Correlation between Parents, Mass Media, and Peers with Youth Attitude Towards Agricultural Livelihood (Case: Agricultural Youth in Subdistrict of Pacet, District of Cianjur).

(1)

HUBUNGAN ORANG TUA, MEDIA MASSA, DAN TEMAN DENGAN

SIKAP PEMUDA TERHADAP PEKERJAAN DI BIDANG PERTANIAN

(Kasus Pemuda di Desa Cipendawa dan Desa Sukatani, Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur)

YOGAPRASTA ADI NUGRAHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan Orang Tua, Media Massa, dan Teman dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian: Kasus Pemuda di Desa Cipendawa dan Desa Sukatani,” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Yogaprasta Adi Nugraha NRP I 352 090061


(3)

ABSTRACT

YOGAPRASTA ADI NUGRAHA. Correlation between Parents, Mass Media, and Peers with Youth Attitude Towards Agricultural Livelihood (Case: Agricultural Youth in Subdistrict of Pacet, District of Cianjur). Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and DJOKO SUSANTO (Members).

The study about youth attitude was conducted in order to identify about kinds of behavior that would be performed by the youth towards agricultural livelihood. By identifying their attitude, people could be able to estimate response from youth about agricultural livelihood. The objectives of this study were: 1). To identify youth attitude towards agricultural activities. 2). To identify internal characteristics of youth, socialization from parents, mass media exposure, and interaction with peers. 3). To analyze the correlations between internal factors and youth attitude towards agricultural livelihood. 4). To analyze the correlations between socialization from parents, mass media exposure, and interaction with peers with youth attitude towards agricultural livelihood. 5). To analyze the correlations between perception toward rural condition and youth attitude towards agricultural livelihood. A number of 65 respondents were taken as sample. This study resulted several important outputs namely, 1). Majority of youth supported and agreed to work at agricultural setting 2). Majority of the youth were categorized late adolescence, low level of education, their parents were owner of their own farmland, low level in farmland mastery, low level in cosmopolite, low frequency from parents on telling about agriculture, average level on youth involvement in helping parents in farming activities, low frequency on mass media exposure, less than 20 minutes in every opportunity of watching television and also listening radio, low interaction with peers on agricultural sector, and good perception toward rural condition 3). There were several variables correlated to youth attitude towards agricultural livelihood i.e. age, gender, youth involvement in helping parents in farming activities, intensity on watching television, closeness with peers, and perception towards further condition of agricultural development.


(4)

Teman dengan Sikap Pemuda Terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian: Kasus Pemuda Tani di Desa Sukatani dan Desa Cipendawa, Kabupaten Cianjur. Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Djoko Susanto.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi sikap pemuda terhadap pekerjaan di sektor pertanian hortikultura, (2) Mengindentifikasi karakteristik individu pemuda, sosialisasi oleh orang tua, keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio,) dan interaksi dengan teman dari bidang pertanian dalam menyosialisasikan pekerjaan di bidang pertanian. (3) Menganalisis hubungan karakteristik pemuda dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura, (4) Menganalisis hubungan Sosialisasi oleh orang tua, keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio) dan interaksi dengan teman dari bidang pertanian dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di sektor pertanian hortikultura, dan (5) Menganalisis hubungan persepsi pemuda terhadap kondisi di pedesaan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Deskriptif – Korelasional, dengan metode pengambilan sampel secara cluster. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukatani dan Desa Cipendawa di Kecamatan Pacet. 65 orang pemuda yang berumur 13 – 24 tahun, belum menikah, dan orang tuanya merupakan petani dijadikan responden dalam penelitian ini. Analisis data menggunakan analisis data, Rank Spearman, dan Koefisien Kontingensi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Sebagian besar pemuda (66,15%) sikapnya setuju untuk bekerja di bidang pertanian., (2) Mayoritas pemuda yang terkategorikan sebagai dewasa awal, merupakan lulusan SD, merupakan pemilik lahan pertanian yang mereka kelola, dengan luas lahan kurang dari 0,25ha, sebagian besar pemuda tani tingkat kekosmopolitannya rendah, frekuensi orang tua bercerita mengenai pertanian tergolong rendah, tingkat pelibatan pemuda oleh orang tua dalam bidang pertanian terkategorikan sedang, frekuensi menonton acara pertaniannya rendah, intensitas untuk sekali menonton acara pertanian kurang dari 20 menit, frekuensi mendengarkan radio acara pertanian juga rendah, intensitas pemuda mendengarkan radio kurang dari 20 menit, tingkat kedekatan dengan teman dari bidang pertanian terkategorikan rendah. Sebagian besar pemuda menilai bahwa terdapat banyak kesempatan kerja di pedesaan, sumberdaya alam di desa juga memiliki kondisi yang sangat baik, dan melihat di masa depan akan membaik, (3) Pada karakteristik internal pemuda, umur dan jenis kelamin mempunyai hubungan nyata dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Semakin dewasa umur seorang pemuda maka sikapnya terhadap pekerjaan di bidang pertanian semakin membaik, (4) Tingkat pelibatan pemuda oleh orang tua di bidang pertanian, lama menonton acara pertanian, dan tingkat kedekatan dengan teman di bidang pertanian berhubungan nyata dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian, (5) Persepsi pemuda terhadap pertanian di masa depan berhubungan nyata dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian


(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

(Kasus Pemuda di Desa Cipendawa dan Desa Sukatani, Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur)

YOGAPRASTA ADI NUGRAHA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Prof. (Ris). Dr. Djoko Susanto, SKM. Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 27 Desember 2011 Tanggal Lulus :

Bidang Pertanian (Kasus Pemuda di Desa Cipendawa dan Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur)

Nama Mahasiswa

: Yogaprasta Adi Nugraha


(9)

PRAKATA

Puji dan Syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Lindungan, dan Kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Hubungan orang tua, media massa, dan teman dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian” disusun sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) untuk memperoleh gelar Magister Sains.

Penelitian dan Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Komisi Pembimbing yaitu Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, M.S (Ketua) dan Prof. (Ris). Dr. Djoko Susanto, SKM (anggota) atas bimbingan, masukan dan sarannya mulai dari penyususan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. 2. Komisi Penguji, Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, M.S yang telah memberikan saran

dan kritik berkaitan dengan penyempurnaan tesis ini.

3. Seluruh staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis, serta staf administrasi di Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian. 4. Kepala Desa Sukatani dan Desa Cipendawa, Pengelola Gapoktan Multi Tani Jaya

Giri Bapak Suhendar, Kang Iliyudin, Kang Didin, Kang Dilla, dan Pak Abdul Sidik (PPL) yang telah memberikan masukan – masukan dan membantu menemani mencari pemuda di Desa Cipendawa dan Sukatani.

5. Orang tua penulis Ibu Ir. Nina Ratna Dewi dan Bapak Ir. Duto Nugroho, M.Si, kakak dan adik Aditya Pandu Nugraha S.P dan Isya Trihusada Nugraha, S.Pd, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan dukungan atas pengerjaan tesis ini. 6. Cita Septiviani, S.P sebagai orang yang senantiasa memberikan motivasi dan

dukungan dalam pengerjaan tesis ini

7. Teman seperjuangan satu bimbingan (Dini Valdiani, S.Sos, Leonard Dharmawan, S.P, Rofiah. S.Ag, Dwi Retno Hapsari, S.P, dan Rahmah Awaliah S.P)

8. Teman-teman KMP S2 2009 (Mas Sardi, Mba Cindo, Bu Susy, Bu Asma, Mas Sigit, Mas Denta, Mba Imani Satriani) atas diskusinya, dukungan, persahabatan dan persaudaraan serta kebersamaannya. Serta KMP S3 2008, 2009, 2010 (Ibu Retno, Pak Tri, Mba Ilona, Bu Siti, Bu Ernita, Bu Eni Kardi, Pak Iwan, Ibu Rita,


(10)

9. Teman – teman yang sampai saat ini masih memberikan motivasi dan dukungan: Agi Rihardian, Faith Ahmad, S.E., Fani A. Putra, S.Krim., Putra Fajar Pratama, S.P. M.M.

10.Tim Sahabat Peneliti (Ivan Triharto, Imam Heriyo, Sonny, Ucok, dan Reisya Mulyadi).

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu dengan segala keterbukaan saran dan kritik tetap diharapkan guna kesempurnaan laporan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Yogaprasta Adinugraha. Lahir di Ungaran Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 7 Desember 1985, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari Bapak Ir. Duto Nugroho, M.Si., dan Ibu Ir. Nina Ratna Dewi.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Sempur pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SDN Sempur Kaler dan tamat pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan di SLTPN 3 Bogor pada tahun 2001 dan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas penulis selesaikan di SMUN 2 Bogor pada tahun 2004.

Penulis berhasil masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB atau yang lebih dikenal dengan sebutan USMI, dan diterima pada pilihan pertama Program Studi Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menduduki bangku kuliah penulis pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Ilmu Penyuluhan selama satu semester, penulis juga aktif mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan dan ikut serta dalam organisasi kemahasiswaan. Penulis pada tahun 2005/2006 sempat menjabat sebagai Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D), di tahun yang sama penulis juga menjadi anggota Departemen Informasi dan Komunikasi HIMASEIP, pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2006/2007 penulis menjabat sebagai Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi HIMASEIP. Besarnya hobi dalam Olahraga Basket membuat penulis bergabung dengan Tim Basket SEIP dan sempat meraih gelar juara ketiga pada tahun 2004/2005 dan berhasil meraih gelar juara pertama pada tahun 2005/2006.

Pada tahun 2008 – 2009 penulis pernah bekerja di Universitas Terbuka Sebagai Associate Researcher Wakil Rektor 4, semenjak tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja sebagai pendiri usaha Sahabat Peneliti. Penulis pada tahun 2009 diterima menjadi mahasiswa pascasarjana Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB.


(12)

DAFTAR TABEL ... ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ... viii

\DAFTAR LAMPIRAN... ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 6

Tujuan Penelitian... ... 7

Manfaat Penelitian... ... 8

TINJAUAN PUSTAKA... ... 9

Sikap... 9

Sistem Ekologi Manusia... 15

Keluarga... 17

Sosialisasi... ... 18

Nilai dan Pandangan terhadap Pertanian ... 25

Sikap terhadap Pekerjaan Pertanian ... 26

Pemuda... 28

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS... ... 33

Kerangka Berpikir ... 33

Hipotesis... ... 38

METODE PENELITIAN... ... 39

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

Desain Penelitian ... 39

Populasi dan Sampel ... 40

Data dan Instrumentasi ... 42

Validitas dan Reliabilitas ... 42

Analisis Data ... ... 45

Definisi Operasional ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN... 53

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53

Karakteristik Internal Pemuda ... 63

Peran Agen Sosialisasi ... 67

Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 75

Hubungan antara Karakteristik Internal pemuda dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 79

Hubungan antara Umur Pemuda dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 79


(13)

Hubungan antara Tngkat Pendidikan Pemuda dengan

Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 81

Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 81

Hubungan antara Status Kepemilikan Lahan Orang tua Pemuda dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 83

Hubungan antara Luas Lahan Pertanian dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 83

Hubungan antara Tingkat Kekosmopolitan Pemuda dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 84

Hubungan Sosialisasi oleh Orang Tua, Keterdedahan Media dan Interaksi dengan Teman dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian... 84

Hubungan Persepsi Pemuda dengan Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 89

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian ... 91

Ketertarikan Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian Hortikultura ... 93

KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

Kesimpulan... ... 97

Saran... ... 97

DAFTAR PUSTAKA... ... . 97


(14)

1. Tahapan dalam rentang kehidupan... 30

2. Jumlah pemuda dan proporsi pemuda di dunia... 31

3. Batas wilayah Desa Cipendawa dan Desa Sukatani... 53

4. Luas wilayah menurut penggunaan lahan... . 54

5. Kondisi demografi Desa Cipendawa dan Desa Sukatani... . 55

6. Pemilikan lahan pertanian... . 57

7. Sebaran umur pemuda... . 63

8. Sebaran tingkat pendidikan pemuda... . 64

9. Sebaran jenis kelamin pemuda... . 64

10.Sebaran status kepemilikan lahan orang tua... . 65

11.Sebaran luas lahan pertanian sayuran yang di garap orang tua... . 65

12.Sebaran tingkat kekosmopolitan pemuda... . 66

13.Frekuensi orang tua membicarakan pertanian... . 67

14.Tingkat pelibatan pemuda oleh orang tua ... 68

15.Frekuensi pemuda menonton acara pertanian ... .. 69

16.Intensitas menonton acara pertanian... . 70

17.Frekuensi mendengarkan acara pertanian di radio... 70

18.Intensitas mendengarkan acara pertanian………... 71

19.Tingkat kedekatan dengan teman di bidang pertanian... . 72

20.Persepsi terhadap kesempatan kerja di desa... . 73

21.Persepsi terhadap kondisi sumberdaya alam di desa... . 74

22.Persepsi terhadap pertanian di masa yang akan datang... . 75

23.Sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian... . 76

24.Sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian (per indikator)... . 78

25.Hubungan antara karakteristik internal pemuda dengan sikap terhadap pekerjaan di Bidang Pertanian... . 79

26.Hubungan antara sosialisasi oleh orang tua, teman, dan keterdedahan terhadap media dengan sikap terhadap pekerjaan di bidang pertanian... . 85

27.Hubungan antara persepsi pemuda terhadap faktor pendorong di pedesaan dengan sikap terhadap pekerjaan di bidang pertanian ... ... 90

28.Faktor agen sosialisasi yang berhubungan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian ... 92


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Model sistem ekologi dalam proses sosialisasi... 34 2. Kerangka berpikir hubungan orang tua, media massa, dan teman dengan

sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian ... 37 3. Kerangka penarikan sampel ... 41


(16)

1. Kuesioner Penelitian ... ... ... 103 2. Foto – foto ... ... ... 111 3. Hasil olah data SPSS ... ... 113


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor unggulan yang berkontribusi sebesar 15,3 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2009. Pertimbangan lain yang menguatkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor unggulan di Indonesia ketika ekspor produk non-pertanian mengalami penurunan, ekspor produk pertanian justru mengalami peningkatan tajam. Berangkat dari pertimbangan–pertimbangan itulah sektor pertanian patut dipertimbangkan sebagai alternatif andalan pembangunan ekonomi nasional menggantikan sektor industri (high tech industry) yang telah terbukti tidak sesuai untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan (Syam dan Dermoredjo, 2000). Daryanto (2009) juga mengatakan bahwa sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan PDB, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan sektor pertanian juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain: (a) sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) yang erat kaitannya dengan ketahanan sosial (socio security), stabilitas ekonomi, politik dan ketahanan nasional (nasional security); (b) sektor pertanian menghasilkan bahan baku untuk peningkatan sektor industri dan jasa; (c) sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor; (d) sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produk sektor industri; (e) transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, dan (f) sektor pertanian mampu menyediakan modal bagi pengembangan sektor–sektor lain; (g) peran pertanian dalam penyediaan jasa – jasa lingkungan.

Dalam rangka menjadikan dan mendukung sektor pertanian sebagai sektor unggulan yang menjadi dasar pembangunan ekonomi negara Indonesia maka pertanian sangat dipengaruhi oleh 2 (dua) aspek atau faktor penting yang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian, yaitu sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang menunjang sektor pertanian secara komprehensif dan berkelanjutan. Sumberdaya alam merupakan peubah yang sifatnya naturally given, sementara itu sumberdaya


(18)

manusia merupakan subyek atau pelaku pertanian bumi ini yang dapat menjalankan kegiatan pertanian atau dengan kata lain manusia merupakan motor dari berhasil atau tidaknya suatu kegiatan pertanian. Sumberdaya manusia diharapkan bisa sebagai fasilitator, motor, motivator dan dinamisator pembangunan pertanian agar terjadi gerakan pembangunan pertanian. Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor penentu dalam program pembangunan dari segala bidang. Kondisi SDM pertanian Indonesia saat ini termasuk rendah, khususnya petani yang antara lain bercirikan tingkat pendidikan yang tergolong relatif rendah. Menurut data BPS 2010 terdapat tenaga kerja petani sebanyak 41,49 juta orang orang atau 40 persen dari jumlah tenaga kerja nasional (Deptan, 2005).

Fakta mengkhawatirkan yang tidak bisa dilepaskan juga dari SDM petani di Indonesia adalah sebanyak 35,5 persen tenaga kerja petani memiliki pendidikan tidak tamat SD, sedangkan yang tamat SD sebanyak 46,2 persen, sementara itu untuk petani yang memiliki pendidikan terakhir SLTP terdapat sebesar 12,8 persen dan SLTA sebesar 5,2 persen. Ironisnya orang yang berkerja di bidang pertanian yang berasal dari lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 0,3 persen. Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya minat generasi muda untuk memasuki jalur pendidikan formal di bidang pertanian yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendaftaran pada Sekolah Pertanian Tingkat Menengah maupun Tingkat Perguruan Tinggi pertanian (Deptan, 2005). Persoalan ini akan menjadi masalah serius di masa yang akan datang apabila tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Secara tidak langsung jika dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki petani di Indonesia, menunjukan bahwa banyak petani yang bekerja tidak well-educated sehingga akan berperan terhadap keterbatasan daya pikir, wawasan, dan kreativitas para petani dalam menghadapi persoalan–persoalan di bidang pertanian.

Kondisi sebagian besar petani berpendidikan tidak tamat SD dan tamat SD sebanyak 81,7 persen, hal ini menjadi masalah yang patut dicermati secara mendalam dan serius. Masalah tidak selesai pada itu saja, hasil survei Badan Pengembangan SDM Pertanian Kementrian Pertanian dalam Deptan (2005) menunjukkan bahwa 70 persen dari petani di Indonesia telah berumur di atas 50 tahun. Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa minat pemuda bekerja di sektor pertanian memiliki tendensi menurun. Rendahnya partisipasi pemuda pada sektor pertanian merupakan permasalahan yang


(19)

3

sangat mendasar yang dapat berakibat pada hilangnya generasi (lost of generation) penerus di bidang pertanian pada masa yang akan datang. Banyak pemuda yang berasal dari keluarga petani yang justru tidak bekerja di bidang pertanian, mereka lebih memilih sektor lain selain bidang pertanian (non-pertanian), dan yang lebih ironis banyak pemuda yang berasal dari wilayah sentra pertanian justru memilih keluar bidang pertanian. Terdapat pula citra pertanian yang lebih diidentikkan sebagai pekerjaan kotor dan tidak mendatangkan keuntungan atau benefit secara cepat.

Pertanian yang berkualitas, maju dan berkelanjutan tidak dapat dilepaskan sumberdaya manusia yang berkualitas. Peranan agen–agen pembangunan dalam mencitrakan pertanian secara baik kepada pemuda sangat penting dalam rangkat menjaga agar pemuda tetap bertahan di bidang pertanian. Perilaku pemuda pedesaan yang bertahan maupun yang keluar dari bidang pertanian tidak terlepas dari adanya pengaruh dari kebijakan–kebijakan pemerintah yang sifatnya membangun (generating knowledge) dan memberikan harapan yang positif kepada para pemuda. Akan tetapi ketidaktertarikan maupun ketertarikan pemuda untuk bekerja di bidang pertanian tidak semata–mata menjadi tanggung jawab pemerintah, karena pembentukkan perilaku tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sistem–sistem terdekat yang berada di sekitar pemuda yang terbentuk melalui suatu proses sosialisasi dari agen–agen terdekat dengan pemuda (mikro level), karena bagaimana pun gencarnya komunikasi yang dilakukan oleh agen– agen pembangunan dalam rangka merubah perilaku pemuda, selama lingkungan sekitar pemuda tidak sejalan maka akan sulit merubah sikap ataupun perilaku pemuda tersebut.

Tinggi rendahnya partisipasi pemuda di bidang pertanian diawali dari sikap pemuda terhadap pertanian itu sendiri, sementara itu salah satu faktor yang sangat penting dalam membentuk sikap adalah sosialisasi, seperti yang dikatakan oleh Mar’at (1981) sikap merupakan buah atau hasil dari sosialisasi. Berangkat dari pemahaman yang disebutkan oleh Mar’at (1981), maka sikap pemuda yang berada di wilayah pertanian sebenarnya terbentuk melalui sosialisasi yang berasal dari dalam (mikro) orang tua, teman (peers), dan media massa (mass media). Sosialisasi tersebut dilakukan dalam proses komunikasi yang terjadi sehari–hari yang dijalani oleh pemuda tersebut. Orang tua, teman, dan media massa (radio, televisi) merupakan komponen atau unit terkecil dalam suatu sistem sosial yang berhubungan langsung dengan pembentukkan karakter suatu individu (mikro level) oleh karena itu pengaruh ketiga aspek tersebut


(20)

sangat berperan penting dalam menentukan kualitas pembentukkan kepribadian pemuda. Sosialisasi oleh orang tua merupakan aspek penting karena setiap anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses komunikasi. Keluarga mengembangkan serangkaian pesan, perilaku dan harapan tertentu melalui proses komunikasi (Suleeman, 1990). Ketika berbicara mengenai keluarga, maka akan berbicara mengenai keluarga sebagai sebuah sistem yang terdiri dari subsistem–subsistem yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi.

Penelitian mengenai pemuda dan pertanian telah dilakukan sebelumnya oleh Lubis dan Sutarto (1991), Pranadji (1999), Rozany (1999), Herlina (2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Pranadji, Rozany, dan Herlina ditemukan fakta bahwa pemuda kurang tertarik untuk bekerja di bidang pertanian dikarena beberapa hal yaitu: pekerjaan di bidang pertanian kurang menjanjikan dari segi ekonomi, kurang”terhormat”, merupakan pekerjaan yang kotor, melelahkan, dan tidak bergengsi. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Lubis dan Sutarto (1991) menghasilkan temuan yang berbeda dari penelitian–penelitian lainnya, ada konsistensi yang kuat antara pekerjaan utama orang tua dengan pekerjaan anaknya. Berpijak pada beberapa faktor pendorong dan penarik seperti lahan, hubungan sosial, modal, pasar, pola kerja dan aksesibilitas terhadap teknologi, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa nilai pertanian masih memiliki daya tarik bagi pemuda. Selain pengaruh sosialisasi dalam keluarga ketertarikan ini mendapatkan dukungan yang kuat dari ketidaksesuaian mental pemuda ketika memasuki dunia kerja di sektor pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Rozany, Pranadji, Lubis dan Sutarto dilakukan di wilayah pertanian tanaman pangan, sementara penelitian Herlina dilakukan di wilayah perkebunan, sementara pada penelitian ini dilakukan di wilayah pertanian hortikultura (sayuran). Pertimbangan pemilihan komoditas hortikultura karena hortikultura memiliki perbedaan dengan komoditas pertanian lainnya seperti tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Komoditas hortikultura merupakan komoditas komersial (high value commodity) yang memiliki nilai ekonomi yang cenderung masih tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan maupun perkebunan (Saptana et al., 2006), selain hal itu produksi tanaman hortikultura (sayur dan buah-buahan) masih belum mampu memenuhi permintaan masyarakat akan kebutuhan sayuran dan buah–buahan masyarakat. Pertimbangan – pertimbangan tersebut menjadi dasar bahwa minat pemuda di bidang


(21)

5

pertanian hortikultura kemungkinan akan berbeda dengan minat pemuda dari bidang pertanian pangan maupun perkebunan.

Penelitian yang dilakukan Herlina, Rozany, Pranadji, Lubis dan Sutarto tidak melihat bagaimana ekologi membentuk sikap seorang pemuda, tetapi melihat faktor– faktor yang menyebabkan migrasinya pemuda dari bidang pertanian ke bidang non-pertanian, sementara penelitian mengenai sosialisasi yang dilakukan oleh agen–agen sosialisasi (orang tua, media massa, dan teman) dalam membentuk sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana sosialisasi terkait dengan bidang pertanian dalam keluarga, sosialisasi pertanian dengan sesama teman dan media massa ini dapat memberikan pengaruh terhadap sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Rendahnya partisipasi pemuda di bidang pertanian bisa jadi mungkin karena terdapat rendahnya penerusan nilai-nilai pertanian dari orang tua, teman dan media massa yang semakin tidak mendukung pemuda di wilayah pertanian untuk bekerja di sektor pertanian. Interaksi dengan orang tua, teman dan media massa (konteks mikro) sangat memegang peranan penting dalam mempengaruhi proses sosialisasi nilai–nilai dalam suatu keluarga termasuk dalam menentukan pekerjaan mereka. Tidak dapat dipungkiri pada tataran mikro pergeseran nilai kerja pemuda di pedesaan tidak terlepas dari peranan keluarga dan masyarakat. Budaya pedesaan kerap membuat proses pengambilan keputusan seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi, konteks ini menyoroti otonomi pribadi atau nilai subyektivitas sebagai faktor paling dominan dalam proses pengambilan keputusan seseorang Herlina (2002).

Perumusan Masalah

Pertanian menjadi salah satu sektor unggulan di Indonesia, tetapi akhir– akhir ini sektor pertanian mengalami berbagai permasalahan. Dewasa ini terdapat indikasi bahwa pertanian sering dianggap sebagai pekerjaan kotor yang tidak menjanjikan (Muksin, 2007), tetapi terdapat pula orang yang beranggapan petani sebagai pekerjaan yang menjanjikan, perbedaan sikap tersebut yang kemudian berdampak kepada cara pandang petani terhadap pertanian itu sediri sehingga ditenggarai mempengaruhi pertisipasi pemuda di bidang pertanian. Menurut data dari Badan Pengembangan SDM Pertanian Deptan dalam Renstra (2005-2009) menunjukkan bahwa 70 persen dari petani di Indonesia telah berumur di atas 50 tahun (Deptan, 2005).


(22)

Hal tersebut mengindikasikan pertanian di Indonesia mulai ditinggalkan pemuda. Tidak sedikit pemuda yang berasal dari keluarga petani mulai meninggalkan pertanian dan lebih memilih sektor non-pertanian, tetapi bukan berarti tidak ada pemuda yang berasal dari keluarga petani yang terus bekerja di bidang pertanian. Kurangnya minat angkatan kerja muda untuk bekerja dan berusaha di sektor pertanian menjadi salah satu kekhwatiran dalam pembangunan sektor ini.

Sebagai negara agraris yang meletakan pembangunan perekonomian pada pertanian, dalam jangka pendek maupun jangka panjang fenomena rendahnya minat pemuda akan membawa konsekuensi tersendiri. Kelangkaan sumberdaya manusia di sektor pertanian atau keterlibatan sebagian besar tenaga kerja pertanian yang setengah terpaksa akibat tidak terbukanya alternatif lain, mengakibatkan proses produksi tidak optimal. Produktivitas tenaga kerja mengalami hal yang sama. Hal ini akan menghambat perkembangan pembangunan itu sendiri, tetapi masih terdapat pula pemuda yang berasal dari keluarga pertanian yang tetap bekerja di bidang pertanian dan tidak memilih bidang di luar sektor pertanian. Artinya terdapat perbedaan sikap pemuda dalam memandang sektor pertanian sebagai pekerjaan masa depan. Pengaruh dari orang tua. teman, dan media massa akan sangat menentukan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku seorang. Sikap pemuda terhadap pertanian akan dipengaruhi melalui tiga aspek besar yaitu aspek mikro (orang tua, teman dan media massa), aspek meso (lingkungan sekitar), dan aspek makro (Brofenbrenner dalam Puspitawati 2006). Penelitian ini hanya melihat aspek mikro (orang tua, teman, dan media massa) dalam memberikan pengaruh terhadap sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian .

Penelitian mengenai hubungan orang tua, teman, dan media massa terhadap sikap pemuda terhadap pertanian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana orang tua, media massa, dan teman dalam menyosialisasikan pertanian, dan apakah sosialisasi pada tataran keluarga, teman dan media massa secara nyata dapat mempengaruhi sikap pemuda terhadap pertanian. Berangkat dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura? 2. Bagaimanakah karakteristik individu pemuda, sosialisasi oleh orang tua,

keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio) dan interaksi dengan teman di bidang pertanian?


(23)

7

3. Apakah terdapat hubungan karakteristik individu pemuda dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian pertanian hortikultura?

4. Apakah terdapat hubungan sosialisasi oleh orang tua, keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio) dan interaksi dengan teman dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura?

5. Apakah terdapat hubungan antara persepsi pemuda terhadap kondisi di pedesaan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji hubungan antara karakteristik pemuda, dan sosialisasi (orang tua, media massa, dan teman) dalam membentuk sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Secara spesifik penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi sikap pemuda terhadap pekerjaan di sektor pertanian hortikultura.

2. Mengindentifikasi karakteristik individu pemuda, sosialisasi oleh orang tua, keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio,) dan interaksi dengan teman di bidang pertanian.

3. Menganalisis hubungan karakteristik individu pemuda dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura.

4. Menganalisis hubungan Sosialisasi oleh orang tua, keterdedahan terhadap media massa (televisi dan radio) dan interaksi dengan teman dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di sektor pertanian hortikultura.

5. Menganalisis hubungan persepsi pemuda terhadap kondisi di pedesaan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian hortikultura.

Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:

1. Pemerintah, dalam rangka meningkatkan minat pemuda diharapkan melalui penelitian ini pemerintah dapat lebih memperhatikan peranan agen sosialisasi


(24)

primer (orang tua, teman), karena tanpa ada dukungan sosialisasi dari orang tua, teman, maka kebijakan pemerintah tidak akan berpengaruh pada pemuda. 2. Peneliti, dapat memahami secara komprehensif bagaimana proses sosialisasi

yang dilakukan oleh orang tua, teman, dan media massa dalam membentuk sikap pemuda terutama pemuda di bidang pertanian

3. Bidang komunikasi pembangunan, memberikan sumbangan pemikiran bahwa komunikasi pembangunan tidak akan berjalan secara optimal tanpa dibarengi oleh komunikasi pada tataran level mikro.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA Sikap

Definisi Sikap

Thurstone dalam Walgito (2003), memandang sikap sebagai suatu tindakan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek–obyek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi yang negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Menurut Mar’at (1981), sikap merupakan suatu kondisi psikologis yang didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan pada obyek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Mara’at (1981) juga menyebutkan bahwa bahwa sikap merupakan produk dari sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada obyek tertentu berarti penyesuaian diri terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk bereaksi dari orang tersebut kepada obyek.

Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau perilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2003).

Menurut Rakhmat (2005), ada lima hal yang bisa disimpulkan dari berbagai definisi mengenai sikap. Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara–cara tertentu menghadapi obyek sikap. Obyek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Jadi pada kenyataannya tidak ada sikap yang berdiri sendiri. Sikap harus diikuti oleh kata “terhadap’’, atau pada obyek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukanlah sekedar rekaman masa lalu, tetapi menentukan juga apakah orang harus pro dan kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan; meyampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari. Ketiga sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya


(26)

mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.

Struktur Sikap

Menurut Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu komponen kognitif (komponen perseptual), komponen afektif (Komponen emosional), dan komponen konatif (komponen perilaku). Komponen kognitif merupakan komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal yang berhubungan dengan bagaimana orang berpersepsi terhadap obyek sikap. Komponen afektif yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen konatif merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap obyek sikap.

Ciri–Ciri Sikap

Menurut Walgito (2003), sikap memiliki ciri–ciri di antaranya adalah sikap tidak dibawa sejak lahir, sikap itu berhubungan dengan obyek sikap, sikap dapat tertuju pada satu obyek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan obyek–obyek, sikap bisa berlangsung lama atau sebentar, sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.

1. Sikap tidak dibawa sejak lahir

ini berarti manusia pada saat dilahirkan belum membawa sikap–sikap tertentu pada suatu obyek. Karena sikap tidak dibawa sejak individu dilahirkan, ini berarti bahwa sikap itu terbentuk dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu sikap terbentuk dan dibentuk, maka sikap dapat dipelajari, dan karena itu sikap dapat berubah.


(27)

11

Sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan obyek-obyek tertentu, yaitu melalui proses persepsi terhadap obyek tersebut. Hubungan yang positif atau negatif antara individu dengan obyek tertentu, akan menimbulkan sikap tertentu pula dari individu terhadap obyek tertentu.

3. Sikap dapat tertuju pada satu obyek saja, tetapi dapat tertuju pada sekumpulan obyek– obyek

Bila seseorang mempunyai sikap negatif pada orang lain maka orang tersebut akan mempunyai kecenderungan untuk menunjukan sikap negatif pula kepada kelompok di mana seseorang tersebut tergabung di dalamnya. Di sini terlihat adanya kecenderungan untuk menggeneralisasikan obyek sikap.

4. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar

Kalau sikap telah terbentuk dan telah merupakan nilai dalam kehidupan seseorang, secara relatif sikap itu akan bertahan lama pada diri orang yang bersangkutan.Sikap tersebut akan sulit berubah, dan kalaupun dapat berubah akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sebaliknya bila sikap belum mendalam ada dalam diri seseorang, maka sikap tersebut secara relatif tidak bertahan lama, dan sikap tersebut akan mudah berubah.

5. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi

Ini berarti bahwa sikap terhadap sesuatu obyek tertentu akan selalu diikuti oleh perasaan tertentu yang dapat bersifat positif (yang menyenangkan) tetapi juga dapat bersifat negatif (yang tidak menyenangkan) terhadap obyek tersebut. Di samping itu sikap juga mengandung motivasi, ini berarti sikap itu mempunyai daya dorong bagi individu untuk berperilaku secara tertentu terhadap obyek yang dihadapinya.

Mar’at (1981) juga telah merumuskan dan merangkum perumusan sikap secara umum maka dapat dikatakan:

1. Attitude are learned, hal ini berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan. Tetapi diungkapkan bahwa sikap dipandang sebagai hasil belajar dan diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang berulang – ulang dengan lingkungan.


(28)

2. Attitudes are referent, Sikap selalu dihubungkan dengan obyek sikap seperti manusia, wawasan, pristiwa, ataupun ide.

3. Attitudes are social learning, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain, baik di rumah, sekolah, tempat ibadah, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan, atau percakapan

4. Attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara – cara tertentu terhadap obyek

5. Attitude are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif, ataukah ragu – ragu

6. Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap suatu obyek bisa kuat ataupun bisa lemah.

Pembentukan Sikap

Azwar (1995) mengemukakan bahwa sikap merupakan proses evaluatif yang dilakukan individu. Oleh karena itu, mempelajari sikap berarti perlu juga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaluatif sebuah sikap, yaitu:

1. Faktor-faktor genetik dan fisiologik: Sebagaimana dikemukakan bahwa sikap dipelajari, namun demikian individu membawa ciri sifat tertentu yang menentukan arah perkembangan sikap ini. Di lain pihak, faktor fisiologik ini memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap

2. Pengalaman Personal: Faktor lain yang sangat menentukan pembentukan sikap adalah pengalaman personal atau orang yang berkaitan dengan sikap tertentu. Pengalaman personal yang langsung dialami memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada pengalaman yang tidak langsung. Terdapat dua aspek yang secara khusus memberi sumbangan dalam membentuk sikap, pertama adalah peristiwa yang memberikan kesan kuat pada individu (salientincident), yaitu peristiwa traumatik yang mengubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua yaitu munculnya obyek secara berulang-ulang (repeated exposure).


(29)

13

3. Pengaruh orang tua: Orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak-anaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anak-anaknya. Contoh peristiwa yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah orang tua pemusik, akan cenderung melahirkan anak-anak yang juga senang musik.

4. Kelompok sebaya atau kelompok masyarakat memberi pengaruh kepada individu. Ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya (Ajzen menyebutnya dengan normative belief).

5. Media massa adalah media yang hadir di tengah tengah masyarakat. Berbagai riset menunjukkan bahwa foto model yang tampil di media masa membangun sikap masyarakat bahwa tubuh langsing tinggi adalah yang terbaik bagi seorang wanita. Perubahan Sikap

Sikap bisa diubah dengan berbagai cara. Seseorang bisa menerima informasi baru dari manusia maupun melalui media massa yang mampu mengubah komponen pengetahuan dari sikap seseorang itu. Semenjak adanya kecenderungan untuk konsisten di antara komponen–komponen sikap, perubahan komponen kognitif akan direfleksikan kepada perubahan komponen afektif dan juga perubahan pada komponen konatif. Sikap juga bisa berubah melalui pengalaman langsung terhadap suatu obyek sikap (Triandis, 1971).

Suranto (1999), ada empat faktor yang menentukan sikap yaitu faktor fisiologis, faktor pengalaman, faktor kerangka acuan dan faktor komunikasi sosial.

1. Faktor fisiologis mencakup umur

Pada umumnya anak muda memiliki sikap yang lebih radikal, orang dewasa bersikap lebih moderat.

2. Faktor pengalaman turut mempengaruhi sikap seseorang. Mereka yang pernah mengalami peperangan yang mengerikan akan memberikan sikap negatif terhadap peperangan.

3. Faktor kerangka acuan sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Sesuai tidaknya obyek sikap terhadap kerangka acuan akan berhubungan dengan sikap positif ataupun negatif orang tersebut terhadap suatu obyek.


(30)

4. Faktor komunikasi sosial yang berbentuk informasi dari seseorang kepada orang lain dapat mengakibatkan perubahan sikap terhadap orang tersebut.

Menurut Suranto (1999), perubahan sikap yang mengarah kepada pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, karakteristik sosial, kebutuhan akan inovasi dan sistem sosial yang berlaku. Dalam kaitan ini yang dimaksud karakteristik pribadi mencakup aspek seperti umur, tingkat pendidikan, dan status seseorang dalam bidangnya.

Menurut Mar’at (1981), teori stimulus respon menitikberatkan pada perubahan sikap yang dapat dipengaruhi “kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme”. Karakteristik dari komunikator (sumber) menentukan keberhasilan tentang perubahan sikap seperti kredibilitasnya, kepemimpinannya dan gaya komunikasi. Hosland, Janis dan Kelly dalam Mar’at (1981) beranggapan bahwa proses dari perubahan sikap adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru, ada tiga peubah penting yang menunjang proses belajar tersebut, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan. Menurut Mar’at (1981), terdapat beberapa faktor yang dapat menunjang dan menghambat perubahan sikap. Faktor-faktor yang menghambat antara lain, stimulus

bersifat indeferent sehingga faktor perhatian kurang berperan terhadap stimulus yang diberikan, tidak memberikan harapan untuk masa depan, adanya penolakan terhadap stimulus tersebut, sehingga tidak ada pengertian terhadap stimulus tersebut. Faktor-faktor yang menunjang antara lain, dasar utama terjadinya perubahan sikap adalah adanya imbalan dan hukuman di mana individu mengasosiasikan reaksinya yang disertai dengan imbalan dan hukuman, stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga dapat terjadi perubahan sikap, stimulus mengandung prasangka bagi individu yang mengubah sikap semula.

Pengukuran Sikap

Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya dapat dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung, yaitu subyek dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini dapat dibedakan langsung tidak berstruktur dan langsung


(31)

15

berstruktur. Secara langsung tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free Interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survey misal

public opinion survey, sedangkan cara langsung yang berstruktur, yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan–pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan kepada subyek yang diteliti (Walgito, 2003), sedangkan pengukuran sikap dengan secara tidak langsung ialah pengukuran sikap dengan menggunakan tes.

Sistem Ekologi Manusia

Konsep Ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan ekologi atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga dikaitkan dengan pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat bergantung pada faktor manusianya, yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah ekologi menetapkan adanya ketahanan atau ketegaran (resilience) suatu sistem yang dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem (Soerjani dalam Puspitawati 2009).

Mengingat manusia adalah mahluk sosial yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan antar manusia dengan lingkungannya di sekitarnya, maka manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia akan sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya (baik lingkungan mikro meso, dan makro). Brofenbrenner (1981) dalam Puspitawati (2009) menyajikan model ekologi manusia untuk mengerti proses sosialisasi yang diterima oleh anak. Pada model tersebut dijelaskan bahwa lingkungan Mikrosistem merupakan lingkungan terdekat dengan seorang individu, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut lingkungan mesosistem, dan akhirnya lingkungan yang paling jauh dari individu disebut dengan makrosistem

Pemikiran mengenai sistem merupakan satu konsep yang kompleks, terdiri dari berbagai antar hubungan dan dipisahkan dari lingkungan sekitarnya oleh batasan tertentu. Organisme jelas merupakan contoh sebuah sistem, begitu pula molekul, bangunan, planet,


(32)

dan galaksi. Pemikiran umum sepert ini dapat pula diterapkan pada manusia dengan berbagai tingkat kompleksitasnya. Pada tingkat makro keseluruhan masyarakat dunia (kemanusiaan) yang dapat dibayangkan sebagai sebuah sistem. Pada tingkat mikro, yang dipandang sebagai sebuah sistem, komunitas lokal, asosiasi, perusahaan dan keluarga.

Sementara ini teori sistem juga didefinisikan sebagai suatu kerangka yang terdiri dari beberapa elemen/sub elemen/sub sistem yang saling berinteraksi dan berpengaruh. Konsep sistem digunakan untuk menganalisis perilaku dan gejala sosial dengan berbagai sistem yang lebih luas maupun dengan sub sistem yang tercakup di dalamnya. Contohnya adalah interaksi antar keluarga disebut sebagai sistem, anak merupakan subsistem dan masyarakat merupakan supra sistem, selain kaitannya secara vertikal juga dapat dilihat hubungannya secara horizontal suatu sistem dengan berbagai sistem yang sederajat. Dalam pandangan Talcott Parsons dalam Puspitawati (2006), masyarakat dan suatu organisme hidup merupakan sistem yang terbuka yang berinteraksi dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Sistem kehidupan ini dapat dianalisis melaui dua dimensi yaitu : interaksi antar bagian-bagian/elemen-elemen yang membentuk sistem dan interaksi/pertukaran antar sistem itu dengan lingkungannya. Talcott Parsons membangun suatu teori sistem umum atau teori besar yang berisi empat unsur utama yang tercakup dalam segala sistem kehidupan, yaitu: Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latent Pattern Maintenance.

Sistem terdiri dari empat unsur penting yaitu: (1) Obyek, bagian, elemen, atau peubah dalam sebuah sistem, Obyek ini dapat berupa fisik, abstrak ataupun keduanya, tergantung pada sistem yang hendak dikaji; (2) Sebuah sistem terdiri dari Atribut – atribut, Sifat – sifat yang melekat dalam obyek – obyek tersebut: (3) Di dalam sebuah sistem terdapat hubungan antar obyek – obyek tersebut; dan (4) sebuah sistem hidup dalam sebuah lingkungan. Sebuah sistem merupakan suatu rangkaian yang mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam sebuah lingkungan dan membentuk pola yang lebih besar dan berbeda dengan sistem yang lain. Sebuah sistem memiliki karakteristik masing-masing, biasanya karakteristik tersebut adalah interdependensi, korelasi, sebab–akibat, rantai pengaruh, hirarki, hubungan dengan lingkungan sekitar. Pada perspektif sistem, komunikasi dapat dilihat sebagai proses yang terintegrasi di dalamnya dan bukan proses yang terpisah.


(33)

17

Keluarga

Keluarga adalah wahana untuk dan pertama bagi anggota–anggotanya untuk mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi, serta penyemaian cinta-kasih-sayang antar anggota keluarga. Pengertian keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial–ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang memiliki jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah hubungan perkawinan, adopsi. (Puspitawati, 2006)

Menurut Soelaeman dalam Puspitawati (2006) keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi dan saling memperhatikan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian intensitas komunikasi keluarga adalah tingkatan/ukuran seberapa sering komunikasi/interaksi terjadi di antara orang tua dengan anak dalam rangka memberikan kesan, keinginan, sikap, pendapat, dan pengertian,yang dilandasi rasa kasih sayang, kerja sama, penghargaan, kejujuran, kepercayaan dan keterbukaan di antara mereka.

Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Galvin dan Brommel dalam Tubbs dan Moss (1996) menyatakan bahwa keluarga adalah jaringan orang–orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri mereka sebagai keluarga dan yang berbagi pengharapan– pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan.

Orang tua dan anak adalah jaringan yang terikat oleh hubungan darah. Orang tua mempunyai harapan–harapan tertentu pada anak-anaknya. Mussen et al. dalam

Puspitawati (2006) mengemukakan bahwa orang tua mempunyai tujuan khusus dan umum untuk anak–anak mereka yang meliputi nilai moral, pengetahuan dan standar perilaku yang harus dimiliki anak ketika sudah dewasa. Orang tua mencoba berbagai cara untuk mendorong anak mencapai tujuan tersebut. Orang tua menggunakan diri sebagai panutan


(34)

memberi hukuman, menjelaskan harapan dan kepercayaan kepada anak–anak untuk dapat memiliki lingkungan yang baik.

Sosialisasi

Menurut Ihromi (1999), sosialisasi merupakan suatu proses transmisi kebudayaan antargenerasi, karena tanpa sosialisasi masyarakat tidak dapat bertahan melebihi satu generasi. Syarat penting berlangsungnya proses sosialisasi adalah interaksi, karena tanpa adanya interaksi tidak mungkin adanya proses sosialisasi. Sementara itu menurut Zende

dalam Ihromi (1999), sosialisasi adalah proses interaksi sosial melalui mana seseorang mengenal cara berpikir, berperasaan, dan berperilaku sehingga dapat berperan secara aktif dalam masyarakat. Sementara itu menurut Goslin dalam Ihromi (1999) sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai –nilai dan norma–norma. Sosialisasi adalah satu konsep umum yang bisa dimaknai sebagai sebuah proses di mana seseorang belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana semua itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup. Individu yang baru dilahirkan hanya sebagai mahluk biologis yang memerlukan kebutuhan biologis seperti minum bila haus, makan bila lapar dan bereaksi terhadap suatu rangsang tertentu seperti panas, dingin, dan lain sebagainya. Setelah berinteraksi dengan individu lain yang berada pada lingkungan sekitarnya.

Individu dapat menjadi mahluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan (heredity) atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (nurture). Faktor keturunan adalah faktor–faktor yang di bawa lahir dan merupakan transmisi unsur–unsur dari orang tuanya melalui proses genetika, jadi sudah ada sejak awal kehidupan. Misalnya jenis kelamin, suku bangsa warna kulit, yang kesemuanya tidak bisa diubah lagi. Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi organisme, yang membuat kehidupan bertahan. Misalnya pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya yang dapat berubah–ubah dalam kehidupan individu serta tergantung pada usahanya. Kedua faktor ini sama pentingnya dan saling berinteraksi serta melengkapi dalam membentuk perilaku tertentu dari individu. Jadi perilaku tertentu itu tergantung pada faktor keturunan dan pada apa yang disediakan oleh lingkunganna. Perilaku tertentu tidak mungkin terbentuk hanya


(35)

19

karena faktor keturunan saja tanpa adanya pengaruh dari lingkungannya ataupun sebaliknya. Hanya saja setiap inidividu berbeda–beda dalam perkembangannya mana yang lebih dominan, apakah faktor keturunannya ataukah pengaruh lingkungannya.

Sosialisasi dialami individu sebagai mahluk sosial sepanjang hidupnya dari mulai individu dilahirkan sampai dengan meninggal dunia. Karena interaksi merupakan kunci sukses berlangsungnya sosialisasi maka diperlukan agen sosialisasi yakni orang–orang di sekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai–nilai atau norma tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Agen sosialisasi ini bersifat significant others (orang yang paling dekat dengan individu) seperti orang tua, teman sebaya, dan guru (Ihromi, 1999).

Ihromi (1999) mengatakan bahwa menurut tahapannya sosialisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni:

1. Sosialisasi primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahapan ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak ke dalam dunia umum, dan keluarga berperan sebagai agen sosialisasi.

2. Sosialisasi sekunder, didefinisikan sebagai proses yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru di dunia obyektif masyarakatnya; dalam tahapan ini proses sosialisasi mengarah pada terwujudnya sikap profesionalime pada dunia khusus; dan dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerjaan, dan lingkungan yang lebih luas dari keluarga (Berger dan Luckman dalam Ihromi 1999).

Sosialisasi bisa berlangsung secara tatap muka, bisa juga dalam jarak tertentu melalui sarana media atau surat menyurat, bisa berlangsung secara formal maupun infromal, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang disosialisasikan ataupun orang yang melakukan sosialisasi. Dalam masyarakat yang homogen proses sosialisasi bisa berjalan dengan serasi menurut pola yang sama karena nilai–nilai yang ditransmisikan dalam proses sosialisasi sama. Namun dalam masyarakat yang heterogen di mana terdapat banyak kelompok dengan nilai yang tidak


(36)

sepadan dalam mempengaruhi individu, maka proses sosialisasi tidak berlangsung seperti dalam masyarakat yang homogen. Pada masyarakat yang heterogen terdapat banyak agen sosialisasi di luar keluarga yang menanamkan nilai yang berbeda dengan apa yang ada dalam keluarga, bahkan kadang–kadang bertentangan. Dalam situasi demikian seseorang dapat mengalami proses yang disebut desosialisasi yaitu proses ”pencabutan” nilai yang telah tertanam yang kemudian disusul dengan resosialisasi.

Sosialisasi dalam Keluarga

Individu yang baru dilahirkan sejak awal sudah bukan sekedar makhluk biologis yang hanya membutuhkan makan, minum dan sebagainya, melainkan sekaligus juga makhluk sosial. Sosialisasi akan dialami individu sebagai makhluk sosial sepanjang kehidupannya sejak dilahirkan hingga meninggal. Tempat sosialisasi paling awal bagi individu adalah keluarga. Jadi dapat dikatakan keluarga sebagai sebuah mekanisme sosial agar seseorang individu dapat mengetahui posisi dan kedudukannya sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa. Peran sosialisasi yang dialami seorang anak akan menentukan kepribadiannya di masa mendatang karena agen sosialisasi pada masa anak-anak adalah orang tua dan anggota keluarga lainnya yang merupakan significantothers bagi anak dan orang tualah yang menjadi role mode bagi anak dalam membentuk perilakunya (Ihromi, 1999)

Setiap anggota keluarga akan berinteraksi dan berkomunikasi. Interaksi dan komunikasi di dalam keluarga membutuhkan unsur kedekatan. Hal ini merujuk pada pernyataan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem manakala komunikasi dapat berperan untuk mengatur kedekatan dan penyesuaian di antara anggota, melalui pola aliran pesan di dalam jaringan yang melibatkan hubungan saling ketergantungan. Selain itu, faktor kesetaraan dan keterbukaan dalam situasi keluarga memungkinkan bagi orang tua untuk mengembangkan pendekatan dua arah, atau pendekatan yang bersifat dialogis menuju kearah pembelajaran, sehingga kedekatan dan proses adaptasi dalam keluarga dapat dilakukan dengan melibatkan hubungan saling ketergantungan di antara anggota keluarga melalui situasi komunikasi yang bersifat setara dan dialogis, baik langsung atau tidak langsung, keluarga akan memberikan informasi mengenai status dan peran gender sesuai


(37)

21

dengan kapasitas pemahamannya, informasi yang diberikan secara terus-menerus akan menjadi proses penanaman nilai-nilai.

Tidak dapat dipungkiri, hubungan atau interaksi menjadi kepedulian kebanyakan orang adalah hubungan dalam keluarga: keluarga mewakili suatu konstelasi hubungan yang sangat khusus. Peran komunikasi orang tua sebagai pengasuh dan pendidik utama anak dijelaskan oleh Popov dan Popov dalam Puspitawati (2009), yaitu sebagai pelindung dan penguasa dalam menegakan peraturan; pemandu dan pembina dalam meningkatkan keterampilan dan konselor dalam mengarahkan moral. Pada praktek pengasuhan antara orang tua dan anak yang kemudian dikelompokan menjadi tiga gaya pengasuhan yang meliputi gaya pengasuhan demokratis, permisif, dan otoriter.

Fungsi Sosialisasi dalam Keluarga

Puspitawati (2006) menjelaskan apabila antara anggota keluarga saling menanggapi pesan dan menerima pesan tersebut maka sebenarnya telah terjadi komunikasi antar pribadi dalam keluarga yang dialogis. Umpan balik dari komunikasi dalam keluarga berfungsi sebagai unsur pemerkaya dan pemerkuat komunikasi antara anggota keluarga sehingga harapan dan keinginan anggota keluarga dapat dicapai.

Cangara (2002) menjelaskan fungsi komunikasi dalam keluarga ialah meningkatkan hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi dalam keluarga, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Komunikasi dalam keluarga dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat seseorang bisa mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya karena memiliki banyak sahabat. Melalui komunikasi dalam keluarga, juga dapat dibina hubungan yang baik, sehungga dapat menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara anggota keluarga.

Komunikasi dalam keluarga merupakan salah satu bentuk komunikasi antar pribadi yang khas. Adapun ciri khas komunikasi antar pribadi yang membedakan dengan komunikasi massa adalah : (1) terjadi secara spontan, (2) tidak mempunyai struktur yang teratur atau diatur, (3 memperoleh) terjadi secara kebetulan, (4) tidak mengejar tujuan yang


(38)

telah direncanakan terlebih dahulu, (5) dilakukan oleh orang-orang yang identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas, (6) bisa terjadi sambil lalu

Cangara (2002) mengemukakan adanya komunikasi kelompok kecil sebagai bentuk nyata dari komunikasi dalam keluarga. Proses komunikasi berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka, di mana anggota-anggota keluarga saling berinteraksi satu sama lainnya, Ciri-cirinya yaitu : (a) anggota-anggota keluarga terlibat dalam suatu proses komunikasi yang berlangsung secara tatap muka, (b) pembicaraan berlangsung secara terpotong-potong di mana semua anggota bisa berbicara dalam kedudukan yang sama, dengan kata lain tidak ada pembicaraan tunggal yang mendominasi situasi, (c) sumber dan penerima sulit diidentifikasi, artinya dalam situasi ini semua anggota keluarga bisa berperan sebagai sumber sekaligus sebagai penerima. Karena itu pengaruhnya bisa bermacam-macam. Tubbs and Moss (1996) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam komunikasi keluarga mempunyai enam ciri: (1) dilaksanakan atas dorongan berbagai faktor, (2) mengakibatkan dampak yang disengaja, (3) seringkali berbalas-balasan, (4) mengisyaratkan hubungan antar pribadi paling sedikit pada dua orang, (5) berlangsung dalam suasana bebas, bervariasi dan berpengaruh, (6) menggunakan berbagai simbol yang bermakna. Komunikasi di dalam keluarga memiliki ciri-ciri minimal adanya keterbukaan empati dukungan, perasaan positif, dan kesamaan. Jika ciri-ciri tersebut ada dalam komunikasi keluarga, maka akan terjadi komunikasi yang sehat.

Sosialisasi Keluarga Efektif

Pada dasarnya sosialisasi merupakan proses interaksi di mana interaksi sangat membutuhkan suatu kegiatan komunikasi, maka komunikasi keluarga efektif tidak bisa lepas dari karakter dan fungsi dari hubungan antara orang tua dengan anaknya. Komunikasi keluarga merupakan unsur yang berperan dalam pembentukan kepribadian anggota keluarga khususnya anak. Kegiatan komunikasi keluarga yang efektif yaitu jelas, singkat, lengkap, mudah dimengerti, tepat dan saling memperhatikan, dapat membentuk gaya hidup dalam keluarga yang sehat. Dampak situasi hubungan yang sehat antara orang tua dengan anak, yaitu komunikasi yang penuh kasih sayang, persahabatan, kerjasama, penghargaan, kejujuran, kepercayaan, dan keterbukaan akan membentuk ketentraman keluarga. Suasana


(39)

23

komunikasi yang demikian merupakan suasana yang menggairahkan bagi pertumbuhan anak komunikasi akan efektif karena orang tua dapat membaca dunia anaknya (selera, keinginan, hasrat, pikiran, dan kebutuhan).

Ritual sebagai Suatu Proses Sosialisasi dalam Keluarga

Para peneliti menggunakan istilah ritual dalam definisi yang berbeda–beda. Beberapa ahli komunikasi berargumentasi bahwa semua bentuk komunikasi adalah ritual. Menurut pandangan ini, komunikasi sebagai ritual mampu menyediakan alternatif dasar pemikiran (rational) bahwa selain komunikasi sebagai transmisi, komunikasi juga bisa sebagai ritual. Komunikasi sebagai suatu transmisi menekankan dan bertujuan pada proses transmisi untuk menghasilkan dampak yang diinginkan, pemahaman, dan perubahan sikap. Sementara ini komunikasi sebagai ritual menekankan komunikasi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan bersama–sama, menghargai ”kemagisan (magical), keaslian realitas, keefektivan suatu simbol. Dari dasar pemikiran tersebut maka peneliti yang meneliti mengenai komunikasi keluarga akan mempelajari ritual secara bersamaan. Menurut Wolin dan Bennet dalam Turner dan West (2006), terdapat 3 (tiga) bentuk ritual yang sangat mempengaruhi peneliti, yaitu: Selebrasi, Tradisi, dan Interaksi yang terpola. Selebrasi merupakan ritual yang dilakukan secara luas diseluruh budaya, contohnya liburan

Thanksgiving, Hari kemerdekaan, upacara seremonial seperti pernikahan, dan pemakaman. Meskipun acara–acara tersebut merupakan suatu acara yang dilakukan oleh seluruh orang, tetapi setiap keluarga memiliki cara–cara unik dalam menyelenggarakan acara tersebut. Tradisi merupakan ritual yang lebih aneh lagi untuk setiap keluarganya dan tidak dilakukan oleh masyarakat luas, artinya hanya spesifik dalam suatu keluarga, contoh dari tradisi adalah liburan keluarga, reuni (arisan) keluarga, ulang tahun. Sementara itu interaksi keluarga yang terpolakan (patterned family interaction) merupakan ritual yang biasa yang tidak direncanakan, dan paling sering dilakukan oleh keluarga, contohnya seperti makan malam, dongeng tengah malam, dan biasanya interaksi keluarga yang terpola merupakan aktivitas yang dilakukan bersama–sama yang membangun dan menjaga identitas suatu keluarga. Turner dan West (2006) mengatakan interaksi keluarga yang terpola sering sulit dibedakan dengan kegiatan rutin dalam keluarga karena kedua hal tersebut merupakan


(40)

kegiatan–kegiatan yang biasa dilakukan dalam keluarga, tetapi perbedaannya adalah dalam interaksi keluarga yang terpola terdapat makna–makna simbolik dimana terdapat suatu kegiatan penghormatan akan sesuatu yang sedang dipertaruhkan.

Sosialisasi oleh Kelompok Bermain atau Teman Sejawat (Peers)

Narwoko dan Suyanto (2004) mengatakan bahwa Kelompok bermain baik yang berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola–pola perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain, seseorang mempelajari kemampuan baru yang acap kali berbeda dengan apa yang dipelajari dari keluarga. Di dalam kelompok bermain individu mempelajari norma nilai, kultur, peran, dan semua persyaratan yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan partisipasinya yang efektif di dalam kelompok permainannya. Narwoko dan Suyanto (2004) mengatakan kelompok bermain ikut menentukan dalam pembentukan sikap untuk berperilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Berbeda dengan pola sosialisasi dalam keluarga yang umumnya bersifat otoriter karena melibatkan hubungan tidak sederajat, di dalam kelompok bermain pola sosialisasinya bersifat ekuilitas karena kedudukan pelakunya relatif sederajat.

Menurut Tjakrawati (1988) keberhasilan teman/kerabat dan pengalaman baik dalam suatu bidang pekerjaan menyebabkan petani mencoba dan menekuni pekerjaan itu, sebaliknya bila melihat kegagalan teman/kerabat dan pengalaman pahitnya petani memilih bertani, karena bertani merupakan pekerjaan yang sedikit mengandung resiko. Selain faktor ajakan teman/kerabat dan pengalamannya sendiri, faktor usia juga mempengaruhi petani memilih pekerjaannya. Teman maupun kerabat dapat memberi inspirasi dalam melihat alternatif usaha yang dapat dilakukan, terlebih selama kebutuhan hidupnya sehari – hari belum terpenuhi sehingga membuatnya berikhtiar terus mencari peluang–peluang usaha di non-pertanian. Menurut Jaccard et al., (2005) Pemuda lebih terpengaruh oleh teman sepermainan mereka, pemikiran tersebut muncul karena terinspirasi oleh pengaruh sosial (social influence) dari beberapa ahli. Terdapat 2 (dua) peubah besar yang dapat menggambarkan besarnya pengaruh teman sepermainan terhadap seorang remaja, peubah pertama adalah peubah yang berhubungan dengan kedekatan (closeness) hubungan dengan


(1)

nyata pada taraf α 0,05. Nilai hubungan tersebut menunjukkan bahwa persepsi terhadap pertanian di masa depan memiliki hubungan nyata dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Semakin bagus persepsi pemuda mengenai pertanian di masa depan, maka sikap semakin baik terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Hal itu menunjukan bahwa pemuda yang menganggap di masa yang akan datang pertanian semakin baik dan semakin mendapatkan perhatian dari pemerintah baik secara ekonomi maupun secara teknologi akan lebih tertarik untuk kerja di bidang pertanian karena terdapat kepastian bahwa pekerjaan di bidang pertanian tidak lagi sebagai pekerjaan yang dianggap sebelah mata tetapi dilihat sebagai pekerjaan yang menjanjikan bagi para pemuda. Pemuda yang memiliki persepsi baik terhadap pertanian di masa depan merasa yakin bahwa pertanian sektor yang sangat dibutuhkan oleh manusia selama manusia masih hidup sehingga pemuda yakin bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan bidang pertanian mendapatkan perhatian yang lebih baik sehingga lebih menjadi pekerjaan yang menjanjikan bagi para pemuda di masa yang akan datang.

Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pemuda terhadap Pekerjaan di Bidang Pertanian

Sikap merupakan produk dari kegiatan sosialisasi dari agen sosialisasi yang berada disekitar individu (Mar’at, 1981). Pada penelitian ini terdapat beberapa faktor terkait dengan agen sosialisasi yang memiliki hubungan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian. Dari Tabel 28 dapat dilihat bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua dalam hal ini adalah tingkat pelibatan pemuda dalam kegiatan pertanian oleh orang tua memiliki nilai korelasi yang terbesar dengan nilai korelasi sebesar 0,683, Nilai korelasi kedua terbesar adalah interaksi dengan teman dalam hal ini adalah kedekatan dengan teman di bidang pertanian dengan nilai korelasi sebesar 0,445, sementara itu Keterdedahan terhadap acara pertanian di televisi memiliki nilai korelasi 0,271. Dapat dilihat bahwa orang tua merupakan agen sosialisasi yang memiliki hubungan terkuat dengan positifnya sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian.

Dari hasil wawancara dengan para pemuda, diakui bahwa ketertarikan mereka untuk bekerja di bidang pertanian dipengaruhi oleh orang tua. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Puspitawati (2009), orang tua sebagai agen sosialisasi primer memegang peranan penting dalam membentuk sikap pemuda karena orang tua


(2)

merupakan buffer (penyangga) yang dapat memagari adanya pengaruh–pengaruh yang datang dari luar yang sifatnya negatif. Dalam penelitian ini tingkat pelibatan pemuda dalam kegiatan pertanian telah menanamkan dasar fondasi yang kuat kepada pemuda dalam hal budidaya pertanian sayur. Proses sosialisasi ini secara tidak langsung meningkatkan kemampuan pemuda dalam bertani sehingga pada jangka panjang menumbuhkan kecintaan pemuda pada pertanian. Orang tua mewakili suatu konstelasi hubungan yang sangat khusus, peran komunikasi orang tua sebagai pendidik utama anak dijelaskan oleh Popov dan Popov dalam Puspitawati (2009), yaitu sebagai pelindung dan penguasa dalam menegakan peraturan; pemandu dan pembina dalam meningkatkan keterampilan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ihromi (1999) bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua merupakan dasar dalam membentuk kepribadian seseorang dalam dunia umum.

Tabel 28. Faktor agen sosialisasi yang berhubungan dengan sikap pemuda terhadap pekerjaan di bidang pertanian

Faktor Sosialisasi

Analisis Data

Nilai Korelasi Dengan Sikap X7. Sosialisasi Oleh Orang Tua

X7.2. Tingkat Pelibatan pemuda dalam

kegiatan pertanian oleh orang tua

Rank Spearman (rs) 0,683**

X8. Keterdedahan Terhadap Media

X8.1.1 Lama Menonton Pertanian di TV Rank Spearman (rs) 0,271*

X9. Interaksi Dengan Teman

X9.1. Tingkat kedekatan dengan teman

di bidang pertanian

Rank Spearman (rs) 0,445**

Keterangan: * Berhubungan nyata pada taraf α 0,05

** Berhubungan sangat nyata pada taraf α 0,01

Sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua tidak harus selalu dalam bentuk komunikasi verbal di mana orang tua berbicara pada anaknya, pada penelitian ini justru sosialisasi yang hubungan dengan pembentukan sikap adalah sosialisasi yang dilakukan secara secara non-verbal yaitu melalui suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama - sama (patterned family interaction), kegiatan ini terkategorikan sebagai ritual. Menurut Turner dan West (2005) ritual merupakan proses komunikasi karena menekankan pada perbuatan yang dilakukan bersama–sama, menghargai ”kemagisan (magical), keaslian realitas, keefektivan suatu simbol” dan memiliki makna yang hendak disampaikan dalam hal ini adalah identitas keluarga, lebih spesifiknya lagi adalah identitas sebagai keluarga petani.


(3)

Peranan penting orang tua dalam kegiatan sosialisasi juga dijelaskan oleh Narwoko dan Suyanto (2004) Keluarga dalam hal ini orang tua merupakan institusi paling berpengaruh dan paling penting dalam proses sosialisasi manusia. Hal ini terjadi karena keluarga merupakan agen sosialisasi primer yang selalu tatap muka di antara anggota keluarganya. Orang tua memiliki kondisi yang lebih tinggi untuk mendidik anak– anaknya, sehingga menumbuhkan hubungan emosional. Konsistensi hubungan sosial antara orang tua dan anak yang terjaga menjadi orang tua memiliki peranan yang penting terhadap proses sosialisasi

Ketertarikan Pemuda terhadap Pekerjaan Pertanian di Bidang Pertanian Hortikultura

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar pemuda masih tertarik untuk bekerja di bidang pertanian hortikultura. Temuan ini berbeda dengan temuan pada penelitian lain tentang pemuda dan pertanian yang dilakukan oleh Herlina (2002) di wilayah pertanian perkebunan, Rozany (1999). Herlina (2002) mengatakan bahwa pemuda di wilayah perkebunan sebenarnya mengalami dilema dalam memandang bidang pertanian. Pertanian sebagai usaha secara ekonomis masih cukup menguntungkan tetapi penilaian gengsi sebuah pekerjaan mengalami pergeseran. Pemuda di wilayah perkebunan memiliki orientasi ke arah pekerjaan non pertanian, karena pekerjaan non pertanian dipersepsikan lebih ringan, bersih, dan prospektif. Dihargai sebagai suatu cara untuk mengangkat status sosial dan perasaan lebih “terhormat”.

Rozany (1999) dalam penelitiannya di Sumatra Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur menemukan bahwa tenaga kerja pemuda, bujang dan terdidik lebih memilih pekerjaan non pertanian karena menjanjikan pendapatan yang relatif lebih tinggi dan dirasa ”terhormat”. Akhirnya sebagai bentuk penolakan terhadap pekerjaan pertanian, banyak angkatan kerja pedesaan yang memilih bermigrasi ke kota. Pilihan pekerjaan yang banyak menjadi sasaran adalah buruh industri atau sektor informal. Keputusan itu selain dilandasi alasan ekonomi, terkandung alasan gengsi mengenai pekerjaan. Secara implisit alasan yang menyebut migrasi sebagai bentuk rasionalisasi terhadap sempitnya peluang kerja di sektor pertanian atau rendahnya pendapatan di sektor ini menjadi tidak relevan.


(4)

Sementara itu penelitian yang berkaitan dengan pandangan pemuda di wilayah pertanian pangan (padi) dalam melihat pekerjaan di bidang pertanian dilakukan oleh Lubis dan Sutarto (1991), penelitiannya melihat konsistensi pola mata pencaharian antara orang tua dengan anak pada masyarakat petani di Bekasi dan Cianjur menemukan bahwa terdapat konsistensi yang kuat antara pekerjaan utama orang tua dengan pekerjaan anaknya. Berpijak pada beberapa faktor pendorong dan penarik seperti lahan, hubungan sosial, modal, pasar, pola kerja dan aksesibilitas terhadap teknologi, peneliti sampai pada kesimpulan bahwa pekerjaan di bidang pertanian masih memiliki daya tarik bagi pemuda atau dengan kata lain pekerjaan di bidang pertanian masih diminati oleh. Selain pengaruh sosialisasi dalam keluarga, ketertarikan pemuda terhadap bidang pertanian ini mendapatkan dukungan yang kuat dari ketidaksesuaian mental pemuda ketika memasuki dunia kerja di sektor non - pertanian.

Berbeda dengan penelitian tentang pemuda yang telah dilakukan sebelumnya di wilayah pertanian sawah, dan perkebunan. Penelitian ini dilkukan di wilayah pertanian hortikultura (sayuran) yang merupakan high value comodity. Maka selain faktor–faktor sosialisasi oleh agen sosialisasi, terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi pertimbangan kenapa pemuda yang berasal dari wilayah hortikultura (sayur) masih tertarik untuk bekerja di bidang pertanian pertanian. Fenomena masih banyaknya pemuda bergerak di bidang pertanian hortikultura Faktor–faktor ini tertangkap melalui penjelasan yang dijelaskan oleh petani, penyuluh, dan ketua gapoktan.

Menurut penuturan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang bertanggung jawab untuk wilayah Kecamatan Pacet dan Ketua Gapoktan Multi Tani Jaya Giri, pertanian hortikultura memiliki kecenderungan untuk diminati oleh pemuda dibandingkan dengan pertanian pangan (padi) dan perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari 4 (empat) hal, yaitu (1) Waktu produksi, dilihat waktu produksi, komoditas pertanian hortikultura (sayuran) memiliki waktu panen yang lebih cepat, bervariasi dari mulai 30 hari–90 hari tergantung komoditasnya, sementara itu pertanian pangan (padi) memiliki waktu yang relatif lebih lama, yaitu 120–140 hari tergantung varietas padi. (2). Rotasi tanam, untuk tanaman hortikultura sangat dianjurkan untuk menerapkan sistem rotasi tanam, karena dari segi hama dan penyakit metode rotasi tanam ini merupakan metode untuk memutus perkembangan hama dan penyakit yang berasal dari tanah. Dari segi ekonomi rotasi tanam tersebut merupakan peluang tersendiri bagi para petani untuk


(5)

dapat mendiversifikasi komoditas pertanian mereka, yang mana memberikan kesempatan bagi petani untuk menanam komoditas hortikultura yang harga di pasarnya sedang bagus atau tinggi. (3) Mobilitas petani, petani sayuran memiliki mobilitas yang sangat tinggi, mereka keluar dari rumah untuk pergi ke kebun sehabis solat subuh, dan kembali ke rumah setelah pukul 12, dan biasanya ada petani yang kembali ke kebun untuk melakukan pemeriksaan terhadap tanaman sayur mereka, bahkan ketika turun hujan malam hari para petani harus kembali ke kebun untuk menutup tanaman sayur mereka agar tidak terkena air terlalu banyak, berbeda dengan petani padi yang baru berangkat pukul 8 pagi dan jam 11 terkadang sudah kembali ke rumah. Mobilitas petani sayuran yang tinggi menyebabkan petani sayur tidak bisa mencari sumber pendapatan lain berbeda dengan padi yang tidak sepadat petani sayur menyebabkan banyak petani padi mencari pekerjaan lain di waktu kosong mereka (diversifikasi sumber income) di bidang sektor non pertanian. (4) Konsep uang tunai (cash money), konsep ini erat kaitannya dengan masa tanam, tanaman sayuran memiliki masa tanam yang relatif cepat dibandingkan dengan pertanian padi sehingga petani sayur lebih cepat mendapatkan bayaran akan komoditas yang dijualnya, dibandingkan dengan petani padi. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhannya petani sayuran tidak perlu banyak berhutang berbeda dengan petani padi yang banyak berhutang karena perputaran uang mereka lama. Secara rasional penyuluh dan ketua Gapoktan juga mengakui bahwa tanaman hortikulura masih memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dari pertanian perkebunan maupun tanaman pangan. Sehingga pertimbangan ekonomi tidak bisa dilepaskan dalam memilih sektor pekerjaan.

Jika ditinjau dari segi kelembagaan, di Kecamatan Pacet terdapat Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang anggotanya mayoritas merupakan pemuda. Ketua Gapoktan usianya masih terbilang muda (30 tahun), selain itu gapoktan tersebut memiliki kegiatan khusus yang diikuti para pemuda antara lain tahlilan (pertemuan setiap malam jum’at) dan setelah Solat jum’at sekitar pukul 14.00. Pada pertemuan tersebut tidak ada satu petani–petani senior yang ikut dalam rapat tersebut, tujuan yang diharapkan oleh ketua kelompok tani tersebut adalah para pemuda bisa mengembangkan kreativitasnya tanpa harus takut pendapatnya ditentang oleh petani senior. Tingginya minat pemuda untuk bekerja di pertanian juga dikarenakan pemerintah dalam hal ini penyuluh lapang rutin hampir setiap minggu datang untuk sekedar melihat kebun–kebun


(6)

petani dan sering memberikan penjelasan–penjelasan seputar pertanian sayur di sekretariat milik Gapoktan. Pertanian di wilayah Kecamatan Pacet masih menjadi daya tarik bagi investor–investor besar untuk mengembangkan wilayah tersebut menjadi sentra agribisnis sayuran. Gapoktan di Kecamatan Pacet menjalin kerja sama dengan pihak swasta untuk mengembangkan Green House untuk pembibitan paprika. Diakui oleh pihak Gapoktan, banyak sekali program–program yang diberikan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah) seperti Sekolah Lapang (SL), Penumbuhan Regu Pengendalian Hama Penyakit (RPHT). Tidak hanya dari pemerintah, terdapat juga investor yang mau mengembangkan usaha agribisnis seperti Bank Jabar yang hendak melakukan pembiayaan khususnya untuk penangkaran bibit dan untuk budidaya kentang. Banyaknya perhatian dari pemerintah dan swasta menjadi alasan kenapa pertanian masih sangat menjanjikan bagi para pemuda tani tersebut. Faktor lain dapat menjelaskan ketertarikan pemuda terhadap bidang pertanian adalah kondisi alam dari Kecamatan Pacet yang sangat mendukung untuk perkembangan agribisnis sayuran. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu dari 7 (Tujuh) kota/kabupaten yang merupakan sentra produksi tanaman sayur di Jawa Barat.