Seleksi In vitro klon-klon kentang hasil persilangan CV.Atlantik Dan CV. Granola untuk mendapatkan calon kultivar kentang unggul

(1)

SELEKSI IN VITRO KLON-KLON KENTANG HASIL

PERSILANGAN CV. ATLANTIK DAN CV. GRANOLA

UNTUK MENDAPATKAN CALON KULTIVAR

KENTANG UNGGUL

Oleh: Awang Maharijaya

A351050041

PROGRAM STUDI AGRONOMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun.

Bogor, 24 Juni 2007

Awang Maharijaya A351050041


(3)

3

ABSTRAK

AWANG MAHARIJAYA. Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola Untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul. Dibimbing oleh AGUS PURWITO dan MUHAMMAD MACHMUD.

Pengembangan kentang di Indonesia dihadapkan pada kendala yaitu penyediaan bibit bermutu dalam jumlah cukup dan tepat kultivar, iklim kurang mendukung, serta gangguan hama dan penyakit yang berakibat pada rendahnya produksi kentang. Salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut adalah merakit kultivar baru yang memiliki sifat unggul yaitu umur panen yang pendek, berdaya hasil tinggi, kandungan bahan kering tinggi, bentuk umbi yang baik, serta tahan terhadap penyakit utama kentang. Sifat-sifat tersebut terdapat pada kultivar yang adoptif di Indonesia yaitu kultivar Atlantik (2n=4X=48)dan Granola (2n=4X=48). Persilangan antara keduanya secara teoritis akan menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter. Sebagai akibatnya kegiatan seleksi awal (screening) penting untuk dilakukan untuk mengurangi jumlah klon yang harus diseleksi di lapang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui vigor, umur pengumbian dan produksi umbi mikro, tingkat ketahanan terhadap busuk lunak (E. carotovora pv. carotovora) dan layu bakteri (R. solanacearum) secara in vitro, dan mendapatkan calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk pengujian di lapangan. 24 klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola secara konvensional diuji vigor secara in vitro. Selanjutnya 12 klon yang memiliki vigor yang baik diuji produksi umbi mikro dan ketahanan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dan busuk lunak (Erwinia carotovora pv. carotovora) secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fenotipe dari klon-klon hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola. Beberapa klon-klon memiliki vigor, inisiasi umbi mikro, produksi umbi mikro dan ketahanan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora yang lebih baik dibandingkan tetua. Tidak adanya sifat-sifat yang berkorelasi terutama vigor, produksi dan ketahanan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora memungkinkan untuk klon yang memiliki sifat ketahanan terahadap penyakit dengan produksi yang tinggi dan karakteristik unggul lainnya.

Kata kunci: seleksi in vitro, kentang, vigor, umbi mikro, R. solancearum, E. carotovora pv. carotovora


(4)

between cv. Atlantic and cv. Granola to Obtain Putative Superior Potato Cultivars. Under supervisions of AGUS PURWITO and MUHAMMAD MACHMUD.

Development of potato in Indonesia facing many problems, such as supply sufficient of high quality seed, climatic condition, pests and diseases. Several bacterial pathogens can cause diseases of potato. Ralstonia solanacearum and Erwinia carotovora pv. carotovora are two of the world’s most important diseases of potato, especially in the tropics. One of the ways to solve the problems is breeding new potato cultivars having superior traits such as high yield, low water content, good tuber shape, tolerance to bacterial disesases. Theoritically, these traits are found in potato cv. Atlantic and cv. Granola, the most adopted cultivars in Indonesia. Both cv. Atlantic and cv. Granola are tetraploid (2n=4X=48). Due to large variations for a lot of characteristics of crosses between the tetraploid parentals, in vitro selection techniques are performed to speed up the selection process.

The experiments were aimed to obtain putative potato cultivars from crossing between cv. Atlantic (2n=4x=48) and cv. Granola (2n=4X=48). The conventional crossing technique was performed to generate botanical seeds (berries) from those cultivars. After that, in vitro selection technique was performed. Firstly, 24 clones from a single seed clonal progeny including cv. Atlantic and cv. Granola were evaluated for their vigors, then 12 selected clones from the vigor test were evaluated for their in vitro tuber production and tolerances to two bacterial diseases, namely bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum and soft rot caused by Erwinia carotovora pv. carotovora. All of the experiments were arranged in a Completely Randomized Design with a single factor. Results of the experiments showed that there are high diversities of phenotypes of the progenies. Some of the progenies showed better vigor, microtuber initiation, production of micro tuber, and resistant to both R. solanacearum and E. carotovora pv. carotovora than cv. Atlantic and cv. Granola. The lack of significant correlation between resistant to bacterial diseases and agronomic traits in the experiments suggested that it is possible to select clones which good resistances to the bacterial diseases, high yields, and superior tuber characteristics.

Keywords: in vitro selection, potato, vigor, microtuber, R. solancearum, E. carotovora pv. carotovora


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(6)

SELEKSI IN VITRO KLON-KLON KENTANG HASIL

PERSILANGAN CV. ATLANTIK DAN CV. GRANOLA

UNTUK MENDAPATKAN CALON KULTIVAR

KENTANG UNGGUL

AWANG MAHARIJAYA

Tesis

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

(8)

Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul Nama Mahasiswa : Awang Maharijaya

Nomor Pokok : A351050041 Program Studi : Agronomi

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr Ketua

Dr. Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU Anggota

Mengetahui, Ketua Program Studi Agronomi

Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro


(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul”. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan pada tanaman kentang baik berupa metode maupun pengetahuan dalam persilangan dan seleksi in vitro kentang dengan harapan dari penelitian ini akan dihasilkan calon atau kandidat kultivar kentang unggul. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis patut menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Agus Purwito, MSc dan Dr.Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU atas segala bimbingan dan pengarahan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis. Kepada Prof. G.A. Wattimena sebagai penguji luar komisi penulis ucapan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Wakil Rektor I Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, dan Kepala Bagian Bioteknologi Tanaman atas izin dan rekomendasi yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S2 di Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(10)

Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis hingga penulis dapat menempuh dan menyelesaikan pendidikan S2. Demikian pula atas dukungan dana penelitian dari Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB yang telah mendanai sebagian dari penelitian yang dilakukan melalui Hibah Penelitian Dosen Muda IPB, serta khusus kepada Dr.Ir. Agus Purwito, MSc yang telah mengajak peneliti untuk bergabung dengan penelitian Hibah Bersaing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para senior di Bagian Bioteknologi Tanaman yang banyak memberikan dukungan dan pengetahuan bagi penulis, kepada teknisi dan laboran yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium Kultur Jaringan, dan kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana khususnya Program Studi Agronomi atas segala dukungannya.

Terakhir penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak putus-putusnya kepada orang tua penulis dan keluarga atas segala dukungan dan do’a selama ini khususnya selama penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan studi.

Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pertanian pada khususnya.

Bogor, April 2007


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 8 September 1980 sebagai anak kedua dari bapak Noor Aminoto (Alm) dan ibu Umarjati. Pendidikan Dasar dan menengah ditempuh di kota kelahiran penulis. Pendidikan sarjana ditempuh oleh penulis di Program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2003. Setelah menamatkan pendidikan program sarjananya, penulis bekerja di laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB pada Bagian Bioteknologi Tanaman.

Pada tahun 2005 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional untuk menempuh program magister di Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB.


(12)

hal I.

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Botani Tanaman Kentang... 6

Arti Penting Tanaman Kentang... 8

Klon dan Kultivar Kentang ... 9

Penyakit Layu Bakteri... 11

Penyakit Busuk Lunak ... 13

Pemuliaan Tanaman Kentang ... 14

Seleksi Ketahanan Penyakit, Vigor dan Produksi Umbi Secara In Vitro... 18

METODOLOGI PENELITIAN ... 21

Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

Alat dan Bahan... 21

Tahapan Penelitian ... 22

Metode Penelitian ... 23

Persiapan Percobaan ... 23

Percobaan 1. Uji In Vitro Vigor Tanaman ... 23

Percobaan 2.a. Uji In Vitro Produksi Umbi ... 24

Percobaan 2.b. Uji Ketahanan Penyakit pada Umbi ... 25

Percobaan 3. Uji In Vitro Ketahanan Terhadap Penyakit Bakteri ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28


(13)

2

Uji In Vitro Produksi Umbi... 35

Uji In Vitro Ketahanan terhadap Penyakit Bakteri ... 47

Uji Ketahanan Penyakit Busuk Lunak (E. carotovora pv. carotovora) pada Umbi Mikro ... 54

Korelasi Antar Karakter Klon-Klon Hasil Persilangan Berdasarkan Pengujian in Vitro... 56

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(14)

No Teks hal Tabel 1. Pengelompokan tingkat ketahanan klon kentang terhadap

serangan bakteri layu R. solanacearum berdasarkan persentase kejadian penyakit (Thaveechai et al., 1989) ... 27 Tabel 2. Tinggi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.

Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0 ... 31 Tabel 3. Jumlah daun klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik

dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media

MS0 ... 32 Tabel 4. Jumlah akar klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik

dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media

MS0 ... 34 Tabel 5. Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, dan

jumlah akar pada klon-klon kentang hasil persilangan cv.

Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian vigor in vitro... 35 Tabel 6. Waktu inisiasi umbi dan selisih waktu antara waktu

pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.

Granola... 36 Tabel 7. Jumlah umbi per tanaman dari klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro... 40 Tabel 8. Bobot umbi dan bobot kering klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro... 43


(15)

2

Tabel 9. Hasil produksi kentang cv. Atlantik dan cv. Granola oleh petani di Pengalengan Jawa Barat, Batur dan Tosari Jawa Timur

(Basuki et al., 2002). ... 44 Tabel 10. Diameter dan panjang umbi mikro klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan hasil

pengujian in vitro... 47 Tabel 11. Periode inkubasi in vitro penyakit layu bakteri pada 12 klon

kentang hasil persilangan konvensional antara cv. Atlantik dan cv. Granola ... 49 Tabel 12. Kejadian penyakit dan tingkat ketahanan klon-klon kentang

hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) dan busuk lunak (E. carotovora pv. carotovora)... 51 Tabel 13. Tingkat ketahanan klon kentang terhadap serangan bakteri layu

(R. solanacearum)dan busuk lunak (E. carotovora pv.

carotovora) (modifikasi dari Thaveechai et al., 1989) ... 53 Tabel 14. Periode inkubasi, kejadian penyakit, dan tingkat ketahanan umbi

mikro kentang klon-klon hasil persilangan antara cv. Atlantik dan cv. Granola terhadap serangan bakteri layu (R.

solanacearum)dan busuk lunak (E. carotovora pv. carotovora) ... 56 Tabel 15. Matrik karakter klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik


(16)

No Teks hal Gambar 1. Diagram alur penelitian... 22 Gambar 2. Keragaman penampilan vigor in vitro klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola. (A) klon Atnola 1 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang cepat, (B) klon Atnola 4 memiliki pertumbuhan yang cepat, kekar dan berdaun lebat, (C) Granola sebagai tetua, (D) klon Atnola 16 memiliki pertumbuhan yang lambat. ... 29 Gambar 3. Waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv.

Atlantik dan cv. Granola ... 37 Gambar 4. Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai

100% dengan waktu inisiasi umbi pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola ... 39 Gambar 5. Penampilan klon Atnola 12 (A) dan klon Atnola 24 (B) umur

10 minggu pada media pengumbian (MS + Alar 10 mg/L +

BAP 5 mg/L + air kelapa 150 ml/L + sukrosa 90 g/L) ... 41 Gambar 6. Keragaman penampilan umbi mikro cv. Atlantik, cv. Granola

dan klon-klon hasil silangan cv. Atlantik x cv. Granola ... 46 Gambar 7. Tanaman kentang yang terinfeksi bakteri patogen pada

pengujian secara in vitro: (A) Ralstonia solanacearum, (B)

Erwinia carotovora pv. carotovora... 50 Gambar 8. Korelasi antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu

bakteri pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola ... 52


(17)

2

Gambar 9. Korelasi antara periode inkubasi dan kejadian penyakit busuk lunak pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik

dan cv. Granola ... 52 Gambar 10. Penampilan umbi mikro kentang setelah diinfeksi E.

carotovora pv. carotovora (A) umbi yang tahan; (B) umbi mengalami busuk lunak; (C) umbi sehat dibelah; dan (D) umbi sakit dibelah ... 55


(18)

No Teks hal Lampiran 1. Komposisi media MS (Murashige & Skoog)... 68 Lampiran 2. Sidik ragam tinggi tanaman pada klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 69 Lampiran 3. Sidik ragam jumlah daun pada klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 69 Lampiran 4. Sidik ragam jumlah akar pada klon-klon kentang hasil

persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 70 Lampiran 5. Sidik ragam inisiasi umbi mikro pada klon-klon kentang

hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 70 Lampiran 6. Sidik ragam keserempakan umbi mikro pada klon-klon

kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola

berdasarkan pengujian in vitro... 70 Lampiran 7. Sidik ragam jumlah umbi mikro/tanaman pada klon-klon

kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola

berdasarkan pengujian in vitro... 70 Lampiran 8. Sidik ragam bobot umbi mikro pada klon-klon kentang

hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 71 Lampiran 9. Sidik ragam bobot kering umbi mikro pada klon-klon

kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola


(19)

2

Lampiran 10. Sidik ragam panjang umbi mikro pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 71 Lampiran 11. Sidik ragam diameter umbi mikro pada klon-klon kentang

hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan

pengujian in vitro... 71 Lampiran 12. Sidik ragam periode inkubasi penyakit layu bakteri pada

klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.

Granola berdasarkan pengujian in vitro... 71 Lampiran 13. Sidik ragam periode inkubasi penyakit busuk lunak pada

klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv.

Granola berdasarkan pengujian in vitro... 72 Lampiran 14. Hasil analisis korelasi periode inkubasi dan kejadian

penyakit penyakit layu bakteri dan busuk lunak pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro... 72 Lampiran 15. Hasil analisis korelasi pengumbian mikro dan ketahanan

penyakit layu bakteri dan busuk lunak pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola


(20)

Latar Belakang

Kentang merupakan bahan makanan yang digunakan sebagai pangan pokok bagi sebagian penduduk dunia. Di Indonesia, pemanfaatan kentang sebagai bahan pokok semakin tinggi setelah masyarakat mengetahui nilai gizi yang tinggi dari kentang (Rukmana, 1997). Perbandingan kalori dan gizi pada kentang cukup berimbang, sehingga sangat baik digunakan untuk diet keseimbangan (Burton, 1989). Selain sebagai makanan pokok, kentang dikonsumsi dalam bentuk non olahan maupun olahan atau untuk industri (Rukmana, 1997).

Pengembangan kentang di Indonesia saat ini dihadapkan pada beberapa kendala. Kendala utama dalam pengembangan kentang diantaranya penyediaan bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat kultivar (Wattimena, 1992), iklim yang kurang mendukung, serta gangguan hama dan penyakit (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Iklim di wilayah tropis sangat mendukung berkembangnya penyakit (Chozin, 2006). Penyakit yang berbahaya dan dapat menimbulkan kerugian cukup besar pada tanaman kentang adalah penyakit busuk lunak (soft root) pada umbi dan kaki hitam (black leg) yang disebabkan oleh Erwinia carotovora pv. carotovora, serta layu bakteri (bacterial wilt) yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Penyakit ini ditemukan secara luas, banyak ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis, namun juga ditemukan pada daerah bersuhu rendah (Hayward et. al., 1998).


(21)

2

Salah satu cara mengatasi kerugian kentang akibat serangan Erwinia carotovora dan Ralstonia solanacearum adalah merakit kultivar yang tahan terhadap penyakit tersebut. Kultivar tersebut tetap harus memiliki pertumbuhan dan kualitas umbi yang baik. Secara umum sifat dari kultivar yang diharapkan menjadi kultivar unggul Indonesia diantaranya adalah memiliki umur panen yang pendek, berdaya hasil tinggi, kandungan bahan kering tinggi, bentuk umbi yang baik, serta tahan terhadap penyakit utama kentang (Wattimena, 2000). Dengan demikian untuk merakit kultivar kentang unggul diperlukan sumber tetua yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Salah satu kultivar kentang yang dikenal memiliki tingkat produksi yang baik dan telah teradopsi di Indonesia adalah Atlantik. Kultivar Atlantik memiliki kualitas umbi yang baik serta kandungan bahan kering yang tinggi. Namun kultivar Atlantik memiliki kelemahan, yaitu rentan terhadap virus PVY, penyakit hawar daun dan penyakit layu bakteri, serta umur panen yang dalam. Sumber sifat ketahanan dapat diperoleh dari beberapa species liar dan kerabat dekat. Beberapa spesies liar dan kerabat dekat yang memiliki sifat ketahanan atau toleransi tinggi terhadap penyakit bakteri telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan seperti introgresi gen tahan dari S. phureja (Fock et al., 2000) dan S. stenotomum ke S. tuberosum (Fock et al., 2001). Namun demikian, introgresi gen ketahanan menggunakan kultivar liar sulit dilakukan dengan metode persilangan konvensional karena adanya ketidakserasian seksual (sexual incompatibility), khususnya perbedaan tingkat ploidi atau perbedaan endosperm balance number (French et al., 1998). Tanaman kentang komersial pada umumya bersifat tetraploid (2n=4x=48) sedangkan species liar sebagai sumber sifat ketahanan


(22)

adalah diploid (2n=2x=24) sehingga persilangan untuk mendapatkan sifat ketahanan perlu dilakukan pada tingkat diploid atau dihaploid. Teknik untuk menurunkan tingkat ploidi dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman haploid, sedangkan untuk meningkatkan dapat digunakan teknik penggandaan kromosom atau melalui pembentukan diplogamet. Teknik semacam ini memerlukan keterampilan, tenaga dan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, pada perkembangannya, perakitan kultivar baru kentang yang tahan penyakit dilakukan melalui hibridisasi somatik, fusi protoplas (Fock et al., 2000; 2001) atau pemanfaatan teknik-teknik rekayasa genetika. Namun demikian, teknik persilangan konvensional lebih diterima oleh sebagian masyarakat dan pemerintah terutama untuk pelepasan varietas.

Agar dapat dilakukan persilangan konvensial, sumber sifat ketahanan diharapkan dapat diperoleh dari kultivar kentang tetraploid. Kultivar Granola (2n=4x=48) dikenal memiliki sifat agak tahan hawar daun dan penyakit layu bakteri dan telah dikenal luas oleh petani di Indonesia. Selain itu kultivar Granola memiliki keunggulan lain seperti umur panen pendek, hasil tinggi, bentuk umbi yang baik dan tahan penyakit virus PVX dan PVY. Kelemahan kultivar Granola adalah kadar air umbi yang tinggi dan tidak cocok untuk kentang olahan. Dengan demikian persilangan antara kultivar Atlantik dan Granola berpotensi untuk dikembangkan dalam program pemuliaan. Kedua kultivar tersebut adalah tetraploid sehingga persilangan antara keduanya diharapkan kompatibel dan dapat menghasilkan benih. Namun secara teoritis persilangan antara tetraploid akan menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter (Uijtewall, 1987) sehingga diperlukan populasi yang lebih besar jika dibandingkan


(23)

4

persilangan diploid. Sebagai akibatnya kegiatan seleksi awal (screening) penting untuk dilakukan untuk mengurangi jumlah klon yang harus diseleksi di lapang.

Dalam program pemuliaan konvensional, kegiatan seleksi di lapang merupakan salah satu kegiatan utama yang membutuhkan curahan tenaga, waktu, dan dana yang besar. Pemanfaatan seleksi sifat tertentu pada kultur in vitro memiliki peluang untuk mempercepat kegiatan seleksi dan mengurangi kebutuhan tenaga dan dana. Pengujian dan seleksi in vitro memiliki kelebihan yaitu waktu relatif lebih singkat, biaya relatif lebih murah, tidak memerlukan lahan yang luas, tidak menimbulkan masalah pada lingkungan dan dapat dilakukan pada klon yang banyak dalam waktu yang singkat. Beberapa pengujian di lapang dan in vitro memiliki korelasi yang nyata. Pengujian yang telah dilakukan diantaranya pada ketahanan terhadap penyakit (Wattimena et al, 2001; Delfiani, 2003; Samanhudi, 2001) dan pengumbian (Lentini 1988; Alsadon, 1989; Gopal dan Minocha, 1998; Gopal, 2001; Tampubolon, 2002). Dengan demikian kombinasi dari persilangan konvensional dan seleksi in vitro diharapkan mampu menjadi alternatif tahapan awal yang baik dalam usaha mendapatkan kultivar unggul kentang.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. mengetahui dan menyeleksi klon-klon kentang berdasarkan vigor dari hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara in vitro

2. mengetahui umur pengumbian dan produksi umbi mikro klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara in vitro


(24)

3. mengetahui tingkat ketahanan klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola terhadap busuk lunak (E. carotovora pv. carotovora) dan layu bakteri (R. solanacearum) secara in vitro

4. mendapatkan calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk pengujian di lapangan.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. terdapat klon dengan vigor yang baik dari hasil seleksi in vitro terhadap klon-klon hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara konvensional

2. terdapat klon dengan umur pengumbian yang pendek dan produksi yang baik dari hasil seleksi in vitro terhadap klon-klon hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara konvensional

3. terdapat klon dengan tingkat ketahanan penyakit layu bakteri dan busuk lunak yang tinggi dari hasil seleksi in vitro terhadap klon-klon hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola secara konvensional

4. terdapat calon klon-klon kentang unggul hasil seleksi in vitro untuk bahan pengujian di lapang


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun (annual) yang berbentuk semak atau herba, dengan susunan utama terdiri atas stolon, umbi, batang, daun, bunga, buah dan biji, serta akar (Rukmana, 1997). Dalam sistematika tumbuhan, tanaman kentang diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Menurut Thomson dan Kelly (1957) tanaman kentang memiliki batang berwarna hijau dan ungu atau kemerahan apabila mengandung antosianin. Batang tanaman kentang memiliki dua tipe yaitu batang yang tumbuh di atas tanah (aerial) dan batang yang tumbuh di bawah tanah (underground). Batang yang tumbuh di bawah tanah terdiri dari stolon dan umbi. Batang di bawah tanah (stolon) memiliki fungsi serupa dengan batang di atas tanah, namun setiap stolon mengakhiri pertumbuhannya dengan bertambah besar atau membentuk umbi. Daun kentang merupakan daun majemuk dengan anak daun primer tersusun di kiri kanan tangkai dan membentuk delta sampai lonjong. Susunan daun primer diakhiri dengan daun tunggal pada ujung tangkai.

Bunga kentang berwarna putih hingga merah jambu dan keunguan dengan lima lembar mahkota menyatu (Thompson dan Kelly, 1957). Bunga kentang bersifat protogeni, yaitu putiknya lebih cepat masak daripada tepung sari,


(26)

sehingga sebagian besar penyerbukan terjadi secara serbuk silang dengan perantara angin dan serangga (Sunarjono, 1975).

Kentang merupakan tanaman yang dipanen umbinya. Umbi kentang merupakan ujung stolon yang membesar dan merupakan organ penyimpanan karbohidrat yang tinggi (Burton, 1989). Stolon merupakan tunas lateral yang tumbuh dari ketiak daun di bawah permukaan tanah. Stolon tumbuh memanjang dan melengkung di bagian ujungnya, kemudian membesar atau membengkak untuk membentuk umbi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan (Rukmana, 1997). Bentuk, ukuran dan jumlah mata umbi bervariasi pada setiap kultivar (Nonnecke, 1989)

Umbi kentang mengandung 20-25 % bahan kering dengan kandungan 65-80 % tepung. Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih, tatapi ada juga kultivar yang berwarna kuning cerah, jingga, merah atau ungu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Umbi kentang merupakan bahan pangan yang kaya akan gizi, dimana dalam 100 g dikandung air 77 g, protein 2.1 g, karbohidrat 8.5 g, serat 2.1 g, niasin 1.5 mg, thiamin 0.1 mg, riboflavin 0.54 mg, asam askorbat 20 mg, kalsium 9 mg, phospat 50 mg, kalium 410 mg, dan besi 0.8 mg. Total energi yang dikandung dalam 100g umbi kentang adalah 335kj (Wagih dan Wiersena, 1994). Menurut Niederhauser (1993) perbandingan protein dengan karbohidrat pada tanaman kentang lebih tinggi daripada tanaman serealia, maupun tanaman umbi lainnya. Protein dalam kentang mengandung asam amino yang seimbang sehingga sangat baik bagi kesehatan manusia. Thurton (2001) menyatakan bahwa kentang mampu memproduksi 54 % protein lebih banyak per unit area dibandingkan gandum dan 78 % lebih banyak dibandingkan beras.


(27)

8

Tanaman kentang berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan (Hawkes, 1994; Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Menurut Rukmana (1997) kentang pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1794 di Cisarua Bandung, dan mulai menyebar pada tahun 1811 di berbagai daerah di Indonesia terutama daerah-daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, Flores, Pengalengan, Lembang, Pacet, Wonosobo, Dieng, Tawangmangu, Batu dan Tengger.

Arti Penting Tanaman Kentang

Kentang merupakan komoditas pangan yang penting untuk dikembangkan, baik sebagai tanaman sayuran maupun tanaman sumber karbohidrat alternatif setelah gandum, jagung dan padi. Tanaman kentang merupakan komoditas yang penting bagi Indonesia karena: (1) merupakan tanaman yang mendatangkan sumber uang (cash crop), (2) komoditas ekspor non migas yang mendatangkan devisa bagi negara, (3) salah satu makanan cepat saji (fast food) di Indonesia pada saat ini dan (4) makanan bernilai gizi tinggi dan lengkap yang dapat digunakan sebagai pangan disamping beras (Wattimena, 1992).

Konsumsi kentang di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat namun tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat produktivitas kentang. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi kentang di Indonesia menurut Wattimena (1992) adalah:


(28)

1. Belum tersedia kultivar-kultivar standar yang sesuai dengan lingkungan tumbuh dan kebutuhan pasar.

2. Belum ada pengusaha/petani yang mengusahakan bibit kentang bermutu. Bibit kentang bermutu masih diimpor dari Belanda, Belgia dan Jerman. 3. Adanya beberapa penyakit yang belum dapat/sukar dikendalikan.

4. Ketersediaan teknik budidaya yang tepat untuk menjamin produksi dan kelestarian lahan usaha.

5. Teknologi pascapanen yang dapat memperpanjang masa simpan serta menjamin kualitas hasil.

6. Lahan usaha yang semakin menyempit karena bersaing dengan real estate dan vila-vila tempat peristirahatan.

Beberapa bakteri dapat menyebabkan penyakit pada kentang (Stead, 1999). Beberapa penyakit utama pada kentang yang sampai saat ini sukar dikendalikan diantaranya adalah (Phytopthora infestans), layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dan busuk lunak (Erwinia carotovora pv. carotovora). Penyakit layu bakteri dan busuk lunak dapat menurunkan produksi kentang sampai 80 % (Wattimena, 1994).

Klon dan Kultivar Kentang

Klon merupakan turunan dari individu yang diperbanyak melalui perbanyakan vegetatif. Klon merupakan nomor-nomor seleksi pada tanaman yang diperbanyak secara klonal yang masih dalam taraf pengujian dan belum


(29)

10

dilepaskan sedangkan kultivar merupakan nama lain dengan varietas, yaitu klon yang sudah dilepaskan dan diterima secara komersial (Chahal dan Gosal, 2006). Kultivar-kultivar kentang komersial yang ada saat ini berasal dari S. tuberosum subsp andigena, S. tuberosum subsp tuberosum, hibrida kedua spesies, atau hibrida kedua spesies dari spesies kentang lainnya. Solanum tuberosum subsp andigena berasal dari hibridisasi S. stenotonum (2n=2x) dengan S. sparsipilum (2n=2x) diikuti penggandaan kromosom secara alamiah. Sedangkan S. tuberosum subsp tuberosum berasal dari S. tuberosum subsp andigena yang telah beradaptasi pada lingkungan berhari panjang. Kentang yang sering ditanam merupakan tetraploid (2n=2x=48) (Hawkes, 1994).

Menurut Wattimena (1992), kultivar-kultivar kentang yang ditanam di Indonesia umumnya adalah kultivar impor dari Eropa yang telah beradaptasi dengan hari panjang. Di Indonesia, kebanyakan kultivar tersebut berumbi dan panen lebih awal akibat hari pendek. Kultivar yang bertahan cukup lama adalah kultivar Granola disamping kultivar baru yang diintroduksi khusus untuk kentang olahan, seperti Atlantik dan Bientje. Kultivar kentang yang saat ini banyak dibudidayakan adalah kultivar Atlantik dan kultivar Granola (Wattimena, 2002).

Kentang kultivar Granola dirakit pada tahun 1975 di Jerman. Kultivar Granola dikenal memiliki sifat agak tahan terhadap penyakit hawar daun dan penyakit layu (Rukmana, 1997). Keunggulan lain dari kultivar Granola adalah berumur genjah, produksi tinggi, bentuk umbi bagus, tahan penyakit virus PVY dan PVX, agak tahan penyakit hawar daun (Phytopthora infestans). Sedangkan kelemahannya adalah kadar air yang tinggi dan tidak cocok untuk kentang olahan (Jossten, 1991).


(30)

Kentang kultivar Atlantik dirakit pada tahun 1974 di Amerika Serikat sebagai hasil persilangan antara kultivar Wanseon dengan kultivar Venape. Keunggulan kultivar Atlantik adalah berumur sedang, memiliki umbi bulat dengan daging umbi berwarna putih, dan memiliki kandungan bahan kering yang tinggi. Kultivar Atlantik terhadap virus PVY dan PVX tetapi rentan terhadap serangan layu bakteri (Jossten, 1991).

Penyakit Layu Bakteri

Layu bakteri ditemukan secara luas di wilayah tropis dan subtropis, namun juga ditemukan pada daerah bersuhu dingin (Hayward et. al., 1998). Penyakit layu bakteri merupakan penyakit utama di kentang, tomat, terung, lada, jahe, cabai, kacang tanah, pisang dan tembakau baik di daerah tropis maupun di daerah sub tropis (Hayward, 1986). Pada 1991 dilaporkan bahwa inang layu bakteri telah mencakup 44 famili tanaman (Hayward, 1991), dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 50 famili (Hayward, 1994). Layu bakteri pertama kali dilaporkan disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum dan nama patogen terbaru adalah Ralstonia solanacearum (Kelman et al., 1994). Kerugian hasil tanaman akibat layu bakteri cukup tinggi. Layu bakteri bahkan dapat menurunkan produksi kentang sampai 80% (Wattimena, 2000).

Layu bakteri dapat disebarkan melalui tanah yang terinfestasi, umbi bibit yang terinfeksi secara laten, penyebaran dari akar yang satu ke akar tanaman yang lain dalam tanah, air irigasi atau percikan air hujan, maupun alat-alat yang dipakai untuk membelah umbi atau alat-alat yang digunakan saat kultivasi tanaman


(31)

12

(Ciampi et al., 1980; Semangun, 1989; Hayward, 1991). Menurut French (1994) perpindahan umbi kentang yang terinfeksi yang dipanen dari lokasi yang relatif panas ke lokasi yang lebih dingin termasuk dataran tinggi di daerah tropis juga merupakan salah satu sebab terjadinya infeksi secara laten pada umbi yang diproduksi oleh tanaman yang kelihatannya sehat di lapangan.

Bakteri R. solanacearum mempunyai ciri-ciri berbentuk batang, bereaksi gram negatif, aerobik, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, sering bersifat tidak motil (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996), dan berukuran 0.5 – 1.0 x 1.5 – 4.0 μm (Hildebrand, Schroth dan Sands, 1998). Menurut Mehan et. al. (1994) ukuran sel bakteri bervariasi, bergantung pada kondisi lingkungan pertumbuhan. Isolat yang virulen umumnya tidak berflagela dan tidak dapat bergerak. Sedangkan isolat yang tidak virulen biasanya memiliki 1-4 flagela polar dan dapat bergerak. Menurut Mehan et al. (1994) R. solanacearum memiliki variasi suhu optimum untuk pertumbuhan antara 25 – 35oC, dan menurut Kelman (1953) pada suhu 15oC penyakit tidak berkembang.

Klasifikasi R. Solanacearum dibedakan dalam dua sistem yaitu sistem ras dan sistem biovar. Berdasarkan ras, isolat R. solanacearum dibedakan menjadi 5 ras, yaitu ras 1, 2, 3, 4, dan 5. Ras yang menyerang kentang adalah ras 1 dan ras 3 (Hayward, 1986). Pengelompokan sistem biovar didasarkan pada reaksi biokimia, yaitu kemampuan bakteri menggunakan atau menghidrolisis tiga alkohol heksosa (manitol, sorbitol, dan dulsitol). Sistem ini membedakan isolat R. solanacearum menjadi 5 biovar (Martin dan French, 1996). Menurut Haw\yward (1991) isolat biovar yang ada di Asia adalah biovar 3.


(32)

Gejala penyakit layu bakteri adalah kelayuan, tanaman kerdil, serta daun yang menguning (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996). Daun-daun layu biasanya dimulai dari daun-daun muda. Apabila potongan batang dimasukkkan ke dalam tabung yang berisi air steril, akan terlihat aliran massa bakteri yang berwarna putih keluar dari berkas pembuluh, dan sifat ini yang dapat membedakannya dengan penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. (Semangun, 1989).

Penyakit Busuk Lunak

Penyakit busuk lunak (soft rot) pada umbi dan kaki hitam (black leg) pada tanaman kentang merupakan penyakit yang tersebar luas dan menghambat pertumbuhan tanaman kentang yang penting di berbagai belahan dunia. Daerah beriklim hangat biasanya didominasi oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora, sedangkan di daerah dingin (sejuk) oleh Erwinia carotovora pv. atroseptica dan daerah panas didominasi oleh Erwinia chrysanthemi (French dan Lindo, 1979). E. carotovora merupakan bakteri tular tanah yang dapat menyerang semua bagian tanaman dan dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak, nekrosis, dan kelayuan (French dan Lindo, 1979). Menurut Larson (1979), E. carotovora d berkembang cepat pada temperatur 24-31oC dan dalam keadaan lembab. Erwinia carotovora dapat ditularkan melalui berbagai cara yaitu infeksi antar tanaman, air, lubang-lubang alami, peralatan yang telah terinfeksi dan serangga. Selain itu Erwinia cartovora juga dapat masuk ke dalam tanaman melalui luka yang ditimbulkan saat perawatan, saat panen, maupun pasca panen (CIP dan Balitsa, 1999).


(33)

14

Gejala penyakit adalah perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh tumbuhan itu sendiri sebagai akibat dari adanya penyebab penyakit. Gejala penyakit dicirikan oleh busuk lunak pada bagian dasar dari batang dan selalu berhubungan dengan kerusakan dari umbi bibit. Penyakit busuk lunak dapat terjadi pada setiap fase pertumbuhan tanaman dan akan menyebar, terutama bila kelembaban udara tinggi. Infeksi E. carotovora akan menyebabkan pembusukan pada jaringan parenkim. Luka berlendir seringkali menyebabkan batang menjadi lunak secara cepat karena umbi bibit yang membusuk. Infeksi pada tunas muda atau stolon yang lanjut biasanya menyebabkan kematian pada tanaman (French and Lindo, 1979).

Dalam penyimpanan, E. carotovora menyebabkan kerusakan pada umbi dengan terjadinya busuk lunak. E. carotovora menginfeksi lentisel melalui permukaan umbi yang basah dan menyebabkan permukaan tersebut tertekan secara melingkar (sirkular). Umbi busuk menyebar secara cepat pada saat pengangkutan atau penyimpanan di gudang atau lapangan. Busuk lunak sering dipicu oleh kerusakan mekanik atau kerusakan oleh serangan hama atau penyakit lainnya pada umbi. Jaringan yang terinfeksi menjadi basah, berwarna krem kehitam-hitaman dan lunak, sehingga mudah dibedakan dengan jaringan yang sehat (CIP dan Balitsa, 1999).

Pemuliaan Tanaman Kentang

Alternatif pemecahan bagi masalah peningkatan produksi kentang di Indonesia adalah dengan merakit kultivar baru melalui program pemuliaan


(34)

tanaman. Kegiatan pemuliaan perlu dilakukan untuk mendapatkan kultivar kentang unggul di Indonesia yang memiliki sifat-sifat umur genjah, hasil tinggi, persentase bahan kering tinggi, gula reduksi yang rendah serta tahan terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum), hawar daun (P. infestans), busuk lunak (Erwinia spp), busuk kering umbi (Fusarium spp) dan nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp) (Wattimena et al., 2001). Penyakit virus tidak menjadi masalah karena petani dapat menggunakan umbi mini bebas virus (Wattimena, 2000).

Dalam program pemuliaan tanaman, keragaman genetik merupakan bahan utama yang digunakan dalam seleksi (Poehlman, 1987). Keefektifan seleksi diantaranya tergantung pada keberadaan keragaman genetik bahan yang diseleksi (Hallauer, 1981). Untuk mendapatkan keragaman genetik tersebut, beberapa metode pemuliaan tanaman kentang telah berkembang mulai dari cara persilangan konvensional sampai dengan pemanfaatan metode non konvensional antara lain hibridisasi somatik seperti fusi protoplas dan transformasi genetik. Selain itu dapat juga dilakukan eksploitasi variasi somaklonal (Mythili et al., 1997). Namun dengan metode somaklonal, pemulia mengalami kesulitan dalam memprediksi sifat yang akan didapatkan dan sering diragukan kestabilannya (Kumar, 1994).

Dalam program pemuliaan tanaman, spesies kerabat dekat sering digunakan sebagai sumber sifat ketahanan terhadap penyakit atau hama (Niks dan Lindhout, 2006). Kerabat liar memiliki gen ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, seperti halnya kualitas umbi (Hanneman, 1989; Jansky, 2000). Kentang liar memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit fungi, bakteri dan virus seperti halnya ketahanan terhadap hama, arachnidea dan nematoda. Ketahanan


(35)

16

terhadap hama berasal dari grandular trichomes dan bermacam kandungan alkaloid pada daun (Hawkes, 1990). Ketahanan terhadap layu bakteri teridentifikasi pada S. stenotomum, kerabat dekat yang berasal dari Peru dan Bolivia, yang dapat disilangkan dengan S. tuberosum (Martin, 1979). Beberapa species liar dan kerabat dekat yang memiliki sifat ketahanan atau toleransi tinggi terhadap penyakit bakteri telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan seperti introgresi gen resisten ke S. tuberosum dari S. phureja (Fock et al., 2000) dan S. stenotomum (Fock et al., 2001).

Hibridisasi seksual kentang dengan genotipe tahan yaitu Solanum chacoense, S. sparsipillum, dan S. multidissectum memunculkan sifat-sifat liar seperti kandungan glikoalkaloid yang tinggi disamping tingkat ketahanan terhadap layu bakteri (French et al., 1998). Selain itu introgresi gen ketahanan menggunakan kultivar liar sulit dilakukan dengan metode persilangan konvensional karena adanya ketakserasian seksual (sexual incompatibility), khususnya perbedaan tingkat ploidi atau perbedaan endosperm balance number (EBN) (French et al., 1998). Kentang liar memiliki berbagai tingkat ploidi dari diploid hingga hexaploid (Spooner et al., 2004), sedangkan sebagian besar kultivar kentang S. tuberosum adalah tetraploid (Jansky, 2006). Kebanyakan kentang liar adalah 2x (2EBN), sedangkan S. tuberosum adalah 4x (4EBN) (Janksy, 2006). Teknik untuk menurunkan tingkat ploidi dapat dilakukan melalui pembentukan tanaman haploid dan untuk meningkatkan dapat digunakan teknik penggandaan kromosom (Uijtewaal et al., 1987). EBN juga dapat diturunkan melalui kultur anter atau parthenogenesis. Produksi tanaman haploid kentang melalui kultur anther mungkin dilakukan, namun biasanya sulit dilakukan karena


(36)

memerlukan adanya gen kompeten androgenik yang tidak selalu ada pada kultivar kentang (Sonnino et al., 1989). Dengan demikian, pada perkembangannya, perakitan kultivar baru kentang yang tahan penyakit banyak dilakukan melalui hibridisasi somatik atau fusi protoplas (Fock et al., 2000; 2001) hingga pemanfaatan teknik-teknik rekayasa genetika.

Agar dapat dilakukan persilangan konvensial, sumber sifat ketahanan diharapkan dapat dicari dari kultivar tetraploid sehingga persilangan antara keduanya diharapkan kompatibel dan dapat menghasilkan benih. Namun secara teoritis persilangan antara tetraploid akan menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter (Uijtewall, 1987) sehingga diperlukan populasi yang lebih besar jika dibandingkan persilangan diploid. Sebagai akibatnya kegiatan seleksi awal (screening) penting untuk dilakukan.

Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam program pemuliaan tanaman yang membutuhkan curahan tenaga, waktu dan dana yang besar (Poehlman, 1987). Sebelum melakukan seleksi, karakter-karakter kuantitatif tanaman serta hubungan antar karakter perlu dipahami dengan baik agar program seleksi dapat diterapkan dengan efisien. Dalam kegiatan pemuliaan tanaman, seleksi terhadap satu karakter kuantitatif tertentu dapat mengakibatkan ikut terseleksinya karakter lainnya (Knight, 1979), dan hal tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Oleh karena itu, penting diketahui dengan pasti hubungan (korelasi) antar karakter dari tanaman yang ditangani. Hubungan genetik antar karakter pada lingkungan tumbuh tertentu sangat penting artinya bagi pemulia tanaman, karena akan dapat membantu merumuskan metode


(37)

18

pemuliaan yang efektif sehingga metode seleksinya dapat disederhanakan (Provilaitis, 1965).

Seleksi Ketahanan Penyakit, Vigor dan Produksi Umbi Secara In Vitro

Seleksi/pengujian tanaman secara in vitro adalah kegiatan seleksi dengan memanfaatkan teknik in vitro. Bahan yang dapat digunakan untuk pengujian dapat berupa kultur organ, kalus atau sel dalam media dengan perlakukan. Beberapa keuntungan dari pengujian in vitro adalah (Niks dan Lindhout, 2006): 1) banyak individu yang dapat diuji dalam tempat yang lebih kecil, 2) seleksi dilakukan dibawah kondisi yang terkontrol dan terstandar. Agen penyeleksi dapat diberikan secara lebih seragam. Seleksi/pengujian tanaman secara in vitro memiliki beberapa kelebihan dibandingkan seleksi di lapang. Kelebihan tersebut adalah waktu yang dibutuhkan lebih cepat, biaya lebih murah, tidak memerlukan lahan yang luas, mengurangi kemungkinan terjadinya disease escape, tidak menimbulkan masalah pada lingkungan dan dapat dilakukan pada klon yang banyak dalam waktu yang sama (Samanhudi, 2001).

Beberapa teknik karakterisasi dan seleksi in vitro dilaporkan telah dapat digunakan pada tanaman kentang. Menurut Samanhudi (2001) teknik inokulasi bakteri Ralstonia solanacearum dengan cara gunting pucuk memiliki korelasi yang sangat nyata dengan pengujian di rumah kaca. Teknik in vitro telah dilakukan oleh Asnawati (2002) untuk skrining klon-klon kentang calon tetua yang tahan layu bakteri dan busuk lunak. Metode pengujian ketahanan terhadap penyakit bakteri secara in vitro dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode


(38)

siram atau gunting. Menurut Delfiani (2003), metode gunting memiliki kisaran waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan periode inkubasi pada perlakuan metode siram. Teknik kultur media ganda pada kentang telah digunakan untuk menguji ketahanan kultivar kentang terhadap P. infestans (Meulemans et al., 1986). Pada penelitian Meulemans et al. (1987), cara inokulasi bakteri dilakukan dengan teknik penyemprotan.

Gopal dan Minocha (1998), Gopal et al. (1997), dan Gopal (2001) meneliti efektifitas seleksi menggunakan umbi mikro. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seleksi menggunakan umbi mikro efektif digunakan untuk beberapa karakteristik yaitu tinggi tanaman, bentuk batang, warna umbi, dan impresi secara umum lainnya. Gopal et al. (1997) menyimpulkan bahwa seleksi dapat dilakukan pada umbi mikro untuk impresi umum dan seluruh karakteristik penting umbi (warna, bentuk, hasil, dan bobot rata-rata). Selanjutnya, Naik et al. (1998), dengan menggunakan 37 genotipe kentang, menyatakan bahwa tidak semua karakter baik digunakan sebagai karakter seleksi untuk menentukan produksi umbi. Jumlah umbi dinyatakan sebagai karakter yang terbaik untuk menduga produksi umbi di lapangan.

Gopal dan Minocha (1998) dan Gopal (2001) menyempurnakan hasil penelitian tersebut dengan menambah jumlah genotipe yang diuji dan menyatakan beberapa karakter agronomi tanaman kentang in vitro memiliki korelasi yang nyata dengan penampilan karakter tersebut di lapangan. Penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Alsadon et al. (1988) dan Alsadon (1989) yang menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara produksi umbi mikro in vitro dengan produksi umbi di lapangan, serta penelitian


(39)

20

Lentini (1988) yang menyatakan penampilan in vitro mencerminkan penampilan di lapangan untuk hasil dan karakter lain yang terkait pada tanaman kentang.

Tampubolon (2002) telah melakukan pendugaan umur secara in vitro pada beberapa kultivar kentang. Kriteria yang digunakan untuk penentuan umur kentang adalah kecepatan inisiasi umbi, keseragaman pembentukan umbi, dan persentase bahan kering umbi. Kriteria ini didasarkan bahwa kultivar kentang genjah memiliki inisiasi umbi yang cepat, waktu pengisian umbi cepat dan bahan kering umbi rendah. Sebaliknya kultivar kentang berumur dalam mempunyai sifat inisiasi umbi lambat, waktu pengisian umbi yang lama serta persentase bahan kering yang tinggi (Burton, 1989; Lisinska dan Leszcynski, 1989). Pengumbian kentang secara in vitro baik untuk keperluan penyebaran plasma nutfah kentang maupun untuk perbanyakan kentang telah banyak dilakukan (Wattimena, 1983; McCrown dan Wattimena, 1987).

Sistem pengumbian in vitro dapat dilakukan dengan sistem satu media yaitu cair atau padat atau sistem dua media (cair-cair) atau padat-cair (Wattimena, 1983). Pada sistem satu media eksplan langsung dikulturkan pada media pengumbian, sedangkan pada sistem dua media, eksplan mula-mula dikulturkan selama 3-4 minggu pada media pertunasan dan sesudah itu baru ditambahkan media pengumbian. Media pertunasan kentang secara in vitro yang terbaik adalah media dasar MS (Murashige and Skoog, 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (Wattimena, 1992). Media pengumbian yang baik terdiri dari media MS, sukrosa 9% dan berbagai kombinasi jenis sitokinin dengan retardan atau inhibitor.


(40)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Maret 2007.

Alat dan Bahan

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini berupa klon-klon hasil persilangan konvensional kultivar Atlantik dan Granola (cv. Atlantik X cv. Granola), kentang BF15 sebagai kontrol peka penyakit, dan S. stenotomum sebagai kontrol tahan. Bahan lain yang digunakan media kultur jaringan Murashige and Skoog (MS), air kelapa, Alar, BAP, sukrosa, media bakteri (LB), serta inokulum bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora dan Ralstonia solanacearum koleksi departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang diisolasi dari kentang yang diambil di daerah Segunung Jawa Barat tanggal isolasi 24 Januari 2007.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow cabinet, otoklaf, oven, shaker, neraca analitik, botol kultur dan alat-alat diseksi di laboratorium kultur jaringan.


(41)

22

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahapan utama penelitian, yaitu: 1) uji in vitro vigor tanaman, 2.a.) uji in vitro produksi umbi, 2.b.) uji ketahanan umbi mikro terhadap busuk lunak, dan 3) uji in vitro ketahanan tanaman terhadap layu bakteri dan busuk lunak. Tahapan penelitian disusun sesuai dengan Gambar 1.


(42)

Metode Penelitian

Persiapan Percobaan Pembuatan Media Perbanyakan

Media MS dibuat dengan larutan baku (Tabel Lampiran 1). Larutan baku yang telah dibuat dicukupkan volumenya hingga 1000 ml dengan menambahkan aquades, kemudian ditambah sukrosa sebanyak 30 gram dan diaduk rata. Keasaman larutan berikutnya diukur dengan kertas lakmus. Keasaman diatur dengan penambahan NaOH 0.1 N untuk menaikkan atau penambahan HCl 0.1 N untuk menurunkan. Sebagai bahan pemadat ditambahkan 8 gram agar. Setelah ditambahkan agar larutan dipanaskan hingga agar menjadi homogen. Larutan media yang sudah siap dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 15-20 ml perbotol dan selanjutnya ditutup rapat dengan menggunakan plastik dan karet. Media berikutnya disterilkan dengan otoklaf selama 30 menit pada suhu 1200C dan tekanan 17.5 psi.

Percobaan 1. Uji In Vitro Vigor Tanaman

Pengujian dilakukan dengan menanam klon kentang hasil silangan dalam medium Murashige dan Skoog (MS) tanpa ZPT + 5 mg/l kalsium pentatonat. Eksplan yang dipakai adalah tunas samping. Rancangan lingkungan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu klon sebanyak 26 yang diulang sebanyak 20 kali sehingga terdapat 520 botol. Satu satuan percobaan


(43)

24

terdiri dari satu botol yang berisi dua eksplan. Vigor tanaman diamati dari beberapa peubah vegetatif, yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, dan akar. Pengamatan dilakukan sampai minggu ke-5.

Percobaan 2.a. Uji In Vitro Produksi Umbi

Pengujian diawali dengan menanam klon kentang pada medium Murashige dan Skoog (MS) tanpa ZPT + 5 mg/l kalsium pentatonat. Eksplan yang dipakai adalah tunas samping. Klon-klon yang digunakan pada percobaan ini merupakan klon-klon yang memiliki vigor yang baik sesuai hasil percobaan 1.

Setelah kultur kentang berumur 4 minggu, medium pengumbian cair ditambahkan ke dalam medium kultur sehingga menghasilkan dua lapisan media. Media cair yang digunakan adalah MS + Alar 10 mg/L + air kelapa 150 ml/L + BAP 5 mg/L + 90 g/l sukrosa. Media cair ditambahkan sebanyak 30 ml per botol. Kultur diinkubasi pada ruang gelap (tanpa penyinaran) pada suhu 19-21oC.

Rancangan lingkungan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu klon. Satu satuan percobaan terdiri dari satu botol yang berisi dua eksplan. Setiap ulangan terdiri dari 20 botol dengan dua eksplan. Pengamatan dilakukan pada peubah saat munculnya umbi, keserempakan umbi, jumlah umbi, ukuran umbi, bentuk umbi, dan persentase bobot kering umbi. Selain peubah saat munculnya umbi, pengamatan dilakukan pada minggu ke 12 setelah penyiraman media pengumbian.


(44)

Percobaan 2.b. Uji Ketahanan Penyakit pada Umbi

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah umbi-umbi mikro hasil Percobaan 2.a. Umbi diletakkan pada cawan petri steril dan diinokulasi dengan bakteri E. carotovora pv. carotovora. Rancangan lingkungan yang digunakan dalah Rancangan Acak Lengkap. Satu satuan percobaan terdiri dari 5 umbi dengan tiga ulangan. Pengamatan yang dilakukan meliputi saat kejadian penyakit, dan tingkat kejadian penyakit yaitu persentase dari jumlah umbi yang terserang penyakit dibagi dengan jumlah umbi yang diamati.

Percobaan 3. Uji In Vitro Ketahanan Terhadap Penyakit Bakteri Inokulasi dengan bakteri dilakukan pada tanaman in vitro yang berumur 8 minggu dalam kultur. Kultur diinokulasi dari biakan murni yang diperoleh dari hasil isolasi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB dari kentang di daerah Segunung Jawa Barat tanggal 24 Januari 2007. Isolat kemudian ditumbuhkan pada media LB (yeast 5 g/L + tripton 10 g/L + NaCl 10 g/L) selama 48 jam dan diinkubasi pada air steril dengan dikocok dengan menggunakan shaker berkecepatan 150 rpm. Selanjutnya dilakukan pengukuran sampai didapatkan konsentrasi 109 sel/ml. Inokulasi dilakuan dengan metode gunting pucuk, yaitu gunting dicelupkan kedalam suspensi bakteri kemudian digunting pada pucuk tanaman kentang (Samanhudi, 2001).

Rancangan lingkungan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu klon. Satu satuan percobaan terdiri dari satu botol yang


(45)

26

berisi dua eksplan. Setiap ulangan terdiri dari 20 botol dengan dua eksplan. Pengamatan dilakukan terhadap peubah:

1. Periode inkubasi. Periode inkubasi merupakan periode waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak penetrasi hingga timbul infeksi yang dapat dilihat pada tanaman.

2. Kejadian penyakit. Merupakan persentase tanaman yang mengalami layu (terserang patogen) terhadap jumlah tanaman yang diamati. Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana:

KP = Kejadian penyakit (%) n = Jumlah tanaman layu

N = Jumlah tanaman yang diamati

3. Ketahanan tanaman. Pengujian ketahanan dilakukan dengan membandingkan klon yang diuji dengan kontrol tetua Atlantik dan Granola, kontrol peka yaitu BF dan kontrol tahan yaitu S. stenotonum. Untuk mengetahui tingkat ketahanan masing-masing klon kentang yang diuji, nilai persentase kejadian penyakit dikonversikan ke derajat ketahanan menurut cara Thaveechai et al. (1989) (Tabel 1). Pengelompokan tingkat ketahanan dapat dimodifikasi sesuai dengan

KP =

n


(46)

keperluan dan didasarkan pada besarnya nilai persentase kejadian yang terjadi pada kontrol rentan dan kontrol tahan.

Tabel 1. Pengelompokan tingkat ketahanan klon kentang terhadap serangan bakteri layu R. solanacearum berdasarkan persentase kejadian penyakit (Thaveechai et al., 1989)

Kejadian Penyakit (%) Tingkat Ketahanan

0 – 20 Tahan (T)

21 – 40 Agak Tahan (AT)

41 – 60 Agak Rentan (AR)


(47)

28

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji In Vitro Vigor Tanaman

Hasil pengujian terhadap vigor tanaman yang dilakukan melalui pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah akar. Berdasarkan analisis sidik ragam, pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah akar antar klon berbeda sangat nyata sejak pengamatan pertama yaitu 7 hari setelah tanam (Tabel Lampiran 1 - 3). Vigor tanaman dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang digunakan, kondisi laboratorium, cahaya, suhu, media, dan Zat Pengatur Tumbuh (Pierik, 1987). Pada percobaan ini semua faktor tersebut relatif sama, sehingga perbedaan yang terjadi diharapkan disebabkan oleh perbedaan genotipe. Berdasarkan hal tersebut, persilangan antara cv. Atlantik dan cv. Granola memberikan turunan dengan genotipe yang beragam sesuai dengan pernyataan Uijtewall (1987) yang menyatakan bahwa persilangan antara tetraploid akan menghasilkan keragaman genetik yang tinggi untuk banyak karakter.

Munculnya keragaman sebagai syarat utama seleksi pada program pemuliaan tanaman berikutnya telah didapatkan dari penelitian ini. Sebagai contoh, keragaman penampilan klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola disajikan pada Gambar 2. Vigor klon kentang in vitro menurut Gopal dan Minocha (1998) memiliki korelasi yang positif dan nyata dengan vigor tanaman di lapangan, termasuk pada dua musim yang berbeda. Klon yang memiliki vigor yang baik berdasarkan pengujian ini, diharapkan juga memiliki


(48)

vigor yang baik di lapangan, sehingga dapat dilakukan seleksi secara in vitro dengan memilih klon-klon yang memiliki vigor yang baik.

Gambar 2. Keragaman penampilan vigor in vitro klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola. (A) klon Atnola 1 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang cepat, (B) klon Atnola 4 memiliki pertumbuhan yang cepat, kekar dan berdaun lebat, (C) Granola sebagai tetua, (D) klon Atnola 16 memiliki pertumbuhan yang lambat.


(49)

30

Tinggi Tanaman

Tinggi awal seluruh eksplan rata-rata adalah 0.1 cm. Pada 7 HST sudah terjadi perbedaan dimana beberapa klon memiliki pertumbuhan tinggi yang cepat diantaranya klon Atnola 4 yang lebih cepat dibandingkan Atlantik dan Granola, sedangkan beberapa klon lain yaitu klon Atnola 13, Atnola 14, Atnola 15, Atnola 17, Atnola 18, Atnola 19, Atnola 20 dan Atnola 25 memiliki pertumbuhan yang sangat lambat (Tabel 2). Pertumbuhan dari klon-klon tersebut pada umumnya konsisten hingga akhir pengamatan terhadap tinggi tanaman. Akhir pengamatan adalah pada 35 HST dengan pertimbangan 35 HST merupakan umur planlet Atlantik dan Granola dapat diaklimatisasi. Pada 35 HST klon Atnola 11, Atnola 13, Atnola 14, Atnola 15, Atnola 16, Atnola 17, Atnola 18, Atnola 19, Atnola 20, Atnola 21, Atnola 23 dan Atnola 25 memiliki bentuk tanaman yang pendek.

Pada 35 HST terdapat klon yang memiliki tinggi melebihi kedua kultivar tetua yaitu klon Atnola 4, Atnola 1, Atnola 5, dan Atnola 8. Hal tersebut secara teoritis sangat mungkin terjadi akibat adanya efek heterosis terhadap tetua. Heterosis adalah keadaan dimana karakter turunan lebih baik atau superior dibandingkan tetuanya. Mekanisme terjadinya heterosis saat ini menurut Chahal dan Gosal (2006) masih banyak yang belum dipahami dengan baik. Salah satu asumsi terjadinya heterosis adalah gen dominan sifat yang diinginkan dari dua tetua terekspresi bersama pada turunan dan menekan alel sifat yang tidak diinginkan.

Diharapkan klon-klon tersebut memiliki vigor yang baik karena berdasarkan uji korelasi (Tabel 5), ketiga peubah yang diamati memiliki korelasi positif yang sangat nyata. Tanaman yang memiliki vigor yang baik diantaranya


(50)

dicirikan dengan pertumbuhan organ yang baik. Klon-klon tersebut juga dapat diaklimatisasi lebih awal, sehingga produksi planlet secara in vitro lebih cepat.

Tabel 2. Tinggi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0

No Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST

……… cm ………

Atlantik (tetua) 5.22 b 6.54 b 9.00 bc 10.70 c 11.30 e Granola(tetua) 5.18 b 6.80 b 10.40 b 12.24 c 12.40 d Atnola 1 3.23 cd 4.20 d 8.60 c 17.40 b 20.80 b Atnola 2 0.84 hi 0.92 kl 1.22 h 2.00 fgh 3.90 j Atnola 3 1.90 ef 3.02 efgh 3.80 def 5.22 e 6.40 h Atnola 4 6.50 a 9.32 a 18.00 a 23.00 a 23.40 a Atnola 5 2.06 ef 3.80 de 5.60 d 11.70 c 15.00 c Atnola 8 3.88 c 5.20 c 7.90 c 10.60 c 13.20 d Atnola 9 2.00 ef 2.44 ghi 4.60 def 4.90 e 5.20 i Atnola 10 2.60 de 3.60 def 4.20 def 5.60 e 6.40 h Atnola 11 2.54 de 2.90 efghi 3.10 fg 3.10 f 3.10 jk Atnola 12 1.80 efg 2.20 hij 5.18 de 8.20 d 9.80 f Atnola 13 0.54 i 0.14 l 0.54 h 0.54 ghi 0.54 no Atnola 14 0.50 i 0.50 l 0.54 h 0.50 ghi 0.50 no Atnola 15 0.10 i 0.20 l 0.20 h 0.20 hi 0.20 no Atnola 16 1.00 ghi 1.50 jk 1.50 gh 2.30 fg 2.40 kl Atnola 17 0.42 i 0.50 l 0.54 h 0.54 ghi 0.54 no Atnola 18 0.10 i 0.10 l 0.10 h 0.10 i 0.10 o Atnola 19 0.30 i 0.60 kl 0.92 h 1.00 ghi 1.00 mno Atnola 20 0.46 i 0.48 kl 0.66 h 0.66 ghi 0.70 no Atnola 21 0.78 hi 0.84 kl 1.06 h 1.86 fghi 1.86 lm Atnola 22 2.26 ef 2.76 fghi 4.82 def 8.20 d 9.60 f Atnola 23 0.80 hi 0.92 kl 1.00 h 1.00 ghi 1.00 mno Atnola 24 1.86 ef 3.34 defg 5.10 de 6.60 de 7.60 g Atnola 25 0.30 i 0.50 l 0.80 h 1.30 ghi 1.30 mno Atnola 26 1.54 fgh 2.04 ij 3.60 ef 6.40 e 7.20 gh

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

HST = Hari Setelah Tanam

Jumlah Daun

Jumlah daun pada planlet kentang dapat juga digunakan untuk menentukan jumlah buku yang ada pada planlet tersebut. Berdasarkan analisis sidik ragam klon-klon hasil silangan Atlantik dan Granola menghasilkan jumlah daun yang berbeda nyata. Jumlah daun atau buku dapat menggambarkan kecepatan dalam


(51)

32

multiplikasi tanaman kentang secara in vitro. Hal ini dikarenakan pada perbanyakan kentang secara in vitro digunakan stek buku. Semakin banyak jumlah daun atau buku yang dihasilkan, maka semakin cepat laju multiplikasi in vitronya.

Tabel 3. Jumlah daun klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0

Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST

Atlantik 6.0 cd 7.2 cd 9.4 bc 12.2 cd 12.4 de

Granola 6.0 cd 7.0 cde 10.2 bc 13.6 bc 14.4 bc Atnola 1 7.0 b 8.0 bc 10.4 b 13.2 c 14.4 bc Atnola 2 2.6 jk 3.8 hi 4.8 f 6.4 jk 8.2 ij Atnola 3 4.8 fgh 5.0 gh 6.8 e 7.8 hi 7.8 j Atnola 4 6.8 bc 10.0 a 13.0 a 14.6 b 15.2 bc Atnola 5 4.3 hi 5.8 efg 9.2 bc 13.4 bc 14.4 bc Atnola 8 5.6 def 6.6 def 8.8 cd 10.0 fg 12.0 ef Atnola 9 5.4 defg 7.0 cde 9.0 bc 10.0 fg 15.0 bc Atnola 10 4.8 fgh 7.6 cd 9.6 bc 10.6 ef 10.8 fg Atnola 11 4.6 gh 5.0 gh 5.4 f 4.6 k 5.6 k Atnola 12 5.8 de 6.8 cde 12.4 a 16.6 a 18.8 a Atnola 13 3.0 j 3.0 ij 3.0 g 3.0 g 3.0 l Atnola 14 2.0 k 2.0 jk 2.0 gh 2.0 lm 2.0 lm Atnola 15 1.0 l 1.0 k 1.0 h 1.0 m 1.0 m Atnola 16 8.4 a 9.0 ab 10.2 bc 10.8 ef 11.8 ef Atnola 17 2.6 jk 2.6 j 2.6 g 3.0 l 3.0 l Atnola 18 1.0 l 1.0 k 1.0 k 1.0 m 1.0 m Atnola 19 5.0 efgh 5.4 fg 5.4 f 7.0 ij 9.4 hi Atnola 20 4.8 fgh 4.8 gh 5.4 f 5.8 jk 6.4 k Atnola 21 3.8 i 4.6 gh 4.8 f 9.6 fg 10.0 gh Atnola 22 5.4 defg 5.4 fg 7.6 de 9.0 gh 12.4 de Atnola 23 5.8 de 6.4 def 6.8 c 8.8 gh 10.2 gh Atnola 24 6.2 cd 6.4 def 7.6 de 9.0 gh 10.2 gh Atnola 25 5.0 efgh 5.0 gh 9.6 bc 11.6 de 13.6 cd Atnola 26 5.8 de 7.0 cde 10.2 bc 12.6 cd 14.4 bc

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

HST = Hari Setelah Tanam

Dari penelitian ini dihasilkan klon-klon dengan jumlah daun atau buku lebih banyak dibandingkan kultivar Atlantik maupun Granola. Pada 35 HST terlihat bahwa Atnola 12 dan Atnola 4 memiliki jumlah daun yang lebih banyak


(52)

dibandingkan kultivar Atlantik dan Granola, sedangkan klon Atnola 1, Atnola 5, Atnola 9, dan Atnola 26 memiliki jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan kultivar Atlantik dan lebih banyak dari kultivar Granola (Tabel 3).

Jumlah Akar

Klon-klon kentang hasil persilangan dalam penelitian ini memiliki jumlah akar yang berbeda nyata berdasarkan analisis sidik ragam. Pada akhir pengamatan yaitu pada 35 HST terdapat klon dengan jumlah akar yang tidak berbeda nyata dengan jumlah akar kultivar Atlantik yaitu Atnola 5, sedangkan Atnola 4, Atnola 8, Atnola 9, Atnola 24, Atnola 25, dan Atnola 26 memiliki akar yang lebih banyak dibandingkan kultivar Granola (Tabel 4). Pada aklimatisasi tanaman kentang dari planlet diharapkan klon dengan akar yang lebih banyak akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Perbanyakan kentang di screen house pada umumnya dengan cara stek sehingga kemampuan tanaman untuk membentuk akar merupakan salah satu syarat utama agar tanaman memiliki vigor yang baik.

Analisis korelasi yang dilakukan terhadap ketiga peubah yang diamati menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat nyata (Tabel 5). Dari hasil analisis tersebut jika suatu peubah memiliki nilai yang tinggi maka akan diikuti dengan nilai peubah lain yang juga tinggi. Hasil ini memberikan kemudahan dalam menyeleksi klon-klon yang dianggap memiliki vigor yang baik berdasarkan ketiga peubah yang diamati. Berdasarkan hasil pengujian vigor secara in vitro diseleksi sebanyak 12 klon (50%) yang dianggap memiliki pertumbuhan yang baik, yaitu Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 4, Atnola 5, Atnola 8, Atnola 9,


(53)

34

Atnola 10, Atnola 12, Atnola 22, Atnola 24 dan Atnola 26. Klon-klon yang terseleksi tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan yang digunakan pada pengujian produksi umbi mikro dan pengujian ketahanan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora pv. carotovora.

Tabel 4. Jumlah akar klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola yang ditumbuhkan secara in vitro pada media MS0

Klon 7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST

Atlantik 5.0 a 5.6 a 6.4 a 6.8 a 6.8 b

Granola 3.0 de 3.0 cde 3.0 d 3.0 d 3.0 de

Atnola 1 1.8 fg 2.2 f 2.2 e 2.2 e 2.2 fg

Atnola 2 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k

Atnola 3 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k

Atnola 4 1.8 fg 2.6 ef 3.8 c 4.6 c 4.6 c

Atnola 5 4.0 b 4.8 b 6.0 a 7.2 a 7.6 a

Atnola 8 3.0 de 3.4 cde 4.2 bc 4.6 c 4.6 c Atnola 9 4.8 a 5.4 ab 6.2 a 6.2 b 6.6 b Atnola 10 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 11 3.0 de 3.0 cde 3.0 d 3.0 d 3.0 de Atnola 12 2.8 e 2.8 def 3.0 d 3.0 d 3.0 de Atnola 13 0.2 h 0.2 h 0.2 g 0.2 g 0.2 i Atnola 14 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 15 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 16 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 17 1.0 g 1.0 g 1.0 f 1.0 f 1.0 k Atnola 18 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 19 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.4 ef Atnola 20 0.0 h 0.0 h 0.0 g 0.0 g 0.0 i Atnola 21 1.0 g 1.2 g 1.2 f 1.2 f 1.6 gh Atnola 22 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 23 2.0 f 2.0 f 2.0 e 2.0 e 2.0 fg Atnola 24 3.2 cde 3.2 cde 3.6 cd 3.6 d 3.6 d Atnola 25 3.8 bc 3.8 c 4.6 b 4.6 c 4.6 c Atnola 26 3.6 bcd 3.6 cd 3.6 cd 3.6 d 3.6 d

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.


(54)

Tabel 5. Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah akar pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian vigor in vitro

Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah akar

Tinggi tanaman - 0.67424** 0.56122**

Jumlah daun - 0.73398**

Jumlah akar -

Keterangan: ** = korelasi sangat nyata

Uji In Vitro Produksi Umbi

Beberapa peubah yang diamati dalam pengujian produksi umbi secara in vitro adalah inisasi umbi, keserempakan pengumbian, jumlah umbi per tanaman, bobot umbi, bobot kering umbi, dan ukuran umbi berupa panjang dan diameter. Kecepatan (inisasi umbi) dan keserempakan adalah peubah yang akan digunakan dalam menentukan umur suatu kultivar kentang. Jumlah umbi, bobot umbi, bobot kering umbi, dan diameter digunakan dalam menduga potensi hasil dan kualitas umbi. Menurut Gopal dan Minocha (1998) hasil pengujian in vitro terhadap beberapa karakter agronomi kentang memiliki korelasi yang sangat nyata diantaranya jumlah umbi, bobot umbi, dan jumlah mata.

Berdasarkan uji statistik terhadap peubah yang diamati pada pengujian produksi umbi in vitro, keseluruhan peubah yang diamati berbeda nyata (Tabel Lampiran 5 - 11). Analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 0.05.


(55)

36

Waktu Inisiasi Umbi dan Keserempakan

Inisiasi umbi diamati berdasarkan waktu yang diperlukan klon untuk membentuk umbi pertama kali. Inisasi umbi bervariasi berkisar dari 19,7 hari hingga 58,1 hari tergantung dari klon (Gambar 3). Pada percobaan ini seluruh klon yang diujikan dapat menghasilkan umbi atau dapat diartikan bahwa komposisi media yang digunakan mampu merangsang pengumbian 14 klon dengan baik.

Tabel 6. Waktu inisiasi umbi dan selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola

Klon Inisiasi umbi

Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan waktu

inisiasi umbi

...hari ...

Atlantik (tetua) 35.1 c 3.6 i

Granola (tetua) 20.0 hi 10.0 f

Atnola 1 19.7 i 10.5 f

Atnola 2 27.8 f 2.6 j

Atnola 3 29.9 e 30.2 a

Atnola 4 30.1 e 15.5 e

Atnola 5 58.1 a 2.3 j

Atnola 8 45.0 b 5.0 h

Atnola 9 33.1 d 27.3 b

Atnola 10 24.2 g 6.4 g

Atnola 12 20.4 h 10.5 f

Atnola 22 20.1 hi 16.9 d

Atnola 24 19.8 hi 26.3 c

Atnola 26 19.9 hi 5.2 h

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

Pengumbian secara in vitro selain dipengaruhi oleh media juga dipengaruhi oleh periode cahaya dan suhu. Pada percobaan ini digunakan suhu 17oC dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya sehingga perbedaan


(56)

yang muncul diharapkan disebabkan oleh faktor genotipe klon. Analisis sidik ragam inisiasi umbi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf 0.05 (Tabel 6).

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 At n o la 1 At n o la 2 4 At n o la 2 6 Gr an ol a At n o la 2 2 At n o la 1 2 At n o la 1 0 At n o la 2 At n o la 3 At n o la 4 At n o la 9 At la n ti k At n o la 8 At n o la 5 klon ha ri

Gambar 3. Waktu inisiasi umbi klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola

Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa kultivar Granola memiliki waktu inisiasi umbi yang lebih singkat dibandingkan dengan kultivar Atlantik. Hal ini sesuai dengan informasi sebelumnya bahwa kultivar Granola memiliki umur yang genjah dan kultivar Atlantik berumur sedang atau agak genjah (Jonston, 1991). Dengan demikian klon-klon yang memiliki waktu inisiasi lebih pendek dari kultivar Granola yaitu Atnola 1 dan Atnola 24 diharapkan memiliki umur panen yang lebih pendek. Demikian juga dengan beberapa klon yang tidak berbeda nyata dengan Granola yaitu Atnola 22, Atnola 24 dan Atnola 26 diharapkan


(57)

38

termasuk klon yang memiliki umur genjah atau sama dengan Granola. Sebaliknya klon-klon yang memiliki waktu inisiasi yang lebih lama dibandingkan kultivar Atlantik yaitu Atnola 8 dan Atnola 5 diduga akan memiliki umur panen yang lebih dalam (Gambar 3). Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Alsadon et al. (1988) dan Alsadon (1989) yang menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara produksi umbi mikro in vitro dengan produksi umbi di lapangan. Keserempakan merupakan selisih waktu antara saat terjadi pengumbian 100% dengan inisiasi umbi. Semakin kecil nilai selisih tersebut pada penelitian ini maka dapat dianggap klon tersebut memiliki tingkat keserempakan yang tinggi. Keserempakan yang baik diperlukan dalam budidaya kentang karena umbi dapat dipanen pada saat tingkat pengisian dan kualitas umbi yang seragam. Dari hasil percobaan didapatkan selisih pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan inisiasi umbi berkisar antara 2.3 hari hingga 30.2 hari. Selisih terpendek pada klon Atnola 5 sedangkan selisih terpanjang pada klon Atnola 3 (Gambar 4).

Kultivar Atlantik dan kultivar Granola dikenal sebagai kultivar komersial yang memiliki umbi yang seragam dan serempak. Data dari hasil pengujian ini menunjukkan hal yang sama yaitu selisih waktu pembentukan umbi mikro saat mencapai 100% dengan saat inisiasi umbi relatif lebih singkat sehingga dapat dikatakan memiliki tingkat keserempakan yang tinggi. Klon Atnola 5 dan Atnola 2 diharapkan menjadi klon dengan tingkat keserempakan yang tinggi mengingat dari hasil pengujian kedua klon tersebut tampak lebih serempak dibandingkan kultivar Atlantik dan Granola.


(58)

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 At n o la 5 At n o la 2 A tla n tik At n o la 8 A tnol a 26 A tnol a 10 Gr a nol a At n o la 1 A tnol a 12 At n o la 4 A tnol a 22 A tnol a 24 At n o la 9 At n o la 3 klon ha ri

Gambar 4. Selisih waktu antara waktu pembentukan umbi mikro mencapai 100% dengan waktu inisiasi umbi pada klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola

Jumlah Umbi

Klon-klon yang diujikan pada percobaan ini menghasilkan jumlah umbi yang setelah melalui pengujian statistik berbeda nyata. Rata-rata jumlah umbi yang dihasilkan setiap tanaman bervariasi dari 1 hingga 2.5 umbi. Jumlah umbi terbanyak didapatkan dari klon Atnola 26 sebanyak 2.5 umbi dan jumlah umbi paling sedikit dimiliki klon Atnola 5 dan Atnola 24. Hasil rata-rata jumlah umbi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.


(59)

40

Tabel 7. Jumlah umbi per tanaman dari klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro

Klon Jumlah umbi/tanaman

Atlantik (tetua) 1.13 e

Granola (tetua) 1.27 de

Atnola 1 2.50 a

Atnola 2 1.30 de

Atnola 3 2.20 ab

Atnola 4 1.27 de

Atnola 5 1.00 e

Atnola 8 1.13 e

Atnola 9 1.80 bc

Atnola 10 1.67 cd

Atnola 12 2.30 a

Atnola 22 1.73 bcd

Atnola 24 1.00 e

Atnola 26 2.53 a

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

Dari hasil pengujian, terdapat klon-klon hasil persilangan yang menghasilkan umbi pertanaman lebih banyak dari yang dihasilkan oleh kultivar Atlantik dan Granola yaitu klon Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 9, Atnola 10, Atnola 16, Atnola 22 dan Atnola 26. Klon-klon tersebut dapat diduga memiliki jumlah umbi yang lebih tinggi daripada jumlah umbi yang dihasilkan kultivar Atlantik maupun Granola. Hal ini didasarkan pada penelitian Alsadon et al. (1988) dan Lentini (1988) yang menyatakan bahwa produktivitas umbi dapat dicerminkan dari hasil umbi mikro secara in vitro. Pendapat ini disempurnakan oleh Naik et al. (1998) yang menyatakan bahwa jumlah umbi mikro merupakan


(60)

faktor yang lebih penting dibandingkan bobot umbi dalam menentukan produksi di lapangan dan lebih merekomendasikan jumlah umbi mikro dibandingkan bobot umbi untuk menduga tingkat produksi klon. Dengan demikian klon Atnola 1, Atnola 2, Atnola 3, Atnola 9, Atnola 10, Atnola 16, Atnola 22, dan Atnola 26 merupakan calon kultivar yang memiliki tingkat produksi yang baik.

Gambar 5. Penampilan klon Atnola 12 (A) dan klon Atnola 24 (B) umur 10 minggu pada media pengumbian (MS + Alar 10 mg/L + BAP 5 mg/L + air kelapa 150 ml/L + sukrosa 90 g/L)

Bobot Umbi, Produksi Umbi per Tanaman dan Bobot Kering Umbi

Bobot umbi, produksi umbi per tanaman dan bobot kering umbi setiap klon yang dihasilkan dari pengujian ini disampaikan pada Tabel 8. Bobot umbi rata-rata berkisar dari 0.040 gram hingga 0.403 gram. Dari pengujian ini didapatkan bobot umbi rata-rata kultivar Atlantik sebesar 0.323 gram dan kultivar Granola 0.183 gram. Klon Atnola 5 dan Atnola 12 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang lebih tinggi dibandingkan kultivar Atlantik. Klon Atnola 5, Atnola 12, Atnola 1, Atnola 9 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang lebih tinggi


(61)

42

dibandingkan kultivar Granola. Klon Atnola 24 menghasilkan bobot rata-rata umbi yang tidak berbeda nyata secara statistik dengan kultivar Granola.

Bobot umbi/tanaman dihasilkan dari nilai bobot umbi rata-rata dikalikan dengan jumlah rata-rata umbi pertanaman. Dari hasil pengujian ini didapatkan bobot umbi/tanaman Atlantik lebih tinggi dibandingkan Granola. Hasil tersebut tampaknya kurang sesuai dengan hasil pengujian produksi di lapangan yang dilakukan pada tiga daerah yaitu Pengalengan, Batur dan Tosari (Tabel 9). Namun menurut data dari European Cultivated Potato Database (2006), tingkat produksi kultivar Granola adalah menengah hingga tinggi dan tingkat produksi Atlantik adalah tinggi hingga sangat tinggi. Lebih tingginya tingkat produksi Granola di Indonesia seperti ditunjukkan pada Tabel 9, diduga kuat terkait dengan tingkat serangan organisme pengganggu tanaman yang lebih banyak menyerang kultivar Atlantik dibandingkan dengan kultivar Granola. Sebagai contoh tingkat serangan virus MV yang menyerang kentang di Pengalengan (Basuki et al., 2002) lebih tinggi pada kultivar Atlantik yaitu sebesar 10 % pada kultivar Atlantik dan hanya sebesar 1.16 % pada kultivar Granola.

Pada pengujian in vitro yang dilakukan, serangan organisme pengganggu dapat dianggap nol sehingga hasil yang didapatkan merupakan penampilan klon tanpa gangguan dari organisme pengganggu. Pengujian in vitro yang dilakukan diharapkan sesuai dengan laporan dari European Cultivated Potato Database (2006). Pengujian pengumbian in vitro menurut Gopal dan Minocha (1998) memiliki korelasi yang nyata dengan produksi umbi di lapangan, sehingga diharapkan klon yang memiliki produksi yang tinggi dalam pengujian ini (bobot umbi/tanaman yang tinggi) memiliki produksi yang baik di lapangan.


(62)

Tabel 8. Bobot umbi dan bobot kering klon-klon kentang hasil persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola berdasarkan pengujian in vitro

Klon Bobot/umbi Bobot

umbi/tanaman

Persentase bobot kering

…………..gram…………. ………...%...

Atlantik (tetua) 0.32 c 0.365 19.67 b

Granola (tetua) 0.18 e 0.232 12.33 k

Atnola 1 0.21 d 0.533 13.62 fg

Atnola 2 0.06 hi 0.082 20.17 a

Atnola 3 0.08 g 0.185 13.78 f

Atnola 4 0.07 gh 0.093 11.75 l

Atnola 5 0.43 a 0.430 13.37 h

Atnola 8 0.08 g 0.095 12.80 j

Atnola 9 0.22 d 0.391 13.71 f

Atnola 10 0.06 i 0.100 18.18 d

Atnola 12 0.40 b 0.927 18.93 c

Atnola 22 0.04 i 0.069 13.11 i

Atnola 24 0.18 e 0.176 13.48 gh

Atnola 26 0.12 f 0.304 14.18 e

Keterangan :

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

Berdasarkan asumsi tersebut, klon Atnola 12, Atnola 1, Atnola 5 dan Atnola 9 dapat dikategorikan sebagai klon-klon yang berdaya hasil tinggi atau sangat tinggi karena berdasarkan pengujian pengumbian in vitro produksi umbi klon-klon tersebut lebih tinggi dari produksi umbi klon Atlantik. Klon Atnola 26 dapat dikategorikan sebagai klon yang berdaya hasil tinggi karena produksinya lebih tinggi dibandingkan Granola.


(1)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,


(2)

SELEKSI

IN VITRO

KLON-KLON KENTANG HASIL

PERSILANGAN CV. ATLANTIK DAN CV. GRANOLA

UNTUK MENDAPATKAN CALON KULTIVAR

KENTANG UNGGUL

AWANG MAHARIJAYA

Tesis

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv. Atlantik dan cv. Granola untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul Nama Mahasiswa : Awang Maharijaya

Nomor Pokok : A351050041 Program Studi : Agronomi

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr Ketua

Dr. Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU Anggota

Mengetahui, Ketua Program Studi Agronomi

Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro


(5)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Seleksi In Vitro Klon-Klon Kentang Hasil Persilangan cv.

Atlantik dan cv. Granola untuk Mendapatkan Calon Kultivar Kentang Unggul”. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan pada tanaman kentang baik berupa metode maupun pengetahuan dalam persilangan dan seleksi in vitro kentang dengan harapan dari

penelitian ini akan dihasilkan calon atau kandidat kultivar kentang unggul. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis patut menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Agus Purwito, MSc dan Dr.Ir. Muhammad Machmud, MSc, APU atas segala bimbingan dan pengarahan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis. Kepada Prof. G.A. Wattimena sebagai penguji luar komisi penulis ucapan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Wakil Rektor I Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, dan Kepala Bagian Bioteknologi Tanaman atas izin dan rekomendasi yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S2 di Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(6)

2

Ucapan terima kasih penulis disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis hingga penulis dapat menempuh dan menyelesaikan pendidikan S2. Demikian pula atas dukungan dana penelitian dari Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB yang telah mendanai sebagian dari penelitian yang dilakukan melalui Hibah Penelitian Dosen Muda IPB, serta khusus kepada Dr.Ir. Agus Purwito, MSc yang telah mengajak peneliti untuk bergabung dengan penelitian Hibah Bersaing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para senior di Bagian Bioteknologi Tanaman yang banyak memberikan dukungan dan pengetahuan bagi penulis, kepada teknisi dan laboran yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium Kultur Jaringan, dan kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana khususnya Program Studi Agronomi atas segala dukungannya.

Terakhir penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak putus-putusnya kepada orang tua penulis dan keluarga atas segala dukungan dan do’a selama ini khususnya selama penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikan studi.

Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pertanian pada khususnya.

Bogor, April 2007