Sindroma Stevens-Johnson

(1)

LAPORAN KASUS

SINDROMA STEVENS-JOHNSON

DERYNE ANGGIA PARAMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... 1

I. Pendahuluan ... 2

II. Laporan Kasus ... 3

III. Diskusi ... 7


(3)

I. PENDAHULUAN

Sindroma Stevens-Johnson (SJS) adalah kompleks hipersensitivitas yang diperantarai imun berupa reaksi mukokutaneus yang akut dan mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrolisis yang ekstensif dan lepasnya epidermis.1,2 Para ahli berpendapat bahwa SJS dan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN) adalah manifestasi yang berbeda dari penyakit yang sama. Untuk alasan itu banyak yang menggunakan istilah SJS/TEN.

Insidensi eritema multiforme, SJS dan TEN diperkirakan 1.8 kasus per 1 milyar orang pertahun untuk pasien berumur 20-64 tahun. Insidensi untuk pasien berumur kurang dari 20 thn dan 65 tahun atau lebih meningkat 7-9 kasus per 1 milyar orang pertahun.

2

3

Patofisiologi dari SJS masih belum jelas, namun sekarang telah ditetapkan bahwa obat merupakan faktor penyebab yang penting.

1

Para ahli berpendapat bahwa nekrosis epidermal yang terlihat pada SJS/TEN diperantarai dengan mengubah metabolisme obat karena adanya defisiensi pada mekanisme yang berhubungan dengan detoksifikasi metabolit perantara yang reaktif, seperti adanya genotip aselerator lambat yang predominan pada beberapa pasien. Beberapa mekanisme imunologis telah diketahui termasuk kerusakan melalui sel T sitotoksik CD8+ menyebabkan nekrosis epidermal melalui apoptosis pada keratinosit, juga tingginya konsentrasi sitokin pada pasien dengan TEN/SJS.4


(4)

SJS biasanya timbul 8 minggu setelah onset paparan obat. Hanya pada beberapa kasus dengan reaksi dan paparan sebelumnya dengan obat yang sama akan dapat muncul cepat dalam beberapa jam. Gejala nonspesifik akan dapat timbul seperti demam, sakit kepala, rinitis, batuk dan mialgia akan dapat mendahului keluhan pada kulit 1-3 hari sebelumnya.1,5 Erupsi pada kulit awalnya timbul pada wajah, batang tubuh atas dan ektremitas atas. Dan kemudian menyebar pada seluruh tubuh dengan pola yang iregular. Lesi awal berupa makula eritem dengan purpura yang berbentuk ireguler yang kemudian akan bergabung.1,5 Dan akan dapat membentuk lepuh pada bagian tengah nya. Pada SJS keterlibatan tubuh sebesar 10% sedangkan pada TEN akan terlibat 30%.5 Terdapat keterlibatan membran mukosa pada mukosa oral, mata dan genitalia. Membran mukosa oral menunjukkan pembentukan bula ekstensif diikuti dengan membran putih keabuan sehingga kemudian terbentuk krusta hemoragik pada mulut dan bibir. Pada mata akan terlihat ulserasi kornea dan synechiae konjungtiva.2,3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran ruam kulit, terutama jika ada riwayat terhadap faktor risiko dan obat yang dicurigai. Pemeriksaan dapat berupa biopsi dari lesi kulit dan pemeriksaan tanda Nikolsky yang positif.

Penatalaksanaan pada pasien SJS yang paling utama adalah penghentian obat yang dicurigai.

6

6

Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan bermanfaat pada pengobatan SJS. Pada penelitian klinis dan laboratorium terdapat adanya infeksi melalui pembuluh darah sehingga diperlukan antibiotik, organisme yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan spesies Enterobacter. Penggunaan kortikosteroid sistemik adalah kontroversial namun dapat berguna jika diberikan dengan dosis tinggi pada awal penyakit.2

II. LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, 52 thn, suku batak, dikonsulkan dari bagian Ilmu Penyakit Paru ke subbagian alergi poliklinik IKKK RSUP Haji Adam Malik pada tanggal 29/1/2011 dengan keluhan bibir pecah pecah dan luka, bintik bintik merah pada seluruh tubuh, dan lepuh lepuh yang kemudian mengelupas pada bagian kemaluan. Pada mata terdapat sekret purulen. Keluhan dialami pasien dalam 3 hari terakhir. Pasien sebelumnya telah didiagnosis sebagai penderita TB paru aktif kategori I yang telah diberikan regimen OAT (obat anti tuberkulosis) yang terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol yang dimulai pada tanggal 6/1/2011. Keluhan bibir pecah pecah dialami penderita sejak hari ke 20 meminum OAT


(5)

(25/1/2011) kemudian diikuti munculnya bercak kemerahan pada wajah yang meluas keseluruh tubuh dan pada kelamin timbul lepuh lepuh kecil.

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien lemah dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/mnt, pernafasan 24x/mnt, suhu tubuh 37.8⁰C. Pada pemeriksaan status dermatologis ditemukan konjugtiva hiperemis dan sekret purulen pada orbitalis. Mukosa bibir hiperemis, erosi, dan ditutupi krusta kehitaman sebagian pada regio oralis. Makula eritem, dan hiperpigmentasi, multipel, erosi pada regio fasialis. Makula eritem kehitaman multipel dengan bentuk tidak teratur, yang berkoalesensi dan mengalami deskuamasi, erosi pada regio torakalis, ekstremitas superior dan inferior sinistra et dekstra, regio trunkus. Bulla konfluens yang telah pecah pada regio genitalia (Gbr 1).


(6)

Gbr 1. Pasien ketika pertama sekali di konsulkan ke subbagian alergi

Pada pemeriksaan laboratorium didapati Hb 12,8 g/dl, leukosit 11.000 sel/mm3, LED 28 mm/jam, trombosit 252.000 sel/mm3

Pasien didiagnosis banding dengan sindroma stevens-johnson, toksik epidermal nekrolisis dan eritema multiforme. Diagnosis kerja sindroma stevens-johnson.

. Pada pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, KGD ad random berada dalam batas normal.

Pasien kemudian inap dan rawat bersama dengan bagian Ilmu Penyakit Paru. Oleh bagian Paru OAT telah dihentikan. Pasien kemudian di infus dengan IVFD RL 20 tetes/mnt, injeksi deksametason 5 mg/8 jam yang diturunkan secara bertahap, injeksi ceftriaxon 1 gr/24 jam, injeksi ranitidine 50 mg/12 jam. Dilakukan kompres terbuka pada daerah bibir dan genitalia dengan larutan NaCl fisiologis. Pada bibir diberikan terapi topikal triamsinolon asetonid 0,1% oral base 2x sehari.

Kontrol pasien hari ke-3, keadaan umum pasien membaik. Pada pemeriksaan dermatologi tidak dijumpai lesi baru. Konjungtiva tampak hiperemis pada regio orbita. Mukosa bibir hiperemis, dan ditutupi krusta kehitaman sebagian pada regio oralis. Makula eritem, dan hiperpigmentasi, multipel pada regio fasialis. Makula eritem kehitaman multipel dengan bentuk tidak teratur pada regio torakalis, ekstremitas superior dan inferior sinistra et dekstra, regio trunkus. Krusta pada regio genitalia (Gbr 2). Terapi diteruskan dan injeksi deksametason di turunkan menjadi 5 mg/12 jam. Pengobatan lainnya diteruskan.


(7)

Gbr 2. Kontrol pada hari ke-3

Kontrol pasien hari ke-5, keadaan umum pasien semakin baik, pada status dermatologi dijumpai makula hiperpigmentasi dan krusta, lesi eritematosa sudah berkurang. Terapi diteruskan dan injeksi deksametason diturunkan menjadi 5 mg/24 jam. Pada hari ke-6 pasien direncanakan untuk merubah pengobatan menjadi oral.

Pada hari ke-6, infus dihentikan dan obat injeksi dihentikan, injeksi deksametason diganti menjadi oral metil prednisolon 24 mg per hari sebanyak 6x4 mg (2-2-2 tab) direncanakan tappering off per 3 hari dan diberikan oral antasida 3x1 tablet.

Pada kontrol 2 minggu setelah keluar dari RS, tampak keadaan umum pasien baik. Pemeriksaan dermatologi dijumpai makula hiperpigmentasi multipel pada regio fasialis, ekstremitas inferior dan superior dekstra sinistra dan trunkus (Gbr 3). Metil prednisolon telah menjadi 1 x 4mg, dan obat lain telah dihentikan.


(8)

Gbr 3. Kontrol 2 minggu setelah keluar dari RS

Prognosis quo ad vitam dubia ad malam, quo ad funtionam dubia, quo ad sanationam dubia.

III. DISKUSI

Diagnosis pada sindroma stevens-johnson ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis bibir pecah pecah dan luka, bintik bintik merah pada seluruh tubuh, dan lepuh lepuh yang kemudian mengelupas pada bagian kemaluan. Pada mata terdapat sekret purulen. Keluhan dialami pasien dalam 3 hari terakhir. Keluhan bibir pecah pecah dialami penderita sejak hari ke 20 meminum OAT yang kemudian bercak kemerahan muncul diwajah lalu semakin meluas keseluruh tubuh dan pada kelamin timbul lepuh lepuh kecil. Kepustakaan menyebutkan pada riwayatnya erupsi muncul di wajah yang kemudian meluas keseluruh bagian tubuh dalam beberapa hari.1 Obat-obatan merupakan


(9)

etiologi yang paling utama dalam menyebabkan SJS, obat-obatan terutama antibiotik sulfa, kuinolon, antikonvulsan seperti fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin.6,7 Pada pasien dengan riwayat penggunaan OAT, obat yang dicurigai menyebabkan SJS dapat rifampisin atau isoniazid. Diketahui dari anamnesis bahwa keluhan bibir pecah dan ruam kemerahan pada seluruh tubuh dijumpai pada hari ke 20 pasien mengkonsumsi OAT, sesuai dengan kepustakaan SJS biasanya timbul setelah 4-30 hari setelah terpapar obat-obatan.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai fisik keadaan umum pasien lemah dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/mnt, pernafasan 24x/mnt, suhu tubuh 37.8⁰C. Sesuai dengan kepustakaan bahwa SJS pada awalnya akan dimulai dengan keadaan tubuh yang lemah dan demam.

1

5,7

Pada pemeriksaan dermatologi dijumpai konjugtiva hiperemis dan sekret purulen pada orbitalis. Sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan pada SJS akan dijumpai nyeri pada mata, keluarnya sekret dan rasa panas pada mata dan kemerahan (boodshot) pada mata.

6

Kemudian pada pasien dijumpai mukosa bibir hiperemis, erosi, dan ditutupi krusta kehitaman sebagian pada regio oralis. Makula eritem, dan hiperpigmentasi, multipel, erosi pada regio fasialis. Makula eritem kehitaman multipel dengan bentuk tidak teratur, yang berkoalesensi dan mengalami deskuamasi, erosi pada regio torakalis, ekstremitas superior dan inferior sinistra et dekstra, regio trunkus. Bulla konfluens yang telah pecah pada regio genitalia. Sesuai dengan gambaran klinis SJS yang terdiri dari ruam makula-papula, bulla dan pustul. Keterlibatan mukosa biasanya dijumpai pada mukosa oral, mata dan genitalia terutama pada pria.3

Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai Hb 12,8 g/dl, leukosit 11.000 sel/mm

3

, LED 28 mm/jam, trombosit 252.000 sel/mm3. Pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, KGD ad random berada dalam batas normal. Kepustakaan mengatakan bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk SJS, hitung sel darah putih akan dapat menunjukkan jumlah yang normal atau sedikit leukositosis. Meningkatnya sel darah putih dapat menunjukkan adanya kemungkinan infeksi bakteri yang bersamaan.

Pasien didiagnosis banding dengan sindroma stevens-johnson, toksik epidermal nekrolisis dan eritema multiforme. Dengan diagnosis kerja adalah sindroma stevens-johnson. Adanya gambaran klinis, etiologi dan mekanisme yang sama antara sindroma stevens johnson dan toksik epidermal nekrolisis membuat diagnosis yang dapat tumpang tindih antara keduanya. Namun 2 keadaan ini dapat dibedakan dengan luas keterlibatan tubuh, dimana pada SJS keterlibatan tubuh hanya 10%, sedangkan pada toksik epidermal nekrolisis keterlibatan


(10)

dan lepasnya epidermis lebih dari 30%.1,7 Pada pasien ini diagnosis SJS ditegakkan karena luas keterlibatan kulit hanya 10%. Pada eritema multiforme, sering dikaitkan dengan infeksi akut dan yang tersering adalah infeksi virus herpes simpleks, dan pada lesi terdapat gambaran lesi target berupa papul yang berbeda pada SJS dimana lesi targetnya berupa makula.

Penatalaksanaan SJS pada pasien ini adalah dengan rawat inap pasien hingga keadaan umum membaik dan pemberian infus IVFD RL 20 tts/mnt. Menurut kepustakaan, penatalaksanaan yang paling utama adalah penghentian dari obat yang dicurigai. Perawatan pasien dengan perhatian khusus diperlukan untuk stabilitas hemodinamik dan saluran nafas, status cairan serta perawatan luka dan nyeri.

1

2

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah injeksi dexametason 5 mg/8 jam, injeksi ceftriaxon 1 gr/24 jam dan injeksi ranitidine 50 mg/12 jam. Menurut kepustakaan, pengobatan SJS dapat diberikan kortikosteroid, namun sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Dalam beberapa studi pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat mencegah perluasan dari penyakit serta berfungsi mengendalikan inflamasi yang terjadi.1,2 Pemberian antibiotik ceftriaxon pada penderita dimaksudkan untuk pencegahan infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, namun pada pasien tanpa bukti infeksi sekunder juga bermanfaat untuk menghindari terjadinya infeksi pada saat proses pelepasan epidermis terjadi.

Prognosis pada pasien ini baik, dimana setelah perawatan di rumah sakit dan pemberian kortikosteroid didapati keadaan umum pasien membaik. Pasien dengan diagnosis TB paru kategori I harus tetap mendapat OAT lini pertama, sehingga pada pasien ini dengan kecurigaan adanya reaksi terhadap OAT yang diberikan, maka pilihan pengobatannya dapat berupa desensitisasi atau percobaan ulangan (re-challange) terhadap obat OAT satu persatu dengan berjarak.

1


(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine 7th

2. Parrillo Sj, Schraga ED. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Available from:

Ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 349-355

Last update:

25/5/2010

3. Breathnach SM. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach SM, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s Textbook of Dermatology 7th

4. Dalli RL, Kumar R, Kennedy P, eds. Toxic Epidermal Nerolysis/Stevenss-Johnson Syndrome: Current Trends in Management. ANZ J Surg 2007;77:671-676

Ed. Italy: Blackwell Publishing; 2004. p. 74.8-74.20

5. Schalock PC. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis. Available from:

12/2006

6. Vorvick LJ. Erythema Multiforme. Available from:

10/10/2010

7. Falodun O, Ogunbiyi A. Dermatological Emergencies: Current Trends in Mangement. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine 2006;4:2:15-21

8. Tan WC, et al. Two Years Review of Cutaneous Adverse Drug Reaction from First Line Anti-Tuberculous Drugs. Med J Malaysia 2007;62:2:143-146


(1)

Gbr 1. Pasien ketika pertama sekali di konsulkan ke subbagian alergi

Pada pemeriksaan laboratorium didapati Hb 12,8 g/dl, leukosit 11.000 sel/mm3, LED 28 mm/jam, trombosit 252.000 sel/mm3

Pasien didiagnosis banding dengan sindroma stevens-johnson, toksik epidermal nekrolisis dan eritema multiforme. Diagnosis kerja sindroma stevens-johnson.

. Pada pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, KGD ad random berada dalam batas normal.

Pasien kemudian inap dan rawat bersama dengan bagian Ilmu Penyakit Paru. Oleh bagian Paru OAT telah dihentikan. Pasien kemudian di infus dengan IVFD RL 20 tetes/mnt, injeksi deksametason 5 mg/8 jam yang diturunkan secara bertahap, injeksi ceftriaxon 1 gr/24 jam, injeksi ranitidine 50 mg/12 jam. Dilakukan kompres terbuka pada daerah bibir dan genitalia dengan larutan NaCl fisiologis. Pada bibir diberikan terapi topikal triamsinolon asetonid 0,1% oral base 2x sehari.

Kontrol pasien hari ke-3, keadaan umum pasien membaik. Pada pemeriksaan dermatologi tidak dijumpai lesi baru. Konjungtiva tampak hiperemis pada regio orbita. Mukosa bibir hiperemis, dan ditutupi krusta kehitaman sebagian pada regio oralis. Makula eritem, dan hiperpigmentasi, multipel pada regio fasialis. Makula eritem kehitaman multipel dengan bentuk tidak teratur pada regio torakalis, ekstremitas superior dan inferior sinistra et dekstra, regio trunkus. Krusta pada regio genitalia (Gbr 2). Terapi diteruskan dan injeksi deksametason di turunkan menjadi 5 mg/12 jam. Pengobatan lainnya diteruskan.


(2)

Gbr 2. Kontrol pada hari ke-3

Kontrol pasien hari ke-5, keadaan umum pasien semakin baik, pada status dermatologi dijumpai makula hiperpigmentasi dan krusta, lesi eritematosa sudah berkurang. Terapi diteruskan dan injeksi deksametason diturunkan menjadi 5 mg/24 jam. Pada hari ke-6 pasien direncanakan untuk merubah pengobatan menjadi oral.

Pada hari ke-6, infus dihentikan dan obat injeksi dihentikan, injeksi deksametason diganti menjadi oral metil prednisolon 24 mg per hari sebanyak 6x4 mg (2-2-2 tab) direncanakan tappering off per 3 hari dan diberikan oral antasida 3x1 tablet.

Pada kontrol 2 minggu setelah keluar dari RS, tampak keadaan umum pasien baik. Pemeriksaan dermatologi dijumpai makula hiperpigmentasi multipel pada regio fasialis, ekstremitas inferior dan superior dekstra sinistra dan trunkus (Gbr 3). Metil prednisolon telah menjadi 1 x 4mg, dan obat lain telah dihentikan.


(3)

Gbr 3. Kontrol 2 minggu setelah keluar dari RS

Prognosis quo ad vitam dubia ad malam, quo ad funtionam dubia, quo ad sanationam dubia.

III. DISKUSI

Diagnosis pada sindroma stevens-johnson ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Berdasarkan anamnesis bibir pecah pecah dan luka, bintik bintik merah pada seluruh tubuh, dan lepuh lepuh yang kemudian mengelupas pada bagian kemaluan. Pada mata terdapat sekret purulen. Keluhan dialami pasien dalam 3 hari terakhir. Keluhan bibir pecah pecah dialami penderita sejak hari ke 20 meminum OAT yang kemudian bercak kemerahan muncul diwajah lalu semakin meluas keseluruh tubuh dan pada kelamin timbul lepuh lepuh kecil. Kepustakaan menyebutkan pada riwayatnya erupsi muncul di wajah yang kemudian meluas keseluruh bagian tubuh dalam beberapa hari.1 Obat-obatan merupakan


(4)

etiologi yang paling utama dalam menyebabkan SJS, obat-obatan terutama antibiotik sulfa, kuinolon, antikonvulsan seperti fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin.6,7 Pada pasien dengan riwayat penggunaan OAT, obat yang dicurigai menyebabkan SJS dapat rifampisin atau isoniazid. Diketahui dari anamnesis bahwa keluhan bibir pecah dan ruam kemerahan pada seluruh tubuh dijumpai pada hari ke 20 pasien mengkonsumsi OAT, sesuai dengan kepustakaan SJS biasanya timbul setelah 4-30 hari setelah terpapar obat-obatan.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai fisik keadaan umum pasien lemah dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/mnt, pernafasan 24x/mnt, suhu tubuh 37.8⁰C. Sesuai dengan kepustakaan bahwa SJS pada awalnya akan dimulai dengan keadaan tubuh yang lemah dan demam.

1

5,7

Pada pemeriksaan dermatologi dijumpai konjugtiva hiperemis dan sekret purulen pada orbitalis. Sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan pada SJS akan dijumpai nyeri pada mata, keluarnya sekret dan rasa panas pada mata dan kemerahan (boodshot) pada mata.

6

Kemudian pada pasien dijumpai mukosa bibir hiperemis, erosi, dan ditutupi krusta kehitaman sebagian pada regio oralis. Makula eritem, dan hiperpigmentasi, multipel, erosi pada regio fasialis. Makula eritem kehitaman multipel dengan bentuk tidak teratur, yang berkoalesensi dan mengalami deskuamasi, erosi pada regio torakalis, ekstremitas superior dan inferior sinistra et dekstra, regio trunkus. Bulla konfluens yang telah pecah pada regio genitalia. Sesuai dengan gambaran klinis SJS yang terdiri dari ruam makula-papula, bulla dan pustul. Keterlibatan mukosa biasanya dijumpai pada mukosa oral, mata dan genitalia terutama pada pria.3

Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai Hb 12,8 g/dl, leukosit 11.000 sel/mm

3

, LED 28 mm/jam, trombosit 252.000 sel/mm3. Pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, KGD ad random berada dalam batas normal. Kepustakaan mengatakan bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk SJS, hitung sel darah putih akan dapat menunjukkan jumlah yang normal atau sedikit leukositosis. Meningkatnya sel darah putih dapat menunjukkan adanya kemungkinan infeksi bakteri yang bersamaan.

Pasien didiagnosis banding dengan sindroma stevens-johnson, toksik epidermal nekrolisis dan eritema multiforme. Dengan diagnosis kerja adalah sindroma stevens-johnson. Adanya gambaran klinis, etiologi dan mekanisme yang sama antara sindroma stevens johnson dan toksik epidermal nekrolisis membuat diagnosis yang dapat tumpang tindih antara keduanya. Namun 2 keadaan ini dapat dibedakan dengan luas keterlibatan tubuh, dimana pada SJS keterlibatan tubuh hanya 10%, sedangkan pada toksik epidermal nekrolisis keterlibatan


(5)

dan lepasnya epidermis lebih dari 30%.1,7 Pada pasien ini diagnosis SJS ditegakkan karena luas keterlibatan kulit hanya 10%. Pada eritema multiforme, sering dikaitkan dengan infeksi akut dan yang tersering adalah infeksi virus herpes simpleks, dan pada lesi terdapat gambaran lesi target berupa papul yang berbeda pada SJS dimana lesi targetnya berupa makula.

Penatalaksanaan SJS pada pasien ini adalah dengan rawat inap pasien hingga keadaan umum membaik dan pemberian infus IVFD RL 20 tts/mnt. Menurut kepustakaan, penatalaksanaan yang paling utama adalah penghentian dari obat yang dicurigai. Perawatan pasien dengan perhatian khusus diperlukan untuk stabilitas hemodinamik dan saluran nafas, status cairan serta perawatan luka dan nyeri.

1

2

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah injeksi dexametason 5 mg/8 jam, injeksi ceftriaxon 1 gr/24 jam dan injeksi ranitidine 50 mg/12 jam. Menurut kepustakaan, pengobatan SJS dapat diberikan kortikosteroid, namun sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Dalam beberapa studi pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat mencegah perluasan dari penyakit serta berfungsi mengendalikan inflamasi yang terjadi.1,2 Pemberian antibiotik ceftriaxon pada penderita dimaksudkan untuk pencegahan infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, namun pada pasien tanpa bukti infeksi sekunder juga bermanfaat untuk menghindari terjadinya infeksi pada saat proses pelepasan epidermis terjadi.

Prognosis pada pasien ini baik, dimana setelah perawatan di rumah sakit dan pemberian kortikosteroid didapati keadaan umum pasien membaik. Pasien dengan diagnosis TB paru kategori I harus tetap mendapat OAT lini pertama, sehingga pada pasien ini dengan kecurigaan adanya reaksi terhadap OAT yang diberikan, maka pilihan pengobatannya dapat berupa desensitisasi atau percobaan ulangan (re-challange) terhadap obat OAT satu persatu dengan berjarak.

1


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine 7th

2. Parrillo Sj, Schraga ED. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Available from:

Ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 349-355

Last update:

25/5/2010

3. Breathnach SM. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach SM, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s Textbook of Dermatology 7th

4. Dalli RL, Kumar R, Kennedy P, eds. Toxic Epidermal Nerolysis/Stevenss-Johnson Syndrome: Current Trends in Management. ANZ J Surg 2007;77:671-676

Ed. Italy: Blackwell Publishing; 2004. p. 74.8-74.20

5. Schalock PC. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis. Available from:

12/2006

6. Vorvick LJ. Erythema Multiforme. Available from:

10/10/2010

7. Falodun O, Ogunbiyi A. Dermatological Emergencies: Current Trends in Mangement. Annals of Ibadan Postgraduate Medicine 2006;4:2:15-21

8. Tan WC, et al. Two Years Review of Cutaneous Adverse Drug Reaction from First Line Anti-Tuberculous Drugs. Med J Malaysia 2007;62:2:143-146