hijau
Sejalan dengan pemahaman Wiguna (2012), pengukuran tingkat
produktivitas dilakukan setelah didapatkan data tujuh sumber pembangkit limbah
dari hasil identifikasi melalui GVSM. Tahapan pengukuran produktivitas ini
mengacu pada tahapan yang dikembangkan oleh Gandi et al. (2006). Skema
tahapan pengukuran produktivitas pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.
Hasil Analisa
Tujuh Sumber
Pembangkit
Limbah (GVSM)

Dampak
Lingkungan
Indikator
Ekonomi

Perhitungan
Tingkat
Produktivitas

Perhitungan
Indeks
Produktivitas
Hijau (GPI)

Gambar 2. Tahap Pengukuran Produktivitas Hijau
Pemetaan aliran proses ini ditujukan untuk mengidentifikasi timbulnya waste
pada kegiatan produksi yang berimplikasi pada penurunan produktivitas industri.
Pada GVSM diidentifikasi tujuh sumber pembangkit limbah yang terdiri dari
pemakaian energi, air, material, sampah, transportasi, emisi, dan biodiversitas.
Tujuh sumber pembangkit limbah tersebut dijelaskan pada Tabel 1.
1. Dampak Lingkungan
Nilai dampak lingkungan bergantung pada hasil perkalian antara
penjumlahan persamaan bobot indikator GP dengan besarnya jumlah limbah yang
dihasilkan dari proses kegiatan untuk setiap jenis indikator. Semakin besar nilai
dampak lingkungan, menunjukkan semakin besarnya dampak lingkungan yang
dihasilkan dari proses kegiatan yang dilakukan.

10
Tabel 1. Tujuh Sumber Pembangkit Limbah (Wills 2009)
Limbah
Energi
Air
Material
Sampah
Transportasi
Emisi
Biodiversitas

Definisi dari Limbah
Biaya untuk mengkonsumsi lebih banyak energi dari yang
dibutuhkan dari sumber yang berdampak negatif lingkungan
Biaya untuk menggunakan air lebih dari yang dibutuhkan
Penggunaan bahan-bahan yang dirancang menjadi produk
yang berakhir di TPA daripada digunakan kembali
Biaya untuk membayar sesuatu yang memiliki dampak negatif
terhadap lingkungan jika Anda membuangnya
Biaya karena perjalanan yang menghasilkan dampak negatif
pada lingkungan dari pembakaran bahan bakar fosil
Biaya yang terkait dengan pembuangan polutan di lokasi
Biaya yang terkait dengan kerusakan langsung flora, fauna,
dan organisme yang dihasilkan dari pembangunan
infrastruktur

Dampak lingkungan ditentukan berdasarkan penjumlahan bobot indikator
produktivitas hijau. Bobot dan indikator produktivitas hijau ditentukan berdasarkan
hasil analisis para pakar dunia yang terangkum dalam Environmental Sustainability
Index atau ESI (Yale Center for Environmental Law and Policy Report 2005).
Pembuatan ESI didasarkan oleh penentuan lima jenis komponen penilaian kualitas
lingkungan, yang mencakup 21 indikator kelestarian lingkungan dan 76 variabel
yang mendasari penilaian bobot masing-masing indikator. Metode perhitungan
dampak lingkungan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu
penelitian Putra (2012) dan Wiguna (2012) dengan topik yang sama yaitu
produktivitas hijau. Perhitungan lengkap variabel dampak lingkungan tersaji pada
Lampiran 1. Dari hasil perhitungan variabel dampak lingkungan diperoleh
persamaan :
Dampak lingkungan = 0,375 GWG + 0,25 WC + 0,125 SWG + 0,25 LC
Keempat indikator GPI menggambarkan jumlah limbah yang dihasilkan dari
suatu proses kegiatan. Pembangkit limbah gas (GWG) digunakan untuk
memperhitungkan jumlah limbah gas. Limbah gas erat kaitannya dengan jumlah
emisi yang dihasilkan dari proses pembuatan dan pendistribusian bokar. Konsumsi
air (WC) digunakan untuk memperhitungkan jumlah konsumsi air dari suatu proses
kegiatan. Pembangkit limbah padat (SWG) digunakan untuk mengperhitungkan
limbah padat yang dihasilkan dari suatu proses. Pencemaran lahan (LC) ditujukan
untuk memperhitungkan dampak lingkungan pada areal lahan perkebunan yang
ditimbulkan oleh proses budidaya. Pencemaran lahan dinilai dapat mengurangi
kandungan hara dan tingkat kesuburan tanah, sehingga penting untuk
diperhitungkan.
2. Indikator Ekonomi
Indikator ekonomi merupakan perbandingan antara harga jual produk dengan
biaya produksi yang diperlukan untuk menghasilkan produk dalam satu jenis satuan
yang sama. Pada penelitian ini, harga jual produk yang dimaksud adalah harga jual
per kg bokar yang dihasilkan. Sedangkan biaya produksi yang dimaksud adalah

11
biaya produksi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg bokar. Basis perhitungan
yang digunakan dalam penentuan nilai indikator ekonomi ini adalah biaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton bokar.
3. Indeks Produktivitas Hijau (GPI)
Indeks produktivitas hijau (GPI) didefinisikan sebagai rasio perbandingan
sistem produktivitas (indikator ekonomi) terhadap dampak lingkungan. Persamaan
GPI dituliskan sebagai berikut:
Indikator Ekonomi
Indeks Produktivitas Hijau GPI =
Dampak Lingkungan
Peningkatan Produktivitas
Peningkatan produktivitas dilakukan setelah pengukuran produktivitas awal
dilakukan. Pada tahap ini dilakukan penentuan strategi peningkatan produktivitas
yang diperoleh melalui metode AHP. Selanjutnya penerapan strategi peningkatan
ini dilakukan melalui implementasi beberapa alternatif skenario strategi untuk
mendapatkan strategi terbaik. Alternatif strategi terpilih dengan indeks GPI (future
state) tertinggi selanjutnya diterapkan dalam future GVSM.
Pendekatan Sistem
Untuk mencapai tujuan penelitian, peningkatan produktivitas bokar pada
perkebunan karet rakyat, digunakan pendekatan sistem dengan melakukan
identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem tersebut dimulai dengan
mencari semua faktor yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi yang
terbaik bagi penyelesaian masalah, kemudian membuat suatu model kelembagaan,
model kualitas bokar dan AHP untuk membantu memilih alternatif yang paling
memungkinkan.
Penetapan Responden
Untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian dengan pendekatan sistem
maka diperlukan masukan sebagai data dari pakar karet. Responden sebagai pakar
ditentukan berdasarkan keahliannya pada bidang karet alam secara umum dan
bahan olah karet rakyat secara khususnya dan juga di bidang lingkungan. Pakar
tersebut baik dari kalangan akademisi, birokrasi, maupun praktisi. Adapun pakar
yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak tiga orang, yang terdiri atas pakar karet
dari Dinas Perkebunan Kabupaten Banyumas, Ketua Kelompok Tani Karet di Desa
Kemawi Kec. Somagede Kab. Banyumas dan seorang dosen IPB di bidang karet
alam. Karena dalam penerapan metoda AHP terdapat tahap uji konsistensi pendapat
pakar (uji CR), maka tingkat kepakaran responden dapat dipertanggung-jawabkan.
Tata Laksana Penelitian
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi data kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk data
primer maupun data sekunder. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan

12
melalui teknik wawancara mendalam. Pengamatan langsung dan dokumentasi
kegiatan juga dilakukan untuk mendukung hasil wawancara. Data kuantitatif yang
digunakan berupa data primer dan data sekunder, di mana data primer didapatkan
langsung dari lapangan sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara
petani dan pihak perkebunan karet rakyat maupun dinas terkait dan studi pustaka
terkait (artikel, jurnal ilmiah, buku acuan dan internet).
2. Pengolahan Data
Analisis pengukuran dan perhitungan tingkat produktivitas beserta indikatorindikator yang berpengaruh terhadapnya dianalisis dengan menggunakan Microsoft
Excel 2013. Selan itu aplikasi Microsoft Excel 2013 juga digunakan untuk
mengolah beragam fungsi aritmatika dasar. Pengolahan data hasil wawancara pakar
dengan metode AHP diolah dengan menggunakan aplikasi Expert Choice 11.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret 2013 di perkebunan karet rakyat
di Kec. Somagede Kab. Banyumas. Kegiatan diskusi dan wawancara pakar
dilakukan di kantor GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia), di PT.
Riset Perkebunan Nusantara dan di Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, serta di kantor Dinas Perkebunan Kab.
Banyumas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kondisi Awal
Perkebunan karet rakyat di Desa Kemawi berpotensi dalam pengembangan
industri hulu karet. Namun pada lapangan masing banyak ditemukan berbagai
kendala yang dihadapi oleh petani karet. Kendala tersebut terdapat pada proses
budidaya dan manajemen perkebunannya. Dari permasalah tersebut, dilakukan
analisis-analisis untuk dapat meningkatkan produktivitas bokar dengan pendekatan
produktivitas hijau yang lebih ramah lingkungan. Kondisi tanah yang berbukitbukit di desa Kemawi menyebabkan pola penanaman karet perlu diperhatikan.
Sistem penanaman karet secara tumpang sari di desa Kemawi dilakukan untuk
dapat menghasilkan tambahan biaya karena dalam rentang 1 sampai 5 tahun
tanaman karet belum dapat berproduksi. Kendala utama yang dihadapi adalah
kenerja dan pengetahuan petani tentang karet yang perlu ditingkatkan. Petani
tersebut menjadi pelaku utama di dalam perkebunan karet rakyat. Di lapangan
masih banyak ditemukan teknik penyadapan yang kurang efisien, misalnya petani
melakukan penyadapan di pagi hari namun pengambilan dan pengumpulan
lateksnya dilakukan di keesokan harinya. Selain itu ada juga petani yang sengaja
atau tidak sengaja memasukan kulit hasil tatalan ke dalam mangkok lateks. Hal-hal
seperti ini yang dapat menyebabkan kualitas dari karet rendah.
Kelompok tani karet yang terbentuk belum dapat dimaksimalkan secara
penuh. Masih banyak petani yang menjual hasil karetnya secara individu ke
pedagang pengumpul. Harga karet yang dijual ke pedagang pengepul juga masih
dengan sistem taksir harga. Dari pedagang pengumpul tersebut biasanya juga dijual

13
ke pedagang lain yang lebih besar. Tata niaga yang panjang ini menyebabkan harga
ditingkat petani rendah. Diharapkan petani dapat mengembangkan kelompokkelompok tani sebagai tempat bertukar ilmu karet serta sebagai wadah dalam
pengembangan usaha karet. Kendala modal dalam pengembangan perkebunan karet
juga yang sering dihadapi petani. Dalam rangka pengembangan perkebuanan karet
rakyat di Kabupaten Banyumas, Dinas Perkebunan Kabupaten Banyumas juga
memberikan bantuan sarana prasarana. Namun bantuan sarana dan prasarana dari
dinas perkebunan berupa bangunan pengolahan karet, alat pengenggilingan
(handmangle), serta peralatan penyadapan juga belum digunakan secara maksimal.
Kondisi perkebunan karet rakyat jauh berbeda dengan perkebunan karet
negara maupun swasta. Produktivitas yang rendah pada perkebunan karet rakyat
disebabkan karena perawatan tanaman yang seadanya menyebabkan produktivitas
tanaman ikut menurun. Teknik-teknik budidaya karet yang diterapkan pada
perkebunan karet rakyat juga masih sebatas dari pengetahuan petani. Padahal
potensi luas perkebunan rakyat jauh lebih besar dibandingkan dengan perkebunan
negara maupun swasta.
Analisis Kelembagaan
Analisis kelembagaan menfokuskan mengkaji bentuk keterkaitan antar
elemen dan subelemen dalam pengembangan agroindustri maupun dalam
peningkatan produktivitas bokar dalam penelitian ini. Dari hasil diskusi dan
wawancara dengan para pakar diperoleh 8 elemen yang dikaji dalam peningkatan
produktivitas, yaitu sektor masyarakat yang terpengaruh, kebutuhan dari program,
kendala utama, perubahan yang dimungkinkan, tujuan dari program, tolok ukur
untuk menilai setiap tujuan, lembaga yang terlibat, serta aktivitas yang dibutuhkan
guna perencanaan tindakan. Dari masing-masing elemen tersebut dikaji dan
diuraikan menjadi subelemen-subelemen yang selanjutnya dilakukan penilaian
hubungan kontekstual antar subelemen dari setiap elemen.
Berdasarkan survey lapangan dan wawancara dengan pihak terkait diperoleh
untuk elemen tujuan dari program menghasilkan 9 subelemen yaitu :
1. Meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1)
2. Meningkatkan produktivitas dan produksi produk (bokar) prospektif (T2)
3. Meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan (T3)
4. Meningkatkan kemampuan bersaing produk agroindustri karet rakyat di dalam
negeri (T4)
5. Memperkokoh struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang kuat dan saling
mendukung antar sektor (T5)
6. Meningkatkan nilai tambah dengan adanya pengembangan industri hilir (T6)
7. Meningkatkan dan menghemat devisa negara (T7)
8. Meningkatkan kualitas SDM sektor agribisnis dan agroindustri (T8)
9. Meningkatkan penggunaan teknologi sederhana yang ramah lingkungan (T9).
Hasil analisis menggunakan model ISM menghasilkan Tabel Reachability Matrix
dan interpretasinya seperti terlihat pada Tabel 2.

14
Tabel 2. Matriks RM Subelemen dalam Elemen Tujuan dari Program dalam
Peningkatan Produktivitas Bokar
T1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6

T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
T9
D
L

T2
1
1
1
0
0
0
0
1
1
5
5

T3
1
1
1
0
0
0
0
1
1
5
5

T4
1
1
1
1
0
1
0
1
1
7
3

T5
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8
2

T6
1
1
1
0
0
1
0
1
1
6
4

T7
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1

T8
1
1
1
0
0
0
0
1
1
5
5

T9
1
1
1
0
0
0
0
1
1
5
5

DP
9
8
8
3
2
4
1
8
8

R
1
2
2
4
5
3
6
2
2

Dengan memperhitungkan Driver Power (DP) dan Dependence (D) dari
setiap subelemen, maka matriks DP-P dapat disusun dengan menempatkan setiap
ordinat (x,y) masing-masing sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3 dimana
kesembilan subelemen tersebar ke dalam kategori 4 sektor. Dari Gambar 3 terlihat
subelemen meningkatkan produktivitas dan produksi produk (bokar) prospektif
(T2), meningkatkan kualitas mutu bokar yang dihasilkan (T3), meningkatkan
kualitas SDM sektor agribisnis dan agroindustri (T8), dan meningkatkan
penggunaan teknologi sederhana yang ramah lingkungan (T9) termasuk dalam
sektor III (linkage). Yang termasuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati,
karena hubungan antar subelemen bersifat tidak stabil. Setiap tindakan subelemen
tersebut akan memberikan pengaruh terhadap berhasilnya program dan
memperbaiki pengaruhnya bisa memperbesar keberhasilan peningkatan
produktivitas bokar dan pengembangan usahanya.
9

T1

T3

8 T2
7

Driver Power

Sektor IV

0

T8
T9

Sektor III

6
5
1

2

3

4 4

5

6 T6

7

3

Sektor I

2
1

8

9

T4

Sektor II

T5
T7

0

Dependence

Gambar 3. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Tujuan dari
Program
Analisis lebih lanjut pada sektor IV (independent), menyatakan bahwa
subelemen meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1) termasuk
peubah bebas. Dalam hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar
terhadap keberhasilan program, tetapi sedikit ketergantungan program. Adapun
subelemen meningkatkan kemampuan bersaing produk agroindustri karet rakyat di

15
dalam negeri (T4), memperkokoh struktur ekonomi daerah dengan keterkaitan yang
kuat dan saling mendukung antar sektor (T5), meningkatkan nilai tambah dengan
adanya pengembangan industri hilir (T6), serta subelemen meningkatkan dan
menghemat devisa negara (T7) termasuk sektor II kategori peubah tidak bebas
(dependent). Sektor II diartikan sebagai akibat dari tindakan subelemen lainnya.
Pada Gambar 4 tingkat (level-L) dari setiap subelemen ditentukan melalui
pemisahan tingkat pada RM. Penetapan tingkat dari setiap subelemen dapat
ditentukan dari ranking masing-masing subelemen. Hasil dari studi kasus
didapatkan enam tingkat hierarki dimana subelemen meningkatkan dan menghemat
devisa negara (T7) menempati tingkat pertama. Elemen kunci (key element) adalah
subelemen dengan peringkat (R) satu, dalam kasus ini adalah subelemen
meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman karet (T1). Elemen kunci berada
pada level yang merupakan dasar bagi subelemen lain.
T7
T5
T4
T6

T2

T3

T8

T9

T1

Gambar 4. Diagram Model Struktural dari Elemen Tujuan dari Program
Penjelasan ketujuh elemen dalam analisis kelembagaan lainnya mempunyai
prinsip yang sama dengan penjelasan elemen tujuan di atas. Yang perlu ditekankan
adalah subelemen yang berada pada sektor III (linkage) karena bersifat tidak stabil
yang artinya tindakan subelemen tersebut akan memberikan pengaruh terhadap
keberhasilan program. Selain itu perlu ditekankan juga adalah elemen kunci dari
setiap elemen yang dikaji.
Pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruh elemen kuncinya adalah
petani. Pada elemen kebutuhan dari program, subelemen sarana dan prasarana
produksi menjadi elemen kunci. Elemen kendala utama yang menjadi elemen kunci
adalah rendahnya produktivitas tanaman. Tumbuh dan berkembangnya sentra
komoditas karet sebagai pemasok bahan baku industri adalah elemen kunci dari
elemen perubahan yang dimungkinkan. Subelemen meningkatnya produktivitas
komoditas karet merupakan kunci elemen dari elemen tolok ukur untuk menilai
setiap tujuan. Kelompok tani merupakan elemen kunci dari elemen lembaga yang
terlibat dan pada elemen aktivitas yang dibutuhkan, yang menjadi elemen kuncinya
adalah subelemen adanya peningkatan produktivitas dan efisiensi, meningkatnya
keterampilan petanidan, meningkatnya kualitas mutu bokar. Analisis kelembagaan
secara lengkap tersaji pada Lampiran 2.

16
Analisis Kegiatan Proses
Perkebunan Karet Rakyat Desa Kemawi
Kec. Somagede
Penanaman

Perawatan
TBM

Perawatan TM

Pemanenan

Pengolahan
Karet Alam

Gambar 5. Bagan Kegiatan pada Perkebunan Karet Rakyat di Desa Kemawi
Pada Gambar 5 terlihat kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet rakyat
Desa Kemawi. Dimana kegitan tersebut meliputi penanaman, perawatan TBM,
perawatan TM, pemanenan, dan pengolahan karet alam. Kegiatan tersebut
diuraikan dengan jelas sebagai berikut :
Penanaman
1. Sistem Penamanan Karet
Pada perkebunan karet rakyat di desa Kemawi sistem penanaman karet
terbilang kurang teratur, hal ini disebabkan karena kontur tanah yang berbukit
(tidak datar) sehingga pola penanaman karet tersebut mengikuti kontur tanah.
Tanah yang memiliki kemiringan di atas 10° hendaknya di buat teras. Lebar teras
minimal 1,5 m. Jarak antara teras yang satu dengan yang lain 7 m untuk jarak
tanam (7 x 3) m. Pada kemiringan yang sama dibuat satu teras. Pembuatan te