Insecticidal activitiy of spiked pepper (Piper aduncum) extracts from riau on the cabbage head caterpillar (Crocidolomia pavonana)

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK SIRIH HUTAN
(Piper aduncum) ASAL RIAU TERHADAP ULAT KROP KUBIS
(Crocidolomia pavonana)

YENI MIDEL PEBRULITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Insektisida
Ekstrak Sirih Hutan (Piper aduncum) Asal Riau terhadap Ulat Krop Kubis
(Crocidolomia pavonana) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Yeni Midel Pebrulita
NRP A351110091

RINGKASAN
YENI MIDEL PEBRULITA. Aktivitas Insektisida Ekstrak Sirih Hutan (Piper
aduncum) asal Riau terhadap Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana).
Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.
Sirih hutan (Piper aduncum) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati. Aktivitas insektisida sirih
hutan telah banyak dilaporkan tetapi aktivitas sirih hutan yang berasal dari lokasi
berbeda belum pernah dilaporkan khususnya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
(1) menguji toksisitas ekstrak daun dan buah sirih hutan asal Riau terhadap larva
Crocidolomia pavonana, (2) menguji pengaruh ekstrak sirih hutan terhadap
aktivitas makan larva C. pavonana, (3) menguji persistensi dan fitotoksisitas
ekstrak sirih hutan, dan (4) memeriksa komponen ekstrak sirih hutan secara
kualitatif.
Daun dan buah sirih hutan yang berasal dari 10 lokasi berbeda di Provinsi

Riau diekstrak dengan etil asetat dengan metode perendaman (maserasi).
Pengujian toksisitas ekstrak sirih hutan dilakukan dengan metode residu pada
daun. Data mortalitas larva diolah dengan analisis probit. Uji penghambatan
aktivitas makan diuji menggunakan empat ekstrak yang memiliki toksisitas
tertinggi diuji dengan metode pilihan, taraf konsentrasi yang digunakan setara
dengan LC25 dan LC50. Data penghambatan makan diolah dengan sidik ragam
yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%.
Uji persistensi ekstrak dilakukan menggunakan empat ekstrak yang
memiliki toksisitas tertinggi dengan menggunakan metode penyemprotan
langsung pada tanaman brokoli pada polybag di luar ruangan. Taraf konsentrasi
yang digunakan setara dengan LC95 dan 2 x LC95. Data mortalitas larva diolah
dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada
taraf 5%. Gejala fitotoksik yang muncul pada tanaman diamati pada bagian
helaian daun yang mengalami nekrosis. Pemeriksaan kualitatif komponen ekstrak
etil asetat daun dan buah sirih hutan dilakukan dengan teknik kromatografi lapisan
tipis (thin layer chromatography – TLC). Sebagai pembanding digunakan minyak
atsiri buah sirih hutan yang mengandung dilapiol 76%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun dan buah sirih hutan
yang berasal dari 10 lokasi berbeda di Provinsi Riau memiliki toksisitas yang
berbeda. Di antara 20 ekstrak yang diuji, empat ekstrak yang memiliki toksisitas

tertinggi adalah ekstrak buah XIII Koto Kampar (LC95 0.209%), buah Pekanbaru
(LC95 0.211%), buah Bangkinang Barat A (LC95 0.212%), dan buah Cerenti (LC95
0.216%). Efek antifeedant terlihat pada perlakuan dengan keempat ekstrak
tersebut pada LC50. Pada pengujian persistensi ekstrak, aktivitas ekstrak tersebut
tidak terlihat setelah dipaparkan di bawah sinar matahari selama 1-5 hari. Ekstrak
tanaman tidak menyebabkan fitotoksik pada tanaman brokoli. Hasil pemeriksaan
kualitatif komponen ekstrak etil asetat daun dan buah sirih hutan menunjukkan
komponen setiap ekstrak terpisah dengan pola yang serupa.
Kata kunci: Fitotoksisitas, insektisida nabati, persistensi, toksisitas.

SUMMARY
YENI MIDEL PEBRULITA. Insecticidal Activitiy of Spiked Pepper (Piper
aduncum) Extracts from Riau on the Cabbage Head Caterpillar (Crocidolomia
pavonana). Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.
Spiked pepper (Piper aduncum) is a potential source of botanical
insecticides. Its insecticidal activity has been widely reported, but the insecticidal
activity of this plant collected from different locations has not been much studied,
especially in Indonesia. The objectives of this research were (1) to evaluate the
toxicity of P. aduncum leaf and fruit extracts from Riau to Crocidolomia
pavonana larvae, (2) to evaluate the effect of the four most active P. aduncum

extracts on feeding activity of C. pavonana larvae, (3) to evaluate the persistence
and phytotoxicity of the four most active P. aduncum extracts, and (4) to examine
qualitative property of the test P. aduncum extracts.
P. aduncum leaves and fruits collected from ten different locations in Riau
were extracted with ethyl acetate using maceration method. The toxicity test was
conducted using a residual leaf feeding method. Mortality data was recorded and
analyzed using probit analysis. The feeding inhibition activity test of the four
most active extract was conducted using a choice method at concentrations of
LC25 and LC50. The feeding inhibition data were subjected to analisys of variance
followed by Duncan’s multiple range test at 5% level.
The persistence of the four most active P. aduncum extracts was tested at
LC95 and 2 x LC95 levels using direct spray method on broccoli plants. Mortality
data were analyzed by analysis of variance followed by Duncan's multiple test at
the 5% level. The symptom of phytotoxicity on broccoli leaves was observed.
Qualitative examination of extract components was done using thin layer
chromatography technique. Where P. aduncum fruit oil containing 76% dillapiole
was included in the TLC test for comparison.
The results showed that P. aduncum extracts collected from ten different
locations had strong insecticidal activity and are potential to be used as sources of
botanical insecticides. Among 20 extracts tested, four extracts had the highest

activity, i.e. fruit extract from XIII Koto Kampar (LC95 0.209%), Pekanbaru (LC95
0.211%), Bangkinang Barat A (LC95 0.212%), and Cerenti (LC95 0.216%). The
four most active extracts showed antifeedant effect at LC50 level. These four
extracts lost their activity after being exposed to sunlight for 24 hours. Plant
extracts tested did not cause phytotoxic effect on broccoli. Qualitative
examination show the same separation pattern.
Key words: botanical insecticide, toxicity, persistence, phytotoxicity.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK SIRIH HUTAN
(Piper aduncum) ASAL RIAU TERHADAP ULAT KROP KUBIS

(Crocidolomia pavonana)

YENI MIDEL PEBRULITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi.

Judul Tesis

: Aktivitas Insektisida Ekstrak Sirih Hutan (Piper aduncum)
asal Riau terhadap Ulat Krop Kubis (Crocidolomia

pavonana)
Nama Mahasiswa : Yeni Midel Pebrulita
NRP
: A351110091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc.
Ketua

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr. Ir. Pudjianto, MSi.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: 8 Oktober 2013

Tanggal Lulus:

: Aktivitas Insektisida Ekstrak Sirih Hutan (Piper aduncum)
asal Riau terhadap Ulat Krop Kubis (Crocid%mia
pavonana)
Nama Mahasiswa : Yeni Midel Pebrulita
NRP
: A351110091
Judul Tesis

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof.


MSc.

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi.

TanggaJ Ujian: 8 Oktober 2013

TanggaJ Lulus:

06 NOV 2013

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang
berjudul “Aktivitas Insektisida Ekstrak Sirih Hutan (Piper aduncum) asal Riau

terhadap Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana)” ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor
dari Juli 2012 hingga Maret 2013.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Djoko
Prijono, MAgrSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, dan masukan selama
penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Ayahanda (Alm.) dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kepercayaan,
do’a tulus ikhlasnya, dan pelajaran hidup yang sangat berharga kepada penulis.
3. Suami tercinta Andi Saputra, A.Md dan Ananda tersayang Shazia Putri
Khalishah yang telah memberikan kepercayaan dan mengizinkan penulis untuk
melanjutkan studi serta motivasi yang selalu diberikan.
4. Kakanda Sri Wahyuni, S.Pd, Agus Iskandar, S.Sos, Ida Fitriana, S.Pi, MSi
yang telah memberi kepercayaan, dukungan, dan do’a tulus ikhlasnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi ini serta Dr. Rusli Rustam, SP. MSi yang
tiada bosannya memberi semangat dan motivasi kepada penulis.
5. Teman-teman Entomologi angkatan 2011 Ir. Gusti Indriati, Ratna Rubiana, SP,

Evawati Sri Ulina, SP. MSc, Vani Nur Oktaviany, SP, Diana Agustin SP,
Risnawati, SP. MSi, Erwin Cuk Surahmat, SP, dan Agri Kadati, SP atas
dukungan dan kebersamaannya.
6. Rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Eka Candra
Lina, SP. MSi, Herma Amalia, SP. MSi, Hachib Muhammad Tusar, MSi, Yan
Yanuar, SP, Rizky Irawan, SP, Miranti Christi Arifin, SP, Yunian Asih
Andriarini, SP, dan Yuke Nur Aprilianti, SP yang telah banyak membantu dan
kebersamaannya.
7. Sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka Merry Sabet, S.Hut,
Heny Mariati, S.Pd, Sri Wardani, SP, Nurhayati Hamzah, SP, dan Rovina
Pamiariani, S.Pd.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013
Yeni Midel Pebrulita

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Piper aduncum (Sirih Hutan)
Ciri Umum dan Kegunaan
Sifat Insektisida dan Senyawa Aktif
Pengaruh Perbedaan Lokasi terhadap Aktivitas Insektisida Nabati
Bioekologi dan Pengendalian Crocidolomia pavonana
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Persiapan Pengujian Ekstrak Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana
Pengumpulan Bahan Tumbuhan sebagai Sumber Ekstrak
Pemeliharaan Serangga Uji
Ekstraksi Sirih Hutan
Pengujian Ekstrak Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana
Uji Kualitatif Komponen Ekstrak P. aduncum
Uji Toksisitas
Uji Penghambat Aktivitas Makan
Uji Persistensi dan Fitotoksisitas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi P. aduncum
Uji Mortalitas Larva C. pavonana
Pengaruh Ekstrak terhadap Aktivitas Makan Larva C. pavonana
Uji Persistensi dan Fitotoksisitas Ekstrak P. aduncum pada
Tanaman Brokoli
Pembahasan Umum
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
1
1
2
2
3
3
3
4
4
5
7
7
7
7
7
9
10
10
10
11
11
13
13
14
18
19
19
22
23

DAFTAR TABEL
1 Kondisi tempat pengumpulan daun dan buah sirih hutan sebagai sumber
ekstrak di Provinsi Riau
2 Hasil ekstraksi buah dan daun P. aduncum menggunakan etil asetat dari
10 lokasi berbeda dan faktor retensi komponen ekstrak
3 Mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan 21 ekstrak P.
aduncum
4 Penduga parameter toksisitas sembilan ekstrak P. aduncum terhadap
mortalitas larva C. pavonana
5 Pengaruh ekstrak P. aduncum dari empat lokasi di Riau terhadap
aktivitas makan larva C. pavonana
6 Mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan residu ekstrak P.
aduncum dari empat lokasi di Riau

8
13
15
15
16
18

DAFTAR GAMBAR
1 Daun dan buah sirih hutan
2 Lokasi pengambilan sampel sirih hutan di Provinsi Riau
3 Pemeriksaan kualitatif ekstrak P. aduncum dan pembanding dengan TLC
gel silika. A (daun Bangkinang Barat A), B (daun Bangkinang Barat B),
C (daun XIII Koto Kampar), D (daun Kota Pekanbaru), E (daun
Pangkalan Kerinci), F (daun Pelalawan), G (daun Kelayang), H (daun
Peranap), I (daun Cerenti), J (daun Taluk Kuantan), K (daun Bogor), L
(buah Bangkinang Barat A), M (buah Bangkinang Barat B), N (buah XIII
Koto Kampar), O (buah Kota Pekanbaru), P (buah Pangkalan Kerinci), Q
(buah Pelalawan), R (buah Kelayang), S (buah Peranap), T (buah
Cerenti), U (buah Taluk Kuantan), Atsiri (Dilapiol 76%).
4 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak daun P. aduncum dari Bangkinang Barat A (A), Bangkinang
Barat B (B), Rantau Baru (C), Peranap (D), buah dari Bangkinang Barat
a (E), XIII Koto Kampar (F), Pekanbaru (G), Rantau Baru (H), Cerenti
(I)
5 Pengamatan gejala fitotoksik pada daun brokoli yang diberi perlakuan
ekstrak P. aduncum asal Bangkinang Barat A (A), XIII Koto Kampar
(B), Pekanbaru (C) dan Cerenti (D)

3
9

14

17

19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aplikasi insektisida sintetik merupakan kegiatan yang umum dilakukan
oleh petani untuk mengendalikan serangga hama. Penggunaan insektisida
sintetik yang intensif dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan,
operator/pengguna, konsumen dan dapat menurunkan keragaman organisme
pada suatu ekosistem yang berpotensi menyebabkan peledakan hama
(Matsumura 1985; Dadang dan Prijono 2008; Djojosumarto 2008). Untuk
menekan dampak tersebut perlu dicari pengendalian alternatif yang aman dan
efektif, salah satunya adalah pengendalian dengan menggunakan insektisida
nabati. Insektisida nabati adalah insektisida yang berbahan aktif metabolit
sekunder tumbuhan yang mampu memberikan satu atau lebih aktivitas biologi,
baik pengaruh pada aspek fisiologi maupun perilaku hama tanaman dan
memenuhi syarat-syarat untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman
(Dadang dan Prijono 2008).
Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan dengan teknik
pengendalian lain seperti pengendalian hayati, cara bercocok tanam, dan
penggunaan varietas tahan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20 yang menyatakan bahwa
perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu
(PHT). Selanjutnya pada pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995
disebutkan PHT ditetapkan sebagai dasar setiap praktik pengendalian hama di
Indonesia, dan di dalam PHT insektisida yang dapat digunakan adalah yang
tidak atau sedikit menimbulkan dampak negatif bagi organisme bukan sasaran
dan lingkungan.
Salah satu jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber
insektisida nabati adalah sirih hutan (Piper aduncum) dari famili Piperaceae.
Ekstrak etanol daun P. aduncum dilaporkan paling aktif di antara 14 spesies
Piperaceae yang diuji oleh Bernard et al. (1995). Ekstrak metanol daun sirih
hutan memiliki aktivitas insektisida yang cukup kuat terhadap wereng hijau
Nephotettix virescens dan larva Plutella xylostella (Dadang 1999). Hasyim
(2011) melaporkan bahwa perlakuan ekstrak n-heksana buah sirih hutan 0.05%0.20% mengakibatkan kematian larva Crocidolomia pavonana 4.4%-95.6%
dengan LC50 0.13%. Sementara itu, Nailufar (2011) melaporkan bahwa
mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan ekstrak etil asetat buah P.
aduncum 0.075%-0.25% berkisar dari 13% sampai 100% dengan LC50 0.141%.
Ekstrak buah P. aduncum bersifat toksik (racun kontak dan racun perut),
antifeedant, dan memperpanjang lama perkembangan larva C. pavonana (Arneti
2012). Syahroni (2013) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat P. aduncum
0.050%-0.225% mengakibatkan kematian larva C. pavonana 4%-100% dengan
LC50 0.138%.
Sirih hutan kaya akan senyawa metabolit sekunder yang termasuk dalam
golongan alkaloid, fenilpropanoid, monoterpena, seskuiterpena, steroid, tanin,
flavonoid, kuinon, flavanon, kromena, dan benzoid (Parmar et al. 1997; Taylor
2006; Braga et al. 2007), sedangkan komponen aktif utama yang bersifat

2
insektisida adalah dilapiol (fenilpropanoid). Bernard et al. (1995) melaporkan
bahwa perlakuan dengan dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm menyebabkan
kematian larva nyamuk Aedes atropalpus sebesar 92%.
Insektisida nabati memiliki keunggulan-keunggulan, di antaranya (a)
mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga diharapkan tidak meninggalkan
residu pada produk pertanian; (b) relatif aman terhadap organisme bukan sasaran
termasuk musuh alami sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan
menjaga biodiversitas organisme pada suatu ekosistem pertanian; (c) dapat
dipadukan dengan komponen PHT lainnya yang memungkinkan penerapan
teknologi atau strategi lainnya dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga
tidak ada komponen pengendalian yang mendominasi; (d) dapat memperlambat
laju resistensi yang sangat penting dalam rangka manajemen resistensi, dan (e)
dapat menjamin ketahanan dan keberlanjutan dalam berusaha tani karena dapat
menjamin semua komponen dalam ekosistem berjalan baik (Prakash & Rao
1997; Dadang & Prijono 2008; Fungsi … 2012).
Selain memiliki keunggulan, insektisida nabati juga memiliki kekurangan,
di antaranya bahan aktifnya mudah terurai di lingkungan sehingga memerlukan
aplikasi yang berulang dan daya kerjanya lambat, tidak dapat terlihat dalam
jangka waktu yang singkat.
Bahan tumbuhan yang berasal dari lokasi berbeda dapat memiliki aktivitas
insektisida yang berbeda. Kandungan metabolit skunder suatu tumbuhan dapat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh. Menurut Potzernheim (2012)
teknik budidaya dan sifat genetika tanaman dapat meningkatkan hasil minyak
atsiri P. aduncum di Brazil. Menurut Kaufman et al. (2006), keefektifan suatu
tumbuhan sebagai sumber insektisida nabati dipengaruhi oleh sifat genetika
tanaman, bagian tumbuhan, ekologi tumbuhan, serta keadaan geografi dan iklim
di tempat tumbuh tumbuhan tersebut. Schoonhoven et al. (2005) menyatakan
bahwa perbedaan ketinggian tempat memengaruhi kuantitas dan keragaman
metabolit sekunder tumbuhan.
Untuk memperoleh informasi mengenai P. aduncum yang baik untuk
dijadikan sumber insektisida nabati, perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas
insektisida P. aduncum dari daerah berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan (1) menguji toksisitas ekstrak daun dan buah sirih
hutan asal Riau terhadap larva C. pavonana, (2) menguji pengaruh ekstrak daun
dan buah sirih hutan terhadap aktivitas makan larva C. pavonana, (3) menguji
persistensi dan fitotoksisitas ekstrak sirih hutan pada tanaman brokoli, dan (4)
memeriksa komponen ekstrak sirih hutan secara kualitatif.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perbedaan
aktivitas insektisida ekstrak sirih hutan dari lokasi berbeda terhadap larva C.
pavonana, yang dapat digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan
insektisida nabati khususnya untuk mengendalikan hama C. pavonana.

TINJAUAN PUSTAKA

Piper aduncum (Sirih hutan)
Ciri Umum dan Kegunaan
Sirih hutan (Piper aduncum) merupakan salah satu jenis tumbuhan dari
famili Piperaceae (Gambar 1), yang berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke
Indonesia diperkirakan pada tahun 1860. Tumbuhan ini merupakan semak atau
pohon kecil yang dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 90-1000 m dpl di
hutan belukar dan hutan-hutan sekunder, di tepi sungai, dan lereng-lereng tebing
(Heyne 1987). Hiratsuka et al. (2006) menyatakan bahwa sirih hutan terdapat di
pinggir jalan yang terdapat semak belukar, di hutan sekunder atau daerah yang
berhutan atau kondisi monokultur pada lahan pertanian di dekat jalan. Sirih
hutan dapat tumbuh dan berkembang pada daerah dengan suhu udara antara 24
dan 30 oC, dengan curah hujan 2.345 mm/tahun (Silva et al. 2007).

Gambar 1 Buah dan daun sirih hutan
Menurut Guzman dan Siemonsma (1999) sirih hutan merupakan tanaman
perdu, batang berkayu, tinggi dapat mencapai 2-8 m. Daun berbentuk bulat
telur, ujung runcing, pangkal daun membulat, tepi daunnya rata pada setiap
buku, tangkai berbulu halus, berbentuk silindris berukuran 3-9 cm, panjang daun
12-20 cm. Sistem perakaran sirih hutan adalah akar tunggang.
Daun sirih hutan secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat sakit perut,
kencing nanah, dan penolak serangga (Agusta 2000). Orjala et al. (1993)
melaporkan bahwa ekstrak petroleum eter daun sirih hutan memiliki aktivitas
moluskisida dan bersifat antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Micricocus
luteus, dan Escheria choli. Navickiene (2006) melaporkan bahwa senyawa
linalul dari P. aduncum digunakan dalam industri wewangian, sedangkan di
Papua Nugini daun sirih hutan digunakan sebagai antiseptik untuk penyembuhan
luka sementara. Laporan lain juga menunjukkan bahwa di Peru ekstrak ini juga
dimanfaatkan untuk mengobati diare (Rali et al. 2007).

4
Sifat Insektisida dan Senyawa Aktif
Sifat insektisida sirih hutan telah lama diketahui, Bernard et al. (1995)
melaporkan bahwa fraksi n-heksana, fraksi diklorometana, fraksi etil asetat, dan
fraksi metanol daun sirih hutan pada konsentrasi 100 ppm dapat mematikan
larva nyamuk Aides atropalpus berturut-turut sebesar 26%, 72%, 2% dan 0%.
Ekstrak metanol daun sirih hutan memiliki aktivitas insektisida yang cukup kuat
terhadap wereng hijau N. virescens (Distant) (Hemiptera: Cicadellidae) dan larva
Plutella xylostella (Dadang 1999). Menurut Silva et al. (2007) ekstrak heksana
daun P. aduncum pada konsentrasi 1-20 mg/mL dapat mengakibatkan kematian
larva caplak Rhipicephalus microphalus sebesar 11.4%-70.42% dan pada
konsentrasi 5-100 mg/mL menghambat reproduksi imago sebesar 12.5%-54.2%,
sedangkan perlakuan dengan minyak atsirinya pada konsentrasi 0.1% dapat
mengakibatkan kematian larva caplak sebesar 100%. Ekstrak metanol buah sirih
hutan 2000-3000 ppm mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sebesar
89%-97% dan mortalitas larva pada perlakuan konsentrasi 200-1500 ppm
berkisar dari 5% sampai 64% (Santoso 2011).
Minyak atsiri daun sirih hutan mengandung dilapiol 43.3%, β-kariofilena
8.2%, piperiton 6.7%, α-humulena 5.1% dan senyawa lain masing-masing
kurang dari 5% (Rali et al. 2007). Fazolin et al. (2005) melaporkan minyak atsiri
sirih hutan (dilapiol 74%) memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap
kumbang Cerotoma tingomarianus dengan LC50 0.06 mL/cm2 pada metode
kontak residu di kertas saring dan LD50 0.002 ml/mg pada aplikasi topikal.
Estrela et al. (2006) menambahkan bahwa minyak atsiri sirih hutan memiliki
aktivitas insektisida terhadap kumbang Sitophilus zeamais dengan LC50 2.87
µL/cm2 pada aplikasi kontak, LC50 0.56 µL/g pada aplikasi fumigan, dan LD50
0.03 µL/g pada aplikasi topikal.
Dilapiol merupakan komponen aktif utama yang bersifat insektisida dalam
ekstrak daun sirih hutan. Jantan et al. (1994) melaporkan bahwa komponen
utama yang terdapat pada daun P. aduncum yang berasal dari Semenanjung
Malaysia adalah dilapiol yang kandungannya mencapai 64.5%. Bernard et al.
(1995) mendapatkan bahwa dilapiol merupakan komponen utama fraksi aktif
daun P. aduncum dan perlakuan dengan dilapiol 0.1 ppm menyebabkan
kematian larva nyamuk Aedes atropalpus sebesar 92%.
Pengaruh Perbedaan Lokasi terhadap Aktivitas Insektisida Nabati
Kandungan metabolit sekunder suatu tumbuhan dipengaruhi oleh tempat
tumbuh tumbuhan tersebut. Menurut Kaufman et al. (2006) keefektifan suatu
tumbuhan sebagai sumber insektisida nabati dipengaruhi oleh sifat genetika
tanaman, bagian tumbuhan, ekologi tumbuhan, serta keadaan geografi dan iklim
di tempat tumbuh tumbuhan tersebut. Perbedaan ketinggian tempat, cahaya
matahari dan sifat tanah memengaruhi kuantitas dan keragaman metabolit
sekunder tumbuhan. Tanaman yang tumbuh pada daerah yang memiliki
intensitas cahaya yang tinggi mengandung metabolit sekunder yang lebih tinggi
dibandingkan pada daerah yang teduh. Tanah yang basah dengan curah hujan
yang tinggi memiliki unsur hara yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah
yang kering, sehingga akan mempengaruhi suatu bahan tumbuhan (Treshow
1974; Schoonhoven et al. 2005).

5
Kandungan metabolit sekunder dipengaruhi oleh populasi tanaman dan
kondisi lingkungan sekitarnya. Populasi tanaman sekelilingnya berpengaruh
terhadap kompetisi penyerapan unsur hara sehingga dapat menimbulkan tekanan
pada tanaman dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder (Daubenmire
1974).
Leatemia dan Isman (2004) melaporkan bahwa ekstrak etanol biji srikaya
yang berasal dari beberapa lokasi di Maluku memiliki aktivitas yang berbeda
terhadap perkembangan larva Spodoptera litura. Santoso (2011) juga
melaporkan bahwa ekstrak srikaya yang sampel bijinya dikumpulkan dari enam
lokasi di Jawa Tengah dan dua lokasi di Papua menunjukkan aktivitas
insektisida yang beragam terhadap larva C. pavonana. LC50 ekstrak tersebut
berkisar dari 27.6 ppm (Sumber Lawang, Blora) sampai 374 ppm (Sentani,
Jayapura), sedangkan LC95-nya berkisar dari 160.8 ppm (Cepu, Blora) sampai
6067.8 ppm (Sentani, Jayapura).
Bioekologi dan Pengendalian Crocidolomia pavonana
Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) yang dikenal
sebagai ulat krop kubis merupakan hama penting tanaman famili Brassicaceae
seperti kubis, sawi, dan petsai. Serangga ini tersebar di daerah Afrika Selatan,
Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981). Serangga
ini hanya ditemukan pada daerah tropis dan subtropis.
C. pavonana merupakan serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna dengan siklus hidup lebih kurang 28 hari bergantung pada suhu dan
kelembapan. Telur diletakkan secara berkelompok dengan jumlah 10-300 telur.
Lama stadium telur 4 hari. Telur berwarna hijau muda dan biasanya diletakkan
pada permukaan bawah daun. Larva instar lanjut berukuran 18-25 mm dengan
lama perkembangan larva 8-12 hari. Larva berwarna abu-abu dan berwarna
gelap pada bagian kepala pada saat menetas kemudian berubah warna menjadi
hijau muda bergantung pada warna daun yang dikonsumsi. Serangga ini
memiliki garis-garis khas berwarna kuning pada bagian lateral abdomen (Global
Crop Pests 1995).
Larva C. pavonana pada 4 atau 5 hari setelah menetas (larva instar awal)
hidup secara berkelompok dan makan pada permukaan bawah daun, selanjutnya
larva memencar dan masuk ke titik tumbuh (Global Crop Pests 1995).
Sastrosiswojo & Setiawati (1992) melaporkan serangan pada titik tumbuh dapat
menyebabkan kegagalan panen bila tidak dikendalikan dengan tepat, sedangkan
larva instar akhir, makan semua daun kecuali tulang daun.
C. pavonana dapat dikendalikan secara mekanis, kultur teknis, biologi, dan
kimiawi. Pengendalian secara biologi dilakukan dengan menggunakan musuh
alami, seperti yang dilaporkan Subagya (2005) bahwa kematian C. pavonana
pada inkubasi 216 jam nematoda Steinernema carpocapse mendekati 100%.
Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan mengumpulkan kelompok telur
dan larva pada pertanaman. Secara kultur teknis, dapat dilakukan dengan
memerhatikan musim tanam, misalnya pada tanaman kubis penanaman
dilakukan selama musim hujan ketika populasi C. pavonana berkurang (Global
Crop Pests 1995).
Pengendalian dengan pestisida botani juga dapat dilakukan untuk
mengendalikan serangga ini, di antaranya yang dilaporkan oleh Surahmat (2002)

6
ekstrak biji Algaia odoratissima aktif terhadap larva C. pavonana. Sediaan kulit
batang C. soulatri dalam bentuk ekstrak metanol dan fraksi diklorometana
memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana (Syahputra
2007). Syahputra (2008) juga melaporkan bahwa sediaan ekstrak buah Brucea
javanica memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana.
Ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii bunga ungu dan bunga putih dan ekstrak
buah Piper cubeba yang diekstraksi dengan etil asetat memiliki aktivitas
insektisida yang kuat terhadap larva instar II C. pavonana (Abizar 2010).
Ekstrak buah P. aduncum bersifat toksik, (racun kontak dan racun perut),
antifeedant, dan berdampak terhadap lama perkembangan larva C. pavonana
(Arneti 2012).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor (IPB) mulai Juli 2012 sampai Maret 2013.
Persiapan Pengujian Ekstrak Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana
Pengumpulan Bahan Tumbuhan sebagai Sumber Ekstrak
Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak dalam penelitian
ini adalah daun dan buah sirih hutan yang diambil dari 10 lokasi berbeda di
Provinsi Riau, dengan memerhatikan ketinggian, topografi, dan habitat tempat
tumbuh (Tabel 1, Gambar 2). Setiap lokasi pengambilan sampel ditetapkan pada
radius 5 meter dari titik koordinat. Sebagai pembanding digunakan daun sirih
hutan yang berasal dari kampus IPB Dramaga Bogor.
Penyediaan Tanaman Brokoli sebagai Pakan Serangga
Tanaman brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) digunakan
sebagai sumber pakan serangga uji dan sebagai media perlakuan pada uji hayati
di laboratorium. Benih yang digunakan adalah benih brokoli cv. Green Magic.
Penyemaian dilakukan pada nampan semai dengan media campuran tanah,
kompos, dan pupuk NPK. Penanaman bibit dilakukan pada saat bibit berumur 4
minggu atau memiliki 4 helai daun ke polybag kapasitas 5 liter dengan media
tanah dan pupuk kandang (3:1 v/v). Pada setiap polybag ditanam satu bibit
brokoli. Pemeliharaan brokoli meliputi penyiraman, pemupukan, dan
pengendalian hama dilakukan secara mekanis. Daun brokoli yang telah berumur
sekurang-kurangnya 2 bulan digunakan sebagai pakan larva C. pavonana.
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva C.
pavonana yang berasal dari koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi
dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Pembiakan
serangga dilakukan mengikuti prosedur yang digunakan oleh Prijono dan Hassan
(1992). Imago C. pavonana dipelihara dalam kurungan plastik kasa berbingkai
kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm) dan diberi pakan larutan madu 10% yang
diserapkan pada segumpal kapas yang digantungkan di dalam kurungan. Daun
brokoli yang tangkainya dicelupkan dalam tabung film berisi air diletakkan di
dalam kurungan sebagai tempat peletakan telur. Kelompok telur pada daun
brokoli dikumpulkan setiap hari. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke
dalam wadah plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) berjendela kasa yang dialasi kertas
stensil, dan diletakkan daun brokoli bebas pestisida sebagai pakannya. Larva
instar II digunakan untuk pengujian. Bila tidak digunakan untuk pengujian,
sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam wadah plastik berisi daun brokoli.
Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik lain yang berisi
serbuk gergaji steril sebagai medium untuk berpupa. Pupa beserta kokonnya

8
dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa seperti di atas sampai muncul
imago untuk pemeliharaan selanjutnya.
Tabel 1 Kondisi tempat pengumpulan daun dan buah sirih hutan sebagai sumber
ekstrak di Provinsi Riau
Kabupaten/
Kecamatan
Pelalawan
Pangkalan
Kerinci

Pelalawan

Pekanbaru
Kota/ Sail

Kampar
Bangkinang
Barat A

Bangkinang
Barat B
XIII Koto
Kampar
Indragiri Hulu
Kelayang

Peranap

Kuantan
Singingi
Cerenti

Kuantan
Tengah

Lokasi/ ketinggian

Topografi

00021’40.4” LU
101054’23.5” BT
18 m dpl

Bergelombang

00025’14.9” LU
101054’28.0” BT
34 m dpl

Bergelombang

00031’10.8” LU
101029’04.4” BT
28 m dpl

Datar

00017’43.1” LU
100053’14.8” BT
103 m dp

Bergelombang

l00018’08.4” LU
100054’48.0” BT
50 m dpl
00015’06.9” LU
100046’42.0” BT
214 m dpl

Bergelombang

Bergelombang

Habitat tempat tumbuh

Tumbuh dengan tumbuhan lain
(rumput-rumputan) di pinggir
jalan, di tepi sungai dan selalu
mendapat luapan air sungai.
Tumbuh dengan tumbuhan lain
(rumput-rumputan, di pinggir
perkebunan kelapa sawit) di
pinggir jalan.
Tumbuh dengan tumbuhan lain
(kelapa, rambutan, pakupakuan, rumput-rumputan) di
tepi jalan pada pemukiman
penduduk
Tumbuh dengan tumbuhan lain
(rumput-rumputan, pakupakuan) tetapi mayoritas sirih
hutan, di lereng bukit.
Tumbuh dengan tumbuhan lain,
di pinggir jalan, di tepi sungai
berbatu-batu.
Tumbuh dengan tumbuhan lain
(paku-pakuan, rumputrumputan) di pinggir jalan

00027’27.6” LS
102008’27.5” BT
76 m dpl
00030’36.5” LS
E: 101059’33.2”
41 m dpl

Bergelombang

Tumbuh dengan tumbuhan lain
(ilalang), di pinggir jalan.

Bergelombang

Tumbuh dengan tumbuhan lain
(rumput-rumputan), di pinggir
jalan, di tepi sungai.

00030’36.5” LS
101052’19.2” BT
51 m dpl

Bergelombang

00030’52.4” LS
101034’38.4” BT
60 m dpl

Datar

Tumbuh dengan tumbuhan lain
(kelapa, rumput-rumputan) di
tepi jalan pada pemukiman
penduduk
Tumbuh dengan tumbuhan lain
(rumput-rumputan) di pinggir
jalan dekat pembuangan
sampah, selalu tergenang.

9

LEGEND
Lokasi pengumpulan bahan penelitian

Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel sirih hutan di Provinsi Riau
Ekstraksi Sirih Hutan
Ekstraksi dilakukan dengan metode perendaman (maserasi) selama 24 jam.
Buah dan daun sirih hutan dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil
kemudian dikeringanginkan pada suhu kamar selama 6-12 hari tanpa terkena
cahaya matahari secara langsung. Setelah kering potongan buah dan daun sirih
hutan digiling dengan menggunakan blender. Serbuk hasil gilingan diayak
dengan menggunakan pengayak kasa kawat berjalinan 0.5 mm. Serbuk daun P.
aduncum 50 g dan serbuk buahnya seberat 100 g direndam dalam etil asetat
perbandingan 1:10 (w/v), dengan tiga kali perendaman. Cairan hasil rendaman
disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring Whatman No. 41
diameter 185 mm. Hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak
kasar. Hasil ekstrak yang diperoleh ditimbang kemudian disimpan di dalam
lemari es pada suhu ± 4 °C sampai digunakan untuk pengujian.

10
Pengujian Ekstrak Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana
Uji Kualitatif Komponen Ekstrak P. aduncum
Pemeriksaan kualitatif komponen ekstrak etil asetat daun dan buah P.
aduncum dilakukan dengan teknik kromatografi lapisan tipis (thin layer
chromatography – TLC). Setiap ekstrak dilarutkan dalam aseton pada
konsentrasi 0.5 %. Sebagai pembanding digunakan minyak atsiri buah P.
aduncum yang mengandung dilapiol 76% (Lina EC 2013, komunikasi pribadi).
Setiap larutan ekstrak P. aduncum diteteskan dengan menggunakan pipet
mikro masing-masing sebanyak 5 µL pada pelat alumunium TLC berlapiskan
gel silika (Silika Gel F254, Merck) sebagai penjerap. Penetesan dilakukan pada
jarak 1.5 cm dari bagian dasar pelat. Pelat TLC yang telah mengandung bercak
ekstrak diletakkan pada posisi berdiri dalam sebuah tangki gelas pengembang
TLC yang berisi campuran pelarut heksana dan etil asetat (4:1) sebanyak 160
mL. Pelarut akan bergerak ke atas dengan gaya kapiler pada lapisan tipis gel
silika yang membawa campuran komponen pada laju yang berbeda
(menunjukkan adanya pemisahan). Komponen ekstrak yang bersifat lebih
nonpolar akan bergerak lebih cepat ke atas terbawa oleh pelarut, sedangkan yang
bersifat lebih polar akan tertinggal karena tertahan oleh penjerap gel silika yang
bersifat polar. Setelah pelarut pada lapisan tipis penjerap bergerak hingga batas
atas yang telah ditentukan, pelat TLC diangkat dan dikeringanginkan di dalam
kamar asap. Bercak-bercak komponen ekstrak pada pelat TLC dideteksi dengan
menggunakan sinar ultraviolet 254 nm di dalam ruangan gelap. Posisi setiap
bercak pada pelat TLC ditandai dan diukur jarak bergeraknya dari garis awal.
Selanjutnya faktor retensi (RF) komponen – komponen utama yang terdeteksi
dihitung dengan rumus berikut:
Rf

Jarak pergerakan komponen
= Jarak pergerakan pelarut

Uji Toksisitas
Uji toksisitas penapisan dilakukan terhadap ekstrak 10 sampel daun, 10
sampel buah sirih hutan dan satu sampel daun yang berasal dari Bogor sebagai
pembanding dengan metode residu pada daun. Setiap ekstrak diuji pada
konsentrasi 0.5%, 0.25%, 0.2%, 0.1%, dan 0.05% (w/v). Setiap ekstrak
diencerkan dengan campuran metanol dan Tween 80 (5:1 v/v) kemudian
ditambahkan akuades sampai volume yang diinginkan (Abizar & Prijono 2010).
Konsentrasi akhir metanol dan Tween 80 dalam suspensi ekstrak uji masingmasing 1% dan 0.2% (v/v). Larutan kontrol berupa akuades yang mengandung
metanol dan Tween 80 (5:1 v/v) 1.2%.
Potongan daun brokoli bebas insektisida yang berukuran 4 cm x 4 cm
dicelupkan satu per satu dalam sediaan ekstrak yang telah disiapkan (sesuai
perlakuan) selama 30 detik kemudian dikeringanginkan di atas kertas stensil.
Sebanyak 15 ekor larva instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan
ke dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang telah dialasi tisu kemudian
dimasukkan satu potong daun brokoli perlakuan. Larva diberi makan daun
brokoli perlakuan selama 2 x 24 jam masing-masing sebanyak satu daun
kemudian diganti dengan daun segar tanpa perlakuan. Larva kontrol diberi

11
makan daun yang telah dicelup dalam larutan kontrol berupa akuades yang
mengandung metanol dan Tween 80 (5:1). Pengujian dilakukan dengan tiga
ulangan. Larva yang hidup dipelihara sampai instar IV, sementara jumlah larva
yang mati dicatat setiap hari.
Konsentrasi uji lanjut ditentukan berdasarkan hasil uji pendahuluan. Uji
lanjut dilakukan terhadap ekstrak yang pada konsentrasi 0.25 % untuk daun dan
0.20% untuk buah mematikan serangga uji ≥ 80 %, hal ini sebagai pertimbangan
karena ekstrak buah lebih aktif dari pada ekstrak daun. Setiap perlakuan dan
kontrol diulang lima kali, pada setiap ulangan digunakan 15 ekor larva instar II
C. pavonana. Cara pengujian dan pengamatan sama seperti pada uji
pendahuluan. jumlah larva yang mati dicatat setiap hari. Data mortalitas larva
diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC.
Uji Penghambat Aktivitas Makan
Sediaan yang diuji adalah empat ekstrak sirih hutan yang memiliki
toksisitas tertinggi dari uji toksisitas, yaitu ekstrak buah Bangkinang Barat A,
buah XIII Koto Kampar, buah Pekanbaru, dan buah Cerenti. Pengujian
dilakukan dengan metode pilihan. Penyiapan suspensi ekstrak dilakukan seperti
pada uji toksisitas. Taraf konsentrasi yang digunakan setara dengan LC25 dan
LC50 berdasarkan hasil uji toksisitas.
Empat potong daun brokoli yang berukuran 2 cm x 2 cm (terdiri atas 2
daun perlakuan dan 2 daun kontrol) diletakkan secara berselang-seling di dalam
satu cawan petri yang terpisah. Pada setiap cawan petri dimasukkan 5 ekor larva
C. pavonana instar III awal (5 jam setelah ganti kulit).
Pengamatan dilakukan pada 24 jam setelah perlakuan (JSP). Persentase
penghambatan makan (HM) dihitung dengan menggunakan rumus:
HM (%) = (LAK – LAT/LAK+LAT) x 100%
LAT dan LAK berturut-turut adalah rata-rata luas daun perlakuan dan
daun kontrol yang dimakan larva uji (Hassanali & Bentley 1987).
Data penghambatan makan diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan
dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%. Analisa statistika dilakukan
dengan menggunakan paket program SAS versi 9.1 (SAS Institut 2002-2003).
Uji Persistensi dan Fitotoksisitas
Uji persistensi ekstrak dilakukan pada ekstrak yang memiliki toksisitas
tertinggi dari hasil uji toksisitas, yaitu ekstrak buah Bangkinang Barat A, buah
XIII Koto Kampar, buah Pekanbaru, dan buah Cerenti.
Metode yang digunakan adalah metode penyemprotan langsung pada
tanaman brokoli pada polibag di luar ruangan dan jika hujan tanaman diberi
naungan. Sebelum dilakukan penyemprotan, dipilih daun brokoli yang seragam
sehingga daun yang tersisa hanya 6 daun per tanaman. Dengan menggunakan
hand sprayer bertekanan daun brokoli disemprot pada permukaan atas dan
bawah daun sampai rata hingga cairan semprot menetes ke tanah. Tanaman
kemudian dipaparkan selama 8 jam /per hari di bawah sinar matahari dari pukul
08.00 hingga pukul 16.00.
Daun brokoli diambil pada 0, 1, 2, 3, dan 5 hari setelah penyemprotan.
Daun brokoli kemudian dipotong segi empat (4 cm x 4 cm) sebanyak 2 lembar.
Daun tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri yang dialasi kertas tisu.

12
Sebanyak 15 larva instar II C. pavonana dimasukkan ke dalam cawan petri
tersebut. Larva dibiarkan makan daun perlakuan dan kontrol hingga 48 jam.
Kemudian larva diberi daun brokoli bebas pestisida. Larva diamati 48 JSP dan
72 JSP. Jumlah larva yang mati dicatat. Data mortalitas larva diolah dengan
sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Analisis
statistika dengan menggunakan program SAS versi 9.1 (SAS Institut 20022003).
Untuk pengamatan fitotoksisitas, gejala fitotoksik yang muncul pada
tanaman diamati pada bagian helaian daun yang mengalami nekrosis dengan
menggunakan kertas milimeter. Luas relatif bercak nekrosis dihitung dengan
membandingkan luas bercak dan luas daun dikalikan 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi P. aduncum
Hasil ekstraksi buah P. aduncum dari 10 lokasi berbeda di Provinsi Riau
yang menggunakan pelarut etil asetat berkisar dari 8.64% sampai 15.18%
dengan rata-rata 11.55%, sementara hasil ekstraksi daun berkisar dari 9.37%
sampai 14.56% dengan rata-rata 10.99% (Tabel 2). Ekstrak buah berbentuk pasta
dan berwarna cokelat, sementara ekstrak daun berbentuk pasta yang lebih kental
dan berwarna hijau pekat.
Hasil ekstraksi tertinggi untuk buah P. aduncum berasal dari Kecamatan
Pangkalan Kerinci sebesar 15.18% dan hasil terendah berasal dari Kecamatan
XIII Koto Kampar sebesar 8.64 %, sedangkan hasil ekstraksi tertinggi untuk
daun P. aduncum berasal dari Kecamatan Pangkalan Kerinci sebesar 14.56%
dan hasil terendah berasal dari Kecamatan Kuantan Tengah (9.37%) (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil ekstraksi buah dan daun P. aduncum menggunakan etil asetat dari
10 lokasi berbeda dan faktor retensi komponen ekstrak
Asal bahan ekstrak
Kampar
Bangkinang
Barat A
Bangkinang
Barat B
XIII Koto
Kampar
Kota Pekanbaru
Pelalawan
Pangkalan
Kerinci
Pelalawan
Indragiri Hulu
Kelayang
Peranap
Kuantan Singingi
Cerenti
Kuantan Tengah
Bogor
(pembanding)
Minyak atsiri P.
aduncum

Hasil ekstrak
(%)
Buah
Daun

Komponen pada TLC
Buah

Daun

11.90

9.49

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0; 0.2; 0.5; 0.8

12.45

10.08

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.5; 0.8

8.64

11.84

0; 0.1; 0.2;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.5; 0.8

12.66

10.93

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.4; 0.5; 0.8

15.18

14.56

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.5; 0.8

10.64

9.74

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.4; 0.5; 0.8

9.96
10.92

11.74
11.08

0; 0.1; 0.3;0.5;0.8
0; 0.1; 0.3;0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.5; 0.8
0; 0.1; 0.2; 0.4; 0.5; 0.8

10.98
12.12

10.16
9.37

0; 0.1; 0.2; .5;0.8
0; 0.1; 0.5;0.8

0; 0.1; 0.2; 0.4; 0.5; 0.8
0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.5; 0.8
0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.5; 0.8
0; 0.8

Pemeriksaan kualitatif komponen ekstrak etil asetat daun dan buah P.
aduncum yang berasal dari 10 lokasi berbeda dan minyak atsiri buah P. aduncum
sebagai pembanding dilakukan dengan metode TLC (thin layer
chromatography). Hasil pemeriksaan menunjukkan komponen setiap ekstrak
terpisah dengan pola yang serupa (Gambar 3).

14
Jumlah bercak pada ekstrak daun P. aduncum lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah bercak pada ekstrak buahnya. Ekstrak daun terpisah menjadi 5
bercak dengan Rf antara 0.1 hingga 0.8, sedangkan ekstrak buah terpisah
menjadi 4 bercak dengan Rf antara 0.1 hingga 0.8. Sebagai pembanding,
digunakan minyak hasil penyulingan buah P. aduncum yang hanya memiliki
satu bercak dengan Rf 0.8 (Tabel 2 dan Gambar 3).
Minyak atsiri buah P. aduncum hanya memiliki satu bercak yang terdapat
pada bagian atas pelat yang mengandung dilapiol 76% (Lina EC 2013,
komunikasi pribadi), sehingga dapat diketahui posisi dilapiol ekstrak yang
lainnya, yaitu sejajar dengan posisi dilapiol pada minyak atsiri P. aduncum
(Gambar 3).

*

A

B C

D E

F G Atsiri H

I

J

K L M N Atsiri O

P Q

R S T U Atsiri

Gambar 3 Pemeriksaan kualitatif ekstrak P. aduncum dan pembanding dengan
TLC gel silika. A (daun Bangkinang Barat A), B (daun Bangkinang
Barat B), C (daun XIII Koto Kampar), D (daun Kota Pekanbaru), E
(daun Pangkalan Kerinci), F (daun Pelalawan), G (daun Kelayang),
H (daun Peranap), I (daun Cerenti), J (daun Taluk Kuantan), K (daun
Bogor), L (buah Bangkinang Barat A), M (buah Bangkinang Barat
B), N (buah XIII Koto Kampar), O (buah Kota Pekanbaru), P (buah
Pangkalan Kerinci), Q (buah Pelalawan), R (buah Kelayang), S
(buah Peranap), T (buah Cerenti), U (buah Taluk Kuantan), *Atsiri
(Dilapiol 76%).

Uji Mortalitas Larva C. pavonana
Secara umum hasil pada uji pendahuluan menunjukan bahwa ekstrak buah
P. aduncum mengakibatkan kematian larva C. pavonana lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak daun. Ekstrak buah, 0.2% menyebabkan kematian
larva pada kisaran 44.4% hingga 100%, sedangkan ekstrak daun 0.25% hanya
menyebabkan kematian larva pada kisaran 13.3% hingga 93.3%. Perlakuan
ekstrak buah P. aduncum berasal dari Pelalawan mengakibatkan mortalitas
tertinggi yaitu mencapai 100%, sedangkan mortalitas terendah 44.4% berasal
dari Pangkalan Kerinci (Tabel 3).
Konsentrasi untuk uji lanjut ditentukan dari hasil uji pendahuluan, yaitu
ekstrak 0.2% untuk pengujian ekstrak buah dan 0.25% untuk pengujian ekstrak
daun yang dapat mematikan larva uji ≥ 80%. Adapun ekstrak sirih hutan yang
mematikan ≥ 80% serangga uji adalah ekstrak yang berasal dari Bangkinang
Barat A (buah 84.4%, daun 86.7%), Bangkinang Barat B (daun 80%), XIII Koto

15
Kampar (buah 97.8%), Kota Pekanbaru (buah 95.6%), Pelalawan (buah 100%,
daun 93.3%), Peranap (daun 80%) dan Cerenti (buah 100%).
Tabel 3 Mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan 21 ekstrak P.
aduncum a.
Mortalitas larva C. pavonana (%) ± SD
Asal bahan ekstrak
Buahb
Daunb
Kampar
Bangkinang Barat A
84.4 ± 4.1
86.7 ± 1.7
Bangkinang Barat B
64.4 ± 3.1
80.0 ± 5.2
XIII Koto Kampar
97.8 ± 0.6
48.9 ± 6.8
Kota Pekanbaru
95.6 ± 1.2
13.3 ± 1.0
Pelalawan
Pangkalan Kerinci
44.4 ± 4.5
28.8 ± 2.1
Pelalawan
100.0 ± 0.0
93.3 ± 1.0
Indragiri Hulu
Kelayang
51.1 ± 3.1
42.2 ± 1.0
Peranap
71.1 ± 4.2
80.0 ± 4.2
Kuantan Singingi
Cerenti
100.0 ± 0.0
28.9 ± 2.5
Kuantan Tengah
57.8 ± 3.5
33.3 ± 4.4
Bogor (pembanding)
53.3 ± 3.3
a
Data mortalitas pada 96 jam setelah perlakuan
b
Buah pada konsentrasi 0.20%. Daun pada konsentrasi 0.25%
Tabel 4 Penduga parameter toksisitas sembilan ekstrak P. aduncum terhadap
larva C. pavonanaa
LC50
LC95
Asal ekstrak
a ± GBb
b ± GBb
(%)
(%)
Daun
Bangkinang Barat A
5.699 ± 0.507
6.883 ± 0.645 0.149 0.258
Bangkinang Barat B
8.265 ± 0.896 10.966 ± 1.233 0.176 0.249
Pelalawan
6.040 ± 0.491 7.879 ± 0.652 0.171 0.277
Peranap
3.897 ± 0.380 5.613 ± 0.536 0.202 0.397
Buah
Bangkinang Barat A
7.812 ± 0.697 9.141 ± 0.827 0.140 0.212
XIII Koto Kampar
7.540 ± 0.667 8.680 ± 0.797 0.135 0.209
Kota Pekanbaru
11.967 ± 1.502 15.308 ± 1.950 0.165 0.211
Pelalawan
5.231 ± 0.475 5.839 ± 0.576 0.127 0.243
Cerenti
6.904 ± 0.627 7.916 ± 0.746 0.134 0.216
a
Data mortalitas pada 72 jam setelah perlakuan
b
a:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit.
Berdasarkan hasil analisis probit (Tabel 4), ekstrak P. aduncum yang
paling aktif adalah ekstrak buah dari XIII Koto Kampar (LC95 0.209%) dan yang
terendah adalah ekstrak daun Peranap (LC95 0.397%). Hasil analisis probit
tersebut dijadikan acuan untuk melakukan uji lainnya, yang mana dipilih empat

16
ekstrak yang memiliki toksisitas paling tinggi yaitu ekstrak Buah XIII Koto
Kampar, ekstrak Buah Bangkinang Barat A, ekstrak Buah Pekanbaru dan
ekstrak Buah Cerenti.
Gambar 4 memperlihatkan pola perkembangan mortalitas larva C.
pavonana yang diberi perlakuan sembilan ekstrak P. aduncum. Mortalitas larva
terlihat beragam namun menunjukan pola perkembangan yang sama. Mortalitas
larva C. pavonana mulai terjadi pada hari pertama setelah perlakuan. Pada hari
kedua, kematian larva meningkat pada semua konsentrasi terutama pada
konsentrasi 0.3% dan 0.25% yaitu mencapai 100%.
Tingkat kematian larva C. pavonana pada 24 JSP masih rendah pada setiap
lokasi kecuali untuk ekstrak buah Bangkinang Barat A, ekstrak buah XIII Koto
Kampar, dan ekstrak buah Rantau Baru, dimana kematian serangga uji > 80%.
Peningkatan mortalitas serangga uji mulai tampak pada 48 JSP dan meningkat
dengan makin besarnya konsentrasi yang diuji. Pada 48 JSP perlakuan dengan
menggunakan ekstrak daun yang berasal dari lokasi Bangkinang Barat A,
Pelalawan, dan Peranap pada konsentrasi tertinggi mortalitas serangga uji > 80%
sedangkan pada ekstrak daun Bangkinang Barat B, Buah Bangkinang Barat A,
buah XIII Koto Kampar, buah Pekanbaru, buah Pelalawan, dan buah Cerenti
pada konsentrasi tertinggi mencapai 100%.
Pengaruh Ekstrak terhadap Aktivitas Makan Larva C. pavonana
Perlakuan ekstrak buah dari empat lokasi pada selang konsentrasi yang
diuji menunjukan aktivitas makan larva tidak berbeda nyata pada setiap lokasi
dan konsentrasi. Perlakuan aktivitas penghambat makan pada ekstrak P.
aduncum Buah Bangkinang Barat A, XIII Koto Kampar dan Buah Cerenti
semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi, sedangkan pada ekstrak
P. aduncum buah Pekanbaru, aktivitas penghambat makan tidak menunjukan
kecenderungan terpaut konsentrasi, dimana penghambatan makan pada LC25
lebih besar dari pada perlakuan LC50 (Tabel 5).
Tabel 5 Pengaruh ekstrak P. aduncum dari empat lokasi di Riau terhadap
aktivitas makan larva C. pavonana
Lokasi asal P. aduncum
Buah Bangkinang Barat A

LAK (mm2)

LAT (mm2)

HM (%)

LC25
88.65
45.90
31.77a
LC50
89.25
38.90
39.29a
Buah XIII Koto Kampar
LC25
71.60
48.48
19.26a
LC50
89.83
35.38
43.49a
Buah Pekanbaru
LC25
94.22
33.18
47.92a
LC50
77.20
51.25
20.20a
Buah Cerenti
LC25
76.08
50.00
20.68a
LC50
93.98
37.05
43.45a
LAK = rataan luas daun kontrol yang dimakan, LAT = rataan luas daun
perlakuan yang dimak

Dokumen yang terkait

Insecticidal Activity of Meliaceous Seed Extracts Against Crocidolomia Binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae)

0 9 1

Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 4 87

Potential of Piper aduncum Fruit as Botanical Insecticide against Crocidolomia pavonana Larvae

1 8 129

Insecticidal activity of sugar-apple (Annona squamosa L.) seed extracts from different locations and synergism of the most active extract with spiked-pepper (Piper aduncum L.) fruit extract against Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) larva

2 10 118

Aktivitas Insektisida Campuran Ekstrak Buah Piper aduncum (Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 7 63

Insecticidal activity of sugar apple seed extracts from different locations and synergism of the most active extract with spiked pepper fruit extract against Crocidolomia pavonana larvae

0 14 70

Bioactivity of stem bark extracts of Simaroubaceae plants and leaf extract Tephrosia vogelii on the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)

1 12 78

Synergistic action of mixed extracts of Br ucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae), and Tephrosia vogelii (Leguminosae) against cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana

0 6 7

THE POPULATION SUCCESSION PATTERN OG CABBAGE MAIN PEST PLUTTELA XYLOSTELLA L. AND CROCIDOLOMIA PAVONANA AT CABBAGE PLANTATION.

0 0 1

Synergistic action of mixed extracts of Brucea javanica (Simaroubaceae), Piper aduncum (Piperaceae), and Tephrosia vogelii (Leguminosae) against cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana - Repositori Universitas Andalas

1 1 7