Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang Dikelola dengan Sistem TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

PEMULIHAN VEGETASI DI AREAL HUTAN YANG
DIKELOLA DENGAN SISTEM TPTJ
(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur,
Kalimantan Barat)

GUSTI DIANDA SARI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemulihan Vegetasi di
Areal Hutan yang Dikelola dengan Sistem TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHKHA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Gusti Dianda Sari
NIM E44090063

ABSTRAK
GUSTI DIANDA SARI. Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang Dikelola
dengan Sistem TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur,
Kalimantan Barat) Dibimbing oleh PRIJANTO PAMOENGKAS.
Pemanfaatan hutan besar-besaran menjadi faktor terjadinya degradasi pada hutan
alam. Degradasi hutan yang terjadi terus menerus dapat mengakibatkan perubahan
kompososi hutan. Hal ini dikarenakan adanya regenerasi dari jenis-jenis lain yang
akhirnya mendominasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemulihan
komposisi dan struktur tegakan pada areal hutan yang dikelola dengan sistem
TPTJ di IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae
memiliki kerapatan dan proporsi terbesar pada semua tingkatan. Kurva sebaran
diameter menunjukkan hutan bekas tebangan yang seimbang. Keanekaragaman
jenis pada seluruh plot cukup tinggi. Jenis kelampai dan meranti merah

mendominasi pada tingkat kanopi atau pohon. Jenis jambu monyet dan kelampai
mendominasi pada tingkat permudaan. Komunitas pohon dan permudaan
sebagian besar memiliki komposisi yang berbeda antar plot karena memiliki nilai
ID >50%. Hal ini ditunjukkan oleh analisis kluster yang terbagi dalam empat
kelompok. Proporsi jenis komersial secara umum lebih besar dibandingkan jenis
non komersial.
Kata kunci: pemanfaatan hutan, pemulihan vegetasi, TPTJ

ABSTRACT
GUSTI DIANDA SARI. Recovery of Vegetation in the Forest Area Managed by
TPTJ System (Case Study on Area IUPHHK-HA PT.Suka Jaya Makmur, West
Kalimantan) Supervised by PRIJANTO PAMOENGKAS.
Massive utilization of forest resources became one factor which caused
degradation on natural forest. Forest degradation which occurred continuously
could cause a change in forest composition. This could happen because seedling
from invasive species dominated the area of natural forest. This research aimed to
determine the composition and structure recovery of forest stands managed by
TPTJ system on area of IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, West Kalimantan.
The results showed that non-commercial Dipterocarp species group had the
biggest value of density and proportion among all levels Dipterocarp. Curve

diameter distribution showed a balanced logged forest. The diversity in all plotarea was high. Kelampai and meranti were dominated in canopy level. Jambu
monyet and kelampai were the species that dominated in seedling level. Tree and
seedling had a different composition, it was shown by the ID value at >50%. This
was shown by cluster analysis which divided into four groups. Commercial
species proportion was generally larger than other non-commercial species.
Keyword: forest utilization, vegetation recovery, selective cutting and line
planting

PEMULIHAN VEGETASI DI AREAL HUTAN YANG
DIKELOLA DENGAN SISTEM TPTJ
(Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur,
Kalimantan Barat)

GUSTI DIANDA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang Dikelola dengan Sistem
TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur,
Kalimantan Barat)
Nama
: Gusti Dianda Sari
NIM
: E44090063

Disetujui oleh

Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MScF
Pembimbing


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

'""

Judul Slaipsi: Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang Dikelola dengan Sistem
TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makrnur,
Kalimantan Barat)
: Gusti Dianda Sari
Nama
: E44090063
NIM

Disetujui oleh

Dr If Prijanto Pamoengkas, MScF

.
Pembimbing

Diketahui oleh

.. Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

ff4 FEB 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
pemulihan vegetasi, dengan judul Pemulihan Vegetasi di Areal Hutan yang
Dikelola dengan Sistem TPTJ (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya
Makmur, Kalimantan Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas
MScF selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan

kepada keluarga besar PT. Suka Jaya Makmur, dan juga sahabat tercinta
Muhamad Rizky Jamaludin, Akbar Hidayat, Lilla Mutia, yang telah membantu
selama pengumpulan data di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah (Ali Ibrahim) dan Ibu (Wirmatati) beserta keluarga besar, yang
terkasih Fakri Gafari, dan juga keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB khususnya
Silvikultur 46 IPB, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Gusti Dianda Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat

2


METODELOGI PENELITIAN

2

Waktu dan Tempat

2

Bahan dan Alat

2

Metode Pengumpulan Data

2

Metode Pengolahan Data

4


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Kondisi Umum Lokasi

5

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan

7

Komposisi Jenis Permudaan

10

Indeks Keanekaragaman Jenis

12


Indeks Nilai Penting

13

Indeks ketidaksamaan komunitas

15

Analisis kluster (Analisis gerombol)

17

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat pohon
2 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat tiang
3 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat semai
4 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat pancang
5 Indeks keanekaragaman jenis (H’)
6 Indeks nilai penting di atas 15% pada tingkat pohon di setiap petak
pengamatan
7 Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon di setiap plot
pengamatan
8 Indeks ketidaksamaan (ID) komunitas pohon pada plot pengamatan
9 Indeks ketidaksamaan (ID) komunitas permudaan pada plot
pengamatan

7
8
10
12
13
14
15
16
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Lokasi Pengamatan
Layout petak ukur penelitian
Struktur tegakan pada seluruh plot penilitian
Bagan kedekatan komunitas

3
3
9
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur
2 Daftar nama pohon yang dijumpai pada lokasi penelitian

21
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan sebagai suatu ekosistem alam yang keberadaanya memiliki arti yang
sangat penting bagi manusia baik karena fungsi ekologis maupun ekonomisnya
telah berangsur-angsur terdegradasi dalam beberapa dekade belakangan ini.
Pemanfaatan hutan secara besar besaran untuk memenuhi kebutuhan sumber daya
kayu menjadi faktor terjadinya degradasi pada hutan alam. Degradasi hutan yang
terjadi terus menerus tanpa adanya waktu yang cukup untuk hutan tersebut
melakukan pemulihan, dapat mengakibatkan perubahan kompososi hutan. Hal ini
dikarenakan adanya regenerasi dari jenis-jenis lain yang akhirnya mendominasi
(Geldenhuys 2010).
Luasan hutan alam produksi (HPH) dari tahun ke tahun semakin menurun.
Penurunan tersebut dikarenakan hutan alam telah dikonversi menjadi hutan
tanaman dan selebihnya menjadi kawasan HPH yang tidak dibebani hak atau
terlantar. Produktifitas kayu yang dihasilkan HPH pun mengalami penurunan,
kemungkinan terjadinya penurunan dikarenakan kesalahan dalam menerapkan
sistem silvikultur yang tepat untuk karakteristik hutan alam yang ada. Penerapan
sistem atau teknik yang tepat berpengaruh terhadap kelangsungan kuantitas dan
kualitas tegakan agar tetap terjaga. Indriyanto (2008) menyatakan bahwa proses
pemulihan vegetasi mempunyai peran penting dalam menjaga kelangsungan
kuantitas dan kualitas tegakan pada waktu yang akan datang.
Kelestarian hutan menuntut adanya keseimbangan antara produksi dan
sosial. Perubahan komposisi jenis dan strata tegakan mempengaruhi kelestarian
produksi kayu. Pemerintahan terutama Departemen Kehutanan telah melakukan
berbagai usaha untuk mewujudkan hutan yang lestari, salah satunya adalah
dengan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus
dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dan pembalakan hutan.
Departemen Kehutanan (1989) menyatakan bahwa, sistem silvikultur adalah
rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi
penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin
kelestraian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Perlu adanya studi tentang pemulihan vegetasi untuk menyelamatkan
pohon-pohon muda jenis komersial agar tidak terjadi penurunan produksi pada
siklus tebang berikutnya. Salah satunya adalah dengan melihat struktur dan
komposisi tegakan setelah pemanenan kayu. Keterangan yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi acuan mengenai pemulihan vegetasi di areal hutan
bekas tebangan sehingga tujuan pengelolaan hutan yang lestari dapat tercapai.
Penelitian ini dilakukan pada hutan bekas tebangan di areal IUPHHK-HA
PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat, sehingga dapat di analisis pemulihan
vegetasinya dilihat dari perubahan komposisi dan struktur tegakan tinggalnya.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pemulihan komposisi dan struktur tegakan pada areal hutan yang dikelola dengan
sistem TPTJ di IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat.

Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan acuan dalam pemulihan vegetasi sehingga
dapat mengurangi resiko kerusakan tegakan tinggal di areal IUPHHK-HA PT.
Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada hutan bekas tebangan yang dijadikan model
silvikultur sistem TPTJ. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 1(satu)
bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 dan dilakukan
pada areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan bekas
tebangan pada masing-masing plot TPTJ. Alat yang digunakan antara lain: peta
kerja, golok, phi band, meteran jahit, kompas, tali tambang atau rapia, patok, tally
sheet, alat tulis, buku pengenal vegetasi, kamera,serta laptop dengan software
Microsoft office excel 2007 dan minitab 16.

Metode Pengumpulan Data
Plot pengamatan terdiri dari sembilan lokasi yang berbeda. Pembagian
tersebut dibagi berdasarkan lokasi bekas tebangan dan hutan primer yang ada
pada IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Masing-masing
lokasi tersebut yaitu: buffer zone yang mewakili hutan primer, petak ukur TPTJ
2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012.
Data yang dikumpulkan dari analisis vegetasi adalah nama jenis dan
jumlahnya pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon serta diameter pada
tiang dan pohon. Layout pengukuran pengamatan analisis vegetasi TPTJ terletak
pada jalur antara.
Pengamatan contoh analisis vegetasi pada umumnya dapat dilakukan
dengan menggunakan metode petak, metode jalur, ataupun metode kuadran.

3
Metode pengambilan data dilakukan dengan menggunakan analisis vegetasi
metode kombinasi. Metode kombinasi yang dimaksud adalah kombinasi antara
metode jalur dan garis petak. Tingkat pohon dilakukan dengan metode jalur
sedangkan untuk permudaan dilakukan dengan metode garis berpetak
(Soerianegara dan Indrawan 1982).
Penelitian ini menggunakan analisis vegetasi dengan cara nested sampling
yaitu analisi vegetasi menggunakan petak besar yang mengandung petak-petak
kecil di dalamnya. Tiap petak ukur berukuran 10.000m2 dan pada masing-masing
petak dilakukan pengukuran dengan jalur 100 m x 20 m yang dibagi menjadi lima
petak pengukuran berukuran 20 m x 20 m.
Kelima petak terdiri dari empat subpetak berdasarkan tingkat
pertumbuhannya. Subpetak untuk pengamatan tingkat semai berukuran 2 m x 2
m, subpetak pengamatan untuk tingkat pancang berukuran 5 m x 5 m, subpetak
pengamatan untuk tingkat tiang berukuran 10 m x 10 m, subpetak pengamatan
untuk tingkat pohon berukuran 20 m x 20 m

Gambar 1 Lokasi Pengamatan (
jarak tanaman(2,5m))

: titik tanaman, ab: jalur tanam(3m), cd: jalur antara (17m), ef:

Gambar 2 Layout petak ukur penelitian (semai (kecambah s/d 11,5 m s/d
d20 cm)

4
Metode Pengolahan Data
Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu indeks nilai
penting pada tingkat pohon dan permudaannya. Sutisna (2005) di acu dalam
Irwanto (2006) mengatakan bahwa suatu jenis dikatakan berperan jika niali INP
pada tingkat pohon lebih dari 15% dan pada permudaan alamnya lebih dari 10%.
Indeks nilai penting menggambarkan kelimpahan dan penguasaan suatu spesies
terhadap spesies lainnya dalam suatu lokasi. Data analisis vegetasi diolah dalam
variabel kerapatan (K), frekuensi (F), dan dominasi (D) dengan rumus :
Kerapatan
= Jumlah individu suatu spesies
Total luas unit contoh
Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan suatu pesies × 100%
Kerapatan seluruh spesies
Frekuensi
= Jumlah plot ditemukannya spesies
jumlah total plot contoh
Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi suatu spesies
× 100%
Total frekuensi seluruh spesies
Dominansi
= Luas bidang dasar suatu spesies
total luas plot contoh
Dominansi Relatif (DF)
= Dominansi suatu spesiestotal x 100%
dominansi seluruh spesies
Indeks Nilai Penting (INP) untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon
merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif (KR), dominansi relatif
(DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP = KR+FR+DR. Sedangkan untuk
vegetasi tingkat semai dan pancang, INP = KR+FR.
Indeks Kesamaan Komunitas (Indeks of Similarity)
Indeks kesamaan spesies dihitung untuk mengetahui kesamaan komunitas di
dua lokasi atau habitat yang berbeda. Nilai IS berkisar antara 0% - 100%. Nilai S
mendekati 100% menunjukkan tingkat kesamaannya atau kemiripannya semakin
tinggi dengan kata lain semakin besar indeks kesamaan semakin seragam
komposisi vegetasi dari kedua tipe vegetasi yang dibandingkan.
Sedangkan nilai indeks kesamaan mendekati 0% menunjukkan tingkat
kesamaannya semakin rendah. IS dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Odum 1993, diacu dalam Indriyanto 2008):
IS = 2W x 100%
a+b
IS
= indeks kesamaan
W
= jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies
berpasangan,yang ditemukan pada dua komunitas.
a
= total nilai penting dari komunitas A
b
= total nilai penting dari komunitas B
Indeks Ketidaksamaan (ID)
Indeks Ketidaksamaan adalah kebalikan dari indeks kesamaan atau Index of
similarity (IS). Nilai ID berkisar antara 1-100%, jika nilai ID = 0% maka kedua
komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama, dan jika nilai ID = 100%

5
maka kedua komunitas yang dibandingkan jauh berbeda, begitu pula dengan nilai
IS (Ludwig & Reynolds 1988). ID dapat dihitung dengan rumus seperti berikut
(Soerianegara & Indrawan 1982, diacu dalam Indriyanto 2008) :
ID = 100 – IS
ID
= Indeks Ketidaksamaan
Indeks Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur
komunitas dan dapat pula digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu
kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada
gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto 1994, diacu dalam
Indriyanto 2008). Keanekaragaman jenis dapat disajikan dalam bentuk Indeks
Keragaman Shannon-Wiener atau Shannon Index of General Diversity (H’).
Indeks ini didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata
yang tidak pasti dalam memprediksi individu spesies apa yang dipilih secara
random dari koleksi S spesies dan individual N akan dimiliki . Rata-rata ini naik
dengan naiknya jumlah species dan distribusi individu antara species-species
menjadi sama/merata . Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon yaitu ;
1 H’ = 0 jika dan hanya jika ada satu spesies dalam sampel.
2 H’ adalah maksimum hanya ketika semua spesies S diwakili oleh jumlah
individu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secara
sempurna.
H’ = -∑ (Pi LnPi) dimana H’ adalah rata-rata.
i=1
H’
= indeks keragaman
Pi
= ni/N
Ni
= jumlah individu jenis ke-i
N
= total seluruh individu
Analisis Klaster ( Analisis Gerombol )
Analisis klaster digunakan untuk mengelompokkan objek pengamatan yaitu
komposisi jenis. Analisis ini bertujuan untuk mengelompokan objek pengamatan
berdasarkan kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Prinsip analisis gerombol
didasarkan pada ukuran kedekatan atau kemiripan dari setiap individu. Ukuran
kedekatan yang dipakai adalah jarak Euclidean (Euclidean distance) dan disajikan
dalam bentuk dendrogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi
PT. Suka Jaya Makmur merupakan salah satu anak perusahaan yang
tergabung dalam kelompok Alas Kusuma Group berdasarkan Surat Keputusan
Hak Pengusahaan Hutan No. 106/Kpts-II/2000 tanggal 29 Desember 2000. Luas
areal berdasarkan SK Menhut No 106/Kpts-II/2000 adalah seluas 171.340 ha,

6
dimana luas Hutan Produksi Terbatas seluas 158.340 ha dan Hutan Produksi
Tetap seluas 13.000 ha. Menurut pembagian wilayah Administrasi Pemerintahan,
areal PT. Suka Jaya Makmur meliputi Kecamatan Tumbang Titi, Nanga Tayap,
Sandai, Matan Hilir Selatan dan Sokan, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten
Sintang, Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan pembagian Administrasi
Kehutanan, areal PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah Kesatuan
Pemangkuan Hutan Ketapang dan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Propinsi
Kalimantan Barat. Secara geografis, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur
merupakan areal kompak yang terletak diantara 110o 20’ BT - 111o 20’ BT dan
01o 20’ LS – 01o 55’ LS, sedangkan batas areal PT. Suka Jaya Makmur sebagai
berikut :
Utara : IUPHHK PT. Duaja II dan PT. Wanasokan Hasillindo.
Timur : Hutan Lindung dan Hutan Negara
Selatan: IUPHHK PT. Wanakayu Batuputih dan Hutan Negara
Barat : HPT PT. Triekasari, PT. Kawedar dan Hutan Negara
Topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang,
datar dan landai hingga agak curam dengan persentase kemiringan lapangan
memiliki ketinggian minimum 300 mdpl dan maksimum 700 mdpl. Batuan yang
berada di PT. Suka Jaya Makmur adalah, Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif
dan Plutonik basa menengah. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar
magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api. Jenis tanah yang
terdapat pada areal pengusahaan hutan PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya
terdiri atas jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol Litosol dengan
batuan induknya adalah batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf.
Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951), kondisi iklim di areal
IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk tipe iklim A, dengan curah hujan ratarata tahunan berkisar antara 2.761 mm/tahun.
Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar
merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Hujan
Tropika Basah (Low Land Tropical Rain Forest) didominasi oleh famili
Dipterocarpaceae. Di areal IUPHHK PT. Suka Jaya MakmurKalimantan Barat
inipun terdapat kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Untuk kelompok flora
antara lain adalah Tengkawang (Shorea bacaurea), Ulin (Eusideroxylon zwageri),
Jelutung (Dyera costulata) dan Kempas (Kompassia spp.) serta jenis buah-buahan.
Sedangkan kelompok fauna yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu
(Helarotus malayanus), Owa/Klempiau (Hilopbates spp.), Rusa (Cervus spp.) dan
Burung Rangkong/Rangkok (Bucheros spp.).
Penduduk desa yang berada di sekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur
hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak dan sisanya merupakan Suku Melayu,
Cina dan Jawa. Etnis Dayak yang berdomisili wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya
Makmur adalah Dayak Kapuas, Dayak Laman Tawa, Dayak Laman Tuha dan
Dayak Keluas. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk desa adalah agama
Khatolik , kedua terbesar adalah Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama
Islam dan agama lainnya. Mata pencaharian penduduk desa di dan sekitar
IUPHHK PT. Suka Jaya Mamur mayoritas adalah petani tradisional yang lebih
dikenal sebagai peladang berpindah, sisanya bekerja sebagai karyawan, guru dan
pedagang. Selain berladang sebagian penduduk desa juga mempunyai aktifitas di
kebun karet dan sawah.

7
Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan
Tegakan hutan dapat dibedakan berdasarkan umur, komposisi, struktur, dan
tempat tumbuh atau geografi (Daniel et al. 1987). Penelitian ini membedakan
tegakan hutan menurut komposisi dan struktur tegakan. Parameter yang
digunakan dalam analisis komposisi tegakan adalah kerapatan dan kontribusi jenis,
sedangkan parameter yang digunakan dalam analisis struktur tegakan adalah
sebaran kelas diameter.
Pengelompokkan komposisi jenis penyusun tegakan pada lokasi penelitian
yaitu jenis komersial (Dipterocarpaceae dan non-Dipterocarpaceae) dan jenis
non-komersial. Tujuan mengetahui komposisi jenis yaitu untuk mengetahui
keseimbangan komunitas hutan (Mayer dalam Muhdi 2009). Kerapatan dan
kontribusi jenis pada tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat pohon
Tegakan
Hp
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

Kerapatan (N/ha)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
24
82
36
32
57
19
10
25
6
16
75
16
26
82
15
6
85
6
0
63
0
24
41
8
19
71
14

Total
142
108
41
107
123
97
63
73
104

Kontribusi jenis (%)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
17
58
25
30
53
18
24
61
15
15
70
15
21
67
12
6
88
6
0
10
0
3
56
11
18
68
13

Dipt: Dipterocarpaceae, Non-Dipt: non-Dipterocarpaceae, HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005,
TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5: TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011,
TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 1 menunjukkan bahwa kerapatan kelompok jenis komersial nonDipterocarpaceae lebih banyak pada setiap plot yang diamati dibandingkan
dengan jumlah komersial Dipterocarpaceae dan non-komersial. Salah satu contoh
yaitu kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae pada hutan primer sebesar
82 (N/ha), jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan komersial
Dipterocarpaceae sebesar 24 (N/ha) dan non-komersial sebesar 36 (N/ha).
Proporsi kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae mendominasi 100%
pada plot TJ6 dan bila mengacu kepada proporsi hutan primer yang memiliki
persentase kelompok jenis komersial Dipterocarpaceae lebih sedikit dari
kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae. Hal ini kemungkinan
dikarenakan penebangan dalam jumlah besar pada plot tersebut. Hal ini dapat di
artikan bahwa penurunan jumlah jenis di areal hutan yang telah dilakukan
penebangan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat intensitas
penebangan atau kerusakan hutan.

8
Beberapa jenis kelompok komersial Dipterocarpaceae yang paling banyak
ditemukan di lapangan adalah Meranti kuning, Meranti merah, Meranti putih, dan
Nyatoh. Kelompok jenis non-Dipterocarpaceae meliputi Bekasai, Kelampai,
Kembayau, Kempening, Ketikal, Kumpang, Limus, Medang, Pisang-pisang, dan
Ubar.Kelompok jenis non-komersial yang ditemukan dilapangan yaitu Derobak,
Jambu monyet, Makaranga. Nilai kontribusi dan kerapatan pada tingkat tiang juga
dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat tiang
Tegakan
Hp
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

Kerapatan (N/ha)
Kontribusi jenis (%)
Komersial
Komersial
NonNonTotal
Dipt Non-Dipt Komersial
Dipt Non-Dipt Komersial
36
152
40
228
16
67
18
124
508
152
784
16
65
19
92
184
144
420
22
44
34
80
584
304
968
8
60
31
100
580
220
900
11
64
24
36
424
96
556
6
76
17
20
280
44
344
6
81
13
32
112
32
176
18
64
18
16
84
12
112
14
75
11

Dipt: Dipterocarpaceae, Non-Dipt: non-Dipterocarpaceae, HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005,
TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5: TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011,
TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tingkat tiang, kelompok jenis komesial
non-Dipterocarpaceae memilik proporsi 3-4 kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan kelompok jenis lainnya. Plot yang memiliki proporsi paling kecil yaitu
TJ8 karena pada plot ini baru dilakukan kegiatan penebangan untuk pembuatan
jalur tanam dan pemanenan kayu sehingga jumlah pohonnya bisa dikatakan
banyak berkurang.
Gunarso et al. (2009) menyatakan bahwa proses pemanenan kayu
menyebabkan kematian besar-besaran pada tingkat tiang. Menurut Muhdi (2009),
kegiatan pemanenan kayu menyebabkan perubahan struktur dan komposisi
tegakan pada tingkat tiang, pancang, dan semai. Tetapi hal ini berbanding terbalik
dengan hasil pengamatan yang menunjukan peningkatan kerapatan pada beberapa
plot. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh intensitas penebangan yang tidak
terlalu besar dan juga karena kegiatan penebangan dilakukan oleh tenaga ahli
sehingga bisa meminimalisir dampak kerusakan yang disebabkan oleh
penebangan. Kerapatan dan proporsi pada tingkat tiang menunjukan bahwa jenis
komersial non-Dipterocarpaceae memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan
jenis lainnya. Kerapatan dari jenis komersial Dipterocarpaceae, nonDipterocarpaceae dan non-komersial mengalami kenaikan bila dibandingkan
dengan hutan primer, kecuali pada plot TJ7, TJ8. Hal ini disebabkan karena baru
terjadi penebangan untuk pembukaan jalur tanam untuk TJ7 dan TJ8 sehingga
terjadi penurunan jumlah pada plot tersebut.

9

TJ1

60

Jumlah (N/Ha)

Jumlah (N/Ha)

HP
40
20
0

80
60
40
20
0

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)

Kelas Diameter (cm)

TJ3

20
15
10
5
0

Jumlah (N/Ha)

Jumlah (N/Ha)

TJ2
60
40

20
0
20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter

TJ5

80
60
40
20
0

Jumlah (N/Ha)

Jumlah (N/Ha)

TJ4
60

40
20
0

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)

TJ7

80
60
40
20
0

Jumalah (N/Ha)

Jumlah (N/Ha)

TJ6

20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)

30
20
10
0
20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Daiameter (cm)

Jumlah (N/Ha)

TJ8
80
60
40
20
0
20-29 30-39 40-49 50-59 60 up
Kelas Diameter (cm)
Gambar 3 Struktur tegakan pada seluruh plot penilitian (HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005,
TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5: TPTJ 2009, TJ6: TPTJ
2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012)

10
Gambar 3 menjelaskan hutan bekas tebangan yang dikelola dengan sistem
TPTJ menunjukan kondisi hutan bekas tebangan tidak seumur yang masih
seimbang, kecuali pada plot TJ6 karena hanya memiliki satu jenis pohon. Hal ini
diduga karena intensitas penebangan yang sangat besar terhadap jenis-jenis yang
lain, sehingga yang tersisa dan yang hanya bisa bertahan hanya satu jenis saja,
yaitu jenis Bekasai dari kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae. Hasil
penelitian pertumbuhan dan riap tegakan tinggal pada beberapa unit pengelolaan
oleh Wahjono (2007) dinyatakan bahwa kondisi tegakan setelah penebangan
masih cukup baik sebagai penyusun tegakan pada rotasi yang akan datang.

Komposisi Jenis Permudaan
Permudaan hutan yang dianalisis merupakan permudaan tingkat semai dan
pancang. Parameter yang digunakan dalam analisi permudaan hutan adalah
kerapatan dan kontribusi jenis. Tabel 3 menunjukan bahwa pada tingkat semai,
kelompok jenis yang memiliki kerapatan lebih besar yaitu kelompok jenis
komersial non-Dipterocarpaceae dibandingkan dengan kelompok jenis lainnya
pada semua plot pengamatan, kecuali pada plot TJ3 dan TJ4 yang berjumlah 2300
(N/ha) dan 2800 (N/ha) untuk kelompok non-komersial. Presentase kontribusi
semai komersial non-Dipterocarpaceae memiliki proporsi terbesar dari kelompok
jenis lainnya, kecuali pada plot TJ3 dan TJ4 untuk non-komersial yang memiliki
presentase 57% dan 51%.
Tabel 3 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat semai
Tegakan
Hp
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

Kerapatan (N/ha)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
400
3800
600
2800
4300
1700
700
4700
1000
600
2300
3900
300
2800
3200
1300
7000
300
500
3600
2600
0
5300
3200
700
4200
1500

Total
4800
8800
6400
6800
6300
8600
6700
8500
6400

Kontribusi jenis (%)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
8
79
13
32
49
19
11
73
16
9
34
57
5
44
51
15
81
3
7
54
39
0
62
38
11
66
23

Dipt: Dipterocarpaceae, Non-Dipt: non-Dipterocarpaceae, HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005,
TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5: TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011,
TJ8: TPTJ 2012

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan tingkat semai pada seluruh
plot TPTJ dari jenis komersial Dipterocarpaceae memiliki kerapatan yang lebih
besar dari hutan primer, kecuali pada plot TJ4 dan TJ7. Berdasarkan pengamatan
hal ini terjadi karena pada TJ4 terdapat beberapa pohon yang tumbang karena
kondisi lahannya yang curam sehingga merusak semai dan hal ini mempengaruhi

11
banyaknya jumlah semai yang terdapat pada plot TJ4. Selain itu. Sedikitnya
jumlah semai jenis Dipterocarpaceae dikarenakan karena adanya kegiatan
pengadaan bibit dari cabutan alam secara acak yang juga mempengaruhi jumlah
semai pada setiap plot. Sedangkan pada TJ7 baru dilakukan penebangan untuk
kayu produksi dan pembukaan jalur tanam sehingga semai jenis
Dipterocarpaceae rusak dan masih belum bisa bersaing dengan tumbuhan jenis
lain. Irwanto (2006) menyatakan bahwa persentase hidup Dipterocarpaceae
dibawah naungan pohon sebesar 100%. Hal ini jelas bahwa sebelum umur dua
tahun jenis Dipterocarpaceae memerlukan naungan, tetapi bila sudah mencapai
umur tersebut, jenis ini sudah menjadi tahan dan bahkan memerlukan sinar
matahari yang lebih banyak. Sedangkan pada plot TJ7 kondisi lahannya terbuka.
Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa kerapatan tingkat semai untuk
jenis komersial Dipterocarpaceae pada seluruh plot TPTJ jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan jenis non-Dipterocarpaceae. Hal ini disebabkan anakan
meranti tidak tahan terhadap kekurangan air tanah dan kesulitan untuk
berkompetisi dengan jenis lain.
Permudaan semai-semai Dipterocarpaceae di alam bertahan di bawah
naungan untuk beberapa tahun dengan sinar yang tidak memadai, sehingga
pertumbuhan tingginya pun hanya sekitar 2 cm setahun (Whitmore, 1984).
Mereka hidup dalam masa tunggu, jika setelah beberapa tahun tidak kunjung ada
rumpang terbentuk, atau tidak ada pertambahan sinar yang mencapai tanah, maka
semai-semai tersebut akan mati. Itulah sebabnya selalu terdapat cukup semai
namun sedikit pancang dan tiang dalam struktur tegakan meranti (Sutisna 2001).
Secara umum, sistem TPTJ menstimulasi pertumbuhan permudaan semai
yang cukup besar bila dibandingkan dengan permudaan semai pada hutan primer,
sehingga jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong
di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan 1000 semai
per hektar sebagai syarat kecukupan (Departemen Kehutanan 1993). Namun perlu
diperhatikan juga keberlangsungan hidup dari semai tersebut agar bisa menjadi
pancang dan kemudian menjadi tiang.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tingkat pancang, kelompok jenis yang
memiliki kerapatan paling besar yaitu kelompok jenis
komersial nonDipterocarpaceae di dibanding kelompok jenis lainnya pada setiap plot
pengamatan, kecuali pada TJ3 dan TJ4 yang berjumlah 912 (N/ha) dan 944 (N/ha)
untuk kelompok non-komersial, sehingga berpengaruh pada kontribusi jenis nonkomersial pada TJ3 dan TJ4 dengan persentase sebesar 55% dan 46%. Hal ini
disebabkan pada plot ini kelompok jenis non komersial lebih bisa bersaing
dibandingkan dengan kelompok lain. TJ4 memiliki total kerapatan yang terbesar
dibandingkan dengan plot yang lain, yaitu sebesar 2048 (N/ha). Seperti halnya
semai pada TJ4, pancang pada plot ini juga mengalami kerusakan karena adanya
pohon yang tumbang, sehingga pancang disekitarnya mengalami kerusakan dan
juga dipengaruhi oleh jumlah semai yang sedikit sehingga ketika menuju tingkat
perkembangan selanjutnya tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Secara
umum kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae menunjukkan proporsi
paling besar hingga 3-4 kali lipat.

12

Tabel 4 Kerapatan dan kontribusi jenis di plot TPTJ dan hutan primer pada
tingkat pancang

Tegakan
Hp
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

Kerapatan (N/ha)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
176
864
112
208
560
224
224
720
512
144
592
912
224
880
944
224
896
272
192
544
496
32
656
608
80
608
304

Total
1152
992
1456
1648
2048
1392
1232
1296
992

Kontribusi jenis (%)
Komersial
NonDipt Non-Dipt Komersial
15
75
10
21
56
23
15
49
35
9
36
55
11
43
46
16
64
20
16
44
40
2
51
47
8
61
31

Dipt: Dipterocarpaceae, Non-Dipt: non-Dipterocarpaceae, HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005,
TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5: TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011,
TJ8: TPTJ 2012.

Dari hasil pengamatan regenerasi dilihat dari jenis komersial nonDipterocarpaceae, didapatkan bahwa jumlah maksimum untuk tingkat pancang
dicapai pada plot penelitian TJ5 berumur 4 tahun sebesar 896 N/ha, begitu juga
tingkat semai mencapai 7000 N/ha. Hal ini sesuai dengan penelitian Pamoengkas
(2006) yang juga menyatakan bahwa jumlah maksimum untuk regenerasi pada
tingkat semai dan pancang dicapai pada umur 4 tahun. Maka sebaikanya
perlakuan silvikultur jalur antara dilakukan pada periode tersebut untuk
menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi yang begitu
berat antar jenis.
Sistem TPTJ memberikan stimulus terhadap perbanyakan tingkat pancang.
Mengacu pada hasil pengamatan, kelompok jenis yang pertumbuhannya sangat
pesat yaitu kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae. Hal ini dikarenakan
kelompok jenis ini tahan terhadap masuknya cahaya ke lantai hutan dan dapat
lebih bersaing dengan tumbuhan sekitarnya.

Indeks Keanekaragaman Jenis
Nilai indeks keanekaragaman (H’) jenis pada tingkat pohon dan
permudaannya didapat dari jumlah jenis dari setiap plot pengamatan. H’ pada
areal TPTJ dan hutan primer dapat dilihat pada Tabel 5.

13

Tabel 5 Indeks keanekaragaman jenis (H’)
Strata
Semai
Pancang
Tiang
Pohon

HP
2.4
2.9
2.9
2.9

TJ1
2.5
2.9
3.2
2.9

Indeks keanekaragaman (H')
TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 TJ6
2.1
2.1
1.8
1.9
2.4
2.7
2.3
2.7
2.8
2.8
3.6
3.4
3.6
3.2
2.3
3.0
3.0
3.3
2.8
0.0

TJ7
2.1
2.6
2.4
2.7

TJ8
2.3
2.8
2.4
2.9

HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005, TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5:
TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 5 menunjukkan nilai H’ di setiap tingkatan pada seluruh plot
pengamatan cukup tinggi. Nilai H’ tertinggi pada tingkat pohon adalah plot TJ4
dengan nilai sebesar 3.3. Hal ini dapat diartikan bahwa komposisi jenis pada
tingkat pohon beranekaragam atau heterogen. Nilai H’ terendah tingkat pohon
ditunjukan oleh plot TJ6 sebesar 0,0 (-) yang berarti pada plot ini komposisi
jenisnya lebih homogen. Berdasarkan pengamatan dan data sekunder yang
diperoleh, jenis pohon pada plot TJ6 hanya terdapat satu jenis, yaitu jenis bekasai.
Keanekaragaman jenis pada tingkat tiang pada plot TJ6 juga lebih rendah
dibandingkan dengan plot pengamatan lainnya yaitu sebesar 2.3.
Keanekaragaman paling rendah pada tingkat pancang ditunjukan oleh plot TJ3
dan yang tertinggi ditunjukan oleh hutan primer. Keanekaragaman pada tingkat
semai juga dikatakan cukup tinggi kecuali pada plot TJ4 dan TJ5 dengan nilai
masing-masing sebesar 1.8 dan 1.9, hal ini disebabkan karena ada beberapa jenis
yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada.

Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting telah dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu indeks
nilai penting pada tingkat pohon dan permudaannya. Sutisna (2005) diacu dalam
Irwanto (2006) mengatakan bahwa suatu jenis dikatakan berperan jika nilai INP
pada tingkat pohon lebih dari 15% dan pada permudaan alam lebih dari 10%.
Indeks nilai penting untuk tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 6.

14
Tabel 6 Indeks nilai penting di atas 15% pada tingkat pohon di setiap petak
pengamatan
Nama Jenis

HP
Bekasai
Belubu
Berobakan
Kelampai
Kempening
Ketikal
Kulim
Kumpang
Mayau
Medang
48,0
Mentawa
Meranti Merah 30,9
Meranti putih
Sawang
Ubar
19,4
Ulin
37,1

TJ1
21,0
23,3
15,7
27,2
15,2
53,7
26,9
-

TJ2
17,5
31,6
15,2
48,8
29,9
-

Indeks nilai penting
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
300,0
26,4
16,7
40,2 27,1 61,4
15,6 30,6
18,5
35,1 27,0 56,8
26,3
17,2
18,9 16,7
-

TJ7
24,9
48.1
36,1
38,4
24,4

TJ8
16,2
25,9
45,7
32,7
35,2
-

HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005, TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5:
TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 6 menunjukkan bahwa secara umum jenis yang mendominasi tingkat
pohon adalah kelampai dari kelompok jenis komersial non-Dipterocarpaceae di
tiga plot pengamatan, meranti merah dari kelompok jenis komersial
Dipterocarpaceae di tiga plot pengamatan, dan plot lainnya di dominasi oleh
bekasai dan medang. Jenis kelampai (Elaterospermumtapos Blume) mendominasi
pada plot TJ3, plot TJ4, plot TJ5 dengan jumlah INP terbesar terdapat pada plot
TJ5 mencapai 61,4%. Jenis meranti merah (Shorea leprosula) mendominasi pada
plot TJ1, plot TJ2, dan TJ7 dengan jumlah INP terbesar terdapat pada plot TJ1
mencapai 53,7%. Jenis medang (Litsea amara Blurne) mendominasi pada hutan
primer dan plot TJ8 dengan masing-masing nilai sebesar 48% dan 45,7%. Pada
plot TJ6 hanya terdapat satu jenis pohon bekasai (Pometia sp.) sehingga jenis ini
mendominasi dengan nilai INP sebesar 300,0%. Jenis-jenis Dipterocarpaceae
lainnya yang berperan adalah mayau, mentawa dan meranti putih yang
penyebarannya juga tidak merata. Jenis yang dilindungi seperti ulin
(Eusideroxylon zwageri) juga berperan pada plot TJ1 dan TJ7 dengan masingmasing nilai sebesar 37,1% dan 24,4%. Jenis yang penyebarannya hampir merata
adalah jenis medang, merantimerah, dan ubar. Indeks nilai penting untuk tingkat
permudaan dapat dilihat pada Tabel 7.

15
Tabel 7 Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon di setiap plot
pengamatan
Nama Jenis

HP
Derobak
Jambu Monyet Kayu Abu
Kelampai
Kumpang
11,9
Medang
28,9
Meranti Kuning
Meranti Merah
Nyatoh
14,8
Pekobongan
Pisang – pisang 16,9
Rengas
11,9
Sampe
11,9
Sendok-sendok
Ubar
49,2
Ulin
14,8

TJ1
7,1
40,4
5,6
6,5
-

TJ2
27,4
19,4
2,2
16,3
16,3
17,8
19,6
-

Indeks nilai penting
TJ3 TJ4 TJ5
TJ6
5,3 4,1
7,5 84,9 9,9
35,3 102,1 10,3 3,5 26,9 19,0
44,6
23,1
15,8
2,6
7,5 13,5
-

TJ7
50,0
29,6
13,0
52,8
-

TJ8
15,8
49,0
5,4
2,7
1,1
4,3
2,3
20,6
-

HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005, TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5:
TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum jenis yang mendominasi tingkat
permudaan pada seluruh plot pengamatan adalah jenis jambu monyet
(Anaccadium odontinale) dan kelampai (Elaterospermumtapos Blume). Jenisjenis lain yang ditemukan sebagai kodominan adalah medang (Litsea amara
Blurne) dan ubar (Euginia sp), namun penyebaran kedua jenis ini hampir merata
di setiap plot pengamatan. Jenis yang mendominasi pada hutan primer dan TJ7
adalah ubar dengan nilai INP sebesar 49,2% dan 52,8%. Jenis yang mendominasi
pada plot TJ1, plot TJ2 dan plot TJ5 adalah kelampai dengan nilai INP masingmasing sebesar 40,4%, 62,2%, dan 102,1%. Jenis yang mendominasi pada plot
TJ3, plot TJ4 dan plot TJ6 adalah jambu monyet dengan nilai INP masing-msing
plot sebesar 77,5%, 84,9% dan 49,9%. Sedangkan pada plot TJ8, jenis yang
mendominasi adalah kumpang dengan nilai INP sebesar 49,0%. Jenis- jenis
komersial Dipterocarpaceae adalah meranti kuning, meranti merah dan nyatoh,
namun penyebaran dari jenis ini tidak merata di semua plot pengamatan. Jenis
yang mendominasi ini adalah jenis pionir yaitu jenis yang mempunyai kesesuaian
tempat tumbuh yang baik serta penyusun pada kanopinya (tegakan).
Indeks ketidaksamaan komunitas
Indeks ketidaksamaan komunitas (ID) yang dibandingkan adalah antara
komunitas pohon dan permudaannya. Nilai ID berkisar antara 0%-100%. Dua
komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama jika nilai ID 0%, dan akan
berbeda jika nilai ID 100% (Ludwig & Reynolds 1988).

16
Tabel 8 Indeks ketidaksamaan (ID) komunitas pohon pada plot pengamatan
Petak
HP
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

HP
0,0

TJ1
55,2
0,0

Matriks indeks ketidaksamaan (ID)
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5 TJ6
TJ7
68,3
55,0
47,4 59,6 100,0 35,5
48,6
54,7
50,8 63,0 100,0 55,5
0,0
52,7
45,9 66,6 95,9 62,8
0,0
35,8 48,3 100,0 62,1
0,0
41,3 100,0 50,6
0,0
100,0 71,8
0,0
100,0
0,0

TJ8
31,9
51,0
67,9
54,9
49,5
59,2
100,0
37,9
0,0

HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005, TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5:
TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012.

Tabel 8 menunjukkan bahwa untuk komunitas pohon pada hutan alam dan
plot TPTJ sebagian besar memiliki nilai ID >50%. Hal ini menunjukan bahwa
komunitas pohon antar plot relatif berbeda atau kesamaan komunitasnya antara
plot satu dengan plot lainnya rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar nilai
kesamaan komunitasnya (IS) ≤ 50%. Triyana (1995) menyatakan bahwa untuk
tingkat pohon keadaan komunitas tegakan tinggal relatif sama jika dibandingkan
dengan hutan primer ketika nilai ID ≤50% dan relatif berbeda ketika nilai ID
≥50% atau nilai IS ≤50% seperti yang ditunjukan oleh nilai ID pada tingkat pohon.
Ketidaksamaan plot TPTJ dengan hutan primer terjadi dikarenakan pohon yang
ada sebagian sudah di tebang, sehingga terjadi pengurangan jenis dan perubahan
komposisi tegakan. Nilai ID untuk komunitas permudaan dapat dilihat pada Tabel
9.
Tabel 9 Indeks ketidaksamaan (ID) komunitas permudaan pada plot pengamatan
Petak
HP
TJ1
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
TJ7
TJ8

HP
0.0

TJ1
66.9
0.0

Matriks indeks ketidaksamaan (ID)
TJ2
TJ3
TJ4
TJ5
TJ6
68.7
60.6
65.3 77.6
72.9
47.4
75.3
62.4 63.1
75.7
0.0
58.1
48.9 79.9
72.1
0.0
31.8 77.4
38.2
0.0
62.1
43.8
0.0
70.8
0.0

TJ7
45.9
78.9
65.9
38.9
44.8
75.7
39.8
0.0

TJ8
58.3
64.7
62.9
54.3
60.7
76.1
59.2
58.6
0.0

HP: Hutan primer, TJ1: TPTJ 2005, TJ2: TPTJ 2006, TJ3: TPTJ 2007, TJ4: TPTJ 2008, TJ5:
TPTJ 2009, TJ6: TPTJ 2010, TJ7: 2011, TJ8: TPTJ 2012.

Komunitas permudaan pada seluruh plot sebagian besar memiliki nilai ID
>50% dan dapat di artikan bahwa komunitas tersebut relatif bebeda, namun
beberapa plot menunjukan komunitas yang relatif sama karena memiliki nilai ID

Dokumen yang terkait

Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknik Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

0 9 261

Dampak Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

0 11 20

Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat)

3 21 271

Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat)

1 9 81

Perkembangan vegetasi pada areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

1 24 109

Kualitas tanah pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur(TPTJ) di areal kerja IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma provinsi Kalimantan Tengah

1 14 77

Persamaan Alometrik Biomassa dan Massa Karbon Akar Pohon Hutan Alam Tropika di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.

0 17 136

Penyusunan Tabel Volume Pohon di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kabupaten Ketapang, Kalimatan Barat.

0 2 42

Nisbah Akar – Pucuk Biomassa dan Massa Karbon Pohon Di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat

0 5 37

Kualitas Tanah pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat

0 6 30