Analisis Pengelolaan Modal Kerja Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Di BEI

ANALISIS PENGELOLAAN MODAL KERJA TERHADAP
KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN SEKTOR
INDUSTRI BARANG KONSUMSI DI BEI

MUHAMMAD ERDYANSYAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengelolaan
Modal Kerja Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sektor Industri Barang
Konsumsi Di BEI adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Muhammad Erdyansyah
NIM H24100086

ABSTRAK
MUHAMMAD ERDYANSYAH. Analisis Pengelolaan Modal Kerja Terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Di BEI.
Dibimbing oleh FARIDA RATNA DEWI dan R. DIKKY INDRAWAN.
Sektor industri barang konsumsi erat kaitannya dengan kebutuhan pokok
manusia karena produknya dapat langsung dinikmati dan digunakan oleh
konsumen. Secara tidak langsung, sektor industri barang konsumsi dapat
merepresentasikan seberapa besar tingkat konsumtif masyarakat. Perusahaan
sektor industri barang konsumsi juga memiliki peranan penting pada pertumbuhan
ekonomi tahun 2012. Pengelolaan modal kerja yang tepat dapat mengoptimalkan
kinerja keuangan perusahaan. Penelitian ini menggunakan data perusahaan sektor
industri barang konsumsi pada tahun 2012 yang dianalisis dengan menggunakan
Structural Equation Modelling. AAI, ACP, APP dan CCC merupakan faktor

loading dari laten WC. CR dan QR merupakan faktor loading dari laten LIQUID.
NPM, ROA, dan ROE merupakan faktor loading dari laten PROFIT. DER dan
DAR merupakan faktor loading dari laten SOLVABILITY. TATO dan ITO
merupakan faktor loading dari laten ACTIVITY. Hasil analisis pengelolaan modal
kerja terhadap likuiditas dan profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan
sedangkan terhadap solvabilitas dan aktivitas tidak memiliki pengaruh.
Kata kunci : likuiditas, profitabilitas, solvabilitas, aktivitas, dan manajemen modal
kerja

ABSTRACT
MUHAMMAD ERDYANSYAH. An Analysis of Working Capital Management
of Financial Performance In Indonesia Stock Exchange Consumer Goods Industry
Sector Companies. Supevised by FARIDA RATNA DEWI and R. DIKKY
INDRAWAN.
The industrial sector of consumer goods closely related to human needs
because their products can be enjoyed and used by consumer. Indirectly, the
industrial sector of consumer goods may represent the extent of the level of
consumer society. The industrial sector of consumer goods companies also have
an important role in the economic growth by 2012. The proper management of
working capital can optimize the performance of finance companies. This research

uses data industry sector of consumer goods companies in 2012 were analyzed
using Structural Equation Modelling. AAI, ACP, APP and the CCC are the factors
loading of latent WC. CR and QR are the factors loading of latent LIQUID. NPM,
ROA and ROE are the factors loading of latent PROFIT. DER and DAR are the
factors loading of latent SOLVABILITY. TATO and ITO are the factors loading
of latent ACTIVITY. Results of the analysis of the management of working
capital liquidity and profitability has significant influence but not effect of
solvency and activity.
Keyword : liquidity, profitability, solvability, activity, and working capital
management

ANALISIS PENGELOLAAN MODAL KERJA TERHADAP
KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN SEKTOR
INDUSTRI BARANG KONSUMSI DI BEI

MUHAMMAD ERDYANSYAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Manajemen

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Pengelolaan Modal Kerja Terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Di BEI
Nama
: Muhammad Erdyansyah
NIM
: H24100086

Disetujui oleh

Farida Ratna Dewi, SE, MM
Pembimbing I


R. Dikky Indrawan, SP, MM
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Mukhamad Najib, S.TP, MM
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

Judul Skripsi : Analisis Pengelolaan Modal Kerja Terhadap Kinetja Keuangan
Perusahaan Sektor lndustri Barang Konsumsi Di BEl
: Muhanimad Erdyansyah
Nama
: H24100086
NIM

Disetujui oleh


R. Dikky lndrawan, SP, MM.
Pembimbing II

Farida Ratna Dewi, SE, MM.
Pembimbing I

Diketahui oleh

Tanggal Lulus :

1 4 MAR 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember
2013 ini ialah modal kerja, dengan judul Analisis Pengelolaan Modal Kerja
Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Di
BEI.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Farida Ratna Dewi dan Bapak

R. Dikky Indrawan selaku pembimbing. Di samping itu, ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu penulis atas segala doa dan kasih
sayangnya, serta terima kasih kepada seluruh keluarga, teman-teman, dosen dan
staf Departemen Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Muhammad Erdyansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

4

METODE PENELITIAN

5

Kerangka Pemikiran Penelitian

5

Lokasi dan Waktu Penelitian


6

Pengumpulan Data

6

Pengolahan dan Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kinerja Keuangan Sektor Industri Barang Konsumsi

8
8

Pengaruh Pengelolaan Modal Kerja terhadap Kinerja Keuangan

13


Analisis Partial Least Square (PLS)

13

Pengujian Model SEM

13

Model Pengukuran (Outer Model)

14

Discriminant Validity

15

Uji Reliabilitas

15

Model Structural (Inner Model)

15

Implikasi Manajerial

19

SIMPULAN DAN SARAN

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1 Daftar jumlah perusahaan sektor industri barang konsumsi
2 Hipotesis penelitian

7
8

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian
2 Model Structural Equation
3 Model SEM

6
7
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar perusahaan sektor industri barang konsumsi
2 Daftar nilai komponen working capital perusahaan sektor industri
barang konsumsi
3 Daftar nilai komponen likuiditas dan profitabilitas perusahaan sektor
industri barang konsumsi
4 Daftar nilai komponen solvabilitas dan aktivitas perusahaan sektor
industri barang konsumsi
5 Perusahaan dengan nilai komponen working capital tercepat dan
komponen kinerja keuangan terbaik
6 Perusahaan dengan nilai komponen working capital terlama dan
komponen kinerja keuangan terburuk
7 Nilai faktor loading awal
8 Nilai faktor loading setelah dropping
9 Setelah re-estimate (Mean, STDEV, T-Values)
10 Nilai AVE masing-masing konstruk/peubah laten
11 Nilai composite reliability masing-masing konstruk/peubah laten
12 Nilai croanbachs alpha masing-masing konstruk/peubah laten
13 Hasil R-Square
14 Path Coefficient (Mean, STDEV, T-Values)

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perusahaan akan selalu berusaha untuk mengoptimalkan laba yang
dimilikinya agar dapat memenuhi kewajiban dan menyejahterakan stakeholder di
dalamnya. Hal yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengoptimalkan laba
biasanya adalah dengan mencari cara yang tepat sehingga tidak mengganggu
aktifitas perusahaan yang sedang berjalan. Setiap perusahaan tentu memiliki cara
yang berbeda-beda dalam mengoptimalkan laba, hal tersebut sangat bergantung
pada kondisi dan karakteristik perusahaan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan laba
perusahaan adalah dengan melakukan pengelolaan modal kerja secara efisien.
Manajemen modal kerja yang baik sangat penting bagi strategi keuangan
perusahaan karena kesalahan dan kekeliruan dalam mengelola modal kerja dapat
mengakibatkan kegiatan operasional perusahaan menjadi terhambat bahkan
terhenti. Sehingga, adanya analisis atas modal kerja perusahaan sangat penting
untuk dilakukan guna mengetahui situasi modal kerja pada saat ini, kemudian hal
itu dihubungkan dengan situasi keuangan yang akan dihadapi pada masa yang
akan datang. Dengan demikian perusahaan dapat menentukan tindakan yang harus
dilakukan atau langkah apa yang harus diambil untuk mengatasinya.
Ketika perusahaan menetapkan kebijakan dalam pengelolaan modal kerja
yang efisien, maka akan berpengaruh terhadap kondisi kinerja keuangan
perusahaan. Sebagai contoh jika perusahaan memutuskan menetapkan modal kerja
dalam jumlah yang besar, kemungkinan tingkat likuiditas akan terjaga namun
kesempatan untuk memperoleh laba yang besar akan menurun yang pada akhirnya
berdampak pada menurunnya profitabilitas. Sebaliknya jika perusahaan ingin
memaksimalkan profitabilitas, kemungkinan dapat mempengaruhi tingkat
likuiditas perusahaan. Makin tinggi likuiditas, maka makin baiklah posisi
perusahaan di mata kreditur. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan yang lebih
besar bahwa perusahaan akan dapat membayar kewajibannya tepat pada
waktunya. Namun, di lain hal jika dilihat dari sisi pemegang saham, likuiditas
yang tinggi tidak selalu menguntungkan karena berpeluang menimbulkan danadana yang menganggur atau tidak digunakan untuk keperluan yang produktif yang
sebenarnya dapat digunakan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang dapat
menguntungkan perusahaan. Kebijakan perusahaan dalam melakukan manajemen
modal kerja juga akan berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan lainnya
seperti tingkat aktivitas dari perusahaan, maupun tingkat leverage (solvabilitas)
perusahaan.
Sektor industri barang konsumsi adalah industri yang terdiri dari perusahaan
yang menghasilkan produk berupa barang yang dipakai secara langsung atau tidak
langsung oleh konsumen untuk keperluan pribadi atau rumah tangga, di mana
sebagian besar barang-barang tersebut digunakan untuk tujuan konsumsi pribadi
(Kamus BI 2011). Sektor industri barang konsumsi erat kaitannya dengan
kebutuhan pokok manusia karena produknya dapat langsung dinikmati dan
digunakan oleh konsumen. Sehingga secara tidak langsung, sektor industri barang
konsumsi dapat merepresentasikan seberapa besar tingkat konsumtif masyarakat.

2
Industri barang konsumsi menjadi industri yang penting bagi perkembangan
perekonomian bangsa. Hal ini tidak terlepas dari besarnya kontribusi sektor
industri barang konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tercatat
bahwa, dari 6,23% pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012, industri
pengolahan (manufaktur) mampu memberikan sumbangan pertumbuhan terbesar
yakni 1,47% (BPS 2013). Selain itu, berdasarkan data dari Kementrian
Perindustrian, pada tahun 2012 kontribusi sektor industri pengolahan
(manufaktur) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah sebesar
20,85% di mana kontribusi terbesar diberikan oleh industri makanan, minuman,
dan tembakau (barang konsumsi) yakni sebesar 7,58% (Kemenperin 2013).
Kemudian, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses produksi barang konsumsi
juga dibutuhkan banyak sumber daya termasuk di dalamnya adalah sumber daya
manusia. Oleh karena itu, industri barang konsumsi memiliki peranan penting
dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan pada suatu negara.
Selain itu, sektor industri barang konsumsi sangat penting untuk diperhatikan
karena produk (barang-barang) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut relatif
lebih murah (low price) dibandingkan dengan perusahaan pada sektor lainnya,
sehingga perputaran modal kerja akan menjadi relatif lebih cepat dan hal tersebut
penting untuk diperhatikan dan dikelola secara baik agar kinerja keuangan
perusahaan dapat teroptimalkan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka pengelolaan modal
kerja secara efisien untuk perusahaan-perusahaan yang berada di sektor industri
barang konsumsi sangat penting untuk dilakukan, karena berpengaruh terhadap
kinerja keuangan perusahaan. Penelitian ini menggunakan data perusahaanperusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang telah terdaftar (listing) di
Bursa Efek Indonesia (BEI). Sehingga judul penelitian yang diambil adalah
“Analisis Pengelolaan Modal Kerja Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan
Sektor Industri Barang Konsumsi di BEI.”

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka masalah - masalah
yang relevan dengan penelitian ini adalah :
a) Bagaimana kondisi kinerja keuangan perusahaan sektor industri barang
konsumsi ?
b) Bagaimana pengaruh pengelolaan modal kerja terhadap kinerja keuangan
perusahaan sektor industri barang konsumsi ?

Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
a) Menganalisis kondisi kinerja keuangan perusahaan sektor industri barang
konsumsi.
b) Menganalisis pengaruh pengelolaan modal kerja terhadap kinerja keuangan
perusahaan sektor industri barang konsumsi.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi perusahaan dalam mengambil suatu keputusan yang
berhubungan dengan manajemen modal kerja, sehingga perusahaan dapat
membuat kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas perusahaan dan membuat
investor tertarik untuk berinvestasi, terutama di perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang mana pengolahannya mulai dari bahan mentah hingga barang
setengah jadi atau barang jadi dan perputaran modal kerja di dalam perusahaan
relatif lebih cepat akibat harga produk yang dihasilkan relatif lebih murah (low
price) dibanding dengan perusahaan pada sektor lainnya. Bagi peneliti lain atau
pembaca yang akan membahas berkaitan dengan topik yang sama, penelitian ini
dapat dijadikan sebagai bahan acuan (referensi) dan dijadikan sebagai bahan
masukan untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya yang sejenis.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup perusahaan yang akan digunakan adalah perusahaan yang
bergerak pada sektor industri barang konsumsi yang telah tercatat (listing) dalam
BEI pada tahun 2012. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data laporan
keuangan tahunan perusahaan sektor industri barang konsumsi yang telah tercatat
di BEI tahun 2012. Tahun tersebut dipilih karena pada tahun 2012 industri
pengolahan (manufaktur) memiliki peranan penting terhadap PDB Indonesia
(pertumbuhan ekonomi) sebesar 6,23% dengan menyumbang pertumbuhan
terbesar yakni 1,47% (BPS 2013). Di mana sektor manufaktur memberikan
kontribusi terhadap PDB sebesar 20,85% dan kontribusi terbesar pada sektor
tersebut diberikan oleh industri barang konsumsi (makanan, minuman, dan
tembakau) sebesar 7,58%. Namun demikian, angka pertumbuhan tersebut
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni tahun 2011 yang memiliki
pertumbuhan ekonomi 6,5% dan industri pengolahan (manufaktur) mampu
memberikan sumber pertumbuhan terbesar hingga 1,6% dari total pertumbuhan
ekonomi tahun 2011. Di mana sektor manufaktur memberikan kontribusi terhadap
PDB sebesar 20,92% dan kontribusi terbesar pada sektor tersebut tetap diberikan
oleh industri barang konsumsi (makanan, minuman, dan tembakau) sebesar 7,36%
(Kemenperin 2013). Sehingga jika dilihat dari angka kontribusi terhadap sektor,
tahun 2012 sektor industri barang konsumsi tetap lebih baik jika dibandingkan
dengan tahun 2011. Selain itu, ketersediaan data laporan keuangan perusahaan
juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa memilih data tahun 2012.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Modal Kerja (Working Capital)
Modal kerja adalah masalah utama dan pokok yang selalu dihadapi oleh
perusahaan, karena hampir semua perhatian untuk mengelola modal kerja dan
aktiva lancar yang merupakan bagian yang cukup besar dari aktiva. Modal kerja
dibutuhkan oleh setiap perusahaan untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya
sehari-hari, misalnya : untuk membeli bahan mentah (raw material), membiayai
gaji pegawai, dan lain-lain, di mana uang atau dana yang dikeluarkan tersebut
diharapkan dapat kembali lagi masuk dalam perusahaan dalam waktu singkat
melalui hasil penjualan produksinya. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk
selalu meningkatkan efisiensi kerjanya sehingga dicapai tujuan yang diharapkan
oleh perusahaan yaitu mencapai laba yang optimal (Mardiyanto 2008).

Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh
mana suatu perusahaan telah melaksanakan aktivitasnya dengan menggunakan
aturan - aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja perusahaan
merupakan suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang
dianalisis dengan alat - alat analisis keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai
baik buruknya keadaan keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi
kerja dalam periode tertentu (Fahmi 2011).

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Indra Lasmana (2013) mengenai Manajemen
Modal Kerja Terhadap Likuiditas dan Profitabilitas Sektor Pertanian di Indonesia
Stock Exchange, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh komponen dari
modal kerja terhadap tingkat likuiditas dan profitabilitas perusahaan pada
pertanian sektor hulu maupun sektor hilir adalah, pada average age of inventory,
average collection period, average payment period dan cash conversion cycle
berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas sedangkan berpengaruh negatif
dengan profitabilitas sehingga terjadi trade off theory likuiditas dengan
profitabilitas.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Azam dan Syed Irfan
Haider (2011), dengan judul “Impact of Working Capital Management on Firms’
Performance : Evidence from Non-Financial Institutions of KSE-30 index”.
Penelitian ini menggunakan 21 data lembaga atau perusahaan non-keuangan yang
terdaftar pada Karachi Stock Exchange (Pakistan) untuk periode 2001 hingga
2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ITO berhubungan negatif dengan
ROA dan ROE yang berarti bahwa kinerja perusahaan dapat ditingkatkan dengan
mengurangi persediaan. APP berhubungan positif secara signifikan dengan ROA
dan ROE, menunjukkan bahwa jika jangka waktu pembayaran pemasok

5
meningkat maka perusahaan secara keseluruhan kinerjanya meningkat. CCC dan
Siklus Perdagangan Bersih (Net Trading Cycle) menunjukkan hubungan negatif
yang signifikan dengan ROA dan ROE menunjukkan bahwa kinerja perusahaan
dapat ditingkatkan dengan ukuran pendek dari keduanya. Terakhir, CR secara
positif terkait dengan kedua dimensi kinerja tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Thair A. Kaddumi dan Imad Z. Ramadan
(2012), dengan judul “Profitability and Working Capital Management The
Jordanian Case”. Penelitian ini menggunakan data 49 perusahaan industrial
Yordania yang terdaftar pada Amman Stock Exchange untuk periode 2005 hingga
2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen modal kerja dan kinerja
berkorelasi positif.

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran Penelitian
Sektor industri barang konsumsi sangat penting dan strategis karena
menyangkut kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sektor industri barang konsumsi
erat kaitannya dengan kebutuhan pokok manusia karena produknya dapat
langsung dinikmati dan digunakan oleh konsumen. Secara tidak langsung, sektor
industri barang konsumsi dapat merepresentasikan seberapa besar tingkat
konsumtif masyarakat.
Penelitian ini menggunakan dua alat analisis. Analisis pertama dengan
menggunakan perhitungan rasio keuangan yang berkaitan dengan manajemen
modal kerja. Rasio keuangan yang digunakan adalah rasio aktivitas untuk
menghitung cash conversion yang menurut Deloof (2003) merupakan ukuran
manajemen modal kerja yang paling populer. Lalu untuk menghitung likuiditas,
penelitian ini menggunakan current ratio (CR) dan quick ratio (QR), untuk
menghitung tingkat profitabilitas, menggunakan rasio profitabilitas return on
assets (ROA), return on equity (ROE) dan net profit margin (NPM), untuk
menghitung tingkat solvabilitas, menggunakan rasio Debt to Equity Ratio (DER),
dan Debt to Asset ratio (DAR), serta untuk menghitung tingkat aktivitas,
penelitian ini menggunakan rasio Total Asset Turnover (TATO) dan Inventory
Turnover (ITO).
Alat analisis kedua adalah dengan menggunakan Structural Equation
Modelling (SEM). Berikut adalah kerangka pemikiran penelitian mengenai
pengaruh pengelolaan modal kerja terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor
industri barang konsumsi di BEI.

6

Peran Penting Sektor Industri Barang Konsumsi dalam Pertumbuhan Ekonomi

Perputaran Modal Kerja Sektor Industri Barang Konsumsi relatif lebih cepat
karena harga yang relatif murah (low price)

Pengelolaan Modal Kerja Sektor Industri Barang Konsumsi

Laporan Keuangan Sektor Industri Barang Konsumsi

CCC

AAI

ACP

Working Capital
Management

APP

CR

QR

Liquidity
Ratio

NPM

ROA

ROE

DER

Profitability
Ratio

DAR

Solvability
Ratio

TATO

ITO

Activity
Ratio

Structural Equation Modelling (SEM)

Pengaruh Pengelolaan Modal Kerja Terhadap Kinerja Keuangan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang
ada di Indonesia. Perusahaan yang digunakan merupakan perusahaan yang telah
tercatat (listing) di BEI. Waktu penelitian selama dua bulan yang dimulai pada
bulan Desember 2013 hingga Januari 2014.
Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder didapat dari
studi literatur berupa pencarian teori–teori maupun data yang dapat mendukung
terlaksananya penelitian. Studi literatur didapat dari berbagai sumber seperti buku,
internet, jurnal internasional maupun nasional, dan skripsi-skripsi terdahulu.
Penelitian ini menggunakan data perusahaan sektor industri barang konsumsi
yang telah tercatat (listing) di BEI.

7
Tabel 1 Daftar jumlah perusahaan sektor industri barang konsumsi yang tercatat
(listing) di BEI
Sektor Industri Barang Konsumsi
No
Jumlah Perusahaan
(listing di BEI 2012)
Sub Sektor Makanan dan Minuman
1
16 Perusahaan
Sub Sektor Rokok
2
4 Perusahaan
Sub Sektor Farmasi
3
9 Perusahaan
Sub Sektor Kosmetik dan Barang Keperluan
4
4 Perusahaan
Rumah Tangga
5
3 Perusahaan
Sub Sektor Peralatan Rumah Tangga
36 Perusahaan
Total
Jadi penelitian ini menggunakan total perusahaan sebesar 36 perusahaan
yang terbagi kedalam lima sub sektor dalam sektor industri barang konsumsi yang
terdaftar di BEI.

Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dengan menguji
model SEM yang dibangun. Penelitian ini memusatkan terhadap modal kerja
dengan menggunakan modal kerja sebagai variabel laten dari proxy pembentuk
modal kerja.
Model SEM digambarkan sebagai berikut

ACTIVITY

AAI

ACP

APP

TATO
ITO

CCC
PROFIT

NPM
ROA

C
WC

ROE
LIQUID

DER
DAR

CR

QR

SOLVABILITY

Gambar 2 Model Structural Equation

8
Model ini terdiri dari Cash Conversion Cycle (CCC), Average Age Of
Inventory (AAI), Average Collection Period (ACP), Average Payment Period
(APP), Current Ratio (CR), Quick Ratio (QR), Return On Assets (ROA), Return
On Equity (ROE), Net Profit Margin (NPM), Debt to Equity Ratio (DER), Debt
to Asset Ratio (DAR), Total Asset Turnover (TATO), dan Inventory Turnover
(ITO). Berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini
yaitu :
Tabel 2 Hipotesis penelitian
Hipotesis
H1: Working Capital berhubungan dengan Liquidity
H2: Working Capital berhubungan dengan Profitability
H3: Working Capital berhubungan dengan Solvability
H4: Working Capital berhubungan dengan Activity
Jadi, pengaruh pengelolaan modal kerja terhadap kinerja keuangan
perusahaan dapat diketahui dengan menggunakan analisis Structural Equation
Modelling. SEM dianalisis dengan menggunakan software SmartPLS 2.0 M3.
Tujuan Partial Least Square (PLS) adalah untuk membantu peneliti mendapatkan
nilai variabel laten untuk tujuan prediksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Kinerja Keuangan Sektor Industri Barang Konsumsi Secara Umum
Pada tahun 2012 terdapat 36 perusahaan sektor industri barang konsumsi
yang termasuk ke dalam (listing) Bursa Efek Indonesia. Terdapat 16 perusahaan
di sub sektor makanan dan minuman, 9 perusahaan di sub sektor farmasi, 4
perusahaan di sub sektor rokok dan sub sektor kosmetik & barang keperluan
rumah tangga, serta 3 perusahaan di sub sektor peralatan rumah tangga.
Perusahaan tersebut hampir seluruhnya merupakan perusahaan yang telah listing
dari tahun 2007 dan belum pernah delisting maupun relisting sampai tahun 2013,
sebagian perusahaan menjadi IPO pada tahun 2010 (Nippon Indosari Corporindo
Tbk, Indofood CBP Sukses Makmur Tbk dan Sekar Bumi Tbk). Pada tahun 2011
(Martina Berto Tbk), dan pada tahun 2012 (Tri Banyan Tirta Tbk dan Wismilak
Inti Makmur Tbk).
Penelitian terhadap perusahaan dilakukan dengan menggunakan rasio
keuangan yang memiliki kedekatan dengan pengelolaan modal kerja, likuiditas,
profitabilitas, solvabilitas, dan aktivitas perusahaan. Berikut merupakan kondisi
kinerja keuangan sektor industri barang konsumsi secara umum beserta
analisisnya yang diperlihatkan dengan perusahaan yang memiliki nilai komponen
working capital tercepat dan terlama serta nilai komponen kinerja keuangan
terbaik dan teburuk.

9
Berikut penjelasan mengenai perusahaan yang memiliki nilai komponen
working capital tercepat dan nilai komponen kinerja keuangan terbaik.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 5), AAI tercepat
terjadi pada perusahaan PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) dengan lama
hari persediaan selama 13 hari. Perusahaan PT Nippon Indosari Corpindo Tbk
menjadi perusahaan tercepat dalam rata-rata hari persediaan karena memiliki
perbandingan jumlah persediaan yang disimpan oleh perusahaan terhadap harga
pokok penjualan (HPP) perusahaan yang optimal. Pada ACP, perusahaan PT
Davomas Abadi Tbk (DAVO) menjadi perusahaan tercepat rata-rata hari
penarikan piutang usaha dengan lama hari penarikan piutang usaha selama 0 hari.
Hal tersebut terjadi bukan karena PT Davomas Abadi Tbk memiliki waktu
penarikan piutang yang sangat cepat, melainkan perusahaan tersebut pada tahun
2012 tidak memiliki kebijakan pemberian kredit dalam penjualan atau dengan
kata lain tidak memiliki piutang usaha sehingga tidak ada piutang usaha yang
harus ditagih. Pada APP, PT Davomas Abadi Tbk (DAVO) menjadi perusahaan
yang paling cepat dalam membayar utang usaha pada sektor Industri Barang
Konsumsi dengan lama hari pembayaran utang usaha mendekati 0 hari (0,104).
Hal tersebut selain terjadi akibat perbandingan antara utang usaha perusahaan
terhadap HPP perusahaan yang sangat kecil, PT Davomas Abadi Tbk juga
memiliki jumlah utang usaha perusahaan yang relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan perusahaan lain dalam sektor yang sama maupun subsektor
yang sama yaitu subsektor makanan dan minuman. Pada CCC, perusahaan sektor
industri barang konsumsi yang tercepat dalam siklus konversi kas adalah PT
Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI). Hal tersebut dapat terlihat dari komposisi
yang optimal dari ketiga komponen CCC yakni AAI, ACP, dan APP membuat
perusahaan tersebut cepat dalam mengkonversikan produk yang telah dibuatnya
menjadi kas bagi perusahaan sehingga perusahaan dapat meningkatkan
keuntungan dan kinerja keuangannya.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 5), tingkat
CR terbaik terdapat pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID). Hal tersebut terjadi
karena perusahaan memiliki perbandingan (rasio) aktiva lancar terhadap utang
lancar yang optimal. Selain itu, perusahaan tersebut memiliki persediaan dan
piutang usaha yang relatif besar bila dibandingkan dengan perusahaan lain pada
subsektor yang sama yaitu subsektor kosmetik dan barang keperluan rumah
tangga. Demikian pula yang terjadi pada tingkat QR terbaik. PT Mandom
Indonesia Tbk (TCID) juga menjadi perusahaan dengan tingkat QR terbaik.
Berdasarkan data yang dianalisis, dari 36 perusahaan sektor industri barang
konsumsi, perusahaan-perusahaan yang tercatat sebagai CR terbaik sebagian besar
juga termasuk ke dalam QR terbaik dan sebagian besar juga tercatat pada tingkat
profitabilitas teburuk (tabel selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3). Hal
tersebut mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat
likuiditas dengan profitabilitas perusahaan. Dimana semakin tinggi tingkat
likuiditas suatu perusahaan maka tingkat profitabilitas perusahaan tersebut akan
semakin rendah.

10
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 5), PT
Davomas Abadi Tbk (DAVO) merupakan perusahaan dengan tingkat NPM dan
ROA terbaik pada sektor industri barang konsumsi. Sedangkan PT Multi Bintang
Indonesia Tbk (MLBI) menjadi perusahaan dengan tingkat ROE terbaik pada
sektor industri barang konsumsi. PT Davomas Abadi Tbk (DAVO) menjadi
perusahaan dengan tingkat NPM terbaik karena pada perusahaan tersebut
memiliki penjualan yang relatif tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain pada
sektor yang sama sehingga laba yang didapatkannya pun tinggi. Selain itu,
perusahaan tersebut juga memiliki perbandingan (rasio) antara laba bersih
terhadap penjualan yang optimal. PT Davomas Abadi Tbk (DAVO) juga
merupakan perusahaan yang memiliki ROA terbaik. Hal tersebut terjadi karena
perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) antara laba bersih terhadap
total aktiva atau total asset yang optimal. PT Multi Bintang Indonesia Tbk
(MLBI) menjadi perusahaan dengan tingkat ROE terbaik pada perusahaan sektor
industri barang konsumsi. Hal tersebut terjadi karena memiliki perbandingan
(rasio) antara laba bersih terhadap modal (equity) yang optimal.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 5), PT
Mandom Indonesia Tbk (TCID) menjadi perusahaan dengan tingkat DER terbaik.
Hal tersebut terjadi karena perusahaan tersebut sesungguhnya memang memiliki
komponen total hutang yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan
perusahaan lain pada sektor yang sama maupun subsektor yang sama yakni
subsektor kosmetik dan barang keperluan rumah tangga. Selain itu, perusahaan
tersebut juga memiliki perbandingan (rasio) antara total hutang terhadap modal
(equity) yang sangat kecil jika dibandingkan dengan perusahaan lain dari sektor
maupun subsektor yang sama. Pada tingkat DAR, PT Mandom Indonesia Tbk
(TCID) juga menjadi perusahaan dengan tingkat DAR tebaik. Hal tersebut terjadi
karena perusahaan tersebut memiliki total hutang yang relatif lebih kecil bila
dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor yang sama maupun subsektor
yang sama yakni subsektor kosmetik dan barang keperluan rumah tangga. Selain
itu, perusahaan tersebut juga memiliki total aktiva yang relatif besar sehingga
perbandingan (rasio) antara total hutang dengan total aktiva sangat kecil jika
dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor maupun subsektor yang sama.
Nilai yang semakin kecil untuk rasio DER dan DAR pada perusahaan
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut solvable atau kemungkinan besar
mampu untuk memenuhi kewajiban jangka panjang perusahaan.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 5), PT Sekar
Bumi Tbk (SKBM) menjadi perusahaan yang memiliki tingkat TATO terbaik. Hal
tersebut terjadi karena PT Sekar Bumi Tbk sesungguhnya tidak memiliki
komponen penjualan yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan
perusahaan lain pada sektor maupun subsektor yang sama yakni subsektor
makanan dan minuman. Akan tetapi, perusahaan tersebut memiliki total aktiva
yang relatif kecil sehingga perbandingan (rasio) antara penjualan terhadap total
aktiva menjadi tinggi atau optimal jika dibandingkan dengan perusahaan lain dari
sektor maupun subsektor yang sama. Pada tingkat ITO, PT Nippon Indosari
Corpindo Tbk (ROTI) menjadi perusahaan dengan tingkat ITO terbaik. Hal
tersebut terjadi karena perusahaan tersebut sesungguhnya tidak memiliki HPP
yang relatif besar bila dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor yang
sama maupun subsektor yang sama yakni subsektor makanan dan minuman.

11
Namun, karena perusahaan tersebut memiliki rata-rata persediaan yang kecil
mengakibatkan perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) antara HPP
dengan rata-rata persediaan yang tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan lain
pada sektor maupun subsektor yang sama.
Berikut penjelasan mengenai perusahaan yang memiliki nilai komponen
working capital terlama dan nilai komponen kinerja keuangan terburuk.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 6), AAI terlama
pada perusahaan sektor industri barang konsumsi terjadi pada PT Gudang Garam
Tbk (GGRM) dengan lama hari persediaan selama 244 hari. Hal tersebut terjadi
karena PT Gudang Garam Tbk memiliki rata-rata persediaan yang relatif jauh
lebih besar bila dibandingkan perusahaan lain pada sektor yang sama. Selain itu,
hal tersebut terjadi karena perbandingan yang tidak optimal yang terjadi pada
perusahaan ini dengan HPP perusahaan. Pada ACP, PT Mustika Ratu Tbk
(MRAT) menjadi perusahaan dengan rata-rata hari penarikan piutang terlama
pada sektor industri barang konsumsi yakni 162 hari. PT Mustika Ratu Tbk
memiliki kebijakan dalam memberikan piutang usaha atau pemberian kredit
penjualan sehingga piutang usaha perusahaan tersebut relatif cukup tinggi. Hal
tersebut diduga terjadi karena dengan meningkatkan kredit penjualan perusahaan
akan dapat meningkatkan dan mendongkrak penjualan di mana penjualan
perusahaan memang relatif lebih rendah dibandingkan perusahaan lain dalam
sektor yang sama. Selain itu, dengan komposisi piutang yang hampir mendekati
penjualan, dapat dikatakan bahwa hampir 50 persen (44,3 %) dari aktivitas
penjualan dilakukan secara kredit. Sementara pada APP, PT Indofarma (Persero)
Tbk menjadi perusahaan terlama pada sektor industri barang konsumsi dengan
lama hari pembayaran utang usaha selama 115 hari. PT Indofarma (Persero) Tbk
sesungguhnya memiliki utang usaha pyang kecil atau tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan perusahaan lain dalam sektor yang sama maupun subsektor
yang sama yakni subsektor farmasi. Namun perusahaan tersebut memiliki hari
pembayaran utang usaha terlama karena perusahaan juga memiliki HPP yang
cukup rendah, sehingga perbandingan antara keduanya menyebabkan besarnya
rasio APP sehingga rata-rata pembayaran perusahaan menjadi lama. Pada CCC,
tingkat perputaran konversi kas terlama terjadi pada PT Gudang Garam Tbk
(GGRM) dengan lama hari perputaran konversi menjadi kas selama 250 hari.
Pada PT Gudang Garam Tbk perputaran konversi kas rendah terjadi karena ratarata hari persediaan perusahaan tersebut yang sangat lama, dapat terlihat bahwa
perusahaan tesebut menempati posisi pertama perusahaan dengan rata-rata hari
persediaan terlama. Selain itu, meskipun rata-rata penarikan piutangnya tidak
terlalu lama namun CCC PT Gudang Garam Tbk menjadi yang terlama akibat
rata-rata pembayaran utang usaha yang sangat cepat karena perusahaan tersebut
termasuk peringkat ketiga perusahaan tercepat dalam membayar utang usaha.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 6),
perusahaan dengan tingkat CR terburuk pada sektor industri barang konsumsi
adalah PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI). Buruknya tingkat CR PT Multi
Bintang Indonesia Tbk disebabkan oleh jumlah utang lancar yang lebih besar bila
dibandingkan dengan jumlah aktiva lancar atau total aset perusahaaan. Tingkat
CR memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat profitabilitas pada
perusahaan industri barang konsumsi. Semakin buruk atau rendah tingkat CR
perusahaan maka akan semakin baik atau tinggi tingkat profitabilitas perusahaan,

12
hal tersebut dapat dilihat pada PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) yang juga
memiliki nilai ROE terbaik. Tingkat CR yang buruk pada perusahaan
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang tinggi karena tidak
mampu untuk membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera jatuh
tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Demikian pula yang terjadi pada
tingkat QR terburuk. PT Gudang Garam Tbk (GGRM) menjadi perusahaan sektor
industri barang konsumsi yang memiliki tingkat QR terburuk. Berdasarkan data
yang di analisis, sebagian besar perusahaan sektor industri barang konsumsi yang
memiliki tingkat QR yang buruk, juga tercatat memiliki tingkat profitabilitas yang
baik (tabel selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3).
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 6), PT Merck
Sharp Dohme Pharma Tbk (SCPI) menjadi perusahaan dengan tingkat NPM dan
ROE terburuk pada perusahaan sektor industri barang konsumsi. Sedangkan PT
Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) menjadi perusahaan dengan tingkat
ROA terburuk pada perusahaan sektor industri barang konsumsi. PT Merck Sharp
Dohme Pharma Tbk (SCPI) menjadi perusahaan dengan tingkat NPM terburuk,
hal tersebut terjadi karena laba bersih perusahaan yang negatif (rugi bersih).
Selain itu, perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) antara rugi bersih
terhadap penjualan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan perusahaan lain
pada sektor maupun subsektor yang sama. Pada tingkat ROE, PT Merck Sharp
Dohme Pharma Tbk (SCPI) juga menjadi perusahaan dengan tingkat ROE
terburuk. Hal tersebut juga terjadi karena laba bersih perusahaan yang negatif
(rugi bersih). Selain itu perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) antara
laba bersih terhadap modal (equity) yang kecil bila dibandingkan dengan
perusahaan pada sektor maupun subsektor yang sama. Pada PT Bentoel
Internasional Investama Tbk (RMBA), tingkat ROA yang buruk disebabkan oleh
laba perusahaan yang negatif atau dengan kata lain rugi. Hal tersebut terjadi
karena perusahaan yang bergerak dalam subsektor rokok tersebut mengalami
penjualan yang menurun sedangkan beban-beban yang harus ditanggung semakin
membesar. Selain itu, PT Bentoel Internasional Investama Tbk, memiliki
perbandingan (rasio) antara laba bersih terhadap total aktiva atau total aset yang
sangat kecil bila dibandingkan dengan perusahaan lain dari sektor maupun
subsektor yang sama.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 6), PT Merck
Sharp Dohme Pharma Tbk (SCPI) menjadi perusahaan dengan tingkat DER
terburuk. Hal tersebut terjadi karena perusahaan tersebut sesungguhnya tidak
memiliki komponen total hutang yang sangat besar jika dibandingkan dengan
perusahaan lain pada sektor maupun subsektor yang sama yakni subsektor
farmasi. Akan tetapi, perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) antara
total hutang terhadap modal yang sangat besar jika dibandingkan dengan
perusahaan lain dari sektor maupun subsektor yang sama. Pada tingkat DAR, PT
Davomas Abadi Tbk (DAVO) menjadi perusahaan dengan tingkat DAR terburuk.
Hal tersebut terjadi karena perusahaan tersebut memang memiliki total hutang
yang relatif besar bila dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor yang
sama. Selain itu, perusahaan tersebut juga memiliki perbandingan (rasio) antara
total hutang dengan total aktiva yang sangat besar jika dibandingkan dengan
perusahaan lain pada sektor maupun subsektor yang sama yaitu subsektor
makanan dan minuman. Nilai yang semakin besar untuk rasio DER dan DAR

13
pada perusahaan justru mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut insolvable
atau kemungkinan besar tidak mampu memenuhi kewajiban jangka panjang.
Berdasarkan data yang dianalisis (dapat dilihat pada lampiran 6), PT
Davomas Abadi Tbk (DAVO) menjadi perusahaan yang memiliki tingkat TATO
teburuk. Sesungguhnya PT Davomas Abadi Tbk memiliki komponen penjualan
yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor
maupun subsektor yang sama yakni subsektor makanan dan minuman. Akan
tetapi, perusahaan tersebut juga memiliki total aktiva yang lebih besar
dibandingkan dengan penjualan serta memiliki total aktiva yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan lain dari sektor maupun subsektor yang sama.
Sehingga perbandingan (rasio) antara penjualan terhadap total aktiva menjadi
rendah atau tidak optimal jika dibandingkan dengan perusahaan lain dari sektor
maupun subsektor yang sama. Pada tingkat ITO, PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
menjadi perusahaan dengan tingkat ITO terburuk. Hal tersebut terjadi karena
perusahaan tersebut sesungguhnya memiliki HPP yang sangat besar bila
dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor yang sama maupun subsektor
yang sama yakni subsektor rokok. Namun, karena perusahaan tersebut memiliki
rata-rata persediaan yang besar pula dan mendekati HPP mengakibatkan
perusahaan tersebut memiliki perbandingan (rasio) HPP dengan rata-rata
persediaan yang rendah jika dibandingkan dengan perusahaan lain pada sektor
maupun subsektor yang sama.

Pengaruh Pengelolaan Modal Kerja terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi

Analisis Partial Least Square (PLS)
Pada penelitian ini, pengujian model dilakukan dengan menggunakan
SmartPLS. Terdapat variabel laten sebanyak lima laten. Variabel laten tersebut
diantaranya adalah variabel laten modal kerja (WC), variabel laten likuiditas
(LIQUIDITY), variabel laten profitabilitas (PROFITABILITY), variabel laten
solvabilitas (SOLVABILITY), dan variabel laten aktivitas (ACTIVITY). Masingmasing variabel laten tersebut memiliki variabel manifest (indikator) yaitu, untuk
variabel laten modal kerja (WC) memiliki variabel manifest AAI, ACP, APP dan
CCC. Variabel laten likuiditas memiliki variabel manifest CR dan QR. Variabel
laten profitabilitas, memiliki variabel manifest NPM, ROA, dan ROE. Variabel
laten solvabilitas memiliki variabel manifest DER dan DAR. Terakhir, variabel
laten aktivitas memiliki variabel manifest TATO dan ITO.

Pengujian Model SEM
Untuk mengevaluasi model dalam penelitian ini diperlukan beberapa cara
bergantung pada model yang telah dibentuk. Secara umum evaluasi dan
intrepretasi model dapat dilihat sebagai berikut :

14
Model Pengukuran (Outer Model)
Model pengukuran outer model adalah menganalisis hubungan antara
setiap blok indikator (manifest) dengan variabel latennya (konstruk) (Ghozali
2011). Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70
dengan konstruk yang ingin diukur. Namun untuk penelitian tahap awal dari
pengembangan skala pengukuran nilai loading 0,50 sampai 0,60 dianggap cukup.
Pada penelitian ini, indikator yang memiliki nilai faktor loading lebih kecil dari
0,50 akan dihapus atau didrop. Indikator yang memiliki nilai faktor loading
dibawah 0,50 (dapat dilihat pada lampiran 7), kemudian dilakukan analisis PLS
kembali dan menghasilkan Gambar 3.

Model SEM Awal Sektor Industri Barang
Konsumsi

Dropping Awal

DER dan ITO direflektifkan secara langsung
terhadap Working Capital

Model SEM Akhir Sektor Industri Barang
Konsumsi

Gambar 3 Model SEM

15
Berdasarkan Gambar 3 pada model SEM akhir dan nilai faktor loading
setelah dropping (dapat dilihat pada lampiran 8), nilai faktor loading untuk semua
indikator sudah diatas 0,50 yang menunjukkan indikator-indikator merefleksikan
konstruk. Nilai faktor loading yang paling besar menggambarkan indikator yang
mencerminkan konstruk tersebut. Nilai setelah dilakukan aktivitas dropping atau
dilakukan re-estimate selengkapnya (dapat dilihat pada lampiran 9). Selanjutnya
untuk melihat indikator yang berpengaruh terhadap laten/konstruk dapat dilihat
dari nilai T-statistik. Jika nilai T-statistik > 1,96 maka dinyatakan indikator
berpengaruh nyata. Berdasarkan data nilai T-statistik pada lampiran 9, diperoleh
nilai semua T-statistik masing-masing indikator > 1,96 sehingga dapat
disimpilkan bahwa indikator-indikator setelah aktivitas dropping berpengaruh
nyata.
Discriminant Validity
Discriminant Validity digunakan untuk menentukan valid atau tidaknya
masing-masing variabel laten atau konstruk. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai
Average Variance Extracted (AVE) masing-masing konstruk. Masing-masing
variabel atau peubah laten dikatakan valid jika nilai AVE > 0,5. Berdasarkan nilai
AVE untuk masing-masing konstruk/peubah laten (dapat dilihat pada lampiran
10), nilai AVE semua konstruk/peubah laten memiliki nilai > 0,5 sehingga dapat
dikatakan atau disimpulkan bahwa masing-masing konstruk atau peubah laten
nilainya valid.
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas diukur dengan dua kriteria yaitu composite reliability dan
cronbachs alpha dari masing-masing konstruk. Konstruk dinyatakan reliabel jika
nilai keduanya > 0,7. Berdasarkan hasil output (dapat dilihat pada lampiran 11 dan
12) seluruh konstruk atau peubah laten bernilai > 0,7 sehingga peubah-peubah
tersebut bersifat reliabel.
Model Structural (Inner Model)
Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten. Model
structural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk dependen.
Berdasarkan nilai R-square untuk masing-masing konstruk atau peubah laten
(dapat dilihat pada lampiran 13), hasil empiris dari pengujian model menunjukkan
bahwa modal kerja (WC) dapat menjelaskan tingkat likuiditas (LIQUID) sebesar
7,85% dan sisanya sebesar 92,15% dijelaskan oleh variabel lain. Selain itu modal
kerja (WC) dapat menjelaskan tingkat profitabilitas (PROFIT) sebesar 11,39%
dan sisanya sebesar 88,61% dijelaskan oleh variabel lain. Kemudian modal kerja
(WC) tidak dapat menjelaskan tingkat solvabilitas (SOLVABILITY) dan tingkat
aktivitas (ACTIVITY).
Dengan menggunakan metode bootstrapping pada SmartPLS, dapat
diperoleh kesalahan standar (standard errors), koefisien jalur (path coefficients),
dan nilai T-statistik. Dengan menggunakan teknik ini, peneliti dapat menilai
signifikansi statistik model penelitian dengan menguji hipotesis untuk setiap jalur
hubungan. Dalam melakukan estimasi koefisien jalur dapat dilihat dari hasil-hasil
bootstrapping yang terdapat pada lampiran 14 mengenai (path coefficient) yang

16
menunjukkan koefisien untuk tiap jalur hipotesis dan nilai T-statistiknya yang
diperoleh dari hasil output SmartPLS.
Pengaruh antar peubah laten dapat dilihat dari nilai T-Statistik. Jika TStatistik > 1,96 maka dapat disimpulkan bahwa peubah laten berpengaruh nyata.
Berdasarkan data pada path coefficient (dapat dilihat pada lampiran 14) WC
memiliki pengaruh nyata terhadap LIQUID dan PROFIT karena memiliki nilai Tstatistik yang lebih dari 1,96. Kemudian, pada kolom original sample dan pada
Gambar 3 dapat dilihat bahwa konstruk modal kerja (WC) memiliki pengaruh
positif langsung terhadap likuiditas (LIQUID) sebesar (0,280) dan pengaruhnya
signifikan, dilihat dari hasil T-statistik konstruk likuiditas (5,38) yang lebih besar
dari T-tabel yaitu 1,96 pada selang kepercayaan 0,05. Sedangkan hubungan pada
konstruk modal kerja (WC) dengan profitabilitas (PROFIT) memiliki pengaruh
yang negatif yakni (-0,337) dan pengaruhnya signifikan, dilihat dari nilai Tstatistik konstruk profitabilitas (6,63) yang lebih besar dari T-tabel yaitu 1,96 pada
selang kepercayaan 0,05. Selanjutnya, hubungan pada konstruk modal kerja (WC)
dengan aktivitas (ACTIVITY) dan hubungan pada konstruk modal kerja (WC)
dengan sovabilitas (SOLVABILITY) tidak dapat dijelaskan pada model working
capital karena telah didrop pada model yang telah dibuat. Jadi, jalur yang
memiliki pengaruh signifikan adalah variabel laten WC yang dipengaruhi secara
signifikan oleh faktor loading AAI dan CCC terhadap variabel laten LIQUID
yang dipengaruhi secara signifikan oleh faktor loading CR dan QR, serta variabel
laten PROFIT yang dipengaruhi secara signifikan oleh faktor loading NPM, ROA
dan ROE.
Pada model SEM tersebut, dapat dianalisis bahwa pada variabel laten WC,
terdapat aktivitas penghilangan (dropping) yaitu APP dan ACP yang dikarenakan
pada model tersebut nilai faktor loading APP dan ACP kurang dari 0,50 sehingga
harus didrop. Pengaruh APP diduga tidak kuat karena perusahaan sektor industri
barang konsumsi melakukan pembayaran utang atau kewajibannya tepat pada
waktunya. Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan sektor industri barang
konsumsi atau yang bertindak sebagai perusahaan debitur, karena ingin menjaga
citra baik perusahaan terhadap perusahaan kreditur sehingga terjalin hubungan
yang baik dimana perusahaan debitur terbantu dalam kegiatan operasional
sedangkan bagi perusahaan kreditur risiko piutang tak tertagih akan semakin
rendah. Berdasarkan data yang didapat, dari 36 perusahaan sektor industri barang
konsumsi 72% diantaranya atau 26 perusahaan memiliki APP dibawah 60 hari.
Hal tersebut didukung oleh pemberian diskon penjualan dengan tingkat diskon
yang beragam yang biasanya sering diberikan oleh pihak kreditur untuk dapat
menarik para pihak debitur agar membayar utang sebelum jangka waktu yang
telah ditetapkan (tidak jatuh tempo) agar mendapatkan diskon, misalnya syarat
pembayaran kredit 5/10 – net/60 artinya jika piutang dibayar paling lambat 10 hari
dari tanggal penjualan akan diberi diskon sebesar 5% dan batas akhir pembayaran
selama 60 hari. Pengaruh ACP juga diduga tidak kuat karena banyak perusahaan
sektor industri barang konsumsi yang memiliki umur piutang usaha yang cukup
terlambat dari waktu yang telah ditentukan (lewat jatuh tempo). Hal tersebut
didasarkan pada data yang didapat dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan
sektor industri barang konsumsi pada bagian catatan atas laporan keuangan
konsolidasian, dari 36 perusahaan sektor industri barang konsumsi banyak yang
memiliki umur piutang usaha (the aging of trade receivables) yang jatuh tempo

17
mencapai lebih dari 91 hari (Overdue >91 days) yakni seperti PT Darya Varia
Laboratoria Tbk, PT Indofarma (persero) Tbk, PT Martina Berto Tbk, PT Akasha
Wira Internasional Tbk, PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, PT Kedawung Setia
Industrial Tbk, PT Gudang Garam Tbk dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk.
Pada variabel laten profitabilitas, nilai faktor loading NPM, ROA dan ROE tidak
terjadi aktivitas dropping karena memiliki nilai faktor loading lebih dari 0,5. Hal
tersebut menandakan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh yang
kuat. Hal tersebut terjadi karena pada rasio NPM terdapat aktivitas penjualan
sebagai salah satu faktornya, di man