Karakterisasi Sifat Adsorpsi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dan Surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS) pada Core Sintetik

KARAKTERISASI SIFAT ADSORPSI SURFAKTAN METIL
ESTER SULFONAT (MES) DAN SURFAKTAN SODIUM
DODESIL SULFAT (SDS) PADA CORE SINTETIK

SEPTIYANNI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Karakterisasi Sifat
Adsorpsi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Dan Surfaktan Sodium Dodesil
Sulfat (SDS) Pada Core Sintetik” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Septiyanni
NIM F34070078

ABSTRAK
SEPTIYANNI. Karakterisasi Sifat Adsorpsi Surfaktan Metil Ester Sulfonat
(MES) dan Surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS) pada Core Sintetik.
Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH.
Adsorpsi surfaktan pada core sintetis merupakan salah satu metode untuk
mengoptimalkan produksi minyak bumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
karakteristik adsorpsi surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan sodium dodesil
sulfat (SDS) pada core sintetik. Hasil pengukuran dimensi, core sintetik memiliki
porositas rata-rata berkisar 30-35% dan permeabilitas rata-rata sebesar 45,9-50,4
mD. Berdasarkan hasil penelitian dengan perlakuan pengaruh bobot core sintetik
terhadap konsentrasi adsorpsi surfaktan, dapat dilihat bahwa titik jenuh dengan
selisih konsentrasi surfaktan MES tertinggi di dalam larutan dan core terjadi pada
saat perlakuan bobot core sintetik 4 g sebesar 7.16 mg/g (pada pengenceran 80x)

dan 3.5 g sebesar 7.18 mg/g (pada pengenceran 100x). Dan untuk surfaktan SDS
perlakuan bobot core sintetik 2.5 g (pada pengenceran 50 dan 100 kali)
merupakan titik jenuh adsorpsi surfaktan SDS.
Pada perlakuan hubungan berbagai tingkat konsentrasi MES terhadap
konsentrasi adsorpsi surfaktan MES, hasil menunjukkan semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka tingkat adsorpsi surfaktan pada batuan core
juga semakin tinggi. Berdasarkan penelitian, perlakuan konsentrasi MES 0.4%
mencapai titik jenuh. Sedangkan untuk surfaktan SDS, berdasarkan pengaruh
berbagai tingkat konsentrasi SDS terhadap konsentrasi adsorpsi surfaktan SDS
hasil menunjukkan bahwa konsentrasi 0.3% mencapai titik jenuh surfaktan SDS
yang teradsorpsi pada core sintetik
Hasil analisis karakteristik pH menunjukkan kenaikan pH pada surfaktan
MES dan SDS setelah uji adsorpsi pada perlakuan perbedaan bobot core sintetik
dan perbedaan konsentrasi surfaktan. Hasil analisis warna setelah uji adsorpsi
surfaktan pada perlakuan perbedaan bobot core sintetik dan perbedaan konsentrasi
surfaktan menunjukkan penurunan pada nilai Klett.
Kata Kunci : Surfaktan MES, SDS, core sintetik, adsorpsi, konsentrasi surfaktan

ABSTRACT
SEPTIYANNI. Characterisation of Nature on Adsorption of Methyl Ester

Sulfonate (MES) and Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) as Surfactant on Synthetic
Core. Supervised BY DWI SETYANINGSIH.
Adsorption of surfactants on the synthetic core is one of the methods for
optimizing the production of petroleum. This study aimed to assess the
characteristics of surfactant adsorption, methyl ester sulfonate (MES) and sodium
dodecyl sulfate (SDS), on the synthetic core. The results of dimensional
measurements, synthetic core had an average porosity of 30-35%, and average
permeability 45,9-50,4 mD. Based on the result of treatment on the effect of
synthetic core weight to the surfactant adsorption concentration, it shown that
saturation point with highest MES surfactant concentration difference in dilution
and core occured on treatment of 4 g/ml synthetic core with 7.16 mg/g value (on
80 times dilution) and 3.5 g/ml with 7.18 mg/g value (on 100 times dilution). On
SDS sufactant, it shown the synthetic core weight treatment of 2.5 g /ml (on 50
and 100 times dilution) is the saturation point of SDS surfactant adsorption
On the treatment of MES concentration variety level to the concentration
of MES surfactant adsorption, the result shown the higher MES concentration
which was used gave higher surfactant adsorption level on synthetic core of 0.4%
MES concentration reached saturation point. On SDS sufactant, based on the
effect of SDS concentration variety level to the concentration of SDS surfactant
adsorption, the results shown of 0.3% at the saturation pointthe surfactant SDS

adsorbed to the synthetic core
Results of analysis of the characteristics of pH show a rise of pH in MES
and SDS surfactant after adsorption test on treatment in differences weight of core
synthetic and surfactant concentration. The results of color analysis after
adsorption of the surfactant in the treatment in differences weight of core
synthetic and surfactant concentratios showed the decreasing Klett value.
Keywords : Surfactant MES, SDS, synthetic core, adsorption, surfactant
concentration

KARAKTERISASI SIFAT ADSORPSI SURFAKTAN METIL
ESTER SULFONAT (MES) DAN SURFAKTAN SODIUM
DODESIL SULFAT (SDS) PADA CORE SINTETIK

SEPTIYANNI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Judul Skripsi: Karakterisasi Sifat Adsorpsi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)

dan Surfaktan Sodium Dodesil SuIfat (SDS) pada Core Sintetik
: Septiyanni
Nama
NIM
: F34070078

Disetujui oleh

Dr.

Tanggal Ujian: 29 April 2013

etyaningsih, STP. MSi
Pembimbing

Judul Skripsi : Karakterisasi Sifat Adsorpsi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)
dan Surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS) pada Core Sintetik
Nama
: Septiyanni
NIM

: F34070078

Disetujui oleh

Dr. Dwi Setyaningsih, STP. MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof.Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Ujian : 29 April 2013

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
penelitian yang berjudul ”Karakterisasi Sifat Adsorpsi Surfaktan Metil Ester
Sulfonat (MES) dan Surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS) pada Core Sintetik”.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2011 di
Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC), Kampus IPB
Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.

2.

3.

4.

5.

6.
7.
8.

9.


Dr. Dwi Setyaningsih, STP. MSi. dari Departemen Teknologi Industri
Pertanian selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan
waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah
hingga penyusunan skripsi.
Dr. Tatit K. Bunasor, MSc. dari Departemen Teknologi Industri Pertanian
selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktunya
untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah hingga
penyusunan skripsi.
Prof. Dr. Erliza Hambali dari Departemen Teknologi Industri Pertanian
selaku Pemilik dari Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research
Center (SBRC) yang telah memberikan bimbingan serta arahan dan juga
fasilititas baik bahan baku, peralatan dan tempat untuk penulis melakukan
penelitian.
Prof. Dr.-Ing Ir. Suprihatin dan Dr. Ono Suparno, STP. MT. selaku Dosen
Penguji yang telah berkenan memberikan masukan dan mengarahkan
penulis.
Ayah, Ibu, dan seluruh keluarga besar yang selalu menjadi sandaran baik
suka maupun duka, yang telah memberikan segenap kasih sayang, doa,
materiil, motivasi dan semangat kepada penulis.
Dimas Supriyadi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Seluruh staf dan teknisi SBRC yang telah membantu kelancaran jalannya
penelitian.
Ryztiara Nurfitri, Rizky Oktavian, Eko Nopianto, Rachmania Widyastuti,
Dayu Perwatasari, dan Anza Julia Wahyu Putri teman satu penelitian yang
telah memberikan semangat, dukungan dan masukan kepada penulis.
Teman seperjuangan TIN 44 khususnya, teman Wisma Flora, dan temanteman BEM FATETA.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan
kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
agroindustri.
Bogor, Juni 2013

Septiyanni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR


ix

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan Penelitian
Peralatan Penelitian
Prosedur Analisis Data
Pembuatan Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan
Persiapan Core Sintetik
Persiapan Larutan Surfaktan MES dan SDS untuk Uji Adsorpsi
Uji Adsorpsi Surfaktan MES dan SDS pada Core Sintetik
Analisis Larutan Surfaktan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan
Kurva Standar Surfaktan MES
Kurva Standar Surfaktan SDS
Adsorpsi Surfaktan Pada Batuan Core
Pengaruh Perbedaan Bobot Core terhadap Konsentrasi Adsorpsi
Surfaktan MES
Pengaruh Perbedaan Bobot Core terhadap Konsentrasi Adsorpsi
Surfaktan SDS
Pengaruh Berbagai Tingkatan Konsentrasi terhadap Konsentrasi
Adsorpsi Surfaktan MES
Pengaruh Berbagai Tingkatan Konsentrasi terhadap Konsentrasi
Adsorpsi Surfaktan SDS
Analisis Karakteristik Surfaktan
Pengaruh pH
Pengaruh warna
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
7
8
9
10
10
10
11
15
15
18
20
21
23
23
26
28
28
28
28

DAFTAR TABEL
Tabel 1

Pembuatan konsentrasi larutan surfaktan sampel

9

Tabel 2

Batuan dan fluida reservoir lapangan Tanjung

12

Tabel 3

Data porositas dan permeabilitas core sintetik yang

Tabel 4

digunakan dalam penelitian

14

Hubungan perbedaan bobot core dengan selisih konsentrasi
Surfaktan MES di dalam larutan dan core pada
pengenceran 80 dan 100 kali

17

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1

Prosedur persediaan core sintetik untuk uji adsorpsi surfaktan.

6

Gambar 2

Pencucian core sintetik menggunakan sokhlet.

7

Gambar 3

Sediaan core sintetik yang telah dibersihkan dan dibungkus
dalam aluminium foil.

7

Gambar 4

Pemvakuman dan penjenuhan core sintetik dalam air formasi.

7

Gambar 5

Larutan MES 0.3% b/b dalam air injeksi
Tanjung 10.000 ppm NaCl

8

Gambar 6

Larutan SDS 0.5 % b/b dalam akuades

8

Gambar 7

Diagram alir karakerisasi sifat adsorpsi surfaktan

10

Gambar 8

Hubungan antara konsentrasi dan absorbansi
surfaktan MES FP 50x

11

Hubungan konsentrasi dan absorbansi surfaktan SDS
(tanpa pengenceran)

12

Gambar 9

Gambar 10 Core sintetik batu pasir/sandstone.

13

Gambar 11 Data hubungan perbedaan bobot core per volume
surfaktan (g/ml) terhadap konsentrasi adsorpsi MES (FP 80 kali) 16
Gambar 12 Data hubungan perbedaan bobot core per volume
surfaktan(g/ml) terhadap konsentrasi adsorpsi MES (FP 100 kali) 16
Gambar 13 Hubungan bobot core per volume surfaktan (g/ml) dengan
konsentrasi adsorpsi surfaktan SDS (FP 50x)

19

Gambar 14 Hubungan bobot core per volume surfaktan (g/ml) dengan
konsentrasi adsorpsi surfaktan SDS (FP 100x)

19

Gambar 15 Hubungan antara berbagai tingkatan konsentrasi dengan
konsentrasi adsorpsi surfaktan MES (FP 100x)

20

Gambar 16 Hubungan antara berbagai tingkatan konsentrasi dengan
konsentrasi adsorpsi surfaktan SDS (FP 200x)

22

Gambar 17 Hubungan bobot core dengan nilai pH surfaktan MES
sebelum dan sesudah uji adsorpsi.

23

Gambar 18 Hubungan bobot core dengan nilai pH surfaktan SDS
sebelum dan sesudah uji adsorpsi.

24

Gambar 19 Hubungan konsentrasi surfaktan dengan nilai pH
surfaktan MES sebelum dan sesudah uji adsorpsi

25

Gambar 20 Hubungan konsentrasi surfaktan dengan nilai pH
surfaktan SDS sebelum dan sesudah uji adsorpsi

25

Gambar 21 Hubungan bobot core dengan pengukuran warna
surfaktan MES sebelum dan sesudah uji adsorpsi.

26

Gambar 22 Hubungan konsentrasi surfaktan dengan nilai warna
surfaktan MES sebelum dan sesudah uji adsorpsi.

27

Gambar 23 Hubungan konsentrasi surfaktan dengan nilai warna
surfaktan SDS sebelum dan sesudah uji adsorpsi.

27

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisis Karakteristik Surfaktan

31

Lampiran 2 Prosedur Perhitungan Porositas dan Permeabilitas Core

31

Lampiran 3 Data Dimensi dan Porositas Core Sintetik

32

Lampiran 4 Peralatan/Instrument yang Digunakan pada Penelitian

33

0

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan energi terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk
dan kemajuan teknologi. Saat ini minyak bumi masih merupakan salah satu
sumber energi utama bagi kehidupan manusia. Berdasarkan data yang tercatat
oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (2010), produksi
minyak Indonesia terus menurun pada kurun waktu 1997-2006. Pencapaian
produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977 sebesar 1,7 MBOPD
(million barrel oil per day) dan peak production kedua tahun 1995 sebesar 1,6
MBOPD (million barrel oil per day). Diantara dua puncak produksi itu terjadi
fluktuasi, dan tentu saja tidak melebihi kedua titik puncak produksi tersebut. Pada
tahun 2007 produksi minyak Indonesia sebesar 954.000 BOPD (barrel oil per
day). Pada bulan Agustus dan September 2007, angka produksi merambah naik
sedikit demi sedikit. Pada bulan Januari 2008, produksi minyak menembus satu
juta BOPD (barrel oil per day) lalu sempat turun tetapi naik kembali.
Sifat minyak bumi sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
mengakibatkan cadangan minyak bumi semakin menipis. Langkah yang dapat
dilakukan untuk mengatasi krisis energi tersebut yaitu dengan penemuan alternatif
sumber energi baru atau dengan mengoptimalkan produksi sumber energi yang
sudah ada.
Menurut Lake (1989) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur yang
telah diproduksi masih besar, berkisar 40-70% dari original oil in place (OOIP).
Minyak bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi yang terperangkap
pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksikan dengan teknologi
konvensional (tahap primer dan sekunder/waterflooding). Oleh karenanya, untuk
meningkatkan produksi minyak bumi nasional, maka dilakukan dengan metode
EOR (enhanced oil recovery). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode
yang melibatkan proses penginjeksian material yang dapat menyebabkan
perubahan sifat-sifat fluida dan batuan reservoir seperti komposisi minyak, suhu,
rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Meskipun metode EOR
kadang disebut sebagai pengurasan tersier, namun bukan berarti metode EOR ini
diterapkan setelah fase sekunder.
Surfaktan diketahui dapat dimanfaatkan pada proses enhanced oil recovery/
meningkatkan produktivitas minyak bumi (EOR), khususnya pada proses stimulan
kimiawi dengan tujuan untuk meningkatkan perolehan minyak bumi dari dalam
reservoir. Menurut Hovda (1993), surfaktan MES tergolong dalam kelompok
surfaktan anionik, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti (subtitusi)
surfaktan petroleum sulfonat. Kelebihan surfaktan MES berbasis minyak sawit
dibandingkan surfaktan petroleum sulfonat yang berbasis petrokimia adalah
bersifat terbaharukan, mudah didegradasi (good biodegradability), karakteristik
dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat
kesadahan yang tinggi (hard water), dapat mempertahankan aktivitas enzim yang
lebih baik, dan toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium (Rosen
2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nugroho (2005) dan Saputro
(2005), surfaktan metil ester sulfonat (MES) yang berbasis minyak sawit sebagai

2
bahan aktif dalam pembuatan oil well stimulation dapat menurunkan tegangan
antar muka minyak-air sampai dengan 10-3 dyne/cm. Hal tersebut menunjukkan
bahwa surfaktan metil ester sulfonat berbasis minyak sawit layak menggantikan
surfaktan petroleum sulfonat.Surfaktan SDS (sodium dodesil sulfat) merupakan
surfaktan jenis anionik dan termasuk kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi
dalam aplikasi industri, karena biaya produksi relatif rendah dan mudah
didegradasi (Watanabe et.al. 2005). Belakangan ini telah ditemukan bahwa pada
aplikasi sebagai surfaktan pada pembentukan reaksi gas hydrate atau methane
hydrate, SDS dapat mempercepat reaksi hingga 700 kali lebih cepat (Watanabe
et.al. 2005).
Kondisi batuan yang heterogen karena adanya mineral clays
(montmorilonite dan kaolinite) serta perbedaan permeabilitas dan porositas,
merupakan kondisi yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan perolehan
minyak. Efektivitas surfaktan dalam meningkatkan perolehan minyak dipengaruhi
oleh sifat fisik batuan dan fluida serta adsorpsi larutan surfaktan oleh batuan. Oleh
karena itu, maka perlu dikaji lebih mendalam aplikasi surfaktan MES dan SDS
dalam metode adsorpsi pada batuan reservoir untuk melihat efektivitas surfaktan
MES dan SDS tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji karakteristik sifat adsorpsi
surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan surfaktan sodium dodesil sulfat (SDS)
pada batuan core sintetik.

Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pembuatan kurva standar surfaktan.
Persiapan core sintetik.
Persiapan larutan surfaktan MES dan surfaktan SDS.
Uji adsorpsi surfaktan MES dan surfaktan SDS.
Analisis larutan surfaktan MES dan larutan surfaktan SDS sebelum dan
setelah uji adsorpsi berupa pengujian konsentrasi, pH, dan warna.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Penelitian Surfactan and Bioenergy
Research Center (SBRC) – LPPM IPB Institut Pertanian Bogor, Kampus
BaranangSiang. Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2011 sampai dengan
September 2011.

3
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah surfaktan MES (metil ester sulfonat) yang
terbuat dari olein kelapa sawit, surfaktan SDS (sodium dodesil sulfat), air injeksi
Tanjung, NaCl pa (Pro Analysis), pasir kuarsa, semen, toluen, core sintetik,
akuades, aluminium foil, dan kertas saring (Whatsman 42). Bahan pendukung
analisis yang digunakan yaitu metilen blue, larutan bufer tetraborat (50mM, pH
10.5), etanol 50%, akuades,dan kloroform.

Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan analitik,
pencetak core sintetik, peralatan gelas, pipet mikro, oven, tabung ulir, sentrifus,
magnetic stirrer, vortex, jangka sorong, horizontal shaker, palu, sokhlet, desikator,
dan saringan 80 mesh. Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah pH meter,
dan spektrofotometer visible.

Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dibagi dalam lima tahap, yaitu (1) pembuatan kurva standar
surfaktan MES dan SDS, (2) persiapan core sintetik, (3) persiapan larutan
surfaktan MES dan SDS, (4) uji core adsorpsi surfaktan MES dan SDS, dan (5)
analisis larutan sebelum dan setelah uji core adsorpsi pada surfaktan MES dan
SDS.
Pembuatan Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan
 Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan MES (Gogoi 2009, dengan modifikasi)
Sebanyak 1.5 g MES dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, lalu
ditambahkan 5 g NaCl dan air injeksi Tanjung 493.5 g. Kemudian erlenmeyer
diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit. Larutan tersebut
digunakan sebagai larutan standar MES 0.3% b/b. Pipet larutan standar sebanyak
0, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, dan 3 ml ke dalam labu takar 5 ml. Larutan air injeksi
Tanjung ditambahkan sebanyak 5, 4.5, 4, 3.5, 3, 2.5, dan 2 ml ke dalam masingmasing labu takar. Kemudian ditambahkan Na2B4O7 (pH 10.5, 50 mM) sebanyak
0.2 ml dan biru metilen sebanyak 0.1 ml. Larutan tersebut divorteks selama 1
menit. Kemudian tambahkan larutan kloroform sebanyak 4 ml, lalu divorteks
selama 30 detik dan diistirahatkan selama 5 menit. Pisahkan fase air dan fase
kloroform dengan cara memipet fase air dibagian atas menggunakan pipet mikro.
Fase kloroform kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Kurva standar yang diperoleh
menunjukkan hubungan antara konsentrasi MES dan absorbansi.
 Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan SDS (Gogoi 2009, dengan modifikasi)
Sebanyak 2.5 g SDS dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, lalu
tambahkan akuades sebanyak 497.5 g. Kemudian erlenmeyer diaduk

4
menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit. Larutan tersebut digunakan
sebagai larutan standar SDS 0.5 % b/b. Pipet larutan standar sebanyak 0, 0.5, 1,
1.5, 2, 2.5, dan 3 ml ke dalam labu takar 5 ml. Larutan akuades ditambahkan
sebanyak 5, 4.5, 4, 3.5, 3, 2.5, dan 2 ml ke dalam masing-masing labu takar.
Kemudian ditambahkan Na2B4O7 (pH 10.5, 50 mM) sebanyak 0.2 ml dan biru
metilen sebanyak 0.1 ml. Larutan tersebut divorteks selama 1 menit. Kemudian
tambahkan larutan kloroform sebanyak 4 ml, lalu divorteks selama 30 detik dan
diistirahatkan selama 5 menit. Pisahkan fase air dan fase kloroform dengan cara
memipet fase air dibagian atas menggunakan pipet mikro. Fase kloroform
kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 650 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan
hubungan antara konsentrasi SDS dan absorbansi.
Persiapan Core Sintetik (Suwardi, 2010)
Uji kinerja surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS) dan surfaktan Metil
Ester Sulfonat (MES) membutuhkan core untuk melihat efektifitas dari
penggunaan surfaktan tersebut. Core merupakan batuan dari alam bumi yang akan
digunakan untuk aplikasi enhanced oil recovery (EOR). Core yang digunakan
dalam penelitian ini berjenis batuan pasir (sandstone). Core yang berasal dari
dalam bumi ini terbatas jumlahnya, sehingga perlu dibuat core buatan atau sintetik
dengan karakteristik yang menyerupai batuan aslinya. Proses penyiapan core
sintetik dari mulai awal pembuatan sampai core siap digunakan terdiri dari
beberapa tahapan (lihat Gambar 1) yaitu:
 Tahap Pembuatan Core Sintetik
Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan karakteristik core asli. Core
sintetik merupakan campuran pasir kuarsa dan semen dengan penambahan air.
Perbandingan antara pasir kuarsa dengan semen sebesar 2:5 atau sesuai dengan
porositas yang diinginkan. Penambahan air dilakukan sebanyak 10 % dari bobot
total (pasir kuarsa dan semen). Campuran tersebut dicetak dengan menggunakan
pipa dengan panjang yaitu sebesar ± 3,1 cm dan diameter ± 2,3 cm lalu
dikeringkan selama 2 hari.
 Tahap Pencucian dan Penjenuhan Core Sintetik
Core sintetik yang telah dikeringkan kemudian dicuci untuk membersihkan
kotoran yang masih terdapat pada core tersebut. Pencucian dilakukan dengan cara
destilasi menggunakan pelarut toluene. Proses pencucian berlangsung selama
kurang lebih 8 jam. Setelah proses pencucian, dilakukan pengeringan dengan oven
pada suhu 700C selama minimal 1 hari lalu didinginkan dalam desikator.
Kemudian Core sintetik tersebut diukur bobot keringnya serta dimensinya
menggunakan jangka sorong untuk memperoleh nilai porositas dan permeabilitas
batuan. Perhitungan porositas dan permeabilitas dapat dilihat pada Lampiran 3.
Core sintetik yang telah diukur selanjutnya dibungkus menggunakan aluminium
foil agar tidak terkontaminasi dengan udara sekitar. Gambar 2 menunjukkan
proses pencucian core sintetik menggunakan sokhlet dan Gambar 3 menunjukkan
sediaan core sintetik yang telah dibersihkan.

5
Core sintetik yang telah dicuci kemudian dijenuhkan menggunakan pompa
vakum. Penjenuhan dilakukan dengan dua langkah, langkah pertama yaitu
pemvakuman dan langkah kedua yaitu dengan penjenuhan. Tahap pemvakuman
dilakukan untuk mengisap udara dari pori-pori core sintetik, sehingga
memudahkan fluida untuk masuk ke dalamnya. Proses pemvakuman tersebut
berlangsung selama 2 jam. Tahap penjenuhan dilakukan untuk memasukkan
fluida berupa air formasi lapangan Tanjung ke dalam pori-pori core sintetik.
Proses penjenuhan pada tahap ini berlangsung selama 4 jam. Core sintetik yang
telah dijenuhkan kemudian direndam dengan air formasi 1-3 hari atau lebih, hal
ini bertujuan agar proses penjenuhan dalam core sintetik lebih optimal dan lebih
menyerupai core reservoir di dalam bumi. Gambar 4 menunjukkan proses
pemvakuman dan penjenuhan core sintetik dalam air formasi.
 Tahap Pengecilan Ukuran Core Sintetik
Selanjutnya core sintetik yang telah dijenuhkan, dilakukan pengecilan
ukuran. Core sintetik yang telah dikecilkan ukurannya inilah yang akan digunakan
dalam penelitian untuk aplikasi enhanced oil recovery. Pengecilan ukuran core
sintetik dilakukan dengan cara menghancurkan core dengan alat yaitu palu, yang
kemudian diayak dengan saringan 80 mesh untuk memperoleh ukuran yang
seragam. Setelah itu core sintetik yang telah hancur dan seragam tersebut siap
digunakan untuk uji adsorpsi surfaktan pada aplikasi enhanced oil recovery.

6
Pasir Kuarsa
(500 mesh)

Semen

Air

Pencampuran
perbandingan (5 : 2 :1)

Pencetakan

Pengeringan

Perataan/Pengecil-an Ukuran

Core Sintetik
Kotor

Toluene

PencucianCore
(Soxhlet
Destilation)

Toluene +
Silika, debu,
dll

Pengeringan
dalam Oven 70 °C

Core Bersih

Pengukuran Dimensi &
Penimbangan Bobot
Kering Core Sintetik

Saturasi/penjenuhan
dengan Air Formasi (AF)

Penimbangan Bobot
Basah Core Sintetik
Penentuan
Porositas Core
Core Sintetik siap
digunakan

sintetis

Gambar 1 Prosedur persediaan core sintetik untuk uji adsorpsi surfaktan.

7

Gambar 2 Pencucian core sintetik menggunakan sokhlet.

Gambar 3 Sediaan core sintetik yang telah dibersihkan dan dibungkus dalam
aluminium foil.

Gambar 4 Pemvakuman dan penjenuhan core sintetik dalam air formasi.

Persiapan Larutan Surfaktan MES dan SDS untuk Uji Adsorpsi
Larutan surfaktan MES dan SDS dibuat berdasarkan formula terbaik, yaitu
formula yang memiliki nilai interfacial tension 10-3 dyne/cm. Formula terpilih
adalah formula yang dapat menurunkan tegangan antarmuka mencapai ultra-low
interfacial tension.
Penentuan konsentrasi MES 0.3 % b/b didasari dari penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Hambali et al. (2009) bahwa nilai interfacial tension (IFT)
terbaik/terkecil dari MES olein diperoleh pada tingkat konsentrasi 0.3 % b/b pada

8
tingkat salinitas/NaCl air injeksi 10.000 ppm. Sedangkan konsentrasi SDS 0.5 %
b/b didasari konsentrasi misel kritis (KMK) surfaktan SDS bahwa dengan
konsentrasi diatas nilai KMK (konsentrasi misel kritis) akan menghasilkan nilai
interfacial tension (IFT) terbaik/terkecil. Gambar 5 menunjukkan larutan MES
0.3 % b/b dalam air injeksi Tanjung 10.000 ppm NaCl. Dan Gambar
6menunjukkan larutan SDS 0.5 % b/b dalam akuades.

Gambar 5 Larutan MES 0.3% b/b dalam air injeksi Tanjung 10.000 ppm NaCl

Gambar 6 Larutan SDS 0.5 % b/b dalam akuades

Uji Adsorpsi Surfaktan MES dan SDS pada Core Sintetik
Pengujian adsorpsi core dibagi menjadi dua perlakuan yaitu pada berbagai
tingkat bobot core dan berbagai tingkat konsentrasi surfaktan. Pada pengujian
core adsorpsi dengan bobot core berbeda, perlakuan bobot core yang digunakan,
yaitu 0, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 3.5, 4, 4.5 dan 5 g. Masing-masing sampel ditaruh
dalam tabung ulir yang ditambahkan 10 ml larutan surfaktan MES 0.3 % b/b dan
SDS 0.5% b/b standar. Pada pengujian core adsorpsi dengan tingkatan konsentrasi
larutan surfaktan berbeda, perlakuan konsentrasi surfaktan MES dan SDS yang
digunakan yaitu 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, dan 0.7 %. Masing-masing sampel
diambil 10 ml dan ditaruh dalam tabung ulir yang ditambahkan 1 g batuan core.
Pembuatan konsentrasi larutan surfaktan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.

9
Tabel 1 Pembuatan konsentrasi larutan surfaktan sampel
Konsentrasi
MES atau SDS
(% b/b)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7

Jumlah
Surfaktan
MES atau SDS
(g)
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7

Jumlah Air Tanjung
atau Akuades
(g)
100
99.9
99.8
99.7
99.6
99.5
99.4
99.3

Untuk mendapatkan kesetimbangan adsorpsi, masing-masing tabung
perlakuan diguncang menggunakan alat horizontal shaker selama 16 jam (Gogoi
2009). Setelah mencapai kesetimbangan, campuran tersebut dibiarkan sampai
stabil. Setelah itu sampel disentrifus pada 4000 rpm selama 5 menit dan kemudian
disaring menggunakan kertas saring (Whatman 42). Untuk pengujian konsentrasi
absorbansinya, hasil larutan yang telah disaring, dibuat dalam beberapa seri
pengenceran yang selanjutnya dilakukan pengujian menggunakan metode biru
metilen (Chitikela et al. 1995). Pengujian sampel dengan metode biru metilen
yaitu sampel larutan ditambahkan Na2B4O7 (pH 10.5, 50 mM) sebanyak 0.2 ml
dan biru metilen sebanyak 0.1 ml. Larutan tersebut divorteks selama 1 menit.
Kemudian tambahkan larutan kloroform sebanyak 4 ml, lalu divorteks selama 30
detik dan diistirahatkan selama 5 menit. Pisahkan fase air dan fase kloroform
dengan cara memipet fase air di bagian atas menggunakan pipet mikro. Fase
kloroform
kemudian
diukur
absorbansinya
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Nilai absorbansi yang
didapatkan dikonversikan ke kurva standar surfaktan.
Analisis Larutan Surfaktan
Analisis larutan surfaktan MES dan larutan surfaktan SDS sebelum
dilakukan uji core adsorpsi yaitu berupa pengujian pH menggunakan alat pH
meter dan warna klett. Setelah uji core adsorpsi surfaktan dilakukan analisis
berupa pengujian pH, warna klett serta absorbansi yang terserap dengan
spektrofotometer untuk mengukur konsentasi surfaktan tersebut.Prosedur analisis
dapat dilihat pada Lampiran 1a dan 1b.
Secara keseluruhan tahapan penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir
penelitian pada Gambar 7

10
Persiapan core
sintetik

Core sintetik

Pembuatan kurva standar

uji adsorpsi larutan
surfaktan.
(Perlakuan) :
1. Bobot core sintetik 0, 0.5,
1, 1.5, 2, 2.5, 3, 3.5, 4,
4.5, dan 5 gr. Dengan
konsentrasi sama (0.3%
b/b untuk MES dan 0.5%
b/b untuk SDS).
2. Konsentrasi
0.1, 0.2, 0.3,
dan 0.7 %
bobot core
yaitu 1 gr.

Persiapan Larutan
surfaktan MES dan
SDS

Larutan
surfaktan MES
dan SDS

surfaktan 0,
0.4, 0.5, 0.6,
b/b. Dengan
yang sama

analisis larutan surfaktan:
(pH, warna klett dan konsentrasi
dengan metode biru metilen)

Karakteristik
adsorpsi surfaktan
Gambar 7 Diagram alir karakerisasi sifat adsorpsi surfaktan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kurva Standar Adsorpsi Surfaktan
Kurva Standar Surfaktan MES
Pembuatan kurva standar adsorpsi surfaktan digunakan untuk menentukan
konsentrasi MES yang terkandung dalam sampel yang diuji. Analisis adsorpsi
dilakukan dengan metode biru metilen menggunakan spektrofotometri pada
panjang gelombang 650 nm (ISO 7875-1 1996). Metode ini berdasarkan pada
pembentukan pasangan anionik antara surfaktan anionik dan biru metilen dengan
nilai absorbansi 650 nm (Jurado E. et al. 2006). Pada pembuatan kurva standar

11
digunakan standar internal. Hal ini dikarenakan standar internal dapat digunakan
untuk pengukuran kuantitas sampel dalam jumlah yang sedikit dan lebih teliti
dibandingkan penggunaan standar eksternal (Oliveira 2009). Standar internal
dalam analisis kimia merupakan senyawa kimia yang ditambahkan dalam jumlah
konstan ke dalam sampel (Oliveira 2009). Semakin tinggi konsentrasi surfaktan,
maka warna biru yang dihasilkan sampel akan semakin pekat. Pada penelitian ini,
pembuatan kurva standar dilakukan pada beberapa tingkat pengenceran, antara
lain pengenceran 10, 20, dan 50 kali. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai
absorbansi antara 0-1 dan linearitas tinggi. Linearitas tinggi menggambarkan
respon proporsional yang tinggi terhadap konsentrasi analit standar. Hasil
menunjukkan, pada pengenceran 10 kali menghasilkan linearitas y = 0.009x +
0.115 dengan r² = 0.991, pengenceran 20 kali menghasilkan linearitas y = 0.019x
+ 0.127 dengan r² = 0.993, dan pengenceran 50 kali menghasilkan linearitas y =
0.023x + 0.107 dengan r² = 0.999. Kurva standar pengenceran 50 kali
menghasilkan linearitas terbaik dengan nilai regresi linier mendekati 1 dan
absorbansi berada dalam rentang 0-1, sehingga digunakan pada pengujian sampel.
Kurva standar hubungan antara konsentrasi dan absorbansi pengenceran 50 kali
dapat dilihat pada Gambar 8.
1
Absorbansi

0,8
0,6
y = 0,023x + 0,107
R² = 0,999

0,4
0,2
0
0

10

20

30

40

Konsentrasi (ppm)
Gambar 8 Hubungan antara konsentrasi dan absorbansi surfaktan MES FP 50x
Kurva Standar Surfaktan SDS
Pembuatan kurva standar adsorpsi surfaktan digunakan untuk menentukan
konsentrasi SDS yang terkandung dalam sampel yang duji. SDS merupakan
surfaktan anionik (Watanabe et al. 2005). Metode pembuatan kurva standar SDS
sama seperti MES, yaitu menggunakan metode biru metilen pada panjang
gelombang 650 nm dengan standar internal (ISO 7875-1 1996). Metode ini
berdasarkan pada pembentukan pasangan anionik antara surfaktan anionik dan
biru metilen dengan nilai absorbansi 650 nm (Jurado E. et al. 2006). Semakin
tinggi konsentrasi surfaktan, maka warna biru yang dihasilkan sampel akan
semakin pekat. Kurva standar surfaktan SDS (tanpa pengenceran) menghasilkan
linearitas terbaik yaitu y = 5.781.10-4x + 0.292 dengan r² = 0.999, sehingga
digunakan pada pengujian sampel. Kurva standar tersebut menghasilkan linearitas
terbaik dengan nilai regresi linier mendekati 1 dan absorbansi berada dalam

12
rentang 0-2 sehingga digunakan pada pengujian sampel. Data hubungan antara
konsentrasi dan absorbansi dapat dilihat pada Gambar 9.

Absorbansi

2,5
2
1,5
1

y = 0,000x + 0,292
R² = 0,999

0,5
0
0

500

1000 1500 2000 2500
Konsentrasi (ppm)

3000

3500

Gambar 9 Hubungan konsentrasi dan absorbansi surfaktan SDS (tanpa
pengenceran)
Core Sintetik
Dalam uji adsorpsi surfaktan, diperlukan core dan fluida reservoir. Fluida
reservoir suatu lapangan meliputi, minyak bumi, air formasi, dan air injeksi. Pada
penelitian ini digunakan air injeksi sebagai fluida reservoir yang diambil langsung
dari sumur lapangan Tanjung, sedangkan core yang digunakan merupakan core
sintetik yang dirancang memiliki struktur dan karakteristik mendekati core alami.
Komposisi dari sampel core alami diketahui menunjukkan dominan kuarsa
(sandstone) sehingga core sintetik dibuat dengan bahan pasir kuarsa dengan
perekat semen (perbandingan pasir kuarsa dan semen adalah 5:2) yang kemudian
dicetak dengan cetakan berbentuk tabung dengan tinggi rata-rata 3,1 cm, diameter
rata-rata 2,3 cm dan bobot tiap core-nya berkisar antara 30 - 33 gram untuk tiaptiap core. Sampel fluida dan batuan lapangan Tanjung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Batuan dan fluida reservoir lapangan Tanjung
Fluida pada suhu 70°C
Salinitas Air Formasi
2526 mg/L
Densitas Minyak
0.7918 gr/cm3
Densitas Air Injeksi
0.9840 gr/cm3
Densitas Air Formasi
0.9876 gr/cm3
Viskositas Air Injeksi
1.08 cp
Viskositas Minyak
0.66 cp
Batuan Reservoir (core alami)
Tipe Batuan
Batu
pasir/sandstone
Porositas
20-24%
Permeabilitas
100-525 mD
Wettability
Water-wet
Sumber: Sugihardjo (2002).

13

Core sintetik merupakan batuan buatan yang diupayakan memiliki sifat-sifat
core alami (porositas, permeabelitas, wettability) sehingga dapat menggantikan
keberadaan core alami (batuan reservoir alam dari perut bumi) yang sulit
didapatkan untuk berbagai keperluan pengujian. Menurut Rahmat (2009), batuan
reservoir (core alami) didefinisikan sebagai suatu wadah yang diisi dan dijenuhi
minyak dan atau gas, merupakan lapisan berongga/berpori-pori. Secara teoritis
semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metamorf dapat bertindak sebagai
batuan reservoir, tetapi pada kenyataan ternyata 99% batuan reservoir adalah
batuan sedimen. Kemampuan batuan reservoir untuk mengadsorpsi fluida
dipengaruhi oleh porositas dan permeabilitas dari batuan tersebut. Semakin besar
porositas dan permeabilitasnya maka semakin banyak pula fluida yang dapat
diadsorpsi ke dalamnya (Monicard 1980).
Dalam penelitian ini core sintetik diusahakan memiliki porositas berkisar
22-30%, kisaran porositas tersebut dibuat berdasarkan porositas batuan asli dari
reservoir lapangan Tanjung. Pengukuran semakin akurat jika core sintetik dapat
menyerupai batuan aslinya, sehingga pengujian dapat mendeskripsikan kondisi
yang sebenarnya pada lapisan reservoir lapangan Tanjung.Contoh core sintetik
yang telah dibuat dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Core sintetik batu pasir/sandstone.
Sebelum digunakan, core sintetik dicuci terlebih dahulu untuk
menghilangkan pengotor dari core sintetik yang telah dibuat, pengotor-pengotor
tersebut dapat berupa debu, silika, sisa semen, dan kandungan air. Pencucian
tersebut dilakukan dengan pelarut toluen, dengan menggunakan distilasi metode
sokhlet, sehingga core sintetik yang dibersihkan terendam dan tercuci berulang
kali untuk memastikan pengotor terbawa dengan toluen ke bawah dan lepas dari
core. Penggunaan toluen sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang
dilakukan Mwangi (2009) karena kemampuan toluen dalam menghilangkan
senyawa hidrokarbon, silika, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik
dan mengembalikan wettability batuan. Pencucian ini memerlukan waktu kurang
lebih 8 jam untuk menghasilkan core yang bebas pengotor. Setelah pencucian ini
core sintetik tersebut dikeringkan di dalam oven, dan setelah itu diukur
dimensinya. Hasil pengukuran dimensi core dengan tinggi rata-rata 3,1 – 3,4 cm,
diameter rata-rata 2,3 – 2,4 cm, volume core rata-rata 14,0 – 15,5 cm2, dan
porositas rata-rata 30 -35 %. Data lengkap dimensi dan porositas core sintetik
dapat dilihat pada Lampiran 3.
Setelah diukur volume dan bobot keringnya, core kemudian divakumkan
dan dijenuhkan. Pemvakuman core dilakukan dengan menggunakan tabung

14
vakum yang telah diisi core di dalamnya selama 2 jam untuk menghilangkan
kemungkinan adanya uap air di dalam tabung vakum. Setelah itu core sintetik
dijenuhkan dengan ditetesi oleh air formasi lapangan Tanjung untuk menghasilkan
core yang jenuh sehingga setiap rongga (pore) dalam core terisi oleh air formasi.
Tujuannya agar core tersebut memiliki sifat batuan di dalam reservoir lapangan
Tanjung yang jenuh terhadap air formasi. Penjenuhan membutuhkan waktu yang
cukup lama, minimal 6 jam, semakin lama dijenuhkan maka core sintetik akan
semakin jenuh dan baik. Dari hasil pengukuran volume, bobot kering dan bobot
basah, maka porositas core dan permeabilitas core sintetik dapat diketahui. Hasil
pengukuran permeabilitas batuan yaitu berkisar 45,9 – 50,4 mDarcy.
Permeabilitas core sintetik yang dibuat tergolong ke dalam kategori baik karena
berada dalam rentang 10-100 mD (Koesoemadinata 1978).
Core sintetik yang digunakan sebagai pengganti core alami, dibuat
sedemikian rupa untuk memiliki porositas, permeabelitas, dan karakteristik core
alami dengan berbagai pendekatan. Diantaranya dalam pembuatan core sintetik
digunakan bahan baku pasir kuarsa yang merupakan komponen dominan batuan
pasir dengan ukuran 500 mesh yang homogen, adonan dan cetakan core yang
sama, pembilasan core sintetik menggunakan toluen untuk menghilangkan
pengotor, sampai dengan penjenuhan batuan dengan air formasi yang bertujuan
untuk memberikan karakteristik batuan reservoir. Walaupun begitu nilai porositas
yang dihasilkan dari core sintetik tidak sama dengan core alami. Dari hasil
pengukuran porositas core sintetik yang telah dibuat, porositas masih cukup besar
yaitu berkisar 30-35 % tetapi telah cukup mendekati porositas Lapangan Tanjung
(22-30%), hal ini berarti bahwa distribusi pori dalam batuan core sintetik lebih
banyak sehingga batuan memiliki kemampuan mengadsorpsi fluida lebih tinggi.
Menurut Koesoemadinata (1978) porositas dikelompokkan menjadi diabaikan
(negligible) 0–5%, buruk (poor) 5–10%, cukup (fair) 10–15%, baik (good) 15–
20%, sangat baik (very good) 20–25% dan istimewa (excellent)> 25 %. Selain
porositas, permeabilitas juga punya peran penting dalam adsorpsi surfaktan.
Semakin tinggi nilai permeabilitas maka kemampuan fluida melewati pori-pori
core semakin mudah dan cepat. Hasil pengukuran porositas dan permeabilitas
batuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Data porositas dan permeabilitas core sintetik yang digunakan dalam
penelitian
Kode Core

Porositas (%)

1
2
3
4
5
6

34.70
33.97
33.78
33.79
35.37
35.37

Permeabilitas
(mDarcy)
45.9
48.6
46.2
50.2
50.4
48.6

15
Adsorpsi Surfaktan Pada Batuan Core
Menurut Makmur dan Sudibjo (2000), mekanisme terjadinya adsorpsi
surfaktan pada batuan adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air
yang merupakan mikroemulsi, diinjeksikan dalam reservoir akan mempengaruhi
tegangan antar permukaan minyak dan air, disamping itu surfaktan juga
bersinggungan secara langsung dengan permukaan butiran-butiran batuannya.
Waktu terjadi persinggungan ini molekul-molekul surfaktan (RSO3H) akan ditarik
oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan disekitar permukaan
batuannya, proses ini terus berlangsung hingga mencapai titik kejenuhan. Semakin
pekat konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam proses injeksi maka semakin
besar pula adsorpsi yang diakibatkannya.
Pada penelitian ini dilakukan dua perlakuan. Perlakuan pertama yaitu uji
adsorpsi surfaktan pada berbagai tingkat bobot core sintetik yang berbeda dan
perlakuan kedua yaitu uji adsorpsi surfaktan pada core sintetik dengan perbedaan
konsentrasi surfaktan.
Pengaruh Perbedaan Bobot Core terhadap Konsentrasi Adsorpsi Surfaktan
MES
Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan parameter yang harus
dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius
yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan
berlangsung (Hargowiseso, 2004). Pada penelitian ini, digunakan surfaktan
anionik yaitu MES dan SDS yang bermuatan negatif. Hal ini dikarenakan core
sintetik yang digunakan juga memiliki muatan negatif. Berdasarkan Wesson dan
Harwell (2000), adsorpsi surfaktan oleh batuan reservoir dapat dikurangi dengan
menginjeksikan surfaktan yang memiliki muatan yang sama dengan muatan
batuan. Semakin besar bobot core yang digunakan, maka semakin besar luas
permukaan core. Tingkat luas permukaan coreakan berpengaruh terhadap
besarnya adsorpsi surfaktan yang akan dilakukan. Hasil uji adsorpsi surfaktan
MES pada core sintetik dengan perlakuan perbedaan bobot core dapat dilihat pada
Gambar 11 dan 12.
Pada Gambar 11, yaitu pengenceran 80x terlihat bahwa perlakuan bobot
core sintetik 0 sampai dengan 4 g/ml terjadi adsorpsi surfaktan MES pada core
sintetik, sedangkan pada Gambar 12, pengenceran 100x adsorpsi surfaktan MES
pada core sintetik terjadi saat perlakuan bobot core sintetik 0 sampai dengan 3.5
g/ml dan 4.5 g/ml. Adsorpsi sufaktan MES pada batuan core sintetik ditandai
dengan penurunan konsentrasi MES dalam larutan dan peningkatan konsentrasi
MES dalam core sintetik. Surfaktan yang diinjeksikan dalam core sintetik akan
bersinggungan secara langsung dengan permukaan butiran-butiran core dan
masuk ke dalam pori-pori core. Pada proses penginjeksian terjadi proses adsorpsi
oleh pori-pori core. Wesson dan Harwell (2000) menjelaskan bahwa adsorpsi
surfaktan pada media berpori terjadi akibat adanya pertukaran ion antara molekul
padatan dari pori core dengan ion yang terkandung di dalam surfaktan. MES
merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya.
Di dalam larutan, molekul-molekul surfaktan akan terurai menjadi kation bebas
dan monomer yang bermuatan negatif. Air injeksi yang terkandung dalam core

16

Konsentrasi MES (ppm)

adalah air salinitas yang mengandung senyawa NaCl. NaCl terurai dalam air
menjadi ion-ion natrium (Na+) dan ion klorida (Cl-). Core reservoir yang
digunakan pada penelitian ini adalah core berjenis batu pasir yang memiliki
muatan negatif. Core reservoir yang bermuatan negatif dapat mengikat ion
natrium (Na+) dari air injeksi. Pada saat injeksi surfaktan ke dalam core reservoir,
surfaktan dilarutkan dalam air injeksi, pada saat itu surfaktan MES dengan gugus
molekul RSO3H akan terurai dalam air menjadi ion-ion alkil sulfit (RSO3-) dan
ion hidrogen (H+), selanjutnya terjadi pertukaran ion antara ion negatif pada core
dengan ion alkil sulfit (RSO3-) dari surfaktan akibat terjadinya gaya tarik-menarik
(elektrostatik) antara ion positif core natrium (Na+) dengan ion negatif surfaktan
alkil sulfit (RSO3-).
8000,00
7000,00
6000,00
5000,00
4000,00
3000,00
2000,00
1000,00
0,00

konsentrasi dalam
larutan
konsentrasi dalam
batuan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

Bobot core per volume surfaktan (g/ml)

Konsentrasi MES ppm)

Gambar 11 Data hubungan perbedaan bobot core per volume surfaktan (g/ml)
terhadap konsentrasi adsorpsi MES (FP 80 kali)

8000,00
7000,00
6000,00
5000,00
4000,00
3000,00
2000,00
1000,00
0,00

konsentrasi dalam
larutan
konsentrasi dalam
batuan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

Bobot core per volume surfaktan (g/ml)

Gambar 12 Data hubungan perbedaan bobot core per volume surfaktan(g/ml)
terhadap konsentrasi adsorpsi MES (FP 100 kali)
Akan tetapi, pada saat perlakuan bobot core sintetik 4.5 dan 5 g/ml pada
pengenceran 80x serta 4 dan 5 g/ml pada pengenceran 100x terjadi penurunan

17
nilai adsorpsi surfaktan MES pada core sintetik (lihat Gambar 17 dan 18).
Menurut Makmur dan Nuraini (2005), dengan naiknya konsentrasi surfaktan
dalam larutan, nilai tegangan antarmuka (IFT) dari campuran minyak-airsurfaktan menurun sampai pada suatu konsentrasi tertentu. Makmur dan Nuraini
(2005) menambahkan larutan surfaktan dengan konsentrasi surfaktan maksimum
menghasilkan harga tegangan antarmuka minyak-air-surfaktan terendah. Setelah
itu harga tegangan antarmuka akan naik lagi dengan bertambahnya konsentrasi
surfaktan dalam core. Hal ini dapat dikatakan perlakuan bobot core sintetik 4 g/ml
pada pengenceran 80x dan 3.5 g/ml pada pengenceran 100x merupakan kondisi
titik jenuh. Pada kondisi titik jenuh ini slug surfaktan mencapai titik terendah
sehingga kemampuan surfaktan untuk menyerap minyak bumi menjadi minimal.
Pada kondisi ini terjadi persinggungan antara molekul-molekul surfaktan dengan
molekul-molekul core sintetik sehingga surfaktan diendapkan disekitar batuan
hingga mencapai kondisi titik jenuh (Makmur dan Sudibjo 2000). Akan tetapi,
ketika bobot core sintetik dinaikkan menjadi lebih besar dari 4 g/ml (pengenceran
80x) dan 3.5 g/ml (pengenceran 100x) maka nilai tegangan antarmuka dari
campuran minyak-air-surfaktan menjadi turun kembali sehingga konsentrasi
surfaktan MES dalam batuan tersebut menjadi berkurang.
Hubungan perbedaan bobot core dengan selisih konsentrasi surfaktan MES
di dalam larutan dan core pada pengenceran 80 dan 100x, dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 4 Hubungan perbedaan bobot core dengan selisih konsentrasi Surfaktan
MES di dalam larutan dan core pada pengenceran 80 dan 100 kali

Bobot core

Selisih konsentrasi di dalam
larutan dan core (FP 80x)

(g/ml)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5

(mg/g)
7.56
2.15
3.14
3.49
3.90
4.43
5.75
6.39
7.16
6.86
6.72

Selisih konsentrasi di
dalam larutan dan core
(FP100x)
(mg/g)
7.56
4.58
5.53
6.13
6.22
7.01
7.09
7.18
6.43
7.11
6.07

Tabel 4 menunjukkan hubungan perbedaan bobot core dengan selisih
konsentrasi surfaktan MES di dalam larutan dan core pada pengenceran 80 dan
100 kali. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa selisih konsentrasi
surfaktan MES tertinggi di dalam larutan dan core pada saat perlakuan bobot core
sintetik 4 g/ml (pada pengenceran 80x) dan 3.5 g/ml (pada pengenceran 100x).
Nilai selisih konsentrasi surfaktan MES tersebut menggambarkan tingkat adsorpsi

18
surfaktan MES terhadap batuan core sintetik. Perlakuan bobot core sintetik 4 g/ml
pada pengenceran 80x dan 3.5 g/ml pada pengenceran 100x merupakan kondisi
titik jenuh. Pada kondisi titik jenuh ini slug surfaktan mencapai titik terendah
sehingga kemampuan surfaktan untuk menyerap minyak bumi menjadi minimal.
Pada kondisi ini terjadi persinggungan antara molekul-molekul surfaktan dengan
molekul-molekul core sintetik sehingga surfaktan diendapkan disekitar batuan
hingga mencapai kondisi titik jenuh (Makmur dan Sudibjo 2000). Dari hasil
perhitungan nilai selisih konsentrasi di dalam larutan dan core, maka besarnya
nilai adsorpsi yang dimiliki core sintetik terhadap surfaktan pada kondisi titik
jenuh sebesar 1.79 mg/g core (pada pengenceran 80x) dan 2.05 mg/g core (pada
pengenceran 100x).
Pengaruh Perbedaan Bobot Core terhadap Konsentrasi Adsorpsi Surfaktan
SDS
SDS merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif seperti MES.
Surfaktan anionik sering digunakan dalam surfactant flooding karena sifatnya
yang stabil, tahan lama, dan murah. Hasil uji adsorpsi surfaktan SDS pada batuan
core sintetik dengan perlakuan perbedaan bobot core pada faktor pengenceran 50
kali dan 100 kali dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. Pada kasus ini data
surfaktan SDS yang digunakan yaitu faktor pengenceran 50 kali dan 100 kali,
berbeda dengan surfaktan MES yaitu pada saat faktor pengenceran 80 kali dan
100 kali. Hal ini dikarenakan, pada faktor pengenceran 80 kali (surfaktan SDS)
data konsentrasi yang dihasilkan sangat fluktuatif, sehingga tidak relevan jika
dimasukkan dalam pembahasan.
Pada dasarnya adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan
parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini
merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug
surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung (Hargowiseso, 2004).
Pada Gambar 13, yaitu pengenceran 50x terlihat bahwa perlakuan bobot
core sintetik 0.5 sampai dengan 2.5 g/ml terjadi adsorpsi surfaktan MES pada
larutan surfaktan, sema halnya dengan Gambar 19 pada Gambar 20, pengenceran
100x adsorpsi surfaktan SDS pada core sintetik terjadi saat perlakuan bobot core
sintetik 0.5 sampai dengan 2.5 g/ml. Adsorpsi sufaktan SDS pada batuan larutan
surfaktan ditandai dengan penurunan konsentrasi SDS dalam larutan. Surfaktan
yang diinjeksikan dalam core sintetik akan bersinggungan secara langsung dengan
permukaan butiran-butiran core dan masuk ke dalam pori-pori core.
Pada proses penginjeksian terjadi proses adsorpsi oleh pori-pori core.
Wesson dan Harwell (2000) me