Pengaruh Ketersediaan Infrastruktur Terhadap Tingkat Pengangguran: Analisis Kabupaten/Kota di Jawa dan Luar Jawa 2007-2011

PENGARUH KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR
TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN: ANALISIS
KABUPATEN/KOTA DI JAWA DAN LUAR JAWA 2007-2011

IDA BAGUS PERDANA KUMARA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Ketersediaan
Infrastruktur Terhadap Tingkat Pengangguran: Analisis Kabupaten/Kota di Jawa
dan Luar Jawa 2007-2011 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Ida Bagus Perdana Kumara
NIM H14090009

ABSTRAK
IDA BAGUS PERDANA KUMARA. Pengaruh Ketersediaan Infrastruktur terhadap
Tingkat Pengangguran: Analisis Kabupaten/Kota di Jawa dan Luar Jawa 2007-2011.
Dibimbing oleh D. S. PRIYARSONO
Pengangguran adalah salah satu masalah utama di negara berkembang termasuk
Indonesia. Tingkat pengangguran cenderung mengalami peningkatan akibat guncangan
eksternal, sehingga dibutuhkan solusi yang dapat mereduksi pengaruh tersebut, yaitu
perbaikan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur antara Pulau Jawa dan luar Jawa tidak
merata, itu menjadi indikasi bahwa kemampuan dalam menyerap tenaga kerja juga
berbeda. Penelitian ini menggunakan metode data panel pada 150 kabupaten/kota di
Indonesia tahun 2007-2011 dengan rincian 66 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan 84
kabupaten/kota di Luar Jawa. Variabel bebas yang digunakan adalah akses rumah tangga
terhadap air bersih (AIR), akses rumah tangga terhadap listrik (LTK), panjang jalan
(lnJLN), jumlah sekolah (lnSK), jumlah ranjang rumah sakit (lnTT), dan variabel

dependen adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur ekonomi dan kesehatan dapat mengurangi
jumlah pengangguran, sedangkan infrastruktur pendidikan cenderung meningkatkan
jumlah pengangguran. Secara umum, dampaknya lebih besar di Pulau Jawa
Kata kunci: Infrastruktur, Pengangguran, Data Panel, Indonesia

ABSTRACT
IDA BAGUS PERDANA KUMARA. Impact of infrastructure availability to
Unemployment Rate: Analysis on 150 districts/cities in Java and Outside of Java 20072011. Supervised by D. S. PRIYARSONO
Unemployment is one of the major problems in developing countries, including
Indonesia. Unemployment rate tends to increase due to external shocks. Thus, it needs a
solution that can reduce its impact, improvement of infrastructure. Infrastructure
availability between Java and Outside of Java is unequal, it is an indication that between
the two regions, the ability to absorb labor is also different. This study uses data panel on
150 districts/cities in Indonesia 2007-2011 with 66 districts/cities in Java and 84
districts/cities outside of Java. Independent variables used are household access to clean
water (AIR), household access to electricity (LTK), length of road (lnJLN), number of
schools (lnSK), number of hospital beds (lnTT) and dependent variable is unemployment
rate (TPT). These result show that availability of economic and health infrastructure can
reduce number of unemployment, while education infrastructure tends to increase number

of unemployment. In general, its impact is greater in Java than outside of Java.
Keywords: Infrastructure, Unemployment, Data Panel, Indonesia

PENGARUH KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN: ANALISIS KABUPATEN/KOTA DI
JAWA DAN LUAR JAWA 2007-2011

IDA BAGUS PERDANA KUMARA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Pengaruh Ketersediaan Infrastruktur Terhadap Tingkat
Pengangguran: Analisis Kabupaten/Kota di Jawa dan Luar Jawa
2007-2011
Nama
: Ida Bagus Perdana Kumara
NIM
: H14090009

Disetujui oleh

D. S. Priyarsono, Ph.D.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 sampai Mei 2013
ini ialah Pengaruh Ketersediaan Infrastruktur Terhadap Tingkat Pengangguran:
Analisis Kabupaten/Kota di Jawa dan Luar Jawa 2007-2011
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak D. S. Priyarsono, Ph. D. selaku
pembimbing selama proses penyelesaian skripsi, seluruh staf departemen Ilmu
Ekonomi IPB yang telah membantu selama proses administrasi, pihak BPS RI
yang telah menyediakan dan melayani penulis saat proses pengumpulan data,
pihak Depdiknas-CIMB Niaga yang telah memberikan beasiswa unggulan selama
menjalani masa belajar, kepada Ola, Vita, Nella, Ochon, Kak Diyah, dan Mbak
Nana yang telah banyak membantu selama proses pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada Bapak tercinta Ida Bagus Astawa, Ibu
tercinta Ida Ayu Pajariati, serta dua orang adik tercinta Ida Ayu Widya Puspitasari
dan Ida Bagus Trias Purnayana yang telah memberi dukungan secara moril.
Kepada keluarga besar Ida Bagus Ade dan Ida Bagus Anom atas dukungannya
selama menjalani pendidikan di Bogor, kepada sahabat-sahabat terbaik Laras,
Andrian, Raga, Disti, Mocin, dan Marmut terimakasih atas kerjasamanya selama

ini, sahabat seperjuangan Dauh Carik (DC) yaitu Darya, Gde, Iyo, Joka, dan
Yoga, sahabat Indra Prastha (IP), yaitu Bli Didi, Bli Giri, Bli Manu, dan Bli
Mayun, sahabat-sahabat terbaik KMHD IPB, seluruh teman dan sahabat
Departemen Ilmu Ekonomi 46, serta seluruh pihak yang telah menyemangati dan
selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

Ida Bagus Perdana Kumara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Pengangguran
Infrastruktur
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Konseptual
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode dan Pengolahan Data
Metode Data Panel
Pengujian Kesesuaian Model
Uji Kriteria Ekonometrik
Uji Multikolinearitas
Uji Autokorelasi
Uji Heteroskedastisitas
Model Statistika untuk Pengujian Hipotesis
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Ketersediaan Infrastruktur Indonesia
Gambaran Umum Pengangguran Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur dan Tingkat Pengangguran
Model Pulau Jawa
Model Luar Jawa
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
4
4
4
4
5

6
7
7
8
8
9
9
10
11
11
11
11
12
12
17
19
20
22
24
25

25
28
36

v

DAFTAR TABEL
1. Peringkat kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur provinsi
di Indonesia 2010
2. Jenis, variabel, dan sumber data
3. Selang nilai statistik DWdan keputusannya
4. Perbandingan perkembangan TPT Pulau Jawa dan luar Jawa 2007
dan 2011
5. Uji model terbaik (pooled least square, random effect model dan
fixed effect model)
6. Hasil estimasi model pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap
TPT dengan metode fixed effect model di Pulau Jawa
7. Hasil estimasi model pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap
TPT dengan metode fixed effect model di luar Jawa
8. Jumlah dan proporsi sektor industri di Pulau Jawa 2009-2011

9. Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkan 2010-2012

3
9
11
19
20
21
22
23
24

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pertumbuhan dan rata-rata TPT Indonesia 1992-2010
Hubungan tingkat upah dan pengangguran
Kerangka pemikiran konseptual
Pengujian pemilihan model dalam pengolahan data panel
Rata-rata panjang jalan di Pulau Jawa dan luar Jawa 2007-2011
Rata-rata persentase akses rumah tangga yang menggunakan air
bersih dan listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa 2007-2011
7. Persentase penggunaan sumber air minum berdasarkan sumbernya
di Pulau Jawa dan luar Jawa 2011
8. Pertumbuhan rata-rata kepadatan sekolah di Pulau Jawa dan luar
Jawa 2007-2011
9. Pertumbuhan rata-rata kepadatan ranjang rumah sakit di Pulau
Jawa dan luar Jawa 2007-2011
10. Perbandingan TPT provinsi, rata-rata TPT nasional, dan PDRB per
kapita 2011
11. Perbandingan rata-rata TPT berdasarkan daerah administratif
kabupaten dan kota 2007-2011

1
6
8
13
11
14
15
16
17
18
18

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji korelasi untuk pengujian asumsi klasik multikolinearitas
di Pulau Jawa
2. Hasil pengujian dengan metode PLS (Pooled Least Square) untuk
mengestimasi keterkaitan
antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di Pulau Jawa
3. Hasil pengujian dengan metode
Fixed
Effect
untuk
mengestimasi keterkaitan antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di Pulau Jawa
4. Hasil pengujian dengan metode
Random Effect
untuk
mengestimasi keterkaitan antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di Pulau Jawa
5. Hasil pengujian Chow test untuk mengestimasi keterkaitan
antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran di
Pulau Jawa
6. Hasil pengujian Hausman test untuk mengestimasi keterkaitan
antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran di
Pulau Jawa
7. Hasil uji korelasi untuk pengujian asumsi klasik multikolinearitas
di luar Jawa
8. Hasil pengujian dengan metode PLS (Pooled Least Square) untuk
mengestimasi keterkaitan
antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di luar Jawa
9. Hasil pengujian dengan metode
Fixed
Effect
untuk
mengestimasi keterkaitan antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di luar Jawa
10. Hasil pengujian dengan metode
Random Effect
untuk
mengestimasi keterkaitan antara ketersediann infrastruktur
terhadap tingkat pengangguran di luar Jawa
11. Hasil pengujian Chow test untuk mengestimasi keterkaitan
antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran di luar
Jawa
12. Hasil pengujian Hausman test untuk mengestimasi keterkaitan
antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran di luar
Jawa

28

28

29

30

31

32
32

32

33

34

35

35

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi tidak lagi merupakan suatu proses yang hanya
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, namun harus meningkatkan indikatorindikator kesejahteraan masyarakat (Todaro dan Smith 2006). Indikator
kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pengangguran,
kemiskinan, dan distribusi pendapatan. Pengangguran dapat terjadi akibat jumlah
angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Selain itu, pengangguran merupakan salah satu indikator pengukur kemampuan
kegiatan ekonomi untuk menentukan tingkat kemakmuran suatu masyarakat
(Sukirno 2008).
Ditinjau dari Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada 20 tahun
terakhir terdapat kecenderungan bahwa TPT akan mengalami peningkatan setelah
terjadi external shock (Gambar 1). Krisis Moneter tahun 1997 menyebabkan
kenaikan TPT dalam jangka yang panjang, mula-mula sebesar 4.89% pada tahun
1996 hingga mencapai 9.86% di tahun 2004. Krisis minyak dunia tahun 2005 juga
memberikan dampak yang sama, namun dalam jangka yang lebih pendek. Gambar
1 juga menunjukkan bahwa pasca guncangan ekonomi rata-rata TPT Indonesia
terus mengalami peningkatan, sebelum tahun 1997 rata-rata nilai TPT sebesar
4.39%, tahun 1997-2004 sebesar 6.57%, dan tahun 2005-sekarang sebesar 8.66%.
Kondisi pengangguran di Indonesia sangat sensitif terhadap pengaruh guncangan
ekonomi yang berasal dari luar.
12
10

TPT (%)

8
6
TPT (%)
4

Rata-rata

2
0
1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Tahun
Sumber: BPS RI (diolah) 2011

Gambar 1 Pertumbuhan dan rata-rata TPT Indonesia 1992-2012
Pengangguran terjadi akibat banyaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) yang dilakukan oleh perusahaan sebagai dampak dari inflasi yang tinggi.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya investor yang memindahkan
investasinya dari Indonesia, sehingga menyebabkan semakin sempitnya lapangan

2

pekerjaan di Indonesia. Tingginya jumlah pengangguran harus segera diatasi,
karena tingkat pengangguran yang terlalu tinggi dapat mengganggu stabilitas
perekonomian. Salah satu upaya yang tepat dilakukan pemerintah adalah
meningkatkan kualitas dan kuantitas ketersediaan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur memiliki peran penting dalam akselerasi kegiatan ekonomi, namun
dampaknya tidak dapat langsung terlihat. Kondisi infrastruktur yang ada
merupakan salah satu pertimbangan serius bagi investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia (Zetha dan Tambunan 2006). Pembangunan infrastruktur
memiliki 2 tujuan utama, yaitu membuka kesempatan kerja dan dalam jangka
panjang akan menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Infrastruktur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan
infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang
digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat
luas. Dalam pengertian ini infrastruktur ekonomi meliputi semua prasarana umum
seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, sanitasi,
serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi
prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan 1997).
Infrastruktur ekonomi seperti listrik dan air bersih dapat menjadi modal
yang digunakan oleh tenaga kerja dalam melakukan proses produksi dan
meningkatkan kesempatan membentuk lapangan kerja. Konsumsi air bersih oleh
rumah tangga dapat berperan dalam menjaga kesehatan tenaga kerja, sehingga air
bersih dapat pula berperan secara tidak langsung terhadap perekonomian melalui
peningkatan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sehat mampu bekerja
dengan baik, sehingga mereka diharapkan menjadi lebih produktif. Adapun
infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan dan komunikasi dapat menjadi sarana
penunjang bagi kelancaran arus kegiatan ekonomi. Infrastruktur sosial dapat
meliputi infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Peningkatan pendidikan dan
kesehatan meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
meningkatkan daya saing mereka dalam memperoleh pekerjaan. Ketersediaan
infrastruktur yang buruk dapat meningkatkan tingkat pengangguran di suatu
daerah. Kondisi tersebut dapat terjadi dalam ruang lingkup yang besar seperti
antarnegara, ataupun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu antarprovinsi
dalam suatu negara atau antarkabupaten/kota dalam suatu provinsi.
Kondisi infrastruktur di Indonesia masih tidak merata di seluruh daerah.
Daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang lebih baik cenderung
berada di Pulau Jawa. Kelengkapan Infrastruktur di Pulau Jawa dikarenakan
terdapat Jakarta sebagai Ibukota Negara yang berperan ganda sebagai pusat
pemerintahan dan perekonomian. Kondisi inilah yang menuntut ketersediaan
infrastruktur yang layak dan berdampak ke daerah disekitarnya. Hasil Penelitian
Asia Competitiveness Institute (ACI) tahun 2013 yang mengacu pada 3 indikator
utama yaitu kualitas infrastruktur fisik, infrastruktur teknologi, serta standar
hidup, pendidikan, dan sosial pada 33 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa
provinsi-provinsi di Pulau Jawa memiliki kualitas infrastruktur yang lebih baik
dibandingkan luar Jawa. Peringkat tertinggi adalah Jakarta, sedangkan terendah
adalah Jawa Tengah di peringkat 13.

3

Tabel 1 Peringkat kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur provinsi di
Indonesia 2010
Peringkat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
32
33

Provinsi
Jakarta
D. I. Yogyakarta
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Bali
Banten
Sulawesi Utara
Jawa Timur
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
Jawa tengah
NTT
Papua

Kawasan
Pulau Jawa
Pulau Jawa
Luar Jawa
Luar Jawa
Luar Jawa
Pulau Jawa
Luar Jawa
Pulau Jawa
Luar Jawa
Luar Jawa
Pulau Jawa
Pulau Jawa
Luar Jawa
Luar Jawa

Sumber: Asia Competitiveness Institute (ACI), 2013

Pemerataan pembangunan menjadi fokus utama sebagian besar negara di
dunia, setelah mengetahui bahwa dampak positif pertumbuhan yang merata akan
lebih baik dibandingkan pertumbuhan yang tinggi di satu titik. Beberapa program
pemerintah talah diajukan dalam upaya melakukan pemerataan, seperti Master
Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berfokus pada
konektivitas infrastruktur antardaerah sehingga dapat mencapai tujuan utamanya
yaitu mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi. Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga
memasukkan permasalahan dan tantangan pembangunan adalah kesenjangan
pembangunan daerah antara Jawa-luar Jawa serta berkurangnya kualitas dan
tertundanya pembangunan infrastruktur baru yang menghambat pembangunan
nasional.
Peningkatan pada kualitas pembangunan ekonomi membutuhkan dukungan
dari perbaikan kualitas dan kuantitas infrastruktur. Muslikhah (2008) dalam
penelitiannya yang mengaitkan tingkat pengangguran dan pengeluaran pemerintah
untuk pembangunan infrastruktur (GEI) menunjukkan bahwa pada saat GEI
mengalami penurunan, jumlah pengangguran mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Ketersediaan infrastruktur memiliki pengaruh positif pada
pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan infrastruktur mendukung mobilitas
masyarakat dan meningkatkan produktivitas modal (Vidyattama 2010). Sulitnya
akses terhadap infrastruktur dan kualitas infrastruktur yang buruk dapat
menurunkan tingkat pendapatan rumah tangga (Gibson dan Olivia 2009).
Setelah kebijakan otonomi daerah, setiap daerah diberikan keleluasaan
untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang akan mendukung kinerja daerah
mereka masing-masing. Kenyataan bahwa setiap daerah memiliki karekteristik
yang berbeda, menunjukkan bahwa kebutuhan akan sarana prasaran pendukung
kegiatan ekonomi seperti infrastruktur juga berbeda. Pembangunan infrastruktur
seharusnya mengikuti karekteristik masing-masing daerah. Berdasarkan
pemaparan fakta dan data tersebut maka dibutuhkan sebuah kajian khusus

4

mengenai keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran
di Indonesia. Analisis akan dilakukan dalam cakupan kabupaten/kota agar
mendapatkan hasil yang lebih spesifik dan mendalam. Penelitaian ini juga akan
membandingkan keterkaitan ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran
antara Pulau Jawa dan luar Jawa.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi ketersediaan infrastruktur dan tingkat
pengangguran di Pulau Jawa dan luar Jawa?
2. Bagaimanakah keterkaitan antara ketersediaan infratruktur dan tingkat
pengangguran di Pulau Jawa dan luar Jawa?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum ketersediaan
infrastruktur dan tingkat pengangguran dalam cakupan kabupaten/kota di Pulau
Jawa dan luar Jawa. Keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat
pengangguran, serta melihat perbandingan pengaruh yang ditimbulkan antara
Pulau Jawa dan luar Jawa.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia mengenai pentingnya ketersediaan
infrastruktur dalam upaya mengurangi tingkat pengangguran, serta dapat
digunakan sebagai bahan pustaka dan referensi bagi pihak yang membutuhkan,
serta rujukan bagi penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan ketersediaan
infrastruktur dan tingkat pengangguran pada kabupaten/kota di Pulau Jawa dan
luar Jawa. Analisis dilakukan terbatas pada 150 kabupaten/kota pada tahun 20072011, yaitu 66 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan 84 kabupaten/kota di luar Jawa.
Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.
Ketersediaan infrastruktur diukur dengan menggunakan indikator air bersih,
listrik, panjang jalan, kesehatan, dan pendidikan. Tingkat pengangguran diukur
dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang merupakan persentase jumlah
angkatan kerja yang menganggur dan sedang mencari kerja (pengangguran
terbuka) terhadap jumlah angkatan kerja. Ukuran ini dapat digunakan untuk

5

mengindikasikan seberapa besar penawaran tenaga kerja yang tidak dapat terserap
dalam pasar tenaga kerja di sebuah negara atau wilayah.

Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis tidak langsung, yaitu dampak dari
ketersediaan infrastruktur tidak dapat secara langsung berdampak pada tingkat
pengangguran, namun harus melalui variabel lain di luar penelitian. Berdasarkan
beberapa landasan teori dan penelitian terdahulu maka dapat dirumuskan beberapa
hipotesis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
Infrastruktur Air Bersih dan Listrik
Pembangunan infrastruktur air bersih dan listrik dapat menurunkan tingkat
pengangguran melalui peningkatan investasi. Peningkatan investasi akan
meningkatkan pembangunan yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja saat
dan setelah pembangnan (Todaro dan Smith 2006). Selain itu, ketersediaannya
dapat meningkatkan kesempatan wirausaha oleh masyarakat.
Infrastruktur Jalan
Peningkatan kualitas dan kuantitas jalan dapat meningkatkan daya tarik
investasi. Peningkatan investasi akan meningkatkan pembangunan yang
berdampak pada penyerapan tenaga kerja saat dan setelah pembangnan (Todaro
dan Smith 2006).
Infrastruktur Kesehatan
Peningkatan infrastruktur kesehatan dapat meningkatkan produktivitas
tenaga kerja dan dampaknya terjadi 2 tahap, yaitu pada tahap awal produksi akan
menurunkan tingkat penyerapan tenaga kerja. Produktivitas yang tinggi akan
menurunkan kebutuhan tenaga kerja oleh perusahaan. Tahap selanjutnya dapat
meningkatkan penyerapan tenaga kerja melalui peningkatan permintaan agregat
akibat efisiensi produksi pada tahap sebelumnya (Blanchard 2006).
Infrastruktur Pendidikan
Peningkatan infrastruktur pendidikan dapat mempengaruhi tingkat
pengangguran melalui 2 jalur. Pertama, meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Peningkatan kualitas tenaga kerja dapat mempengaruhi tingkat pengangguran
melalui upah. Tenaga kerja dengan kualitas yang semakin tinggi akan menuntut
upah yang tinggi juga, sehingga menurunkan permintaan tenaga kerja (Gambar 3).
Peningkatan upah dapat meningkatkan tingkat pengangguran (Mankiw 2007).
Kedua, jika peningkatan sarana pendidikan dapat menyerap angkatan kerja yang
ada, maka dapat mengurangi jumlah angkatan kerja sehingga tingkat
pengangguran ikut berkurang.
Gambar 3 menunjukkan bahwa ketika keseimbangan berada di titik A yaitu
tingkat upah berada di W1 dan jumlah tenaga kerja sebesar L1, maka tidak terjadi
pengangguran. Namun, jika terjadi kenaikan upah dan upah meningkat ke tingkat
W2, maka akan menyebabkan penurunan jumlah permintaan tenaga kerja ke L2,

6

dan menyebabkan pengangguran sebesar UN yaitu selisih dari jumlah penawaran
dan permintaan tenaga kerja.

Keterangan: S = Penawaran tenaga kerja; D = Permintaan tenaga kerja; Wage =
Upah; Labour = Jumlah tenaga kerja; UN = Jumlah pengangguran
Sumber: Mankiw, 2007

Gambar 2 Hubungan tingkat uah dan pengangguran

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Pengangguran
Menurut Lipsey, et al (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi 3
macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran
struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi jika
permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial
ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih
kecil daripada keluaran potensial. Orang-orang yang menganggur secara siklis
dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa (involuntary unemployment),
dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi
pekerjaannya tidak tersedia. Pengangguran struktural dapat didefinisikan sebagai
pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja
berdasarkan keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan juga
struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional
diakibatkan perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting
pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja
dan mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari
pekerjaannya, karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun
karena diberhentikan.
Menurut Bellante dan Jackson (1990), secara konseptual pengangguran
dibedakan menjadi pengangguran friksional, struktural, dan pengangguran karena

7

kurangnya permintaan (demand deficiency unemployment). Pengangguran karena
kurangnya permintaan timbul apabila pada tingkat upah dan harga yang sedang
berlaku, tingkat permintaan akan tenaga kerja secara keseluruhannya terlalu
rendah, akibatnya jumlah tenaga kerja yang diminta perekonomian secara agregat
lebih rendah dibandingkan dengan dengan penawaran tenaga kerjanya.
Sedangkan, pengangguran struktural dikatakan ada apabila lowongan yang
tersedia membutuhkan keahlian yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
penganggur atau lowongan pekerjaan yang tersedia berada dalam wilayah
geografis yang berbeda dengan lokasi tempat tinggal pekerja yang menganggur.
Sedangkan pengangguran friksional terjadi diakibatkan oleh proses pencarian
kerja dan penyebabnya adalah informasi lowongan kerja yang kurang sempurna
serta biaya untuk mengakses informasi tersebut terlalu mahal.

Infrastruktur
Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting bagi
investasi swasta karena dapat menurunkan biaya angkut dan meningkatkan
volume perdagangan serta merupakan faktor penentu pertumbuhan jangka
panjang yang dominan (Jhingan, 2004). Infrastruktur tergolong sebagai social
overhead capital. Berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung
terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok
dari modal tetapi juga meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup
masyarakat luas. The World Bank membagi infrastruktur menjadi 3 jenis, yaitu
infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, dan infrastruktur administrasi.
Infrastruktur ekonomi merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi,
air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan
sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).
Infrastruktur sosial meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan, dan rekreasi dan
Infrastruktur administrasi meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi, dan
koordinasi.

Penelitian Terdahulu
Penelitian Bulohlabna (2008) yang menguji pengaruh infrastruktur
terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia. Dengan menggunakan
variabel panjang jalan, kapasitas listrik yang dijual PLN, kapasitas air bersih yang
disalurkan PDAM, jumlah sekolah menengah tingkat atas, dan jumlah ranjang
rumah sakit dengan metode estimasi yang digunakan adalah data panel. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa adanya infrastruktur yang tidak memberikan
kontribusi yang signifikan ataupun dalam arah yang negatif lebih disebabkan
karena kualitas dan kuantitas layanan dari layanan itu.
Nugraheni (2012) meneliti pengaruh infrastruktur terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan variabel infrastruktur
panjang jalan, akses rumah tangga terhadap air bersih, dan akses rumah tangga
terhadap listrik dengan menggunakan metode estimasi data panel. Hasil penelitian

8

ini menunjukkan bahwa peningkatan infrastruktur dapat menguruangi tingkat
kemiskinan secara signifikan.

Kerangka Pemikiran Konseptual
Berdasarkan hipotesis yang telah diajukan, maka penelitian ini menganalisis
hubungan tidak langsung antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat
pengangguran. Untuk menganalisis hubungan tersebut, maka kerangka pemikiran
konseptual yang diajukan adalah sebagai berikut:

Gambar 3 Kerangka pemikiran konseptual

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder 150
kabupaten/kota di Indonesia dengan rincian 66 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan
84 kabupaten/kota di luar Jawa tahun 2007-2011. Pemilihan kabupaten/kota
dilakukan berdasarkan kelengkapan dan ketersediaan data, serta kemerataan

9

terhadap 5 Pulau Besar di Indonesia yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistk (BPS).
Data yang diperoleh kemudian ditranformasi dalam bentuk data panel, yaitu
kombinasi data time series dan data cross section. Studi pustaka dilakukan
terhadap jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Data sekunder yang digunakan akan dijelaskan pada Tabel 2
sebagai berikut :
Tabel 2 Jenis, variabel, dan sumber data
No. Jenis Data
1 Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) (persen)
2 Ratio panjang jalan kondisi baik
terhadap luas wilayah (km/km2)
3 Banyaknya rumah tangga yang
menggunakan sumber penerangan
berasal dari listrik PLN (persen)
4 Banyaknya rumah tangga yang
menggunakan sumber air minum
berasal dari air kemasan, air isi
ulang, dan ledeng meteran (persen)
5 Kepadatan jumlah ranjang rumah
sakit (unit/1000 orang)
6 Kepadatan
jumlah
sekolah
(unit/1000 orang)

Variabel
UNit
JLNit
LTKit

Sumber
Badan Pusat Statistik
(BPS), Sakernas
Badan Pusat Statistik
(BPS)
Badan Pusat Statistik
(BPS), Susenas

AIRit

Badan Pusat Statistik
(BPS), Susenas

TTit

Badan Pusat Statistik
(BPS)
Badan Pusat Statistik
(BPS)

SKit

Metode dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan deskriptif.
Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji kaitan antara ketersediaan
infrastruktur dengan tingkat pengangguran. Analisis ini menggunakan metode
data panel. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk
melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya
menggunakan data time series saja atau data cross section saja (Gujarati, 2003).
Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
Eviews 6.1 dan Microsoft Excel 2010. Analisis deskriptif digunakan dengan
bantuan grafik dan diagram untuk memaparkan kondisi ketersediaan infrastruktur
dan pengangguran di Pulau Jawa dan luar Jawa.

Metode Data Panel
Data panel merupakan gabungan antara data cross section dan data time
series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu
terhadap banyak individu sedangkan data time series adalah data yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Data umumnya
diperoleh melalui survey yang berulang atau dengan mengikuti perkembangan

10

sample selama beberapa kurun waktu. Data panel juga biasa juga disebut dengan
time series cross section data, longitudinal data, microdata panel, ataupun cohort
analysis. Menurut Baltagi (2001), kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data
panel adalah:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas di antara
variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien.
3. Data panel lebih baik untuk studi dynamic of adjustment.
4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak
dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series.
5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioral
models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section
atau time series.

Pengujian Kesesuaian Model
Untuk memilih metode serta model mana yang paling tepat dalam
pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan,
antara lain :
1. Chow Test, yaitu pengujian untuuk memilih apakah model yang digunakan
Pooled Least Square (PLS) atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini
hipotesisnya adalah :
H0 = Model Pooled Least Square (Restricted)
H1 = Model Fixed Effect (Unrestricted)
Jika nilai CHOW (F statistik) > FN-1, NT-N-K maka dapat dikatakan sudah
cukup bukti untuk menolak H0, sehingga model yang digunakan adalah
model Fixed Effect.
2. Hausman Test, yaitu pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam
memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random
effect. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :
H0 = Random Effect Model
H1 = Fixed Effect Model
Sebagai dasar penolakan hipotesis nol yaitu jika statistik Hausman > Chi
Square Table atau dapat juga dengan menggunakan nilai probabilitas (pvalue). Jika p-value < tingkat kritis α, maka tolak H0.
FIXED EFFECT
HAUSMAN
TEST

CHOW
TEST

RANDOM EFFECT
LM TEST
POOLED LEAST SQUARE

Sumber: Syahrial, 2004

Gambar 4 Pengujian pemilihan model dalam pengolahan data panel

11

Uji Kriteria Ekonometrik
Uji kriteria ekonometrik pada data panel harus memenuhi 3 uji utama yaitu
Uji Multikolinearitas, Uji Autokorelasi, dan Uji Heteroskedastisitas. Adapun
pengertian dari ketiga uji tersebut adalah:
Uji Multikolinearitas
Asumsi ini menyatakan bahwa tidak adanya keterkaitan atau hubungan
linier antarvariabel bebas penyusun model. Jika ada hubungan linier antara dua
atau lebih variabel bebas maka dikatakan terjadi multikolinearitas, dan hal
tersebut merupakan penyimpangan asumsi. Klein berpandapat bahwa untuk
mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas, maka dapat dilakukan dengan
membandingkan nilai uji korelasi rij2 (koefisien determinasi parsial antara 2
variabel bebas) dengan nilai R2 (koefisien determinasi). Jika nilai rij2 lebih kecil
daripada nilai R2, maka tidak terjadi multikolinearitas yang serius. Jika nilai rij2
lebih besar daripada nilai R2, maka terjadi masalah multikolinearitas yang serius
(Koutsoyiannis 1977).
Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi antara serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu. Autokorelasi pada umumnya lebih sering terjadi pada
data deret waktu (time series) walaupun dapat terjadi pada data cross section.
Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Ada tidaknya
autokorelasi dapat diketahuidengan membandingkan nilai Durbin-Watson (DW)
statistik dengan DW-tabel. Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam
Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Selang nilai statistik DW dan keputusannya
Nilai DW
4-dL < DW < 4
4-dU < DW < 4-dL
dU < DW < 4-dU
dL < DW < dU
0 < DW < dL

Keputusan
Tolak H0; ada autokorelasi negatif
Tidak tentu, coba uji yang lain
Terima H0
Tidak tentu, coba uji yang lain
Tolak H0; ada autokorelasi positif

Sumber: Juanda, 2009

Uji Heteroskedastisitas
Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
penduga parameter dalam model tersebut bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased,
Estimator) adalah Var(ui) = σ2 (konstan), yang berarti bahwa semua varian
mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas sering
ditemukan pada data cross section. Jika pada model ditemukan masalah
heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan
konsisten. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan
metode Generalized Least Square (GLS). Metode ini merupakan metode kuadrat
terkecil yang terboboti, dimana model ditransformasi dengan memberikan bobot
pada data asli (Juanda, 2009).

12

Model Statistika untuk Pengujian Hipotesis
Untuk menganalisis keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat
pengangguran, maka digunakan 5 variabel bebas ketersediaan infrastruktur yang
meliputi infrastruktur jalan, listrik, air bersih, kesehatan, dan pendidikan.
Sedangkan, variabel independennya adalah tingkat pengangguran yang
menggunakan indikator TPT. Dalam penelitian ini dilakukan pemisahan model
pada Pulau Jawa dan luar Jawa untuk mengetahui perbedaan besarnya dampak
dari variabel bebas terhadap variabel independen pada masing-masing kawasan
sehingga selanjutnya dapat memberikan rekomendasi yang tepat pada masingmasing kawasan. Untuk mempermudah dalam interpretasi model yang diperoleh,
maka digunakan transformasi logaritma natural (ln) pada model untuk variabel
bebas JLN, TT dan SK. Penggunaan logaritma natural digunakan untuk
mengurangi perbedaan signifikan antara observasi yang bernilai besar dengan
observasi yang bernilai kecil. Selain itu, konversi ke bentuk logaritma natural
bertujuan untuk membuat data tersebut tetap terdistribusi normal.
Adapun kedua model tersebut adalah sebagai berikut:
UNit = α1 + α2AIRit + α3LTKit + α4lnJLNit + α5lnTTit + α6lnSKit + Ԑit
(1)
UNit = β1 + β 2AIRit + β3LTKit + β4lnJLNit + β5lnTTit + β6lnSKit + Ԑit
(2)
Keterangan :
(1)
: Model 1 untuk kasus di Pulau Jawa
(2)
: Model 2 untuk kasus di luar Jawa
α1, β1
: Intersep pada masing-masing model
α2, β2
: Slope variabel lnJLN pada masing-masing model
α3, β3
: Slope variabel LTK pada masing-masing model
α4, β4
: Slope variabel AIR pada masing-masing model
α5, β5
: Slope variabel lnTT pada masing-masing model
α6, β6
: Slope variabel lnSK pada masing-masing model
εit
: Error term pada masing-masing model
i
: Kabupaten/kota; i= 1,2,3,...,150
t
: Time series; t= 1,2,3,4,5 (mewakili tahun 2007-2011)

GAMBARAN UMUM

Gambaran Umum Ketersediaan Infrastruktur Indonesia
Infrastruktur secara umum merupakan sarana yang digunakan sebagai
penggerak sektor perekonomian. Sebagai ukuran ketersediaan sarana transportasi
digunakan panjang jalan. Jalan menurut Kementrian Pekerjaan Umum dibedakan
menjadi 4 yaitu jalan baik, jalan sedang, jalan rusak, dan jalan rusak berat. Jalan
yang digunakan adalah jalan baik yaitu jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan
dengan kecepatan 40-60 km/jam dan selama 2 tahun mendatang tanpa rehabilitasi
pada pengerasan jalan. Pemilihan jenis jalan ini karena dapat membantu kegiatan
ekonomi masyarakat terutama pada proses distribusi barang dan jasa. Gambar 5
menunjukkan pertumbuhan rata-rata kepadatan jalan di Pulau Jawa dan luar Jawa

13

cenderung tetap dengan rata-rata sebesar 1.03 km/km2 dan 0.49 km/km2. Pulau
Jawa memiliki kepadatan jalan yang lebih baik dibandingkan luar Jawa.
Pulau Jawa

Luar Jawa

Panjang Jalan (km/km2)

1.20
1.00

1.07
0.97

0.80

1.04

1.06
0.98

0.60
0.40
0.20

0.41

0.41

2007

2008

0.57

0.52

0.53

2009

2010

2011

0.00
Tahun
Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 5 Rata-rata panjang jalan di Pulau Jawa dan luar Jawa 2007-2011
Pertumbuhan infrastruktur jalan cenderung konstan dengan rata-rata
tingkat pertumbuhan yang rendah. Pada Pulau Jawa peningkatan panjang jalan
hanya sebesar 0.01 km/km2, kondisi ini menunjukkan bahwa kecepatan
pembangunan infrastruktur jalan yang baru hanya sedikit lebih cepat dibandingkan
kecepatan kerusakan kondisi jalan. Pada luar Jawa terjadi peningkatan panjang
jalan sebesar 0.12 km/km2, kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan Pulau
Jawa. Meskipun jumlah infrastruktur jalan di Pulau Jawa lebih baik dibandingkan
dengan Luar Jawa, namun pertumbuhan infrastruktur jalan di luar Jawa lebih baik.
Hal tersebut lebih disebabkan karena pengguna jalan yang lebih banyak di Pulau
Jawa sehingga menyebabkan kerusakan pada kondisi jalan lebih cepat terjadi.
Untuk membantu kegiatan ekonomi maka dibutuhkan modal untuk
melakukan proses produksi seperti ketersediaan air bersih dan listrik. Rata-rata
rumah tangga yang mendapat akses air bersih di Pulau Jawa adalah sebesar 21.1%
dan pada tahun 2007-2011 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata
peningkatan sebesar 15.1%. Untuk kasus luar Jawa, rata-rata rumah tangga yang
mendapat akses air bersih adalah sebesar 29.6% dan pada tahun 2007-2011 terus
mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 8.25% (Gambar 6).
Akses rumah tangga pada air bersih lebih tinggi di luar Jawa dibandingkan Pulau
Jawa. Namun, tingkat pertumbuhannya lebih tinggi di Pulau Jawa. Menurut
Abernethy (1997), jumlah penggunaan air sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan dan jumlah penduduk. Hasil sensus penduduk tahun 2010
menunjukkan bahwa 6 provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk sebesar
136 610 590 jiwa atau 57.5% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan luas
wilayah yang hanya sebesar 6.77% luas wilayah Indonesia, Pulau Jawa
menampung lebih dari setengah populasi. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
masih menjadi masalah kesejahteraan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa.

14

Air Pulau Jawa

Air Luar Jawa

Listrik Pulau Jawa

Listrik Luar Jawa

120
100
80
60
40
20
0
2007

2008

2009

2010

2011

Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 6 Rata-rata persentase akses rumah tangga yang menggunakan air bersih
dan listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa 2007-2011
Jumlah penduduk yang padat menjadi kendala utama kurangnya akses air
bersih di Indonesia. Penyediaan air bersih merupakan salah satu sasaran utama
pemerintah, salah satunya ditunjukkan pada program Millenium Development
Goals (MDGs). MDGs menargetkan pada tahun 2015 ketersediaan air bersih telah
mencapai 50% dari total jumlah rumah tangga. Berdasarkan rata-rata
pertumbuhan akses air bersih, Pulau Jawa memiliki rata-rata pertumbuhan air
bersih sebesar 15.1%, jika tingkat pertumbuhan ini dianggap konstan, maka pada
tahun 2015 akses rumah tangga terhadap air bersih hanya mencapai 40.4% yang
berarti target yang diinginkan tidak tercapai. Pada kawasan luar Jawa,
pertumbuhan akses terhadap air bersih sebesar 8.8%, dengan pertumbuhan yang
konstan maka pada tahun 2015 Rumah Tangga yang telah mendapat akses air
bersih hanya sebesar 44.6%. Berdasarkan nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa
secara umum akses rumah tangga terhadap air bersih masih rendah. Hasil ini
sesuai dengan yang disampaikan UNICEF yaitu saat ini Indonesia tidak berada
pada arah yang tepat dalam upaya akselerasi ketersediaan air bersih, karena
provinsi-provinsi dengan kinerja yang baik (Jawa Tengah dan Yogyakarta) masih
mengalami masalah air bersih, ditambah telah terjadi penurunan akses air bersih1.
Akses air bersih di kedua kawasan masih sangat rendah, hal tersebut juga
dipengaruhi masih banyaknya rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih
berasal dari sumber air tidak terlindung dan sumur bor (Gambar 7).

UNICEF Indonesia. 2012. Dalam Artikel “Ringkasan kajian Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan”
[www.unicef.or.id]

1

15

Air Kemasan
Bermerk
Air Isi Ulang

3%
7%
20%

10%

18%

Ledeng Meteran

37%
10%

Ledeng Eceran
13%

3%
29%
21%

Pulau Jawa

18%

9%

2%

Sumur Bor
Sumur
Terlindung
Lainnya

Luar Jawa

Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 7 Persentase penggunaan sumber air minum berdasarkan sumbernya di
Pulau Jawa dan Luar Jawa 2011
Modal selanjutnya untuk membantu kelancaran proses produksi adalah
ketersediaan sumber energi utama yaitu listrik. Rata-rata rumah tangga yang
mendapat akses listrik di Pulau Jawa adalah sebesar 97.8% dan pada tahun 20072011 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 0.4%.
Untuk kawasan luar Jawa, rata-rata rumah tangga yang mendapat akses listrik
adalah sebesar 79.7% dan mengalami pertumbuhan yang negatif pada tahun 2009
dan 2011. Rata-rata tingkat pertumbuhan mengalami peningkatan sebesar 1.5%
(Gambar 6). Tingkat elektrifikasi di kedua kawasan cukup baik, Data The World
Bank tahun 2009 menunjukkan bahwa tingkat elektrifikasi dunia hanya sebesar
66.7%.
Akses rumah tangga pada listrik lebih tinggi di Pulau Jawa dibandingkan
luar Jawa, bahkan di Pulau Jawa ketersediaan listrik hampir dapat dinikmati oleh
seluruh rumah tangga. Karakteristik Pulau Jawa yang didominasi oleh sektor
industri menyebabkan perkembangan akses terhadap listrik sangat tinggi.
Penyediaan tenaga listrik dihadapkan pada beberapa masalah, diantaranya kondisi
geografis dan demografis yang membuat banyaknya pulau-pulau dengan
penduduk yang tidak merata sulit mendapatkan ekses listrik. Adanya pulau-pulau
besar dengan penduduk yang padat memungkinkan dikembangkan sistem
interkoneksi, sedangkan untuk pulau yang memiliki penduduk yang sedikit dan
tersebar harus lebih ditangani. Perlu dikembangkan teknologi tertentu untuk
penyediaan tenaga listrik sesuai karakteristik masing-masing daerah. Jika ditinjau
dari pertumbuhan kedua variabel tersebut, perkembangan air bersih tumbuh lebih
progresif dibandingkan dengan listrik.

16

Pulau Jawa

Luar Jawa

Jumlah (Unit/1000 orang)

1.3
1.2
1.1

1.2

1.2

1.19

1.2

0.73

0.71

0.71

0.7

2008

2009

2010

2011

1.15

1
0.9
0.8

0.68

0.7
0.6
0.5
2007

Tahun
Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 8 Pertumbuhan rata-rata kepadatan sekolah di Pulau Jawa dan Luar Jawa
2007-2011
Berdasarkan Gambar 8, ketersediaan infrastruktur kesehatan yang diwakili
oleh jumlah ranjang rumah sakit, Pulau Jawa memiliki rata-rata kepadatan ranjang
rumah sakit sebesar 0.76 setiap tahunnya. Ditinjau berdasarkan tingkat
pertumbuhannya, terjadi rata-rata pertumbuhan yang cukup baik yaitu sebesar
5.68% setiap tahunnya. Ketersediaan infrastruktur pendidikan yang diwakili oleh
jumlah sekolah memiliki rata-rata kepadatan sebesar 0.71 setiap tahunnya.
Ditinjau berdasarkan tingkat pertumbuhannya, terjadi rata-rata pertumbuhan yang
cukup rendah yaitu sebesar 0.64% setiap tahunnya. Pada periode tahun 2009-2011
pertumbuhannya negatif, hal tersebut diduga disebabkan karena berkurangnya
jumlah sekolah akibat meningkatnya jumlah sekolah tidak layak huni, namun
populasi terus meningkat. Pada kawasan luar Jawa, rata-rata kepadatan ranjang
rumah sakit sebesar 0.99 setiap tahunnya. Ditinjau berdasarkan tingkat
pertumbuhannya, terjadi rata-rata pertumbuhan yang cukup baik yaitu sebesar
5.35% setiap tahunnya. Ketersediaan infrastruktur pendidikan memiliki rata-rata
kepadatan sebesar 1.99 setiap tahunnya. Ditinjau berdasarkan tingkat
pertumbuhannya, terjadi penurunan sebesar 0.0001. Meskipun pertumbuhannya
negatif, kondisi kepadatan sekolah di luar Jawa dapat dikatakan cenderung
konstan dengan nilai ragam yang sangat kecil yaitu sebesar 0.0005.
Ketersediaan infrastruktur sosial di luar Jawa memiliki kondisi yang lebih
baik dibandingkan dengan di Pulau Jawa, namun jika ditinjau dari tingkat
pertumbuhannya maka Pulau Jawa lebih baik dibandingkan dengan luar Jawa.
Ketersediaan infrastruktur kesehatan di kedua kawasan tumbuh cukup tinggi,
namun ketersediaan infrastruktur pendidikan tumbuh lambat dengan rata-rata
yang cenderung konstan.

17

Pulau Jawa

Luar Jawa

Jumlah (Unit/1000 orang)

1.2
1.1
1
0.9

0.96

1.01

1.03

0.87

0.8

0.86

0.7
0.6

1.07

0.69

0.71

2007

2008

0.75

0.77

2009

2010

0.5
0.4
2011

Tahun
Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 9 Pertumbuhan rrata-rata kepadatan ranjang rumah sakit di Pulau Jawa
dan luar Jawa 2007-2011
Gambaran Umum Pengangguran Indonesia
Ditinjau dari gambaran umum tingkat pengangguran provinsi-provinsi di
Indonesia tahun 2011, terdapat 10 provinsi yang memiliki tingkat TPT lebih tinggi
daripada TPT nasional yaitu sebesar 6.56% (Gambar 10). Provinsi-provinsi
tersebut adalah Banten, Jakarta, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Papua Barat,
Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Aceh, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Banten
adalah provinsi dengan tingkat TPT tertinggi yaitu 13.06%. Sepuluh provinsi
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu provinsi-provinsi
dengan PDRB per kapita yang tinggi seperti Jakarta, Kalimantan Timur,
Kepulauan Riau, dan Papua Barat. Provinsi lainnya memiliki kecenderungan
tingkat PDRB per kapita yang rendah.
PDRB per kapita yang tinggi menjadi daya tarik tersendiri untuk
meningkatkan jumlah migrasi masuk ke daerah tersebut, sehingga terjadi
peningkatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang tinggi menyebabkan
tingginya jumlah pencari kerja yang berujung pada peningkatan tingkat
pengangguran di daerah tersebut. Kasus kedua yaitu tingkat PDRB per kapita
yang rendah dapat menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi karena
kemampuan daerah tersebut untuk menciptakan lapangan kerja yang rendah,
sehingga tidak mampu menyerap keseluruhan angkatan kerja yang ada.

18

Rata-rata TPT Nasional

PDRB per Kapita

14.0

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

12.0
TPT (%)

10.0
8.0
6.0
4.0
2.0
-

PDRB per Kapita (Juta Rp.)

TPT

Provinsi
Sumber: BPS RI (diolah) 2011

Gambar 10 Perbandingan TPT provinsi, rata-rata TPT nasional, dan PDRB per
kapita 2011
Berdasarkan pembagian wilayah administratif kota dan kabupaten di
Indonesia, 64% daerah kota memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi
daripada tingkat pengangguran nasional, sedangkan hanya 30% kabupaten yang
memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi dari tingkat pengangguran
nasional. Selain itu, rata-rata tingkat pengangguran daerah kota tahun 2007-2011
lebih tinggi dibandingkan rata-rata daerah kabupaten (Gambar 11). Fakta tersebut
menunjukkan bahwa daerah kota yang dianggap menarik oleh para pencari kerja
ternyata menimbulkan tingkat pengangguran yang tinggi di daerah tersebut.
Kabupaten

Kota

11.0

10.8

Total

14.0
11.8

TPT (%)

12.0
10.0

9.3
8.2

7.8

8.0
6.0

7.2

6.9

7.3

7.8
6.5
6.0

6.3

4.0

5.7

5.5

2010

2011

2.0
2007

2008

2009
Tahun

Sumber: BPS RI (diolah)

Gambar 11

Perbandingan rata-rata TPT berdasarkan daerah administratif
kabupaten dan kota 2007-2011

19

Ditinjau dari tingkat pengangguran di tahun awal dan akhir penelitian,
terjadi penurunan rata-rata tingkat pengangguran di Pulau Jawa dan luar Jawa.
Pada tahun 2007 rata-rata tingkat pengangguran di Pulau Jawa sebesar 8.80% dan
luar Jawa 7.80%. Pada akhir tahun penelitian tahun 2011, kedua kawasan tersebut
mengalami penurunan tingkat pengangguran yaitu 6.25% untuk Pulau Jawa dan
5.79% untuk luar Jawa. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kabupaten/kota di
Pulau Jawa memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi.
Pada tahun 2007, daerah yang memiliki tingkat pengangguran terendah di
Pulau Jawa adalah Kota Blitar dengan tingkat pengangguran sebesar 1.5%,
sedangkan di luar Jawa adalah Kabupaten Aceh Besar dengan tingkat
pengangguran sebesar 0.02%. Tingkat pengangguran tertinggi di Pulau Jawa
adalah Kota Sukabumi dengan tingkat pengangguran sebesar 22.15%, sedangkan
Kota Palopo dengan tingkat pengangguran sebesar 20.80% menjadi daerah
dengan tingkat pengangguran tertinggi di luar Jawa.
Tabel 4 Perbandingan perkembangan TPT Pulau Jawa dan luar Jawa 2007 dan
2011
Indikator
Rata-rata
Minimum
Maximum

Pulau Jawa
2007
2011
8.80
5.79
1.50
0.04
22.15
19.40

Luar Jawa
2007
7.88
0.02
20