Seleksi In vitro klon klon kentang hasil persilangan CV.Atlantik Dan CV Granola untuk mendapatkan calon kultivar kentang unggul

SELEKSI IN VITRO KLON-KLON KENTANG HASIL
PERSILANGAN CV. ATLANTIK DAN CV. GRANOLA
UNTUK MENDAPATKAN CALON KULTIVAR
KENTANG UNGGUL

Oleh:
Awang Maharijaya
A351050041

PROGRAM STUDI AGRONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan
judul Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv. Atlantik dan cv.
Granola Untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul adalah benar-benar
asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau

tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
Perguruan Tinggi mana pun.

Bogor, 24 Juni 2007

Awang Maharijaya
A351050041

3

ABSTRAK
AWANG MAHARIJAYA. Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil
Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Untuk Mendapatkan Calon
Kultivar Kentang Unggul.
Dibimbing oleh AGUS PURWITO dan
MUHAMMAD MACHMUD.
Pengembangan kentang di Indonesia dihadapkan pada kendala yaitu
penyediaan bibit bermutu dalam jumlah cukup dan tepat kultivar, iklim kurang
mendukung, serta gangguan hama dan penyakit yang berakibat pada rendahnya
produksi kentang. Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut adalah merakit

kultivar baru yang memiliki sifat unggul yaitu umur panen yang pendek, berdaya
hasil tinggi, kandungan bahan kering tinggi, bentuk umbi yang baik, serta tahan
terhadap penyakit utama kentang. Sifat-sifat tersebut terdapat pada kultivar yang
adoptif di Indonesia yaitu kultivar Atlantik (2n=4X=48) dan Granola (2n=4X=48).
Persilangan antara keduanya secara teoritis akan menghasilkan keragaman genetik
yang tinggi untuk banyak karakter. Sebagai akibatnya kegiatan seleksi awal
(screening) penting untuk dilakukan untuk mengurangi jumlah klon yang harus
diseleksi di lapang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui vigor, umur pengumbian dan
produksi umbi mikro, tingkat ketahanan terhadap busuk lunak (E. carotovora pv.
carotovora) dan layu bakteri (R. solanacearum) secara in vitro, dan mendapatkan
calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk pengujian di lapangan.
24 klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola secara konvensional diuji
vigor secara in vitro. Selanjutnya 12 klon yang memiliki vigor yang baik diuji
produksi umbi mikro dan ketahanan penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) dan busuk lunak (Erwinia carotovora pv. carotovora) secara in
vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fenotipe dari klonklon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola. Beberapa klon memiliki
vigor, inisiasi umbi mikro, produksi umbi mikro dan ketahanan terhadap R.
solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora yang lebih baik dibandingkan
tetua. Tidak adanya sifat-sifat yang berkorelasi terutama vigor, produksi dan

ketahanan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora
memungkinkan untuk klon yang memiliki sifat ketahanan terahadap penyakit
dengan produksi yang tinggi dan karakteristik unggul lainnya.
Kata kunci: seleksi in vitro, kentang, vigor, umbi mikro, R. solancearum, E.
carotovora pv. carotovora

ABSTRACT
AWANG MAHARIJAYA. In Vitro Selection of Clones Derived from crossing
between cv. Atlantic and cv. Granola to Obtain Putative Superior Potato
Cultivars. Under supervisions of AGUS PURWITO and MUHAMMAD
MACHMUD.
Development of potato in Indonesia facing many problems, such as supply
sufficient of high quality seed, climatic condition, pests and diseases. Several
bacterial pathogens can cause diseases of potato. Ralstonia solanacearum and
Erwinia carotovora pv. carotovora are two of the world’s most important diseases
of potato, especially in the tropics. One of the ways to solve the problems is
breeding new potato cultivars having superior traits such as high yield, low water
content, good tuber shape, tolerance to bacterial disesases. Theoritically, these
traits are found in potato cv. Atlantic and cv. Granola, the most adopted cultivars
in Indonesia. Both cv. Atlantic and cv. Granola are tetraploid (2n=4X=48). Due

to large variations for a lot of characteristics of crosses between the tetraploid
parentals, in vitro selection techniques are performed to speed up the selection
process.
The experiments were aimed to obtain putative potato cultivars from
crossing between cv. Atlantic (2n=4x=48) and cv. Granola (2n=4X=48). The
conventional crossing technique was performed to generate botanical seeds
(berries) from those cultivars. After that, in vitro selection technique was
performed. Firstly, 24 clones from a single seed clonal progeny including cv.
Atlantic and cv. Granola were evaluated for their vigors, then 12 selected clones
from the vigor test were evaluated for their in vitro tuber production and
tolerances to two bacterial diseases, namely bacterial wilt caused by Ralstonia
solanacearum and soft rot caused by Erwinia carotovora pv. carotovora. All of
the experiments were arranged in a Completely Randomized Design with a single
factor. Results of the experiments showed that there are high diversities of
phenotypes of the progenies. Some of the progenies showed better vigor,
microtuber initiation, production of micro tuber, and resistant to both R.
solanacearum and E. carotovora pv. carotovora than cv. Atlantic and cv.
Granola. The lack of significant correlation between resistant to bacterial
diseases and agronomic traits in the experiments suggested that it is possible to
select clones which good resistances to the bacterial diseases, high yields, and

superior tuber characteristics.
Keywords: in vitro selection, potato, vigor, microtuber, R. solancearum, E.
carotovora pv. carotovora

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor
Tahun 2007
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya

SELEKSI IN VITRO KLON-KLON KENTANG HASIL
PERSILANGAN CV. ATLANTIK DAN CV. GRANOLA
UNTUK MENDAPATKAN CALON KULTIVAR
KENTANG UNGGUL

AWANG MAHARIJAYA

Tesis

salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Penguji Luar Komisi: Prof.Dr.Ir. G.A. Wattimena, M.Sc

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis

:

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

:

:
:

Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil
Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola untuk
Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul
Awang Maharijaya
A351050041
Agronomi

Menyetujui:
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr
Ketua

Dr. Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU
Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Agronomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MSc

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro

Tanggal ujian: 3 Juli 2007

Tangan lulus:

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul ”Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv.
Atlantik dan cv. Granola untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul”.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian yang telah
banyak dilakukan pada tanaman kentang baik berupa metode maupun

pengetahuan dalam persilangan dan seleksi in vitro kentang dengan harapan dari
penelitian ini akan dihasilkan calon atau kandidat kultivar kentang unggul.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis patut
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Agus
Purwito, MSc dan Dr.Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU atas segala bimbingan
dan pengarahan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan
tesis. Kepada Prof. G.A. Wattimena sebagai penguji luar komisi penulis ucapan
terima kasih.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Wakil Rektor I
Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi
dan Hortikultura, dan Kepala Bagian Bioteknologi Tanaman atas izin dan
rekomendasi yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S2 di
Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2

Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional yang telah
memberikan beasiswa BPPS kepada penulis hingga penulis dapat menempuh dan
menyelesaikan pendidikan S2. Demikian pula atas dukungan dana penelitian dari
Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB yang telah
mendanai sebagian dari penelitian yang dilakukan melalui Hibah Penelitian Dosen
Muda IPB, serta khusus kepada Dr.Ir. Agus Purwito, MSc yang telah mengajak
peneliti untuk bergabung dengan penelitian Hibah Bersaing. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada para senior di Bagian Bioteknologi Tanaman yang
banyak memberikan dukungan dan pengetahuan bagi penulis, kepada teknisi dan
laboran yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di
Laboratorium Kultur Jaringan, dan kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana
khususnya Program Studi Agronomi atas segala dukungannya.
Terakhir penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak putusputusnya kepada orang tua penulis dan keluarga atas segala dukungan dan do’a
selama ini khususnya selama penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan
studi.
Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan pertanian pada khususnya.

Bogor, April 2007


Awang Maharijaya

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 8 September 1980 sebagai anak
kedua dari bapak Noor Aminoto (Alm) dan ibu Umarjati. Pendidikan Dasar dan
menengah ditempuh di kota kelahiran penulis. Pendidikan sarjana ditempuh oleh
penulis di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1999 dan lulus pada tahun
2003. Setelah menamatkan pendidikan program sarjananya, penulis bekerja di
laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian IPB.

Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai staf pengajar di

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB pada Bagian
Bioteknologi Tanaman.
Pada tahun 2005 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional untuk menempuh
program magister di Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI

hal
I.
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
Hipotesis.............................................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
Botani Tanaman Kentang.................................................................................... 6
Arti Penting Tanaman Kentang........................................................................... 8
Klon dan Kultivar Kentang ................................................................................. 9
Penyakit Layu Bakteri....................................................................................... 11
Penyakit Busuk Lunak ...................................................................................... 13
Pemuliaan Tanaman Kentang ........................................................................... 14
Seleksi Ketahanan Penyakit, Vigor dan Produksi Umbi Secara In Vitro ......... 18
METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 21
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 21
Alat dan Bahan.................................................................................................. 21
Tahapan Penelitian ............................................................................................ 22
Metode Penelitian ............................................................................................. 23
Persiapan Percobaan ..................................................................................... 23
Percobaan 1. Uji In Vitro Vigor Tanaman ................................................... 23
Percobaan 2.a. Uji In Vitro Produksi Umbi ................................................. 24
Percobaan 2.b. Uji Ketahanan Penyakit pada Umbi ..................................... 25
Percobaan 3. Uji In Vitro Ketahanan Terhadap Penyakit Bakteri ................ 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 28
Uji In Vitro Vigor Tanaman.............................................................................. 28

2

Uji In Vitro Produksi Umbi............................................................................... 35
Uji In Vitro Ketahanan terhadap Penyakit Bakteri ........................................... 47
Uji Ketahanan Penyakit Busuk Lunak (E. carotovora pv. carotovora)
pada Umbi Mikro ...................................................................................... 54
Korelasi Antar Karakter Klon-Klon Hasil Persilangan Berdasarkan
Pengujian in Vitro ..................................................................................... 56
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60
LAMPIRAN......................................................................................................... 67

DAFTAR TABEL

No
Tabel 1.

Teks

hal

Pengelompokan tingkat ketahanan klon kentang terhadap
serangan bakteri layu R. solanacearum berdasarkan persentase
kejadian penyakit (Thaveechai et al., 1989) ..................................... 27

Tabel 2.

Tinggi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.
Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0 ........... 31

Tabel 3.

Jumlah daun klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik
dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media
MS0 ................................................................................................... 32

Tabel 4.

Jumlah akar klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik
dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media
MS0 ................................................................................................... 34

Tabel 5.

Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, dan
jumlah akar pada klon-klon kentang hasil persilangan cv.
Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian vigor in vitro ........ 35

Tabel 6.

Waktu inisiasi umbi dan selisih waktu antara waktu
pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan waktu inisiasi
umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.
Granola.............................................................................................. 36

Tabel 7.

Jumlah umbi per tanaman dari klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian
in vitro ............................................................................................... 40

Tabel 8.

Bobot umbi dan bobot kering klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian
in vitro ............................................................................................... 43

2

Tabel 9.

Hasil produksi kentang cv. Atlantik dan cv. Granola oleh petani
di Pengalengan Jawa Barat, Batur dan Tosari Jawa Timur
(Basuki et al., 2002). ......................................................................... 44

Tabel 10.

Diameter dan panjang umbi mikro klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan hasil
pengujian in vitro .............................................................................. 47

Tabel 11.

Periode inkubasi in vitro penyakit layu bakteri pada 12 klon
kentang hasil persilangan konvensional antara cv. Atlantik dan
cv. Granola ........................................................................................ 49

Tabel 12.

Kejadian penyakit dan tingkat ketahanan klon-klon kentang
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola terhadap penyakit
layu bakteri (R. solanacearum) dan busuk lunak (E. carotovora
pv. carotovora).................................................................................. 51

Tabel 13.

Tingkat ketahanan klon kentang terhadap serangan bakteri layu
(R. solanacearum) dan busuk lunak (E. carotovora pv.
carotovora) (modifikasi dari Thaveechai et al., 1989) ..................... 53

Tabel 14.

Periode inkubasi, kejadian penyakit, dan tingkat ketahanan umbi
mikro kentang klon-klon hasil persilangan antara cv. Atlantik
dan cv. Granola terhadap serangan bakteri layu (R.
solanacearum) dan busuk lunak (E. carotovora pv. carotovora) ..... 56

Tabel 15.

Matrik karakter klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik
dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro................................ 57

DAFTAR GAMBAR

No

Teks

hal

Gambar 1.

Diagram alur penelitian................................................................. 22

Gambar 2.

Keragaman penampilan vigor in vitro klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola. (A) klon Atnola 1
memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang cepat, (B) klon
Atnola 4 memiliki pertumbuhan yang cepat, kekar dan berdaun
lebat, (C) Granola sebagai tetua, (D) klon Atnola 16 memiliki
pertumbuhan yang lambat. ............................................................ 29

Gambar 3.

Waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv.
Atlantik dan cv. Granola ............................................................... 37

Gambar 4.

Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai
100% dengan waktu inisiasi umbi pada klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola ...................................... 39

Gambar 5.

Penampilan klon Atnola 12 (A) dan klon Atnola 24 (B) umur
10 minggu pada media pengumbian (MS + Alar 10 mg/L +
BAP 5 mg/L + air kelapa 150 ml/L + sukrosa 90 g/L) ................. 41

Gambar 6.

Keragaman penampilan umbi mikro cv. Atlantik, cv. Granola
dan klon-klon hasil silangan cv. Atlantik x cv. Granola ............... 46

Gambar 7.

Tanaman kentang yang terinfeksi bakteri patogen pada
pengujian secara in vitro: (A) Ralstonia solanacearum, (B)
Erwinia carotovora pv. carotovora .............................................. 50

Gambar 8.

Korelasi antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu
bakteri pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik
dan cv. Granola ............................................................................. 52

2

Gambar 9.

Korelasi antara periode inkubasi dan kejadian penyakit busuk
lunak pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik
dan cv. Granola ............................................................................. 52

Gambar 10.

Penampilan umbi mikro kentang setelah diinfeksi E.
carotovora pv. carotovora (A) umbi yang tahan; (B) umbi
mengalami busuk lunak; (C) umbi sehat dibelah; dan (D) umbi
sakit dibelah .................................................................................. 55

DAFTAR LAMPIRAN

No

Teks

hal

Lampiran 1.

Komposisi media MS (Murashige & Skoog).............................. 68

Lampiran 2.

Sidik ragam tinggi tanaman pada klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 69

Lampiran 3.

Sidik ragam jumlah daun pada klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 69

Lampiran 4.

Sidik ragam jumlah akar pada klon-klon kentang hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 70

Lampiran 5.

Sidik ragam inisiasi umbi mikro pada klon-klon kentang
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 70

Lampiran 6.

Sidik ragam keserempakan umbi mikro pada klon-klon
kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola
berdasarkan pengujian in vitro .................................................... 70

Lampiran 7.

Sidik ragam jumlah umbi mikro/tanaman pada klon-klon
kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola
berdasarkan pengujian in vitro .................................................... 70

Lampiran 8.

Sidik ragam bobot umbi mikro pada klon-klon kentang
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 71

Lampiran 9.

Sidik ragam bobot kering umbi mikro pada klon-klon
kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola
berdasarkan pengujian in vitro .................................................... 71

2

Lampiran 10.

Sidik ragam panjang umbi mikro pada klon-klon kentang
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 71

Lampiran 11.

Sidik ragam diameter umbi mikro pada klon-klon kentang
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan
pengujian in vitro ........................................................................ 71

Lampiran 12.

Sidik ragam periode inkubasi penyakit layu bakteri pada
klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.
Granola berdasarkan pengujian in vitro ...................................... 71

Lampiran 13.

Sidik ragam periode inkubasi penyakit busuk lunak pada
klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.
Granola berdasarkan pengujian in vitro ...................................... 72

Lampiran 14.

Hasil analisis korelasi periode inkubasi dan kejadian
penyakit penyakit layu bakteri dan busuk lunak pada klonklon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola
berdasarkan pengujian in vitro .................................................... 72

Lampiran 15.

Hasil analisis korelasi pengumbian mikro dan ketahanan
penyakit layu bakteri dan busuk lunak pada klon-klon
kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola
berdasarkan pengujian in vitro .................................................... 73

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kentang merupakan bahan makanan yang digunakan sebagai pangan
pokok bagi sebagian penduduk dunia. Di Indonesia, pemanfaatan kentang sebagai
bahan pokok semakin tinggi setelah masyarakat mengetahui nilai gizi yang tinggi
dari kentang (Rukmana, 1997). Perbandingan kalori dan gizi pada kentang cukup
berimbang, sehingga sangat baik digunakan untuk diet keseimbangan (Burton,
1989). Selain sebagai makanan pokok, kentang dikonsumsi dalam bentuk non
olahan maupun olahan atau untuk industri (Rukmana, 1997).
Pengembangan kentang di Indonesia saat ini dihadapkan pada beberapa
kendala. Kendala utama dalam pengembangan kentang diantaranya penyediaan
bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat kultivar (Wattimena, 1992),
iklim yang kurang mendukung, serta gangguan hama dan penyakit (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998). Iklim di wilayah tropis sangat mendukung berkembangnya
penyakit (Chozin, 2006).

Penyakit yang berbahaya dan dapat menimbulkan

kerugian cukup besar pada tanaman kentang adalah penyakit busuk lunak (soft
root) pada umbi dan kaki hitam (black leg) yang disebabkan oleh Erwinia
carotovora pv. carotovora, serta layu bakteri (bacterial wilt) yang disebabkan
oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Penyakit ini ditemukan secara luas, banyak
ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis, namun juga ditemukan pada daerah
bersuhu rendah (Hayward et. al., 1998).

2

Salah satu cara

mengatasi kerugian kentang akibat serangan Erwinia

carotovora dan Ralstonia solanacearum adalah merakit kultivar yang tahan
terhadap penyakit tersebut. Kultivar tersebut tetap harus memiliki pertumbuhan
dan kualitas umbi yang baik. Secara umum sifat dari kultivar yang diharapkan
menjadi kultivar unggul Indonesia diantaranya adalah memiliki umur panen yang
pendek, berdaya hasil tinggi, kandungan bahan kering tinggi, bentuk umbi yang
baik, serta tahan terhadap penyakit utama kentang (Wattimena, 2000). Dengan
demikian untuk merakit kultivar kentang unggul diperlukan sumber tetua yang
memiliki sifat-sifat tersebut.
Salah satu kultivar kentang yang dikenal memiliki tingkat produksi yang
baik dan telah teradopsi di Indonesia adalah Atlantik. Kultivar Atlantik memiliki
kualitas umbi yang baik serta kandungan bahan kering yang tinggi. Namun
kultivar Atlantik memiliki kelemahan, yaitu rentan terhadap virus PVY, penyakit
hawar daun dan penyakit layu bakteri, serta umur panen yang dalam. Sumber sifat
ketahanan dapat diperoleh dari beberapa species liar dan kerabat dekat. Beberapa
spesies liar dan kerabat dekat yang memiliki sifat ketahanan atau toleransi tinggi
terhadap penyakit bakteri telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan seperti
introgresi gen tahan dari S. phureja (Fock et al., 2000) dan S. stenotomum ke S.
tuberosum (Fock et al., 2001).
menggunakan kultivar

Namun demikian, introgresi gen ketahanan

liar sulit dilakukan dengan metode persilangan

konvensional karena adanya ketidakserasian seksual (sexual incompatibility),
khususnya perbedaan tingkat ploidi atau perbedaan endosperm balance number
(French et al., 1998).

Tanaman kentang komersial pada umumya bersifat

tetraploid (2n=4x=48) sedangkan species liar sebagai sumber sifat ketahanan

3

adalah diploid (2n=2x=24) sehingga persilangan untuk mendapatkan sifat
ketahanan perlu dilakukan pada tingkat diploid atau dihaploid. Teknik untuk
menurunkan tingkat ploidi dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman
haploid, sedangkan untuk meningkatkan dapat digunakan teknik penggandaan
kromosom atau melalui pembentukan diplogamet.

Teknik semacam ini

memerlukan keterampilan, tenaga dan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, pada
perkembangannya, perakitan kultivar baru kentang yang tahan penyakit dilakukan
melalui hibridisasi somatik, fusi protoplas (Fock et al., 2000; 2001) atau
pemanfaatan

teknik-teknik

rekayasa

genetika.

Namun

demikian,

teknik

persilangan konvensional lebih diterima oleh sebagian masyarakat dan pemerintah
terutama untuk pelepasan varietas.
Agar dapat dilakukan persilangan konvensial, sumber sifat ketahanan
diharapkan dapat diperoleh dari kultivar kentang tetraploid. Kultivar Granola
(2n=4x=48) dikenal memiliki sifat agak tahan hawar daun dan penyakit layu
bakteri dan telah dikenal luas oleh petani di Indonesia. Selain itu kultivar Granola
memiliki keunggulan lain seperti umur panen pendek, hasil tinggi, bentuk umbi
yang baik dan tahan penyakit virus PVX dan PVY. Kelemahan kultivar Granola
adalah kadar air umbi yang tinggi dan tidak cocok untuk kentang olahan. Dengan
demikian persilangan antara kultivar Atlantik dan Granola berpotensi untuk
dikembangkan dalam program pemuliaan.

Kedua kultivar tersebut adalah

tetraploid sehingga persilangan antara keduanya diharapkan kompatibel dan dapat
menghasilkan benih. Namun secara teoritis persilangan antara tetraploid akan
menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter (Uijtewall,
1987) sehingga diperlukan populasi yang lebih besar jika dibandingkan

4

persilangan diploid. Sebagai akibatnya kegiatan seleksi awal (screening) penting
untuk dilakukan untuk mengurangi jumlah klon yang harus diseleksi di lapang.
Dalam program pemuliaan konvensional, kegiatan seleksi di lapang
merupakan salah satu kegiatan utama yang membutuhkan curahan tenaga, waktu,
dan dana yang besar. Pemanfaatan seleksi sifat tertentu pada kultur in vitro
memiliki peluang untuk mempercepat kegiatan seleksi dan mengurangi kebutuhan
tenaga dan dana. Pengujian dan seleksi in vitro memiliki kelebihan yaitu waktu
relatif lebih singkat, biaya relatif lebih murah, tidak memerlukan lahan yang luas,
tidak menimbulkan masalah pada lingkungan dan dapat dilakukan pada klon yang
banyak dalam waktu yang singkat. Beberapa pengujian di lapang dan in vitro
memiliki korelasi yang nyata. Pengujian yang telah dilakukan diantaranya pada
ketahanan terhadap penyakit (Wattimena et al, 2001; Delfiani, 2003; Samanhudi,
2001) dan pengumbian (Lentini 1988; Alsadon, 1989; Gopal dan Minocha, 1998;
Gopal, 2001; Tampubolon, 2002). Dengan demikian kombinasi dari persilangan
konvensional dan seleksi in vitro diharapkan mampu menjadi alternatif tahapan
awal yang baik dalam usaha mendapatkan kultivar unggul kentang.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. mengetahui dan menyeleksi klon-klon kentang berdasarkan vigor dari
hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara in vitro
2. mengetahui umur pengumbian dan produksi umbi mikro klon-klon
kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara in vitro

5

3. mengetahui tingkat ketahanan klon-klon kentang hasil persilangan cv.
Atlantik dan cv. Granola terhadap busuk lunak (E. carotovora pv.
carotovora) dan layu bakteri (R. solanacearum) secara in vitro
4. mendapatkan calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk
pengujian di lapangan.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. terdapat klon dengan vigor yang baik dari hasil seleksi in vitro terhadap
klon-klon hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara

konvensional
2. terdapat klon dengan umur pengumbian yang pendek dan produksi yang
baik dari hasil seleksi in vitro terhadap klon-klon hasil persilangan cv.
Atlantik dan cv. Granola secara konvensional
3. terdapat klon dengan tingkat ketahanan penyakit layu bakteri dan busuk
lunak yang tinggi dari hasil seleksi in vitro terhadap klon-klon hasil
persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara konvensional
4. terdapat calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk bahan
pengujian di lapang

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun (annual)
yang berbentuk semak atau herba, dengan susunan utama terdiri atas stolon, umbi,
batang, daun, bunga, buah dan biji, serta akar (Rukmana, 1997).

Dalam

sistematika tumbuhan, tanaman kentang diklasifikasikan ke dalam Kingdom
Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae,
Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum
tuberosum (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Menurut Thomson dan Kelly (1957) tanaman kentang memiliki batang
berwarna hijau dan ungu atau kemerahan apabila mengandung antosianin. Batang
tanaman kentang memiliki dua tipe yaitu batang yang tumbuh di atas tanah
(aerial) dan batang yang tumbuh di bawah tanah (underground). Batang yang
tumbuh di bawah tanah terdiri dari stolon dan umbi. Batang di bawah tanah
(stolon) memiliki fungsi serupa dengan batang di atas tanah, namun setiap stolon
mengakhiri pertumbuhannya dengan bertambah besar atau membentuk umbi.
Daun kentang merupakan daun majemuk dengan anak daun primer tersusun di kiri
kanan tangkai dan membentuk delta sampai lonjong.

Susunan daun primer

diakhiri dengan daun tunggal pada ujung tangkai.
Bunga kentang berwarna putih hingga merah jambu dan keunguan dengan
lima lembar mahkota menyatu (Thompson dan Kelly, 1957). Bunga kentang
bersifat protogeni, yaitu putiknya lebih cepat masak daripada tepung sari,

7

sehingga sebagian besar penyerbukan terjadi secara serbuk silang dengan
perantara angin dan serangga (Sunarjono, 1975).
Kentang merupakan tanaman yang dipanen umbinya.

Umbi kentang

merupakan ujung stolon yang membesar dan merupakan organ penyimpanan
karbohidrat yang tinggi (Burton, 1989). Stolon merupakan tunas lateral yang
tumbuh dari ketiak daun di bawah permukaan tanah. Stolon tumbuh memanjang
dan melengkung di bagian ujungnya, kemudian membesar atau membengkak
untuk membentuk umbi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan
(Rukmana, 1997). Bentuk, ukuran dan jumlah mata umbi bervariasi pada setiap
kultivar (Nonnecke, 1989)
Umbi kentang mengandung 20-25 % bahan kering dengan kandungan 6580 % tepung. Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih, tatapi ada
juga kultivar yang berwarna kuning cerah, jingga, merah atau ungu (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998). Umbi kentang merupakan bahan pangan yang kaya akan gizi,
dimana dalam 100 g dikandung air 77 g, protein 2.1 g, karbohidrat 8.5 g, serat 2.1
g, niasin 1.5 mg, thiamin 0.1 mg, riboflavin 0.54 mg, asam askorbat 20 mg,
kalsium 9 mg, phospat 50 mg, kalium 410 mg, dan besi 0.8 mg. Total energi yang
dikandung dalam 100g umbi kentang adalah 335kj (Wagih dan Wiersena, 1994).
Menurut Niederhauser (1993) perbandingan protein dengan karbohidrat pada
tanaman kentang lebih tinggi daripada tanaman serealia, maupun tanaman umbi
lainnya.

Protein dalam kentang mengandung asam amino yang seimbang

sehingga sangat baik bagi kesehatan manusia. Thurton (2001) menyatakan bahwa
kentang mampu memproduksi 54 % protein lebih banyak per unit area
dibandingkan gandum dan 78 % lebih banyak dibandingkan beras.

8

Tanaman kentang berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan
(Hawkes, 1994; Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Menurut Rukmana (1997)
kentang pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1794 di Cisarua Bandung,
dan mulai menyebar pada tahun 1811 di berbagai daerah di Indonesia terutama
daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Minahasa, Bali, Flores, Pengalengan, Lembang, Pacet, Wonosobo, Dieng,
Tawangmangu, Batu dan Tengger.

Arti Penting Tanaman Kentang
Kentang

merupakan

komoditas

pangan

yang

penting

untuk

dikembangkan, baik sebagai tanaman sayuran maupun tanaman sumber
karbohidrat alternatif setelah gandum, jagung dan padi.

Tanaman kentang

merupakan komoditas yang penting bagi Indonesia karena: (1) merupakan
tanaman yang mendatangkan sumber uang (cash crop), (2) komoditas ekspor non
migas yang mendatangkan devisa bagi negara, (3) salah satu makanan cepat saji
(fast food) di Indonesia pada saat ini dan (4) makanan bernilai gizi tinggi dan
lengkap yang dapat digunakan sebagai pangan disamping beras (Wattimena,
1992).
Konsumsi kentang di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat
namun tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat produktivitas kentang. Kendala
yang dihadapi dalam peningkatan produksi kentang di Indonesia menurut
Wattimena (1992) adalah:

9

1.

Belum tersedia kultivar-kultivar standar yang sesuai dengan lingkungan
tumbuh dan kebutuhan pasar.

2.

Belum ada pengusaha/petani yang mengusahakan bibit kentang bermutu.
Bibit kentang bermutu masih diimpor dari Belanda, Belgia dan Jerman.

3.

Adanya beberapa penyakit yang belum dapat/sukar dikendalikan.

4.

Ketersediaan teknik budidaya yang tepat untuk menjamin produksi dan
kelestarian lahan usaha.

5.

Teknologi pascapanen yang dapat memperpanjang masa simpan serta
menjamin kualitas hasil.

6.

Lahan usaha yang semakin menyempit karena bersaing dengan real estate
dan vila-vila tempat peristirahatan.
Beberapa bakteri dapat menyebabkan penyakit pada kentang (Stead,

1999).

Beberapa penyakit utama pada kentang yang sampai saat ini sukar

dikendalikan diantaranya adalah (Phytopthora infestans), layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) dan busuk lunak (Erwinia carotovora pv. carotovora). Penyakit
layu bakteri dan busuk lunak dapat menurunkan produksi kentang sampai 80 %
(Wattimena, 1994).

Klon dan Kultivar Kentang
Klon merupakan turunan dari individu yang diperbanyak melalui
perbanyakan vegetatif. Klon merupakan nomor-nomor seleksi pada tanaman yang
diperbanyak secara klonal yang masih dalam taraf pengujian dan belum

10

dilepaskan sedangkan kultivar merupakan nama lain dengan varietas, yaitu klon
yang sudah dilepaskan dan diterima secara komersial (Chahal dan Gosal, 2006).
Kultivar-kultivar kentang komersial yang ada saat ini berasal dari S.
tuberosum subsp andigena, S. tuberosum subsp tuberosum, hibrida kedua spesies,
atau hibrida kedua spesies dari spesies kentang lainnya. Solanum tuberosum
subsp andigena berasal dari hibridisasi S. stenotonum (2n=2x) dengan S.
sparsipilum (2n=2x) diikuti penggandaan kromosom secara alamiah. Sedangkan
S. tuberosum subsp tuberosum berasal dari S. tuberosum subsp andigena yang
telah beradaptasi pada lingkungan berhari panjang. Kentang yang sering ditanam
merupakan tetraploid (2n=2x=48) (Hawkes, 1994).
Menurut Wattimena (1992), kultivar-kultivar kentang yang ditanam di
Indonesia umumnya adalah kultivar impor dari Eropa yang telah beradaptasi
dengan hari panjang. Di Indonesia, kebanyakan kultivar tersebut berumbi dan
panen lebih awal akibat hari pendek. Kultivar yang bertahan cukup lama adalah
kultivar Granola disamping kultivar baru yang diintroduksi khusus untuk kentang
olahan, seperti Atlantik dan Bientje.

Kultivar kentang yang saat ini banyak

dibudidayakan adalah kultivar Atlantik dan kultivar Granola (Wattimena, 2002).
Kentang kultivar Granola dirakit pada tahun 1975 di Jerman. Kultivar
Granola dikenal memiliki sifat agak tahan terhadap penyakit hawar daun dan
penyakit layu (Rukmana, 1997). Keunggulan lain dari kultivar Granola adalah
berumur genjah, produksi tinggi, bentuk umbi bagus, tahan penyakit virus PVY
dan PVX, agak tahan penyakit hawar daun (Phytopthora infestans). Sedangkan
kelemahannya adalah kadar air yang tinggi dan tidak cocok untuk kentang olahan
(Jossten, 1991).

11

Kentang kultivar Atlantik dirakit pada tahun 1974 di Amerika Serikat
sebagai hasil persilangan antara kultivar Wanseon dengan kultivar Venape.
Keunggulan kultivar Atlantik adalah berumur sedang, memiliki umbi bulat
dengan daging umbi berwarna putih, dan memiliki kandungan bahan kering yang
tinggi. Kultivar Atlantik terhadap virus PVY dan PVX tetapi rentan terhadap
serangan layu bakteri (Jossten, 1991).

Penyakit Layu Bakteri
Layu bakteri ditemukan secara luas di wilayah tropis dan subtropis, namun
juga ditemukan pada daerah bersuhu dingin (Hayward et. al., 1998). Penyakit
layu bakteri merupakan penyakit utama di kentang, tomat, terung, lada, jahe,
cabai, kacang tanah, pisang dan tembakau baik di daerah tropis maupun di daerah
sub tropis (Hayward, 1986). Pada 1991 dilaporkan bahwa inang layu bakteri telah
mencakup 44 famili tanaman (Hayward, 1991), dan pada tahun 1994 meningkat
menjadi 50 famili (Hayward, 1994). Layu bakteri pertama kali dilaporkan
disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum dan nama patogen terbaru adalah
Ralstonia solanacearum (Kelman et al., 1994). Kerugian hasil tanaman akibat
layu bakteri cukup tinggi.

Layu bakteri bahkan dapat menurunkan produksi

kentang sampai 80% (Wattimena, 2000).
Layu bakteri dapat disebarkan melalui tanah yang terinfestasi, umbi bibit
yang terinfeksi secara laten, penyebaran dari akar yang satu ke akar tanaman yang
lain dalam tanah, air irigasi atau percikan air hujan, maupun alat-alat yang dipakai
untuk membelah umbi atau alat-alat yang digunakan saat kultivasi tanaman

12

(Ciampi et al., 1980; Semangun, 1989; Hayward, 1991). Menurut French (1994)
perpindahan umbi kentang yang terinfeksi yang dipanen dari lokasi yang relatif
panas ke lokasi yang lebih dingin termasuk dataran tinggi di daerah tropis juga
merupakan salah satu sebab terjadinya infeksi secara laten pada umbi yang
diproduksi oleh tanaman yang kelihatannya sehat di lapangan.
Bakteri R. solanacearum mempunyai ciri-ciri berbentuk batang, bereaksi
gram negatif, aerobik, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, sering bersifat
tidak motil (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996), dan berukuran 0.5 – 1.0 x
1.5 – 4.0 μm (Hildebrand, Schroth dan Sands, 1998). Menurut Mehan et. al.
(1994) ukuran sel bakteri bervariasi, bergantung pada kondisi lingkungan
pertumbuhan. Isolat yang virulen umumnya tidak berflagela dan tidak dapat
bergerak. Sedangkan isolat yang tidak virulen biasanya memiliki 1-4 flagela polar
dan dapat bergerak. Menurut Mehan et al. (1994) R. solanacearum memiliki
variasi suhu optimum untuk pertumbuhan antara 25 – 35oC, dan menurut Kelman
(1953) pada suhu 15oC penyakit tidak berkembang.
Klasifikasi R. Solanacearum dibedakan dalam dua sistem yaitu sistem ras
dan sistem biovar. Berdasarkan ras, isolat R. solanacearum dibedakan menjadi 5
ras, yaitu ras 1, 2, 3, 4, dan 5. Ras yang menyerang kentang adalah ras 1 dan ras 3
(Hayward, 1986). Pengelompokan sistem biovar didasarkan pada reaksi biokimia,
yaitu kemampuan bakteri menggunakan atau menghidrolisis tiga alkohol heksosa
(manitol, sorbitol, dan dulsitol). Sistem ini membedakan isolat R. solanacearum
menjadi 5 biovar (Martin dan French, 1996). Menurut Haw\yward (1991) isolat
biovar yang ada di Asia adalah biovar 3.

13

Gejala penyakit layu bakteri adalah kelayuan, tanaman kerdil, serta daun
yang menguning (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996). Daun-daun layu
biasanya dimulai dari daun-daun muda. Apabila potongan batang dimasukkkan
ke dalam tabung yang berisi air steril, akan terlihat aliran massa bakteri yang
berwarna putih keluar dari berkas pembuluh, dan sifat ini yang dapat
membedakannya dengan penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium
sp. (Semangun, 1989).

Penyakit Busuk Lunak
Penyakit busuk lunak (soft rot) pada umbi dan kaki hitam (black leg) pada
tanaman kentang merupakan penyakit yang tersebar luas dan menghambat
pertumbuhan tanaman kentang yang penting di berbagai belahan dunia. Daerah
beriklim hangat biasanya didominasi oleh bakteri Erwinia carotovora pv.
carotovora, sedangkan di daerah dingin (sejuk) oleh Erwinia carotovora pv.
atroseptica dan daerah panas didominasi oleh Erwinia chrysanthemi (French dan
Lindo, 1979). E. carotovora merupakan bakteri tular tanah yang dapat menyerang
semua bagian tanaman dan dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak, nekrosis,
dan kelayuan (French dan Lindo, 1979). Menurut Larson (1979), E. carotovora d
berkembang cepat pada temperatur 24-31oC dan dalam keadaan lembab. Erwinia
carotovora dapat ditularkan melalui berbagai cara yaitu infeksi antar tanaman, air,
lubang-lubang alami, peralatan yang telah terinfeksi dan serangga.

Selain itu

Erwinia cartovora juga dapat masuk ke dalam tanaman melalui luka yang
ditimbulkan saat perawatan, saat panen, maupun pasca panen (CIP dan Balitsa,
1999).

14

Gejala penyakit adalah perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh
tumbuhan itu sendiri sebagai akibat dari adanya penyebab penyakit.

Gejala

penyakit dicirikan oleh busuk lunak pada bagian dasar dari batang dan selalu
berhubungan dengan kerusakan dari umbi bibit. Penyakit busuk lunak dapat
terjadi pada setiap fase pertumbuhan tanaman dan akan menyebar, terutama bila
kelembaban udara tinggi. Infeksi E. carotovora akan menyebabkan pembusukan
pada jaringan parenkim. Luka berlendir seringkali menyebabkan batang menjadi
lunak secara cepat karena umbi bibit yang membusuk. Infeksi pada tunas muda
atau stolon yang lanjut biasanya menyebabkan kematian pada tanaman (French
and Lindo, 1979).
Dalam penyimpanan, E. carotovora menyebabkan kerusakan pada umbi
dengan terjadinya busuk lunak.

E. carotovora menginfeksi lentisel melalui

permukaan umbi yang basah dan menyebabkan
secara melingkar (sirkular).

permukaan tersebut tertekan

Umbi busuk menyebar secara cepat pada saat

pengangkutan atau penyimpanan di gudang atau lapangan. Busuk lunak sering
dipicu oleh kerusakan mekanik atau kerusakan oleh serangan hama atau penyakit
lainnya pada umbi.

Jaringan yang terinfeksi menjadi basah, berwarna krem

kehitam-hitaman dan lunak, sehingga mudah dibedakan dengan jaringan yang
sehat (CIP dan Balitsa, 1999).

Pemuliaan Tanaman Kentang
Alternatif pemecahan bagi masalah peningkatan produksi kentang di
Indonesia adalah dengan merakit kultivar baru melalui program pemuliaan

15

tanaman.

Kegiatan pemuliaan perlu dilakukan untuk mendapatkan kultivar

kentang unggul di Indonesia yang memiliki sifat-sifat umur genjah, hasil tinggi,
persentase bahan kering tinggi, gula reduksi yang rendah serta tahan terhadap
penyakit layu bakteri (R. solanacearum), hawar daun (P. infestans), busuk lunak
(Erwinia spp), busuk kering umbi (Fusarium spp) dan nematoda bengkak akar
(Meloidogyne spp) (Wattimena et al., 2001).

Penyakit virus tidak menjadi

masalah karena petani dapat menggunakan umbi mini bebas virus (Wattimena,
2000).
Dalam program pemuliaan tanaman, keragaman genetik merupakan bahan
utama yang digunakan dalam seleksi (Poehlman, 1987).

Keefektifan seleksi

diantaranya tergantung pada keberadaan keragaman genetik bahan yang diseleksi
(Hallauer, 1981).

Untuk mendapatkan keragaman genetik tersebut, beberapa

metode pemuliaan tanaman kentang telah berkembang mulai dari cara persilangan
konvensional sampai dengan pemanfaatan metode non konvensional antara lain
hibridisasi somatik seperti fusi protoplas dan transformasi genetik. Selain itu
dapat juga dilakukan eksploitasi variasi somaklonal (Mythili et al., 1997). Namun
dengan metode somaklonal, pemulia mengalami kesulitan dalam memprediksi
sifat yang akan didapatkan dan sering diragukan kestabilannya (Kumar, 1994).
Dalam program pemuliaan tanaman, spesies kerabat dekat sering
digunakan sebagai sumber sifat ketahanan terhadap penyakit atau hama (Niks dan
Lindhout, 2006). Kerabat liar memiliki gen ketahanan terhadap cekaman biotik
dan abiotik, seperti halnya kualitas umbi (Hanneman, 1989; Jansky, 2000).
Kentang liar memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit fungi, bakteri dan virus
seperti halnya ketahanan terhadap hama, arachnidea dan nematoda. Ketahanan

16

terhadap hama berasal dari grandular trichomes dan bermacam kandungan
alkaloid pada daun (Hawkes, 1990). Ketahanan terhadap layu bakteri
teridentifikasi pada S. stenotomum, kerabat dekat yang berasal dari Peru dan
Bolivia, yang dapat disilangkan dengan S. tuberosum (Martin, 1979). Beberapa
species liar dan kerabat dekat yang memiliki sifat ketahanan atau toleransi tinggi
terhadap penyakit bakteri telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan seperti
introgresi gen resisten ke S. tuberosum dari S. phureja (Fock et al., 2000) dan S.
stenotomum (Fock et al., 2001).
Hibridisasi seksual kentang dengan genotipe tahan yaitu Solanum
chacoense, S. sparsipillum, dan S. multidissectum memunculkan sifat-sifat liar
seperti kandungan glikoalkaloid yang tinggi disamping tingkat ketahanan terhadap
layu bakteri (French et al., 1998). Selain itu introgresi gen ketahanan
menggunakan kultivar

liar sulit dilakukan dengan metode persilangan

konvensional karena adanya ketakserasian seksual (sexual incompatibility),
khususnya perbedaan tingkat ploidi atau perbedaan endosperm balance number
(EBN) (French et al., 1998). Kentang liar memiliki berbagai tingkat ploidi dari
diploid hingga hexaploid (Spooner et al., 2004), sedangkan sebagian besar
kultivar kentang S. tuberosum adalah tetraploid (Jansky, 2006). Kebanyakan
kentang liar adalah 2x (2EBN), sedangkan S. tuberosum adalah 4x (4EBN)
(Janksy, 2006). Teknik untuk menurunkan tingkat ploidi dapat dilakukan melalui
pembentukan tanaman haploid dan untuk meningkatkan dapat digunakan teknik
penggandaan kromosom (Uijtewaal et al., 1987). EBN juga dapat diturunkan
melalui kultur anter atau parthenogenesis. Produksi tanaman haploid kentang
melalui kultur anther mungkin dilakukan, namun biasanya sulit dilakukan karena

17

memerlukan adanya gen kompeten androgenik yang tidak selalu ada pada kultivar
kentang (Sonnino et al., 1989). Dengan demikian, pada perkembangannya,
perakitan kultivar baru kentang yang tahan penyakit banyak dilakukan melalui
hibridisasi somatik atau fusi protoplas (Fock et al., 2000; 2001) hingga
pemanfaatan teknik-teknik rekayasa genetika.
Agar dapat dilakukan persilangan konvensial, sumber sifat ketahanan
diharapkan dapat dicari dari kultivar tetraploid sehingga persilangan antara
keduanya diharapkan kompatibel dan dapat menghasilkan benih. Namun secara
teoritis persilangan antara tetraploid akan menghasilkan keragaman genetik yang
tinggi untuk banyak karakter (Uijtewall, 1987) sehingga diperlukan populasi yang
lebih besar jika dibandingkan persilangan diploid. Sebagai akibatnya kegiatan
seleksi awal (screening) penting untuk dilakukan.
Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam program pemuliaan
tanaman yang membutuhkan curahan tenaga, waktu dan dana yang besar
(Poehlman, 1987). Sebelum melakukan seleksi, karakter-karakter kuantitatif
tanaman serta hubungan antar karakter perlu dipahami dengan baik agar program
seleksi dapat diterapkan dengan efisien. Dalam kegiatan pemuliaan tanaman,
seleksi terhadap satu karakter kuantitatif tertentu dapat mengakibatkan ikut
terseleksinya karakter lainnya (Knight, 1979), dan hal tersebut dapat
menguntungkan ataupun merugikan. Oleh karena itu, penting diketahui dengan
pasti hubungan (korelasi) antar karakter dari tanaman yang ditangani. Hubungan
genetik antar karakter pada lingkungan tumbuh tertentu sangat penting artinya
bagi pemulia tanaman, karena akan dapat membantu merumuskan metode

18

pemuliaan yang efektif sehingga metode seleksinya dapat disederhanakan
(Provilaitis, 1965).

Seleksi Ketahanan Penyakit, Vigor dan Produksi Umbi Secara In Vitro
Seleksi/pengujian tanaman secara in vitro adalah kegiatan seleksi dengan
memanfaatkan teknik in vitro. Bahan yang dapat digunakan untuk pengujian dapat
berupa kultur organ, kalus atau sel dalam media dengan perlakukan. Beberapa
keuntungan dari pengujian in vitro adalah (Niks dan Lindhout, 2006): 1) banyak
individu yang dapat diuji dalam tempat yang lebih kecil, 2) seleksi dilakukan
dibawah kondisi yang terkontrol dan tersta