Masalah Dan Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Penerapan Pendekatan Advocacy Coalition Framework

MASALAH DAN KEBIJAKAN SERTIFIKASI
PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI :
PENERAPAN PENDEKATAN ADVOCACY COALITION
FRAMEWORK

LIBRIANNA ARSHANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Masalah dan Kebijakan
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan
Advocacy Coalition Framework adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Librianna Arshanti
NIM E151120021

RINGKASAN
LIBRIANNA ARSHANTI. Masalah dan Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan
Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan Advocacy Coalition Framework.
Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan AZIS KHAN.
Setiap terwujudnya regulasi hampir selalu melibatkan berbagai pemikiran
dan aktor-aktor pendukung beserta kepentingan yang ada di dalamnya.
Kepentingan aktor beserta latarbelakangnya seringkali menimbulkan perubahan
keyakinan dan tujuan dari regulasi yang sudah berjalan. Demikian pula halnya
dengan regulasi mengenai kebijakan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari (PHPL) ternadap Hutan Alam. Pemerintah mewajibkan kepada pemegang
Ijin IUPHHK Hutan Alam untuk melakukan sertifikasi PHPL dengan tujuan
terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari.

Penelitian yang dilakukan mengenai sertifikasi PHPL ini bertujuan untuk
mendapatkan rekomendasi atas arah pelaksanaan kebijakan dalam menjawab
permasalahan pada pengelolaan hutan alam di Indonesia. Kerangka Koalisi
Advocacy (Advocacy Coalition Framework, ACF) adalah kerangka kerja yang
dikembangkan untuk memahami dan menjelaskan perubahan keyakinan dan
kebijakan saat timbul ketidaksepakatan atas tujuan regulasi dan digunakan untuk
menganalisa perubahan yang terjadi secara dinamis terhadap faktor-faktor sebagai
kondisi yang dapat merubah kebijakan.
Pelaksanaan sertifikasi PHPL yang diwajibkan oleh pemerintah ini
kemudian menimbulkan pertanyaan orientasi manakah yang lebih dominan antara
kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL ini bertujuan sekedar
memerlihatkan kepatuhan akan aturan (compliance) tentang kelestarian hutan atau
benar-benar menguatkan pemenuhan pencapaian kinerja pengelolaan hutan lestari
(conformity). Atas dasar pertanyaan tersebut maka tujuan dari penelitian ini
adalah (1) Menentukan koalisi dalam arah kebijakan sertifikasi PHPL yang terjadi
menggunakan kerangka ACF dimana analisa dilakukan dengan mempelajari
sejarah kebijakan sertifikasi, identifikasi peran aktor dan koalisinya dan (2)
Merumuskan rekomendasi atas arah kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan lestari
pada hutan alam.
Riset bersifat fenomenologi dan dilakukan untuk menelaah proses

kebijakan terkait sertifikasi PHPL di Indonesia. Telaah kebijakan difokuskan
kepada produk kebijakan terkait sertifikasi PHPL untuk melihat alur dan kerangka
pikir. Hal ini ditelaah dengan menggunakan analisa diskursus. Keseluruhan
langkah dilakukan untuk memastikan kerangka koalisi yang terjadi yang dalam
hal ini adalah dugaan aktor dan kerangka pikirnya, serta bentuk dan arah koalisi
yang terjadi berdasarkan parameter tetap dan kejadian eksternal sebagaimana
kerangka baku ACF.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa dalam kurun waktu dari
tahun2000 sampai dengan 2015, penerapan kebijakan sertifikasi PHPL terbagi
kedalam tiga dinamika periode waktu. Masing-masing periode waktu menunjukan
adanya perubahan arah kebijakan sertifikasi PHPL. Pendekatan menggunakan
ACF menemukan bahwa dalam proses pengambilan keputusankebijakan atas
sertifikasi PHPL yang berlaku di Indonesia terdapat dua koalisi yang

mempertentangkan duakepentingan. Koalisi pertama adalah pihak atau aktor yang
menggunakan sertifikasi dengan tujuan untuk menunjukan kepatuhan terhadap
legal formal aturan yang berlaku pada pengelolaan hutan alam. Koalisi yang
kedua adalah pihak atau aktor yang menggunakan sertifikasi dengan tujuan untuk
memaksimalkan nilai sumberdaya. Hasil telaah pada kebijakan sertifikasi PHPL
menunjukan bahwa penilaian pada sertifikasi mandatory cenderung pada

pemenuhan terhadap kepatuhan peraturan pemerintah yang berlaku. Sementara
faktanya pasar kayu internasional lebih memilih untuk menerima sertifikasi yang
penilaiannya berdasarkan pemenuhan kesesuaian pada standar dan kriteria
pengelolaan hutan lestari. Hal tersebut membuat sertifikasi PHPL yang
seharusnya merupakan penilaian atas pemenuhan terhadap standar pengelolaan
hutan yang lestari menjadi tidak tercapai.
Kata kunci : Advocacy Coalition Framework, Kepatuhan, Kesesuaian,
Sertifikasi, Hutan Alam

SUMMARY
LIBRIANNA ARSHANTI. Problems and Policies of Sustainable Natural Forest
Management Certification: an Advocacy Coalition Framework Implementation
Approach. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and AZIS KHAN.

Each regulation is almost involves with various thoughts of supporting
actors and their interests within it. Interests of actor sand their own background
often create changes in beliefs and objectives of the existing regulation. Same
things happen with the regulations on certification of Sustainable Forest
Management (SFM) on theNatural Forest. The government requires that all
Permit holder of IUPHHK of Natural Forest to assess SFM certification with the

aim of to realize the sustainable forest management.
Research aboutthe SFM certification is intended to get recommendation
toward policy implementation in answering the problems in managing natural
forests in Indonesia. Advocacy Coalition Framework (ACF) was developed to
understand and explained changes in confidence and when there are
disagreements over the extent policy regulatory purposes. ACF is also used to
analyze the dynamic changes that occur to the factors that may change the policy.
The implementation of SFM certification mandated by the government
raises questions in which orientation is more dominant among the SFM
certification goals. Whether to comply with government regulations related to
forest management or conformity the achievement of sustainable forest
management performance. Based on these questions, the objective of this research
is to determine the coalition of policy on SFM certification process using ACF by
study the history of policies that related to certification, beliefs of the actors and
the coalition and to formulate recommendation on the policy direction of SFM
certification on natural forests.
This is a phenomenological research and was to review policy process
related to the SFM certification in Indonesia. Policy review is to understand the
policy conceptual framework focused on the SFM certification. This research uses
discourse analysis. All stages of the research is to make sure the existence of

coalition, which in this case is a coalition of actors, conceptual framework, and
the direction coalition that is happened based on fixed parameters and external
events as indicated in the ACF.
The results of this research found that the implementation of the SFM
certification policies in the period from the year 2000 up to 2015 are divided into
three groups based on the dynamics purpose. Each group showed a policy change
on the SFM certification. The approach using ACF found that in the process of
policy decision-making on the SFM certification in Indonesia there are two
coalitions that are contradicting the two interests. The first coalition (A) is a side
or actors that are using certification with the aim to showing compliance with
formal legal rules that force onthe management of natural forests. Coalition
second (B) is a side or actors that is using certification in order to maximize the
value of resources.

Political research conducted indicates that SFM certification policy
assessment on mandatory SFM certification tends to be in compliance with
applicable government regulations. While the fact that the international timber
markets choose to accept a certification of conformity assessment based on the
fulfillment of standards and criteria for sustainable forest management. Conditions
as described above shows that there are no achievement of SFM certification as an

assessment to compliance with sustainable forest management standards
Kata kunci : Advocacy Coalition Framework, Compliance, Conformity,
Certification, Natural Forest

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MASALAH DAN KEBIJAKAN SERTIFIKASI
PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI :
PENERAPAN PENDEKATAN ADVOCACY COALITION
FRAMEWORK

LIBRIANNA ARSHANTI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Buce Saleh, MS

PRAKATA
Puji serta syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas karunianya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak
Agustus 2014 mendalami tema kebijakan dengan judul Masalah dan Kebijakan
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan
Advocacy Coalition Framework.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi

Kartodihardjo, MS. Dan Bapak Dr. Ir. Azis Khan, MSc. selaku pembimbing.
Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Lembaga
Penilai Independent, FLEGT, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
dan seluruh Penggiat Sertifikasi Hutan atas bantuan dan dukungannya dalam
pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan
keluarga kecil penulis untuk doa dan dukungannya, serta seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Librianna Arshanti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian

2 METODE
Kerangka Pendekatan
Pengumpulan Data
Lokasi dan Waktu Penelitian
Analisis Data
3 KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL
Dinamika Peraturan sertifikasi PHPL Berdasarkan Periode Waktu`
Standar Kriteria dan Indikator
Perkembangan Hasil Sertifikasi PHPL pada IUPHHK Hutan Alam
4 KOALISI DALAM PROSES KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL
Analisa Parameter ACF pada kebijakan Sertifikasi PHPL
Analisa Aktor Pembentuk Koalisi
Hasil Koalisi
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

1
1

2
2
2
3
3
5
7
7
8
8
15
25
26
26
27
29
31
31
31
32

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perubahan peraturan mengenai PHPL
Hasil penilaian sertifikasi PHPL dan ketentuan perbaikan kinerja
Kriteria dan Indikator pada kepmenhut nomor 4795/Kpts-II/2002
Kriteria dan indikator penilaian sertifikasi PHPL sesuai Peraturan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014
Dinamika parameter ACF pada kebijakan sertifikasi PHPL
Kecenderungan posisi koalisi aktor
Dinamika para pihak dalam koalisi

5
14
16
19
26
27
29

DAFTAR GAMBAR
1.

Diagram alir proses kebijakan dengan pendekatan ACF

4

DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekapitulasi perubahan pada peraturan sertifikasi PHPL tahun 2000 s/d
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

tahun 2015
Pertimbangan pemberlakukan aturan mengenai sertifikasi PHPL periode
tahun 2002 – 2009
Pengertian pengelolaan hutan produksi lestari pada aturan terkait sertifikasi
PHPL periode tahun 2000 – 2002
Peran para pihak yang berkepentingan dalam sertifikasi PHPL
Pertimbangan atas pelaksanaan sertifikasi PHPL pada periode tahun
2009 – 2015
Ketentuan kewajiban sertifikasi PHPL periode tahun 2009 – 2015
Keterlibatan JPIK dalam proses penilaian Sertifikasi PHPL
Daftar Informan

35
61
62
63
65
68
71
72

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap terwujudnya regulasi hampir selalu melibatkan berbagai permikiran
dan aktor-aktor pendukungnya beserta kepentingan yang ada di dalamnya.
Kepentingan dan latar belakangnya seringkali menimbulkan perubahan keyakinan
dan ketidaksepakatan tujuan dari regulasi yang sudah berjalan. Kerangka Koalisi
Advocacy (Advocacy Coalition Framework, ACF) adalah kerangka kerja yang
dikembangkan untuk memahami dan menjelaskanperubahan keyakinan dan
kebijakan saat timbul ketidaksepakatan atas tujuan regulasi yang melibatkanperan
dari berbagai aktor (sabatier dan weible 2015). Penerapan kerangka pikir ACF
dalam berbagai kebijakan digunakan untuk menganalisa perubahan yang terjadi
secara dinamis terhadap faktor-faktor sebagai kondisi yang dapat merubah
kebijakan (Sabatier 1998).
Elliott dan Schlaepfer (2001) menjelaskan bahwa dalam penelitian proses
kebijakan melalui pendekatan ACF ada empat premis yaitu : (1) Pemahaman atas
terjadinya perubahan politik dan arah kebijakan diperlukan perspektif dalam
waktu lebih dari 10 tahun, (2) Optimalisasi unit analisis proses kebijakan lebih
kepada organisasi yang membentuk “subsistem kebijakan” bukan pada institusi
pemerintahan secara individual, (3) Secara normatif dalam sebuah subsistem
kebijakan akan melibatkan peran aktor dari berbagai level tingkat pemerintahan,
swasta, dan kelompok masyarakat, dan (4) mengutamakan sistem kepercayaan
sehingan koalisi advokasi terbentuk dari kumpulan aktor penyusun kebijakan
dengan dasar saling percaya.
ACF tersebut diterapkan pada kebijakan pelabelan sertifikasi atas sebuah
produk berbahan baku kayu yang berasal dari hutan menjadi salah satu syarat
dalam perdagangan kayu internasional. Keberadaan label sertifikasi pada
perdagangan produk kayu merupakan pemberian informasi pada konsumen bahwa
produk tersebut berasal dari hutan yang memenuhi standar penilaian lingkungan
dan sosial (Rametsteiner dan Simula 2002). Tujuan utama sertifikasi hutan adalah
untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan sehingga produk hasil hutan dapat
diidentifikasi pasar sebagai produk yang dihasilkan dari hutan yang
memperhatikan ekologi, kelangsungan hasil, dan keuntungan sosial yang lebih
baik dari pengelolaan hutan secara konvensional (Gullison 2003).
Untuk memenuhi sertifikasi tersebut, tahun 1994 Forest Stewardship
Council (FSC) menyusun sebuah skema sertifikasi yang menghasilkan standar
prinsip dan kriteria atas Well Managed Forest. Atas dasar karakteristik Indonesia
yang spesifik dalam hal sosial budaya dan kondisi lingkungan maka pada tahun
2002 Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menyusun skema sertifikasi dengan
standar yang lebih sesuai. Jelas dalam hal ini sertifikasi hutan merupakan sebuah
syarat kesesuaian (Conformity) atas standar kelestarian hutan.
Perkembangan kebijakan mengenai Sertifikasi Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL) dimulai pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya
keputusan menteri kehutanan No. 09.1/kpts-II/2000. Aturan penilaian kinerja
PHPL sampai dengan saat ini telah mengalami beberapa revisi. Kebijakan
pemerintah terkait pelaksanaan sertifikasi PHPL pada hutan alam yang berlaku

saat ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.95/Menhut-II/2014.
Secara politik penerapan kebijakan sertifikasi PHPL pada hutan alam
produksi merupakan label kepatuhan (Compliance) pengelola hutan di Indonesia
terhadap regulasi Pemerintah. Kepatuhan yang dimaksud adalah untuk mengikuti
suatu standar atau hukum yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang pada
bidang kehutanan. Dengan hal tersebut maka pasar internasional akan melihat
bahwa hutan alam produksi di Indonesia dikelola berdasarkan tata kelola
kebijakan yang baik pada sektor kehutanan.
Perumusan Masalah
Durst et al (2006) dan Floyd (2002) dalam Watts et al (2012) menyatakan
bahwa sejak diterimanya sistem sertifikasi hutan maka saat ini ada sekitar 10
persen dari luas hutan dunia yang telah di sertifikasi merupakan pengelolaan
hutan yang tumbuh semakin kuat dan mendapatkan pengakuan serta dukungan
dari kelompok penggiat lingkungan, organisasi pemerintah, LSM, dan Industri
terkait. Sertifikasi hutan sebagaimana pernyataan Gullison (2003) dalam
penelitiannya bahwa tujuan utama sertifikasi hutan adalah untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan hutan sehingga produk hasil hutan dapat diidentifikasi pasar
sebagai produk yang dihasilkan dari hutan yang memperhatikan ekologi,
kelangsungan hasil, dan keuntungan sosial yang lebih baik dari pengelolaan hutan
secara konvensional.
Kepastian atas tata ruang, kawasan dan konflik kepentingan terkait
otonomi daerah antara pusat dan daerah merupakan permasalahan yang dirasakan
oleh Unit Manajemen IUPHHK-Hutan Alam. Hal tersebut mempengaruhi
kesiapan Unit Manajemen dalam memenuhi kewajiban sertifikasi PHPL.
Penilaian yang merupakan proses mandatory dan wajib dilakukan sesuai
Peraturan yang berlaku namun menggunakan biaya dari Unit Manajemen
Pengelola Hutan Alam Produksi memicu konflik kepentingan dalam prosesnya
dan mempengaruhi kinerja pelaksanaan sertifikasi.
Pertanyaan yang kemudian timbul atas kewajiban pelaksanaan sertifikasi
PHPL adalah(1) Apakah kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL ini
bertujuan sekedar memerlihatkan kepatuhan akan aturan (compliance) tentang
kelestarian hutan atau benar-benar menguatkan pemenuhan pencapaian kinerja
pengelolaan hutan lestari (conformity). Dari dari dua kondisi ini (2) orentasi mana
yang paling dominan dan (para) pihak mana yang mengusung orientasi dimaksud.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah
dengan melakukan analisa diskursus pada teks peraturan yang mendasari
sertifikasi PHPL. Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan koalisi dalam arah kebijakan sertifikasi PHPL yang terjadi
menggunakan kerangka ACF. Analisa dilakukan dengan mempelajari sejarah
kebijakan sertifikasi, identifikasi peran aktor dan koalisinya.
2. Merumuskan rekomendasi atas arah kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan
lestari pada hutan alam.



Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi perbaikan atas kebijakan sistem
sertifikasi PHPL mandatory. Manfaat lainnya adalah bagi Unit Manajemen
pemegang IUPHHK Hutan Alam dapat menjadikan sertifikasi kinerja pengelolaan
hutan alam yang lestari untuk mengenali permasalahan yang sebenarnya dihadapi
dan mampu memecahkannya untuk kelestarian hutan alam produksi Indonesia.

2 METODE
Kerangka Pendekatan
Dalam merancang penelitian perlu dipertimbangkan 3 (tiga) komponen
penting yaitu asumsi-asumsi filosofis, strategi penelitian terkait asumsi tersebut,
dan metode atau prosedur spesifik yang dapat diterjemahkan dalam penelitian
dimaksud (Creswell 2009). Penelitian ini merupakan riset kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi dengan memanfaatkan kerangka koalisi advokasi
(ACF). Riset dilakukan untuk menelaah proses kebijakan terkait sertifikasi PHPL
di Indonesia. Telaah kebijakan difokuskan kepada produk kebijakan terkait
sertifikasi PHPL untuk melihat alur dan kerangka pikir. Hal ini ditelaah dengan
menggunakan analisa diskursus. Keseluruhan langkah dilakukan untuk
memastikan kerangka koalisi yang terjadi yang dalam hal ini adalah dugaan aktor
dan kerangka pikirnya, serta bentuk dan arah koalisi yang terjadi berdasarkan
parameter tetap dan kejadian eksternal sebagaimana kerangka baku ACF.
Pendekatan telaah kebijakan dengan menggunakan ACF pada dasarnya
akan mengacu pada aktor, jaringan, dan situasi politik yang memberikan pengaruh
pada kebijakan tersebut. Secara umum kebijakan terjadi dalam subsistem
kebijakan yaitu wilayah kebijakan yang meliputi semua peserta kebijakan dan
aktor yang terlibat dalam proses penyusunan kebijakan. Dalam subsistem
kebijakan para aktor peserta kebijakan mengkoordinasikan perilaku dengan sekutu
didalam koalisi advokasi. Sesuai dengan kondisi dari interaksi dan kesamaan
perilaku dari aktor peserta kebijakan maka subsistem kebijakan merupakan
penetapan dari pengaruh dan mempengaruhi parameter stabil (tetap) dan
parameter tidak stabil (eksternal) (Sabatier dan weible 2015).
Proses kebijakan menggunakan kerangka pendekatan ACF dapat di
pahami melalui diagram alir pada Gambar 1.



Pembatas dansumberdaya
dariaktor dalam subsistem

Parameter stabil (tetap)
1.
2.

Atribut dasar permasalahan
Pendistribusian
sumberdaya alam
3. Nilai dasar dan struktur
sosial budaya
. Struktur dasar
konstitusional

PUBLIC POLICY SUBSISTEM
KOALISI A
Policy belief,
sumberdaya

Policy
Broker

KOALISI B
Policy belief,
sumberdaya

Pengambilan keputusan

Parameter eksternal
(Tidak Stabil)
1.
2.
3.
4.

Perubahan kondisi sosial
ekonomi
Perubahan pada opini
publik
Perubahan pada sistem
koalisi pemerintahan
Keputusan kebijakan dan
dampaknya dari subsistem
lainnya

Perjanjian, Alokasi sumberdaya,
aturan kelembagaan
Kebjaan Sertifikasi PHPL:
• Pilihan Regulasi yang relevan
• Pilihan pasal-pasal yg relevan
untuk setiap regulasi terrpilih
Discourse analisis
Keragaan dan Dampak
kebijakan Sertifikasi

HUTAN ALAM PRODUKSI

Gambar 1 Diagram alir proses kebijakan dengan pendekatan ACF (Sabatier 1998)
Regulasi pada akhirnya adalah hasil kebijakan dari proses penyusunan
yang melibatkan subsistem dan para aktor yang terlibat dan berkoalisi
didalamnya. Koalisi sendiri didefinisikan sebagai persekutuan, gabungan atau
aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki
kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau
berasas manfaat. Anggota dalam sebuah koalisi akan sepaham untuk tidak
berkompetisi, bekerja bersama, juga sepakat untuk saling berbagi sumberdaya dan
informasi.
Advokasi koalisi dalam kebijakan adalah koalisi penggunaan
informasi yang relevan dengan satu atau lebih argumen kebijakan untuk
mempengaruhi agenda kebijakan yang dikelurakan oleh pemerintah (Dunn 2003;
Parsons 2006).
Proses kebijakan dengan menggunakan pendekatan ACF di asumsikan
bahwa para aktor dalam proses kebijakan dapat terkumpul dalam sebuah advokasi
koalisi yang beranggotakan lebih dari dua orang. Aktor yang terkumpul dalam
advokasi koalisi ini merupakan perorangan atau wakil lembaga yang bermacammacam, berbagai level pemerintahan, dan bahkan bisa saja dari bidang yang
mungkin tidak terkait dengan koalisi dimaksud. Kondisi ini tidak akan
berlangsung lama karena pada akhirnya keseluruhan aktor yang memiliki latar
belakang, tujuan, dan wewenang yang berbeda akan meninggalkan pemikiran
sebelumnya dan melebur dalam tujuan koalisi tersebut (sabatier 1998).



Pendekatan ACF akan memberikan penjelasan bahwa dalam sebuah proses
kebijakan pengaruh dari parameter tetap dan parameter eksternal kemudian
dijadikan sebagai pembatas dari sumberdaya dan aktor di dalamnya. Dalam
memberikan argumen maka kelompok advokasi koalisi kebijakan menggunakan
instrument penuntun untuk mengadopsi satu atau beberapa strategi dalam proses
kebijakan.
Hasil akhir dari proses kebijakan adalah program pemerintah yang
kemudian menghasilkan kebijakan pada level pelaksanaan di lapangan. Pelaksaan
dari hasil kebijakan dapat saja menghasilkan efek dan dampak yang bervariasi
pada target yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan kebijakan.
ACF dalam mempelajari proses kebijakan konsisten pada dasar telaah
aktor dalam jaringan kerja kebijakan.
Pengumpulan Data
Data penelitian ada 2 (dua) macam yaitu data pokok dan data sekunder.
Data pokok merupakan produk aturan dan kebijakan dan hasil wawancara secara
mendalam kepada masing-masing Stakeholder. Data sekunder merupakan data
penunjang untuk memperkuat hasil analisa proses kebijakan yang dilakukan.
Dalam hal ini yang menjadi data sekunder adalah laporan hasil penilaian dari
Lembaga Penilai (LP) PHPL.
a. Pengumpulan dokumen
Terkait dengan penelitian pengumpulan dokumen dilakukan pada aturan
kebijakan yang berkenaan dengan sistem sertifikasi hutan alam. Sesuai dengan
premis ACF, maka perubahan aturan kebijakan sertifikasi yang ditelaah adalah
perubahan aturan yang terjadi sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014,
sebagaimana di tampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perubahan peraturan mengenai PHPL
Tahun
Peraturan no.
Tentang
2000 Kepmenhut no. 09.1/kptsKriteria dan Standar Pengelolaan Hutan
II/2000
Produksi Secara Lestari
2002 Kepmenhut no. 4795/Kpts- Kriteria dan indikator pengelolaan hutan
II/2002
alam produksi lestari pada unit pengelolaan
(beserta lampiran)
Kepmenhut no. 4796 /Kpts- Tata cara penilaian kinerja pengelolaan
II/2002
hutan alam produksi lestari pada unit
pengelolaan
2003 Kepmenhut
Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha
Nomor : 208/Kpts-II/2003
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Alam Di Unit Manajemen Dalam
Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari
2009 Permenhut no.
Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja
P.38/menhut-II/2009
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang
Izin Atau Pada Hutan Hak

6

Tabel 1 (lanjutan)
Tahun
Peraturan no.
2010 PERDIRJEN Bina Produksi
Kehutanan No.
P.02/VI-BPPHH/2010
2011 Permenhut no. P.
68/Menhut-II/2011

2012

2013

2014

Tentang
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu
Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor
P.38/Menhut-Ii/2009 Tentang Standar Dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi
Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau
Pada Hutan Hak
Permenhut no.
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
P.45/Menhut-II/2012
Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009
Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu
Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
PERDIRJEN Bina Produksi Standar Dan Pedoman Pelaksanaan
Kehutanan Nomor : P.8/VI- Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
BPPHH/2012
Produksi Lestari (PHPL)
Dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
Permenhut no.
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
P.42/Menhut-II/2013
Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009
Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu
Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
Permenhut no.
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
P.43/Menhut-II/2014
Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas
Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada
Hutan Hak
PermenLHK no.
Perubahan Atas Peraturan Menteri
P.95/Menhut-II/2014
Kehutanan
Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas
Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada
Hutan Hak
Perdirjen BUK No. P.5/VI- Standar Dan Pedoman Pelaksanaan
BPPPHH/2014
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL)
Dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
Perdirjen BUK no. P.14/VI- Standar Dan Pedoman Pelaksanaan
BPPHH/2014
Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) Dan Verifikasi Legalitas Kayu
(VLK)

7

Tabel 1 (lanjutan)
Tahun
Peraturan no.
2015 Perdirjen BUK no. P.1/VIBPPHH/2015

Tentang
Perubahan Atas Peraturan Direktur
Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor
P.14/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar
Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari (PHPL) Dan Verifikasi Legalitas
Kayu (VLK)

b. Wawancara
Responden dalam penelitian ini ditetapkan menggunanakan tehnik
penarikan sample secara snowball. Prosedur penarikan responden dengan
menggunakan teknik snowball adalah strategi yang digunakan untuk mencari dan
merekrut kelompok informan yang tidak mudah di akses melalui pengambilan
informan lain. Dalam penentuan informan perlu diperhatikan dengan kesulitan
untuk memperoleh informan dengan karakter tertentu maka perlu informasi dari
informan yang memahami masalah penelitian dan mampu memberikan informasi
akurat untuk dapat merujuk pada informan lain sehingga mata rantai rujukabn
sampai pada bentuk snowball yang memadai (Bungin 2007).
Prosedur snowball yang digunakan adalah Exponential Discriminatif
Snowball Modle. Model ini dikembangkan di lapangan dengan tidak
menggunakan semua informan yang dirujuk. Pemilihan informan berikutnya
dilakukan secara selektif dengan pertimbangan peneliti atas kedalaman informasi
dan keterkaitannya dengan masalah penelitian.
Dari responden yang terjaring kemudian dilakukan wawancara secara
mendalam (Indepth Interview) sebagai data hasil wawancara. Tehnik wawancara
secara mendalam ini merupakan tehnik pengambilan informasi dari informan
yang dilakukan berulang melalui proses intersubjektif antara peneliti dengan
informan yang sama.Proses wawancara dilakukan dalam jangka waktu
kebersamaan antara peneliti dan informan yang lebih lama. Data hasil wawancara
ini akan di gunakan sebagai bagian dari analisa mengenai kebijakan sertifikasi
PHPL.
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan lokasi pengambilan data dan wawancara
dengan informan meliputi Bogor dan Jakarta. Waktu pelaksanaannya adalah
selama 2 (dua) bulan terhitung bulan November sampai dengan Desember 2015.
Analisis Data
William Ascher (2000) memberikan alasan bahwa penerapan teori
organisasi klasik dapat di jadikan pendekatan dalam menganalisa permasalahan
pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Meskipun demikian, fungsi
yang bekerja dalam teori organisasi telah menimbulkan perdebatan khusus bahwa

8

kompleksnya permasalahan dan dalam rentang waktu panjang menunjukan bahwa
secara sitematis teori organisasi masih belum dapat diterapkan.
Analisis data penelitian ini dilakukan menggunakan analisis diskursus
pada teks kebijakan regulasi Sertifikasi PHPL pada Hutan Alam. Fungsi
Diskursus adalah untuk membuat sebuah masalah yang kompleks menjadi lebih
sederhana, memberikan gambaran atas alternatif yang tersedia, memberi pengaruh
atas keputusan yang di pilih dan pengaruhnya kemasa yang akan datang (Sutton
1999).
Dalam analisa diskursus, fokus analisis proses kebijakan yang berkaitan
dengan telaah dokumen maupun hasil wawancara di orientasikan pada pemaknaan
sesuai atribut yang di telaah (Khan et al 2010). Orientasi pemaknaan dalam
analisa kebijakan sertifikasi PHPL pada hutan alam meliputi pemaknaan batas,
tujuan, dan peran para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan.Analisa
diskursus pada teks kebijakan sertifikasi PHPL Hutan Alam digunakan dalam
mengenali proses kebijakan yang terjadi dalam subsistemsebagaimana kerangka
pikir ACF.

3 KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) merupakan produk
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Tujuan awal dari dilaksanakannya
sertifikasi PHPL adalah untuk penilaian kinerja yang dilakukan oleh Unit
Manajemen pemegang Ijin Pengelolaan hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam
(IUPHHK-HA).
Kebijakan sertifikasi PHPL yang digunakan dalam analisa proses
kebijakan menggunakan kerangka pikir ACF merupakan produk kebijakan yang
di keluarkan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade. Hasil dari kebijakan
pemerintah dalam bentuk peraturan sertifikasi PHPL yang di analisa adalah
peraturan yang berlaku mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015.
Peraturan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada
Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak. Peraturan ini merupakan hasil akhir dari
perubahan
yang terus dilakukan pada peraturan
yang berlaku
sebelumnya.Peraturan pada peraturan yang berlaku sebelum P.95/Menhut-II/2014
sudah tidak lagi dijadikan dasar secara hukum. Isi dari peraturan sebelumnya
digunakan sebagai gambaran atas proses perubahan isi dan tujuan pelaksanaan
sertifikasi PHPL pada IUPHHK Hutan Alam.
Dinamika Peraturan Sertifikasi PHPL Berdasarkan Periode Waktu
Berdasarkan hasil analisis diskursus pada peraturan dan kebijakan
Pemerintah mengenai Sertifikasi PHPL pada hutan alam di temukan bahwa
terdapat dinamika arah pelaksanaan sertifikasi yang dibagi berdasarkan periode
waktu. Dinamika aturan sertifikasi PHPL yang dilakukan pada pemegang Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terbagi menjadi tiga periode

9

waktu yang berpengaruh pada aktor yang terlibat di dalamnya. Pembagian periode
tersebut periode tahun 2000 – 2002, periode tahun 2002-2009, dan periode tahun
2009-2015.
1. Periode tahun 2000 – 2002
Pada periode ini aturan yang diberlakukan adalah Kepmenhut No.
09.1/kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Pengelolaan Hutan Produksi
Secara Lestari. Penetapan aturan ini menggunakan pertimbangan Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan
Propinsi Sebagai daerah Otonomi. Hal tersebut dasarnya digunakan sebagai
pedoman bagi Gubernur dan Walikota/Bupati dalam menetapkan peraturan
daerah terkait dengan pengelolaan hutan produksi di daerahnya.
Kriteria dan standar yang dinilai meliputi keseluruhan kesatuan kawasan
hutan yang berada pada unit pengelolaan KPHP dengan mempertimbangkan
karakteristik, tipe, fungsi hutan, kondisi DAS, dan sosial ekonomi serta budaya
setempat. Rencana pengelolaan jangka panjang dan jangka menengah disusun
oleh instansi kehutanan propinsi disahkan oleh Menteri kehutanan. Rencana
Jangka pendek disusun oleh instansi kehutanan kabupaten / kota dan disahkan
oleh gubernur.
Penilaian lainnya meliputi kriteria pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan produksi, rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi, perlindungan
hutan produksi, dan pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan produksi.
Dalam aturan ini belum detail dijelaskan tujuan dari sertifikasi selain untuk
pedoman pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Gubernur dan
Bupati/walikota.
Penilaian yang dilakukan kepada Unit Manajemen pemegang IUPHHK
Hutan Alam dan konteks hubungan dengan masyarakat sekitar dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan oleh pemerintah daerah.
Kebijakan yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk penyusunan rencana jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Periode tahun 2002 – 2009
Pada periode ini sertifikasi PHPL mulai lebih detail dan di berlakukan
pada Unit Manajemen pemegang IUPHHK. Kepmenhut no. 4795/Kpts-II/2002
tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada
Unit Pengelolaan di keluarkan dengan pertimbangan bahwa “Pengelolaan Hutan
Produksi Alam Secara Lestari pada Tingkat Manajemen Unit perlu disesuaikan
dengan perkembangan yang ada”. Kriteria dan Indikator yang digunakan sebagai
standar penilaian mengadopsi ITTO Policy Development Series No. 7 in July,
1998.
Aturan mengenai perlunya ditetapkan kebijakan atas sertifkasi PHPL serta
yang mengikuti dan menggantikan setelahnya dapat dilihat pada pertimbangan
dalam Kepmenhut No. 4796 /Kpts-II/2002 tentang Tata cara penilaian kinerja
pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan. Dalam pasal
pertimbangan di sebutkan bahwa “Perlu menetapkan Keputusan Menteri
Kehutanan tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Alam
Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan”. Demikian halnya disebutkan di pasal
pertimbangan pada Kepmenhut No. 208/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Penilaian

10

Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Di Unit
Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari bahwa “Dipandang
perlu menetapkan Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam rangka pengelolaan Hutan
secara Lestari dengan Keputusan Menteri Kehutanan”. Dalam uraian
pertimbangan tersebut jelas bahwa sertifikasi yang dilakukan merujuk pada
penilaian kinerja yang dilakukan oleh Unit Manajemen pemegang IUPHHK –
HA.
Perbedaan isi dari pertimbangan kedua peraturan itu dijelaskan bahwa
Bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4796/Kpts-II/2002 terbit sebelum
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, sehingga dianggap
perlu adanya penyesuaian dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Perubahan peraturan yang memiliki tingkatan lebih tinggi akan memberi pengaruh
pemaknaan batas pada regulasi yang terkait di bawahnya.
Sertifikasi PHPL pada periode ini menjadi wajib dilaksanakan oleh
IUPHHK Hutan Alam. Adanya kewajiban untuk melaksanakan sertifikasi PHPL
diharapkan dapat memperbaiki kinerja pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam
pelaksanaan kegiatan tata kelola hutan. Tujuan dari pelaksanaan sertifikasi PHPL
akan tercapai bila pemahaman atas sertifikasi dimengerti oleh pihak pelaksana.
Dalam Kepmenhut No. 4796 /Kpts-II/2002 di sebutkan dalam pasal 1 ayat
(1) bahwa “Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) adalah
serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan
fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial dari hutan alam produksi.”. Sehingga
tujuan target pelaksanaan sertifikasi adalah “Kinerja adalah nilai kuantitatif dan
atau kualitatif pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan alam
produksi pada suatu unit pengelolaan tertentu yang dicapai oleh Badan Usaha”.
Penegasan kembali makna dari PHPL yang lebih lengkap di sebutkan
dalam aturan pengganti yaitu Kepmenhut No. 208/Kpts-II/2003 pasal 1 ayat (1)
“Pengelolaan Hutan secara lestari adalah pengelolaan hutan yang mencakup
aspek ekonomi, social, dan ekologi, yang antara lain meliputi : (a) kawasan hutan
yang mantap;(b) produksi yang berkelanjutan;(c) manfaat social bagi masyarakat
disekitar hutan; dan (d) lingkungan yang medukung system penyangga
kehidupan”. Pengelolaan yang dimaksud dari pasal tersebut ditujukan pada Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam yang
sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan(HPH). Dalam pasal ini pengenaan
prinsip kelestarian PHPL dikenakan pada Hutan Alam Produksi.
Pada Kepmenhut No. 208/Kpts-II/2003, disebutkan pula tujuan
pelaksanaan penilaian sertifikasi PHPL. Tujuan yang paling utama adalah bagi
IUPHHK Hutan Alam yang izinnya sedang berjalan adalah untuk melakukan
pembinaan. Sementara untuk IUPHHK Hutan Alam yang izinnya sudah habis
atau belum memiliki izin, maka hasil penilaian sertifikasi PHPL menjadi bahan
persetujuan untuk permohonan perpanjangan dan permohonan hak IUPHHK
Hutan Alam.
Penilaian kinerja pengelolaan hutan alam yang dilakukan sebagaimana di
tetapkan dalam regulasi terkait meliputi konsep kelestarian hutan baik dari
ekologi, hasil hutan yang di panen, dan aman secara sosial budaya. Konsep
kelestarian tersebut yang akan mendukung kelestarian produksi secara
berkelanjutan. Pengelolaan hutan alam produksi yang menuju pada kelestarian

11

berdasarkan tinjauan Suhendang (2013) merupakan kondisi kelestarian produksi
hutan yang dapat di manfaatkan hasil hutan kayunya secara ekonomis dan dalam
jangka waktu yang panjang sehingga diharapkan dari pengelolaan hutan yang
berbasis tegakan adalah hasil hutan kayu dan ikutannya sesuai dengan kelas umur
yang ideal dan dapat dikombinasikan dengan manfaat-manfaat ekonomi, ekologi,
dan sosial sebagai sebuah Sustainable Forest Management.
Para pihak yang berkepentingan dalam sertifikasi PHPL periode tahun
2000 – 2002 ini tidak lagi hanya Pemerintah, Unit Manajemen pemegang
IUPHHK Hutan Alam, namun juga melibatkan pihak Lembaga Penilai
Independent (LPI) dan Masyarakat sekitar hutan.Pada Kepmenhut No. 4796
/Kpts-II/2002 disebutkan bahwa penilaian dilaksanakan oleh LPI dengan
menggunakan Sistem Verifikasi PHAPL dan LPI melaporkan hasil penilaian
kinerja PHAPL kepada Tim Evaluasi(TE), dengan tembusan kepada Badan Usaha
yang dinilai. Laporan yang diterima oleh menteri Kehutanan dari TE digunakan
sebagai pertimbangan untuk menetapkan pembinaan.
Adanya pihak ketiga dalam hal ini Lembaga Penilai Independent (LPI)
adalah sebagai pihak yang pendapat dan penilaiannyanya dianggap netral dan
tidak berpihak baik pada pemerintah maupun pada pemegang IUPHHK. Hal ini
ditegaskan dalam wawancara dengan M. Awriya Ibrahim yang pernah menduduki
jabatan sebagai Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, “LPI
dijadikan sebagai auditor penilaian kinerja sertifikasi PHPL untuk menjadikan
independensi hasil dari penilaian tersebut”.
Arah kebijakan pelaksanaan sertifikasi pada periode ini lebih kepada
penilaian kinerja yang dilakukan untuk bahan pertimbangan kelanjutan usaha
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK Hutan Alam.
Pertimbangan market atau strategi pemasaran belum menjadi titik tujuan utama
pada pemberlakuka kebijakan sertifikasi hutan alam pada periode ini.
3. Periode Tahun 2009-2015
Pencurian kayu dan penebangan hutan tanpa ijin dikatakan sebagai
penyebab dari keterbukaan areal. Isu lingkungan ini kemudian disikapi oleh
Pemerintah Indonesia melalui upaya perbaikan tata kelola hutan sebagaimana
ditegaskan dalam Permenhut No. 38/menhut-II/2009. Perbaikan tata kelola hutan
yang dimaksud lebih pada penekanan atas legalitas asal kayu dan kepatuhan Unit
Manajemen Pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam melengkapi dokumen asal
dan pengangkutan kayu.
Sikap pemerintah Indonesia tampak pada proses sertifikasi PHPL pada
periode tahun 2009-2015 yangmenitikberatkan tujuan pada perbaikan tata kelola
hutan dan legalitas atas asal kayu yang berasal dari hutan negara.Adanya
perubahan pelaksanaan sertifikasi PHPL di jelaskan pada pernyataan
pertimbangan dalam Permenhut no. P.38/menhut-II/2009 tentang Standar dan
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak. Dasar acuan yang
digunakan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 serta penjelasannya pada (1)pasal 125 ayat (3)
diamanatkan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dari
kinerja pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH, (2) Pasal 100
bahwa untuk pemanfaatan hutan hak bertujuan untuk memperoleh manfaat yang

12

optimal dengan tidak mengurangi fungsinya,dan (3) Pasal 119 bahwasetiap
pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari Hutan
Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan
sahnya hasil hutan.
Sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa kayu bulat yang masuk dalam
rantai produksi pada industri hilir tidak hanya berasal dari satu IUPHHK hutan
alam saja namun juga menerima kayu sumber lainnya maka legalitas kayu
menjadi sorotan utama dalam perdagangan produksi hasil kayu. Pada tahun 2009
legalitas asal kayu memang menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya
menekan penebangan hutan tanpa ijin (illegal logging) dan pencurian kayu.Hal
inilah yang kemudian mendasari keputusan bahwa sertifikasi PHPL adalah
merupakanpenerapan tata kelola kehutanan, upaya pemberantasan penebangan liar
dan perdagangannya sehingga Pemerintah merasa perlu untuk menetapkan
Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan
Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak.
Pada fakta kenyataan yang ada di lapangan dan tanggapan pemerintah atas
isu lingkungan terhadap hutan Indonesia dapat dikatakan bahwa ada perubahan
secara perspektif pada peraturan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL. Secara
politik periode setelah tahun 2009 mendapat tekanan internasional melalui
kerjasama bilateral dengannegara lain. Salah satu kerjasama tersebut adalah
adanya kesepakatan antar Republik Indonesia dan Uni Eropa dalam hal
perdagangan hasil hutan kayu. MOU Voluntary Partnership Agreement (VPA).
VPAadalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara pengekspor
kayu, dengan tujuan : (1) Meningkatkan tata kelola sektor kehutanan dan (2)
Memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai
dengan peraturan perundangan negara mitra (FLEGT 2009).
Implementasi dari VPA antara Indonesia dan Uni Eropa didasari atas
upaya untuk memastikan dan mempromosikan perdagangan kayu yang legal dan
pengelolaan yang baik pada sektor kehutanan (FLGT 2015). Sejak tahun 2007
proses VPA difasilitasi oleh FLEGT menghasilkan kriteria dan standar penilaian
dalam kerangka sertifikasi PHPL dan terus di negosiasikan sesuai dengan
kebutuhan yang dipersyaratkan dalam VPA.
Laporan tahunan FLEGT 2015 menuliskan bahwa tujuan utama dari
proses VPA antara Republik indonesia dengan Uni Eropa adalah untuk membuat
sebuah kerangka pemikiran yang legal untuk memastikan bahwa semua produk
kayu merupakan hasil yang berasal dari hutan yang sah. Uni Eropa melalui
implementasi VPA akan meratifikasi semua aturan pemerintah pada sektor
kehutanan, sistem kontrol, dan semua prosedur verifikasi yang diberlakukan di
Indonesia yang menyatakan bahwa produk yang diekspor telah mengikuti hukum
dan peraturan yang berlaku.
FLEGT teridentifikasi sebagai komunitas penggagas (epistemic
community). Peranan yang dimiliki FLEGT adalah sebagai fasilitator untuk
proses ratifikasi penetapan standar kriteria dan indikator penilaian PHPL
mengikuti aturan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Proses MOU VPA ini
memastikan bahwa pada simpul akhir dari Industri kayu yang bersumber dari
Hutan Alam seluruh prosesnya menggunakan bahan bakunya yang sah.
Dalam Permenhut no. P.38/menhut-II/2009,sahnya produk hasil hutan
kayu dari Indonesia ditunjukan melalui tanda bukti sertifikasi atas Verifikasi

13

Legalitas kayu (VLK).Industri pengolahan kayu yang akan menjual produknya ke
negara lain harus mendapatkan sertifikasi VLK sebagai persyaratan
ekspor.Sertifikat VLK akan didapatkan oleh industri kayu yang bahan bakunya
berasal dari hutan yang telah mendapatkan sertifikasi PHPL.
Bila IUPHHK Hutan alam setelah dinilai ternyata belum layak untuk
mendapatkan sertifikat PHPL maka di wajibkan untuk memenuhi sertifikasi
legalitas kayu. Penjelasan mengenai kewajiban ini dijelaskan PermenLHK no.
P.95/Menhut-II/2014 pasal 4 yang disebutkan bahwa ayat (1) “Pemegang
IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan SPHPL” dan ayat (2) “Dalam hal pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang
Hak Pengelolaan belum mendapatkan S-PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib mendapatkan S-LK”. Namun bagi pemegang IUPHHK Hutan Alam
yang telah memiliki S-PHPL tidak perlu mendapatkan S-LK.
Sebelum diwajibkannya sertifikasi PHPL sudah ada beberapa Unit
Manajemen pemegang IUPHHK-HA yang memiliki sertifikasi Sustainablility
Forest Management (SFM) yang dilakukan secara Voluntary. Berdasarkan atas
situasi tersebut maka pada Permenhut no. P. 68/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-Ii/2009
Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
pada pasal 4 ayat 7 disebutkan untuk IUPHHK Hutan Alam yang telah memiliki
sertifikat terkait PHPL yang didapatkan secara voluntary tetap diwajibkan
melakukan sertifikasi PHPL dengan skema sesui aturan pemerintah. Kebijakan
pemerintah mengenai sertifikasi PHPL menjadikan sertifikasi sebagai sebuah alat
yang menunjukan kepatuhan Unit Manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam
terhadap aturan pemerintah.
Kepatuhan terhadap aturan pemerintah terkait pengelolaan hutan pada
ketentuan kewajiban sertifikasi PHPL lebih mengarah pada kelengkapan dan
ketaatan pada pemenuhan dokumen asal kayu. Penekanan kewajiban sertifikasi
pada aspek memenuhi legalitas kayu. Dijelaskan pada PermenLHK no.
P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada
Hutan Hak pasal 4 ayat 3 sebagaimana tabel 6 bahwa wajib bagi pemegang
IUPHHK Hutan Alam untuk mendapatkan sertifikat PHPL setelah sertifikat
legalitas kayu telah melewati satu periode. Tidak ditemukan pasal yang mengatur
atas sanksi pada tidak terpenuhinya sertifikat PHPL pada Unit Manajemen
IUPHHK Hutan Alam. Industri tetap menerima bahan baku dari hutan alam
dengan S-LK dan memasarkan dengan label V-legal.
Pembinaan kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dimana saat
proses sertifikasi pada unit manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam yang
kemudian mendapatkan nilai buruk maka diberikan kesempatan untuk meperbaiki
kinerjanya. Ketentuan bahwa pemegang IUPHHK Hutan Alam di haruskan
memperbaiki kinerja perusahaannya dapat dilihat pada perubahan pasal dalam
aturan sertifikasi PHPL pada Tabel 2berikut.

14

Tabel 2 Hasil penilaian sertifikasi PHPL dan ketentuan perbaikan kinerja
Aturan
Teks
Permenhut no. P.38/menhut- Pasal 11
II/2009
1. Sertifikat PHPL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (6) diterbitkan dengan
predikat “Baik”.
2. Dalam hal hasil penilaian berpredikat
“Buruk”, LP&VI menyampaikan laporan
hasil penilaian kepada pemegang izin.
3. Berdasarkan laporan hasil penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemegang izin diberikan kesempatan
memperbaiki kinerja PHPL
Permenhut no. P.43/Menhut- Pasal 13
II/2014
1. Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (LPPHPL) menerbitkan SPHPL kepada pemegang IUPHHKHA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan
yang telah memenuhi persyaratan
kelulusan penilaian kinerja.
2. Dalam hal hasil penilaian berpredikat
“Buruk” pemegang izin diberikan
kesempatan memperbaiki kinerja PHPL.
3. Dalam hal hasil penilaian berpredikat
“Buruk” berada pada kriteria prasyarat,
kriteria produksi, kriteria ekologi dan
kriteria sosial, tetapi memenuhi legalitas
kayu, LP-PHPL menerbitkan Sertifikat
Legalitas Kayu (S-LK).
4. Penerbitan S-LK sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan apabila LPPHPL telah terakreditasi dan ditetapkan
sebagai LVLK.
5. Kriteria hasil penilaian berpredikat
“Buruk” yang masih diberikan kesempatan
memperbaiki kinerja PHPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Kewajiban untuk memperbaiki tata kelola hutan memang tidak mutlak
tanggung jawab Pemerintah namun Peraturan Pemerintah yang diberlakukan pada
hutan di I