Dampak kebakaran di padang rumput terhadap sifat fisik dan kimia tanah

(1)

DAMPAK KEBAKARAN DI PADANG RUMPUT TERHADAP

SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH

Oleh :

ERSA JUARSA ERAWAN H. E01499012

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DAMPAK KEBAKARAN DI PADANG RUMPUT TERHADAP

SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

ERSA JUARSA ERAWAN H. E01499012

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Penelitian : DAMPAK KEBAKARAN DI PADANG RUMPUT TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH

Nama Mahasiswa : Ersa Juarsa Erawan Hidayat Nomor Induk : E01499012

Program Studi : Budidaya Hutan

Meyetujui, Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.) NIP : 131 878 497

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana. MS.) NIP. 131 403 799


(4)

ABSTRACT

BDH/

The Impact of Fire in Grassland to

the Change of Physical and Chemical Characteristics of Soil

by : Ersa Juarsa E.H.

1

and Bambang Hero Saharjo

2

Introduction

Forest and land fire in Indonesia is a phenomenon which usually happened especially when the dry season. Grassland as an object study has been known low fertility and vulnerable to fire. Fire at the grassland has been impacted to the land quality in accordance with the changed of the physical, chemical, and biological characteristics of the soil. And it also miscellaneous like depository capacities ground water and loss of soil organic materials. Sumba and Flores have a similarity land cover type which dominated to the grassland area in Indonesia. This research aims to define the impact of fire/burning to physical and chemical characteristics of soil in grassland. Result of this study is expected can give information concerning fire management in grassland and upon which literature for the research of continuation, especially for Sumba and of Flores.

Method

The study has been done at four grassland area, they are Lukuwingir and Kiritana Village in East Sumba District that placed in Sumba Island, and Dereisa and Dorameli Village in Ngada District that placed in Flores Island. The entire of area administratively are a part of East Nusa Tenggara Province. Field study examined for 2 month, July - August 2004. Materials and tools appliance in this study are meter ribbon, compass, GPS, string, ring sample of soil, anemometer, digital, thermometer, weighing-machine clinometer’s, meter stick, stopwatch, scythe, measure ribbon, and stationery. Data collected through some plot study, 20 X m 20 m each, within sub-plot 1 X 1m at each plot. They are three sub-plots inside every plot. Therefore there are 12 sub-plots totally covered 4 grassland study areas. Each sub-plot has the same treatment, it is burning/combustion. Soil samples as a material of physical soil analysis has been taken by a ring sample of soil within 5 cm deep in every sub-plots. Than soil chemistry analysis conducted in every sub-plot by intake sample which have 1 kg before and after burning treatment. The analysis of those samples conducted in soil laboratory. The physical soil characteristics perceived bulk density, porosity, water contain, and permeability. While to the chemistry characteristics cover acidity (pH), carbon, nitrogen, phosphorus, kalium and magnesium. At the end the data from laboratory are processed by program Minitab vers.11.

Results and Discussion

Burning treatment has been causing the increasing of bulk density, 0.25 g/cc average. It was a resulted from the enlargement of soil colloidal which obviously impacted to the soil solidity. Percentage of porosity has decreased around 9.33% which caused by dusty particles and also the existence of development of colloid narrowing soil pore. Water evaporation of combustion effect has been made that degrade percentage of water contain in around 0.72%. And than, combustion has destroyed the stability and structure of soil aggregate. And it was also impacted to the increasing permeability of downhill land. Chemically, burning treatment has been increased pH to 0.16. It was an effect of existence of supply OH- from ash of combustion. It also conducted a process transfer of ion colloid which causing hydrogen bunch and replaced by other element like Mg2+, and K+. Consequently, the availability of magnesium element and potassium after combustion become to go up to 1.5 me/100g and 232.7 mg/kg. Phosphorus in the form of H2PO4 after burning treatment increased to 18.67 mg/kg along with the increasing of pH. It was caused by soil colloidal considering element of Al2+, Fe3+, Mn2+, with phosphate (H2PO4-) play a part in transfer of Hydroxyl bunch (OH-). Hence that phosphorus unsure shall no longer negative (H2PO4).

Conclusions

Physically, there were an increasing of bulk density of soil after burning process. While porosity, water contain, and permeability has been decreased. Chemically, the level of acidity (pH), carbon, phosphor, kalium and magnesium has been increased, except for the nitrogen existing which has been degraded.

1

Bachelor Student of Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University

2


(5)

RINGKASAN

BDH/

DAMPAK KEBAKARAN DI PADANG RUMPUT

TERHADAP

SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH

Oleh :

Ersa Juarsa E.H.

3

dan Bambang Hero Saharjo

4

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan fenomena yang sering terjadi terutama dimusim kemarau. Padang alang-alang pada lokasi penelitian rentan terhadap bahaya kebakaran karena karakteristiknya yang mudah terbakar. Dampak kebakaran pada padang alang-alang berupa perubahan kualitas lahan yang mencakup sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta hal-hal lain seperti kapasitas penyimpanan air tanah dan hilangnya bahan organik tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebakaran terhadap kondisi fisik dan kandungan kimia tanah di padang rumput Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manajemen api di padang rumput dan sebagai bahan literatur untuk penelitian lanjutan. Terutama untuk lokasi Sumba dan Flores.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di empat lokasi padang rumput. dua desa dikawasan Waingapu Sumba Timur, yaitu : Luku Wingir dan Kiritana, dan dua desa di wilayah kabupaten Ngada Flores, yaitu : Dereisa dan Dorameli yang merupakan bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2004. Bahan dan alat yang digunakan yaitu pita meter, kompas, GPS, tali, ring sampel, anemometer, digital termometer, klinometer timbangan, yalon, stopwatch, sabit, pita ukur, pematik api, dan alat tulis. Pangambilan data dilakukan pada plot 20 m X 20 m, dengan subplot 1m X 1m, pada masing-masing plot terdiri dari tiga sub-plot dengan perlakuan pembakaran. Untuk penelitian sifat fisik tanah pengambilan sampel tanah dengan menggunakan ring sample pada tiap sub-plot dengan kedalaman 5 cm pada saat sebelum perlakuan dan sesaat setelah perlakuan. Untuk penelitian sifat kimia dilakukan pengambilan sampel tanah yang telah dikompositkan sebayak 1 kg pada masing-masing sub-plot sebelum dan setelah terjadi perlakuan. Analisis sifat-sifat tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor. Sifat tanah yang diamati untuk sifat-sifat fisika adalah: Kerapatan Limbak (Bulk Density), porositas, air tersedia, dan permebilitas. Sedangkan untuk sifat kimia adalahi: Tingkat keasaman tanah (pH), kandungan karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan magnesium. Pengolahan data menggunakan program

Minitab vers.11.

HASIL DAN KESIMPULAN

Sesaat setelah mengalami pembakaran kerapatan limbak (Bulk Density) mengalami kenaikan sebesar 0.25 g/cc yang diakibatkan oleh pengembangan koloid-koloid tanah sehingga tanah menjadi padat. Persentase ruang pori mengalami penurunan sebesar 9.33 % karena adanya partikel-partikel abu sisa pembakaran yang masuk dan mengisi ruang pori, serta adanya pengembangan koloid yang mempersempit ruang pori tanah. Air yang tertahan pada pori tanah mengalami penguapan akibat pembakaran sehingga menurunkan persentase jumlah air tersedia sebesar 0.72%. Selain menurunkan jumlah pori tanah dan air tersedia, pembakaran juga merusak struktur dan stabilitas agregat tanah sehingga permeabilitas tanah menurun. Parameter sifat kimia seperti pH mengalami kenaikan sebesar 0.16 akibat adanya supply OH- dari abu sisa pembakaran serta terjadinya proses pertukaran ion pada koloid tanah yang menyebabkan gugus hidrogen (H+) terputus dan tergantikan oleh unsur lain seperti Mg2+, dan K+ sehingga ketersediaan unsur magnesium dan kalium setelah perlakuan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1.5 me/100g dan 232.7 mg/kg. Begitu pula dengan fosfor dalam bentuk H2PO4 setelah mengalami perlakuan terjadi peningkatan sebesar 18.67 mg/kg, karena koloid tanah yang mengandung unsur Al2+, Fe3+, Mn2+ bereaksi dengan fosfat dalam pertukaran gugus Hidroksil (OH-) dan merubah muatan H2PO4- menjadi H2PO4

3 Mahasiswa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) 4 Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 18 September 1981 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Deden Hidayat dan Ai Widaningsih..

Lulus dari SDN 1 Ngamplang 1993, penulis melanjutkan ke SMPN 1 Cikajang dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1999, penulis lulus dari SMUN 1 Cikajang sebagai lulusan terbaik.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 1999/2000 melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif di berbagai organisasi antara lain Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM–E) periode 2000-2001, Rimbawan Pecinta Alam Fakultas Kehutanan (RIMPALA), Forest Management Student Club (FMSC), Forum Mahasiswa Kebakaran Hutan, dan Komunitas Seni Masyarakat Roempoet. Selama menjalani kuliah, penulis ikut aktif di beberapa kepanitiaan lingkup departemen, fakultas, IPB dan di luar IPB. Selain itu penulis aktif sebagai pekerja lepas di Yayasan Lestari Hutan Indonesia (LHI) dengan ruang lingkup bidang pendampingan masyarakat desa hutan, PT. RIAP INDONESIA The Integrated Management Consultant, serta CV. EPR AGENT yang bergerak dalam bidang

agroforestry dan Peternakan.

Bogor, Oktober 2005


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Dampak Kebakaran di Pdang Rumput terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih terdapat banyak kekurangan. Dan penulis juga yakin hal ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan, do’a, dukungan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih, terutama kepada :

1. Kedua orang tua ku, Bapa, Mamah, dan kedua kakak perempuan ku, yang senantiasa meyertai langkahku dengan do’a, keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, dan pengorbanannya yang tidak mungkin untuk terbayar dalam bentuk apapun.

2. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. Selaku dosen pembimbing, yang tidak pernah bosan memberikan bimbingan dan arahannya.

3. Dr. Ir. Bintang C. Simangunsong, dan Ir. Agus Priyono MS. Selaku dosen penguji. 4. Guru dan sahabat-ku, ‘kang’ Yayat Ruchiat, ‘kang’ Samsul, ‘Kang’ Adjat, ‘Kang’

Ocim, ‘Kang’ Iwan Bagaz, terima kasih atas bimbingan, dorongan, dan semangat kekeluaragaan selama ini. Tanpa “akang-akang” saya bukanlah apa-apa.

5. Teman-teman di Sumba dan Flores (pak Gegi, pak Petrus, pak Yosef, Om Nus, bak’ Erlin, bak’ Fransiska Rengo) dan semua staf di Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM). Terima kasih atas bantuan dan pengalamannya selama penulis melukan perjalanan penelitian di Sumba dan Flores.

6. Bagi teman – teman seperjuangan di kampus, keluarga besar angkatan ‘36 (Gato, Robi, Ipul, Abah, Udel, Boim, Oday, Bayu, Adi “aki”, Wijsnu, Abeng, Begeng, Iyan ‘Godeg’, Dogen, Opang, Deri ‘kehed’, Doni, Rudi, Fajar ‘Japra’, Rio, Rudi, Rido, Lulu. dll. Maaf yang tidak kesebut maklum keterbatasan tempat. “Thanks for You All” tanpa kalian “hidup serasa gak hidup”.

7. Tak lupa buat A’Dodo, Rama, Mamay, Syaiful, Joko, dan Keluarga besar Angkata ’35 lainnya. Mudah-mudahan kebersamaan kita selama ini memberikan warna di FAHUTAN.

8. Saudara-saudaraku Angkatan ’37 (Jule, Bro, Roni ‘Badak’, Didit ‘Kidong”, Ria, Didi, Caim, Erlinda, dll), Angkatan ‘38 (Jufri, Ajay, Fiki, Ewing, dll.), Angkatan ’39,


(8)

’40, ’41, maaf hanya angkatannya saja karena keterbatasan tempat. Tapi yang jelas kalian bagian dari inspirasiku.

9. Keluarga ku RIAP, RIMPALA, terimakasih atas kebersamaannya selama ini.

10. Saudara seperjuangan di SMU (Blanksak ’97, Hilman ‘Gfenk’, Sukma ‘Tikus’, Ete, Atis, Dena, Deni, Hengky).

11. Akhir kata penulis ucapkan banyak-banyak terima kasih, atas Do’a, kesabaran, dorongan, harapan, keyakinan, dan impian selama ini, bagi semua yang terlibat dalam penyusunan karya tulis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Terima Kasih...

Bogor, Oktober 2005


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

RINGKASAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Kebakaran Hutan ... 3

B. Klasifikasi Kebakaran Hutan ... 6

C. Bentuk dan Sifat Bahan Bakar Hutan dan Lahan ... 6

1. Defenisi Bahan Bakar Hutan dan Lahan ... 6

2. Klasifikasi Bahan Bakar Hutan dan Lahan ... 6

3. Sifat Bahan Bakar Hutan dan Lahan ... 7

D. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ... 8

E. Dampak Kebakaran Hutan ... 9

F. Tanah ... 10

1. Definisi Tanah ... 10

2. Sifat-Sifat Tanah Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman ... 11

a. Sifat Fisik Tanah ... 11

b. Sifat Kimia Tanah ... 13

G. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat-Sifat Tanah ... 17

1. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat Fisik Tanah ... 17

2. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat Kimia Tanah ... 17

H. Padang Rumput (Grassland) ... 18

1. Definisi dan Karakteristik Padang Rumput ... 18

2. Kebakaran Padang Rumput ... 19

III. METODE PENELITIAN ... 20

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

B. Alat dan Bahan ... 20

1. Alat ... 20

2. Bahan ... 20

C. Metode Penelitian ... 20

1. Jenis data ... 20

2. Metode Pengambilan dan Analisis Data ... 21

a. Kegiatan Sebelum Pembakaran ... 21

b. Kegiatan Pembakaran ... 23


(10)

D. Analisis Data ... 25

E. Hipotesis Penelitian ... 25

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

A. Letak dan Luas ... 26

B. Geologi ... 26

C. Tanah dan Topografi ... 26

D. Iklim ... 26

E. Vegetasi ... 26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Hasil Penelitian ... 27

1. Kondisi Cuaca dan Perilaku Api ... 27

2. Curah Hujan Bulanan Lokasi Penelitian ... 28

3. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Fisik Tanah ... 28

a. Bulk Density ... 28

b. Porositas/Ruang Pori Total ... 29

c. Air Tersedia ... 30

d. Permeabilitas (cm/jam) ... 30

4. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Kimia Tanah ... 31

a. Reaksi Keasaman Tanah (pH) ... 31

b. Kandungan Karbon (C) ... 31

c. Kandungan Nitrogen (N) ... 33

d. Kandungan Fosfor (P) ... 33

e. Kandungan Kalium (K) ... 34

f. Kandungan Magnesium (Mg) ... 35

B. Pembahasan ... 36

1. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Fisik Tanah ... 36

a. Kerapatan Limbak (Bulk Density) ... 36

b. Porositas ... 36

c. Air Tersedia ... 36

d. Permeabilitas ... 36

2. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Kimia Tanah ... 37

a. Keasaman Tanah (pH) ... 37

b. Kandungan Karbon (C) ... 37

c. Kandungan Nitrogen (N) ... 37

d. Kandungan Fosfor (P) ... 38

e. Kandungan Kalium (K) dan Magnesium (Mg) ... 38

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

A. Kesimpulan ... 39

B. Saran ... 39


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Metode Analisis Tanah ... ... 23


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Segi Tiga Api (De Bano et al.1998) ... 3

2. Bentuk Plot Contoh dan Subplot yang Digunakan untuk Pengam- bilan Data Vegetasi dan Analisis Tanah ... 22

3. Bentuk Subplot yang Digunakan untuk Pengambilan Sampel Tanah ... 22

4. Grafik Curah Hujan Bulanan Daerah Sumba Timur dari Tahun 2001 sampai 2003 ... 28

5. Nilai Bulk Density Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran... 29

6. Nilai Porositas Tanah Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 29

7. Nilai Air Tersedia Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 30

8. Nilai Permeabilitas Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 31

9. Nilai Tingkat Keasaaman Tanah Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 32

10. Nilai Kandungan Karbon Organik Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 32

11. Nilai Kandungan Nitrogen Total Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 33

12. Nilai Kandungan Posfor Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 34

13. Nilai Kandungan Kalium Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 34

14. Nilai Kandungan Magnesium Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran ... 35

15. Proses Slashing ... 35


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Analisis Data Laboratorium Fisika Tanah

Balai Penelitian Tanah Bogor... L-1 2. Hasil Analisis Data Laboratorium Kimia Tanah

Balai Penelitian Tanah Bogor... L-2 3. Hasil Analisis Data Perilaku Api ... L-3 4. Hasil Analisis Data Potensi Bahan Bakar di Lokasi Penelitian... L-4 5. Hasil Analisis Data Fisika Tanah dengan menggunakan perangkat lunak

Minitab Vers. 1.1... L-5 6. Hasil Analisis Data Kimia Tanah dengan menggunakan perangkat lunak

Minitab Vers. 1.1... . L-7 7. Gambar Lokasi dan Kegiatan Penelitian... L-9


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan dan lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat yang besar terhadap kesejahteran manusia. Manfaat tersebut meliputi fungsi hidro-orologi, fungsi produksi, fungsi perlindungan, fungsi estetika, penunjang ilmu pengetahuan, penunjang pendidikan dan kebudayaan, fungsi klimatik, fungsi strategi dan pertahanan, serta fungsi sosial ekonomi (Oemijati, Sugihanto, dan Wibowo, 1985).

Hutan sebagai fungsi klimatik memiliki peranan besar. Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi hutan dan lahan merupakan penyebab penting dalam perubahan iklim secara global seperti terjadinya perubahan suhu, ketersediaan air, dan meningkatnya akumulasi karbon di atmosfer. Salah satu hal yang penting dari kegiatan deforestasi adalah emisi gas-gas buangan aktif radiatif seperti CO2, CH4, dan N2O ke

atmosfer (Murdiyarso dan Husin, 1994).

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan fenomena yang sering terjadi terutama dimusim kemarau. Di kawasan Indonesia bagian timur terutama di daerah padang rumput penyiapan lahan dengan cara dibakar sudah menjadi kebiasaan selain untuk kegiatan pembukaan lahan bercocok tanam pembakaran juga dilakukan dalam rangka kegiatan lainnya seperti berburu dan penyediaan pakan bagi hewan gembalaan. Menurut Hudaya dan Hartoyo (1988), Padang rumput atau identik dengan padang alang-alang rentan akan bahaya kebakaran, hal ini disebabkan oleh karakteristik alang-alang yang mudah terbakar karena memiliki titik nyala 220 oC–230 oC hampir menyamai titik nyala kertas yakni 210 oC–215 oC (Hudaya dan Hartoyo, 1988).

Dalam kenyataannya api dapat digunakan sebagai alat dalam penyiapan lahan karena lebih efektif dan biayanya murah. Pada penggunaan api dalam penyiapan lahan, api haruslah diterapkan pada waktu dan intensitas yang tepat. Penggunaan api oleh peladang dimaksudkan agar diperoleh abu hasil pembakaran yang kaya akan fospor, magnesium, kalium, natrium dan karbon organik (Daubenmire, 1960; Viro, 1924; Lal dan Cummings, 1979; Pritchet dan Fisher, 1987; dan Saharjo, 1995). Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus berdasarkan informasi yang berasal dari hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan terjemahan dari textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).


(15)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebakaran terhadap kondisi fisik dan kandungan kimia tanah di padang rumput

C. Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manajemen api di padang rumput terutama untuk lokasi Sumba dan Flores.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan

Definisi kebakaran hutan menurut keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/1986 adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan/atau nilai lingkungan .

Sedangkan menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan secara umum dapat didefinisikan sebagi suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dan mengkonsumsi bahan bakar seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, semak, serta pohon-pohon hidup untuk tingkat terbatas. Ciri penting dari kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar secara bebas. Proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Proses Fotosintesis : CO2 + H2O + energi sinar matahari Æ C6H12O6 + O2

Proses Pembakaran : C6H12O6 + O2 + energi dari api Æ CO2 + H2O + energi dalam

bentuk panas.

US Forest Service (1956) dalam Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan, seperti serasah, rumput, humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon besar untuk tingkat terbatas.

Daerah yang memiliki curah hujan tinggi seperti daerah tropika basah secara normal tidak mudah terjadi kebakaran, namun kenyataannya dalam musim kering yang luar biasa, serasah dan sisa tebangan yang sudah mulai mengering dapat dengan mudah terbakar yang kebanyakan disebabkan dari aktivitas pembukaan lahan dan hutan oleh manusia dengan menggunakan api. Biasanya api berawal dari tepi hutan akibat aktivitas manusia untuk pembukaan lahan, dan akhirnya api merambat ke hutan. (Hamilton dan King, 1982)

Gambar1. Segitiga Api (De Bano et al. 1998) API Bahan Bakar

Oksigen


(17)

Menurut Fuller (1991) dan dipertegas kembali oleh De Bano et al. (1998), api (kebakaran) bisa terjadi apabila terdapat tiga komponen, antara lain : bahan bakar, energi panas dan oksigen yang disebut segitiga api (fire triangle) (Gambar 1).

Sedangkan proses kebakaran menurut De Bano et al. (1998) yaitu, selama pembakaran terjadi lima fase, yaitu:

1. Pre-ignition

Pada fase ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami

pirolisis, yaitu terjadinya pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas yang mudah terbakar

termasuk methane, methanol dan hidrogen. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari

exotermik (memerlukan panas) menjadi endothermik (melepaskan panas).

Ketika bahan bakar terpanaskan melalui radiasi dan konveksi dengan suhu mencapai lebih dari 100 oC, terjadi transfer panas yang diperlukan untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar. Akan tetapi transfer panas pada bagian dalam bahan bakar terjadi melalui proses konduksi yang merupakan hal terpenting dalam proses combustion, terutama untuk bahan bakar yang besar, yaitu ketika fluks panas ke dalam bahan bakar berkayu meningkat, dekomposisi termal hemiselulosa, selulosa, dan kemudian lignin menghasilkan senyawa organik yang mudah terbakar (pyrolysate). Ketika pyrolysate keluar dari bahan bakar berkayu, akan menyala apabila suhu mencapai 300 oC - 600 oC, dengan kondisi udara disekitar bahan bakar kaya akan oksigen.

2. Flaming

Terjadinya pirolisis dapat mempercepat oksidasi gas-gas yang mudah terbakar dan terjadi timbal balik proses. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air mengakibatkan

pirolisis meningkat di sekitar bahan bakar termasuk O2 dan pembakaran terjadi selama

tahap ini. Api mulai menyala dan dapat menjalar dengan cepat akibat hembusan angin. Gas-gas yang terbentuk pada tahap flaming bersifat mudah terbakar dan menandai proses penyalaan bahan bakar.

Reaksi eksothermik dalam fase ini meningkat mulai dari suhu 300 oC ke suhu 500

oC hingga 1400 oC. Pirolisis meningkat dan oksidasi cepat dari gas-gas yang mudah

terbakar menjadi dominan. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap-uap yang dihasilkan dari pirolisis naik ke atas permukaan bahan bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar

selama fase flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming meningkatkan laju


(18)

menjadi mudah meledak dan dapat bergerak sesuai dengan gerakan angin seperti massa dari gas yang terbakar dalam fase ini. Beberapa volatil organik dengan berat molekul rendah meninggalkan fase oksidasi dan terangkut oleh angin. Senyawa dengan berat molekul lebih tinggi yang meninggalkan oksidasi sempurna akan mendingin, dan terkondensasi oleh angin menjadi arang dan jelaga yang menghasilkan asap.

3. Smoldering

Fase smoldering biasanya mengikuti fase flaming. Pada fase ini laju penjalaran api mulai menurun (<3 cm/jam pada bahan bakar bawah) karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang dapat terbakar dalam konsentrasi besar untuk pembakaran yang besar. Kemudian panas yang dilepaskan menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Pembakaran yang kurang nyala menjadi proses yang dominan pada fase ini. Perlu diperhatikan bahwa pada fase flaming combustion semua bahan bakar tidak semuanya terkonsumsi, hal ini bisa terjadi pada bahan bakar duff dan tanah organik.

Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu (1) zona

pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan (2) zona arang dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat.

4. Glowing

Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Fase dari proses

pembakaran ini mungkin adalah yang efisien sebab lajunya yang rendah, suplai oksigen yang lebih baik pada site yang terbakar dan volatil yang mudah terbakar dengan volume yang lebih rendah.

5. Extinction

Suatu kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi, atau ketika panas yang dihasilkan melalui oksidasi dalam fase smoldering

maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan uap air yang terdapat pada bahan bakar terutama bahan bakar yang basah. Udara sekelilling, bahan inorganik seperti batu dan tanah mineral dapat mengurangi jumlah panas dari combustion, yang mempercepat proses pematian api.


(19)

B. Klasifikasi Kebakaran Hutan

Brown dan Davis (1973) membagi kebakaran hutan menjadi tiga tipe yang didasarkan pada perbedaan cara menjalarnya api dan posisi api dari tanah sebagai berikut:

1. Kebakaran Bawah (Grown Fire)

Kebakaran bawah merupakan proses dimana api membakar bahan bakar organik di bawah permukaan serasah, pada umumnya berupa humus dan gambut. Penyebaran kebakaran berlangsung secara perlahan tanpa nyala dan asap. Api menjalar ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran bawah biasanya berbentuk lingkaran. Kebakaran ini sukar dideteksi dan dikendalikan.

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan merupakan proses kebakaran yang biasanya terjadi di lantai hutan dengan membakar serasah, tumbuhan bawah, limbah pembalakan dan bahan bakar lainnya. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam suatu tegakan hutan.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Yaitu kebakaran yang menjalar dari tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya atau semak-semak, umumnya terjadi pada hutan konifer dan api dapat berasal dari kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena intensitas dan laju penjalarannya sangat besar dan cepat.

C. Bentuk dan Sifat Bahan Bakar Hutan dan Lahan 1. Defenisi Bahan Bakar Hutan dan Lahan

Menurut Chandler et al. (1983), bahan bakar hutan adalah berbagai bahan organik (tumbuhan) yang masih hidup maupun yang telah mati yang akan terbakar bila ada sumber api.

2. Klasifikasi Bahan Bakar Hutan dan Lahan

Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al.(1983) menyatakan bahwa bahan bakar hutan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, berdasarkan penyebaran vertikal, yaitu:


(20)

a. Bahan Bakar Bawah

Bahan bakar ini tediri dari duff, akar-akaran dan gambut, letaknya berada di dalam bumi yang telah terakumulasi selama beberapa tahun dan berasal dari mineral yang jatuh. Memiliki sifat kekompakan yang tinggi dan sebagian terdekomposisi sehingga mengakibatkan api menjalar lambat dengan nyala yang sedikit.

b. Bahan Bakar Permukaan

Bahan bakar ini berupa bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, normalnya terdiri dari daun yang jatuh atau serasah, ranting, kulit kayu dan cabang kecil yang semuanya belum terurai. Selain itu rumput, tumbuhan bawah, anakan atau semai juga termasuk bahan bakar permukaan. Bahan bakar ini sebelumnya merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup didaerah tersebut sehingga kepadatan bahan-bahan tersebut lebih merupakan hasil proses biologi dibanding proses mekanik.

c. Bahan Bakar Tajuk

Bahan bakar ini merupakan bahan bakar material hidup atau mati yang ada di atas dan menutupi kanopi hutan dan menyebar dari tanah dengan tinggi lebih dari 4

feet. Umumnya bahan bakar tersebut merupakan bahan bakar hidup dan mempunyai kelembaban yang tinggi sehingga bahan bakar tersebut sulit untuk terbakar kecuali dibakar dalam waktu yang lama.

3. Sifat Bahan Bakar Hutan dan Lahan a. Ukuran Bahan Bakar Hutan

Chandler et al. (1983), menyatakan ukuran bahan bakar hutan dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu:

1). Bahan bakar halus seperti rumput, daun, ranting, lumut yang mudah basah tapi mudah mengering, ketika terbakar akan menjalar dengan cepat terutama pada saat kering.

2). Bahan bakar kasar berukuran besar seperti balok, tunggak yang lambat basah dan lambat kering dan terbakar lebih lambat dari bahan bakar halus.

b. Susunan Bahan Bakar

Brown and Davis (1973), menyatakan susunan bahan bakar adalah faktor yang utama dari perilaku api karena transfer panas dengan radiasi, konduksi dan konveksi


(21)

berhubungan dengan variabel jarak. Susunan terbagi menjadi dua, yaitu vertikal dan horisontal. Susunan bahan bakar secara vertikal dapat menyebabkan kebakaran tajuk. c. Muatan Bahan Bakar

Menurut Chandler et al. (1983), muatan bahan bakar adalah berat kering bahan bakar setelah di oven per unit area. Muatan bahan bakar sangat sulit untuk diklasifikasikan dan diukur dalam berbagai cara. Bahan bakar halus dan kering seperti serasah, daun yang jatuh dari tanaman kayu keras dan rumput yang mati dapat diklasifikasikan secara nyata dengan berat kering ton/acre.

Menurut Chandler et al. (1983), potensi bahan bakar adalah jumlah dari material yang dapat dikonsumsi dalam intensitas api yang tinggi yang dapat diharapkan untuk membentuk lokasi yang spesifik. Potensial muatan bahan bakar adalah nilai maksimum, sebenarnya semua kebakaran hutan akan mengkonsumsi sebagian dari muatan bahan bakar. Muatan bahan bakar yang tersedia adalah jumlah dari bahan bakar yang diharapkan dapat terbakar di bawah kondisi spesifik cuaca api. Muatan bahan bakar dinyatakan dalam hubungan dari berat per unit area, biasanya kg/m2 atau ton/ha.

D. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia baik disengaja atau pun tidak disengaja (Direktorat Perlindungan Hutan, 1983). Secara alami kebakaran hutan dipengaruhi oleh beberapa faktor alami yang saling berkaitan, antara lain kemarau panjang, letusan gunung berapi, petir, dan daya alam lainnya. Jenis tanaman yang biasanya mudah terbakar antara lain pinus, atau tanaman yang banyak mengandung resin, sedangkan tipe vegetasi yang mudah terbakar antara lain padang alang-alang, hutan belukar, hutan tanaman tertentu, dan bahan-bahan sisa vegetasi (serasah), humus, ranting dan lain-lain. Secara buatan (faktor manusia), kasus kebakaran hutan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi penduduk tampaknya menjadi pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan.

Penyebab terjadinya kebakaran hutan sangat beragam, tetapi menurut Suratmo (1985), lebih dari 90 % kebakaran hutan disebabkan oleh manusia. Kebakaran hutan pada hutan alam juga disebabkan oleh kelalaian manusia yang didorong oleh adanya musim kemarau yang panjang, sehingga potensi bahan bakar meningkat.


(22)

Penyebab dan lamanya kebakaran perlu dipelajari melalui data statistik pada seluruh sejarah kebakaran hutan yang pernah terjadi untuk menentukan strategi yang tepat dalam pengendalian kebakaran hutan. Klasifikasi kebakaran hutan menurut FAO (1953) adalah sebagai berikut :

1. Api dari kilat 2. Api dari korek api 3. Api dari penebang pohon 4. Api dari perkemahan

5. Sisa-sisa api dari perladangan

6. Pembakaran oleh orang yang tidak bertanggung-jawab

Sebab-sebab dari kebakaran hutan penting untuk diketahui agar dapat dimanfaatkan dalam merencanakan dan menentukan cara-cara pencegahan dan cara-cara pemadaman kebakaran hutan (Show dan Clarke, 1953).

E. Dampak Kebakaran Hutan

Akibat dari kebakaran hutan ada yang segera terlihat dan ada yang dampaknya terlihat setelah beberapa saat. Sedangkan besarnya derajat kerusakan terutama dipengaruhi oleh tipe kebakaran, lamanya kebakaran, keadaan tegakan hutan dan keadaan cuaca atau iklim (Brown dan Davis, 1973).

Sedangkan menurut Hamzah dan Wibowo (1985), dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah terutama disebabkan oleh terbukanya tajuk, humus dan serasah ikut terbakar, struktur tanah memburuk dan akhirnya rentan terhadap erosi. Pada sifat kimia tanah kebakaran hutan memberikan masukan mineral yang terdapat di dalam abu atau arang sehingga dapat menaikan pH tanah dan menambah nilai hara tanah, tetapi pengaruh ini tidak berlangsung lama karena dengan terbukanya tajuk pencucian menjadi lebih intensif.

Kebakaran dipengaruhi oleh frekuensi kebakaran, intensitas panas, lama kebakaran, vegetasi yang tumbuh dan jenis tanah (Davis, 1959). Selanjutnya akibat kebakaran terhadap tanah (Chandler et al. 1983), antara lain merusak sifat fisik dan kimia tanah, menurunkan pH tanah serta menurunkan produktifitas tanah.


(23)

Menurut Saharjo (2000), beberapa dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan adalah :

1. Dampak merugikan

Beberapa dampak kebakaran yang merugikan adalah akibat panas yang ditimbulkan mampu menghanguskan vegetasi alam, tanaman pertanian, satwa liar, bakteri dan jamur yang membantu proses dekomposisi, merangsang untuk timbulnya erosi. Akibat lain berupa asap tebal yang ditimbulkan, dapat mempengaruhi transportasi darat, laut maupun udara, serta mengakibatkan dampak kesehatan yang tidak kecil karena penduduk terpaksa menghirup partikel yang berbahaya sebagai hasil pembakaran, serta mengganggu aktifitas sehari-hari masyarakat.

2. Dampak menguntungkan

Abu hasil pembakaran sangat kaya akan mineral sehingga menjadi salah satu sasaran pokok dalam penyiapan lahan menggunakan api. Penyiapan lahan menggunakan api sangat menghemat waktu dan biaya. Dengan adanya kebakaran hutan maka diversivikasi jenis vegetasi lebih beragam dan mencegah sistem monokultur.

F. Tanah

1. Definisi Tanah

Menurut Hakim et al.(1986), tanah didefinisikan sebagai tubuh alam yang memiliki tiga fase, tersusun dari air, udara, dan bagian padat yang terdiri dari bahan-bahan mineral dan organik serta jasad hidup, yang karena berbagai faktor lingkungan terhadap permukaan bumi dan kurun waktu menyebabkan berbagai hasil perubahan yang memiliki ciri-ciri yang khas, yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Dalam kondisi alam, perbandingan udara dan air selalu berubah-ubah, tergantung kepada faktor iklim dan lainya.

Lapisan tanah bagian atas pada umumnya mengandung bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan tanah bagian bawahnya. Karena akumulasi bahan organik maka lapisan atas tanah tersebut berwarna gelap dan merupakan lapisan tanah yang subur sehingga merupakan bagian tanah yang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Lapisan tanah ini disebut lapisan tanah atas (top soil) atau disebut juga lapisan olah dan mempunyai kedalaman 20 cm. Lapisan tanah dibawahnya, yang disebut lapisan tanah bawah (sub soil) berwarna lebih terang dan bersifat kurang subur. Hal ini bukan


(24)

berarti bahwa lapisan tanah bawah tidak penting peranannya bagi produktifitas tanah, karena walaupun mungkin akar tanaman tidak dapat mencapai lapisan tanah bawah, permeabilitas dan sifat-sifat kimia tanah lapisan bawah akan berpengaruh terhadap lapisan tanah atas dalam peranannya sebagai media pertumbuhan tanaman (Sutejo et al.

1990). Tanah-tanah di Indonesia didominasi oleh podsolik merah kuning, tanah gambut (histosol, organosol), latosol alluvial dan lain-lain.

2. Sifat-Sifat Tanah Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman a. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah meliputi bulk density, porositas, ketersediaan air tanah, tekstur, struktur, konsistensi, warna tanah, dan lain sebagainya. Sifat fisik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu batuan induk, iklim, vegetasi, topografi, dan waktu (Hardjowigeno, 1989).

1) Kerapatan Limbak (Bulk Density)

Kerapatan Limbak (Bulk density) merupakan cara untuk menyatakan bobot tanah, dalam hal ini jumlah ruangan dalam tanah (ruang yang ditempati padatan, air dan gas) turut diperhitungkan (Soepardi, 1983). Bobot isi adalah bobot kering suatu volume yang terisi bahan padat dan volume ruangan (ruang pori tanah) yang dinyatakan dalam gr/cm3 (Haridjaja et al. 1983). Semakin tinggi bobot isinya, maka tanah tersebut akan semakin padat.

Bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Keragaman ini mencerminkan derajat kepadatan tanah. Tanah dengan ruang pori berkurang dan berat tanah setiap satuan bertambah menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah (Foth dan Turk, 1972).

Tanah yang mempunyai bobot isi besar akan sulit meneruskan air atau sukar ditembus oleh akar tanaman, sebaliknya tanah dengan bobot isi rendah, akar tanaman akan lebih mudah berkembang (Hardjowigeno, 1989).

2) Ruang Pori Tanah

Ruang pori tanah adalah bagian dari tanah yang ditempati oleh air dan udara, sedang ruang pori total terdiri atas ruang diantara partikel pasir, debu


(25)

dan liat serta ruang diantara agregat-agregat tanah (Soepardi, 1983). Pada tanah liat porositasnya sangat beragam karena perubahan pengembangan dan pengerutan, agregasi, dispersi, dan pemadatan. Dengan demikian porositas dipengaruhi oleh tekstur, struktur tanah dan bahan organik (Baver et al. 1972).

Selain itu ruang pori tanah juga dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah dan kedalaman tanah (Soepardi, 1983). Ruang pori pada tanah lapisan bawah menurun dengan diolahnya lapisan tanah atas, tetapi penurunannya tidak sebesar pada tanah lapisan atas. Tanah mempunyai ruang pori makro dan mikro, pori makro memperlancar gerakan udara dan air, sedangkan pori mikro menghambat gerakan udara dan air pada gerakan kapiler (Soepardi, 1983). 3) Permeabilitas Tanah

Permeabilitas merupakan kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media dalam keadaan jenuh. Permeabilitas ini sangat penting peranya dalam pengolahan tanah dan air (Haridjaja et al.1983). Selanjutnya Russel (1956) menyatakan bahwa permeabilitas tanah menyatakan kecepatan air melalui tanah dalam keadaan jenuh pada periode tertentu dan dinyatakan dalam satuan cm/jam. Permeabilitas merupakan sifat fisik tanah yang langsung dipengaruhi pengolahan tanah (Baver, 1961).

Beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain tekstur, porositas tanah serta distribusi ukuran pori, stabilitas agregat, struktur tanah dan kandungan bahan organik (Hillel, 1980).

4) Air Tersedia

Air tanah merupakan sebagian fase cair tanah yang mengisi sebagian atau seluruh ruang pori tanah. Air tanah berperan penting dari segi pedogenesis maupun dalam hubunganya dengan pertumbuhan tanaman. Hancuran iklim, pertukaran kation, dekomposisi bahan organik, pelarutan unsur hara dan kegiatan jasad-jasad mikro hanya akan berlangsung dengan baik apabila tersedia air dan udara yang cukup (Haridjaja et al. 1983).

Kadar air yang terdapat pada daun dan ranting kecil (hanya bagian dari tumbuhan yang hidup yang dapat berperan penting dalam perilaku kebakaran hutan) dibentuk dari proses fisiologi. Penurunan air secara internal dalam tanaman dapat dikontrol oleh kecepatan air masuk kedalam akar dan hilang


(26)

melalui proses transpirasi. Transpirasi dikontrol oleh lingkungan (sinar matahari, suhu, dan kelembaban udara) selain itu oleh struktur daun dan derajat pembukaan stomata. Penyerapan dikontrol oleh faktor tanah seperti aerasi, suhu tanah, tekanan kadar air tanah dan konsentrasi larutan yang berhubungan dengan ukuran dan sistem distribusi dari akar. Pada saat cuaca cerah, lokasi dengan aliran air yang baik, kadar air daun akan menurun pada sore hari dan akan kembali lagi dengan cepat setelah matahari terbit. Perubahan jumlah kadar air dihubungkan lebih dekat dengan perubahan suhu daripada fluktuasi kelembaban dan kadar air tanah.

Bahan bakar hutan yang mati bersifat higroskopik, dimana bahan bakar dapat mengisi (melepaskan ) kadar air dari sekitar atmosfer sampai nilai kadar air di dalam bahan bakar seimbang dengan kadar air di atmosfer. Titik keseimbangan kandungan kadar air dari bahan bakar disebut keseimbangan kadar air. Hal ini dikontrol oleh kelembaban relatif atmosfer dan suhu dan oleh beberapa bahan baku internal dari bahan bakar itu sendiri.

Air ditahan dalam pori tanah dengan daya ikat yang berbeda-beda tergantung dari jumlah air yang ada dalam pori tanah. Air bersama-sama dengan garam-garam yang larut dalam air akan membentuk larutan tanah yang merupakan sumber hara bagi tumbuhan (Soepardi, 1983).

Selain dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan kandungan bahan organik, jumlah air yang dapat digunakan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh kedalaman tanah dan sistem perakaran tanaman (Islami dan Utomo, 1995).

b. Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah adalah semua peristiwa yang bersifat kimia yang terjadi pada tanah, baik pada permukaan maupun di dalamnya. Rentetan peristiwa kimia inilah yang akan menentukan ciri dan sifat tanah yang akan terbentuk atau akan berkembang.

1) Keasaman Tanah (pH tanah)

Keasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat hubungan antara pH dan semua pembentukan tanah serta sifat-sifat tanah.


(27)

Sejumlah organisme memiliki toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi beberapa organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang lebar. Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi aktual H+ dan OH- tidak begitu penting, kecuali dalam lingkungan yang ekstrim. Hal ini merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai pH tertentu yang terpenting (Foth, 1988).

Reaksi asam-basa suatu tanah sangat dipengaruhi tingkat penguraian mineral dan bahan organik, pembentukan material liat, aktivitas jasad renik, ketersediaan hara bagi tanaman, dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Soil Science Network, 1991).

2) Bahan organik

Pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara N, P, S, dan unsur mikro menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme. Bahan organik, umumnya ditemukan di permukaan tanah, jumlahnya tidak besar hanya 3 % - 5 % saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar (Hardjowigeno, 1995).

Sumber dari bahan organik adalah jaringan tumbuhan, dalam keadaan alami bagian diatas tanah, akar pohon, semak-semak, rumput, dan tanaman tingkat rendah lainya yang tiap tahunnya menyediakan sejumlah besar sisa-sisa organik. Karena bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak organisme tanah, hasilnya akan menjadi horison dibawahnya.

3) Nitrogen (N)

Nitrogen berada dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, dan unsur N. Tanaman dapat

menyerap unsur ini dalam bentuk NO3-, namun bentuk lain yang juga dapat

diserap yaitu NH4+.

Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer dan lainya adalah berasal dari aktifitas kehidupan di dalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik, khususnya terdapat pada tanaman jenis


(28)

Leguminoseae dengan bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainya setelah mengalami dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah (BKS. PTN, 1991).

Dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi, sedangkan bahan organik mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut bersama dengan panen, sebagian kembali sebagai residu tanaman, hilang ke atmosfier dan kembali lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan. Ada yang hilang karena tererosi atau bertambah karena pengendapan (BKS. PTN, 1991).

Menurut White at al. dalam De Bano et al. (1998) pada saat terjadinya kebakaran nitrogen akan menguap ke udara apabila suhu kebakaran lebih dari 200OC, hilang secara total (100%) pada suhu di atas 500OC.

4) Fosfor (P)

Fosfor memainkan peranan yang sangat penting untuk semua aktifitas biokimia dalam sel hidup. Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari tanah oleh tanaman adalah kelarutan yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor dan konsentrasi fosfor yang dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada setiap waktu tertentu (Foth, 1988).

Sebagian P tanah bersumber dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung P yang terdapat pada kerak bumi. Salah satu sifat dari unsur ini adalah tingkat kestabilanya di dalam tanah yang tinggi, sehingga kehilangan akibat pencucian relatif tidak pernah terjadi. Hal ini pula yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah sehingga ketersediaan untuk tanah relatif sangat sedikit. Dengan demikin ketersediaan P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah (BKS. PTN, 1991).

Ketersediaan P dapat diartikan sebagai P tanah yang dapat diekstraksikan oleh air dan asam sitrat. Penambahan unsur ini diharapkan berasal dari pupuk fosfat, pelapukan mineral-mineral fosfat, dan residu hewan serta tanaman. Sedangkan kehilangan P dapat terjadi karena terangkut tanaman tercuci dan tererosi (BKS. PTN, 1991).


(29)

5) Kalium (K)

Kalium adalah unsur hara ketiga setelah nitrogen dan fosfor yang diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif nitrat, fosfat atau unsur lainya (BKS. PTN, 1991).

Kalium tanah berasal dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan kehilangan unsur K ini dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Di dalam tanah dikenal empat bentuk kalium, yaitu mineral, terfiksasi, dipertukarkan dan K-larutan. Tetapi untuk kepentingan pertumbuhan tanaman, kalium tanah dibedakan berdasarkan ketersediaanya bagi tanaman, dan digolongkan ke dalam kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia, dan kalium segera tersedia. Kalium dapat dipertukarkan dan kalium larut, langsung, dan mudah diserap tanaman disebut kalium tersedia (BKS. PTN, 1991).

Menurut Foth (1988), pada dasarnya kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion diadsorbsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman.

6) Magnesium (Mg)

Magnesium merupakan kation utama pada kompleks pertukaran. Unsur magnesium biasanya dihubungkan dengan masalah kemasaman tanah, karena merupakan kation yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman dan menaikan pH tanah. Magnesium diserap tanaman dalam bentuk Mg2+ yang berasal dari bentuk dapat ditukar dan atau bentuk larut air (BKS. PTN, 1991). Defisiensi magnesium berakibat pada suatu perubahan warna khusus pada daun (Foth, 1988).


(30)

G. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat-Sifat Tanah 1. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah adalah sifat yang bertanggung-jawab atas peredaran udara, bahan, air dan zat terlarut melalui tanah. Beberapa sifat fisik tanah dapat dan memang mengalami perubahan karena penggarapan tanah. Banyak sifat fisik tanah memburuk akibat pengolahan tanah, membuat tanah jadi kurang lulus air dan lebih mudah hilang karena limpasan dan pengikisan (Sanchez, 1992).

Disamping merusak terhadap tegakan, kebakaran juga dapat mengubah sifat fisik dan kimia tanah. Dengan terbukanya tajuk, mengakibatkan lantai hutan tidak memiliki pelindung yang akan memberi peluang terhadap aliran air permukaan jika hujan turun dan akan mengakibatkan erosi permukaan yang tidak terkendali. Lebih jauh dampak yang dialami ialah porositas dan kecepatan infiltrasi tanah menurun serta bulk density tanah meningkat disebabkan agregat tanah terdispersi oleh pukulan butir-butir air hujan dan tertutupnya pori-pori tanah oleh partikel abu pembakaran sehingga menurunkan basarnya ruang pori tanah, infiltrasi dan aerasi tanah ( Raltson dan Hatchel, 1971 dalam Pritchett, 1979).

2. Pengaruh Kebakaran Terhadap Sifat Kimia Tanah

Dampak kimia yang paling langsung dari kebakaran hutan menurut Davis (1959) adalah pembebasan unsur mineral yang tercuci dan masuk ke dalam tanah. Banyak penelitian menunjukan peningkatan zat hara sesudah kebakaran. Kalsium, kalium, asam fosfat dan zat-zat lainya yang mudah dijangkau tumbuh-tumbuhan, dalam waktu singkat sesudah terjadinya kebakaran menjadi lebih banyak dan dapat meningkatkan daya tumbuh vegetasi, asal zat-zat ini tidak tercuci atau terbawa erosi sebelum dimanfaatkan oleh tumbuhan. Pada tanah-tanah berpasir kehilangan hara-hara karena pencucian terjadi cepat sekali, dengan demikian penambahan zat hara yang terjangkau langsung sistem perakaran sesudah kebakaran hanya sedikit saja pengaruhnya terhadap daya tumbuh vegetasi.

Selanjutnya Erison (1985) menyimpulkan bahwa kebakaran hutan akan meningkatkan unsur karbon dalam tanah berupa karbonat, dan karbon dari CO2 akan

dilepaskan ke udara dalam bentuk gas. Kemudian unsur fosfat meningkat disebabkan adanya penambahan unsur fosfor dari penguraian bahan-bahan organik akibat kebakaran.


(31)

Daubenmire (1968), melaporkan bahwa jumlah nitrogen dan sulfur akan diuapkan selama terjadi kebakaran.

Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Setiap kelompok jenis tanaman membutuhkan pH tertentu untuk pertumbuhan dan produksinya yang maksimum.

Unsur hara terdiri dari unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur makro adalah unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak oleh tanaman, antara lain C, H, N, O, P, K, Ca, S, dan Mg. Sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit yaitu Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B, dan Cl. Dari 16 unsur hara esensial tersebut, unsur C, H dan O diambil oleh tumbuhan dari udara dan air dalam jumlah yang banyak, karena merupakan penyusun 94 % – 96% bahan organik tumbuhan (Hakim et al.1986).

Unsur hara mempunyai banyak fungsi dalam pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Kekurangan unsur hara esensial akan menyebabkan defisiensi pada tumbuhan. Nilai pH tanah sangat mempengaruhi ketersediaan N, P, K, Ca, dan Mg dan unsur mikro serta kelarutan unsur beracun seperti Al dan Mn. Selain itu juga mempengaruhi kehidupan jasad mikro dalam tanah (Hakim et al. 1986).

H. Padang Rumput (Grassland)

1. Definisi dan Karakteristik Padang Rumput

Menurut Euwiseu (1990), ekosistem padang rumput merupakan bagian dari ekosistem sabana, yang biasanya pada lahan tersebut hanya ditumbuhi beberapa jenis rumput dan untuk pohon berkayu sangat terbatas jumlahnya. Untuk pohon biasanya banyak terdapat di sepanjang aliran sungai.

Lebih lanjut berdasarkan strukturnya spesies pohon tumbuh terpencar dan terbuka. Lapisan rumput dapat mencapai tinggi 3 meter atau bahkan lebih. Curah hujan merupakan faktor terpenting yang menentukan batas-batas padang rumput atau sabana. Menurut Euwiseu (1990), curah hujan rata-rata per tahun antara 900 mm -1150 mm. Dan kondisi iklimnya cenderung kering dengan jumlah bulan hujan sangat sedikit.


(32)

Keadaan lingkungan lahan padang rumput dicirikan oleh tipografi bergelombang, mudah terbakar sehingga mudah tererosi, pencucian hara tinggi, kesuburan tanah rendah, laju evapotraspirasi tinggi dan kemungkinan adanya sifat allelopati terutama dari jenis alang-alang yang sering mendominasi daerah padang rumput di Indonesia (Sajise, 1980.

dalam Sudharto et al. 1992).

Padang rumput di Indonesia memiliki vegetasi campuran antara rumput dengan leguminase yang emmpunyai komposisi berbeda. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan padang rumput di Indonesia lebih didominasi oleh jenis alang-alang (Immperata sp.). dibeberapa daerah terutama di Indonesia Bagian Timur padang rumput sering dijadikan padang penggembalaan dan kadang-kadang dijadikan ladang perburuan (Sudharto et al., 1992).

2. Kebakaran Padang Rumput

Kebakaran padang rumput hampir setiap tahun terjadi pada musim kering. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh perilaku manusia. Kebakaran padang rumput berpengaruh pada kondisi tanah baik fisik atau kimia. Karena rumput yang terbakar biasanya cenderung menjadi abu daripada menjadi humus. Dalam proses pembakaran unsur hara yang dibebaskan menjadi berkurang, terutama belerang. Akibatnya, tanah yang sering mengalami kebakaran sebagaimana khas di daerah sabana atau padang rumput kandungan organiknya lemah dalam tanah (Euwiseu, 1990).

Di Indonesia Bagian Timur kegiatan pembakaran sering dilakukan hal ini dimaksudkan untuk memperoleh rumput yang muda dan baru bagi penggembalaan atau kegiatan adat seperti melakukan perburuan demi mempermudah pencarian hewan buruan. Menurut Tjitrosoedirdjo dan Wiroatmojo dalam Zaini (1992), dalam keadaan optimum alang-alang di padang rumput mampu menghasilkan 10 ton total biomassa dan 7 ton akar rimpang per Ha dengan niomassa di atas permukaan tanah cukup tinggi, yang berarti bahan bakar yang tersedia di padang rumput cukup tinggi.


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di empat lokasi padang rumput (savana), yakni : di Dusun Ngaru Kahiri, Desa Luku Wingir, Desa Kiritana, Kecamatan Waingapu, kabupaten Sumba Timur, dan Desa Dereisa serta Desa Dorameli Kabupaten Ngada, Flores Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2004.

B. Alat dan Bahan 1. Alat

Jenis alat yang dipakai dalam pene;litian antara lain: Pita meter, Kompas, GPS, Tali, Ring sampel, Anemometer, Digital termometer, Clinometer, Timbangan, Kamera, Yalon berskala, Stopwatch,Golok tebas / sabit, pita ukur, Pemantik api, dan alat tulis. 2. Bahan

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi peta lokasi terbaru, citra satelit, Tally sheet, dan kertas label.

C. Metode Penelitian 1. Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari kegiatan dilapangan seperti inventarisasi dan proses pembakaran, jenis data yang diambil meliputi kerapatan jenis, karakteristik bahan bakar, perilaku api, intensitas kebakaran, biomassa, potensi bahan bakar, analisis sifat fisik dan kimia tanah.

b. Data sekunder yang dipakai adalah :

• Peta lokasi penelitian meliputi peta penutupan lahan berdasarkan hasil penginderaan jauh dengan menggunakan data citra satelit.

• Keadaan umum lokasi penelitian meliputi letak dan keadaan fisik lingkungan, ekonomi sosial dan budaya.


(34)

2. Metode Pengambilan dan Analisis Data a. Kegiatan Sebelum Pembakaran

1) Pengukuran Kadar Air Bahan Bakar

Pengukuran biomassa dan penghitungan kadar air dilakukan pada subplot 2 x 1 m dalam petak optimum, dengan cara mengambil sampel dari subplot sebanyak 300 gram di atas permukaan (daun dan batang) dan 200 g di bawah permukaan (akar). Dari sampel yang diambil akan dioven selama 48 jam dengan suhu 70 0C di laboratorium.

Menurut Haygreen dan Bowyer (1986), rumus penghitungan biomassa dan kadar air adalah sebagai berikut :

BK BB - BK

B = % KA = X 100 % 1 + % KA/ 100 BK

Keterangan :

B : Biomassa ( Kg ) BB : Berat Basah ( Kg ) BK : Berat Kering ( Kg ) % KA : Kadar Air

2) Penebasan ( Slashing )

Semua vegetasi yang ada di setiap subplot pengamatan ditebas dari mulai pangkal tanaman untuk pengukuran data selanjutnya, dan sebagai tahap pengeringan bahan bakar sebelum dilakukan pembakaran.

3) Pengukuran potensi bahan bakar

Pengukuran potensi bahan bakar menggunakan subplot 1 x 1 m dari plot 20 x 20 m, kemudian ditimbang berdasarkan organnya (daun, ranting, dan akar). Hasil yang diperoleh kemudian dikonversikan dalam satuan ton/ha. 4) Pengukuran ketebalan bahan bakar

Ketebalan bahan bakar permukaan dihitung dengan cara mengukur tinggi bahan bakar yang telah di slashing secara acak kemudian ditentukan rata– ratanya untuk setiap subplot.


(35)

5) Pengambilan sampel tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kebakaran terhadap sifat fisik dan kimia tanah dengan metode seperti dijelaskan di bawah ini :

a) Prosedur pengambilan contoh tanah di lapangan

Metode yang dilakukan adalah pengambilan contoh tanah dari lahan yang belum terbakar dan pengambilan sampel tanah setelah pembakaran pada tempat atau sub plot yang sama. Hal ini sangat diperlukan agar data yang didapat lebih akurat karena kesamaan lokasi pengambilan contoh tanah. Sub plot dibuat dengan ukuran 1 x 1m.

20 m

Gambar 2. Bentuk Plot Contoh dan Subplot yang Digunakan untuk Pengambilan Data Vegetasidan Analisis Tanah

Gambar 3. Bentuk Subplot yang Digunakan untuk Pengambilan Sampel Tanah

b) Sifat Fisik Tanah

Pengambilan contoh tanah dengan mewnggunakan

ring

sample

pada masing-masing subplot dengan kedalaman 5 cm

dengan ulangan sebanyak sembilan (9) kali. Adapun parameter

atau data yang diambil untuk menentukan sifat fisik tanah adalah

Sub plot 1x1 m 20 m

1 m Ring sampel


(36)

bulk density

(kerapatan limbak), ruang pori, kadar air, air tersedia,

pori drainase, dan permeabilitas tanah

c) Sifat Kimia Tanah

Untuk analisa sifat kimia tanah, prosedur pengambilan contoh tanahnya diambil dari subplot-subplot perlakuan sebanyak dua belas (12) kali ulangan, beberapa contoh tanah kemudian dikompositkan. Parameter yang dapat diukur untuk menentukan sifat kimia tanah atau data yang dapat diambil adalah pH tanah, kandungan C-organik, jumlah kandungan N total, kandungan P, dan kandungan Mg, dan K.

d) Metode Analisis Tanah

Contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah utuh untuk sifat fisik dan contoh tanah yang dikompositkan untuk sifat kimia. Masing-masing contoh tanah dianalisis di Laboratorium Fisik dan Kimia Balai Penelitian Tanah (BPT) Bogor, dengan metode seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode analisis tanah

No Sifat Metode Analisis Satuan

1.

Fisik :

- Bulk Density - Ruang Pori total - Kadar Air - Permeabilitas

Gravimetri gr/cc Volumetri % Gravimetri %

lambe cm/jam

2.

Kimia : - pH Tanah - C – Organik - N – Total - Fosfor - K, - Mg

H2O&KCl

Walkley & Black g/100g Walkley & Black g/100g

Olsen mg/kg (N)NH4OAcpH 7.0 mg/kg

(N)NH4OAcpH 7.0 me/100gr

b. Kegiatan Pembakaran

1) Pengukuran Kecepatan Angin

Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui laju kecepatan angin pada saat proses pembakaran, dengan menggunakan Anemometer.


(37)

2) Pengukuran Laju Penjalaran Api

Laju penjalaran api dihitung dengan cara mengukur jarak rata–rata oleh muka api per menit. Alat yang digunakan stopwach dan pita ukur.

3) Pengukuran Tinggi Api

Tinggi api diukur dengan mengukur jarak rata–rata antara tinggi puncak nyala api dari permukaan bahan bakar. Alat yang digunakan adalah yalon dengan panjang 2 meter. Pengukuran tinggi api dilakukan untuk mengetahui intensitas kebakaran pada plot pengamatan.

Intensitas kebakaran diukur dengan menggunakan persamaan Byram (Chandler et al. 1983) :

FI = 273 (L)2,17

Keterangan :

FI : Intensitas kebakaran (kW/m). L : Tinggi api (m).

4) Pengukuran Suhu Nyala Api

Pengukuran suhu nyala api diukur pada permukaan (0 cm) dan bawah permukaan tanah (5 cm). Hai ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh suhu kebakaran terhadap kodisi fisik dan kimia tanah, dengan menggunakan alat termometer digital.

c. Kegiatan setelah pembakaran 1) Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan sesaat setelah kebakaran, dengan menggunakan metode yang sama seperti sebelum terjadi pembakaran. Selanjutnya, sampel dianalisis di laboratorium tanah untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia tanah setelah proses kebakaran.

2) Pengukuran Persentase Bahan Bakar Terkonsumsi

Pengukuran persentase bahan bakar terkonsumsi atau terbakar dilakukan sesaat setelah pembakaran berhenti, dengan menggunakan rumus:


(38)

D. Analisis Data

Analisis data sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor. Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program

microsof Excel dan Minitab Vers. 11.

E. Hipotesis Penelitian

Kebakaran yang terjadi di padang rumput akan menimbulkan perubahan pada parameter sifat fisik seperti Bulk Density, ruang pori, permebilitas, dan air tanah. Dan parameter sifat kimia tanah meliputi pH, N, P, K, Mg, dan C.


(39)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Lokasi penelitian terletak di desa Kiritana dan desa Ngaru Kahiri kecamaatan Waingapu, kabupaten Sumba Timur, serta di Desa Dorameli dan Dhereisa Kabupaten Ende Flores Propinsi Nusa Tenggara Timur.

B. Geologi

Bahan pembentuk tanah berupa volkan banyak terdapat di daerah Flores dan memanjang kearah timur yang merupakan deretan dari gunung berapi. Sedangkan bahan pembentuk non volkan merupakan bahan utama pembentuk tanah di daerah Sumba yang terdiri dari batuan sedimen dan metamorfik.

C. Tanah dan Topografi

Menurut peta tanah ekplorasi indonesia skala 1 : 1.000.000. jenis tanah di lokasi penelitian Sumba Timur didominasi oleh jenis dari ordo Entisol, sedangkan untuk kawasan Ende Flores jenis tanah didominasi oleh ordo Inceptisol dan Kambisol.

Topografi di kedua lokasi penelitian termasuk bergelombang dengan kemiringan berkisar dari 15 % - 45 %, sedangkan ketinggian tempat berkisar antara 100 mdpl sampai 500 mdpl.

D. Iklim

Menurut Oldeman et al. (1980), untuk daerah Nusa Tenggara Timur tergolong kering kecuali sebagian dataran tinggi yang terletak dikepulauan Flores, sedangkan menurut Nata Suharta et al. (1994) hal ini disebabkan oleh pengaruh yang sangat nyata dari angin munson yang berhembus dari daratan Australia yang dicirikan dengan iklim kering. Semakin jauh dari daratan Australia maka curah hujan meningkat.

E. Vegetasi

Jenis vegetasi di lokasi penelitian baik daerah Sumba maupun Flores didominasi oleh jenis tumbuhan bawah yaitu rumput seperti alang-alang (Imperata sp.) dan semak seperti kirinyu (Clomonea odonata), dan beberapa jenis pohon endemik diantaranya kesambi dan cendana (Santalum album).


(40)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kondisi Cuaca dan Perilaku Api

Kondisi cuaca dan perilaku api pada areal penelitian baik Sumba atau Flores secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Kondisi Cuaca dan Perilaku Api pada Lokasi Penelitian

Parameter Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4

Kondisi Cuaca :

Suhu udara (ºC) 31,63 30,13 34,67 34,33

Kecepatan Angin (cm/dt) 0,16 0,61 3,06 1,20

Perilaku Api :

Potensi Bahan Bakar (t/ha) 4,69 9,19 4,44 6,42

Ketebalan Bahan Bakar (m) 12,56 11,89 12,89 17,11

Kadar Air 28,25 38,96 30,37 42,34

Tinggi Api (m) 0,45 0,57 1,02 0,63

Penjalaran Api (cm/dt) 3,65 1,02 0,80 1,10

Intensitas Api (kW/m) 48,77 80,29 316,47 109,04

Suhu Pembakaran (ºC) :

5 cm di bawah permukaan 31,63 29,33 29,00 26,33

di permukaan tanah 552,33 760,67 709,00 699,67

Kelerengan (%) 15 5 10 35

keterangan : Plot 1 Ngaru Kahiri Plot 2 Kiritana Plot 3 Dhereisa plot 4 dorameli

Hasil pengukuran terhadap prilaku api seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukkan rata–rata potensi bahan bakar pada plot 1 sebesar 4,69 ton/Ha; plot 2 sebesar 9,19 ton/Ha; plot 3 sebesar 4,44 ton/Ha; dan plot 4 sebesar 6,42 ton/Ha. Hasil pengukuran rata-rata suhu pembakaran 5 cm di bawah tanah menunjukkan pada plot 1 sebesar 31,63 ºC, plot 2 sebesar 29,33ºC, plot 3 sebesar 29 ºC, dan plot 4 sebesar 26,33 ºC. Keempat plot memiliki kelerengan yang berbeda, plot 1 dengan kelerengan 15 %, plot 2 berkelerengan 5 %, plot 3 dengan kelerengan 10 %, dan plot 4 memiliki kelerengan sebesar 35%.


(41)

2. Curah Hujan Bulanan Lokasi Penelitian

Hasil pengukuran curah hujan bulanan di Bandara Waingapu, Sumba Timur mulai dari Januari 2001 sampai dengan Desember 2003 sebagaimana Gambar 4 berikut.

G r a f i k 2 . 4 .

D a t a C u r a h H u j a n T a h u n 2 0 0 1 - 2 0 0 3

0 5 0 1 0 0 1 5 0 2 0 0 2 5 0 3 0 0

Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des

B U L A N

MM 2 0 0 1

2 0 0 2 2 0 0 3

Gambar 4. Grafik Curah Hujan Bulanan Daerah Sumba Timur dari Tahun 2001 Sampai 2003

Grafik diatas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian jarang terjadi hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei sampai dengan November, dan untuk curah hujan tertinggi kecenderungan terjadi pada bulan Desember sampai Maret.

3. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Fisik Tanah

Berdasarkan hasil analisa tanah yang dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor, keadaan sifat fisik tanah sebelum dan sesaat setelah pembakaran dari tiga plot penelitian (Plot 1 Ngaru Kahiri, Plot 2 Kiritana, dan Plot 3 Dereisa), diperoleh data sebagai berikut :

a. Bulk Density

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pembakaran nilai

Bulk density pada plot 1, 2,dan 3 secara berurutan 0,55 g/cc; 0,56 g/cc; dan 1,11 g/cc. Sesaat setelah terjadi pembakaran pada plot 1 terjadi peningkatan nilai Bulk density

sebesar 0,28 g/cc, demikian pula pada plot 2 dan 3 masing masing mengalami kenaikan sebesar 0,45 g/cc dan 0,01 g/cc, sedangkan nilai rata-rata dari semua plot


(42)

pengamatan untuk bulk density mengalami kenaikan sebesar 0,25 g/cc yaitu dari 0,74 g/cc menjadi 0,99 g/cc. Perubahan nilai bulk density pada ketiga plot dapat dilihat pada Gambar 5.

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 B u lk D e n s ity (g /c c )

BD (g/cc) 0,55 0,83 0,56 1,01 1,11 1,12 0,74 0,99

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Rata-rata

Gambar 5. Nilai Bulk Density Sebelum dan Sesaat setelah Pembakaran

b. Porositas/Ruang Pori Total

Dari hasil analisis nilai porositas tanah sebelum pembakaran pada plot 1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 79,17 %; 78,87 %; dan 58,23 %. Sesaat setelah pembakaran terjadi penurunan nilai porositas, pada plot 1 turun sebesar 10,64 % menjadi 68,53 %, pada plot 2 terjadi penurunan sebesar 17 % menjadi 61,87 %, dan untuk plot 3 mengalami penurunan sebesar 0,36 % menjadi 57,87 %. Sedangkan rata-rata keseluruhan nilai porositas mengalami penurunan sebesar 9,33 % dari 72,09 % menjadi 62,76 %. Perubahan nilai porositas (Gambar 6).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 R ua ng P or i Tot a l (% v ol )

Ruang Pori Total (% vol.) 79,1 68,5 78,8 61,8 58,2 57,8 72,0 62,7

Sebel Sesud Sebel Sesud Sebel Sesud Sebel Sesud

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Rata-rata


(43)

c. Air Tersedia

Air tersedia pada plot 1, 2, dan 3 sebelum dilakukan pembakaran masing-masing sebesar 6,73 %; 9,20 %; dan 8,9 %. Sesaat setelah pembakaran nilai air tersedia pada plot 1, 2, dan 3 masing-masing mengalami penurunan. Pada plot 1 turun sebesar 0,06 % menjadi 6,67 %; pada plot 2 turun sebesar 1,83 % menjadi 7,37 %; dan pada plot 3 turun sebesar 0,27 % menjadi 8,63 %. Sedangkan rata-rata dari seluruh plot pengamatan mengalami penurunan sebesar 0,72 % dari 8,28 % menjadi 7,56 %. Perubahan nilai air tersedia selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

A

ir

T

e

rs

e

d

ia

(

%

v

o

l)

Air Tersedia (% vol.) 6,73 6,67 9,20 7,37 8,90 8,63 8,28 7,56 SebeluSesud SebeluSesud SebeluSesud SebeluSesud

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Rata-rata

Gambar 7. Nilai Air Tersedia Sebelum dan Sesaat setelah Pembakaran

d. Permeabilitas (cm/jam)

Dari hasil analisa sifat fisik tanah diketahui nilai permeabilitas sebelum pembakaran pada plo1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 31,17 cm/jam; 34,17 cm/jam; dan 4,95 cm/jam. Sesaat setelah dilakukan pembakaran terjadi penurunan. plot 1 mengalami penurunan sebesar 7,2 cm/jam menjadi 23,97 cm/jam; plot 2 mengalami penurunan sebesar 6,79 cm/jam menjadi 27,38 cm/jam; dan plot 3 mengalami penurunan sebesar 3,58 cm/jam menjadi 1,37 cm/jam, dengan rata-rata secara keseluruhan untuk nilai permeabilitas mengalami penurunan sebesar 5,86 cm/jam dari 23,43 cm/jam menjadi 17,57 cm/jam. Perubahan nilai permeabilitas selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.


(44)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

P

e

rm

e

a

b

il

ita

s

(c

m

/ja

m

)

Permeabilitas (cm/jam) 31,1 23,9 34,1 27,3 4,95 1,37 23,4 17,5 Sebel Sesud Sebel Sesud Sebel Sesud Sebel Sesud

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Rata-rata

Gambar 8. Nilai Permeabilitas Sebelum, Sesaat Setelah Pembakaran

4. Pengaruh Pembakaran Terhadap Sifat Kimia Tanah

Berdasarkan hasil analisa tanah yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor, keadaan sifat kimia tanah sebelum dan sesaat setelah pembakaran yang diamati pada 4 plot pengamatan (plot 1 Ngaru Kahiri, plot 2 Kiritana, plot 3 Dereisa, dan plot 4 Dorameli) diperoleh data sebagai berikut:

a. Reaksi Keasaman Tanah (pH)

Dari hasil analisa sifat kimia tanah diketahui tingkat keasaman tanah (pH) pada masing-masing plot sebelum terbakar sebesar 6,20 di plot 1; plot 2 sebesar 5,88; plot 3 sebesar 5,36; dan pada plot 4 sebesar 5,31. Setelah mengalami pembakaran tingkat keasaman tanah mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,08 untuk plot 1; 0,41 untuk plot 2; 0,16 untuk plot 3; dan 0,04 untuk plot 4. Sedangkan secara keseluruhan plot mengalami kenaikan sebesar 0,16 dari 5,69 menjadi 5,86. Perubahan nilai pH dapat dilihat pada Gambar 9.

b. Kandungan Karbon (C)

Berdasarkan hasil analisa sifat kimia tanah kandungan karbon pada masing-masing plot sebelum pembakaran adalah sebagai berikut : Plot 1 3,21 g/100g; plot 2 5,75 g/100g; plot 3 sebesar 0,82 g/100g; dan plot 4 sebesar 1,78 g/100g. Sesaat setelah mengalami pembakaran kandungan nilai karbon mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,57 g/100g untuk plot 1; 0,68 g/100g untuk plot 2; 0,31 g/100g


(45)

untuk plot 3; dan 0,61 g/100g untuk plot 4. Sedangkan rata-rata dari keempat plot pengamatan nilai kandungan karbon mengalami kenaikan sebesar 0,54 g/100g dari 2,89 g/100g menjadi 3,43 g/100g. Perubahan nilai kandungan karbon pada keempat plot dapat dilihat pada gambar 10.

4,80 5,00 5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40

D

er

a

jat

K

easam

an

(

p

H

)

PH (KCl) 6,20 6,28 5,88 6,29 5,36 5,52 5,31 5,35 5,69 5,86

Sebelu Sesuda Sebelu Sesuda Sebelu Sesuda Sebelu Sesuda sebelumsesuda

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata

Gambar 9. Nilai Tingkat Keasaman Tanah Sebelum dan Sesaat Setelah Pembakaran

-1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00

k

a

rbon (g/10

0

g)

C g/100g 3,21 3,78 5,75 6,43 0,82 1,13 1,78 2,39 2,89 3,43 SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda sebelumsesudah

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata


(46)

-0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

Ni

rogen (g

/10

0

g)

N g/100g 0,37 0,33 0,57 0,50 0,09 0,07 0,22 0,17 0,31 0,27 SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda sebelumsesudah

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata

Gambar 11. Nilai Kandungan Nitrogen Total Sebelum dan Sesaat Sesudah Terbakar

c. Kandungan Nitrogen (N)

Dari hasil penelitian didapatkan nilai nitrogen sebelum pembakaran masing-masing secara berurutan dari keempat plot adalah sebagai berikut: 0,37 g/100g untuk plot 1; 0,57 g/100g untuk plot 2; 0,09 g/100g untuk plot 3; dan 0,22 g/100g untuk plot 4. Sesaat setelah mengalami pembakaran nitrogen mengalami penurunan sebesar 0,04 g/100g pada plot 1; 0,07 g/100g pada plot 2; 0,02 g/100g pada plot 3; dan 0,05 g/100g pada plot 4, dengan rata-rata penurunan sebesar 0,6 g/100g dari 0,31 g/100g menjadi 0,27 g/100g. Perubahan kandungan nitrogen dapat dilihat pada Gambar 11. d. Kandungan Fosfor (P)

Dari hasil pengujian laboratorium didapatkan kandungan fosfor sebelum terbakar pada keempat plot masing-masing 38,33 mg/kg pada plot 1; 44,00 mg/kg pada plot 2; 7,33 mg/kg pada plot 3; dan 10,67 mg/kg pada plot 4. sesaat setelah mengalami pembakaran kan dungan fosfor di plot 1 mengalami penurunan sebesar 0,33 mg/kg. Sedangkan pada plot 2 mengalami kenaikan sebesar 51,67 mg/kg, begitu pula dengan plot 3 dan plot 4 mengalami kenaikan masing-masing sebesar 5,34 mg/kg dan 18 mg/kg. jika dilihat dari rata-rata setelah terjadi perlakuan dengan dibakar mengalami kenaikan sebesar 18,67 mg/kg dari 25,08 mg/kg menjadi 43,75 mg/kg. Perubahan nilai kandungan fosfor dapat dilihat pada Gambar 12.


(47)

-20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 P o sf o r ( m g/ kg)

P2O5 (Olsen) mg/kg 38,33 38,00 44,00 95,67 7,33 12,67 10,67 28,67 25,08 43,75 SebeluSesuda SebeluSesuda SebeluSesuda SebeluSesuda sebelu sesuda

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata

Gambar 12. Nilai Kandungan Fosfor Sebelum dan Sesaat Setelah Terbakar

e. Kandungan Kalium (K)

Dari hasil analisa kimia tanah sebelum dilakukan pembakaran pada plot 1 didapatkan nilai 509,7 mg/kg; pada plot 2 sebesar 710,7 mg/kg; pada plot 3 sebesar 111,3 mg/kg; dan pada plot 4 sebesar 275,0 mg/kg. Sesaat setelah pembakaran pada plot 1, 2 , dan 4 mengalami kenaikan masing-masing secara berurutan sebesar 108,3 mg/kg; 629,3 mg/kg; dan 184,7 mg/kg. Sedangkan untuk plot 3 mengalami penurunan sebesar 0,3 mg/kg. Jika dilihat dari rata-rata pada keempat plot pengamatan nilai kalium mengalami kenaikan sebesar 232,7 mg/kg, dari 401,7 mg/kg menjadi 634,4 mg/kg. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

-200,0 400,0 600,0 800,0 1.000,0 1.200,0 1.400,0 1.600,0 Ka li u m ( m g /k g )

K (MV) mg/kg 509,7 618,0 710,7 1.349, 111,3 111,0 275,0 459,7 401,7 634,4 SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda SebelumSesuda sebelumsesuda Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata


(48)

f. Kandungan Magnesium (Mg)

Berdasarkn analisis sifat kimia tanah menunjukkan bahwa nilai kandungan magnesium (Mg) pada plot yang belum terbakar menunjukkan nilai sebesar 1,65 me/100gr pada plot 1; 3,27 me/100gr pada plot 2; 5,62 me/100g pada plot 3; dan 4,7 me/100gr pada plot 4. Sesaat setelah pembakaran nilai kandungan magnesium (Mg) pada masing-masing plot mengalami kenaikan sebesar 0,49 me/100g pada plot 1; 1,14 me/100g pada plot 2; 0,01 me/100g pada plot 3; dan 0,33 me/100g pada plot 4. jika dilihat secara keseluruhan didapatkan rata-rata kenaikan (Mg) sebesar 1,5 me/100g dari 3,81 me/100g menjadi 4,31 me/100g, seperti yang tampak pada Gambar 14.

-1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00

M

a

g

n

e

siu

m

(

m

e/1

0

0g

)

Mg (Ekstrak NH4-Asetat 1M pH 7) me/100g

1,65 2,17 3,27 4,41 5,62 5,63 4,70 5,03 3,81 4,31 SebelSesud SebelSesud SebelSesud SebelSesud sebel sesud

Ngaru Kahiri Kiritana Dereisa Dorameli Rata-rata

Gambar 14. Nilai Kandungan Magnesium Sebelum dan Sesaat Setelah Terbakar


(1)

L - 5

Lampiran 5. Hasil Analisis Data Fisika Tanah dengan menggunakan perangkat lunak

Minitab Vers. 1.1

One-way ANOVA: KA versus pembakaran

Analysis of Variance for KA

Source DF SS MS F P pembakar 1 5.45 5.45 2.49 0.134 Error 16 35.00 2.19

Total 17 40.45

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev -+---+---+---+--- 1 9 9.145 1.553 (---*---) 2 9 8.044 1.401 (---*---)

-+---+---+---+--- Pooled StDev = 1.479 7.0 8.0 9.0 10.0

One-way ANOVA: BD versus pembakaran

Analysis of Variance for BD

Source DF SS MS F P pembakar 1 0.2788 0.2788 5.53 0.032 Error 16 0.8068 0.0504

Total 17 1.0855

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ----+---+---+---+-- 1 9 0.7378 0.2818 (---*---)

2 9 0.9867 0.1464 (---*---) ----+---+---+---+-- Pooled StDev = 0.2245 0.64 0.80 0.96 1.12

One-way ANOVA: Ruang Pori versus pembakaran

Analysis of Variance for Ruang Po

Source DF SS MS F P pembakar 1 392.0 392.0 5.50 0.032 Error 16 1140.3 71.3

Total 17 1532.3

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+ 1 9 72.089 10.586 (---*---) 2 9 62.756 5.521 (---*---)

---+---+---+---+ Pooled StDev = 8.442 60.0 66.0 72.0 78.0


(2)

One-way ANOVA: Air Tersedia versus pembakaran

Analysis of Variance for Air Ters

Source DF SS MS F P pembakar 1 2.35 2.35 0.84 0.372 Error 16 44.58 2.79

Total 17 46.93

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+--- 1 9 8.278 1.720 (---*---) 2 9 7.556 1.617 (---*---)

---+---+---+--- Pooled StDev = 1.669 7.0 8.0 9.0

One-way ANOVA: Permebilitas versus pembakaran

Analysis of Variance for Permebil

Source DF SS MS F P pembakar 1 154 154 0.51 0.485 Error 16 4827 302

Total 17 4982

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+- 1 9 23.43 18.33 (---*---) 2 9 17.57 16.36 (---*---)

---+---+---+---+- Pooled StDev = 17.37 10 20 30 40


(3)

L - 7

Lampiran 6. Hasil Analisis Data Kimia Tanah dengan menggunakan perangkat lunak

Minitab Vers. 1.1

One-way ANOVA: ph versus pembakaran

Analysis of Variance for ph

Source DF SS MS F P pembakar 1 0.175 0.175 0.57 0.456 Error 22 6.704 0.305

Total 23 6.879

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+ 1 12 5.6900 0.4953 (---*---)

2 12 5.8608 0.6035 (---*---) ---+---+---+---+ Pooled StDev = 0.5520 5.50 5.75 6.00 6.25

One-way ANOVA: C versus pembakaran

Analysis of Variance for C

Source DF SS MS F P pembakar 1 1.78 1.78 0.33 0.570 Error 22 117.35 5.33

Total 23 119.12

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+- 1 12 2.889 2.105 (---*---)

2 12 3.433 2.498 (---*---) ---+---+---+---+- Pooled StDev = 2.310 2.0 3.0 4.0 5.0

One-way ANOVA: N versus pembakaran

Analysis of Variance for N

Source DF SS MS F P pembakar 1 0.0117 0.0117 0.24 0.632 Error 22 1.0920 0.0496

Total 23 1.1037

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+--- 1 12 0.3125 0.2181 (---*---) 2 12 0.2683 0.2274 (---*---)

---+---+---+--- Pooled StDev = 0.2228 0.20 0.30 0.40


(4)

One-way ANOVA: K versus pembakaran

Analysis of Variance for K

Source DF SS MS F P pembakar 1 325035 325035 1.40 0.250 Error 22 5125258 232966

Total 23 5450293

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+ 1 12 401.7 249.4 (---*---)

2 12 634.4 635.4 (---*---) ---+---+---+---+ Pooled StDev = 482.7 250 500 750 1000

One-way ANOVA: P versus pembakaran

Analysis of Variance for P

Source DF SS MS F P pembakar 1 2091 2091 1.82 0.192 Error 22 25337 1152

Total 23 27428

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+--- 1 12 25.08 19.38 (---*---)

2 12 43.75 43.91 (---*---) ---+---+---+--- Pooled StDev = 33.94 20 40 60

One-way ANOVA: Mg versus pembakaran

Analysis of Variance for Mg

Source DF SS MS F P pembakar 1 0.67 0.67 0.23 0.639 Error 22 65.49 2.98

Total 23 66.16

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+--- 1 12 3.892 1.787 (---*---) 2 12 4.227 1.662 (---*---) ---+---+---+--- Pooled StDev = 1.725 3.50 4.20 4.90


(5)

L - 9

Lampiran 7. Gambar Lokasi dan Kegiatan Penelitian

(A) Landscape padang rumput daerah Ende Flores, (B) Lokasi Plot Pengamatan, (C) pengambilan sampel tanah dengan menggunakan Ring Sample,(D,E,F) Pengukuran prilaku api, (G) Pengambilan sampel tanah dan abu sisa pembakaran untuk analisis sifat kimia, (H) Pengukuran berat basah bahan bakar.


(6)

(I) Landscape formasi hutan dan pemukiman, (J,K,O) Llandscape padang rumput daerah Sumba, (L) Contoh kasus pembukaan lahan untuk pembakaran dengan cara pembakaran, (M) Kawasan pemukiman penduduk, (N) Areal persawahan dan ladang untuk pertanian menetap di daerah Waingapu Sumba Timur, (P) Padang rumput sebagai lahan penggembalaan hewan ternak terutama sapi dan kuda (tanda lingkaran).