Perencanaan Produksi Hutan Alam Yang Lestari

PERENCANAAN PRODUKSI HUTAN ALAM YANG LESTARI
MUHDI
Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Pengertian Hutan Alam Produksi
Dalam pengusahaan hutan produksi perlu ditetapkan kesatuan tempat diberlakukannya pengaturan hasil tertentu guna menjamin terselenggaranya prinsip kelestarian hasil. Kesatuan areal hutan yang diusahakan dengan fungsi ini dinamakan kesatuan kelestarian. Dari kesatuan ini diharapkan diperoleh besarnya hasil yang relatif sama setiap tahunnya.
Komponen pengaturan kegiatan harus didasarkan pada spesifikasi dan dinamika sumberdaya hutan yang ada pada unit yang bersangkutan. Pengaturan hasil misalnya harus didasarkan pada informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan hutan, dan dinyatakan dalam bentuk harvest scheduling, tidak hanya sekedar Annual Allowable Cut (AAC) dan jatah produksi tebangan (JPT). Pusat - pusat tebang harus ditentukan dengan mengingat karakteristik ekosistem dan penguasaan teritorial. Hasil yang diharapkan adalah jaminan atas kelestarian sumberdaya, disamping kelestarian hasil.
Kegiatan pemanenan kayu merupakan sutatu kegiatan produksi, dimana kayu bulat (log) sebagai hasilnya. Sebagai kegiatan produksi fungsi perencanaan produksi (pemanenan kayu) memegang peranan yang sangat pent ing dalam rangka pencapaian tujuan usaha. Terlebih di bidang kehutanan, tujuan usaha tersebut tidak semata- mata memaksimalkan keuntungan finansial, melainkan juga harus melestarikan hasil dan lingkungannya.
Pemanenan kayu diartikan sebagai proses kegiatan pemindahan hasil hutan berupa kayu dari hutan atau tempat tumbuhnya menuju pasar atau tempat tempat pemanfaatannya, sehingga kayu tersebut berguna bagi kehidupan manusia. Dengan demikian pada hakekatnya pemanenan kayu adalah suatu proses produksi, dimana kayu bulat (log) merupakan produknya. Untuk menjamin agar suatu proses produksi dapat berjalan secara efektif dan efisien, maka diperlukan suatu perencanaan yang baik.
Perencanaan secara umum dapat diartikan sebagai perancangan keterklibatan semua faktor produksi (input) untuk mecapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif pada suatu kurun waktu tertantu.
Di dalam kegiatan pemanenan kayu, faktor produksi (input produksi) yang terlibat meliputi : a. Hutan beserta isinya. b. Manusia/organisasi, pengelola. c . Peralatan d. Dana.
Adapun tujuan kegiatan pemanenan kayu adalah : 1. Memperoduksi kayu secara lestari, baik lestari sumberdaya hutannya maupun
lestari lingkungan hutannya. 2. Mendapatkan nilai tambah, yang meliputi :
©2004 Digitized by USU digital library

a. Keuntungan finansial bagi perusahaan agar eksistensi usahanya terjamin. b. Membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. c. Menumbuhkembangkan perekonomian loka, regional dan nasional. 3. Menyediakan Kayu bulat bagi masyarakat (industri perkayuan maupun individu).
Dengan demikian perrencanaan pemanenan kayu dapat diartikan sebagai perancangan keterlibatan hutan beserta isinya, manusia/organisasi, peralatan dan dana untuk memproduksi kayu secara lestari bagi masyarakat yang membutuhkannya dan mendapatkan nilai tambah baik bagi perusahaan maupun bagi masyarakat local (sekitar hutan), regional dan nasional, pada suatu kurun waktu tertentu.
RENCANA PRODUKSI DALAM PENGUSAHAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Salah satu fungsi perencanaan pemanenan kayu adalah menentukan tingkat produksi kayu yang lestari, baik lestari sumberdaya hutannya maupun lestari pengusahaannya. Untuk kelestarian sumberdaya hutnnya, maka kayu yang dipungut harus tidak melebihi produktivitas (riap hutan yang dipanen. Sedangkan untuk menjamin agar pengusahaan hutan dapat lestari, maka perlu diupayakan agar jumlah kayu yang dihasilkan minimal sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Untuk itu perlu ditatapkan jumlah produksi kayu yang maksimal dapat dihasilkan dengan mempertimbangkan kelestarian usahanya.
Pada hutan tanaman yang menganut system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan (THPB), maka seluruh kayu pada areal/petak yang direncanakan untuk dipanen merupakan kayu yang potensial untuk dipungut. Sedangkan pada hutan alam yang menganut system silvikultur tebang pilih tanam Indones ia (TPTI), banyaknya kayu komersial (yang dapat dimanfaatkan) dengan diamete tertentu merupakan kayu yang potensial untuk dipungut. Selain itu berdasarkan ketentuan yang ada, perlu ditinggalkan pohon-pohon induk.

Sesuai dengan sifat perencanaan pemanenan sebagai “blue print” dari kegiatan pemanenan kayu, maka produksi kayu tahunan yang direncanakan meliputi areal tabangan yang telah ditetapkan berdasarkan arahan ‘forest management plan”. Pada kondisi demikian, maka pertimbangan untuk menentukan jatah tebangan mengikuti arahan rencana yang lebih global sebelumnya (RKPH, RPKH atau RKL).
Pada areal yang telah ditetapkan tersebut perlu diketahui, potnsi hutan melalui kegiatan inventarisasi. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, intensitas sampling inventarisasi adalah 100 %, dimana seluruh jenis pada seluruh tingkat pertumbuhan pohon diinventarisir. Berdasarkan data-data yang diperoleh selanjutnya dapat dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Menghitung volume dan jumlah batang per hektar areal yang direncanakn
dipanen kayunya, berdasarkan data inventarisasi yang ada. b. Berdasarkan ketentuan limit diameter pohon yang boleh ditebang, menentukan
pohon-pohon potensial yang akan dipungut. c . Menentukan pohon inti. d. Memproyeksikan pembagian batang, sesuai dengan peruntukkannya. e. Perkiraan volume kayu yang dapat dikeluarkan.
Selain pendugaan produksi berguna untuk mengetahui tingkat produksi yang lestari dan menguntuingkan, sangat berguna untuk menentukan jumlah : a. Sarana produksi (truk, chain saw dan traktor). b. Prasarana (bangunan kantor, base camp, jalan dan sebagainya). c . Tenaga kerja.

©2004 Digitized by USU digital library

2

JATAH PRODUKSI MAKSIMAL
Tingkat produksi maksimal tahunan yang dapat dipungut adalah tingkat prroduksi yang tidak melampaui produktivitas (riap) hutannya. Banyak metode yang telah dikembangkan para ahli untuk penentuan tingkat produksi tersebut, baik untuk hutan tanaman maupun hutan alam. Mengingat di Indonesia ini masih mengandalkan tebangan dari hutan alam, maka dalam makalah ini hanya akan menjelaskan metode perhitungan tingkat produksi pada hutan alam dengan menggunakan system silvikultur TPTI.
Sehubungan dengan ketentuan pada tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), tingkat produksi (etat tebangan) yang diperbolehkan dibedakan berdasarkan luas dan volume.
ETAT LUAS
Luas hutan yang diperkenankan untuk ditebang setiap tahun (L) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
L = TA − TB − NP 35 tahun
Keterangan : L = Luas areal yang dapat ditebang TA = Total areal produksi (konsesi) (ha) TB = Luas areal tidak berhutan (ha) NP = Luas areal non produksi (ha) 35 tahun adalah siklus tebang
Mengingat bahwa tidak seluruh kondisi areal di hutan alam itu seragam, maka areal berhutan yang potensial dipanen seyogyanya perlu dibedakan dalam strata kepadatan kayunya, misalnya sebagai hutan lebat, hutan sedang dan jarang. Atau dengan metode yang lebih kompleks dengan merisalah kualitas tempat tumbuh (site index).
ETAT VOLUME
Etat volume tebangan per tahun yang diperkenankan (V) dihitung dengan formula sebagai berikut :

V = L x P x 0,8 x 0,7
Keterangan : V = Volume kayu yang dapat ditebang per tahun (m3/th) L = Luas areal yang dapat ditebang per tahu (ha) P = Potensi kayu sesuai limit diameter yang diperkenankan ditebang pada
masing- masing fungsi hutan (m3/th) 0,8 = faktor kesalahan estimasi 0,7 = faktor pemanenan

©2004 Digitized by USU digital library

3

Rotasi tebangan sebesar 35 tahun ialah untuk hutan perbukitan, dengan ketentuan diameter yang diperkenankan ditebang :
a. Diameter 50 cm ke atas, untuk hutan produksi tetap b. Diameter 60 cm ke ats, untuk hutan produksi terbatas.
TINGKAT PRODUKS I MINIMAL

Di dalam suatu pengusahaan hutan, maka tingkat produksi minimal yang menguntungkan perlu ditetapkan. Memproduksi berarti menghasilkan sesuatu. Untuk itu diperlukan biaya produksi. Di lain pihak, dengan adanya produksi akan diperoleh pendapatan yang tentunya harus menguntungkan. Untuk dapat memperoleh keuntungan tersebut, maka pendapatan harus mampu melebihi biaya produksi.
Biaya produksi akan terdiri dari biaya tetap dan biaya variable. Per satuan
unit produksi, biaya tetap akan dipengaruhi oleh tingkat produksi. Sedangkan biaya variable akat tetap per satuan unitnya. Mengingat karakteristik biaya- biaya tersebut, maka semakin banyak produksi baiay tetap per satuan unit akan menurun. Demikian sebaliknya, semakin besar tingkt produksi biaya variable akan semakin besar pula.
Seperti diketahui bahwa komponen biaya tetap terdiri dari : 1. Depresiasi (penyusutan)
Terdapat beberapa metode perhitungan biaya penyusutan antara lain metode garis lurus (straight line), sum of digit, double declining balance dan persentase. Dari metode- metode tersebut, metode garis lurus merupakan metode yang paling sederhana dan mudah perhitungannya, yaitu dengan rumus :

D=M−R L
Dimana : D = penyusutan (depresiasi) dalam satuan moneter per unit waktu M = invenstasi dalam satuan moneter R – nilai sisa (rongsokan) investasi dalam satuan moneter L = lamanya investasi tertanam dalam satuan waktu.

2. Bunga Modal Dengan menggunakan metode perhitungan penyusutan garis lurus serta
mengabaikan pengaruh nilai waktu luang, bunga modal dapat dihitung dengan metode “average annual investment”. Dimana rumusnya adalah sebagai berikut :

B

=

(M 



R)(L 2L

+ 1)

+

Ri

Dimana :


B = bunga modal per tahun

i = tingkat bunga yang ditetapkan

M = invenstasi dalam satuan moneter

R – nilai sisa (rongsokan) investasi dalam satuan moneter

L = lamanya investasi tertanam dalam satuan waktu.

3. Gaji karyawan tetap 4. Pengeluaran- pengeluaran langsung yang tetap lainnya seperti biaya RKT, dan
sebagainya. Sedangkan biaya- biaya variable terdiri dari biaya- biaya langsung yang
sifatnya berubah-ubah dengan perubahan tingkat produksi, seperti :

©2004 Digitized by USU digital library

4

1. Biaya perbaikan dan pemeliharaan 2. Biaya bahan bakar minyak, oli, gemuk dan lain- lain 3. Upah- upah buruh borongan dan lain sebaginya.

Atas keterlibatan dana (biaya- biaya) tersebut, perlu diupayakan memperoleh pendapatan yang melebihi atau korbanan-korbanan tersebut, minimal sama. Kondisi pulang pokok (break even point/BEP). Kondisi tersebut secara matematis dapat dilakukan sebagai berikut :
Pendapatan = Biaya Produksi NxH = F+NxV N=F/(H- V)
Dimana : N = tingkat produksi minimal yang harus dilampaui per satuan waktu produksi F = Biaya tetap (Rp/unit produksi) V = Biaya variable (Rp/unit produksi) H = Harga jual produk (Rp/unit produksi)
PRINSIP KELESTARIAN HASIL HUTAN ALAM PRODUKSI
Dalam pengusahaan hutan produksi perlu ditetapkan kesatuan tempat diberlakukannya pengaturan hasil tertentu guna menjamin terselenggaranya prinsip kelestarian hasil. Kesatuan areal hutan yang diusaghakan dengan fungsi ini dinamakan kesatuan kelestarian. Dari kesatuan ini diharapkan diperoleh besarnya hasil yang relatif sama setaip tahun. Dengan demikian maka perhitungan besarnya AAC, yaitu jatah tebangan tahunan yang dapat memberikan jaminan kelestarian hasil haruslah berdasarkan kepada keadaan potensi hutan yang ada.
Proinsip kelestarian hasil dalm pengusahaan hutan mensyaratkan diperolehnya hasil yang sediktinya sama besar untuk setiap satuan waktu dari kesatuan tertentu yang diusahakan, sehingga secara operasional prisnsip ini dapat diartikan sebagai diperolehnya hasil yang sama setiap tahun dari setiap kesatuan yang diusahakan.
KESIMPULAN
1. Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia dikelola oleh HPH. Perencanaan pemanenan pada HPH merupakan bagian dari perencanaan manajemen hutan yang erat kaitannya dengan perencanaan manajemen system silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia.
2. Perencanaan pemanenan kayu penting dilakukan, karena akan menentukan tingkat produksi kayu lestari, baik lestari sumberdaya hutannya maupun lestari pengusahaannya.
3. Pengaturan hasil hutan alam produksi dalam bentuk AAC (Annual Allowable Cut ) merupakan jatah produksi tahunan makasimum yang dibenarkan agar kelestarian hasil tercapai.
4. Komponen pengaturan kegiatan belum berdasarkan pada spesifikasi dan dinamika sumberdaya hutan yang ada pada unit yang bersangkutan. Padahal pusat - pusat tebangan harus ditentukan, mengingat karakteristik ekosistem dan penguasaan territorial, sehingga diharapkan adanya jaminan kelestarian sumberdaya, disaamping kelestarian hasil.

©2004 Digitized by USU digital library

5

DAFTAR PUSTAKA
Bramasto, N. 1995. Perencanan Pemanenan Kayu. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor.
Davis, L.S. and K.N. John. 1987 Forest Management. Third Edition. McGraw- Hill Book Company. New York.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Wackerman, A.E. 1949. Harvesting Timber Crops. Mc Graw Hill Book Company, Inc. New York.

©2004 Digitized by USU digital library

6