Latar Belakang Masalah Perbedaan Ethnic Identity Antara Remaja Karo yang Lahir dan Besar di Bandung dan yang Lahir dan Besar di Sumatera Utara di Gereja "X" Bandung.

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau, sehingga dijuluki sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Pada tahun 2013 tercatat bahwa Indonesia memiliki 13.466 pulau dengan populasi sekitar 260 juta jiwa http:id.wikipedia.orgwikiIndonesia. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau tentu juga memiliki beragam budaya, ras, suku bangsa, bahasa, dan agama, yang menjadi salah satu keunikan dari Indonesia. Maka dari itu Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dimana artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menjadi suatu ciri khas Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indonesia kaya akan suku bangsa yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010 http:id.wikipedia.orgwikiSuku_bangsa_di_Indonesia. Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku Batak. Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan ke dalam suku Batak yaitu Batak Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Suku Karo merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku Universitas Kristen Maranatha terbesar di Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka tempati dataran tinggi Karo yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk pria, sedangkan untuk wanita disebut dengan beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama setiap orang Karo sebagai nama keluarga. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah: Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Merga diperoleh secara turun termurun dari pihak ayah paternal. Merga ayah juga merupakan merga anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Apabila pria memiliki merga yang sama, maka mereka disebut bersenina, demikian juga antara wanita yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga bersenina. Namun antara seorang pria dengan wanita yang memiliki merga yang sama, mereka disebut erturang, yang berarti mereka dilarang melakukan perkawinan karena bersaudara, kecuali pada merga Sembiring dan Perangin-angin. Ada yang dapat menikah dengan merga yang sama pada merga Sembiring dan Perangin-angin. Universitas Kristen Maranatha Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga, yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh kelengkapan hidup bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu garis keturunan merga atau keluarga Ertutur inti. Menurut Tarigan 2007, untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah ertutur ber-tutur. Ertutur adalah salah satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere marga ibu seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing- masing mereka kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo silsilah untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut. Setiap orang yang bertemu dengan orang Karo atau menetap dan tinggal di masyarakat Karo, atau menikah dengan orang Karo dari suku lain, untuk dapat membangun kekerabatan melalui proses ertutur ini akan dianugerahi atau diberikan beru atau marga tertentu. Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan orang Karo lainnya melalui ertutur ini, maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah rakut sitelu ikatan yang tiga. Kemudian orang Karo juga mengenal istilah tutur siwaluh yang sebenarnya kurang tepat artinya, dimana tutur itu ada 23. Sedangkan yang disebut Universitas Kristen Maranatha waluh delapan adalah sangkep nggeluh. Jadi sebenarnya sanggep nggeluh si waluh delapan kelengkapan hidup, yang merupakan pengembangan fungsi rakut sitelu. Sanggep nggeluh si waluh antara lain adalah: pertama, pengembangan dari kalimbubu adalah puang kalimbubu dan kalimbubu. Kedua, pengembangan dari senina adalah senina, sembuyak, dan senina sepemeren, serta senina siparibanen. Ketiga, pengembangan dari anak beru adalah anak beru dan anak beru menteri. Budaya ertutur ini merupakan salah satu bentuk pengungkapan identitas Karo. Seseorang akan dikenal dengan baik kalau ia mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekerabatan dalam ikatan keluarganya. Di samping itu, ia mampu mengenali margaberunya dan bere-berenya sehingga ketika melakukan perkenalan dengan orang lain, ia dapat memposisikan dirinya. Menurut Tarigan 2007, pada saat melakukan penelitian dengan remaja di gereja, ketika proses ertutur ini dilakukan antara satu orang dengan yang lain, yang baru pertama kali bertemu, secara cepat dan spontan salah satu atau kedua-duanya dari mereka mengatakan “Aku enggak bisa ertutur”. Ini menandakan betapa perhatian terhadap hal-hal paling kecil, paling mendasar dalam identitas ke-karo-an sudah tidak terlalu dipahami lagi. Ini merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa bentukan identitas yang diinginkan oleh sebagian besar generasi muda bukanlah identitas yang kaku, rumit, dan tidak populer seperti “identitas kekaroan”. Padahal salah satu kekhasan orang Karo adalah pada proses ertutur itu sendiri Tarigan, 2007. Sejak dulu masyarakat Karo telah menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan yang kental. Hal tersebut dapat dilihat dari jiwa kegotong- Universitas Kristen Maranatha royongannya dalam membangun rumah adat dan lingkungan sekitar mereka. Selain itu, dapat dilihat juga dari sistem pertanian yang dikenal dengan aron. Delapan atau dua belas orang berkumpul secara bergiliran mengerjakan ladang, mulai dari penanaman hingga panen. Selain itu hubungan kekerabatan itu dapat dilihat dari kade-kade. Kade-kade adalah sebutan untuk saudara pada etnis Karo. Berkunjung atau mengunjungi saudara lain merupakan hal yang penting pada etnis Karo. Meskipun saudara dekat jarang atau bahkan tidak pernah mengunjungi saudaranya yang lain, maka orang tersebut tidak akan dihargai. Tetapi apabila saudara jauh sering menunjungi saudara lainnya, maka orang tersebut akan lebih dihargai. Maka dari itu berkunjung merupakan hal yang perlu dilakukan dalam masyarakat etnis Karo. Masyarakat Karo juga biasa untuk bermusyawarahmufakat dalam mengambil keputusan, baik saat terjadi perselisihan maupun saat ingin mengadakan pesta adat, yang dikenal dengan runggu. Ripe juga merupakan salah satu praktik kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana setiap orang yang menimpa kesusahan atau kemalangan yang menimbulkan utang atau tidak cukup lagi persediaan beras. Pada umumnya masyarakat Karo akan berpartisipasi memberikan bantuan Gintings, 1989. Setiap orang Karo mampu menumbuhkan pikiran untuk berlomba atau ingin melebihi prestasi orang lain, terutama terhadap teman sepermainan atau satu kelompok kekerabatan. Hal ini tentunya positif bila dilakukan dengan jujur dan sportif, bila usaha tersebut tidak tercapai dapat pula menimbulkan hal yang negatif dengan tumbuhnya rasa cian dengki terhadap orang yang menjadi saingannya. Universitas Kristen Maranatha Jadi sifat cian dengki dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama bersifat positif selama seseorang tersebut menggunakannya dalam kategori bekerja keras untuk melebihi keberhasilan orang lain. Sedangkan sisi lain, bersifat negatif apabila rasa cian dengki mengarah pada perbuatan destruktif, dimana seseorang dapat melakukan segala cara untuk menyudutkan orang lain sebagai kompensasi dari ketidakmampuannya dalam bersaing Gintings, 1989. Selain itu, keterlibatan masyarakat Karo dalam hal tari adat yang dilakukan dalam upacara adat seperti memasuki rumah baru, upacara perkawinan, serta kematian. Pada umumnya yang menari adalah orang tua atau yang sudah berumah tangga. Mereka menari bersama-sama menurut aturan tertentu dalam ruang lingkup kekerabatan kekeluargaan, misalnya orang-orang yang sudah berumah tangga yang memiliki peran sebagai kalimbubu dalam pesta tersebut diberikan kesempatan pertama kali untuk menari, selanjutnya orang-orang yang beperan sebagai senina, dan yang terakhir orang-orang yang berperan sebagai anak beru. Sedangkan tarian untuk muda-mudi disebut guro-guro aron. Tarian- tarian tersebut akan diiringi oleh alat musik khas etnik Karo serta lagu-lagu yang dengan tema tertentu sesuai acara adat yang dilaksanakan Gintings, 1989. Saat menari, orang-orang Karo akan menggunakan pakaian khas etnis Karo. Mereka biasanya menggunakan kain-kain Karo seperti ragi buluh, langge-langge, julu, atau uis gara yang juga banyak dipergunakan saat upacara kebesaran ataupun pesta-pesta adat. Nilai-nilai dalam pakaian tersebut menunjukkan eksistensi sebagai orang Karo Gintings, 1989. Universitas Kristen Maranatha Hal lain yang menunjukkan orang-orang Karo memiliki keterlibatan terhadap kegiatan kelompok etnisnya adalah bahasa. Bahasa merupakan salah satu unsur penting untuk menunjukkan identitas seorang Batak Karo. Ada beberapa kata tertentu yang tidak boleh diucapkan pada setiap orang sebagai kata ganti dan kalau diucapkan disebut sumbang pengerana atau „larangan bicara‟. Misalnya kata kam atau engko yang artinya „kamu‟. Kata kerja „minta‟ dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Karo menjadi dua kata yaitu endo dan enta. Kata endo dan engko tidak bisa diucapkan untuk semua orang sebab ada aturan penggunaannya. Misalnya kata kam dan enta biasanya digunakan kepada orang yang lebih tua, orang yang baru dikenal serta menunjukkan makna hormat dan rasa keakraban, sedangka engko dan endo biasanya digunakan untuk orang yang lebih mudah, sepantaran, atau orang yang sudah dikenal dengan dekat Gintings, 1989. Selain di Tanah Karo, daerah-daerah yang dihuni oleh suku Karo adalah Simalungun, Aceh, Langkat, Deli, Tapanuli, dan Serdang. Dengan demikian, dapat disebut bahwa Orang Karo mendiami wilayah sangat luas, khususnya di daerah Sumatera Utara dan beberapa wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Seiring berjalannya waktu, peradaban suku Karo pun menyebar, bukan hanya di daerah Sumatera saja, tapi meluas sampai ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan juga Papua. Keberadaan suku Karo di daerah tersebut adalah sebagai pribumi atau pembuka beradaban civilization dan akhirnya berakulturasi dengan para pendatang lainnya sehingga membentuk budaya baru. Budaya baru Universitas Kristen Maranatha dalam artian terdapat beberapa perbedaan dalam budaya dan istiadat antara suku Karo dalam satu wilayah yang berbeda. Etnis Karo memiliki budaya yang khas dan seharusnya masyarakat Karo mengetahui mengenai adatnya sendiri. Budaya dipertahankan sebagai identitas suatu daerah secara turun menurun. Identitas suatu suku bangsa yang dimiliki oleh anggota suku bangsanya disebut ethnic identity. Ethnic identity didefinisikan sebagai komponen dari identitas sosial dan bagian dari konsep diri individu yang diturunkan dari pengetahuannya atas keanggotaan dirinya dalam suatu kelompok atau kelompok-kelompok sosial, beserta nilai-nilai dan signifikansi emosional yang terkait keanggotaan tersebut. Terbentuknya ethnic identity didasarkan atas dua dimensi yang ada di dalam diri individu, yaitu komitmen dan eskplorasi. Dimensi eksplorasi merupakan suatu periode perkembangan identitas dimana seseorang memilih dari sekian pilihan yang tersedia dan berarti dan pada akhirnya mengembangkan dan mencari tahu bahkan terjun dalam pilihannya. Dimensi komitmen yaitu bagian dari perkembangan identitas dimana seseorang menunjukkan investasi pribadi atau ketertarikan pada apa yang akan mereka pilih dan apa yang mereka lakukan Phinney, 1989, dalam Organista, Pamela Balls., Kevin M. Chun., Gerardo Marin, 1998. Gereja “X” di kota Bandung merupakan sebuah gereja kesukuan untuk Suku Karo dan masih memegang erat budaya Karo . Gereja “X” juga tetap melaksanakan budaya Karo seperti menggunakan bahasa Karo dan melakukan kegiatan adat Karo pada saat-saat tertentu. Selain menjadi tempat ibadah bagi para umat Kristen Protestan, Gereja “X” juga sebagai tempat berkumpul bersama Universitas Kristen Maranatha sesama etnis Karo. Karen a Gereja “X” merupakan tempat ibadah etnis Karo yang ada di Bandung, maka mayoritas masyarakat etnis Karo bergereja di Gereja “X”. Salah satu yang bergereja di Gereja “X” adalah para remaja. Remaja yang pada umumnya beribadah di Gereja “X” ada yang berasal dari luar kota, seperti Sumatera Utara dan yang berasal dari Bandung. Remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung maupun yang lahir dan besar di Sumatera Utara di Gereja “X” Bandung dapat dikategorikan sebagai remaja akhir. Masa remaja akhir adalah suatu periode dalam rentang kehidupannya saat untuk pertama kalinya seseorang mencapai kematangan atas banyaknya identitas Marcia, 1993. Berkaitan dengan ini Waterman dalam Marcia, 1993 menyatakan hipotesis dasar perkembangan identitas dengan rumusan “transisi dari masa remaja menjadi dewasa melibatkan menguatnya pemahaman tentang identitas secara progresif”. Masa transisi ini berlangsung dalam proses eksplorasi atau pencarian identitas-identitasnya dan berujung pada komitmen atau tanggung jawab terhadap pilihan identitasnya tersebut. Individu yang memasuki tahap remaja akhir sudah dapat mengethaui etnisitas mereka, namun masalah yang muncul lebih terarah pada label seperti apa yang mereka pilih untuk mereka sendiri Phinney, 1992. Remaja yang lahir dan besar di Sumatera Utara tinggal di daerah yang berdekatan dengan Tanah Karo yang merupakan asal dari Suku Karo. Mayoritas masyarakat Karo juga masih memegang kuat budaya Karo dan melaksanakan adat istiadat Karo, sehingga hal ini dapat menjadi sarana untuk remaja Karo yang lahir dan besar di Sumatera Utara untuk mengetahui dan mempelajari budayanya. Universitas Kristen Maranatha Sementara remaja yang lahir dan besar di Bandung sudah berada jauh dari Tanah Karo yang merupakan asal dari suku Karo. Etnis mayoritas di Bandung adalah Sunda dan etnis Karo merupakan etnis minoritas, sehingga budaya karo di Bandung dapat dikatan lemah. Meskipun adanya heterogenitas budaya yang ada di Bandung remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung maupun yang lahir dan besar di Sumatera Utara di Gereja “X” Bandung harus bisa menyesuaikan diri dengan keberagaman tersebut dan diharapkan tetap memegang budaya Karo. Remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung maupun yang lahir dan besar di Sumatera Utara di Gereja “X” Bandung sering melakukan kegiatan- kegitan yang berhubungan dengan budaya Karo di saat-saat tertentu, misalnya seperti acara perayaan hari besar di Karo. Ada remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung maupun yang lahir dan besar di Sumatera Utara di Gereja “X” Bandung sering ikut untuk berpartisipasi, ada juga yang tidak dan memilih untuk melakukan hal lain. Peneliti pun melakukan survey awal dengan mewawancarai 20 orang remaja Karo yang 10 diantaranya merupakan remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung, dan sisanya merupakan remaja Karo yang lahir dan besar di Sumatera Utara. Dari hasil wawancara kepada 10 remaja Karo yang lahir dan besar di Bandung, didapatkan bahwa ada sebanyak 60 remaja yang memakai merga atau beru di belakang nama mereka, sedangkan sisanya sebanyak 40 mengatakan bahwa mereka tidak memakai merga atau beru dibelakang nama mereka dan hanya menyebutkan merga atau beru mereka pada saat orang bertanya. Mereka mengatakan bahwa merga atau beru mereka sudah tertera di akte lahir dan Universitas Kristen Maranatha disetiap identitas mereka sehingga mereka menggunakan merga mereka. Sisanya mengatakan bahwa mereka hanya menggunakan merga dan beru di akte lahir saja, sedangkan di tanda identitas yang lain, seperti rapot sekolah, ijazah, dan lainnya mereka tidak menggunakannya. Selain itu didapat juga bahwa sebanyak 80 remaja jarang bertanya mengenai suku mereka dan orang tua mereka jarang menceritakan mengenai suku mereka. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka jarang menanyakan tentang adat istiadat, tutur, dan budaya Karo kepada orang tua mereka. Sedangkan sebanyak 20 mengatakan bahwa mereka sering bertanya mengenai sukunya dan orang tuanya sering membicarakan mengenai suku mereka. Mereka mengatakan apabila mereka tidak tahu mengenai bagaimana cara memanggil seseorang atau tutur, mereka akan bertanya kepada orang tua mereka. Sebanyak 80 mengatakan bahwa mereka tidak lancar berbahasa Karo dan hanya dapat mengucapkan beberapa kata. Pada saat berkumpul dengan orang- orang suku Karo, sebagian besar mengatakan mereka lebih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Karo karena mereka tidak bisa berbicara bahasa Karo dan hanya dapat mengucapkan beberapa kata. Mereka juga dapat mengerti beberapa patah kata saat orang lain berbicara. Sedangkan sisanya sebanyak 20 mengatakan bahwa mereka dapat berbahasa Karo dan mengerti pada saat orang lain berbicara bahasa karo. Mereka mengatakan bahwa mereka lancar berbicara bahasa Karo jika bertemu dengan orang seetnis karena mereka kadang-kadang berbicara bahasa Karo dengan orang tua mereka dan diajari oleh orang tua mereka. Universitas Kristen Maranatha Sebanyak 70 remaja mengatakan bahwa mereka jarang mengikuti kegiatan adat. Sebagian besar mengatakan apabila mereka memiliki kegiatan lain yang bersamaan dengan hari kegiatan adat, mereka akan lebih memilih kegiatan lain karena mereka menganggap kegiatan adat agak sedikit membosankan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka mengikuti kegitan adat karena orang tua mereka menyuruh mereka untuk ikut. Sedangkan sisanya 30 mengatakan bahwa mereka sering mengikuti acara adat baik yang dilaksanakan di Bandung ataupun di kampung mereka, seperti kerja tahunan, guro-guro aron, dan acara adat pernikahan. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengikuti kegiatan adat karena mereka tertarik dengan kegiatan adat Karo. Sebanyak 70 mengatakan bahwa mereka tidak memiliki teman yang bersuku Karo diluar dari gereja. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka lebih banyak memiliki teman dari suku lain, misalnya Jawa, Sunda, dan Tionghoa. Sedangkan 30 lainnya mengatakan bahwa mereka memiliki teman yang bersuku Karo di luar gereja. Di sekitar mereka jarang orang bersuku Karo kecuali yang ada di gereja. Mereka mengatakan memiliki teman bersuku Karo karena mereka mengikuti organisasi yang berhubungan dengan budaya Karo. Dari wawancara dengan remaja yang lahir dan besar di Sumatera Utara didapatkan ada sebanyak 100 dari mereka memakai merga atau beru di belakang nama mereka. Orang tua mereka mencantumkan merga atau beru mereka di belakang nama anak-anaknya sejak lahir. Remaja suku Karo juga menggunakan marga dan beru mereka di setiap tanda identitas dan ijazah. Universitas Kristen Maranatha Sebanyak 50 remaja mengatakan bahwa mereka sering bertanya kepada orang tua mereka mengenai adat dan orang tua mereka juga sering membicarakan tentang adat kepada mereka, sedangkan 50 lainnya mengatakan bahwa mereka jarang menanyakan tentang adat mereka dan orang tua jarang membicarakan tentang adat mereka. Sebanyak 50 mengatakan bahwa mereka dapat berbicara bahasa Karo dengan lancar, sebanyak 50 mengatakan bahwa mereka tidak begitu lancar berbahasa Karo, tetapi dapat mengerti apabila orang lain berbicara, sedangkan sisanya mengatakan bahwa mereka tidak dapat berbicara bahawa Karo. Pada saat berkumpul dengan anggota etnis Karo, sebagian dari mereka dapat berbicara bahasa Karo dengan lancar karena di rumah mereka berbicara bahasa Karo dengan orang tua mereka. Sisanya mengatakan bahwa mereka jarang menggunakan bahasa Karo dan memilih menggunakan bahasa Indonesia, tetapi mereka masih dapat mengerti saat orang lain berbicara bahasa Karo. Sebanyak 60 remaja mengatakan bahwa mereka sering mengikuti acara adat Karo seperti guro-guro aron dan pernikahan, sedangkan 40 mengatakan jarang mengikuti kegiatan adat. Mereka ikut bersama orang tua mereka ke acara- acara adat yang diselenggarakannya baik di kotanya maupun di Bandung. Sebanyak 100 remaja mengatakan bahwa mereka memiliki teman yang bersuku Karo diluar dari lingkungan gereja. Mereka memiliki teman sekolah dan kuliah yang merupakan suku Karo. Universitas Kristen Maranatha Melihat penjabaran yang diatas, maka kajian ethnic identity menjadi topik yang menarik untuk di teliti terutama untuk melihat perbedaan ethnic identity pada remaja yang lahir dan besar di Bandung dan yang lahir dan besar di Sumatera Utara . Peneliti pun tertarik untuk meneliti “Perbedaan Ethnic Identity antara Remaja Karo yang Lahir dan Besar di Bandung dan yang Lahir dan Besar di Sumatera Utara di Gereja “X” Bandung”.

1.2 Identifikasi Masalah