Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api

MODEL KOMUNIKASI RISIKO KESIAPAN MASYARAKAT
MENGHADAPI BENCANA GUNUNG API

EDI PUSPITO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Komunikasi
Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015
Edi Puspito
NIM I362100091

RINGKASAN
EDI PUSPITO. Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi
Bencana Gunung Api. Dibimbing oleh SUMARDJO, TITIK SUMARTI dan
PUDJI MULJONO.
Komunikasi mengacu pada tindakan satu orang atau lebih, yang mengirim
dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks
tertentu, mempunyai pengaruh dan ada kesempatan melakukan umpan balik.
Dalam komunikasi setidaknya terdapat unsur partisipan, pesan, dan saluran
informasi.
Komunikasi risiko merupakan proses berbagi makna mengenai bahaya fisik
seperti lokasi kerja yang berbahaya, pencemaran lingkungan, penyakit dan lainlain baik melalui komunikasi tatap muka maupun bermedia. Komunikasi risiko

membutuhkan kepercayaan yang mencakup kompetensi, obyektivitas, keadilan,
konsistensi dan keyakinan. Dengan kata lain keyakinan ini didasarkan pada
catatan masa lalu yang baik. Adapun komunikasi risiko kesiapan menghadapi
bencana adalah kondisi fisik dan mental seseorang yang mendasari pengelolaan
informasi dalam menghadapi risiko bencana gunung api.
Perilaku merupakan proses pengolahan informasi melibatkan panca indra
dan proses berpikir yang akan ditampilkan dalam bentuk gerak maupun disimpan
di dalam memori. Perilaku manusia didasari oleh motivasi atau dorongan, baik
dorongan biologis, insting maupun dorongan dari lingkungan. Dalam teori
perilaku terencana, keinginan untuk melakukan suatu tindakan didasari atas
pengetahuannya, keyakinan atas norma subyektif dan keyakinan mengontrol
sumber daya.
Bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh faktor alam yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis. Bencana alam identik dengan
ketidakmampuan masyarakat terdampak bencana untuk mengatasi sendiri dengan
menggunakan sumber daya sendiri, sehingga masyarakat terdampak bencana
membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Oleh sebab itu peran komunikasi
sangat diperlukan dalam penanganan bencana yang membutuhkan peran multi

aktor.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku
komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan
menghadapi bencana gunung api. Untuk itu disusun indikator kesiapan
menghadapi bencana gunung api yang merujuk pada konsep readiness dari
Armenakis, model komunikasi antar manusia dari DeVito, model memori Wough
dan Norman, dan teori perilaku terencana dari Fishbein dan Ajzen.
Tujuan penelitian ini adalah (a) Menganalisa profil masyarakat di wilayah
rawan bencana gunung api yang beragam jenis dampak bencana gunung api; (b)
Menganalisa perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung
api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api; (c) Menganalisa manfaat
komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan
menghadapi bencana gunung api; (d) Menganalisa komunikasi risiko kesiapan
menghadapi bencana gunung api pada masyarakat di wilayah rawan bencana

gunung api; (e) Menganalisa faktor-faktor penentu kesiapan masyarakat
menghadapi risiko bencana gunung api pada masyarakat di wilayah rawan
bencana gunung api; (f) Merancang strategi komunikasi untuk kesiapan
masyarakat menghadapi bencana gunung api di wilayah rawan bencana gunung
api.

Pendekatan penelitian kuantitatif yang diperkuat kualitatif dengan metode
survei dan wawancara mendalam serta pengamatan aktivitas komunikasi
masyarakat. Penelitian dilakukan di Desa Dukun Kecamatan Dukun dan Desa
Jumoyo Kecamatan Salam Kabupaten Magelang Jawa Tengah, serta Desa
Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman DI Yogyakarta. Jumlah
sampel sebanyak 200 dibagi secara proporsional pada tiga wilayah, serta masingmasing wilayah terbagi atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama.
Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan perangkat lunak
Microsoft excel.
Hasil penelitian antara lain menunjukkan a) laki-laki dan perempuan
berbeda nyata pada tingkat pendidikan dan status pekerjaannya, pendidikan
responden memiliki hubungan nyata dengan lama tinggal di wilayah rawan
bencana dan status pekerjaan; b) masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak
bencana berbeda memilliki perilaku komunikasi yang berbeda; c) dalam hal
manfaat komunikasi, tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal manfaat
komunikasinya; d) masyarakat di wilayah R3 yang mengalami dampak paling
parah memiliki kerentanan paling tinggi dalam hal komunikasi risiko kesiapan
menghadapi bencana gunung api; e) penguasaan media yang diarahkan kepada
kemanfaatan komunikasi merupakan faktor penentu kesiapan menghadapi
bencana gunung api; f) strategi untuk meningkatkan kesiapan menghadapi
bencana gunung api diarahkan kepada penguasaan media komunikasi dan manfaat

komunikasi agar masyarakat di wilayah bencana gunung api lebih siap
menghadapi bencana gunug api.
Kata kunci : bencana, komunikasi, kesiapan, risiko, perilaku

SUMMARY
EDI PUSPITO. Model of Risk Communication Readiness in Facing Volcanic
Disaster. Under supervision of SUMARDJO, TITIK SUMARTI and PUDJI
MULJONO.

Communication refers to the act of one person or more, which send and
receive messages distorted by interference, occurs in a particular context, has an
effect and there is opportunity to give a feedback. There are element in
communication; participants, message, and channel information.
Risk communication is the process of sharing meaning about the physical
dangers such as hazardous work sites, environmental pollution, diseases, etc.,
either through face-to-face or through mediated communication. Risk
communication requires trust which includes competence, objectivity, fairness,
consistency and faith. In other words, this belief is based on the past record that is
good. Communication of disaster readiness is physical and mental condition of a
person's underlying information management of encounter volcano disaster risk.

Behavior is a process of information processing that involves sensory and
thought processes that will be displayed in the form of motion and kept in
memory. Human behavior based on motivation or encouragement, either
biological urge, instinct and impulse of the environment. In the theory of planned
behavior, a desire to perform an action based on the knowledge, belief of
subjective norm and belief to control the resource.
The natural disaster is a disaster caused by natural factors that threaten and
disrupt the lives and livelihood of the society resulting the emergence of human
fatalities, damage of environmental, loss of property and things, and
psychological impact. Natural disaster is identical with disaster affected people
inability to cope on their own by using their own resources, therefore the disaster
affected people need help from others. Therefore, the role of communication is
needed in disaster management that requires a multi actor role.
Issues raised in this study was how communication behavior of people in
disaster prone area mostly for their readiness to face volcano disaster risk.
Therefore a paradigm of readiness to face volcano disaster that refers to the
concept of readiness by Armenakis, model of communication among people by
DeVito, Norman and Wough memory model, and the theory of planned behavior
by Fishbein and Ajzenin.
The main objective of this study are to: (a) analyze people profile in volcano

disaster prone area that has many variations; (b) analyze communication behavior
of people in disaster prone area, mainly in readiness to face volcano disaster; (c)
analyze the use of people communication media in disaster prone area, mainly in
readiness to face volcano disaster; (d) analyze risk communication of readiness to
face volcano disaster of people, who live in volcano disaster prone area; (e)
analyze determining factors of communication benefit in readiness of people in
volcano disaster prone area to face volcano disaster; (f) to design communication
strategy for community’s readiness in facing volcanic disaster in volcanic disaster
prone areas.

Quantitative research approach reinforced with qualitative approach using
survey method and deep interview, and observation to activity of people
communication. The study was conducted in Dukun and Jumoyo in Central Java,
and Wukirsari in DI Yogyakarta. Total sample of 200 persons divided
proportionally into 3 regions, and sample in each region was divided into men and
women with the same proportion. Sampling was conducted using simple random
method with a software named Microsoft excel.
The results of the research are among others showed that: (a) men and
women were significantly different at the educational level and occupation status,
respondent’s educational level was related significantly with the length of stay in

the disaster prone area and with the occupation status; (b) the community who
stayed in different disaster exposure revealed different communication behavior;
(c) there was no significant difference, in terms of its communication benefit; (d)
community in the R3 area, who experienced the most severe disaster effects,
showed the highest vulnerability in terms of risk communication for readyness in
facing volcanic disaster; (e) the skill in using communication media, which was
directed into communication benefit was the determinning factors of readiness in
facing volcanic disaster; (f) strategy to improve readiness in facing the volcanic
disaster was directed into the skill in using communication media and
communication benefit so that the community in the volcanic disaster areas would
be more ready in facing volcanic disaster.
Keywords: disaster, communication, readiness, risk, behavior

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KOMUNIKASI RISIKO KESIAPAN MASYARAKAT
MENGHADAPI BENCANA GUNUNG API

EDI PUSPITO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji luar komisi

:

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Djuara P Lubis, MS
2. Dr Ir Sarwititi, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS
2. Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Judul Disertasi
Nama
NIM

: Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi
Bencana Gunung Api
: Edi Puspito
: I362100091

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Ketua

Dr Ir Titik Sumarti, MS
Anggota

Dr Ir Pudji Muljono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian : 28 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah
Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api, dengan judul
Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung
Api.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Ibu
Dr Ir Titik Sumarti, MS dan Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku pembimbing yang
telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada para sesepuh, budayawan, penggiat radio komunitas di wilayah Gunung
Merapi serta para relawan di lingkup Jalin Merapi, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga dan
teman-teman yang telah membantu baik secara moril maupun materiil.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Edi Puspito

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xviii

1

PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan Masalah
Tujuan penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
5
6
6
7

2 KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Berpikir
Metode Penelitian

10
27
40

3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL
MASYARAKAT DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG
API
Abstrak
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

49
49
50
51
57

4 PERILAKU KOMUNIKASI
Abstrak
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 MANFAAT KOMUNIKASI BAGI MASYARAKAT DI
WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG API
Abstrak
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

58
58
59
60
73

74
74
75
76
89

6 MODEL DAN FAKTOR PENENTU KESIAPAN MENGHADAPI
RISIKO BENCANA GUNUNG API
Abstrak
90
Pendahuluan
90
Metode
92
Hasil dan Pembahasan
93
Simpulan
102

xv

7 PEMBAHASAN UMUM

103

8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

113
114

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

116
123

DAFTAR TABEL
1 Masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai
budaya manusia
2 Partisipan komunikasi penurunan risiko masa tanggap darurat
letusan Gunung Merapi 2010
3 Klasifikasi media menurut jenis, pengguna, dan sasaran
4 Struktur pengelola sistem informasi bencana
5 Kegiatan komunikasi pada berbagai status bencana
6 Komunikasi dan kesiapan menghadapi perubahan
7 Perbedaan pengetahuan, sikap, keyakinan dan respon yang siap
dan yang rentan menghadapi bencana gunung api
8 Perbedaan keterampilan bermedia antara rentan dan siap
menghadapi bencana gunung api
9 Perbedaan karakteristik partisipan yang rentan dan yang siap
menghadapi bencana gunung api
10 Jumlah kepala keluarga dan proporsi sampel 3 desa lokasi
penelitian
11 Indikator kelompok variabel karakteristik individu (X1)
12 Indikator kelompok variabel persepsi terhadap partisipan (X2
13 Dimensi persepsi terhadap partisipan
14 Indikator kelompok variabel penguasaan media komunikasi
(X3)
15 Dimensi penguasaan media komunikasi
16 Indikator kelompok variabel keterampilan penggunaan media
(X4)
17 Dimensi keterampilan menggunakan media komunikasi
18 Indikator kelompok variabelintervensi media (X5)
19 Dimensi tingkat kepercayaan terhadap intervensi media
20 Indikator kelompok variabelfaktor lingkungan (X6)
21 Dimensi Dukungan Lingkungan
22 Indikator kelompok variabelmanfaat komunikasi (Y1)
23 Dimensi manfaat komunikasi
24 Definisi operasional dan dimensi kelompok variabelsiaga
bencana (Y2)
25 Sebaran responden menurut indikator
pada variabel
karakteristik individu dan menurut wilayah terdampak bencana

11
20
22
27
29
31
32
34
35
41
42
42
43
43
43
44
44
44
45
45
45
46
46
46
53

26

27

28

29
30

31
32
33
34

35
36
37

38
39
40
41
42

43
44
45
46

gunung api , serta hasil uji beda Kruskal Wallis
Sebaran responden berdasarkan indikator pada variabel
karakteristik individu dan hasil uji beda Mann Whitney
berdasarkan jenis kelamin
Hasil uji Rank Spearman hubungan antar indikator pada
variabel karakteristik individu responden di wilayah rawan
bencana gunung api
Sebaran responden berdasarkan variabel perilaku komunikasi
dan wilayah terdampak bencana, serta hasil uji beda Kruskal
Wallis berdasarkan wilayah terdampak bencana berbeda
Hasil uji Kruskal Wallis perbedaan persepsi terhadap sumber
informasi berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan
Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan
persepsi terhadap partisipan dengan tingkat pendidikan formal
dan lama tinggal responden di wilayah terdampak bencana
Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan
tingkat penguasaan media komunikasi
Sebaran responden menurut wilayah terdampak bencana
gunung api dan alasan tidak menguasai media komunikasi
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap perbedaan penguasaan media
berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan
Hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan penguasaan media
komunikasi dengan tingkat pendidikan formal dan lama tinggal
di wilayah rawan bencana gunung api
Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan
tingkat keterampilan penggunaan media komunikasi
Hasil uji Kruskal Wallis beda jenis informasi yang diakses oleh
responden berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan
Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman hubungan jenis
informasi yang diakses dengan tingkat pendidikan dan lama
tinggal di wilayah rawan bencana gunung api
Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan proporsi
jenis informasi yang diakses
Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berbagai
tayangan di media radio dan TV
Sebaran masyarakat berdasar persepsi tentang pengaruh
lingkungan terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api
Sebaran responden berdasar tingkat manfaat komunikasi dan
wilayah penelitian
Sebaran
tingkat
keterampilan
komunikasi,
tingkat
manfaatkomunikasi dan indeks manfaatkomunikasi menurut
wilayah penelitian
Aktivitas dan karakteristik beberapa akunt twitter
Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan manfaat
komunikasi
Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara lakilaki dan perempuan
Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara warga

54

55

60

62
63

63
64
65
65

66
69
69

70
71
72
76
77
79
81
82
83

47

48
49
50

51
52
53
54

55
56

yang tidak bekerja, bekerja di sektor informal dan yang bekerja
di sektor formal
Hasil uji Rank Spearman hubungan antara manfaat komunikasi 83
dengan tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan
bencana gunung api
Hasil uji Pearson hubungan antara perilaku komunikasi dengan 84
manfaat komunikasi
Variabel laten dan indikatornya
92
Sebaran responden dan uji beda Kruskal Wallis berdasar rerata 93
tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api dan wilayah
terdampak bencana
Sebaran rerata tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung 94
api berdasar jenis kelamin
Hasil kriteria kesesuaian model SEM komunikasi risiko 96
kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
Pengaruh antar variabel model komunikasi risiko kesiapan 96
masyarakat menghadapi bencana gunung api
Hasil analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap manfaat 100
komunikasi dan faktor lingkungan terhadap kesiapan
menghadapi bencana
Irama kentongan dan maknanya
106
Faktor pendorong dan penghambat komunikasi risiko kesiapan 110
menghadapi bencana gunung api

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Bahaya, kerentanan, risiko, dan bencana (BNPB, 2007)
Kebiasaan, adat dan kepribadian
Model hipotesis proses pembentukan perilaku
Model teori perilaku terencana (Hale dkk, 2002)
Komunikasi universal antarmanusia menurut DeVito (2011)
Keanggotaan dalam berbagai jaringan komunikasi
Alur pikir penelitian perilaku komunikasi masyarakat dalam
kesiapan menghadapi bencana gunung api
Karakteristik sistem
Pengintegrasian media komunikasi dalam sistem informasi
bencana (Web) Jalin 25 Merapi
Kerangka pikir aktivitas komunikasi risiko menghadapi
bencana gunung api
Kerangka berpikir hubungan antar variabel model komunikasi
risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
Peta wilayah penelitian model komunikasi risiko kesiapan
masyarakat menghadapi bencana gunung api
Proporsi jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan
sumber matapencaharian oleh masyarakat pada tiga wilayah

3
11
14
16
18
19
23
25
26
28
39
51
54

14
15
16
17
18

19
20
21
22

penelitian
Sebaran status pekerjaan laki-laki dan perempuan di wilayah
rawan bencana gunung api
Sebaran status pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat di
wilayah rawan bencana gunung api
Sebaran tingkat pendidikan masyarakat berdasar lama tinggal
di wilayah terdampak bencana gunung api
Perbandingan persepsi terhadap partisipan
Grafik proporsi tingkat kepercanaan responden terhadap
kemasan acara di media massa TV dan radio berdasar wilayah
penelitian
Konsep model komunikasi risiko kesiapan masyarakat
menghadapi bencana gunung api
Standarized loading factor model komunikasi risiko kesiapan
masyarakat menghadapi bencana gunung api
Tabisma, Tabungan Siaga Bencana di Dusun Deles
Keterpaduan saluran komunikasi dalam komunikasi risiko
kesiapan menghadapi bencana gunung api

55
56
56
61
71

91
95
101
109

1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Bencana gunung api telah mendorong banyak manusia di seluruh dunia
terlibat sebagai partisipan komunikasi. Lalu lintas informasi pada saat bencana
akan meningkat secara nyata dibanding pada keadaan normal. Situs twitter Jalin
Merapi terjadi lonjakan pengikut dari sekitar 800 followers menjadi sekitar 33.000
followers pada saat erupsi Gunung Merapi 2010 (Jalin Merapi 2010). Informasi
saat bencana sangat banyak dan beragam, tumpang tindih, dan tidak terkendali.
Masyarakat, baik di wilayah bencana maupun diluar wilayah bencana disuguhi
beragam informasi dari berbagai media yang berusaha menggambarkan fakta di
lapangan.
Indonesia secara geografis berada di kawasan "Pacific Ring of Fire"
memiliki lebih dari 83 gunung api aktif sehingga berpotensi sering terjadi gempa
bumi maupun meletusnya gunung api. Bencana gunung api meskipun memiliki
tanda-tanda, namun kejadian dan dampak dari bencana tersebut tidak dapat
dihindari. Upaya-upaya menekan risiko bencana gunung api harus senantiasa
dilakukan, baik sebelum, selama, maupun setelah terjadi bencana. Mengingat
penanganan bencana gunung api membutuhkan peran berbagai pihak, baik
masyarakat di wilayah rawan bencana, pemerintah, swasta, LSM, maupun para
relawan dan donatur, maka peran komunikasi menjadi sangat penting. Peran
komunikasi terutama untuk menyinergikan berbagai bentuk bantuan, baik material
maupun non material. Oleh sebab itu agar penanganan bencana berjalan secara
efektif, maka perlu dikembangkan sebuah model komunikasi untuk kesiapan
masyarakat menghadapi bencana gunung api.
Dalam UU No. 24 tahun 2007 dijelaskan bahwa bencana alam adalah
bencana yang disebabkan oleh faktor alam yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Menurut Nivolianitou dan Synodinou (2011) bencana alam
merupakan gangguan serius terhadap suatu komunitas yang menyebabkan
kerugian materi, ekonomi, atau lingkungan hidup yang melampaui batas
kemampuan masyarakat yang terdampak untuk mengatasi dengan menggunakan
sumber dayanya sendiri.
Gunung api merupakan tempat keluarnya magma ke permukaan bumi,
umumnya berbentuk kerucut yang terbentuk dari timbunan bahan letusan, seperti
lava dan material lepas yang berasal dari bagian dalam bumi. Gunung api dapat
menimbulkan bahaya bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung api tersebut.
Bahaya paling utama dari letusan gunung api adalah bahaya yang langsung terjadi
ketika letusan sedang berlangsung. Jenis bahaya tersebut adalah awan panas,
lontaran batu pijar, hujan abu yang lebat, leleran lava, dan gas beracun,sedangkan
bahaya sekunder dari letusan gunung api adalah lahar (BNPB, 2008).
Salah satu gunung api yang masuk dalam kategori paling aktif di dunia
adalah Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, memiliki ketinggian puncak 2.968 meterdi atas
permukaan laut (per 2006) dan memiliki selang letusan sejak tahun 1871 sampai

2

dengan 2001 antara 1 sampai 7 tahun sekali. Portal BBC tanggal 27 Oktober 2010
menyebutkan bahwa korban jiwa pada letusan Gunung Merapi disebabkan oleh
luka bakar serius, sementara itu portal Kabupaten Sleman yang dirilis 3 Desember
2010 mengungkapkan korban jiwa yang ditemukan disebabkan sakit maupun
karena usia lanjut.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan paling tidak ada
empat faktor utama yang menimbulkan banyak korban dan kerugian akibat
bencana, yaitu (a) pemahaman terhadap karakteristik bahaya; (b) sikap/perilaku
yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam; (c) kurangnya
informasi/peringatan
dini
yang
menyebabkan
ketidaksiapan;
(d)
ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Meskipun upaya penurunan risiko bencana telah dilakukan oleh pemerintah
melalui kementerian/lembaga/instansi terkait serta lembaga/organisasi non
pemerintah maupun masyarakat, namun kejadian bencana tetap menunjukkan
peningkatan baik intensitas maupun dampak kerugiannya (BNPB 2007).
Anwar (2011) mengatakan bencana alam merupakan suatu peristiwa yang
tidak mudah diprediksi kapan akan terjadi. Banyak pihak meyakini kejadian
bencana alam merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan suatu
komunitas atau individu menjadi jatuh miskin. Hilangnya aset (tempat tinggal,
alat produksi, maupun lahan kerja) dalam waktu yang sangat cepat diyakini
menjadi faktor penting yang memicu terjadinya kerentanan ekonomi yang bisa
mengancam suatu komunitas.
Salah satu bencana gunung api adalah letusan Gunung Merapi tahun 2010
yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 242 orang meninggal di wilayah Daerah
IstimewaYogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah (BNPB,
2010). Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada
sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik dan energi, serta air
bersih. Di sektor permukiman, akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah
mengubur sejumlah dusun di Provinsi DI Yogyakarta dan mengakibatkan ribuan
rumah penduduk mengalami kerusakan. Tercatat 2.636 unit rumah rusak berat dan
tidak layak huni, 156 rumah rusak sedang, dan 632 rumah rusak ringan, sehingga
secara keseluruhan terdapat 3.424 rumah di wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang
mengalami kerusakan sebagai dampak erupsi Gunung Merapi. Wilayah
Provinsi Jawa Tengah, tercatat total 3.705 rumah yang mengalami kerusakan
akibat erupsi Gunung Merapi, dengan sebaran 551 rumah rusak berat, 950 rumah
rusak sedang, dan 2.204 rumah rusak ringan.
Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang diakibatkan
erupsi Gunung Merapi, sesuai data tanggal 31 Desember 2010 yang dihimpun
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dampak bencana erupsi
Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar
Rp.3,557 triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada sektor ekonomi
produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp.1,692 triliun
(46,64 persen dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sektor
infrastruktur sebesar Rp.707,427 miliar atau 19,50 persen, sektor perumahan
Rp.626,651 miliar atau 17,27 persen, lintas sektor Rp.408,758 miliar atau 13.22
persen, dan sektor sosial Rp.122,472 miliar atau 3,38 persen (BAPPENAS dan
BNPB 2011). Oleh sebab itu untuk mengurangi risiko sebagai dampak bencana
Gunung Merapi, banyak kalangan telah memanfaatkan media komunikasi, baik

3

untuk memberikan peringatan dini maupun informasi yang erat kaitannya dalam,
saat bencana maupun pasca bencana.
Beberapa korban saat erupsi Gunung Merapi disebabkan masyarakat tidak
memprediksi hembusan awan panas yang melewati wilayah tempat tinggal. Selain
itu adanya kekhawatiran hilangnya harta benda, serta kurangnya antisipasi
masyarakat dalam menghadapi perubahan bencana Gunung Merapi menyebabkan
mereka terlambat mengungsi.
Paradigma sistem penanggulangan bencana saat ini menuntut masyarakat
lebih berperan aktif dalam penurunan risiko bencana. Tanggungjawab penurunan
risiko bencana tidak hanya pada pemerintah pusat, akan tetapi juga menjadi
tanggungjawab pemerintah daerah. Demikian pula ruang lingkup penurunan risiko
bencana juga semakin luas dari tanggap darurat diperluas menjadi mitigasi,
tanggap darurat, rehabilitas, dan rekonstruksi.
Pengelolaan bencana adalah suatu medan yang melibatkan multi aktor,
lintas disiplin ilmu, dan antar institusi. Bencana juga tidak mudah dikarantina
serta memiliki karakter persoalan yang berbeda satu dengan yang lain. Kepala
Pusat Studi Bencana Universitas Gajah Mada (2013) mengatakan karakteristik
bencana yang dihadapi masing-masing wilayah berbeda, oleh sebab itu pemetaan
risiko bencana hendaknya disajikan secara lengkap dan dapat diakses semua
pihak.
Selama ini berbagai potensi bantuan bergerak sendiri-sendiri, bahkan
relawan yang berasal dari luar wilayah merasa bingung karena tidak ada informasi
yang memadai. Akibatnya pertolongan menjadi lamban, terjadi penumpukan
logistik di titik-titik tertentu, sedangkan dititik lain terjadi kelangkaan bantuan.
Pertolongan dalam bencana berpacu dengan waktu, berhadapan dengan cuaca
yang tidak menentu, masing-masing bertindak serampangan, dan sayangnya tidak
ada tindaklanjut atas sejumlah masukan temuan lapangan (Chandra, 2011).
Bahaya (hazard)
Fenomena alam/ buatan yang
berpotensi mengancam kehidupan
manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan

Bencana

Risiko bencana (disaster risk)
Potensi kerugian yang timbul akibat
bencana

Kerantanan (vulnerability)
Kondisi masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan
menghadapi bencana

Pemicu

Gambar 1. Bahaya, kerentanan, risiko, dan bencana (BNPB, 2007)
Risiko berhubungan dengan ketidakpastian kejadian yang akan datang. Hal
tersebut disebabkan kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa
yang akan terjadi. Oleh sebab itu risiko dapat diartikan sebagai suatu kerugian
yang mungkin dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dikemudian hari.
Konsep risiko menurut Charette dalam Pramana (2011) berhubungan dengan
kejadian di masa datang, melibatkan perubahan, serta melibatkan pilihan dan
ketidakpastian bahwa pilihan itu akan dilakukan.

4

Dalam disiplin penanggulangan bencana, risiko bencana adalah interaksi
antara tingkat kerentanan wilayah dengan ancaman bahaya (hazard) yang ada.
Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam sifatnya tetap karena bagian dari
dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik
dari tenaga internal maupun eksternal. Adapun tingkat kerentanan wilayah dapat
dikurangi melalui peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut
(Harjadi dkk 2007). Secara grafis hubungan antara ancaman, kerentanan, risiko
dan kejadian bencana dapat dilihat pada Gambar 1.
Kerentanan (vulnerability)
Kerentanan dalam komunikasi risiko menghadapi bencana dapat disebabkan
oleh persoalan internal individu pada masyarakat di wilayah rawan bencana
maupun faktor lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.
Persoalan internal individu berupa kondisi fisik yang menghambat kegiatan
komunikasi. Permasalahan panca indra sebagai media penerimaan stimulus akan
menghambat dalam berkomunikasi. Pemberian maupun penerimaan informasi
akan terhambat akibat ketidakmampuan pancaindra menerima stimulus dengan
baik. Persoalan internal yang lain adalah kemampuan berbahasa yang buruk, rasa
percaya diri yang kurang, kurang memiliki kemampuan memahami orang lain,
mudah berprasangka buruk adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kerentanan
dalam komunikasi risiko menghadapi bencana.
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penurunan risiko
bencana, untuk mengurangi risiko dilakukan melalui kegiatan fisik, penyadaran,
dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Kesiapan menghadapi
bencana dimaksudkan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian,
serta langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kegiatan tersebut antara
lain berupa penyiapan sarana komunikasi, pemasangan alat peringatan dini,
penyiapan lokasi evakuasi, pusat informasi, pos komando, dan lain-lain.
Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan berbagai program berkaitan
dengan penurunan kerentanan yang disebabkan oleh bencana melalui organisasiorganisasi dibawahnya. Melalui program pangan dunia (WFP), organisasi pangan
dunia (FAO), organisasi yang mengurusi pengungsi (UNHCR), organisasi
internasional untuk migrasi (IOM), program pembangunan PBB (UNDP) dan
organisasi yang mengurusi anak-anak (UNICEF). Dalam penyelenggaraan
kebencanaan dan kemanusiaan diawasi dan difasilitasi oleh koordinator urusan
kemanusiaan (OCHA). Untuk melakukan koordinasi bantuan semua lembaga
kemanusiaan, baik di dalam maupun di luar sistem PBB dilakukan oleh IASC.
Sebagai upaya menurunkan tingkat kerentanan terhadap bencana, melalui
resolusi Majelis Umum PBB no. 63/139 tanggal 11 Desember 2008, telah
menetapkan tanggal 19 Agustus sebagai Hari Kemanusiaan Dunia.Tujuan
ditetapkannya haru kemanusiaan dunia tersebut adalah untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap aktivitas bantuan kemanusiaan dunia dan
pentingnya kerjasama dunia dalam penanganan kemanusiaan. Disamping itu juga
sebagai bentuk penghargaan kepada organisasi dan asosiasi yang bekerja dengan
atas nama kemanusiaan, serta penghormatan kepada mereka yang meninggal
selama menjalankan tugas kemanusiaan. Resolusi PBB No. 44/236 tanggal 22
Desember 1989 menetapkan Hari Rabu pada minggu kedua setiap bulan Oktober

5

sebagai hari pengurangan bencana alam (Internatioan Day for Natural Disaster
Reduction).
Bentangan yang sangat luas dalam penurunan risiko bencana dan tuntutan
adanya peranserta seuluruh partisipan memerlukan suatu strategi komunikasi yang
efektif agar kegiatan penurunan risiko bencana dapat berjalan secara optimal.
Berdasar hal tersebut maka perlu dirumuskan model komunikasi risiko kesiapan
menghadapi bencana gunung api yang dapat meningkatkan kesiapan masyarakat
dalam menghadapi bencana gunung api sehingga risiko bencana gunung api dapat
dikurangi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan temuan di lapangan, belum optimalnya penurunan risiko
bencana meletusnya Gunung Merapi disebabkan oleh banyak faktor. Dalam
pendekatan komunikasi faktor tersebut antara lain (a) Simpang siurnya berita yang
diterima masyarakat dari berbagai sumber seringkali menimbulkan kekacauan
pada penurunan risiko bencana; (b) Pemerintah tidak sepenuhnya mampu
melakukan kontrol beredarnya informasi di tengah-tengah masyarakat mengingat
banyak kalangan turut serta dalam penyebarluasan informasi, seperti melalui
layanan pesan singkat, internet, radio, dan televisi; (c) Masih lemahnya
masyarakat dalam mengakses informasi yang diperlukan dalam penurunan risiko
bencana (pra, tanggap darurat, dan pasca bencana).
Sesuai amanah UU 24 tahun 2007, penanggulangan bencana tidak hanya
dilakukan hanya pada saat terjadi bencana (tanggap darurat), melainkan dimulai
pada pra bencana sampai dengan pasca bencana. Pada pasal 27 butir a.
menyebutkan setiap orang berkewajiban memberikan informasi yang benar
kepada publik tentang penanggulangan bencana. Beragamnya informasi yang
diperlukan masyarakat menuntut mereka untuk memiliki kemampuan dalam
mencari dan berbagi informasi terkait bencana.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah disusun
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api?
2. Bagaimana perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana
gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api?
3. Sejauhmana manfaat komunikasi bagi masyarakat di wilayah rawan bencana
gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api?
4. Sejauhmana kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api
menghadapi bencana gunung api, serta faktor-faktor apa saja yang
menentukan kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif
komunikasi?
5. Bagaimana strategi yang harus diterapkan pada masyarakat di wilayah rawan
bencana gunung api untuk meningkatkan kesiapan menghadapi bencana
gunung api.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, oleh sebab
itu maka dengan pendekatan deduktif dirumuskan karakteristik kesiapan
menghadapi bencana gunung api, yaitu menguraikan kondisi masyarakat yang
siap dan yang rentan menghadapi bencana gunung api, karakteristik manfaat

6

media komunikasi untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api, serta
karakteristik partisipan untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api yang
mendukung dan tidak mendukung kesiapan menghadapi bencana gunung api.
Tujuan penelitian
Penelitian ini secara umum dilakukan untuk menjawab permasalahan
bagaimana kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api melalui
kegiatan komunikasi. Perilaku komunikasi yang diteliti dilihat dari dimensi media
komunikasi, partisipan, bentuk pesan, dukungan faktor eksternal, manfaat
komunikasi, dan kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif
komunikasi. Asumsi dasar dari penelitian ini adalah apabila masyarakat memiliki
keterampilan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki persepsi yang baik
terhadap partisipan dan intervensi media, ditunjang ketersediaan sarana prasarana,
norma dan nilai budaya, maka masyarakat akan memperoleh manfaat komunikasi
yang optimal dalam mewujudkan masyarakat yang siap menghadapi bencana
gunung api.
Berdasarkan pembatasan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk (1) Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api;
(2) Menganalisa perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana
gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api; (3) Menganalisa
manfaat komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk
kesiapan menghadapi bencana gunung api; (4) Menganalisa kesiapan masyarakat
di wilayah rawan bencana gunung api untuk menghadapi bencana gunung api,
serta Menganalisa faktor-faktor yang menentukan kesiapan masyarakat
menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi; dan (5) menyusun
model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api pada
masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai titik awal
penyusunan model kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif
komunikasi. Dalam tatanan praktis, melalui pengetahuan tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana
gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api dapat disusun
strategi yang efektif bagi peningkatan kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana gunung api.
Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna untuk menyusun arah
pembinaan para agen komunikasi dalam pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana komunikasi selain untuk kesiapan menghadapi bencana, akan tetapi
secara kreatif memanfaatkannya untuk kepentingan yang lebih luas, terutama
dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada di wilayah rawan bencana gunung
api. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam merumuskan kebijakan penanggulangan bencana untuk
mengurangi risiko bencana gunung api di Propinsi Jawa Tengah maupun di
Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta.

7

Kebaruan
Penelitian tentang kesiapan (readiness) banyak dikaji untuk ruang lingkup
managemen dan pendidikan dan belum digunakan untuk mengkaji kesiapan dalam
ranah bencana. Penelitian komunikasi yang terkait dengan bencana juga banyak
dikaji terutama terkait bagaimana koordinasi antar partisipan dan penggunaan
perangkat keras maupun perangkat lunak untuk kepentingan bencana. Penelitian
ini menggabungkan dua ranah, yaitu tentang komunikasi dan tentang kesiapan
(readiness). Penelitian ini menawarkan sebuah konsep baru tentang kesiapan
menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi. Hasil akhir dari
penelitian ini adalah skenario meningkatkan kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian komunikasi.
Substansi penelitian ini mengenai komunikasi masyarakat di wilayah rawan
bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Penelitian
dilakukan di tiga lokasi yang berbeda jenis terdampak bencananya untuk
selanjutnya dilakukan pengujian terhadap perbedaan perilaku komunikasi
masyarakat pada tiga lokasi tersebut. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi
terhadap faktor-faktor yang menentukan manfaat komunikasi dan kesiapan
masyarakat menghadapi bencana gunung api.
Pola penyajian disertasi disusun berdasarkan tujuan penelitian, yaitu :
1. Profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api.
2. Perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk
kesiapan menghadapi bencana gunung api.
3. Manfaat komunikasi masyarakat untuk kesiapan menghadapi bencana gunung
api.
4. Model komunikasi risiko dan faktor penentu kesiapan masyarakat menghadapi
bencana gunung api.
5. Strategi peningkatan kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
yang diulas pada pembahasan umum.
Perilaku yang dianalisa meliputi keterampilan dalam penggunaan media
komunikasi, penguasaan media komunikasi, persepsi terhadap partisipan dan
persepsi terhadap intervensi media. Selain itu dibahas mengenai persepsi
masyarakat terhadap dukungan lingkungan untuk komunikasi risiko kesiapan
menghadapi bencana gunung api.
Daftar Istilah
Beberapa istilah dasar yang digunakan dalam disertasi diuraikan berikut ini.
(a) Perilaku merupakan respon atas stimulus yang diterima oleh indera, baik yang
dapat diamati oleh indera, seperti berbicara dan bergerak atau yang tidak dapat
diamati oleh indera, seperti sikap, keyakinan, dan niat.

8

(b) Komunikasi adalah penyampaian informasi dari partisipan yang satu kepada
partisipan lainnya sehingga terjadi kesamaan makna antar partisipan.
(c) Komunikasi risiko adalah proses berbagi makna mengenai bahaya fisik seperti
lokasi kerja yang berbahaya, pencemaran lingkungan, penyakit, dan lain-lain
melalui komunikasi tatap muka maupun bermedia.
(d) Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api adalah kondisi
fisik dan mental seseorang yang mendasari pengelolaan informasi dalam
menghadapi bencana gunung api.
(e) Agen komunikasi adalah orang atau pihak yang berperan sebagai jembatan
informasi dari partisipan yang satu kepada partisipan lainnya
(f) Media sosial (sosial media) adalah sebuah sarana berkomunikasi secara
online, para penggunanya dapat berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi
meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
(g) Teknologi informasi adalah teknologi yang digunakan untuk memproses,
memanipulasi, dan mengorganisasi atau menata sekelompok data yang
memiliki nilai pengetahuan bagi penggunanya
(h) Teknologi komunikasi adalah teknologi yang membantu manusia
menyalurkan, menyebarkan informasi ke tempat tujuan.
(i) Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media
yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan.
(j) Komunitas adalah kelompok orang yang hidup di suatu wilayah dan saling
berinteraksi, meminati dan berkecimpung di bidang sama, dapat memiliki
maksud, kepercayaan, sumber daya, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi
lain yang serupa.
(k) Relawan adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan
dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya
penurunan risiko bencana
(l) Konvergensi sosial adalah pemanfaatan teknologi untuk berkomunikasi satu
sama lain, menemukan dan memahami dunia di sekitar kita, dan untuk belajar.
(m) Bencana alam adalah kejadian luar biasa yang disebabkan oleh perubahan
rupa muka bumi yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis,
yang melampaui batas kemampuan masyarakat yang terdampak untuk
mengatasi dengan menggunakan sumber daya sendiri.
(n) Gunung api atau gunung berapi adalah bentuk muka bumi dengan ketinggian
tertentu yang memiliki lubang tempat keluarnya magma atau material lain ke
permukaan bumi.
(o) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
(p) BPBD atau Badan penanggulangan Bencana Wilayah adalah lembaga yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
(q) BPPTKG atau Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian adalah lembaga yang secara struktural di bawah Kementerian
Energi dan Sumber daya Mineral yang antara lain bertugas melakukan
mitigasi bencana

9

(r) HT atau radio panggil adalah media komunikasi yang menggunakan frekuensi
sangat tinggi (verry high frequence/ VHF)
(s) Portal berita atau website adalah salah satu menu di internet yang memuat
informasi bermakna penting dari bermacam kategori peristiwa.
(t) Radio Komunitas adalah stasiun penyiaran media elektronik audio yang
dimiliki, dikelola, diperuntukkan, diinisiatifkan dan didirikan oleh sebuah
komunitas. Pembiayaan berasal dari swadaya pengelola, iuran anggota
komunitas, dan donatur. Jangkauan siaran dinikmati dalam wilayah yang
terbatas.
(u) Radio streaming atau radio online adalah media elektronik audio yang dapat
diakses atau didengarkan melalui internet.

10

2 KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS
Tinjauan Pustaka
Komunikasi Risiko
Health dan O’Hair (2009) mengatakan perilaku memahami risiko adalah
bagaimana manusia secara individu dan dalam kelompok melihat lingkungan
mereka dan hal-hal yang mengancam kehidupan mereka berdasarkan cara
pandang keseluruhan dunia. Risiko harus dipahami, dikelola dan dikomunikasikan
sehingga orang dapat menjalani kehidupan yang sehat dan bahagia.
Perkembangan industri telah menimbulkan berbagai risiko baru, sementara
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang risiko tersebut serta membuka peluang untuk dialog dalam
pengambilan keputusan berdasarkan penilaian risiko (Palenchar 2009).
Selanjutnya dijelaskan pada awal perkembangannya komunikasi risiko diarahkan
untuk kepentingan politik para pejabat pemerintah dan usahawan yang
membutuhkan dukungan masyarakat untuk suatu keputusan politik. Komuikasi
risiko dikembangkan dari kebutuhan praktis masyarakat industri untuk mengelola
teknologi dan untuk melindungi warga dari bahaya teknologi buatan manusia dan
bahaya alam. Melihat uraian di atas, awal berdirinya komunikasi risiko bersifat
satu arah yaitu dari para ahli sebagai partisipan kunci kepada masyarakat.
Palenchar selanjutnya menjelaskan perkembangan selanjutnya, bahwa
komunikasi risiko menyoroti pentingnya pendekatan dialogis, membangun
hubungan untuk menangani keprihatinan dan persepsi warga masyarakat dan para
pekerja. Namun demikian pendekatan dialogis sering terhambat oleh kurangnya
lembaga yang responsif terhadap kebutuhan, perhatian, dan pemahaman publik
terhadap risiko potensial dan nyata. Geuter dan Stevens (1983) dalam Palenchar
(2009) menjelaskan hal penting lain dari sebuah riset adalah pendekatan dimana
dalam melihat berbagai fenomena didasarkan pada psikologi kognitif. Sementara
itu penelitian tentang risiko, model, sgtrategi, dan teori-teori memiliki implikasi
manusia.
Reynolds dan Seeger (2005) dalam Palenchar (2009) menjelaskan
komunikasi risiko menyangkut tentang produksi pesan yang dirancang khusus
untuk memperoleh tanggapan publik, sebagian besar dimediasi melalui saluran
komunikasi massa, mengandalkan kredibilitas sebagai elemen mendasar persuasi,
dan bertujuan untuk mengurangi bahaya dan meningkatkan keamanan masyarakt.
Pembahasan tentang komunikasi risiko telah meluas dalam berbagai disiplin
ilmu. Tansey dan Rayner (2009) membahas komunikasi risiko dari perspektif
budaya, dimana lembaga-lembaga sosial memberikan pengaruh determinan
terhadap penilaian risiko dan tindakan sosial. Nilai-nilai dan keyakinan yang
memiliki kekuatan dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tindakan
kolektif. Tindakan seseorang juga tidak dapat dipisahkan dari pemikiran
bagaimana orang lain dalam lingkungannya akan melihat tindakan yang
dilakukannya atau apa yang disebut sebagai norma subyektif dalam teori tindakan
terencana (Theory of Planed Behavior).

11

Koentjaraningrat (1981) menjelaskan perilaku kelompok merupakan
kumpulan dari perilaku-perilaku individu. Koentjaraningrat memetakan perilaku
manusia kedalam kebiasaan, adat istiadat, dan kebribadian yang didasarkan atas
jumlah individu dan jumlah materi. Pengelompokkan tersebut selanjutnya
diilustrasikan sebagaimana Gambar 2.

1
N

Jumlah materi

Jumlah individu

1

N

Kebiasaan
(habit)

Adat istiadat (Custom)
Sistem sosial (social system)

Kepribadian umum
(modal personality)

Kepribadian individu
(Individual personality)

Gambar 2. Kebiasaan, adat dan kepribadian
Pada bagian lain Koentjaraningrat mengutip kerangka Kuckhohn mengenai
lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai budaya manusia
sebagaimana Tabel 1. Setiap manusia atau kelompok manusia memiliki orientasi
yang berbeda dalam hidupnya, dan hal tersebut akan menentukan perilakunnya
sehari-hari.
Tabel 1

Masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai budaya
manusia

Masalah dasar
dalam hidup
Hakekat hidup

Orientasi Nilai Budaya
Hidup itu buruk

Hidup itu baik

Hakekat karya

Karya itu untuk nafkah
hidup

Persepsi
manusia tentang
waktu
Pandangan
manusia tentang
alam

Orientasi masa kini

Karya itu untuk
kedudukan,
kehormatan, dsb
Orientasi ke masa
lalu

Hakekat
hubungan anara
manusia dengan
sesamanya

Orientasi kolateral
(horizontal), rasa
ketergantungan kepada
sesamanya (berjiwa
gotong royong)

Manusia tunduk
kepada alam yang
dahsyat

Manusia berusaha
menjaga
keselarasan dengan
alam
Orientasi vertikal,
rasa ketergantungan
kepada tokoh-tokoh
atasan dan
berpangkat

Kuckhohn dalam Koentjaraningrat (1981)

Hidup itu buruk,
tetapi manusia wajib
berikhtiar supaya
hidup itu baik
Karya itu untuk
menambah karya
Orientasi ke masa
depan
Manusia berhasrat
menguasai alam

Individualisme
meni