Analisis Sifat Fisik Dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium

ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAP KEBAKARAN
VEGETASI DI ATAS LAHAN GAMBUT SKALA
LABORATORIUM

WULAN MUHARANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sifat Fisik dan
Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 21 September 2016
Wulan Muharani
F451140031

RINGKASAN
WULAN MUHARANI. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi
Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium. Dibimbing oleh ARIEF SABDO
YUWONO dan YUDI CHADIRIN.
Asap kebakaran lahan gambut merupakan penyumbang sumber emisi
udara.. Asap kebakaran lahan gambut menghasilkan partikel dan gas yang
menyebabkan dampak yang luar biasa untuk kesehatan manusia, jarak pandang,
ekonomi dan iklim global . Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sifat fisik
dan kimia dari asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut skala laboratorium
dengan parameter sifat fisik yaitu debu jatuh, TSP dan distribusi (PM10 dan PM2.5)
dan parameter sifat kimia yaitu CO, NO, NO2, CO2, SO2, H2S dan CH4.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai April 2016.
Penelitian dilakukan terhadap contoh uji tanah gambut yang berasal dari Provinsi
Lampung. Pengukuran parameter sifat fisik dan kimia diawali dengan menanam
vegetasi di atas tanah gambut dengan luas 1 m x 1 m di Kecamatan Dramaga.

Pengukuran parameter sifat fisik dan kimia dilakukan dengan pembakaran skala
laboratorium yang dilakukan di dalam tunel di Kecamatan Dramaga. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah portable flue gas analyser lancom 4,
dustfall canister Model : AS-2011-1, filter whatmann 41 Ø 47mm, HVAS, filter
staplex tipe TFAG41, oven memmert, desikator, neraca analitik OHAUS, tungku,
kipas angin, cawan petri, dan mikroskop digital MD 3000 binokuler. Bahan yang
digunakan adalah tanah gambut, karung, aquades, vegetasi Imperata cylindrica
Raeusch dan lahan seluas 1m x 1m persegi. Persyaratan umum dalam melakukan
pengukuran debu jatuh dan TSP mengikuti ketentuan dalam SNI 13-4703-1998
tentang Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh dan SNI
19-7119.3-2005 tentang cara uji partikel tersuspensi total menggunakan peralatan
high volume air sampler (HVAS) dengan metode gravimetri. Analisis ini juga
dilakukan terhadap distribusi partikel debu yang diambil dengan kaca preparat
selama pengukuran dan dilihat dengan mikroskop digital. Analisis sifat kimia
dilakukan menggunakan portable flue gas analyser. Pengukuran dilakukan selama
5 menit untuk setiap pengukuran dan data dicatat setiap 10 detik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapat hasil sifat fisik asap
kebakaran vegetasi lahan gambut dari penelitian ini adalah debu jatuh dengan nilai
rata-rata yaitu 846 ton/km2/bulan, TSP 4,205 μg/Nm3 dan distribusi debu jatuh di
dominasi oleh partikel dengan ukuran >10µm. Sifat kimia asap kebakaran

vegetasi lahan gambut dalam penelitian ini adalah CO, CO2, NO, NO2, SO2 , H2S
dan CH4. Secara berturut-turut konsentrasi gas-gas tersebut adalah
556,000µg/Nm3 , 11,499,500 µg/Nm3, 3,500 µg/Nm3 dan 11,000 µg/Nm3, 0
mg/Nm3, 16 ppm dan 1,581 ppm. Konsentrasi CO, SO2, dan NO2 memiliki
konsentrasi melebihi baku mutu jika dibandingkan dengan baku mutu udara
ambien.
.
Kata kunci: Kebakaran lahan gambut, sifat fisik, sifat kimia, jarak pandang, debu
jatuh, polusi udara, distribusi partikel debu.

SUMMARY
WULAN MUHARANI. Analysis of physical and chemical properties of
vegetation peat fire laboratory scale. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO
dan YUDI CHADIRIN
The smoke from peat fires is a contributor to air emission sources. Emission
of smoke from peat fires cause tremendous impact on human health, visibility,
economic and global climate. The purpose of this study was to obtain obtain the
physical and chemical properties of peatland vegetation fire smoke by analyzing
the parameters of the physical properties of the dust that fell, TSP and distribution
(PM10 and PM2.5) and analyze the chemical properties of parameters, namely CO,

NO, NO2, CO2, SO2 , H2S and CH4.
This research was conducted in October 2015 and April 2016. The study
was conducted on the test sample peat soil originating from Lampung Province.
Measurement parameters of physical and chemical properties begins with planting
weeds in peat soil land with an area of 1 m x 1 m in Bogor. Measurement
parameters of physical and chemical properties is done with laboratory scale
combustion conducted in tunnels in the District Dramaga, Bogor. The tools used
in this study is a portable flue gas analyzer LANCOM 4, dustfall canister Model:
AS-2011-1, filter whatmann 41 Ø 47mm, high volume air samplers, filter type
STAPLEX TFAG41, Memmert oven, desiccator, OHAUS analytical balance,
furnaces, fans , a petri dish, and digital MD 3000 binocular microscope. Materials
used are peat, sacks for storing peat, distilled water, weed Imperata cylindrica
Raeusch and an area of 1m x 1m square. The general requirements in measuring
dust fall and TSP subject to the SNI 13-4703-1998 about the determination of
levels of dust in the air with dust catcher Fall and SNI 19-7119.3-2005 about
tersuspendi total particle test using high volume air sampler equipment (high
volume air samplers) by gravimetric method. This analysis was also conducted on
the distribution of dust falling taken with a glass slide for measurement and
viewed with a digital microscope. The analysis was performed using the chemical
nature of portable flue gas analyzer. Measurements were performed for 5 minutes

for each measurement and the data is recorded every 10 seconds.
Based on the research results obtained physical properties of fire smoke
vegetation peat of this study was dust falling to an average value that is 846 tons/
km2/month, TSP 4,205 mg/Nm3 and distribution of dust fell dominated by
particles with sizes > 10μm , The chemical nature of peatland vegetation fire
smoke in this study are CO, CO2, NO, NO2, SO2, H2S and CH4. Successive gas
concentrations are 556,000μg/Nm3, 11.4995 million mg/Nm3, 3,500 μg/Nm3 and
11,000 mg/Nm3, 0 mg/Nm3, 16 ppm and 1,581 ppm. The concentration of CO,
SO2, dan NO2 has a concentration exceeded the standard quality when compared
with ambient air quality standards..
Key words: Peat Fires, Physical properties, Chemical Properties, Visibility,
Dustfall, Air pollution, Size Distribution Particle

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAP KEBAKARAN
VEGETASI DI ATAS LAHAN GAMBUT SKALA
LABORATORIUM

WULAN MUHARANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Meiske Widyarti, MEng

Judul Tesis

: Analisi Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas

Nama

: Wulan Muharani

NIM

: F451140031

Laban Gambut Skala Laboratorium

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Yudi Chadirin, STP MAr


Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc

Anggota

Ketua

Diketahui oleh

Ketua Proram Studi

Dekan Sekolah Pascasjana

Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr Ir M Y anuar J Purwanto, MS

Tanggal Ujian:
21 September 2016


Tanggal Lulus:

1 2 OCT ;n1R

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 ini ialah
kebakaran vegetasi di atas lahan gambut, dengan judul Analisis Sifat Fisik dan
Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Arief Sabdo Yuwono
M.Sc dan Bapak Dr. Yudi Chadirin STP ., M.Agr selaku pembimbing yang telah
memberikan saran dan masukan terhadap penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.
Terima kasih juga diucapkan kepada orang-orang yang telah membantu penelitian ini
yaitu suami Erfandi Rahman dan kedua orang tua Bapak Ir. Amdani dan Ibu Dewi
yang telah mendukung baik secara materil maupun tenaga sehingga penelitian ini
dapat diselesaikan. Kepada Adam Rifai Rahman sebagai sumber semangat untuk
melewati setiap proses kehidupan.
Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap
bermanfaat bagi akademisi khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, September 2016

Wulan Muharani

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

VIII

DAFTAR GAMBAR

X

DAFTAR TABEL

X

DAFTAR LAMPIRAN


X

1

1

2

3

4

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Lahan Gambut

3

Kebakaran Lahan Gambut

3

Kandungan Asap Kebakaran Lahan Gambut

5

METODE

8

Kerangka Penelitian

8

Analisi Sifat Fisik Kimia Tanah Gambut

9

Teknik Pengukuran Analisis Sifat Fisik

9

Teknik Pengukuran Analisis Sifat Kimia

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut

12
12

Analisis Sifat Fisik Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan
Gambut Skala Laboratorium

12

Analisi Sifat Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan
Gambut Skala Laboratorium
V KESIMPULAN DAN SARAN

17
21

Kesimpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema umum gambaran penelitian analisis sifat fisik dan
Gambar 2 Skema Pembakaran Lahan Gambut Skala Laboraotorium
Gambar 3 Skema pengukuran debu jatuh
Gambar 4 Skema pengukuran TSP
Gambar 5 Grafik konsentrasi debu jatuh
Gambar 6 Konsentrasi TSP
Gambar 7 Partikel Debu dilihat dari mikroskop digital
Gambar 8 Grafik variasi ukuran partikel debu

8
9
10
11
13
14
15
16

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Konsentrasi parameter sifat kimia (ppm)
Tabel 2 Konsentrasi parameter sifat kimia (mg/m³)
Tabel 3 Perbandingan nilai sifat kimia dengan baku mutu udara ambien

17
17
20

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis tanah gambut
Lampiran 2 Gambar teknik skema pembakaran vegetasi lahan gambut
skala laboratorium

27
28

1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebakaran lahan gambut merupakan sumber emisi rumah kaca di atmosfer
(Andrea & Merlet 2001). Dari berbagai negara di Asia, Indonesia merupakan
negara yang paling sering mengalami kebakaran lahan gambut dan deforestasi
(Usup et al. 2004). Kebakaran vegetasi dan lahan gambut di Indonesia merupakan
faktor penting bagi polusi udara lintas batas di kawasan Asia Tenggara (Heil et al.
2005). Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan di Sumatra diperkirakan akan
terus berlanjut seiring dengan berlangsungnya pembukaan perkebunan baru
(Anderson & Bowen 2000). Hal ini terjadi pada kebakaran hutan dan lahan
gambut tahun 2013 di Riau dimana kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan
gambut sampai mengganggu aktivitas masyarakat di Negara Malaysia dan
Singapura. Kebakaran hutan dan lahan gambut juga terjadi pada tahun 2014 bulan
Agustus-Oktober di Kalimantan dan Sumatra. Aktivitas penerbangan di sejumlah
bandar udara di Sumatra mengalami gangguan akibat kabut asap kebakaran hutan
dan lahan, sehingga merugikan sejumlah maskapai penerbangan.
Kebakaran lahan gambut meskipun dengan intensitas rendah dapat
menghasilkan emisi partikulat yang besar, CO dan senyawa gas lainnya (Page et
al. 2002). Hasil penelitian yang dilakukan Hayakasa et al. (2014) mencatat
bahwa karakteristik pencemaran dari kabut asap kebakaran lahan gambut di Barat
Palangkaraya tahun 2014 melalui fotokimia adalah PM10 (lebih dari 1000 x 10-6
gm-3). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Fuji et al. (2015) menyatakan
bahwa adanya kandungan aerosol PM2.5 pada kandungan asap dari kebakaran
lahan gambut di Asia Tenggara. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan
analisis mengenai sifat fisik dan kimia dari asap kebakaran vegetasi dari lahan
gambut, berdasarkan dari penelitian tentang kebakaran lahan gambut yang sudah
dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sifat fisik dan kimia asap
kebakaran dari vegetasi lahan gambut. Sifat fisik yang dianalisis adalah debu
jatuh, TSP dan distribusi partikel debu (PM10 dan PM2.5). Sifat kimia yang
dianalisis adalah CO, NO, NO2, CO2, SO2, H2S dan CH4. Hasil penelitian ini
dapat memberi informasi mengenai pencemaran udara yang ditimbulkan akibat
kebakaran vegetasi di atas lahan gambut serta memberi pengetahuan mengenai
penyebab terjadinya penurunan jarak pandang akibat kebakaran lahan melalui
analisis sifat fisik dan kimia dari asap yang ditimbulkan.
1.2 Perumusan Masalah
Kandungan asap kebakaran vegetasi lahan gambut menyebabkan
menurunnya kualitas udara, berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan
penurunan jarak pandang yang berpengaruh pada sistem transportasi udara. Oleh
karena itu dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Sifat fisik asap kebakaran lahan gambut yang terdiri dari parameter debu
jatuh, partikel tersuspensi (TSP) dan distribusi partikel debu serta konsentrasi
dari setiap parameter.

2
2. Sifat kimia asap kebakaran lahan gambut yang terdiri dari CO, NO, NO2,
CO2, SO2, H2S dan CH4 serta konsentrasi dari setiap parameter
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis sifat fisik asap kebakaran lahan gambut dengan parameter
debu jatuh, TSP dan distribusi partikel debu.
2. Menganalisis sifat fisik kimia asap kebakaran lahan gambut dengan
parameter CO,CO2, NO, NO2, SO2 ,H2S dan CH4.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara akibat dari
kebakaran lahan gambut.
2. Sebagai dasar untuk menetapkan peraturan terhadap suatu kegiatan yang
menimbulkan kabut asap.
3. Bahan pendukung untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini mengambil contoh uji tanah gambut di Desa Kuala
Sekampung, Kecamatan Seragi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi
Lampung.
2. Penelitian ini dibatasi pada sifat fisik dan kimia asap kebakaran vegetasi
lahan gambut.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Gambut
Gambut didefenisikan sebagai tanah yang mengandung setidaknya 30%
(dengan massa kering) bahan organik (Joosten & Clarke 2002). Gambut ditandai
dengan kehadiran dan akumulasi bahan tanaman membusuk atau materi organik
(Ryder 2000). Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe,
yaitu : (1) gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, (2) gambut sedang dengan
ketebalan 1-2 m, (3) gambut dalam dengan ketebalan 2-3 m dan (4) gambut sangat
dalam dengan ketebalan > 3 m. Berdasarkan kematangannya, gambut dibedakan
menjadi tiga, yaitu : (1) fibrik, apabila bahan vegetatif aslinya masih dapat
diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, (2) hemik, apabila tingkat
dekomposisinya sedang dan (3) saprik, apabila tingkat dekomposisinya telah
lanjut.
Lahan gambut tropis di Asia Tenggara merupakan reservoir karbon yang
besar. Menurut estimasi terbaru, mencakup 24.8 juta hektar dan menyimpan 68,5
Pg of Carbon gambut yaitu sama dengan 11-14% dari karbon gambut secara
global (Page et al. 2011; Couwenberg et al. 2010). Lahan gambut yang
merupakan bagian penting dari biosfer bumi, yaitu sekitar 3% dari total luas
lahan global (Weiss et al. 2002). Lahan gambut tropis memiliki total luas 8% dari
wilayah lahan gambut global. Karena relatif besar, kedalaman lahan gambut tropis
mungkin menyimpan 70 (gigaton ) Gt atau sampai dengan 20% dari jumlah kabon
lahan gambut secara global (Melling et al. 2005). Hutan rawa gambut topis sangat
penting tidak hanya untuk kekayaan beragam sumber biologi tetapi juga sebagai
kolam karbon yang besar (Tawaraya et al. 2003).
2.2 Kebakaran Lahan Gambut
Menurut National Fire Protection Association (NFPA 2002) secara umum
kebakaran didefinisikan sebagai suatu peristiwa oksidasi yang melibatkan tiga
unsur yang harus ada, yaitu: bahan bakar yang mudah terbakar, oksigen yang ada
dalam udara, dan sumber energi atau panas yang berakibat menimbulkan kerugian
harta benda, cidera bahkan kematian. Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan adalah suatu hamparan ekosistem
daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun
bagi masyarakat sedangkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Dua faktor yang diperlukan untuk terjadinya kebakaran adalah adanya
bahan bakar yang mudah terbakar dan sumber api (Hadi 2008; Stolle & Lambin
2003). Faktor lainnya tergantung pada iklim, tanah dan kondisi vegetasi, peristiwa
kebakaran sebelumnya dan kekeringan. Jika faktor kebakaran berasal dari
manusia, kebakaran dapat terjadi dengan sengaja untuk pengelolaan lahan dan

4
bisa disebabkan oleh kelalaian (Stolle & Lambin 2003). Faktor kebakaran dari
lingkungan yang berinteraksi satu sama lain termasuk bahan bakar, topografi,
cuaca dan api. Intensitas dan kecepatan penjalaran api tergantung pada jumlah dan
susunan bahan bakar, kelembaban bahan bakar, kecepatan angin dan kemiringan
(Flannigan & Wotton 2001; Rachmawati 2008).
Faktor biofisik dari kebakaran hutan adalah ketinggian. Ketinggian memiliki
efek negatif terhadap kebakaran hutan. Semakin tinggi suatu daerah maka
intensitas terjadinya kebakaran akan berkurang. Ketinggian mempengaruhi iklim
dan suhu. Ketinggian juga berkorelasi dengan kepadatan penduduk, daerah yang
tinggi cenderung kurang penduduknya dan karena itu aktivitas manusia pun
kurang. Hujan juga memiliki pengaruh yang sama seperti ketinggian, intensitas
hujan yang tinggi membuat hutan menjadi lembab (Hadi 2008). Peristiwa
kebakaran pada umumnya sangat sulit dibuktikan karena selalu dimulai dengan
adanya api kecil yang berawal dari kelalaian pengguna api rutin saat pembakaran
lahan, peristiwa yang bersifat insidentil seperti pembakaran akibat tujuan
kriminal, punting rokok, dan peristiwa alam. Sumber-sumber api utama lahan di
masyarakat yang tertinggi adalah bersumber dari kegiatan petani ladang dan
penangkap ikan (Akbar et al. 2011)
Perubahan iklim dapat menyebabkan intensitas kebakaran menjadi lebih
sering terjadi terutama dalam kondisi kering di daserah tropis sehingga beban
bahan bakar yang melimpah memperparah kebakaran (Westerling et al. 2006 ;
IPCC 2007) memprediksi perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan yang
lebin parah dan akan terjadi dibanyak daerah, termasuk dengan potensi kebakaran
hutan (Running 2006; Liu & Stanturf 2010).
Kebakaran hutan memainkan peran penting bagi kehidupan di sebuah area
(Schmerbeck 2015). Kebakaran hutan merupakan sumber polusi udara yang
penting di Asia. (Thanh et al. 2014) dan penyebab utama dari emisi aerosol yang
terdiri dari karbon organik pekat, termasuk abu mineral (Pfister et al. 2008). Van
der Werf et al. (2010) memperkirakan 23% dari emisi karbon berasal dari
deforestasi hutan tropis, degradasi dan kebakaran di lahan gambut tropis.
Kebakaran vegetasi merupakan sumber besar dari polusi udara di beberapa
negara tropis. Secara khusus, pembakaran biomassa di Asia Tenggara yang luas
merupakan sumber penting gas rumah kaca dan aerosol (Chand et al. 2006; Hyer
et al. 2013; Adrea & Metlet 2001). Deforestasi, degradasi, dan kebakaran gambut
tropis menyumbang hampir setengah dari emisi kebakaran global (Van Der Werf
et al. 2010). Membakar vegetasi untuk pengolahan lahan dapat mengubah suhu
dari permukaan tanah, yang dapat menyebakan perubahan biogeokimia yang
signifikan dan hidrologi tanah (Brown et al. 2015).
Meningkatnya tren degradasi dan deforestasi hutan rawa gambut tropis
dapat berkontribusi besar terhadap perubahan iklim (Chand et al. 2005)
Kebakaran vegetasi dan gambut yang terjadi di Indonesia merupakan faktor
penting lalu lintas polusi udara di kawasan Asia Tenggara. Partikel yang
dihasilkan oleh kebakaran merupakan polutan dominan yang melampaui batas
ambang kualitas udara ambien pada skala regional (Heil and Goldmmer 2001).
Saat ini sekitar 25% dari semua degradasi hutan dan deforestasi di Asia Tenggara
terjadi pada lahan gambut (Hooijer et al. 2006).
Beberapa studi telah menyarankan bahwa emisi gas dari kebakaran tahun
1997-1998 di Asia Tenggara memiliki dampak yang besar pada konsentrasi

5
atmosfer berskala besar, menghasilkan senyawa CO2, CO, dan CH4 (van der Werf
et al, 2004). Degradasi terus menerus pada hutan rawa gambut ropis di Asia
Tenggara memiliki efek yang parah pada keanekaragaman hayati dan kualitas
habitat bagi spesies di dalam hutan (Couwenberg et al. 2010; Watts et al. 2013).
2.3 Kandungan Asap Kebakaran Lahan Gambut
Asap kebakaran hutan dan lahan secara umum berisi gas CO, CO2, H2O,
jelaga, debu (partikel) ditambah dengan unsur-unsur yang telah ada di udara
seperti NO2, O2, CO2, H2O, dan lain lain (Bahri 2002). Berdasarkan data
pengamatan tahun 1997, ketinggian puncak lapisan asap di pulau Sumatera saat
terjadi kebakaran berkisar antara 7000 kaki hingga 9000 kaki dan di Kalimantan
berkisar antara 5000 kaki hingga 6000 kaki. Pada saat observasi lapangan tanggal
15 s.d 17 Maret 2002, diketahui bahwa puncak lapisan asap di wilayah Sumatera
Bagian Utara bervariasi antara 8000 kaki hingga 9000 kaki. Asap tersebut tidak
segera naik ke angkasa karena gas asap tersebut lebih berat dari udara normal,
sehingga lama-kelamaan asap tersebut terakumulasi dan menjadi pekat (BPPT
1997).
Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat berlangsung secara alamiah
misalnya asap kebakaran hutan, akibat letusan gunung, debu meteroit, spora
tanaman, pancaran garam dari air laut dan lain sebagainyaa. Juga sebagian
disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat transportasi, industri,
pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi maupun pembakaran serta
kegiatan rumah tangga (Soedomo 2001). Asap yang pekat menyebabkan visibility
(kekuatan jarak pandang) menjadi rendah, dan menghalangi radiasi matahari ke
permukaan tanah, sehingga tidak terjadi proses konveksi. Temperatur di lokasi
asap umumnya rendah yaitu sekitar 24 derajat Celcius (Sitorus 2002). Asap dari
kebakaran hutan merupakan masalah bagi kesehatan manusia dan keselamatan
bagi pengendara (Monroe et al. 2009).
Konsentrasi CO dan CH4 berbanding lurus dengan konsentrasi CO2.
Sedangkan hubungan antara N2O dan CO2 menunjukan infleksi. (Hamada et al.
2013). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa emisi gas dari kebakaran
tahun 1997-1998 di Asia Tenggara memiliki dampak yang besar pada konsentrasi
atmosfer berskala besar, menghasilkan senyawa CO2, CO, CH4 dan PM10 (van
der Werf et al. 2004; Hamada et al. 2013; Hei et al. 2005). PM10 telah dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan kematian diantara individu dengan
kardiovaskular penyakit dan dapat memperburuk jantung kronis dan paru-paru
penyakit (Hong et al. 1999; Joseph et al. 2003).
Jenis-jenis pencemaran udara jika dilihat dari ciri fisik dapat digolongkan
menjadi pencemaran dalam bentuk partikulat, yaitu partikel-partikel padat yang
terdispersi dalam fasa gas maupun cair seperti debu, aerosol dan timah hitam dan
pencemar dalam bentuk gas seperti CO, NOx, SOx, H2S, serta Hidrokarbon
(Cooper & Alley 2002). Jenis-jenis pencemaran udara jika dilihat dari ciri fisik
dapat digolongkan menjadi pencemaran dalam bentuk partikulat, yaitu partikelpartikel padat yang terdispersi dalam fasa gas maupun cair seperti debu, aerosol
dan timah hitam dan pencemar dalam bentuk gas seperti CO, NOx, SOx, H2S, serta
Hidrokarbon (Cooper & Alley 2002)

6
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 terdapat empat
parameter partikulat, yaitu: partikel materi 10 μm. Hal ini disebabkan oleh jarak pengukuran
yang dekat dengan sumber kebakaran sehingga sebaran distribusi partikel debu
yang terbawa masih didominasi oleh partikel debu dengan ukuran > 10 μm.
Partikel debu 10 μm karena pengaruh angin. Penelitian yang dilakukan oleh Hayakasa et al.
(2014) mencatat bahwa karakteristik pencemaran dari kabut asap kebakaran lahan
gambut di Barat Palangkaraya tahun 2014 melalui fotokimia adalah PM10 (lebih
dari 1000 x 10-6 gm-3). Pada penelitian ini didapat partikel debu PM10 sebanyak
198 partikel dari 12 kaca preparat yang digunakan dengan ukuran kaca preparat
yaitu 1” x 3”. Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian yang dilakukan oleh
Fuji et al. (2015) yang menyatakan bahwa adanya kandungan aerosol PM2.5 pada
kandungan asap dari kebakaran lahan gambut di Asia Tenggara. Pada penelitian
ini didapat partikel debu yang terukur sebagai PM2.5 yaitu sebanyak 195 partikel
debu.
300

Jumlah partike debu

250
200
150
100
50
0
0-1 µm

1-2.5 µm
2.5-10 µm
variasi ukuran debu jatuh

>10 µm

Gambar 8 Grafik variasi ukuran partikel debu
Kebakaran lahan gambut berpengaruh terhadap gangguan jarak pandang,
mempengaruhi ekonomi Indonesia, Singapura dan Malaysia. Darat, udara dan lalu
lintas laut menjadi terbatas, pendapatan pariwisata, kegiatan indsutri dan
memancing menjadi menurun (Economy and Environment Program for South
EastAasia/World Wide Found for Natrure 1998; Hassan et al. 1998). Sebuah
kecelakaan pesawat pada bulan September di sebelah Utara Sumatra
menyebabkan 234 jiwa meninggal dan tabrakan kapal di Selat Malaka, Malaysia
menewaskan pulahan jiwa, sebagian disebabkan oleh gangguan jarak pandang
(Simons 1998 ; Heil A and Gildammer JG 2001).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Heil dan Goldammer (2001)
menghasilkan jarak pandang dipengaruhi oleh TSP dan PM10. Semakin tinggi
nilai dari TSP dan PM10 maka jarak pandang semakin rendah. Penurunan jarak
pandang banyak digunakan sebagai indikator kualitas udar ambien selama
terjadinya kabut asap di Indonesia. Namun jarak pandang tidak hanya bergantung
pada konsentrasi partikel, tetapi juga pada persepsi subjektif dari pengamatan,
kelembaban relatif dan kondisi cahaya (Heil A, 2007).
Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari debu (PM10 dan PM2.5) dapat
mengendap pada saluran pernapasan daerah bronki dan alveoli, sedang TSP tidak
dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan
atas.

17

4.3 Analisi Sifat Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut
Skala Laboratorium
Tabel 1 Konsentrasi parameter sifat kimia (ppm)
Parameter
CO
SO2
O2
NO2
NO
H2S
CO2
CH4

Pengukuran Pengukuran Pengukuran Pengukuran Rata1
2
3
4
Rata
413
587
536
415
488
0
0
0
0
0
222,740
192,073
209,000
192,080 203,973
6
8
6
4
6
2
6
1
3
3
13
21
17
13
16
0
12,780
12,997
0
6,444
1,059
2,017
2,149
1,100
1,581

Tabel 2 Konsentrasi parameter sifat kimia (mg/m³)
Parameter
CO
SO2
O2
NO2
NO
H2S
CO2
CH4

Pengukuran Pengukuran Pengukuran Pengukuran Rata1
2
3
4
Rata
473
673
603
475
556
1
0
0
0
0
291,521
251,384
273,538
251,393 266,959
11
14
13
7
11
2
7
1
4
4
19
29
24
17
22
0
22,999
22,999
0
11,500
693
1,320
1,415
708
4,034

Tren nilai sifat kimia untuk parameter CO, NO2, H2S, CO2 dan CH4 dari
penelitian ini adalah nilai dari parameter yang didapat mengalami penurunan pada
pengukuran keempat. Kenaikan nilai dari sifat kimia terjadi pada pengukuran
kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan karena pada awal pengukuran vegetasi yang
dibakar menghasilkan asap yang sedikit karena bara api masih dalam proses
menyala, sehingga sifat kimia terukur pada detik-detik awal masih berada pada
nilai yang rendah sehingga menghasilkan rata-rata yang lebih rendah daripada
pengukuran kedua dan ketiga. Titik api pada pengukuran pertama dan keempat
tidak sebanyak pada pengukuran kedua dan ketiga. Hal ini menjadi penyebab
sedikitnya asap yang dihasilkan. Kabut asap yang menyelimuti kawasan Propinsi
Sumatera Utara dan Propinsi Riau telah mengakibatkan visibility menjadi rendah.
Perkembangan Hot Spot menunjukan jumlah yang mengalami penurunan, dan bila
dikaitkan dengan kondisi visibility yang dicatat di Bandara Polonia Medan
diperoleh kesesuaian data (Bahri 2020). Hal ini menunjukan bahwa banyaknya
kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dipengaruhi oleh titik nyala api
yang membakar hutan.
Banyaknya bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran
menentukan lamanya suatu bahan bakar habis terbakar selain faktor angin yang

18

juga menentukan kecepatan pembakaran (Taksirawati 2000). Pada pengukuran
keempat terjadi penurunan karena asap yang dihasilkan cenderung berkurang.
Berkurangnya asap yang dihasilkan karena penggunaan kipas angin sebagai alat
bantu untuk nyala bara api tidak digunakan. Penghentian penggunaan kipas angin
disebabkan oleh bara api yang sudah stabil membakar vegetasi. Kestabilan bara
api disebabkan karena adanya bekas vegetasi yang sudah terbakar pada bagian
bawah tungku yang digunakan.
Karbon monoksida (CO) terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna
dari bahan bakar yang lembab (basah) pada kebakaran hutan, selain itu bahan
bakar utama kebakaran hutan yang berasal dari kayu, serasah, dan bagian
tumbuhan lainnya yang terdiri dari unsur kimiawi karbon menghasilkan produksi
karbon monoksida (Anugrah 2008). Hal ini menjadi penyebab kenaikan nilai CO
pada pengukuran kedua dan ketiga untuk sifat kimia namun untuk nilai TSP
mengalami penurunan pada pengukuran kedua dan ketiga.
Pelepasan CO ke atmosfer sebagai akibat aktivitas manusia, seperti
transportasi, pembakaran minyak, gas, kayu, proses industri, pembuangan limbah
padat termasuk kebakaran hutan. Reaksi antara karbon dioksida dan komponen
yang mengandung karbon pada suhu tinggi menghasilkan karbon monoksida
dengan reaksi sebagai berikut: 2CO CO2 + C . Pada kondisi jumlah oksigen
cukup untuk melakukan pembakaran lengkap terhadap karbon dapat juga
terbentuk CO. Keadaan ini disebabkan karena pada suhu tinggi CO2 akan
terdisosiasi menjadi CO dan O. Karbon dioksida dan CO terdapat pada keadaan
ekuilibrium pada suhu tinggi dengan reaksi sebagai berikut: CO + OCO2. Ratarata konsentrasi CO pada penelitian ini adalah 556,000µg/Nm3, mengacu pada PP
41 tahun 1999, baku mutu CO untuk udara ambien adalah 10,000 µg/Nm3.
Konsentrasi dari pembakaran ini jauh melebihi baku mutu. Hal ini tentu terjadi
karena pengukuran dilakukan tepat pada sumber emisi. Kandungan CO dan CO2
mendominasi sifat kimia dari asap kebakaran lahan gambut yang diteliti.
Rata-rata konsentrasi CO, CO2 dan CH4 pada penelitian ini adalah 488 ppm,
6,444 ppm dan 1,581 ppm, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gunawan et al. (2012), ketiga nilai ini lebih besar. Hasil penelitian oleh Gunawan
et al. (2012) untuk konsentrasi CO, CO2 dan CH4 adalah 14.74 ppm, 97.07 dan 9
ppm. Hal ini disebabkan oleh alat yang digunakan dalam penelitian Gunawan et
al. (2012) berupa sistem sensor yang membaca konsentrasi gas dari partikel yang
dihasilkan. Tempat pembakaran dibuat berupa ruang simulator pembakaran
berdiameter 120 cm x 50 cm x 40 cm dengan berat sampah lahan gabut yang
dibakar adalah 1.5 kg. Pada penelitian ini alat yang digunakan adalah alat
pengukur emisi yaitu potable flue gas analyser untuk mengukur emisi dari suatu
kegiatan dan tidak dapat membaca kandungan gas pada udara ambien. Tempat
penelitian juga menjadi penyebab terjadi perbedaan konsentrasi. Pada penelitian
ini tempat yang digunakan berupa tunel dimana asap y