PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2

ABSTRAK

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS
TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2

Oleh

MONNES HENDRI BATUBARA

Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang
penting di Indonesia. Pada umumnya tebu digunakan sebagai bahan baku
produksi gula. Gula merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan
penting bagi rakyat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka
kebutuhan masyarakat terhadap gula semakin meningkat pula. Salah satu industri
perkebunan gula yang masih terus mengusahakan peningkatan produksi gula
adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP). Teknik pengolahan tanah yang
telah dilakukan di PT GMP adalah pengolahan tanah secara intensif.
Meskipun pekerjaan mengolah tanah secara teratur dianggap penting, tetapi
pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan terjadinya degradasi. Oleh
karena itu, usaha untuk merehabilitasi tanah perkebunan gula PT GMP perlu

diusahakan antara lain dengan memanfaatkan mulsa berbasis limbah tebu dan
sistem pengolahan tanah konservasi (OTM). Dalam usaha rehabilitasi tanah
tersebut, perubahan tanah seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan terjadi.
Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah keberadaan cacing tanah.
Keberadaan cacing tanah juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan
tingkat kesuburan tanah di suatu lahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem olah tanah dan
aplikasi mulsa bagas pada lahan pertanaman tebu (Saccharum officinarum L.)
terhadap jumlah dan biomassa cacing tanah di PT Gunung Madu Plantations,
Lampung Tengah.

Monnes Hendri Batubara

Penelitian ini dirancang menggunakan RAK dan disusun secara split plot dengan
5 kali ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah, yang terdiri dari olah tanah
minimum (T0) dan olah tanah intensif (T1). Anak petak adalah aplikasi mulsa
bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (M0) dan mulsa bagas 80 tha-1 (M1).
Adapun kombinasi perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: T0M0 =
olah tanah minimum + tanpa mulsa bagas, T0M1 = olah tanah minimum + mulsa
bagas 80 t ha-1, T1M0 = olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas, dan T1M1 = olah

tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1. Semua perlakuan diaplikasikan pupuk
Urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk KCl 300 kg ha-1,
dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA) segar (5:3:1) 80 t ha-1. Data yang
diperoleh diuji homogenitasnya dengan Uji Bartlet dan aditivitasnya dengan Uji
Tukey, serta uji lanjut dengan Uji BNT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya pengaruh perlakuan sistem
olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap populasi dan biomassa cacing tanah
pada pengambilan sampel 9 BSP dan 12 BSP. Tidak semua cacing tanah yang
didapatkan pada lahan penelitian dapat dianalisis, hanya cacing tanah yang sudah
memiliki klitelum yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa sistem olah tanah dan aplikasi mulsa tidak berpengaruh
terhadap populasi dan biomassa cacing tanah. Terdapat 2 genus cacing tanah yang
didapat dari hasil identifikasi, yaitu Pheretima dan Pontoscolex.

Kata Kunci: Cacing tanah, mulsa bagas, olah tanah intensif, dan olah tanah
minimum.

Monnes Hendri Batubara

ABSTRACT


THE EFFECT OF TILLAGE SYSTEM AND BAGASSE MULCH
APPLICATION TO THE POPULATION AND BIOMASS OF
EARTHWORM IN THE SUGAR CANE PLANTATION
IN SECOND YEAR

MONNES HENDRI BATUBARA

Sugarcane (Saccharum officinarum L) is one of the the important plantation crops
in Indonesia. In general, sugar cane use as a raw material production. Sugar is one
food that have an important role for the people. With the increasing number of
residents, the community needs to increase the sugar as well. One of the sugar
plantation industry who continues to seek an increase in sugar production is PT
Gunung Madu Plantations (GMP). Tillage techniques that have been done in PT
GMP is an intensive tillage.
Although the tillage of the land on a regular basis is important, but the intensive
tillage of land can cause degradation. Therefore, efforts to rehabilitate the land of
the sugar plantations of PT GMP need to be cultivated among others, by making
use of waste-based sugar cane mulch and conservation tillage systems (minimum
tillage). In an effort to rehabilitate the land, such as changes in soil physical

properties, chemical, and biological soil will occur. One indicator that can be
used is the presence of earthworms. The presence of earthworms is also one of the
indicators to determine the level of soil fertility in a field.
This research aimed to study the effect of tillage systems and application of
bagasse mulch on planting sugar cane (Saccharum officinarum L.) against the
number and biomass of earthworms in the PT Gunung Madu Plantations, Central
Lampung.
This research was designed as RAK and arranged by split plot with 5 replication.
The main plot of tillage system, which consists of minimum tillage (T0) and
intensive tillage (T1). Subplot is the application of bagasse mulch, consisting of

Monnes Hendri Batubara

bagasse without mulch (M0) and with bagasse mulch 80 tha-1 (M1). The
combination treatment was applied as follows: T0M0 = minimum tillage + no
mulch bagasse, T0M1 = minimum tillage + bagasse mulch 80 t ha-1, T1M0 =
intensive tillage + no mulch bagasse, and T1M1 = intensive tillage + bagasse
mulch 80 t ha-1. All treatments applied urea with a dose of 300 kg ha-1, TSP 200
kg ha-1, KCl 300 kg ha-1, and the application of bagasse, blotong, and ash (BBA)
fresh (5:3:1) 80 t ha-1. The data obtained were tested with the homogenity with

Bartlet Test and additivity with Tukey's test, and continued by LSD Test.
The results showed that treatment of tillage systems and bagasse mulch
application did not increase the population of earthworms in samples 9 month and
12 month. The results showed that treatment of tillage systems and bagasse mulch
application did not increase the biomass of earthworms in sampling 9 BSP and 12
month. Not all of the earthworms found in the study area can be analyzed, only
earthworms have klitelum that can be analyzed The results showed that tillage
systems and application of bagasse mulch had no effect to the population and
biomass of earthworms. There are two genera of earthworms obtained from the
results of identification, namely Pheretima and Pontoscolex.
Keyword: Bagasse mulch, earthworm, intensive tillage, and no tillage.

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS
TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2

Oleh
MONNES HENDRI BATUBARA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS
TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2
(Skripsi)

Oleh

MONNES HENDRI BATUBARA


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Bagan Solusi Perbaikan Tanah Terdegradasi di PT GMP ....................

5

2. Perlakuan sistem olah tanah dan pemberian mulsa pada pertanaman
tebu ........................................................................................................

23


3. Teknik pengamatan cacing tanah pada pertanaman tebu ......................

25

4. Tata letak metode Monolith pada pertanaman tebu ..............................

26

5. Pengaruh pengolahan tanah dan pemberian mulsa terhadap populasi
cacing tanah pada pengambilan sampel 9 BSP dan 12 BSP ................

29

6.

Pengaruh pengolahan tanah dan pemberian mulsa terhadap biomassa
cacing tanah (g m-2) pada pengambilan sampel 9 BSP dan
12 BSP..................................................................................................

29


7. Jenis-jenis cacing tanah hasil pengamatan pada pertanaman tebu .......

30

8. Identifikasi cacing tanah hasil pengamatan pada pertanaman tebu .....

31

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................... ..........

iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ..........

vii


I. PENDAHULUAN
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.

Latar Belakang ..................................................................... ..........
Tujuan Penelitian ................................................................. ..........
Kerangka Pemikiran ............................................................. ..........
Hipotesis ............................................................................... . ........

1
2
3
7

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.2.

2.3.
2.4.
2.5.

Tanaman Tebu ...................................................................... ..........
Bahan Organik Berbasis Tebu ............................................. ..........
Cacing Tanah ....................................................................... ..........
Pengaruh Lingkungan Terhadap Cacing Tanah ................... ..........
Sistem Olah Tanah .............................................................. ..........

8
9
11
14
17

III. BAHAN DAN METODE
3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.

Waktu dan Tempat ............................................................... ..........
Alat dan Bahan ..................................................................... ..........
Metode Penelitian ................................................................. ..........
Sejarah Pengelolaan Lahan di Plot Percobaan ...................... ..........
Pelaksanaan Penelitian ......................................................... ..........
3.5.1. Pengelolaan Lahan ..................................................... ..........
3.5.2. Pengambilan Sampel Cacing Tanah ........................... ..........
3.5.3. Analisis Tanah ............................................................. ..........
3.6. Variabel Pengamatan ........................................................... ..........

19
19
20
21
21
21
24
26
27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan ................................................................. ..........
4.1.1. Populasi Cacing Tanah ............................................... ..........
4.1.2. Biomassa Cacing Tanah ............................................. ..........

28
28
29

ii

4.1.3. Identifikasi Cacing Tanah .......................................... ..........
4.1.4. Hubungan Antara Populasi dan Biomassa Cacing Tanah
dengan Beberapa Sifat Kimia Tanah ......................... ..........
4.2. Pembahasan .......................................................................... ..........

30
32
33

V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ............................................................................... ..........
5.2. Saran ...................................................................................... ..... ....

38
38

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... ..........

39

LAMPIRAN .......................................................................................... ..........

44

39

DAFTAR PUSTAKA

Agrika, D.P. 2006. Kajian Terhadap Kandungan Bahan Organik Tanah dan Indeks
Kemantapan Agregat pada Beberapa Aplikasi Limbah Padat Pabrik Gula
di Lahan Perkebunan Tebu PT Gunung Madu Plantations Lampung
Tengah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung. 58 hlm.
Agustina. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Selulose Mikroba Termofilik Dari
Pengomposan Ampas Tebu (Bagasse). Skripsi. Unila. Bandar Lampung.
64 hlm.
Agustinus, M. D. 2009. Tingkah Laku Cacing Tanah. www. Kompas.com.
Diakses tanggal 5 Januari 2012 .
Anas, I. 1990. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar
Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 161 hlm
Ansyori. 2004. Potensi Cacing Tanah Sebagai Alternatif Bio-Indikator Pertanian
Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains
(PPS 702). Bogor.
Arioen, R. 2009. Kajian Ratio Bagas dan Blotong Pada Pengomposan Bagas.
Skripsi. Unila. Bandar Lampung. 63 hal.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.
Bogor. 277 hlm.
Budiarti, A. dan R. Palungkun. 1992. Cacing Tanah : Aneka Cara Budidaya,
Penanganan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum Ternak dan Ikan.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Brown, G.G., N.P. Benito, A. Pasini, K.D. Sautter, M.F. Guimaraes, and E.Tores,
2002. No-Tillage Greatly Increases Earthworm Population in Parana
State, Brazil. The 7th International Symposium on Earthworm Ecology,
Cardiff, Wales.
Catalan, G.I. 1981. Earthworms a New- Resource of Protein. Philippine
Earthworms center. Philippines.

40

Chan, K.Y. 2001. An Overview of Some Tillage Impact on Earthworm Population
Abudance and Diversity-Implications for Functioning in Soil. Soil Till.
Res. 57 : 547-554.
Diky, N. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas pada
Lahan Pertanaman Tebu Terhadap Populasi dan Biomassa Cacing Tanah.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 83 hlm.
Edwards, C.A. 1998. Earthworm Ecology. St. Lucie Press. Washington, DC. 389.
Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press
Boo, John Wiley & Sons, New York. 333 hlm.
Fraser, T. 1999. The effect of soil management practice on earthworm
populations. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Franzluebbers, A.J., F.M. Hons, and D.A Zuberrer. 1995. Soil organic carbon,
microbial biomass, and mineralizable carbon and nitrogen in sorgum.
59. 460-466
Hairiah, K., Purnomosidhi, N. Khasanah, N. Nasution, B. Lusiana, dan M.V.
Noordwijk. 2003. Pemanfaatan Bagas dan Daduk Tebu untuk Perbaikan
Status Bahan Organik Tanah dan Produksi Tebu di Lampung Utara:
Pengukuran dan Estimasi Simulasi WANULCAS. Agrivita 25: 30 - 40.
Hanafiah, K.A., I. Anas, A. Napoleon dan N. Ghoffar. 2005. Biologi Tanah:
Ekologi & Makrobiologi tanah. Ed. 1, cet. 1. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 165 hlm.
Hakim, N., Y. Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nugroho, M.R Saul, M.A Diha, B.H Go
dan H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 490 hlm.
Hubbard, V.C., D. Jordan, and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response rotation
and tillage in a Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils 29 : 343-347.
Liong, N.N. 2011. Penaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Populasi, Biomassa dan
Keanekaragaman Cacing Tanah pada Bekas Lahan Alang-Alang
(Imperata cylindrica L. ) Berusia lebih dari 10 Tahun. Skripsi. Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.
Madjid, A. 2007. Bahan Organik Tanah. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem
Tanpa Olah Tanah. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor.

41

Manik, K. E. S., Afandi, dan S. B. Yuwono. 1996. Studi Pemadatan Tanah Pada
Beberapa Penggunaan Lahan di Lereng Tengah Gunung Betung. J. Tanah
Trop. 2 (2) : 1-6.
Merlita. 2005. Struktur komunitas cacing tanah pada berbagai tipe penggunaan
lahan di Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat. (Skripsi). Unila.
Bandarlampung. 63 hlm.
Mashur. 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia
foetida savigny untuk Meningkatkan Biomassa dan Kualitas Eksmecat
dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Disertasi,
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 148 hlm.
Palungkun, R. 2006. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar
Swadaya. Jakarta. 88 hlm.
Paoletti, M.G. 1999. The role of earthworms for assessment of sustainability and
as bioindicators. J Agric Eco and Environ 74: 137- 155.
PT. GMP. 2009. Pengolahan Tanah. www. Gunungmadu.co.id. Diakses tanggal 5
Januari 2012.
Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sanjaya, I. 2000. Aktivitas Enzim Selama Proses Pengomposan Beberapa Jenis
Limbah Organik. Skripsi. Unila. Bandarlampung. 58 hlm.
Sartono. 1995. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Terhadap Produksi Tebu
(Saccharum officinarum L.) Lahan Kering Pada Ultisol Gunung Madu.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 54 hlm.
Simanjuntak, A. K., dan D. Waluyo. 1982. Cacing Tanah, Budidaya dan
Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Slamet. 2007. Tebu (Saccharum officinarum, L). http: //warintek.progressio.
or.id/perkebunan/tebu.htm. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Subroto. 1997. Efek Populasi Cacing Tanah (Lumricus terristis) terhadap Sifat
Kimia Tanah Ultisol, dan Kedelai (Glycine max L. Mer.) sebagai
Tanaman Uji. Frontir No 21.
Subowo, G., E. Sumantri, A. Kentjanasari, dan I. Anas. 2008. Pengaruh
Pengolahan Tanah, Ameliorasi, dan Inokulasi Pheretima hupiensis
terhadap Pertumbuhan Gulma dan Kedelai di Ultisol. Prosiding
Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Puslittanak. Bogor.
Hlm 310 – 319.

42

Sugiarto, Y. 2000. Dasar-Dasar Cara Kerja di Processing PT Gunung Madu
Plantations. Lampung. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri.
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS. Surakarta.
Susilo, F.X. dan A. Karyanto. 2005. Methods for Assessment of Below-Ground
Biodiversity In Indonesia. Unila. Bandar Lampung. 58 hlm.
Suwardjo, H., dan A. Dariah. 1995. Teknik Olah Tanah Konservasi untuk
Menunjang Pengembangan Pertanian Lahan Kering yang Berkelanjutan.
Hlm. 8-13. Utomo, M. Prosiding Seminar Nasional V BDP-OTK 1995.
Bandar Lampung.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1994. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan
Tegalan. Penebar Swadaya. Jakarta. 112 hlm.
Umar. 2004. Pengolahan Tanah Sebagai Suatu Ilmu: Data, Teori. dan PrinsipPrinsip. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Falsafah Sains (PPS
702).
Utomo, M. 1991. Budidaya pertanian tanpa olah tanah tekhnologi untuk
pertanian berkelanjutan. Universitas Lampung. 22 hlm.
Utomo, M. 1995. Reorientasi Kebijakan Sistem Olah Tanah. Prosid. Sem. Nas-V
BDP-OTK. Bandar Lampung. Hal 1-7.
Widiantoko, R.K. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula
dalam Rangka Zero Emission. www.sirossiris.com. Diakses tanggal 5
Januari 2012.
Yanto, T. 2002. Karakteristik fisik dan kimia tanah pada beberapa pedon yang
telah diperlakukan dengan sistem olah tanah jangka panjang di lahan
kering Hajimena Bandar Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 49 hlm.

Gambar 2. Perlakuan sistem olah tanah dan pemberian mulsa pada pertanaman tebu : A. perlakuan OTM tanpa mulsa B. perlakuan
OTM dengan mulsa C. perlakuan OTI tanpa mulsa D. perlakuan OTI dengan mulsa

Gambar 3. Teknik pengamatan cacing tanah pada pertanaman tebu : A. pembuatan lubang monolit B. penyiapan larutan mustard
C. penyiraman larutan mustard D. pemilihan cacing tanah dengan metode hand sorting

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang
penting di Indonesia. Pada umumnya tebu digunakan sebagai bahan baku
produksi gula. Gula merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan
penting bagi rakyat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka
kebutuhan masyarakat terhadap gula semakin meningkat pula. Indonesia
merupakan salah satu negara penghasil gula di dunia. Akan tetapi, Indonesia
sendiri masih mengalami kekurangan gula akibat konsumsi gula yang tinggi
dibandingkan dengan produksinya.

Salah satu industri perkebunan gula yang masih terus mengusahakan peningkatan
produksi gula adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP). Pengolahan tanah
yang diterapkan dalam perkebunan tebu ini adalah sistem olah tanah intensif terus
menerus selama 25 tahun. Pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan
kerusakan struktur tanah, mempercepat terjadinya erosi tanah, dan penurunan
kadar bahan organik tanah yang berpengaruh juga terhadap keberadaan biota
tanah, termasuk cacing tanah. Keberadaan cacing tanah juga merupakan salah
satu indikator untuk menentukan tingkat kesuburan tanah di suatu lahan.

2
Menurut Ansyori (2004), cacing tanah merupakan komponen utama biomass
makrofauna di dalam tanah. Cacing tanah hidup kontak langsung dengan tanah
dan memiliki kontribusi penting terhadap proses siklus unsur hara di dalam
lapisan tanah, tempat akar tanaman terkonsentrasi. Selain itu lubang yang dibuat
cacing tanah sering merupakan proporsi utama ruang pori makro di dalam tanah,
sehingga cacing tanah dapat secara nyata mempengaruhi kondisi tanah yang
berhubungan dengan hasil tanaman.

Produksi gula di PT. GMP dapat ditingkatkan dengan dilakukan pembenahan
media tanam (tanah) tebu sehingga dapat tumbuh dengan baik. Perbaikan itu
dapat dilakukan dengan merubah sistem pengolahan tanahnya dan juga
memberikan bahan organik ke dalam tanah. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan menggunakan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dan
pengaplikasian BBA (bagas, blotong, abu) tebu yang dihasilkan dari sisa produksi
PT. GMP itu sendiri.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem olah tanah (TOT) dan
aplikasi mulsa bagas (BBA) pada lahan pertanaman tebu (Saccharum officinarum
L.) terhadap populasi dan biomassa cacing tanah di PT Gunung Madu Plantations,
Lampung Tengah.

3
1.3 Kerangka Pemikiran

Pengolahan tanah merupakan setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk
menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman agar dapat
berproduksi dengan baik, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menciptakan
keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman (Manik, Afandi, dan Yuwono,
1996).

Selain itu, pengolahan tanah juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi

tanah sehingga memudahkan penetrasi akar, infiltrasi air, dan peredaran udara
(aerasi). Arsyad (1989) menyatakan bahwa pengolahan tanah yang baik
merupakan salah satu syarat dalam setiap tindakan budidaya tanaman, walaupun
demikian pengolahan tanah yang berat dan tidak tepat dapat menyebabkan
menurunnya kesuburan tanah dengan cepat dan tanah lebih mudah terdegradasi.

Pengaruh buruk dari pengolahan tanah yang berlebihan antara lain rusaknya
struktur tanah dan menurunkan kandungan bahan organik secara cepat. Umar
(2004) mengungkapkan bahwa pengolahan tanah intensif dapat meningkatkan
produksi tanaman, meningkatkan kekasaran permukaan, memecah kerak tanah,
meningkatkan infiltrasi, tetapi pengaruh tersebut bersifat jangka pendek. Pada
jangka panjang, pengolahan tanah cenderung mempercepat kerusakan tanah.
Beberapa dampak buruk dan pengolahan tanah jangka panjang yakni dapat
mengurangi kandungan bahan organik tanah, infiltrasi, dan erosi, memadatkan
tanah, dan mengurangi biota tanah.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa OTI dapat mengubah kelimpahan dan
keanekaragaman populasi cacing tanah. Penelitian lain menunjukkan bahwa
berkurangnya populasi cacing tanah sering ditemukan pada pengolahan tanah

4
intensif karena adanya perubahan lingkungan tanah yang tidak diinginkan sebagai
dampak pengolahan tanah yang berlebihan (Chan, 2001).

Menurut Ansyori (2004), TOT cenderung memiliki biomassa cacing tanah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan OTI pada permukaan tanah. Pemberian mulsa
serasah segar atau kering dapat memberikan kelembaban tanah yang cukup,
sehingga dapat meningkatkan biomassa cacing tanah.

Pencampuran bahan

tanaman seperti residu tanaman atau cover crop dengan tidak terlalu dalam ke
dalam tanah dapat mengubah aktivitas dan biomassa cacing tanah khususnya
spesies endogeis.

Hal tersebut disebabkan pemberian residu tanaman pada

permukaan tanah dan tidak mengolah tanah dapat mencegah cacing tanah dari
kekeringan dan predasi selama periode kering, sehingga lahan TOT selalu
menunjukkan biomassa cacing tanah lebih tinggi daripada OTI (Hubbard, Jordan,
dan Syecker 1999 dalam Ansyori 2004).

Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih
banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding
dengan pengolahan tanah (Makalew, 2001), hal ini sejalan dengan penelitian
Brown dkk. (2002), yang menyimpulkan bahwa populasi cacing tanah TOT 5
kali lebih tinggi dibandingkan pada OTI.

Pengolahan tanah secara intensif tanpa adanya suatu usaha untuk memperbaikan
kondisi suatu tanah dapat menjadikan tanah tersebut terdegradasi.

Ansyori

(2004) mengatakan bahwa terdegradasinya tanah dicerminkan oleh penurunan
produksi pertanian akibat salah pengelolaan masa lalu, sehingga perlu
dikembangkan strategi untuk memelihara produksi agar tetap optimum. Salah

5
satu upaya yang dapat diterapkan dalam meningkatkan produksi tebu yaitu dengan
merubah sistem olah tanah dan memanfaatkan limbah padat pabrik gula, yaitu
bagas, blotong, dan abu (BBA) (Gambar 1).

Tebu

Olah Tanah Intensif

Degradasi Tanah

Sistem Olah Tanah

Bahan Organik

Tanpa Olah Tanah

Limbah Padat
Pabrik Gula

Sifat Fisik
Tanah

Sifat Biologi
Tanah

Sifat Kimia
Tanah

Cacing Tanah

Gambar 1. Bagan solusi perbaikan tanah terdegradasi di PT GMP.

Seperti yang terlihat dari Gambar 1, perubahan sistem olah tanah menjadi tanpa
olah tanah dan ditambah dengan pengaplikasian limbah padat pabrik gula berupa
bagas, blotong, dan abu (BBA) di lahan pertanaman tebu diharapkan dapat

6
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang selanjutnya dapat
meningkatkan produksi gula. Kegiatan ini diharapkan juga dapat meningkatkan
jumlah dan biomassa cacing tanah yang dapat dijadikan indikator kesuburan
tanah.

Bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT
GMP adalah limbah padat pabrik gula yang dihasilkan selama produksi di PT
GMP tersebut. Produk utama yang dihasilkan di perkebunan tebu adalah batang
tebu yang dapat diproses menjadi 6-9% gula dan 91-94% limbah. Limbah padat
yang dihasilkan selama proses produksi, antara lain : ampas tebu (bagasse) yang
merupakan hasil dari proses ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter
cake) yang merupakan hasil samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel
(ash) yang merupakan sisa pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet,
2007).

Produksi limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu (BBA) dengan
perbandingan 5:3:1 berpotensi digunakan sebagai bahan organik yang dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT GMP. Hasil penelitian
Arioen (2009) menunjukan bahwa formulasi bagas : blotong : abu dengan
perbandingan 5:3:1 setelah dikomposkan selama 40 hari menghasilkan C/N akhir
terkecil yaitu 36, dibandingkan dengan formulasi 5:1:1 dan 6:1:1 masing-masing
menghasilkan C/N ratio 39 dan 41.
Dosis aplikasi BBA yang telah digunakan di PT GMP yaitu 80 t ha-1 BBA segar,
sedangkan yang sudah menjadi kompos 40 t ha-1.

Aplikasi BBA dilakukan

setelah olah tanah I. Pemberian bahan organik berbasis tebu diharapkan mampu

7
untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui ketersediaan unsur hara yang
cukup bagi tanaman dan meningkatkan populasi biota tanah (PT GMP, 2009).

1.4 Hipotesis

1.

Populasi dan biomassa cacing tanah lebih tinggi pada lahan dengan sistem
olah tanah minimum (OTM).

2.

Populasi dan biomassa cacing tanah lebih tinggi pada lahan yang
diaplikasikan mulsa bagas.

3.

Terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap
populasi dan biomassa cacing tanah.

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil
gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Humbert,
1968 dalam Sartono, 1995). Tanaman tebu tidak asing lagi di Indonesia, tebu
termasuk dalam famili Graminae atau lebih terkenal dengan kelompok rumputrumputan. Secara morfologi, tanaman tebu terdiri atas beberapa bagian yaitu
batang, daun, akar dan bunga (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994).

Seperti tanaman lain, tebu juga memerlukan syarat-syarat tertentu untuk
pertumbuhannya, salah satunya adalah iklim. Iklim terdiri dari beberapa faktor
yaitu curah hujan, sinar matahari, suhu, angin, dan kelembaban. Tebu termasuk
tanaman tropik yang membutuhkan radiasi sinar matahari yang cukup dan sangat
efisien dalam penggunannya untuk dapat membentuk bahan makanan. Suhu yang
baik untuk pertumbuhan tebu adalah 20o-30o C.

Pertumbuhan tebu yang normal membutuhkan masa vegetatif selama 6-7 bulan.
Dalam masa itu jumlah air yang diperlukan untuk evapotranspirasi adalah 3-5 mm
air per hari, berarti jumlah hujan bulanan selama masa pertumbuhan tebu minimal
100 mm. Setelah fase pertumbuhan vegetatif, tebu memerlukan 2-4 bulan kering
untuk proses pemasakan tebu, curah hujan di atas evapotranspirasi menyebabkan

9
kemasakan tebu terlambat dan kadar gula rendah (Kuntohartono, 1982 dalam
Sartono, 1995).

Sifat dan keadaan tanah berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan kadar gula
dalam tebu. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah tanah yang
dapat menjamin ketersediaan air secara optimal. Derajat kemasaman yang sesuai
berkisar antara 5, 5-7, apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH dibawah 5,5
maka perakarannya tidak dapat menyerap air ataupun unsur hara dengan baik.

2.2 Bahan Organik Berbasis Tebu

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organiks komplek
yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil
humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk
juga mikrobia heterotropik dan ototropik yang terlibat didalamnya (Madjid, 2007).
Penambahan bahan organik kedalam tanah berperan penting dalam upaya
peningkatan kesuburan tanah karena bahan organik dapat mempengaruhi
ketersediaan N-total, P tersedia dan asam humik yang berpengaruh pada KTK
serta dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dalam tanah (Agrika, 2006).
Salah satu bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi
tanaman tebu yaitu limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu yang
berasal dari proses produksi di pabrik gula.

Produk utama yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tebu adalah batang tebu
yang dapat diproses menjadi 6-9% gula dan 91-94% limbah. Limbah yang
dihasilkan oleh pabrik gula selama proses produksi, antara lain : limbah gas,

10
limbah cair, dan limbah padat. Limbah padat yang dihasilkan selama proses
produksi, antara lain : ampas tebu (bagasse) yang merupakan hasil dari proses
ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter cake) yang merupakan hasil
samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel (ash) yang merupakan sisa
pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet, 2007). Potensi limbah padat
pabrik gula di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI) (2008) dalam Widiantoko (2010), cukup besar dengan komposisi rata-rata
hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari 32,0 % bagas; 3,5 % blotong;
dan 0,1 % abu.

Menurut Agustina (2008), bagas merupakan limbah pertama yang dihasilkan dari
proses pengolahan industri gula tebu, volumenya mencapai 30-34% dari tebu
giling. Bagas terdiri dari air, serat, dan padatan terlarut dalam jumlah relatif kecil.
Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa,
pentosan, dan lignin. Bagas tidak dapat langsung diaplikasikan ke lahan
pertanaman karena nisbah C/N bagas yang tinggi. Apabila diaplikasikan langsung
maka akan terjadi imobilisasi unsur hara dalam tanah. Penelitian Hairiah et al.
(2003) menunjukkan bahwa penambahan bagas dan serasah daun tebu
menyebabkan immobilisasi N pada lapisan tanah 0-5 cm, pada hampir seluruh
waktu pengamatan hingga 7 bulan. Oleh karena itu, sebelum diaplikasikan ke
lahan sebaiknya dilakukan pengomposan atau dicampur dengan bahan organik
yang memiliki nisbah C/N rendah. Pengomposan sendiri merupakan penguraian
bahan organik menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N yang rendah sebelum
digunakan sebagai pupuk (Sanjaya, 2000).

11
Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah, bagas dimanfaatkan juga
sebagai bahan bakar boiller di pabrik gula. Sedangkan abu merupakan hasil
perubahan secara kimiawi dari pembakaran bagas tersebut. Abu ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah dengan cara dicampurkan dengan
bahan organik lain, seperti bagas dan blotong.

Blotong merupakan hasil tapisan mud yang telah diambil filtratnya. Blotong
berupa cake yang masih mengandung gula antara 0,5 - 3%, rata-ratanya 1 - 2%,
mengandung air antara 70 - 80%, dengan total berat antara 3 - 5% berat tebu yang
digiling. Filter cake masih banyak mengandung mineral dan zat-zat lain yang
diperlukan oleh tumbuhan. Blotong mempunyai sifat padat dan berwarna hitam.
Di pabrik gula, blotong yang sebagian besar tersusun dari bahan organik, memiliki
jumlah cukup banyak. Blotong dapat langsung diaplikasikan karena memiliki
C/N ratio kurang dari 20 (Sugiarto, 2000).

2.3 Cacing Tanah

Cacing tanah merupakan organisme tanah heterotrof, bersifat hermaprodit
biparental dari Filum Annelida, Kelas Clitellatta, Ordo Oligochaeta, dengan
Famili Lumbricidae dan Megascolecidae yang banyak dijumpai di lahan pertanian
(Ansyori, 2004). Cacing tanah termasuk biota tanah yang aktif melakukan
dekomposisi secara sempurna antara bahan organik tanah dengan tanah mineral
yang berwarna gelap dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Bahan
organik yang dimasukkan dalam tanah akan menjadi makanan bagi cacing tanah
untuk memperoleh karbon dan energi yang akan dipergunakan untuk kelanjutan
metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi (Subroto, 1997).

12
Menurut Subowo (2008), cacing tanah mampu hidup 1−10 tahun dan dalam
proses hidupnya dapat hidup melalui fragmentasi ataupun reproduksi dengan
melakukan kopulasi membentuk kokon. Ukuran cacing tanah yang relatif besar,
berkisar 1-8 cm atau lebih, dengan kecepatan berpindah di dalam tanah yang
relatif terbatas dan lambat berkoloni kembali membuat cacing tanah mudah
ditangkap dan dipilih, sehingga dapat dijadikan bioindikator kesuburan tanah
(Ansyori, 2004).

Cacing tanah memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu
segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah,
sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya
saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh berisi cairan yang berperan
dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya
terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal) (Rukmana
dalam Merlita, 2005).

Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampur material - material
dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur
dengan enzim. Zat cerna tersebut akan melepaskan asam- asam amino, gula,
dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik (termasuk
protozoa, nematoda, bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain sebagai bagian
dari dekomposisi hewan). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan
dikeluarkan dalam bentuk kasting (feses cacing tanah). Bentuk kasting
menyerupai partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih
kecil dari partikel tanah biasa sehingga lebih cocok untuk tanaman. Kasting

13
mengandung berbagai bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun
kimiawi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Komponen biologis yang terkandung di dalamnya salah satunya
adalah auksin (Palungkun, 1999).

Cacing tanah dapat mencerna senyawa organik tersebut menjadi molekul yang
sederhana yang dapat diserap oleh tubuhnya. Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa
bahan yang termakan dilepaskan kembali sebagai buangan padat (kotoran)
dikeluarkan melalui anus. Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa sebagian
besar bahan tanah mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam
tanah dalam bentuk kotoran yang lebih tersedia bagi tanaman.

Cacing tanah membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau dengan
memakan langsung massa tanah. Cacing tanah dengan kemampuannya membuat
lubang akan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi,
mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta melalui kotoran yang dihasilkan
dapat menambah unsur hara bagi tanaman (Subowo, 2008).

Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya,
kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998;
Paoletti, 1999) sebagai berikut :
(1) Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif,
tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di
permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya Lumbricus rubellus
dan Lumbricus castaneus.

14
(2) Anazesis; berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan
tanah; pemakan serah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah,
mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan
penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah.
Contohnya Pontoscolex curetrus, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora
longa.
(3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan
meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran,
pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya
Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora
rosea.
(4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti Eisenia foetida,
Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae.
(5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti
Androrrhinus spp.

Berdasarkan jenis makanan, cacing tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1)
geofagus (pemakan tanah), 2) limifagus (pemakan tanah subur atau tanah basah),
dan 3) litter feeder (pemakan bahan organik) ( Coleman dan Crossley, 1996).

2.4 Pengaruh Lingkungan terhadap Cacing Tanah

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaan cacing tanah
pada suatu lingkungan dapat dilihat di bawah ini :

15
A. pH Tanah

Mashur (2001) menyatakan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap
perubahan konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH tanah menjadi faktor pembatas
penyebaran dan populasinya. Menurut Budiarti dan Palungkun (1999), cacing
tanah memerlukan pakan atau media dengan pH antara 6,0 sampai 7,2 yaitu pH
dimana bakteri bekerja optimal. Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang
kurang sempurna, karena sedikitnya enzim pencernaan sehingga cacing tanah
memerlukan bantuan bakteri untuk meruba/memecahkan bahan makanan.
Aktivitas bakteri yang kurang dalam makanannya menyebabkan cacing tanah
kekurangan makanan dan akhirnya mati karena tidak ada yang membantu
mencerna senyawa karbohidrat dan protein. Namun bila makanan terlalu asam
sehingga aktivitas bakteri berlebihan maka akan menyebabkan terjadinya
pembengkakan tembolok cacing tanah dan berakhir dengan kematian pula.
Keadaan makanan atau lingkungan yang terlalu basah, mengakibatkan cacing
tanah kelihatan pucat dan kemudian mati. Pengaruh pH terhadap cacing tanah
juga dijelaskan dalam penelitian Syarif (2003), yang menyatakan bahwa jumlah
cacing tanah dapat menurun karena adanya perubahan ekstrim pH tanah.

B. Kelembaban Tanah

Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982), kelembaban sangat diperlukan untuk
menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan
merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk
kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati.
Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari

16
untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi
karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya
melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
cacing tanah adalah antara 15% sampai 30%.

Sebanyak 75-90 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah
penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum
berkisar antara 15-30 %) (Anas, 1990). Tubuh cacing mempunyai mekanisme
untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di
permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Edwards dan
Lofty (1977), menyatakan bahwa cacing yang terdehidrasi akan kehilangan
sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70-75 %
kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah
untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok.

C. Suhu Tanah

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
produksi kokon dan reproduksi cacing tanah. Simanjuntak dan Waluyo (1982),
menyatakan bahwa suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan
mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti pernafasan, pertumbuhan,
perkembangbiakan dan metabolisme. Suhu rendah menyebabkan kokon sulit
menetas. Suhu yang hangat (sedang) menyebabkan cepat menetas dan
pertumbuhan cacing tanah setra perkembangbiakannya akan berjalan sempurna.
Suhu yang baik antara 15oC-25oC. Suhu yang lebih tinggi dari 25oC masih baik
asalkan ada naungan yang cukup dan kelembaban yang optimal.

17
D. Bahan Organik Tanah

Bahan organik berfungsi sebagai pakan cacing tanah, bahan organik tersebut
berasal dari seresah daun, feses ternak dan tanaman atau hewan yang mati
(Budiarti dan Palungkun, 1992). Menurut Catalan (1981), cacing tanah menyukai
bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. Cacing
tanah tidak menyukai serasah daun yang mengandung tanin atau minyak seperti
daun cengkeh, pinus dan jeruk. Tanin bersifat toksik bagi cacing tanah. Hal ini
terlihat dari pengamatan peneliti bahwa tanah di bawah tumpukan serasah daun
cengkeh sama sekali tidak dijumpai adanya cacing tanah. Bahkan peneliti juga
mencoba menggali tanah samapi 30 cm namun cacing tanah tetap tidak berhasil
dijumpai. Catalan (1981), mengemukakan bahwa pertumbuhan dan laju
reproduksi cacing tanah sangat bergantung pada jenis dan jumlah pakan yang
dikonsumsinya.

2.5 Sistem Olah Tanah

Sistem olah tanah berperan penting dalam mempengaruhi populasi cacing tanah.
Perbedaan sistem olah tanah akan mempengaruhi tinggi rendahnya populasi
cacing tanah. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan lingkungan habitat
cacing tanah akibat sitem olah tanah yang diterapkan.

A. Olah Tanah Intensif (OTI)

Sistem olah tanah intensif (OTI) dilakukan dengan cara membajak atau
mencangkul tanah sebelum ditanami dan sisa-sisa dari tanaman sebelumnya
disingkirkan. Dalam jangka pendek, olah tanah ini dapat memperbaiki sifat fisik

18
tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah.
Penyebabnya adalah stuktur tanah yang terbentuk secara alami oleh penetrasi akar
dan aktifitas fauna tanah menjadi rusak akibat pengolahan tanah yang terlalu
sering dilakukan, mempercepat menurunnya kandungan bahan organik akibat
aerasi terlalu berlebihan, pengolahan tanah pada waktu penyiangan banyak
memutuskan akar tanaman yang dangkal dan meningkatnya kepadatan tanah pada
kedalaman 15-25 cm akibat penggunaan alat berat saat pengolahan tanah (Hakim,
dkk., 1986).

B. Olah Tanah Minimum (OTM)

Sistem olah tanah minimum (OTM) dilakukan dengan tidak mengolah tanah
secara mekanis, kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk menempatkan benih
agar cukup kontak dengan tanah. Prasyarat utama budidaya pertanian tanpa olah
tanah yaitu adanya mulsa yang berasal dari sisa-sisa tanaman musim sebelumnya.
Mulsa dibiarkan menutupi permukaan tanah untuk melindungi tanah dari benturan
langsung butiran hujan, disamping untuk menciptakan mikroklimat yang
mendukung pertumbuhan tanaman. Gulma dikendalikan dengan cara kimia
(herbisida) dan bersama-sama dengan sisa-sisa tanaman musiman sebelumnya,
biomassa dapat dimanfaatkan sebagai mulsa (Utomo, 2006).

19

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April 2012 – Juli 2012 pada lahan
pertanaman tebu di PT Gunung Madu Plantations (GMP), Lampung Tengah.
Analisis cacing tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan
analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
Unversitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu limbah padat pabrik gula yaitu
bagas, blotong, dan abu (BBA) dan perbandingannya dalam percobaan ini adalah
5:3:1, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCl, mustard, formalin, air, contoh tanah,
dan bahan-bahan lain untuk analisis C-organik dan pH tanah.

Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, sekop, label,
plastik, botol plastik, tali plastik, bambu, nampan, ember, gayung, meteran, patok
kayu, karung, pinset, tisu, timbangan elektrik, soil moisture tester (alat pengukur
kelembaban tanah), termometer tanah, dan alat-alat lain untuk analisis tanah.

20
3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan RAK dan disusun split plot dengan 5 kali
ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah, yang terdiri dari olah tanah
minimum (T0) dan olah tanah intensif (T1). Anak petak adalah aplikasi mulsa
bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (M0) dan mulsa bagas 80 tha-1 (M1).
Dengan demikian terbentuk 4 kombinasi perlakuan, yaitu:
T0M0 = olah tanah minimum + tanpa mulsa bagas
T0M1 = olah tanah minimum + mulsa bagas 80 t ha-1
T1M0 = olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas
T1M1 = olah tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1
Semua perlakuan diaplikasikan pupuk Urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP
200 kg ha-1, pupuk KCl 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA)
segar (5:3:1) 80 t ha-1.

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 1% dan 5%, yang
sebelumnya telah diuji homogenitas ragamnya dengan Uji Bartlett dan
aditivitasnya dengan Uji Tukey. Rata-rata nilai tengah diuji dengan uji BNT
pada taraf 1% dan 5%. Untuk mengetahui hubungan antara populasi dan
biomassa cacing tanah dengan C-organik, pH, kelembaban, dan suhu tanah
dilakukan uji korelasi.

21
3.4 Sejarah Pengelolaan Lahan di Plot Percobaan

Lahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan lahan pertanaman tebu yang
telah digunakan selama 35 tahun dan menggunakan sistem pengelolaan lahan
yang biasa diterapkan di PT GMP. Percobaan dilakukan dengan penggunaan dua
sistem olah tanah, yaitu olah tanah intensif dan olah tanah intensif, serta aplikasi
limbah padat pabrik gula jangka panjang dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2020. Penelitian ini merupakan penelitian pada musim tanam kedua.

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Pengelolaan Lahan

Lahan dibersihkan dan dibagi menjadi 20 petak percobaan berukuran masingmasing 25 m x 40 m dengan menandainya dengan tali, dan tidak memiliki jarak
pemisah antar petak percobaan.

Pada petak olah tanah intensif (OTI), tanah diolah sesuai dengan sistem
pengolahan tanah yang diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan,
yaitu yang pertama menggunakan bajak piringan yang berfungsi mencacah
tunggul tebu, memecah dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah kedua tetap
menggunakan bajak piringan, tetapi arah kerjanya tegak lurus dengan pengolahan
tanah pertama, berfungsi untuk menghaluskan tanah dan sekaligus untuk
mencacah ulang tunggul tebu. Pengolahan tanah yang ketiga menggunakan bajak
singkal yang berfungsi untuk membalikkan tanah bawahan ke atas dan sekaligus
memecahkan lapisan kedap air sehingga mendapatkan tanah yang mampu
mendukung perkembangan akar tanaman. Aplikasi BBA sebanyak 80 t ha-1

22
dilakukan pada saat pengolahan tanah II, yaitu dicampur atau diaduk dengan tanah
menggunaan traktor. Mulsa bagas diaplikasikan setelah penanaman tebu dengan
dosis 80 t/ha-1 untuk petak yang diperlakukan dengan mulsa bagas yang
diaplikasikan secara manual. Pada petak OTI, gulma dikendalikan secara manual
dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang
menggunakan mulsa bagas. Sedangkan untuk petak yang tidak menggunakan
mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.

Pada petak olah tanah minimum (OTM), tanah tidak diolah sama sekali.
Campuran bagas, blotong, dan abu (BBA) diaplikasikan dengan cara ditebar di
permukaan tanah dengan dosis 80 tha-1 bersamaan pada saat aplikasi BBA pada
petak OTI. Untuk plot yang diaplikasikan mulsa, mulsa bagas diaplikasikan
setelah tebu ditanam dengan dosis 80 t ha-1. Sama seperti petak OTI, gulma pada
petak OTM dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan
ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang menggunakan mulsa bagas. Sedangkan
untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang
dari petak percobaan.

Seluruh plot percobaan diaplikasikan pupuk sesuai dengan dosis yang biasa
diaplikasikan di PT GMP yaitu Urea 300 kg ha-1, TSP 200 kg ha-1, dan KCl 300
kg ha-1. Pengendalian gulma dilakukan secara manual, tidak menggunakan
herbisida, baik di petak OTI maupun OTM.

23

24
3.5.2 Pengambilan Sampel Cacing Tanah

Sampel cacing tanah diambil dengan membuat Monolith yang terletak tepat
ditengah-tengah disetiap plot percobaan (Susilo dan Karyanto, 2005). Sebelum
cacing dihitung, tanah seluas 50 cm x 50 cm ditandai dengan tali plastik kemudian
digali dengan kedalaman 20 cm. Secara hati-hati cacing tanah diamati dan
dihitung jumlahnya dengan menggunakan metode penghitungan dengan tangan
(hand sorting), yaitu dengan memisahkan cacing dari tanah satu persatu.
Selanjutnya setelah dicapai kedalaman 20 cm, lubang Monolith tadi disiram
dengan larutan mustard 0,175% sebanyak 1 L secara perlahan ke seluruh bagian
lubang. Selanjutnya ditunggu selama 5 menit dan dilihat kedalam lubang, apakah
ada cacing yang keluar dari dalam lubang Monolith. Setiap cacing tanah yang
didapat, dimasukkan ke dalam botol yang sudah diberi larutan formalin 4% dan
diberi label sesuai perlakuan. Setelah dibawa ke laboratorium, cacing tanah
dicuci dengan air bersih dan dimasukkan kembali ke dalam botol kecil tadi yang
berisi formalin 4% dan cacing tanah siap untuk dihitung jumlah populasinya,
biomassanya, dan siap untuk diidentifikasi (Susilo dan Karyanto, 2005).

25

26
Jenis-jenis cacing tanah yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan letak klitelum,
bentuk prostomium dan bentuk setae pada cacing tanah sesuai dengan metode dari
Blakemore (2002).

Gambar 4. Tata letak metode Monolith pada pertanaman tebu
Keterangan :

= Mono

Dokumen yang terkait

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP INFILTRASI TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI PT GUNUNG MADU PLATATIONS (GMP) LAMPUNG TENGAH

3 44 32

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KE-2

2 9 58

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 6 50

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

2 14 44

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS PADA LAHAN TEBU PT. GMP RATOON KE-3 TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH SERTA POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN MESOFAUNA TANAH

1 6 46

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KE-5

1 7 49

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP BIOMASSA KARBON MIKROORGANISMETANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMANTEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE-5

0 9 52

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 0 5

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KE-2

0 0 5

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP INFILTRASI PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KEDUA

0 0 7