Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013

PERHITUNGAN PERKIRAAN KERUGIAN EKONOMI
AKIBAT KASUS KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
KERACUNAN PANGAN TAHUN 2013

GHITA DWI KARTIKA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perhitungan Perkiraan
Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan
Tahun 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari para pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015

Ghita Dwi Kartika
NIM F24100041

ABSTRAK
GHITA DWI KARTIKA. Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat
Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013. Dibimbing
oleh DEDI FARDIAZ, WINIATI P. RAHAYU, dan RUKI FANAIKE.
Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan permasalahan
keamanan pangan yang masih banyak terjadi di Indonesia. Kejadian luar biasa
(KLB) keracunan pangan yang terjadi setiap tahunnya secara langsung maupun
tidak langsung mengakibatkan kerugian yang dialami oleh banyak pihak. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perkiraan besarnya kerugian ekonomi
akibat KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013. Hal ini akan sangat
berguna untuk para pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang berusaha
menyelesaikan masalah KLB keracunan pangan. Perhitungan dilakukan dengan
menggunakan persamaan yang diperoleh dari hasil studi literatur dan

pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Data kasus KLB keracunan
pangan yang digunakan adalah data BPOM tahun 2013, yang meliputi 48 kasus
KLB, 1 690 orang sakit, dan 12 orang meninggal. Besar kerugian ekonomi akibat
kasus KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.2
triliun rupiah. Nilai kerugian yang cukup besar ini menunjukkan tindakan
pengawasan keamanan pangan perlu ditingkatkan.
Kata kunci: KLB, keracunan pangan, kerugian ekonomi, keamanan pangan.

ABSTRACT
GHITA DWI KARTIKA. Calculation of Economic Losses Estimation Due to
Food Poisoning Outbreaks in 2013. Supervised by DEDI FARDIAZ, WINIATI P.
RAHAYU, dan RUKI FANAIKE.
Food poisoning outbreaks is a food safety problem that still occurred
frequently in Indonesia. Food poisoning outbreaks that occur every year directly
or indirectly resulted in losses experienced by many parties. The purpose of this
research is to find the approximate economic losses due to food poisoning
outbreaks in Indonesia in 2013. This will be very useful for policy makers and
parties that are trying to resolve this food poisoning outbreaks problem. The
calculation was done by using the equation obtained from the result of literature
study and data collection both primary and secondary. Data of food poisoning

outbreaks cases used was from BPOM in year 2013, which includes 48 outbreaks,
1 690 sickness, and 12 deaths. The value of economic losses due to food
poisoning outbreaks in Indonesia in 2013 was estimated at 1.2 trillion rupiah. The
high cost of these economic losses suggests that additional efforts of food safety
control might be warranted.
Keywords: outbreaks, food poisoning, economic losses, food safety.

PERHITUNGAN PERKIRAAN KERUGIAN EKONOMI
AKIBAT KASUS KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
KERACUNAN PANGAN TAHUN 2013

GHITA DWI KARTIKA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian
Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013
Nama
: Ghita Dwi Kartika
NIM
: F24100041

Disetujui oleh

Prof. Dr. Dedi Fardiaz, M.Sc
Pembimbing I

Prof. Dr. Winiati P. Rahayu
Pembimbing II


Ruki Fanaike, STP
Pembimbing III

Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Perhitungan
Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB)
Keracunan Pangan Tahun 2013” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan
dari bulan Maret 2014 sampai Desember 2014. Skripsi ini disusun sebagai hasil
dari kegiatan magang di Badan POM RI.
Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Dedi Fardiaz, ibu Prof. Dr. Winiati P.
Rahayu; ibu Ruki Fanaike, STP; ibu Ima Ananda, SP; ibu Eva Yuliana Fitri, S.Si;
ibu Citra Prasetyawati, S.Farm, Apt, M.Sc; dan ibu Rina Puspitasari, STP, M.Sc

yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan penyelesaian tugas akhir.
Terima kasih juga kepada mbak Wiwin, mbak Sarli, kak Dika, kak Jian, dan
seluruh tim Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM
RI, serta teman-teman magang di Badan POM RI (Adiguna, Anjani, Irma, Nizza,
Nurul, Rita, dan Zacky) yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama
proses penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak,
mama, mbak Tyas, Tamma, atas do’a dan dukungan yang telah diberikan.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2015
Ghita Dwi Kartika

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Studi Literatur Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus
KLB Keracunan Pangan

2

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

3

Pengolahan Data Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus
KLB Keracunan Pangan di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

3
3

Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan
Pangan di Indonesia

3

Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan
Pangan di Indonesia tahun 2013
SIMPULAN DAN SARAN

5
17

Simpulan

17


Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan di Indonesia
2 Penanganan korban keracunan pangan dan biayanya
3 Jumlah korban kasus KLB keracunan pangan dan rata-rata lama rawat
4 Tindakan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dan biayanya
5 Sumber makanan penyebab kasus KLB keracunan pangan tahun 2013

6 Perkiraan kerugian industri pangan akibat kasus KLB keracunan
pangan
7 Data yang digunakan untuk perhitungan perkiraan kerugian ekonomi
akibat KLB keracunan pangan dengan persamaan ELFPO
8 Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan
pangan tahun 2013
9 Kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan

4
6
7
11
12
13
14
15
16

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan salah satu
permasalahan keamanan pangan yang menjadi keprihatinan di tingkat nasional
maupun global. Menurut Permenkes (2013) KLB keracunan pangan adalah suatu
kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala
yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan
analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.
Kesadaran masyarakat di Indonesia akan keamanan pangan dirasa masih sangat
kurang. Semua pihak yang berhubungan dengan produksi pangan harus dapat
menjamin pangan yang sampai kepada konsumen benar-benar aman. Penerapan
dan pengembangan praktik-praktik yang baik dalam penanganan dan pengolahan
pangan seperti GAP (Good Agricultural Practices), GHP (Good Handling
Pactices), GMP (Good Manufacturing Practices), dan GT/DP (Good
Transportation/Distribution Practices) menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Kasus KLB keracunan pangan yang terjadi setiap tahunnya secara langsung
maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian yang dialami oleh banyak pihak.
Kerugian yang dimaksud merupakan kerugian ekonomi yang menjadi beban yang
harus ditanggung oleh masyarakat apabila terjadi KLB keracunan pangan
(Frenzen et al. 2005). Maka dari itu, perkiraan besar kerugian ekonomi yang
akurat akibat KLB keracunan pangan akan sangat berguna untuk para pembuat
kebijakan dan pihak-pihak yang berusaha menyelesaikan masalah KLB keracunan
pangan (Scharff 2012). Pada akhirnya diharapkan KLB keracunan pangan yang
masih banyak terjadi di Indonesia dapat segera diatasi dengan adanya kebijakankebijakan yang tepat dan efektif untuk menanggulangi permasalahan KLB
keracunan pangan.

Perumusan Masalah
Kasus KLB keracunan pangan di Indonesia masih menjadi salah satu
masalah di bidang keamanan pangan yang memerlukan perhatian khusus.
Kerugian yang diakibatkan oleh kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di
Indonesia diperkirakan akan dialami oleh pihak rumah tangga, pemerintah, dan
industri. Pengembangan metode perhitungan kasus KLB keracunan pangan sudah
pernah dilakukan oleh Badan POM pada tahun 2007. Seiring dengan
perkembangan waktu, variabel yang digunakan pada perhitungan tersebut sudah
tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Karena itu, diperlukan analisis untuk
menentukan komponen perhitungan yang menjadi variabel dalam persamaan
perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang lebih
akurat. Penentuan tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis perhitungan
kerugian ekonomi akibat kasus keracunan pangan yang telah dilakukan oleh
negara lain, serta mengumpulkan data primer dan sekunder yang ada di Indonesia.
Dengan demikian, komponen perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan yang terjadi di Indonesia dapat ditentukan dan dapat dihitung
besar kerugiannya.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkiraan kerugian ekonomi
akibat KLB keracunan pangan pada tahun 2013 yang terjadi di Indonesia,
termasuk kerugian yang dialami oleh individu yang sakit, pihak pemerintah, dan
pihak industri.

Manfaat Penelitian
Perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan ini akan
membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan dan pengendalian
keamanan pangan dalam proses pengambilan kebijakan. Hasil penelitian ini
diharapkan akan berdampak juga pada peningkatan kesehatan masyarakat sebagai
konsumen dan perbaikan praktik produksi dan distribusi pangan.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup analisis pendekatan perhitungan kerugian ekonomi
akibat kasus KLB keracunan pangan yang terdapat di dalam Laporan Kajian
Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan
Pangan di Indonesia (BPOM 2014). Data yang digunakan diperoleh dari
pengumpulan data sekunder dari Badan POM dan data primer melalui permintaan
data ke rumah sakit, wawancara dengan dokter, dan pihak tempat pemakaman
umum (TPU) daerah, serta survei ke instansi pemerintah dan perusahaan pangan.

METODE
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) studi literatur pendekatan
perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan, (2)
pengumpulan data primer dan sekunder, (3) pengolahan data perhitungan
perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia
berdasarkan data tahun 2013. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
1. Studi Literatur Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat
Kasus KLB Keracunan Pangan
Studi literatur dilakukan terhadap kajian terkait kerugian ekonomi akibat
keracunan pangan yang dimiliki oleh negara-negara maju, seperti Belanda,
New Zealand, dan Australia. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap setiap
komponen persamaan yang terdapat pada persamaan tersebut. Analisis
dilakukan dengan mengacu pada sumber literatur yang digunakan.

3
Mulai

Studi literatur pendekatan perhitungan
kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan

Pengumpulan data primer dan sekunder

Pengolahan data perhitungan perkiraan
kerugian ekonomi akibat KLB keracunan
pangan di Indonesia tahun 2013
Gambar 1 Tahap-tahap pelaksanaan penelitian perhitungan perkiraan kerugian
ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia
2. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan untuk memperoleh
data dari setiap variabel yang ada di dalam persamaan. Data sekunder diperoleh
dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI,
yang mencakup data kasus KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2013.
Sementara data primer diperoleh melalui 3 cara, yaitu melalui surat permintaan
data, kuesioner, dan wawancara. Ketiga kegiatan ini dilakukan kepada pihakpihak yang terkait dengan KLB keracunan pangan, yaitu fasilitas pelayanan
kesehatan rumah sakit dan dokter, Dinas Kesehatan Daerah, tempat
pemakaman umum (TPU) daerah, serta pada perusahaan pangan.
3. Pengolahan Data Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat
Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia
Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan
pangan ini dilakukan dengan menggunakan data kasus KLB tahun 2013. Hasil
perhitungan ini menjadi perkiraan besarnya kerugian ekonomi per tahun akibat
kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat
Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia
Pendekatan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan
pangan yang dianalisis dalam penelitian ini berdasarkan pendekatan yang
digunakan oleh Badan POM di dalam Laporan Kajian Estimasi Kerugian
Ekonomi Akibat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia

4
(BPOM 2014). Pendekatan tersebut berupa suatu persamaan yang disebut ELFPO
atau Economic Losses of Food Poisoning Outbreaks. Berdasarkan hasil studi
literatur, perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan
terdiri dari 3 bagian, yaitu biaya kesehatan langsung (Direct Health-care
Cost/DHC), biaya non-kesehatan langsung (Direct Non-health-care Cost/DNHC),
dan biaya non-kesehatan tidak langsung (Indirect Non-health-care Cost/INHC)
(Cressey dan Lake 2008). Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi
akibat kasus KLB keracunan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan di Indonesia
No.
Komponen perhitungan
Biaya penanganan pertama ke dokter/rumah
1.
sakit
Biaya rawat inap
2.
Biaya pengujian spesimen
3.
Biaya perjalanan pulang-pergi ke
4.
dokter/rumah sakit
Biaya pemakaman
5.
Kerugian akibat kehilangan produktivitas
6.
karena sakit
Kerugian akibat kehilangan produktivitas
7.
karena kematian
Biaya penanggulangan
8.
Kerugian akibat kehilangan citra dan
9.
kepercayaan konsumen
10. Kerugian akibat penarikan produk

Komponen persamaan
P x UGD
Xr x P x [O + (2 x KM)]
Xr x P x US
2 x P x 1.8 km x BB/6 km
Xk x P x M
P x t/30 x UMR
Xk x P x UMR x 12
KxT
Xo x K x I
Xo x K x HP x J

Sumber: BPOM (2014)

Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan tersebut dapat diringkas sebagai berikut ini.
ELFPO = P {UGD + [Xr x (O + (t x KM))] + (Xr x US) + (2 x 1.8 km x BB/6 km)
+ (Xk x M) + (t/30 x UMR) + (Xk x UMR x 12)} + K {T + (Xo x I) +
(Xo x HP x J)}
Keterangan:

P
UGD
Xr
O
t
KM
US
BB
Xk
M
UMR

= jumlah total korban keracunan per tahun
= biaya UGD
= persentase jumlah korban rawat inap
= biaya obat
= lama waktu sakit (hari)
= biaya kamar rawat per hari
= biaya pengujian spesimen
= harga bahan bakar per liter
= persentase jumlah korban meninggal
= biaya pemakaman
= upah minimum regional

5
K
T
Xo
I
HP
J

= jumlah KLB per tahun
= biaya penanggulangan
= persentase jumlah kasus KLB akibat produk olahan
= biaya promosi (iklan) 1 produk per tahun
= persentase kehilangan penjualan akibat penarikan produk
= rata-rata total penjualan 1 produk per tahun

Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB
Keracunan Pangan di Indonesia tahun 2013
Biaya Kesehatan Langsung (Direct Health-care Cost/DHC)
Biaya kesehatan langsung merupakan biaya yang harus ditanggung oleh
rumah tangga terkait dengan biaya medis. Di dalam persamaan ini yang termasuk
ke dalam DHC adalah komponen persamaan 1, 2, dan 3.
a. Biaya Penanganan Pertama ke Dokter/Rumah Sakit
Menurut Cressey dan Lake (2007), setiap orang yang mengalami gejala
awal keracunan seperti diare, sakit perut, mual, dan muntah, diperkirakan akan
segera mengunjungi dokter terdekat sebagai langkah awal penanganan. Hal ini
dapat diperhitungkan menjadi biaya yang diperlukan untuk penanganan
pertama korban keracunan pangan dengan persamaan sebagai berikut ini.
TBD = P x UGD .. Persamaan 1
Keterangan:

TBD = total biaya penanganan pertama ke dokter
P
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
UGD = biaya UGD

Data jumlah korban keracunan pangan merupakan data sekunder yang
diperoleh dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan
POM RI. Data tahun 2013 menyatakan terjadi 48 kasus KLB keracunan pangan
yang melibatkan 1 690 orang sakit dan 12 orang meninggal (BPOM 2014).
Namun, hingga saat ini jumlah kasus yang terlaporkan belum sesuai dengan
jumlah kasus yang sebenarnya terjadi (BPOM 2012). Oleh karena itu
digunakan asumsi dari WHO yang menyebutkan bahwa di suatu negara
berkembang, setiap satu kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan, maka
paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak dilaporkan (WHO 2008). Hanya
sekitar 1% kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan dari total kasus yang
sebenarnya terjadi. Maka dengan menggunakan asumsi ini, diduga kasus KLB
keracunan pangan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebanyak
4 800 kasus KLB keracunan pangan yang melibatkan sebanyak 169 000 orang
sakit dan 1 200 orang meninggal dunia. Menurut Beuchat (1998) kurangnya
tindakan investigasi dan pengawasan terhadap penyakit asal pangan di sebagian
negara berkembang mengakibatkan sebagian besar kasus KLB tidak
terlaporkan.
Setiap korban keracunan pangan diasumsikan akan melakukan
pemeriksaan ke UGD sebagai penanganan awal. Hasil wawancara dengan

6
dokter dan perawat dari RSUD A yang pernah menangani korban keracunan
pangan menunjukkan bahwa setiap korban akan mendapatkan penanganan di
UGD, kemudian jika keadaan korban dianggap parah, maka korban akan
mendapatkan perawatan inap. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penanganan korban keracunan pangan dan minimum biayanya
Korban
Korban
Tindakan penanganan (per orang)
Biaya (Rp)
rawat jalan rawat inap
Pendaftaran UGD
30 000


Uji laboratorium UGD
25 000


Uji laboratorium spesimen tinja
200 000

Uji laboratorium spesimen darah
800 000

Obat-obatan
200 000

Sewa kamar inap kelas umum (per hari)
100 000

Besar biaya untuk setiap tindakan penanganan kesehatan tentu saja
berbeda di setiap rumah sakit. Setiap korban juga mungkin memiliki fasilitas
kesehatan yang berbeda, seperti asuransi. Oleh karena itu, data yang diambil
merupakan data dari rumah sakit umum daerah yang diasumsikan memiliki
tarif standar. Diasumsikan juga setiap korban yang melakukan perawatan tidak
memiliki fasilitas kesehatan, sehingga semua biaya harus ditanggung langsung
oleh korban.
b. Biaya Rawat Inap
Korban keracunan pangan yang telah mendapatkan penanganan pertama
sebagian akan mendapatkan perawatan di rumah sakit (Kemmeren et al. 2006)
selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan
selama perawatan di rumah sakit menjadi biaya yang perlu diperhitungkan
sebagai akibat terjadinya keracunan pangan. Selama menjalani perawatan
korban akan memerlukan obat-obatan (Kemmeren et al. 2006). Biaya rawat
inap dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini.
TBR = Xr x P x [O + (t x KM)] .. Persamaan 2
Keterangan:

TBR
Xr
P
O
t
KM

= total biaya rawat inap
= persentase jumlah korban yang dirawat inap
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
= biaya obat
= rata-rata lama rawat
= biaya kamar rawat per hari

Pengumpulan data dilakukan ke 3 rumah sakit yang pernah menangani
korban kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013.
Rumah sakit yang dijadikan tempat pengambilan data adalah Rumah Sakit A,
Rumah Sakit B, dan Rumah Sakit C yang semuanya berlokasi di DKI Jakarta.
Data yang diminta meliputi jumlah korban yang melakukan pemeriksaan rawat
jalan dan rawat inap, serta lama waktu rawat inap. Rekapitulasi data jumlah

7
korban dan rata-rata lama rawat inap di setiap rumah sakit dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah korban kasus KLB keracunan pangan dan rata-rata lama rawat
Rumah sakit
Rumah Sakit A
Rumah Sakit B
Rumah Sakit C

Kasus

Waktu

Keracunan
nasi kuning
Keracunan
bubur ayam
Keracunan
nasi goreng
Total

Mei
2012
Juni
2012
2013

Rawat
jalan
30

Rawat
inap
11

41

Rata-rata lama
rawat inap (hari)
2

15

19

34

2.2

2

24

26

2.7

47

54

101

Rata-rata = 2.3

Total

Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata korban keracunan
pangan menjalani rawat inap selama 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa
keracunan pangan yang terjadi tidak memiliki tingkat keparahan yang tinggi.
Hasil ini sesuai dengan salah satu perhitungan yang diperoleh oleh Kemmeren
et al. (2006) yang menyatakan pasien yang menderita gastroenteritis akibat
keracunan pangan akan absen dari kerja selama 2 hari. Selain itu perlu
diketahui persentase jumlah korban yang menjalani rawat inap pada setiap
kasus KLB keracunan pangan yang terjadi. Dari data yang diperoleh dilakukan
perbandingan jumlah korban rawat jalan dan rawat inap dari total jumlah
korban seluruhnya. Persentase jumlah korban rawat jalan dan rawat inap dari
data yang diperoleh dapat diperkirakan pada setiap kasus KLB keracunan
pangan yang terjadi akan terdapat sekitar 55% korban yang menjalani rawat
inap dari total jumlah korban yang sakit dengan lama waktu perawatan inap
selama 2 hari.
c. Biaya Pengujian Spesimen
Pengujian laboratorium akan dilakukan untuk mendukung diagnosis dari
penyakit yang dialami oleh korban (Cressey dan Lake 2008). Diasumsikan
pengujian spesimen di laboratorium hanya dilakukan oleh korban yang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Dengan demikian biaya pengujian
spesimen dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.
TBL = Xr x P x US .. Persamaan 3
Keterangan:

TBL
Xr
P
US

= total biaya laboratorium
= persentase jumlah korban yang dirawat inap
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
= biaya pengujian spesimen

Secara umum, komponen persamaan yang digunakan dalam perhitungan
Direct Health-care Cost (DHC) masih memiliki kekurangan karena variabel
yang digunakan belum memiliki segmentasi yang spesifik. Variabel P (jumlah
korban) seharusnya dikategorisasi menurut usia, karena biaya medis yang
diperlukan berbeda untuk setiap kategori usia korban (Lee et al. 2012). Begitu
juga dengan variabel O (biaya obat) seharusnya dilakukan segmentasi biaya

8
obat untuk setiap kategori usia korban. Sementara variabel KM (biaya kamar
rawat) merupakan variabel yang memiliki keragaman tinggi, mengingat besar
biaya sewa kamar rawat di rumah sakit berbeda di setiap rumah sakit dan
berbeda setiap kelasnya. Maka dari itu, nilai yang diperoleh dari hasil
perhitungan masih merupakan perkiraan karena asumsi yang digunakan belum
mempertimbangkan keragaman data dan biaya yang ada.
Biaya Non-kesehatan Langsung (Direct Non-health-care Cost/DNHC)
Biaya non-kesehatan langsung merupakan biaya yang tidak berkaitan secara
langsung dengan kesehatan namun ditanggung secara langsung oleh rumah
tangga. Di dalam persamaan ini yang termasuk ke dalam DNHC adalah
komponen persamaan 4 dan 5.
a. Biaya Perjalanan Pulang-Pergi ke Dokter/Rumah Sakit
Menurut Kemmeren et al. (2006) biaya perjalanan yang dilakukan oleh
korban yang mengalami keracunan pangan perlu diperhitungkan dengan
asumsi setiap korban hanya akan melakukan sekali kunjungan ke dokter/rumah
sakit. Setiap kunjungan ke rumah sakit ini dianggap sebagai perjalanan pulangpergi, sehingga perhitungannya perlu dikalikan dua. Pendekatan perhitungan
biaya perjalanan ini dapat dilakukan dengan menghitung harga bahan bakar
yang diperlukan untuk menempuh jarak dari rumah korban menuju
dokter/rumah sakit terdekat (Cressey dan Lake 2008).
Saat ini belum tersedia data yang menyatakan jarak rata-rata akses ke
fasilitas kesehatan rumah sakit atau puskesmas untuk masyarakat di seluruh
Indonesia. Maka pada pendekatan ini digunakan hasil penelitian Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 2013 tentang Akses Pelayanan Kesehatan dan Kejadian Malaria di
Provinsi Bengkulu. Pada penelitian ini diperoleh hasil aksesibilitas pelayanan
kesehatan di Provinsi Bengkulu, yaitu jarak rata-rata akses pusat pelayanan
kesehatan rumah sakit dan Puskesmas ke masyarakat sekitar 1.8 km (Sari et al.
2013). Dengan demikian total biaya perjalanan pulang-pergi ke dokter/rumah
sakit dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.
TBT = 2 x P x 1.8 km x BB/6 km .. Persamaan 4
Keterangan:

TBT
P
BB

= total biaya transportasi
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
= harga bahan bakar per liter

b. Biaya Pemakaman
Sebagian dari korban yang mengalami keracunan pangan dapat
mengalami kematian. Jika terjadi kasus kematian maka biaya langsung yang
ditanggung oleh keluarga korban adalah biaya pemakaman (Abelson et al.
2006). Perhitungan biaya pemakaman dapat dilakukan dengan persamaan
berikut ini.
TBK = Xk x P x M .. Persamaan 5

9
Keterangan:

TBK
Xk
P
M

= total biaya kematian langsung
= presentase jumlah korban yang meninggal
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
= biaya pemakaman

Berdasarkan data tahun 2013, tercatat 48 kasus KLB keracunan pangan
dengan jumlah pendrita sakit sebanyak 1 690 orang dan 12 orang meninggal
dunia. Setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi memberikan dampak
yang berbeda pada kondisi korban. Untuk mengetahui perkiraan kondisi korban
pada setiap kasus KLB keracunan pangan dilakukan perhitungan rata-rata
berdasarkan data tahun 2013. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada
setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi diperkirakan terdapat 1%
korban yang meninggal dan 99% lainnya menderita sakit.
Wawancara yang dilakukan di 2 tempat pemakaman umum (TPU)
memberikan informasi bahwa biaya pemakaman di tempat pemakaman umum
ditentukan oleh peraturan daerah yang berlaku di setiap provinsi. Dengan
demikian biaya pemakaman yang ditanggung oleh korban akan berbeda-beda
sesuai dengan peraturan daerah masing-masing. Namun, sebagai
penyederhanaan dalam persamaan perhitungan, besar biaya pemakaman yang
akan digunakan dalam komponen perhitungan biaya pemakaman adalah data
biaya pemakaman yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan Perda
Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, besarnya
harga pemakaian tempat pemakaman adalah Rp100 000.
Secara umum, komponen persamaan yang termasuk ke dalam Direct
Non-health-care Cost (DNHC) memiliki variabel yang belum diasumsikan
secara tepat karena keterbatasan data yang ada. Pada perhitungan biaya
pemakaman, variabel M (biaya pemakaman) yang digunakan hanya merupakan
biaya penyewaan tanah makam yang datanya diperoleh dari Peraturan Daerah
yang mengatur tentang hal ini. Sementara, pada kenyataannya ketika seorang
anggota keluarga meninggal, maka keluarga yang ditinggalkan harus
menanggung tidak hanya biaya peyewaan tanah makam, melainkan biaya
untuk keperluan yang mendukung penyelenggaraan acara pemakaman, seperti
biaya ambulans. Kemudian adat dan kepercayaan yang dianut oleh korban
meninggal juga akan mempengaruhi besarnya biaya yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pemakaman. Seperti umat muslim yang akan memerlukan
biaya untuk kain kafan dan penyiapan konsumsi ketika mengadakan pengajian
di rumah duka, umat kristiani memerlukan biaya untuk peti dan rias jenazah,
begitu juga dengan kepercayaan yang lain dan bagaimana aturan adat budaya
dari keluarga korban. Keragaman data yang tinggi ini sangat sulit diperoleh
datanya. Maka dari itu, perhitungan yang dilakukan masih merupakan
perkiraan karena belum memperhitungkan biaya seperti yang telah dijelaskan.
Biaya Non-kesehatan Tidak Langsung (Indirect Non-health-care Cost/INHC)
Biaya non-kesehatan tidak langsung merupakan biaya yang tidak berkaitan
dengan masalah kesehatan dan dampaknya tidak ditanggung secara langsung. Di
dalam persamaan ini yang termasuk INHC adalah komponen persamaan 6, 7, 8, 9,
dan 10.

10
a. Kerugian Akibat Kehilangan Produktivitas karena Sakit
Cressey dan Lake (2008) menghitung kerugian kehilangan produktivitas
karena sakit dengan mengasumsikan jika korban tidak dapat masuk kerja
karena sakit, maka kerugian yang dialami adalah sebesar gaji per hari.
Pendekatan seperti ini dilakukan karena produktivitas seseorang dalam bekerja
selama sehari dianggap senilai dengan besar gajinya per hari. Besarnya gaji
tentunya sangat bergantung pada jenis pekerjaan dan posisi/jabatan. Namun
pendekatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan nilai rata-rata upah
minimum regional dari setiap provinsi di Indonesia. Pendekatan ini menjadi
perhitungan kerugian minimal, mengingat bahwa beberapa korban tersebut
mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi dari UMR.
Perhitungan kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu bagian pertama untuk korban yang berada di usia
produktif (15-65 tahun) dan yang berada di usia non-produktif (65 tahun). Untuk korban yang berada di usia non-produktif, diasumsikan
tidak terjadi kerugian akibat kehilangan produktivitas dari diri korban itu
sendiri, melainkan kerugian yang terjadi merupakan kehilangan produktivitas
dari orang yang menjadi penjaga korban selama sakit. Karena korban yang
berada di usia non-produktif (65 tahun) diasumsikan
memerlukan penjagaan dari orang lain selama sakit (Kemmeren et al. 2006).
Dengan demikian kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit
dapat dihitung dengan persamaan berikut ini.
TBPs = P x t/30 x UMR .. Persamaan 6
Keterangan:

TBPs = total kerugian kehilangan produktivitas karena
sakit
P
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
t
= rata-rata lama waktu sakit
UMR = rata-rata upah minimum regional

Berdasarkan data yang diperoleh dari Depnaker (2014), nilai rata-rata
UMR di Indonesia adalah sebesar Rp1 486 594.
b. Kerugian Akibat Kehilangan Produktivitas karena Kematian
Korban yang meninggal akan mengakibatkan kehilangan produktivitas
sumber daya manusia yang seharusnya masih bisa berkontribusi pada kegiatan
ekonomi. Abelson et al. (2006) secara sederhana menghitung kerugian akibat
kehilangan produktivitas karena kematian dengan persamaan berikut ini.
TBPk = Xk x P x UMR x 12 .. Persamaan 7
Keterangan:

TBPk = total kerugian kehilangan produktivitas karena
kematian
Xk
= persentase jumlah korban yang meninggal
P
= jumlah korban keracunan pangan per tahun
UMR = rata-rata upah minimum regional

11
c. Biaya Penanggulangan
Setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi mengharuskan
dilakukannya tindak lanjut oleh pemerintah. Menurut Abelson et al. (2006)
kegiatan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dapat mencakup uji
laboratorium, tindakan pengawasan, dan tindakan investigasi. Di Indonesia
tindakan penanggulangan KLB keracunan pangan telah diatur di dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan yang menyebutkan bahwa upaya
penanggulangan KLB keracunan pangan yang wajib dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota atau kantor kesehatan pelabuhan meliputi pertolongan pada
korban, penyelidikan epidemiologi, dan pencegahan.
Maka secara sederhana biaya penanggulangan kasus KLB keracunan
pangan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini.
TBP = K x T .. Persamaan 8
Keterangan:

TBP
K
T

= total biaya penanggulangan
= jumlah kasus KLB keracunan pangan per tahun
= biaya penanggulangan setiap kasus KLB
keracunan pangan

Survei dilakukan ke Dinas Kesehatan Kota Depok yang pada bulan Juni
2014 menangani kasus KLB keracunan pangan akibat sate usus ayam dan cilok
yang terjadi di daerah Sawangan Baru, Depok. Berdasarkan hasil survei
diperoleh informasi tindakan penanggulangan yang dilakukan dan besar
biayanya. Data yang diperoleh dari hasil survei dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Tindakan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dan biayanya
No.
Tindakan penanggulangan
Biaya (Rp)
1.
Pengamanan sampel
2 500 000
2.
Pengujian sampel
900 000
3.
Transportasi
200 000
Total
3 600 000
Tindakan penanggulangan yang dilakukan untuk setiap kasus KLB
keracunan pangan dapat berbeda-beda, tergantung keadaan dari setiap kasus
KLB keracunan pangan yang terjadi. Jumlah korban, lokasi kejadian, dan
waktu kejadian bisa memengaruhi tindakan penanggulangan yang dilakukan
dan besar biaya yang diperlukan. Namun, pada penelitian ini dilakukan
pendekatan dengan menggunakan data hasil survei ini sebagai perkiraan biaya
penanggulangan yang diperlukan untuk setiap kasus KLB keracunan pangan
yang terjadi di Indonesia.
d. Kerugian Akibat Kehilangan Citra dan Kepercayaan Konsumen
Kasus KLB keracunan pangan yang terjadi akibat suatu produk dari
perusahaan pangan diperkirakan akan memberikan dampak kepada perusahaan
pangan tersebut dengan hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk

12
yang bersangkutan. Kehilangan kepercayaan dari konsumen dapat diatasi
dengan melakukan promosi (iklan) yang dapat meyakinkan konsumen untuk
mengembalikan lagi kepercayaan mereka terhadap produk yang bersangkutan.
Maka perhitungan kerugian akibat kehilangan citra dan kepercayaan konsumen
dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut ini.
TBI = Xo x K x I .. Persamaan 9
Keterangan:

TBI
Xo
I

= total biaya promosi/iklan
= persentase kasus KLB keracunan pangan yang
diakibatkan oleh produk olahan
= biaya promosi/iklan 1 produk per tahun

Berdasarkan sumber makanan penyebabnya, kasus KLB keracunan
pangan dapat digolongkan menjadi KLB yang disebabkan oleh pangan jajanan,
pangan olahan, pangan jasa boga, dan masakan rumah tangga (BPOM 2014).
Penyebab kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sumber makanan penyebab kasus KLB keracunan pangan tahun 2013
Sumber makanan
Jumlah kasus KLB
Persentase (%)
Pangan jajanan
8
17
Pangan olahan
7
14
Pangan jasa boga
8
17
Masakan rumah tangga
23
48
Tidak diketahui
2
4
Total
48
100
Sumber: BPOM (2014)

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa sumber makanan yang menjadi
penyebab keracunan paling banyak adalah masakan rumah tangga (48%).
Masakan rumah tangga menjadi sumber makanan penyebab keracunan yang
paling tinggi karena pada umumnya makanan tersebut disajikan dan dikelola
sendiri oleh rumah tangga tanpa manajemen pengolahan pangan yang baik dan
sesuai dengan prinsip-prinsip keamanan pangan (BPOM 2012).
e. Kerugian Akibat Penarikan Produk
Produk yang mengakibatkan kasus keracunan pangan akan segera ditarik
dari pasar oleh perusahaan yang bersangkutan. Penarikan produk ini
mengakibatkan perusahan mengalami kerugian berupa kehilangan penjualan
dari produk yang ditarik. Kerugian kehilangan penjualan akibat penarikan
produk dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini.
TBK = Xo x K x HP x J .. Persamaan 10
Keterangan:

TBK
Xo

= total kerugian akibat penarikan produk
= persentase kasus KLB keracunan pangan yang
diakibatkan oleh produk olahan

13
K
HP
J

= jumlah kasus KLB keracunan pangan per tahun
= persentase hilangnya penjualan akibat penarikan
produk
= rata-rata total penjualan 1 produk per tahun

Salah satu sumber makanan penyebab keracunan pangan adalah produk
pangan olahan. Survei dilakukan kepada industri pangan untuk mengetahui
perkiraan kerugian yang akan dialami oleh perusahaan jika produknya
menyebabkan terjadinya kasus KLB keracunan pangan. Perusahaan-perusahaan
yang menjadi narasumber ini bukan perusahaan yang pernah mengalami kasus
KLB keracunan pangan, sehingga data yang diperoleh hanya bersifat perkiraan.
Data yang diperoleh dari hasil survei dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perkiraan kerugian industri pangan akibat kasus KLB keracunan
pangan
Perusahaan

Perusahaan A
Perusahaan B
Perusahaan C
Rata-rata (perkiraan)

Kategori
produk
Semi
olahan
Semi
olahan
Olahan

Rata-rata
penjualan
per produk
per tahun
(Rp milyar)
5

Perkiraan
penurunan
penjualan per tahun
akibat penarikan
produk (%)
10

16

10

200

15
12

10
10

200
200

Perkiraan biaya
promosi untuk
pengembalian
citra (Rp juta)
200

Kehilangan kepercayaan konsumen secara langsung akan menyebabkan
penurunan angka penjualan. Walaupun hal ini sulit diprediksi namun
pengaruhnya menjadi perhatian industri. Berdasarkan hasil survei dengan pihak
industri pangan, jika suatu produk menyebabkan kasus keracunan, diperkirakan
produk tersebut akan mengalami kehilangan penjualan sebesar sekitar 10% dari
total penjualan. Kehilangan penjualan ini terdiri dari penurunan penjualan
akibat kehilangan kepercayaan konsumen dan kehilangan penjualan akibat
penarikan produk dari pasar. Total penjualan setiap produk sangat bervariasi,
tergantung dengan perusahaan dan jenis produknya. Berdasarkan hasil survei
diperoleh perkiraan rata-rata penjualan per produk per tahun sebesar 12 milyar
rupiah.
Secara umum, komponen persamaan yang digunakan dalam perhitungan
Indirect Non-health-care Cost (INHC) merupakan asumsi berdasarkan data
yang diperoleh. Pada perhitungan kerugian akibat kehilangan produktivitas
karena sakit, seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengkategorian
pada variabel P (jumlah korban) sangat penting. Dalam hal ini segmentasi
korban dengan kategori usia seharusnya dilakukan karena diperlukan
keterangan berapa banyak korban yang berada di usia produktif, dengan asumsi
semua korban yang berada di usia produktif tersebut bekerja. Sementara
perhitungan kerugian yang dialami oleh pihak industri akibat kehilangan
kepercayaan konsumen dan penarikan produk juga masih memiliki keragaman
yang tinggi. Hal ini karena data persentase penyebab kasus KLB keracunan

14
pangan oleh pangan olahan yang dimiliki tidak diketahui secara spesifik apakah
di dalam persentase tersebut terdapat kasus KLB keracunan pangan yang
sebenarnya diakibatkan oleh produk olahan yang sama. Sementara nilai
besarnya kerugian akibat penarikan produk dan besarnya biaya yang diperlukan
untuk promosi tidak diperoleh dari perusahaan yang produknya memang
pernah mengakibatkan kasus KLB keracunan pangan, sehingga nilai yang
diberikan hanya perkiraan.
Data untuk Perhitungan Tahun 2013
Berdasarkan data kasus KLB keracunan pangan pada tahun 2013 dan data
lain yang telah diperoleh, perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus
KLB keracunan pangan di Indonesia dapat dilakukan. Data yang diperlukan untuk
melakukan perhitungan dengan persamaan ELFPO dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Data yang digunakan untuk perhitungan perkiraan kerugian ekonomi
akibat KLB keracunan pangan dengan persamaan ELFPO
Variabel
Data yang Digunakan
P
= jumlah total korban keracunan per tahun
169 000 orang
UGD = biaya UGD
Rp55 000
Xr
= persentase jumlah korban rawat inap
55%
O
= biaya obat
Rp200 000
t
= lama waktu sakit
2 hari
KM = biaya kamar rawat per hari
Rp100 000
US
= biaya pengujian spesimen
Rp1 000 000
BB
= harga bahan bakar per liter
Rp6 500
Xk
= persentase jumlah korban meninggal
1%
M
= biaya pemakaman
Rp100 000
UMR = upah minimum regional
Rp1 486 594
K
= jumlah KLB per tahun
4 800 kasus
T
= biaya penanggulangan
Rp3 600 000
Xo
= persentase jumlah kasus KLB akibat produk
14%
olahan
I
= biaya promosi (iklan) 1 produk per tahun
Rp200 000 000
HP
= persentase kehilangan penjualan akibat
10%
penarikan produk
J
= rata-rata total penjualan 1 produk per tahun
Rp12 000 000 000
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat kasus
KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.2
triliun rupiah. Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB
keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 8. Angka
ini dekat dengan besarnya angka kerugian ekonomi akibat keracunan pangan di
Belanda, yaitu €77 juta atau sekitar 1.1 triliun rupiah (Kemmeren et al. 2006) dan
di New Zealand, yaitu sebesar NZ$86 juta atau sekitar 900 miliar rupiah (Cressey
dan Lake 2008). Sementara angka kerugian ekonomi akibat keracunan pangan di
Australia menurut Abelson et al. (2006) mencapai AU$1 249 juta atau sekitar 12
triliun rupiah. Angka ini jauh berbeda dengan negara lainnya karena parameter
yang digunakan dalam perhitungan di Australia ada yang berbeda dengan

Tabel 8 Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tahun 2013
Komponen perhitungan
Komponen persamaan
Kondisi Indonesia
Biaya penanganan pertama ke
P x UGD
169 000 x Rp55 000
dokter/rumah sakit
Biaya rawat inap
Xr x P x [O + (2 x KM)]
55% x 169 000 x [Rp200 000 + (2 x Rp100 000)]
Biaya pengujian spesimen
Xr x P x US
55% x 169 000 x Rp1 000 000
Biaya perjalanan pulang-pergi ke 2 x P x 1.8 km x BB/6 km 2 x 169 000 x 1.8 km x Rp6 500/6 km
dokter/rumah sakit
Biaya pemakaman
Xk x P x M
1% x 169 000 x Rp100 000
Kerugian akibat kehilangan
P x t/30 x UMR
169 000 x 2/30 x Rp1 486 594
produktivitas karena sakit
Kerugian akibat kehilangan
Xk x P x UMR x 12
1% x 169 000 x Rp1 486 594 x 12
produktivitas karena kematian
Biaya penanggulangan
KxT
4 800 x Rp3 600 000
Kerugian akibat kehilangan citra
Xo x K x I
14% x 4 800 x Rp200 000 000
dan kepercayaan konsumen
Kerugian akibat penarikan produk Xo x K x HP x J
14% x 4 800 x 10% x Rp12 000 000 000
Total kerugian

Jumlah (juta rupiah)
9 295
37 180
92 950
659.1
169
16 749
30 148
17 280
134 400
806400
1 145 230
1.2 triliun rupiah

15

16
parameter perhitungan yang digunakan di Belanda dan New Zealand, yaitu
lifestyle pain and suffering cost, sehingga angka kerugian totalnya menjadi
berbeda. Selain itu jenis penyakit bawaan pangan yang diperhitungkan di
Australia (8 jenis penyakit) lebih banyak dibandingkan dengan Belanda (4 jenis
penyakit) dan New Zealand (7 jenis penyakit). Hasil perhitungan kerugian
ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 di Indonesia terdiri dari
3 area, yaitu Biaya Kesehatan Langsung/Direct Health-care Cost (DHC), Biaya
Non-kesehatan Langsung/Direct Non-health-care Cost (DNHC), dan Biaya Nonkesehatan Tidak Langsung/Indirect Non-health-care Cost (INHC). Besarnya
kerugian di ketiga area tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan
Area
Total kerugian (Rp) Persentase (%)
Direct Health-care Cost (DHC)
139 425 000 000
12.17
Direct Non-health-care Cost
828 100 000
0.08
(DNHC)
Indirect Non-health-care Cost
1 004 977 085 390
87.75
(INHC)
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa biaya yang paling besar merupakan biaya
dari area Biaya Non-kesehatan Tidak Langsung, yaitu sebesar 87.75% dari total
kerugian. Di dalamnya termasuk kerugian yang akan dialami oleh pihak industri
pangan. Menurut Ribera et al. (2012), biaya yang akan ditanggung oleh produsen
karena produknya menyebabkan KLB keracunan pangan jauh lebih besar
dibandingkan dengan biaya yang perlu dikeluarkan untuk mencegah kejadian
seperti itu. Maka dari itu, pihak industri sebaiknya memaksimalkan tindakan
preventif dalam penjaminan kualitas keamanan produknya.
Sementara itu, biaya dari area Biaya Kesehatan Langsung berkontribusi
sebesar 12.17% dan dari area Biaya Non-kesehatan Langsung sebesar 0.08%.
Kedua area ini berhubungan dengan data epidemiologi dari penyakit-penyakit
bawaan pangan yang terjadi pada kasus KLB keracunan pangan. Angka ini
diperkirakan lebih kecil dari yang seharusnya, karena data epidemiologi yang
tersedia dan digunakan pada perhitungan kali ini masih sangat terbatas. Data
epidemiologi yang lengkap diperlukan untuk dapat melakukan analisis terhadap
suatu kasus KLB keracunan pangan yang terjadi (Makela et al. 2012). Salah satu
data epidemiologi yang paling penting dilakukan adalah konfirmasi penyebab
penyakit bawaan pangan tersebut. Seperti yang telah dilakukan oleh CDC (The
U.S. Centers for Disease Control and Prevention), mereka berhasil mengestimasi
bahwa terdapat 14 patogen yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 95%
kasus penyakit bawaan pangan, perawatan di rumah sakit, dan kematian yang
terjadi pada kasus KLB keracunan pangan di Amerika tahun 2012 (Anekwe dan
Hoffmann 2013).
Data epidemiologi yang lengkap menjadi salah satu syarat utama dalam
melakukan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan
(Xue dan Zhang 2013). Namun, faktor-faktor yang tidak berkaitan langsung
dengan kesehatan menanggung kerugian ekonomi yang paling besar di dalam
perhitungan ini.

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Terdapat tiga komponen utama dalam persamaan perhitungan perkiraan
kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan, yaitu biaya kesehatan
langsung (Direct Health-care Cost/DHC), biaya non-kesehatan langsung (Direct
Non-health-care Cost/DNHC), dan biaya non-kesehatan tidak langsung (Indirect
Non-health-care Cost/INHC). Masing-masing berkontribusi sebesar 12.17%,
0.08%, dan 87.75% terhadap total kerugian. Dalam masing-masing komponen
tersebut terdapat beberapa komponen persamaan yang melibatkan rumah tangga,
pemerintah, dan industri. Perhitungan menggunakan data kasus KLB keracunan
pangan tahun 2013 memberikan hasil nilai perkiraan kerugian ekonomi akibat
kasus KLB keracunan pangan di Indonesia sebesar 1.2 triluin rupiah. Nilai yang
cukup besar ini menunjukkan perlunya kesadaran dan tindakan dari setiap pihak
yang terlibat dalam penyediaan pangan untuk menjamin keamanan pangan yang
dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi lagi kasus KLB keracunan
pangan.

Saran
Perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang
dilakukan di penelitian kali ini masih merupakan perkiraan yang kasar. Terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan sebelumnya agar perkiraan dapat dilakukan
dengan lebih akurat, antara lain ketersediaan data epidemiologi yang lengkap,
pengumpulan data kerugian di pihak industri yang diperoleh dari industri yang
pernah mengalami kasus KLB keracunan pangan, data aksesibilitas masyarakat
Indonesia menuju fasilitas pelayanan kesehatan, dan data terkait biaya untuk
melakukan proses pemakaman untuk anggota keluarga yang meinggal. Dengan
adanya data yang lengkap dan akurat, perhitungan perkiraan kerugian ekonomi
akibat kasus KLB keracunan pangan yang lebih tepat dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Abelson P, Forbes MP, Hall G. 2006. The annual cost of foodborne illness in
Australia. Canberra: Australian Government Department of Health and Ageing.
Anekwe TD dan Hoffmann S. 2013. Making sense of recent cost-of-foodborneillness estimates. Economic Information Bulletin No. 118. Economic Research
Service: USDA.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan.2012. Laporan Tahunan Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta: BPOM.
___. 2014. Laporan Kajian Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Kejadian Luar
Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia. Jakarta: BPOM.

18
Beuchat LR. 1998. Surface decontamination of fruits and vegetables eaten raw: A
review. Food Safety Unit, World Health Organization. [Internet]. [diunduh
2014 Des 15]. Tersedia pada: http://www.who.int/foodsafety/publications/
fs_management/en/surface_decon_pdf.
Cressey P, Lake R. 2007. Risk ranking: estimates of the burden of foodborne
disease for New Zealand. ESR Client Report FW0724. Christchurch: ESR.
___. 2008. Risk ranking: estimates of the cost of foodborne disease for New
Zealand. ESR Client Report FW07102. Christchurch: ESR.
Frenzen PD, Drake A, Angulo FJ. 2005. Economic cost of illness due to
Escherichia coli O157 infections in the United States. Journal of Food Prot.
68(12): 2623-2630.
Depnaker. 2014. Daftar upah minimum regional seluruh Indonesia. [Internet].
[diunduh 2014 Des 23]. Tersedia pada: http://infokerjadepnaker.blogspot.com/
2013/11/Daftar-Gaji-Terbaru-UMR-UMK-Regional-Kota-SeluruhIndonesia.html.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Jakarta: Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Kemmeren JM, Mangen MJJ, van Duynhoven YTHP, Havelaar AH. 2006.
Priority setting of foodborne pathogens – diseases burden and costs of selected
enteric pathogens. RIVM report 330080001. Bilthoven: RIVM.
Lee BY et al. 2013. The economic burden of community-associated methicillinresistant Staphylococcus aureus. Microbiol. Infect. 19:528-536.
Makela P, Pierre AB, Valentina R, Frank B, Hubert D. 2012. Harmonisation of
monitoring zoonoses, antimicrobial resistance and foodborne outbreaks.
European Food Safety Authority Journal 10(10):10-13.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa
Keracunan Pangan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ribera LA, Marco AP, Mechel P, Ronald K, Joseph GM, Juan A. 2012. Economic
analysis of food safety compliance costs and foodborne illness outbreaks in the
United States. HorTechnology. 22(2):150-156.
Sari RM, Lasbudi PA, Hotnida S. 2013.Akses pelayanan kesehatan dan kejadian
malaria di Provinsi Bengkulu.Media Litbangkes. 23(4):158-164.
Scharff RL. 2012. Economic burden from health losses due to foodborne illness in
the United States. J. Food Prot. 75(1):123-131.doi:10.4315/0362-028X.JFP11-058.
[WHO] World Health Organization. 2008. Foodborne disease outbreaks:
guideline for investigation and control. Geneva: WHO.
Xue J dan Zhang W. 2013. Understanding China’s food safety problem: an
analysis of 2387 incidents of acute foodborne illness. Food Control (30):311317.

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor pada tanggal 23 Juli 1992
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
Djufroni Zakaria dan Titie Sri Suprapti. Penulis menempuh
pendidikan di TK Insan Kamil, SD Negeri Panaragan 2
Bogor, SMP Negeri 1 Bogor, SMA Negeri 5 Bogor. Penulis
lulus dari sekolah menengah atas pada tahun 2010, dan
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama
sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian.
Selama masa kemahasiswaan, penulis ak

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria Di Desa Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 1999

0 32 92

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 2013 tentang Kejadian luar biasa keracunan pangan - [PERATURAN]

0 2 36

MANAJEMEN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT POTENSI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) Manajemen Surveilans Epidemiologi Penyakit Potensi Kejadian Luar Biasa (KLB)Di Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar Tahun 2014.

0 3 14

MANAJEMEN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT POTENSI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) Manajemen Surveilans Epidemiologi Penyakit Potensi Kejadian Luar Biasa (KLB)Di Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar Tahun 2014.

1 4 18

STUDI KASUS KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN DI DESA JEMBUNGAN KECAMATAN BANYUDONO BOYOLALI Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali.

1 1 16

PENDAHULUAN Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali.

0 2 6

STUDI KASUS KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN DI DESA JEMBUNGAN KECAMATAN Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Di Desa Jembungan Kecamatan Banyudono Boyolali.

0 2 20

STUDI KUALITATIF CARA PENGOLAHAN MAKANAN PADA KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN Studi Kualitatif Cara Pengolahan Makanan Pada Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali.

0 1 15

STUDI KUALITATIF CARA PENGOLAHAN MAKANAN PADA KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN Studi Kualitatif Cara Pengolahan Makanan Pada Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali.

0 2 19

KLB Tahun 2013.

0 0 2