Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sistem Sirkulasi
Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

NIM F34100102

SAPTO PUJO SEJATI. Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk
Produksi Biogas dari Limbah Sayuran. Dibimbing oleh MUHAMMAD ROMLI
dan PURWOKO.
Biogas merupakan energi alternatif yang dapat digunakan sebagai
pengganti bahan bakar fosil yang keberadaannya semakin menipis. Biogas dapat
diproduksi dari fermentasi bahan organik yang dilakukan secara anaerob. Limbah

sayuran merupakan bahan organik yang dapat dijadikan sebagai bahan baku
pembuatan biogas. Selain ketersediannya yang melimpah, limbah ini juga
memiliki rasio C/N yang sesuai jika ditambahkan bahan lain seperti feses sapi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan limbah sayuran sebagai
bahan baku biogas, membandingkan keefektifan sistem sirkulasi dan non sirkulasi
dalam memproduksi biogas, serta mengevaluasi tingkat penurunan COD dari
masing6masing digester . Proses fermentasi dilakukan di dalam digester anaerobik
volume 50 liter untuk perlakuan sirkulasi lindi dan volume 25 liter untuk
perlakuan non sirkulasi lindi. Fermentasi tersebut dilakukan dengan menggunakan
starter berupa feses sapi 20 % selama 40 hari. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa produksi biogas spesifik pada masing6masing digester yaitu digester
sirkulasi dengan pH terkontrol sebesar 219 L/Kg TS bahan dengan tingkat
penurunan COD sebesar 24%, digester sirkulasi pH tak terkontrol sebesar 117
L/Kg TS dengan tingkat penurunan COD 28%. Sementara itu, produksi biogas
spesifik pada digester dengan perlakuan tanpa sirkulasi memiliki produksi biogas
spesifik serta tingkat penurunan COD yang lebih kecil yaitu 24 L/Kg TS bahan
dengan tingkat penurunan COD 18 %. Produksi biogas spesifik tertinggi yaitu
digester sirkulasi dengan pH terkontrol. Sirkulasi lindi dan kontrol pH memiliki
pengaruh cukup besar dalam pembentukan biogas.
Kata kunci: Biogas, fermentasi, feses sapi, rasio C/N, sirkulasi lindi


SAPTO PUJO SEJATI.
.
ROMLI

MUHAMMAD

PURWOKO.

!
!

"

"
!!#

"

%&


"
(

"

$
!'

"
)

* ! +
,.,

"
"

!


+

"
01
.0 /$

"
.5 /! 6

*
"
*

!
.23 %

"
.0 %7 ' "

!


'

"

1
"

224 %

"
*
"
1

8

$

$ %&


'

*
"

$

!
7 "

.- /

$

!
25 /! '
1

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

Judul Skripsi : Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi
Biogas dari Limbah Sayuran
Nama
: Sapto Pujo Sejati
NIM
: F34100102

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.st
Pembimbing I

Drs Purwoko, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat6Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil
tema Bioenergi berbasis limbah pertanian, dengan judul skripsi Sistem Sirkulasi
lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran yang
telah dilakukan dari bulan Mei hingga Oktober 2014 .
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.St selaku dosen pembimbing
I atas perhatian dan bimbingannya selama ini.
2. Bapak Drs Purwoko, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah
mengarahkan dan membimbing dalam penelitian.
3. Dosen penguji yakni Bapak Dr Andes Ismayana, STP. MT atas masukan
dan arahannya dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Seluruh staff dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang

tidak dapat disebutkan satu per satu.
5. Orang tua dan keluarga atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini.
6. Keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 47 atas bantuan, kritik,
dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini.
7. Ria Octavia yang selalu memberi dukungan penuh dalam penyelesaian
skripsi ini
8. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Semoga karya tulis ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Lingkup Penelitian

2

METODOLOGI

3


Alat dan Bahan

3

Metode Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Karakteristik Bahan

6

Proses Pretreatment

9

Produksi Biogas

11

Analisa Lindi dan Digestat

17

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

33

1 Desain Perlakuan

5

2 Komposisi bahan dalam digester

7

3 Karakteristik limbah buah dan sayuran

7

4 Rasio C/N beberapa bahan organik

8

5 Karakteristik campuran limbah sayuran dan feses sapi

10

6 Komposisi biogas

11

7 Macam bakteri berdasarkan suhu hidup

15

8 Karakteristik lindi tiap digester

18

9 Data hasil analisa VFA

20

10 Perbandingan karakteristik bahan awal
dengan digestat pada digester sirkulasi pH tak terkontrol

21

1 Desain digester biogas skala 50 L dengan sistem sirkulasi lindi

4

2 Diagram alir tahapan penelitian

4

3 Limbah sayuran kol dan sawi yang telah dicacah

9

4 Skema pembentukan biogas dari limbah organik

12

5 Skema aliran sistem sirkulasi lindi

13

6 Grafik produksi biogas pada masing6masing digester

14

7 Profil nilai pH tiap digester

17

8 Produk akhir fermentasi

18

9 Grafik profil COD pada tiap digester

19

10 Grafik penurunan nilai COD dan nilai VFA sampel pada
digester sirkulasi tanpa kontrol pH

21

11 Grafik penurunan TS dan VS

22

1 Prosedur analisis

26

2 Data hasil pengamatan biogas

30

3 Data hasil pengamatan pH

31

4 Data hasil analisa VFA

32

! " #$
Biogas merupakan energi alternatif yang dapat digunakan sebagai
pengganti bahan bakar fosil yang keberadaannya semakin menipis di dunia. Bahan
bakar fosil merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui sehingga
penggunaannya harus dikurangi. Selain itu, bahan bakar fosil juga merupakan
bahan bakar yang menghasilkan residu pembakaran yang memiliki tingkat
toksisitas tinggi atau berbahaya bagi lingkungan.
Konsumsi energi berupa bahan bakar semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Jika tidak ditemukan suatu energi alternatif,
maka kebutuhan energi yang besar tidak akan mampu terpenuhi. Energi alternatif
yang dimaksud adalah energi yang bersumber dari bahan baku yang keberdaannya
melimpah. Contoh bahan baku tersebut yaitu bahan dari limbah pertanian. Bahan
biomassa pertanian tersebut dapat dikonversi menjadi biogas yang dapat
digunakan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sampah sayuran
hijau (kol dan sawi) merupakan salah jenis sampah sayuran yang menghasilkan
limbah dalam jumlah yang banyak. Limbah tersebut merupakan bagian luar dari
sayuran yang tidak layak untuk dijual sehingga akan dibuang. Berdasarkan data
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor diketahui bahwa volume
sampah di kota bogor pada tahun 2014 adalah 2484 m3 per hari dengan
penambahan volume 15% pada saat hari besar. Sebagian besar sampah yang ada
di kota Bogor merupakan sampah organik. Tingginya volume sampah tersebut
berdampak pada sulitnya penanganan yang akan dilakukan. Selama ini bahan
sampah organik tersebut sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai kompos
ataupun sebagai pakan ternak sehingga kurang memiliki nilai tambah. Pemilihan
biomassa sebagai bahan baku pembuatan biogas didasarkan pada keberadaannya
yang melimpah serta kandungan bahan organiknya yang sesuai untuk dikonversi
menjadi biogas.
Produksi biogas selain dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku juga
dipengaruhi oleh faktor lain seperti sistem pengadukan pada digester yang sangat
berpengaruh dalam hal produksi biogas yang dihasilkan. Proses pembuatan biogas
yang berlangsung dalam kondisi anaerobik sangat dipengaruhi oleh desain
digesternya. Desain digester untuk produksi biogas harus mampu memenuhi
faktor6faktor yang mendukung proses anaerobik seperti suhu, pH, kadar air, dan
harus sesuai dengan karakteristik substrat. Adapun faktor yang harus terpenuhi
dalam digester yaitu suplai bakteri yang harus mencukupi, konsentrasi padatan
harus berkisar 8610%, pengadukan harus secara kontinyu, lingkungan dalam
digester harus mendukung seperti kondisinya anaerobik, suhu dijaga sekitar 296
35oC, pH 667.2 serta tidak ada material toksik (Price dan Cheremisinoff 1981).
Faktor pengadukan berfungsi untuk mendistribusikan mikroba dan nutrisi agar
merata, sehingga mempercepat terjadinya proses degradasi. Pengadukan dengan
menggunakan agitator agak sulit untuk mendapatkan terjaminnya kondisi yang
anaerob, sehingga digunakan alternatif pengadukan yaitu dengan sistem sirkulasi
lindi.

2

%&%' # & ' ! (
Mengacu pada konteks dan fokus penelitian yang dilakukan, masalah
penelitian yang dapat dirumuskan yaitu pemanfaatan limbah sayuran untuk
menghasilkan energi alternatif dengan memanfaatkan sistem sirkulasi lindi
sebagai alternatif pengadukan pada digester anaerobik. Lindi yang disirkulasikan
digunakan sebagai agen pembawa mikroba dan penyebaran nutrisi, sehingga
proses degradasi dapat berjalan lebih cepat.
%)% # * # !+ + #
Tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui potensi limbah sayuran kol dan sawi sebagai bahan baku
pembuatan biogas
2. Membandingkan jumlah biogas yang dihasilkan antara digester dengan
sirkulasi (dengan pH terkontrol dan pH tak terkontrol) dan tanpa sirkulasi
lindi
3. Mengevaluasi pengaruh pH dan sirkulasi lindi terhadap produksi biogas.

#,

# !+ + #

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk acuan dalam
pemanfaatan limbah sebagai bahan baku pembuatan biogas dan pemanfaatan
sistem sirkulasi lindi dalam pembuatan biogas.

+#$"%*

# !+ + #

Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal6hal sebagai berikut :
1. Sampel yang digunakan adalah limbah sayuran kol dan sawi dengan
dicampurkan feses sapi
2. Fermentasi dilakukan pada digester sirkulasi volume 50 liter dan digester
non sirkulasi volume 25 liter
3. Sirkulasi dilakukan dengan memompakan kembali lindi yang terbentuk ke
bagian atas digester, sehingga terjadi mekanisme pengadukan
4. Proses fermentasi dilakukan selama 40 hari
5. Analisa dilakukan terhadap biogas yang terbentuk dan tingkat penurunan
COD
6. Penelitian berfokus pada proses terbaik dalam memproduksi biogas

3

!

- #

( #

Alat6alat yang digunakan dalam peneltian ini yaitu terdiri dari digester
anaerob dengan sistem sirkulasi lindi kapasitas 50 L dan tanpa sirkulasi lindi
kapasitas 25 L, erlenmeyer, gelas piala, termometer, cawan porselen, pH meter,
digester COD, tanur, oven, gelas ukur, dan gas meter.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sayuran (kol
dan sawi) yang diperoleh dari pasar Bogor, feses sapi yang diperoleh dari Fakultas
Peternakan IPB, aquades, asam borat, NaOH, asam COD, larutan kromat, FeCl2,
asam sulfat, tiosulfat, dan selen.

.-

# !+ + #

+' & " ) -+$ '
+ "%! '+ !+#-+
Digester yang digunakan dalam penelitian utama ini adalah digester
dengan alternatif pengadukan berupa sirkulasi lindi. Sirkulasi lindi yang dimaksud
pada penelitian ini yaitu memompakan lindi yang dihasilkan selama proses
fermentasi sebagai alternatif pengadukan. Lindi yang dihasilkan dari proses
fermentasi mula6mula ditampung pada wadah toples untuk kemudian dipompakan
ke dalam digester melalui pipa dari bagian atas digester. Pipa sirkulasi lindi
tersebut dilengkapi dengan sprayer yang berfungsi untuk menyemprotkan lindi,
sehingga aliran penyemprotan lindi lebih merata. Prinsip kerja dari digester ini
yaitu bahan yang difermentasikan disimpan pada tangki digester skala 50 liter.
Proses fermentasi bahan akan berlangsung pada tangki tersebut dan biogas yang
terbentuk akan terakumulasi pada sepertiga ruang kosong pada tangki digester dan
akan keluar melalui pipa yang dihubungkan dengan pengukur gas berupa gas
meter. Gas meter tersebut berfungsi mengukur produksi biogas dari digester,
sehingga diketahui akumulasi biogas yang terbentuk. Sementara itu lindi yang
terbentuk akan ditampung pada wadah berupa toples yang dilengkapi dengan
pompa untuk memompakan air kembali ke tangki digester. Proses sirkulasi pada
penelitian ini dilakukan secara kontinyu selama 40 hari. Pada tangki fermentasi
dilengkapi dengan
untuk termometer, sehingga pengamatan suhu dapat
dengan mudah dilakukan. Skema digester yang digunakan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1.

4

Gambar 1 Desain digester biogas skala 50 liter dengan sistem sirkulasi lindi
( * #

# !+ + #

Tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :

Limbah sayuran dan
feses sapi
Karakterisasi limbah sayuran dan feses
sapi

Persiapan substrat (

)

Fermentasi anaerobik

Analisis produksi biogas, penurunan COD,
nilai VFA, suhu, pH, dan analisa proksimat (TS,
VS, kadar karbon, dan TKN)

Produk akhir
(Biogas, lindi, dan digestat)

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian

5
"

+' '+ ( #
Karakterisasi bahan dilakukan terhadap limbah sayuran dan feses sapi.
Karakterisasi yang dilakukan terdiri dari analisa kadar air, kadar karbon, kadar
nitrogen, serta '
! Tujuan dari karakterisasi yang utama yaitu
untuk mendapatkan rasio C/N yang optimal. Prosedur uji dapat dilihat pada
Lampiran 1.
'+ * # ( # /
Bahan baku utama yang digunakan adalah limbah sayuran sebagai substrat
untuk menghasilkan biogas.
yang dilakukan yaitu dengan pengecilan
ukuran. Basis bobot yang digunakan yaitu basis bobot untuk proses dengan
sirkulasi lindi dengan pH terkontrol adalah 27.5 Kg, sirkulasi lindi pH tak
terkontrol 23.3 Kg serta basis bobot untuk proses tanpa sirkulasi lindi adalah 13.8
Kg. Bahan6bahan tersebut selanjutnya ditambah air aquades masing6masing 3 liter
untuk digester sirkulasi dengan pH terkontrol, 2.5 liter untuk digester sirkulasi pH
tak terkontrol, dan 1.4 liter untuk digester non sirkulasi, sehingga basis bahan
tersebut akan memiliki TS bahan yang sama yaitu TS 9.2%. proporsi dari
campuran bahan tersebut juga sama yaitu 80 % limbah sayuran dan 20 % kotoran
sapi. Semetara proporsi dari limbah sayuran yaitu 50 % : 50 %, sehingga proporsi
dari bahan yang masuk ke dalam digester sama. Hal ini dilakukan agar rasio C/N
yang ada pada bahan isian sama. Adapun rasio C/N dihitung dengan cara sebagai
berikut :
=

%



%






%



%






%









%











& # '+
Fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu fermentasi dengan
sistem basah dimana syarat fermentasi untuk sistem tersebut yaitu memiliki nilai
TS bahan kurang dari 10 %. Proses fermentasi dilakukan selama 40 hari. Faktor
yang diamati yaitu perlakuan digester, yaitu tanpa sirkulasi dan dengan
menggunakan sirkulasi. Pada digester dengan sirkulasi dilakukan kontrol pH dan
tanpa kontrol pH. Kontrol pH dilakukan dengan penambahan NaOH 1 N jika pH
kurang dari 6. Kontrol pH yang dilakukan yaitu dengan menambahkan NaOH 1 N
ke dalam wadah penampung lindi sehingga NaOH tersebut akan dipompakan ke
dalam digester. Penambahan dilakukan sampai pH yang terbentuk sesuai dengan
kriteria yang diharapkan. Fermentasi dalam penelitian ini dilakukan secara
dan pengamatan kumulatif biogas yang terbentuk dilakukan setiap hari. Desain
perlakuan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Desain perlakuan
Perlakuan
digester

Sirkulasi lindi pH terkontrol
Sirkulasi lindi pH tak terkontrol
Non sirkulasi

6

# !+'

'+!
& # '+
Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pengamatan terhadap
jumlah gas yang terbentuk secara kumulatif dengan gas meter dan gelas ukur,
pengamatan suhu, serta pengamatan pH. Cairan hasil fermentasi dianalisa nilai
COD dan VFA, sedangkan padatan yang terbentuk dianalisa kadar air, kadar
Nitrogen, nilai
$
$ dan kadar Karbon.
# !+' Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif
dengan menggunakan pendekatan grafik. Pengaruh dari perlakuan dianalisa
dengan menggunakan grafik dan dilihat ada tidaknya pengaruh dari masing6
masing perlakuan.

"

+' +"

( #

Limbah padat dalam arti luas termasuk semua sisa bahan yang berasal dari
kegiatan masyarakat, industri, dan pertanian. Limbah padat juga didefinisikan
sebagai sampah atau benda yang tidak digunakan lagi. Berdasarkan sifatnya
limbah padat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
dan
!9
merupakan limbah padat yang bersifat
sedangkan rubbish bersifat
! Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan biogas pada
penelitian ini termasuk kategori bahan yang bersifat
yaitu limbah
sayuran (kol dan sawi) dan feses sapi. Limbah sayuran merupakan kumpulan dari
berbagai macam sayuran yang telah disortir karena tidak layak jual dan biasanya
didominasi oleh kol dan sawi. Kol (
!
) merupakan
tanaman dari spesies
$ yang merupakan tanaman yang berasal
dari Eropa dan Asia kecil, terutama tumbuh di daerah Great Britain dan
Mediteranean (Rukmana 1994).
Feses sapi merupakan limbah peternakan yang merupakan buangan dari
usaha peternakan sapi yang berbentuk padat dan dalam proses pembuangannya
sering bercampur dengan urine dan gas seperti CH4 dan NH3. Limbah tersebut
merupakan limbah yang masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial
untuk dimanfaatkan seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen, vitamin,
mineral mikroba, dan zat lain. Feses hewan dianggap substrat paling cocok untuk
pemanfaatan biogas. Substrat dalam feses sapi telah mengandung bakteri
penghasil gas metana yang terdapat di dalam perut hewan ruminansia. Keberadaan
bakteri dalam usus besar ruminansia tersebut dapat membantu proses fermentasi,
sehingga proses pembentukan biogas pada tangki pencerna dapat dilakukan lebih
cepat.
Karakterisasi bahan dilakukan dengan tujuan untuk melihat nilai efisisensi
perombakan substrat bahan organik. Karakterisasi awal bahan dilakukan untuk
dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui sifat bahan yang baik dalam
memproduksi biogas. Karakterisasi awal yang dilakukan yaitu terdiri dari analisa
kadar air,
, kadar nitrogen, kadar abu, kadar karbon, serta
.

7
Hasil yang diperoleh dari analisis bahan pada penelitian ini ditunjukkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 komposisi bahan dalam digester
Komposisi
Kol
Kadar air (%)
94.2 ± 0.9
Kadar abu (%)
0.5 ± 0.2
TKN (%)
0.1 ± 0.02
'
(%)
5.8 ± 0.9
:/;
5.8 ± 0.7
Kadar Karbon (%)
5.0 ± 0.9

Sawi
94.6 ± 0.7
0.9 ± 0.2
0.2 ± 0.03
5.4 ± 0.7
4.8 ± 0.8
4.2 ± 0.9

Feses sapi
79.8 ± 0.5
3.1 ± 0.08
0.6 ± 0.05
20.2 ± 0.5
17.0 ± 0.4
16. 1 ± 0.6

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan air dalam bahan
sebagai perbandingan antara total padatan dan air. Hasil analisis pada Tabel 2 di
atas menunjukkan bahwa karakteristik antara kol dan sawi memiliki kemiripan
yaitu memiliki kadar air yang tinggi. Hasil analisa tersebut sesuai dengan data dari
Alvarez dan Liden (2007) yang menyatakan bahwa limbah sayuran dan buah6
buahan didominasi oleh kadar air yang tinggi. Bahan kol dan sawi tersebut berasal
dari limbah buangan yang ada di pasar Bogor. Karakteristik dan komposisi
kandungan dari limbah sayuran dan buah menurut Alvarez dan Liden (2007)
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik limbah buah dan sayuran
Karakteristik
Nilai (%)
Kadar air
87.3
Kadar abu
0.8
Total solid (TS)
12.7
Volatile solid (VS)
11.9
Phosphorus (% of TS)
0.2
Potasium (% of TS)
1.6
pH
4.9
Sumber : Alvarez dan Liden (2007)
Kadar air bahan yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi daripada
penelitian Alvarez dan Liden (2007), sementara nilai
)nya lebih
rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan yang digunakan dalam penelitian
ini memiliki nilai konversi pembentukan biogas yang lebih rendah, namun masih
memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas.
Semakin tinggi nilai volatile solid6nya menunjukkan semakin tinggi pula tingkat
konversi bahan untuk dijadikan biogas. Hal ini dikarenakan nilai volatile solid
merupakan fraksi organik di dalam total solid bahan.
Kadar nitrogen adalah banyaknya nitrogen yang terkandung dalam bahan.
Sementara itu, kadar karbon dapat diketahui dari hasil pengurangan antara kadar
air, kadar abu, dan kadar nitrogen dibagi dengan 1.02 (JICA 1978). Setelah
diketahui kadar nitrogen dan kadar karbon maka dapat diketahui rasio C/N yang
digunakan sebagai basis dalam penentuan jumlah nutrisi yang akan ditambahkan
untuk memenuhi kriteria rasio C/N yang optimum pada produksi biogas. Karbon

8
digunakan sebagai sumber energi pada pertumbuhan mikroba sedangkan nitrogen
digunakan sebagai pembentuk sitoplasma dan dinding sel. Mineral yang ada
berguna untuk pertumbuhan mikroorganisme (Price dan Cheremisinoff 1981).
Menurut Yani dan Darwis (1990) mikroba yang berperan dalam proses
fermentasi secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk berkembang berupa
sumber karbon dan nitrogen. Seandainya rasio dari C/N tidak sesuai, misalnya
kandungan N terlalu sedikit menyebabkan bakteri tidak akan dapat memproduksi
enzim yang dibutuhkan untuk menyintesis senyawa (substrat) yang mengandung
karbon. Oleh karena itu keseimbangan antara C dan N perlu ditentukan sesuai
kriteria optimalnya.
Menurut Fry (1974) perbandingan C/N dari bahan organik sangat
menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon
dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam organik, sedangkan kebutuhan
nitrogen dapat dipenuhi dari protein, amoniak, dan nitrat. Perbandingan C/N akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Perbandingan C/N untuk
masing6masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan.
Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan
kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 rendah dan N2 tinggi. Perbandingan C/N yang
terlalu tinggi akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi,
H2 tinggi dan N2 rendah. Perbandingan C/N yang seimbang akan menghasilkan biogas
dengan CH4 tinggi, CO2 sedang, H2 dan N2 rendah (Fry 1974)
Limbah organik yang memiliki rasio C/N tinggi dapat dicampur dengan
bahan yang memiliki rasio C/N rendah sehingga diperoleh nilai rasio C/N yang
ideal, seperti pencampuran limbah sayuran dengan feses sapi yang akan
menghasilkan rasio C/N yang optimal untuk produksi biogas. Rasio C/N dari
beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rasio C/N beberapa bahan organik
Bahan Organik
Rasio C/N
Feses ayam
10
Feses kambing
12
Feses sapi
24
Sampah buah6buah dan sayuran
25
Jerami gandum / padi
150
Serbuk gergaji
2006500
Sumber : Wulandari (2006)
Berdasarkan data dari pengamatan diketahui bahwa rasio C/N dari sawi
adalah 21 ; sedangkan C/N dari kol adalah 50 . Semetara C/N feses sapi adalah 26,
sehingga rasio C/N dari bahan campuran limbah sayuran dan feses sapi yang
masuk ke digester yaitu 28.6 ± 0.2. Data tersebut didapatkan dari perhitungan C/N
campuran bahan. Data tersebut mirip dengan literatur penelitian Wulandari (2006)
yang menyatakan bahwa rasio C/N dari feses sapi adalah 24, sementara C/N dari
sampah buah dan sayuran adalah 25. Rasio C/N yang optimal untuk pembentukan
biogas yaitu berkisar antara 25630 (Deublein dan Steinhauser 2008), sehingga
rasio C/N dari campuran limbah sayuran dan feses sapi yang digunakan dalam
penelitian ini sudah memenuhi kriteria yang optimum.

9
Feses sapi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan feses sapi
pedaging yang berasal dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Tujuan dari
penambahan feses sapi yaitu selain sebagai starter juga digunakan untuk
meningkatkan kandungan nitrogen dalam bahan, sehingga rasio C/N yang
digunakan optimum. Selain itu alasan pemilihan feses sapi sebagai starter yaitu
karena ketersediannya yang banyak dan belum banyak dimanfaatkan. Feses sapi
juga mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana, sehingga bakteri6
bakteri tersebut dapat meningkatkan produksi biogas.

.' '
Proses
merupakan proses yang dilakukan dengan tujuan
untuk mempercepat proses degradasi bahan organik oleh mikroba. Proses
yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berupa
mekanik, yaitu pencacahan limbah sayuran dengan menggunakan pisau. Selain
mempermudah pemasukan dan pencampuran bahan, proses ini dilakukan untuk
mempercepat degradasi. Hal ini dikarenakan proses pengecilan ukuran tersebut
akan memperbesar luas bidang kontak antara bahan dengan mikroorganisme yang
digunakan. Sulaeman (2007) menyatakan bahwa bahan dengan ukuran yang lebih
kecil akan lebih cepat terdekomposisi dari pada bahan dengan ukuran yang lebih
besar. Pengecilan ukuran sebagai perlakuan awal memiliki potensi untuk
menghasilkan biogas yang secara signifikan meningkat. Proses pengecilan ukuran
tersebut dapat dilakukan secara manual ataupun mekanis menggunakan mesin,
sehingga didapat keseragaman ukuran bahan, sehingga akses bagi substrat
terhadap enzim akan lebih baik (Romli 2010). Gambar hasil dari proses
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Limbah sayuran kol dan sawi
yang telah dicacah
Bahan yang telah dicacah selanjutnya dicampur dengan inokulum berupa
feses sapi. Komposisi bahan yang masuk dalam digester memiliki proporsi yang
sama. Komposisi bahan pada digester dengan proses sirkulasi lindi dan pH
terkontrol yaitu (Kol 10.9 Kg, Sawi 10.4 Kg, dan feses sapi 6.2 Kg), untuk
digester dengan proses sirkulasi lindi dengan pH tak terkontrol yaitu (Kol 8.9 Kg,
Sawi 9.1 Kg, dan feses sapi 5.2 Kg), sedangkan untuk digester dengan proses
tanpa sirkulasi lindi yaitu (Kol 5.5 Kg, Sawi 5.2 Kg, dan feses sapi 3.1 Kg).
Bahan yang dicampur tersebut selanjutnya di analisa. Hasil uji analisis campuran
bahan dan inokulum disajikan pada Tabel 5.

10

Tabel 5 karakteristik campuran limbah sayur dan feses sapi
Sampel
Kadar air
Kadar Abu
Total Solid
(%)
(%)
(%)
Campuran bahan
90 ± 2
1.2 ± 0.4
10 ± 2

Volatile Solid
(%)
9±2

Berdasarkan hasil analisa pada tabel 5 diketahui bahwa '
(TS)
dari campuran bahan yang digunakan adalah 10 ± 2 %. Total solid adalah padatan
yang terkandung dalam bahan. Total solid merupakan salah satu faktor yang dapat
menunjukkan telah terjadinya proses pendegradasian karena padatan ini akan
dirombak pada saat terjadinya pendekomposisian bahan. TS bahan dari analisa
belum sesuai kriteria yang diharapkan sehingga dalam penelitian ini ditambahkan
air aquades sebanyak 3 liter untuk digester sirkulasi dengan pH terkontrol, 2.5
liter untuk digester sirkulasi pH tak terkontrol dan 1.9 liter untuk digester non
sirkulasi. Tujuan dari penambahan aquades tersebut adalah untuk menurunkan
nilai TS bahan. Akibat penambahan air tersebut maka TS bahan yang masuk
dalam digester menjadi 9.2 %, sehingga fermentasi tersebut digolongkan ke dalam
fermentasi basah. Hal ini telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yaitu
fermentasi dengan sistem basah. Terdapat tiga macam sistem fermentasi yang
didasarkan pada kandungan total solid bahan, yaitu sistem fermentasi basah jika
TS bahan kurang dari 10% , semi basah jika TS bahan antara 15620%, dan sistem
kering jika TS bahan antara 22640% (Tchobanoglous 1993). Adapun TS bahan
yang masuk dalam digester pada penelitian ini yaitu masing6masing 2.8 Kg untuk
digester sirkulasi dengan kontrol pH, 2.3 Kg untuk digester sirkulasi tanpa kontrol
pH, dan 1.9 Kg untuk digester non sirkulasi.
Pada penelitian ini kriteria yang diharapkan yaitu kandungan TS bahan
antara 8610%. Menurut Van Buren (1979), bakteri penghasil biogas dapat
beraktivitas secara normal pada substrat dengan kadar air 90% dan kadar padatan
8610%. Jika bahan yang digunakan kering, maka perlu penambahan air, akan
tetapi jika bahan yang digunakan berbentuk lumpur, maka tidak perlu
penambahan air. Tujuan penambahan aquades selain untuk menurunkan TS bahan
juga untuk memperlancar proses sirkulasi lindi, sehingga sirkulasi lindi dari
digester dapat optimal. Hal ini dikarenakan fungsi dari sirkulasi lindi disini yaitu
sebagai alternatif pengadukan. Pengadukan menggunakan sirkulasi lindi lebih
efisien menghemat daya dibandingkan jika menggunakan impeler. Hal ini
dikarenakan produksi biogas digunakan untuk menghasilkan energi, sedangkan
jika kita menggunakan impeler yang membutuhkan daya tinggi justru akan
membutuhkan energi. Selain lebih menghemat tenaga, proses pengadukan ini juga
lebih optimal mendistribusikan bakteri ke seluruh substrat.
Nilai
(VS) bahan yang masuk dalam digester berdasrkan
hasil uji yaitu 9 ± 2 %. Nilai VS merupakan fraksi organik dari
(TS),
berupa fraksi bahan kering yang dapat dioksidasi dan menjadi gas pada suhu 550°
C selama 24 jam (bobot konstant), dinyatakan dalam mg/L atau persen dari TS.
Kriteria untuk menilai keberhasilan perombakan limbah pertanian secara
anaerobik adalah penurunan padatan volatile (VS), total produksi biogas, dan
menghasilkan metana. Gerardi (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai
maka semakin tinggi pula jumlah
+
(VFA) yang
terbentuk dalam digester. Jumlah VFA yang tinggi akan berpengaruh terhadap

11
alkalinitas dan pH dalam digester, sehingga substrat yang memiliki nilai TVS
yang tinggi sebaiknya diumpankan secara perlahan dalam digester.
.-%"'+ +.$ '
Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan6
bahan organik yang terjadi secara anaerob. Menurut Buren (1979) biogas dapat
dibuat dari bahan6bahan antara lain feses hewan dan manusia, limbah pertanian,
sampah kota, limbah industri pertanian dan bahan6bahan lain yang memiliki
kandungan bahan organik Proses fermentasi tersebut menghasilkan campuran gas
yang terdiri dari metana (CH4), karbondioksida (CO2), hidrogen, Nitrogen dan gas
lainnya seperti H2S. Metana yang dikandung biogas berkisar antara 54 – 70 %,
karbondioksida berkisar antara 27643%, dan gas6 gas yang lain memiliki
persentase hanya sedikit (Setiawan 2004). Menurut Kadir (1995) biogas atau yang
dikenal dengan gas " merupakan campuran gas yang terdiri dari campuran
metan dan karbondioksida yang terdekomposisi secara anaerobik. Gas metana
yang merupakan jenis gas rumah kaca bersama dengan gas karbondioksida
memberikan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global,
sehingga keberadaannya perlu ditangani dengan baik.
Biogas mempunyai sifat mudah terbakar bahkan dapat menyala dengan
sendirinya pada suhu 6506750o C. Gas metan yang merupakan komponen utama
biogas dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar. Menurut Hambali
!
(2007), biogas dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk menghasilkan
energi listrik, dimana setiap satu m3 metana setara dengan 10 kWH. Nilai tersebut
setara dengan 0.61 liter bahan bakar minyak! Adapun komposisi biogas dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi Biogas
Jenis gas
Rumus kimia
Persentase (%)
Metan
CH4
55 – 65
Karbondioksida
CO2
36 – 45
Nitrogen
N2
0–3
Hidrogen
H2
0–1
Oksigen
O2
0–1
Hidrogen Sulfida
H2S
0–1
Sumber : <
=
dalam Kadir 1995
Produksi biogas terjadi karena fermentasi bahan organik yang dilakukan
secara anaerobik. Hal ini dikarenakan fermentasi akan menghasilkan metana
(CH4) yang merupakan komponen dominan dalam biogas selain karbondioksida.
Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang
bekerja mungkin sudah dalam keadaan terisolasi, yaitu terpisah dari selnya atau
masih dalam keadaan terikat di dalam sel. Fermentasi adalah proses pengolahan
senyawa6senyawa organik yang terkandung dalam limbah menjadi gas metana dan
karbondioksida tanpa memerlukan oksigen (Manurung 2004).
Gas metana terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa udara)
oleh bakteri metan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang

12
mengurangi sampah6sampah yang banyak mengandung bahan organik (biomassa)
sehingga terbentuk gas metan (CH4) yang apabila dibakar dapat menghasilkan energi
panas. Gas metan sama dengan gas elpiji : >
9 % 9;, bedanya gas
metan hanya mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak mengandung
atom C (LIPI 2005).
Proses pembentukan biogas secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 4.

Limbah organik

Hidrolisis dan fermentasi

:

;

Asetat
Hidrogenasi
Metanogenesis

Hydrogen
dan CO
Formasi reduktif
metan

Biogas
(CH +CO )
Gambar 4 Skema Pembentukan Biogas dari Limbah Organik
Sumber : Brown dan Tata (1985)
Tahap hidrolisis merupakan tahap awal pembentukan biogas, yaitu tahap
pemecahan polimer menjadi monomernya, sehingga mudah larut dan dapat
digunakan sebagai substrat mikroorganisme yang kedua. Pemecahan polimer
dilakukan oleh berbagai jenis bakteri yang memiliki enzim selulotik, lipolitik, dan
proteolitik. Fungsi enzim tersebut yaitu sebagai katalis reaksi.
Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul selulosa yang
merupakan molekul kompleks menjadi
(glukosa6glukosa) dan
menjadi glukosa bebas (
). Glukosa kemudian difermentasidan akan
menghasilkan bermacam6macam produk fermentasi seperti asetat, propionat,
butirat, H2, dan CO2. Reaksi penguraian senyawa tersebut yaitu :
C6H12O6 + 2 H2O

2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 (as. Asetat)

C6H12O6

CH3CH2CH2COOH+2CO2 + 2H2 (as. Butirat)

C6H12O6 + 2 H2

CH3CH2COOH+2H2O (as. Propinoat)

13
Monomer6monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi senyawa organik
sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa gas seperti
karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida. Tahap
ini dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat
anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif ( Manurung 2004 ).
Pada tahap asetogenesis terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan
hidrogen dari molekul6molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri asetogenik
penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain adalah
,
<
,+
, dan
yang mampu mendegradasi bahan
organik menjadi asam6asam lemak. Asam lemak yang teruapkan dari hasil
asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat
anaerobik, namun bakteri6bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam
lemak menjadi asam asetat (Weismann, 1991).
Tahap metanogenesis merupakan tahapan terbentuknya metana dan
karbondioksida. Bakteri yang berperan dalam tahap metanogenesis adalah bakteri
metanogen. Syarat tumbuh untuk bakteri metanogen yaitu tersedianya sumber
karbon, sumber nitrogen dan mineral, pH, alkalinitas, suhu dan asam6asam volatil.
Metana dihasilkan dari asetat atau reduksi kerbondioksida oleh bakteri asetotropik
dan hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen. Tahap metanogenesis
merupakan tahapan fermentasi metanogenik. Pada tahapan ini aktifitas metanogen
dapat berkurang yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan pH (
) yaitu
terjadinya penurunan pH akibat terbentuknya asam lemak volatil (Lettinga 1994).
Pada penelitian ini terdapat dua jenis digester yang digunakan, yaitu digester
dengan sirkulasi lindi dan tanpa sirkulasi lindi. Sirkulasi lindi yang dimaksud
yaitu memompakan lindi yang dihasilkan ke dalam digester sebagai alternatif
mekanisme pengadukan. Hal ini dilakukan karena pengadukkan menggunakan
impeler lebih sulit untuk dilakukan. Selain karena membutuhkan energi yang lebih
besar juga dikhawatirkan adanya kebocoran karena instalasi pengaduk. Sirkulasi
lindi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pompa yang terletak di
dalam toples penampung air lindi yang dihasilkan. Sirkulasi dilakukan dengan
proses kontinyu selama 40 hari dengan laju sirkulasi lindi 12 ml/menit. Gambar
mekanisme sistem sirkulasi lindi yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 skema aliran sistem sirkulasi lindi

14
Pada Gambar 5 dapat dilihat mekanisme dari sistem sirkulasi lindi. Lindi
yang dihasilkan dari fermentasi dalam digester ditampung ke dalam toples untuk
selanjutnya dipompakan ke bagian atas digester sehingga dapat menyebarkan
nutrisi dan mikroba yang terdapat dari air lindi ke seluruh bahan. Adapun gas
yang terbentuk diukur dengan menggunakan gas meter. Produksi biogas untuk
perbandingan antara digester sistem sirkulasi dengan non sirkulasi dapat dilihat
pada Gambar 6.

jumlah produksi biogas (L/Kg TS)

non sirkulasi

sirkulasi pH tak terkontrol

sirkulasi pH terkontrol

250
225
200
175
150
125
100
75
50
25
0
0

5

10

15

20

25

30

35

40

waktu pengamatan (hari )
Gambar 6 Grafik produksi biogas pada masing6masing digester
Berdasarkan hasil pengamatan gas yang telah dilakukan selama 40 hari
menunjukkan bahwa grafik produksi biogas pada digester dengan sirkulasi lindi
lebih tinggi dibandingkan dengan produksi biogas pada digester non sirkulasi. Gas
sudah mulai terbentuk pada hari pertama. Pemilihan waktu fermentasi selama 40
hari sesuai pernyataan dari Tobing dan Loebis (1986) yang menyatakan bahwa
dengan waktu tinggal atau
sekitar 40 sampai 50 hari dapat
dihasilkan gas metan dalam jumlah yang cukup besar. Data produksi gas secara
terperinci dapat dilihat pada lampiran 2. Produksi biogas spesifik pada digester
sirkulasi dengan perlakuan kontrol pH adalah 219 L/Kg TS bahan, pada digester
sirkulasi tanpa kontrol pH adalah 117 L/Kg TS bahan. Sementara itu, pada
digester dengan sistem non sirkulasi lindi memiliki produksi biogas spesifik
yang lebih kecil yaitu 24 L/Kg TS bahan. Data produksi biogas pada sistem non
sirkulasi tersebut lebih kecil jika dibandingkan data dari penelitian Yulistiawati
(2008) yang menyatakan bahwa proses fermentasi berbahan limbah sayuran
dengan rasio C/N 30 yang dilakukan pada suhu inkubasi 35 oC adalah 57 L/Kg TS
bahan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena suhu inkubasi yang berbeda,
di mana suhu inkubasi pada penelitian ini merupakan suhu yang terbentuk secara
alami atau tanpa kontrol suhu, sedangkan penelitian dari Yulistiawati (2008)
terdapat perlakuan kontrol suhu dimana suhu yang terbentuk dikontrol agar

15
mencapai suhu optimal, yakni 35 oC. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui
bahwa sirkulasi lindi dapat meningkatkan produksi biogas secara signifikan.
Sementara itu, perbandingan proses fermentasi dengan perlakuan sirkulasi
dan non sirkulasi memiliki perbedaan hasil yang signifikan. Perbedaan produksi
gas tersebut disebabkan karena adanya mekanisme pengadukan pada digester
sirkulasi. Hambali
(2007) menyatakan bahwa pengadukan berfungsi untuk
memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam sistem yang menggunakan
bahan baku yang sukar dicerna. Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar
mengurangi hambatan terhadap laju biogas yang dihasilkan. Bahan penghambat
merupakan bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
sehingga berpengaruh terhadap jumlah biogas yang dihasilkan. Produksi biogas
spesifik pada digester dengan sistem sirkulasi lindi lebih tinggi dibandingkan
dengan digester non sirkulasi juga disebabkan karena distribusi mikroba pada
substrat dapat lebih merata. Gerardi (2003) menyatakan bahwa pengadukan
bertujuan untuk mendistribusikan bakteri dan substrat agar menyebar secara
merata di dalam digester. Peningkatan produksi metana dipengaruhi oleh
pengadukan, karena aktivitas metabolisme dari bakteri pembentuk asetat dan
bakteri pembentuk metana membutuhkan jarak yang saling berdekatan dalam
melakukan proses metabolisme. Setelah terbentuk asam asetat dari tahap
asetogenesis maka selanjutnya asetat tersebut akan langsung dikonversi oleh
bakteri metanogenesis.
Selain faktor di atas, perbedaan yang terjadi pada produksi biogas dapat
juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang terdapat pada digester. Romli (2010)
menyatakan bahwa masalah utama dalam proses konversi anaerobik adalah
kemungkinan tidak seimbangnya populasi mikroorganisme dalam digester.
Bakteri pembentuk metana memiliki laju pertumbuhan yang jauh lebih rendah
dibandingan dengan bakteri pembentuk asam. Dominasi bakteri pembentuk asam
menyebabkan kondisi asam pada digester yang dapat menurunkan aktifitas bakteri
pembentuk metana atau bahkan menginhibisi bakteri tersebut.
Faktor suhu juga dapat berpengaruh terhadap laju pembentukan biogas.
Suhu berpengaruh terhadap proses pencernaan anaerobik bahan organik dan
produksi gas. Termperatur tersebut berpengaruh terhadap daya tahan bakteri untuk
bertahan hidup. Terdapat beberpa jenis bakteri berdasarkan tempertur hidupnya
yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Macam bakteri berdasarkan suhu hidup
Jenis bakteri
Rentang suhu oC
2 – 20
6
20 – 45
'
45 – 75
Sumber : Harold 1981

Suhu optimum oC
12 – 18
30 – 40
50 660

Pada penelitian ini kriteria yang digunakan yaitu fermentasi pada kondisi
mesofilik dimana kondisi optimumnya yaitu pada kisaran suhu 30640oC. Suhu
optimal untuk kebanyakan bakteri mesofilik dicapai pada suhu 35 oC (Sahirman
1994). Apabila suhu meningkat, umumnya produksi biogas juga meningkat

16
sesuai dengan batas kemampuan bakteri dalam mencerna sampah organik.
Produksi biogas cenderung lebih cepat pada suhu
dibandingkan
dengan
, dengan syarat tidak boleh terjadi perubahan suhu secara
mendadak. Fluktuasi suhu pada digester harus sekecil mungkin, yaitu sekitar
kurang dari 1oC per hari untuk
dan kurang dari 263 oC per hari untuk
. Fluktuasi suhu dapat mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk
metana (Gerardi 2003). Adapun rata6rata suhu yang terbentuk selama fermentasi
pada tiap digester dalam penelitian ini yaitu berkisar 28 oC. Hal ini menunjukkan
bahwa suhu yang ada belum sesuai dengan kriteria optimalnya dimana kriteria
optimal untuk pembentukan biogas dengan bakteri mesofilik membutuhkan suhu
kurang lebih 35 oC, sehingga ketidaksesuaian suhu tersebut akan berpengaruh
terhadap kecepatan degradasi bahan oleh mikroba dan jumlah produksi biogas
yang terbentuk kurang optimal. Untuk dapat mencapai kriteria suhu yang optimal
seharusnya dilakukan kontrol suhu secara otomatis, sedangkan dalam penelitian
ini hal tersebut tidak dilakukan. Adapun kontrol suhu dalam penelitian ini tidak
dilakukan karena terbatasnya alat penunjang pada digester yang digunakan.
Berdasarkan data pengamatan selama 40 hari untuk semua digester yang
digunakan dalam penelitian diketahui bahwa suhu tertinggi yang terbentuk selama
pengamatan yaitu 31 oC, sedangkan suhu terendah yang terbentuk yaitu 26.5 oC.
Rentang pada suhu tersebut masih sesuai dengan syarat pertumbuhan bakteri
mesofilik yaitu antara 20640 oC, namun belum mencapai kondisi optimalnya.
Fluktuasi suhu yang terbentuk juga masih sesuai dengan kriteria pertumbuhan
bakteri mesofilik yaitu kurang dari 2 oC, sehingga walaupun tanpa menggunakan
kontrol suhu digester tersebut masih dapat dijalankan dengan kondisi mesofilik.
Selain dipengaruhi oleh suhu, proses degradasi bahan organik menjadi
biogas juga sangat dipengaruhi oleh nilai pH dalam digester. Menurut Yani dan
Darwis (1990) derajat keasaman merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari
suatu larutan dan merupakan logaritma perbandingan konsentrasi hidrogen. Bila
pH yang terbentuk terlalu asam maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik
terhadap bakteri metanogen. Pada awal penguraian, biasanya akan terjadi
penurunan nilai pH akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen yang akan
menyebabkan penghambatan pertumbuhan mikroba, bahkan produksi metan akan
terhenti. Bakteri yang bekerja dalam kondisi anaero terdiri dari dua jenis bakteri
utama, yaitu bakteri pembentuk asam dan bakteri pembentuk metan. Bakteri
pembentuk asam memiliki syarat tumbuh yang berbeda dengan bakteri pembentuk
metan. Bakteri pembentuk asam tumbuh dengan baik pada lingkungan yang
memiliki pH rendah, sedangkan bakteri pembentuk metan rentan terhadap pH
yang rendah. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan kondisi lingkungan dalam
digester harus diatur terkait nilai pH6nya sehingga dari masing6masing jenis
bakteri dapat tumbuh dengan optimal.
Secara alami, pH yang terbentuk akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan asam asam volatil dan asam
asetat yang terbentuk akan dikonversi oleh bakteri metanogen menjadi biogas,
sehingga kandungan asamnya akan menurun dan meningkatkan nilai pH. Profil
pembentukan pH pada masing6masing digester dapat dilihat pada Gambar 7,
sedangkan untuk data pengamatan pH dapat dilihat pada Lampiran 3.

17
8
7
6
pH

5
4
3

Sirkulasi dengan kontrol pH
Sirkulasi tanpa kontrol pH
Non sirkulasi 1

2
1
0
0

5

10

15

20
25
30
Hari
Gambar 7 Profil nilai pH tiap digester

35

40

Berdasarkan Grafik pembentukan pH pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa
peningkatan pH tertinggi yaitu pada digester dengan sirkulasi dan kontrol pH.
Peningkatan pH tersebut diakibatkan adanya penambahan NaOH sebagai kontrol
pH, sehingga konversi asam6asam volatile oleh mikroba dalam digester lebih
cepat. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah biogas yang terbentuk dan juga
penurunan nilai VFA bahan, sehingga peningkatan pH berjalan lebih cepat. Asam
yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri metanogen
sebagai substrat dalam pembentukan gas metan dan gas lainnya, sehingga pH6nya
akan meningkat. Secara keseluruhan baik digester dengan sirkulasi maupun tanpa
sirkulasi profil pH cenderung naik, dimana pada awal fermentasi pH yang
terbentuk cenderung bersifat asam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kresnawaty
. (2008) yang menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri
penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah,
kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat
sehingga menaikkan nilai pH. Hal ini menandakan bahwa dalam produksi biogas
terjadi mekanisme pengaturan pH secara alami, dimana tingkat keasaman pada
proses tersebut diatur dengan sendirinya karena terdapat mekanisme
.
Nilai pH berpengaruh terhadap aktifitas bakteri metanogen, dimana bakteri
tersebut sangat rentan terhadap pH asam. Nilai pH terbaik dalam memproduksi
biogas yaitu berkisar 7. Apabila nilai pH dibawah 6 maka aktifitas bakteri
metanogen akan menurun, dan jika pH dibawah 5 maka aktifitas bakteri
metanogen akan terhenti.

# !+' !+#-+ - # -+$ '
Fermentasi selain menghasilkan biogas juga menghasilkan produk
samping lain yaitu
dan
!
merupakan produk fermentasi
yang berbentuk cairan, sedangkan
merupakan produk fermentasi yang
berbentuk padatan. Produk dari fermentasi tersebut dilakukan analisa untuk
mengetahui masing masing karakteristik dari produk. Lindi dari tiap digester

18
dianalisis terkait kandungan
*?
(COD) dan beberapa
sampel dilakukan pengujian terkait nilai
+
(VFA). Sementara
itu, produk digestat dianalisa terkait kadar air, kadar abu, kadar nitrogen,
$
. Gambar 8 menunjukkan produk akhir berupa lindi dan
digestat.

(a)

(b)

(c)

Gambar 8 Produk akhir fermentasi : (a) Lindi awal fermentasi ; (b) Lindi akhir
fermentasi ; (c) Digestat Akhir fermentasi
*?
(COD) merupakan ukuran kandungan bahan
organik dalam limbah yang dapat dioksidasi secara kimiawi, dengan
menggunakan oksidator kimia kuat dalam medium asam (Romli 2010).
Kandungan bahan organik didalam COD terdiri dari dua jenis yaitu kandungan
volatile dan dan tidak volatile dimana kandungan volatile merupakan bagian dari
VFA. Analisa COD yang dilakukan adalah COD tersaring, dimana sampel yang
akan dianalisa disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kertas saring. Filtrat
hasil penyaringan tersebut selanjutnya yang dilakukan analisa terhadap nilai COD.
Hasil analisis COD pada air lindi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 karakteristik lindi tiap digester
Waktu
Sirkulasi pH
Sirkulasi pH tak
(Hari) terkontrol (1000mg/L) terkontrol (1000mg/L)
H64
6
30 ± 3
H67
6
30 ± 2
H611
6
27 ± 7
H615
6
22 ± 4
H621
23 ± 6
24 ± 4
H628
21 ± 1
21 ± 1
H635
18 ± 2
18 ± 2

Non Sirkulasi
(1000mg/L)
29 ± 5
27 ± 1
24 ± 2
23.2 ± 0.6
23 ± 2
22 ± 1
19 ± 1

Berdasarkan analisa pada Tabel 8 diketahui bahwa nilai COD berdasarkan
waktu fermentasi menunjukkan penurunan. Penurunan nilai COD disebabkan
karena terjadinya penguraian bahan organik oleh bakteri atau mikroorganisme
menjadi biogas. Nilai COD pada awal proses memiliki nilai yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik makro yang dimiliki oleh

19

Nilai COD air lindi (mg/L)

substrat masih cukup tinggi.Tingkat penurunan COD dapat terus berlanjut hingga
bakteri pengurai mencapai batas kritis penguraian yaitu semua bahan substrat
sudah terkonversi menjadi gas, sebab pada beberapa kasus selama proses
fermentasi berlangsung nilai COD mengalami penurunan di awal waktu kemudian
kembali naik pada akhir waktu meskipun tidak terlalu tinggi. Triyanto (1992)
menyatakan bahwa kenaikan COD disebabkan oleh hadirnya senyawa6senyawa
organik sederhana akibat proses hidrolisis polimer organik akan tetapi senyawa
tersebut belum dirombak lebih lanjut oleh bakteri pengurai menjadi biogas.
Grafik penurunan COD dari tiap digester dapat dilihat pada Gambar 9.

35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Sirkulasi dengan kontrol pH
sirkulasi tanpa kontrol pH
non sirkulasi 1

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Hari
Gambar 9 grafik profil COD pada tiap digester
Berdasarkan grafik profil COD pada tiap digester diketahui bahwa nilai
COD pada tiap digester menunjukkan profil nilai yang hampir sama. Penggunaan
digester sistem sirkulasi lindi dengan kontrol pH atau tanpa kontrol pH dan
digester tanpa sirkulasi menunjukkan nilai COD yang tidak terlalu jauh. Hal ini
mengindikasikan bahwa sistem sirkulasi maupun non sirkulasi tidak berpengaruh
terhadap penambahan beban organik pada bahan. Keseluruhan sistem pada
digester menunjukkan adanya nilai penurunan COD. Menurut Barlaz (1996)
penurunan COD berarti juga menunjukkan adanya penurunan VS, yang juga
berarti penurunan bahan organik yang menandakan adanya pengurangan bahan
organik yang diuraikan untuk memproduksi metan dan total biogas. Penurunan
COD menunjukkan adanya konsumsi asam untuk produksi metan .
Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan bahwa proses digesti
anaerobik mampu menurunkan beban cemaran dari limbah sayuran dan feses sapi.
Penurunan kadar COD pada digester dengan sisrkulasi lindi dan kontrol pH yaitu
24 %, penurunan kadar COD pada digester dengan sisrkulasi lindi tanpa kontrol
pH yaitu 28 %, serta penurunan COD pada digester non sirkulasi yaitu 18.
Berdasarkan data pengamatan tersebut diketahui bahwa digeseter yang memiliki
efisiensi penurunan COD terbesar yaitu digester dengan sistem sirkulasi