ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

ASASNON SELF INCRIMINATION

Oleh

DANAR OKTARIA PRASETIYAWATI

Korupsi merupakan bentuk tindak pidana yang sulit untuk diberantas. Pelaksanaan pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination (hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan). Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap identifikasi data klasifikasi data, dan penyusunan data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (Pasal 37 dan 37A) tindak pidana


(2)

Danar Oktaria Prasetiyawati

umum dan pembuktian terbalik penuh/murni (Pasal 12B ayat (1) a) tindak pidana suap/gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00. Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination dalam pelaksanaannya akan dikesampingkan, karena dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, maka terhadap kesalahan pelaku tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif, agar tidak terjadi benturan dengan HAM ataupun dengan asas hak untuk diam.

Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas.


(3)

ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK

PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN

ASAS

NON SELF INCRIMINATION

Oleh

DANAR OKTARIA PRASETIYAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 18

Oktober 1991, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara

pasangan Bapak Priyo Supono dan Ibu Sarmi BA.

Pendidikan formal yang ditempuh yaitu di TK Handayani,

diselesaikan pada tahun 1997, Sekolah Dasar di SD Negeri 1

Yukum Jaya diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

di SMP Negeri 1 Terbanggi Besar diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah

Menengah Umum di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar diselesaikan pada tahun

2009.

Pada tahun 2009 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung melalui jalur seleksi Penelusuran Kemampuan Akademik

dan Bakat ( PKAB ) dan pada tahun 2012 Penulis mengikuti Program Kuliah

Kerja Nyata (KKN).


(5)

MOTO

Bukan harta kekayaanlah, tetapi budi pekerti yang harus ditingalkan sebagai pusaka untuk anak anak kita.

Aku memperjuangkannya, siapapun dia yang menemaniku disaat mendaki. Bukan ia yang menungguku dipuncak

Ketika kamu berhasil teman-temanmu akhirnya tahu siapa kamu, ketika kamu gagal kamu akhirnya tahu siapa

sesungguhnya teman-temanmu Aristoteles

Satu cinta, satu harapan, satu keindahan dan satu untuk kamu Heriadi Hamid


(6)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul “

ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION

Skripsi yang disusun penulis ini merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Lampung. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak

bantuan, dorongan dan saran yang diberikan oleh semua pihak yang

bersangkutan. Untuk itu dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan

terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Dr.Hi. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Universitas Lampung

3. Bapak Muhtadi S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik, atas arahan dan

bimbingan kepada penulis selama studi hingga selesai skripsi ini.


(7)

4. Bapak Dr. Maroni S.H., M.H., selaku Pembimbing 1 yang telah sabar dan

meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan pengarahan

dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Firganefi S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah sabar dan

meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan pengarahan

dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan

saran dan masukan guna kelengkapan skripsi ini.

7. Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah

memberikan saran dan masukan guna kelengkapan skripsi ini.

8. Seluruh dosen Fakultas Hukum yang telah memberikan bekal ilmu

pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

9. Ayahku Priyo Supono dan Ibuku Sarmi BA. yang telah memberikan doa dan

dorongan yang sangat bermanfaat bagi hidupku.

10.Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

11. Mbak Sri dan Mbak Yanti dibagian hukum pidana yang turut membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini.

12.

Kakakku Yogi Prasetiyo dan Dinar Oktaria Prasetiyawati, Kakak Iparku

Efvi Vironica, Keponakanku Aurelia Adrienne Salsabilla dan seluruh

keluarga besar Eyang Saridjo yang telah memberikan doa dan dorongan

yang sangat bermanfaat bagi hidupku.

13. Sahabatku M.Yudho Syafei dan Helda Novriliana Yang Selalu Memberiku

Semangat,Motivasi dan Penuh perhatian yang senantiasa menemaniku suka

dan duka menanti keberhasilanku.


(8)

14. Teman-temanku Ade Fitriani, Vika Trisanti, Chandra Evita, Indah

Puspitarani, Trie Zaskia, Maria Hadivta, Ade Tiffany, Handy Sihotang,

Amriboy, Rifki Apriansyah dan semua teman-teman seperjuangan dan

sealmamater yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

15. Semua pihak yang turut membantu penulis menyelesaikan studi di Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi yang telah

diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan

yang membacanya, amin..

Bandar Lampung,

Januari 2013

Penulis,


(9)

ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN

ASASNON SELF INCRIMINATION

(Skripsi)

Oleh

Danar Oktaria Prasetiyawati

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian……...…. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi ……….. 14

B. Tinjauan Umum tentang Pembuktian………... 18

1. Pengertian Pembuktian ……… 18

2. Teori Teori Pembuktian……….. 19

3. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP……….. 22

C. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik……… 23

1. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik……… 23

2. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik……….. 26

D. Tinjauan Tentang Asas Non Self Incrimination ……….. 28

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 31

B. Jenis dan Sumber Data……….…………..……….. 31

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data….…...…..……….. 33


(11)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi ... 35 B. Sistem Pembuktian Terbalik dalam Proses Pembu.tian Tindak

Pidana Korupsi dikaitkan dengan Asasnon self incrimination….…. 45

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 64 B. Saran ... 65


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 1991.Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

---, 1996,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ---, 2005,Perkembangan Hukum Pidana Khusus,. Rineka Cipta, Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2000,Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Poernomo, Bambang, 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam. Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1981, Prenada Media, Yogyakarta. Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus

Korupsi, Mandar Maju, Bandung.

Sanusi, M. Arsyad. 2009. Relasi Antara Korupsi Dan Kekuasaan. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2.

Soekanto, Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumaryanto, Djoko, 2009,Pembalikan beban Pembuktian, Prestasi Pustaka,. Jakarta. Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung,

Bandar Lampung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(13)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

http://www.pnbanjarmasin.go.id http://hukumonline.com


(14)

Judul Skripsi :ANALISIS YURIDIS SISTEM PEMBUKTIAN

TERBALIK PADA TINDAK PIDANA

KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION

Nama Mahasiswa :DANAR OKTARIA PRASETIYAWATI

No. Pokok Mahasiswa : 0912011017

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Maroni, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.

NIP 19600310 198703 1 002 NIP 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(15)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Dr. Maroni, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Firganefi, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(16)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya sederhana ini kepada :

Ayahku Priyo Supono dan Ibuku Sarmi BA. yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do a demi

keberhasilanku

Kakakku Yogi Prasetiyo dan Dinar Oktaria Prasetiyawati, kakak iparku Efvi Vironica dan

keponakanku Aurelia Adrienne Salsabilla serta seluruh keluarga besar Eyang Saridjo tersayang,

terima kasih atas kasih sayang, do a dan dukungannya.

Sahabatku

Yang Selalu Memberiku Semangat,Motivasi dan Penuh perhatian yang senantiasa menemaniku suka dan duka menanti keberhasilanku

Teman-temanku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do anya

untuk keberhasilanku, terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui

bersama.


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kearah kemajuan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor kehidupan seperti, sektor sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi dll, namun disamping adanya perkembangan yang cukup baik tersebut, ternyata Indonesia mengalami perkembangan lain yang cukup memprihatinkan. Akibat dari kemajuan tersebut ternyata membawa pengaruh terhadap pola perilaku masyarakat yang negatif antara lain adanya kemajuan itu adalah tindak kejahatan.

Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan struktur-struktur sosial ekonomi yang tengah berlangsung. Salah satu jenis/bentuk kejahatan yang ada adalah korupsi. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa/Extraordinary Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang


(18)

2

bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya.1

Korupsi itu sendiri merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksanan pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengambalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.2

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu

mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak pidana korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton dalam H.M. Arsyad Sanusi, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia

menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”

(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).3

1

H.M. Arsyad Sanusi. Relasi Antara Korupsi Dan Kekuasaan. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2. 2009, hlm. 1

2Ibid. 3Ibid.


(19)

3

Perkembangan praktik korupsi yang semakin menyulitkan ini dalam proses penyidikannya, kini disikapi serius oleh beberapa negara. Penelitian oleh Negara maju memunculkan alternatif asas pembuktian baru yang dipandang tidak bertentangan dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Strategi hukum ini dinilai sangat efektif dalam menguak asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Teori pembuktian korupsi dan tindak kriminal lain yang selama ini digunakan di Indonesia adalah asas pembuktian ‘beyond reasonable doubt’, artinya kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Teori ini digunakan karena dinilai tidak bertentangan dengan prinsip ‘praduga tak bersalah’

(presumption of innocence). Namun penggunaan teori ini dalam regulasi hukum untuk tindak pidana korupsi sering kali menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Salah satu kendala utama dalam upaya pengungkapan perkara korupsi secara tuntas, adalah berkaitan dengan masalah pembuktian di pengadilan.4

Pelaksanaan pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang ditandai dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang


(20)

4

mengandung tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian. Di tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi kehadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian oleh ahli hukum saat ini diyakini mampu mengeliminasi tingkat kesulitan pembuktian. Terlebih lagi, sampai detik ini kita semua menyadari akan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia Dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya.5

Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination. Dalam menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak

“untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah” Prinsip ini dalam KUHAP tercermin secara

parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum, Pasal 189 ayat (3) bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.

Penulisan hukum ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan relevan dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu harus menghormati asas praduga tak bersalah. Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses

5


(21)

5

peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini dimulai dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban Negara itu. Tetapi disisi lain dalam memberlakukan pembuktian terbalik terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai sistem pembuktian terbalik dengan asas non self incrimination, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul “Analisis Yuridis Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan AsasNon Self Incrimination”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Rumusan Masalah

Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan peneliti dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi?


(22)

6

b. Bagaimankah sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asasnon self incrimination?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi dan sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination. Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum acara pidana khususnya pembuktian dalam perkara korupsi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini .Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Untuk mengetahui sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asasnon self incrimination.


(23)

7

2. Kegunaan Penelitian

Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut pengaturan pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai sistem pembuktian terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self incrimination.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

6


(24)

8

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.7

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.8

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari hukum pembuktian adalah :

1) Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang

2) Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa

3) Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

7

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta.1986, hlm. 36

8

Bambang Poernomo, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam. Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1981, Prenada Media, Yogyakarta. 1985, hlm. 38


(25)

9

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie)

2) Sistem atau teori pembuktian negatif 3) Sistem atau teori pembuktian bebas

4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee).

Berdasarkan teori-teori di atas, sistem pembuktian terbalik, dalam hal ini tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian

“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa


(26)

10

korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Kata-kata

“bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya.9

Selanjutnya dalam membicarakan asas non-self incrimination menurut sistem peradilan pidana, berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/sistem kontest), asas non-self incrimination merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak(due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan(the right to remain silent).10

Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah ialah hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan

9

Martiman Prodjomidjojo,Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Mandar Maju, Bandung. 2001, hlm. 107

10


(27)

11

sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”nonderogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Rumusan kalimat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”. 2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.11 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Analisis adalah upaya penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan sebenarnya.12

b. Sistem pembuktian terbalik adalah pembuktian yang mana tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya.13

11

Soerjono Soekanto,Op, Cit.,hlm. 132 12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1991, hlm. 13


(28)

12

c. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 UU PTPK).

d. Asas Non-Self Incrimination yakni hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan.14

E. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian terbalik serta tinjauan tentang asas non self

13

Lilik Mulyadi,Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000, hlm. 10 14


(29)

13

incrimination. Sedangkan kerangka pemikiran berisi pemikiran mengenai bagaimana keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asasnon self incrimination.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asasnon self incrimination.

V. PENUTUP

Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda:Corruptie.15

Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah,16 sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.17

Andi Hamzah menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:

15

Lilik Mulyadi,Op, Cit.,hlm. 16 16

Andi Hamzah,Op, Cit.,hlm. 9 17


(31)

15

1) Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandingkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.

2) Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. 3) Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4) Modernisasi.18

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak


(32)

16

pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1) Pasal 2 ayat (1) :

“Setiap orang yang secara melawan hukummelakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara.”

2) Pasal 3 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkandiri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1) Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.


(33)

17

2) Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.

3) Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.

4) Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.

5) Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu


(34)

18

adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.

B. Tinjauan Umum tentang Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian.

Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld)dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana.

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.19

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan

19


(35)

19

setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.20

Dilihat dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah :

1) Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang

2) Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa

3) Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

2. Teori Teori Pembuktian

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie).

Menurut sistem ini, dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori).

20


(36)

20

Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.21

2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif.

Menurut sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu.22 Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya.

3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas.

Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan memidana terdakwa.

21

Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 1996, hlm. 269 22Ibid.


(37)

21

4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee)

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atas dasar keyakinannya, yang mana keyakinan itu harus berpijak pada dasar-dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertulis tertentu. Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah ke dua jurusan, yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif(negatief wettelijke bewijs theorie).

Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.23


(38)

22

3. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :“Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.24

Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu : (1) Keterangan saksi, (2) Keterangan ahli, (3) Surat, (4) Petunjuk, (5) Keterangan terdakwa

Sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum

berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

24


(39)

23

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

C. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik

1. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik

Sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian

“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa


(40)

24

korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Kata-kata

“bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya.25

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian menurut Undang-Undang secara Negative. Ketiga,Teori system atau pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu :

1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.

25


(41)

25

Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pembuktian seperti ini merupakan pembuktian biasa atau konvensional.

2) Beban Pembuktian pada Terdakwa

Menurut konteks ini , terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada

dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori “pembalikan beban

pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau reversal of Burden of Proof). Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni.

3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan.26

26


(42)

26

2. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik

Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam undang-undang yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).

Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa:

“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikanbahwa ia tidak melakukan


(43)

27

Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa:

“Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

didakwakan”.

Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikanndakwaannya”.


(44)

28

Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa:

“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

D. Tinjauan tentang Asas Non Self Incrimination.

Menurut sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak(due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan.27

Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah ialah hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan

27


(45)

29

sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”nonderogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak praduga tak bersalah ,asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (2009), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah:

”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Menurut kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa: “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah (non self incrimination)”.


(46)

III. METODE PENELITIAN

Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi.28 Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

B. Jenis Dan Sumber Data

Menurut Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan

28


(47)

32

hukum dalam hal ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif , artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

a) Batang Tubuh UUD RI tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa pengertian-pengertian yang diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia dan bahan dari internet.


(48)

33

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.


(49)

34

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.29

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

29


(50)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (Pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (Pasal 12B ayat (1) a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut, pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Adapun alasan-alasan Indonesia belum menerapkan pembuktian terbalik adalah karena ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia, karena seluruh bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada.


(51)

65

2. Alasan asas non self incrimination(hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan) dikesampingkan dalam sistem pembuktian perkara korupsi karena dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, salah satunya terjadi benturan antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1) dengan Pasal 66 KUHAP, yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the right to remain silent dan non self incrimination. Konsekuensi logis dimensi demikian maka pembalikan beban pembuktian ini tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination) dan hak untuk diam (right to remain silent). Dalam konteks di atas terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.

B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka rekomendasi yang dapat dikemukakan penulis adalah diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena


(52)

66

tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas.


(1)

32

hukum dalam hal ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif , artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

a) Batang Tubuh UUD RI tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa pengertian-pengertian yang diperoleh dari kamus hukum, ensiklopedia dan bahan dari internet.


(2)

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan data sekunder.

Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, serta pengumpulan data melalui media internet. Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang perlu diteliti.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.


(3)

34

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.29

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

29


(4)

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (Pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (Pasal 12B ayat (1) a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut, pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Adapun alasan-alasan Indonesia belum menerapkan pembuktian terbalik adalah karena ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia, karena seluruh bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada.


(5)

65

2. Alasan asas non self incrimination(hak yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan) dikesampingkan dalam sistem pembuktian perkara korupsi karena dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan asas non self incrimination, salah satunya terjadi benturan antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1) dengan Pasal 66 KUHAP, yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the right to remain silent dan non self incrimination. Konsekuensi logis dimensi demikian maka pembalikan beban pembuktian ini tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination) dan hak untuk diam

(right to remain silent). Dalam konteks di atas terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.

B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka rekomendasi yang dapat dikemukakan penulis adalah diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena


(6)

tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas.