Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha mikro dan kecil bidang industri pengolahan di Kabupaten Bogor
ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN
USAHA MIKRO DAN KECIL BIDANG INDUSTRI
PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
NABILAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Struktur Biaya
dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Nabilah
NIM H14100072
ABSTRAK
NABILAH. Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil
Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ALLA
ASMARA
Tingginya jumlah UMK menyebabkan persaingan yang semakin besar
diantara UMK yang ada. Persaingan ini mengharuskan para pelaku UMK untuk
semakin meningkatkan efisiensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
profil UMK, menganalisis struktur biaya, dan pendapatan masing-masing UMK
pengolahan di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan yaitu struktur
biaya dan analisis pendapatan. Hasil menunjukkan bahwa UMK di Kabupaten
Bogor mengalami peningkatan dari sisi jumlah UMK dan penyerapan tenaga kerja
tiap tahunnya. Karakteristik UMK Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga yaitu
karakteristik pelaku, karakterisik usaha, dan kendala yang dihadapi. Dari analisis
struktur biaya, bahan baku dan upah tenaga kerja merupakan komponen biaya
terbesar. Pada analisis pendapatan, semua UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
merupakan usaha yang efisien, hal ini dikarenakan besarnya nilai R/C ratio atas
biaya total yang diperoleh lebih dari 1.
Kata kunci: UMK Pengolahan, Analisis Struktur Biaya, Pendapatan, Kabupaten
Bogor
ABSTRACT
NABILAH. Cost Structure Analysis of Small and Micro Enterprises Income on
Manufacturing Industry in Bogor Regency. Supervised by ALLA ASMARA.
High number of SMEs causes an increasing competition among the
existing SMEs. This competition forces the SMEs to enhance its efficiency. This
study aims to analyze the profile of SME, the cost structure, and the income of
each manufacturing SME in Bogor district. The methods of analysis used are cost
structure and income analysis. The results of this study show SMEs in Bogor
district experience an increase in number of SME and employment each year. The
characteristic of SME in Bogor district is devided into three, namely the
characteristic of enterpreneur, the characteristic of the enterprise, and the existing
obstacles. Based on cost structure analysis, the raw material and labor wage are
the biggest component of cost. Based on income analysis, all the manufacturing
SMEs in Bogor district are considered as efficient enterprises due to the high
value of R/C ratio over the total cost obtained which is higher than one.
Keywords: SMEs manufacturing, Cost structure analysis, Income, Bogor Regency
ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN
USAHA MIKRO DAN KECIL BIDANG INDUSTRI
PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
NABILAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Judul skripsi ini adalah Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Mikro dan
Kecil Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten Bogor. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis struktur biaya dan
pendapatan UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor. Sumber data yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari Hibah Strategis Nasional dengan Judul
“Strategi Penguatan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam Upaya Pengentasan
Kemiskinan (Studi Kasus: UMK di Kabupaten Bogor).
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Dr. Ir. Sugeng
Budiharsono, Ibu Yulita Budiharsono, serta adik dari penulis yaitu Gina Marisa,
Saif Alhaq, Faiqah Sherena, dan Sammy Elfahri Yusuf, atas segala doa, motivasi,
dan dukungan baik moril maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril
dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, Agr selaku dosen penguji utama dan
Bapak Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi
ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Yola, Dian, Trisa, dan Adit yang telah menjadi
partner diskusi dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dhimas Setiadi yang senantiasa setia menemani dan memotivasi.
6. Sahabat penulis Achmad Alfian, Hamzah Badegeish, Muhammad Nassa
Ridwansyah, Uais MSJA, Rahayu Aisah P, Hardyani Sasikirana, Penny
Septina, Qinthara, Cynthia Prameswari, Nindya Ulfilianjani, Ajeng Febrina,
Raissa R.R, Dhanty Rais, Aviera, Jazaul Aufa, Debby Oktavira, Masyitho,
Yosep Andrew, Bramastyo, serta teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang selalu
memberikan masukan dan semangat kepada penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nabilah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Biaya
Analisis Pendapatan
Usaha Mikro dan Kecil
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis, Sumber, dan Pengumpulan Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengolahan Data
PROFIL UMK PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
Perkembangan UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Pelaku UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Usaha UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Kendala yang Dihadapi UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Biaya UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Struktur Biaya UMK Pengolahan Makanan Minuman
Struktur Biaya UMK Pengolahan Logam/Kayu/Bambu
Struktur Biaya UMK Pengolahan Bahan Dasar Kulit
Struktur Biaya UMK Pengolahan Konveksi
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Makanan Minuman
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Logam/Kayu/Bambu
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Bahan Dasar Kulit
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Konveksi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
4
4
4
4
4
5
5
7
9
10
10
10
10
11
12
12
14
17
22
24
25
25
29
34
36
39
39
39
40
40
41
41
41
43
45
52
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Indonesia tahun 2010-2012
1
Statistik UMK pengolahan Kabupaten Bogor
2
Perubahan harga bahan baku pada tahun 2011-2013
3
Perbedaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2008 dan World Bank
6
5. Jumlah responden pelaku UMK pengolahan
10
6. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor 2010-2012 14
7. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan UMK pengolahan Kabupaten Bogor
15
8. Persentase distribusi responden berdasarkan umur pengusaha dan
pengalaman menjalankan usaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
15
9. Persentase distribusi responden berdasarkan pengalaman menjalankan
usaha dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
15
10. Persentase distribusi responden berdasarkan kepemilikan izin usaha dan
pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
17
11. Persentase distribusi responden berdasarkan kemitraan dan pendapatan
UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
18
12. Persentase distribusi responden berdasarkan program pemerintah
dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
20
13. Persentase distribusi responden berdasarkan jumlah dan sumber tenaga
kerja UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
20
14. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan makanan minuman per tahun
25
15. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan makanan minuman per tahun
26
16. Struktur biaya produksi UMK pengolahan makanan minuman per tahun
27
17. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
30
18. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
31
19. Struktur biaya produksi UMK pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
31
20. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan bahan dasar kulit per tahun
34
21. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan bahan dasar kulit per tahun
35
22. Struktur biaya produksi UMK pengolahan bahan dasar kulit per tahun
35
23. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
37
24. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
37
25. Struktur biaya produksi UMK pengolahan bahan dasar konveksi per tahun 38
26. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman
39
27. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu
40
28. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar kulit
29. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar konveksi
40
41
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran
2. Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor
3. Lama pendidikan pengusaha UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
4. Umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
5. Pengalaman menjalankan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
6. Kepemilikan izin usaha pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
7. Kemitraan pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
8. Bentuk kemitraan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
9. Adanya program pemerintah UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
10. Sumber tenaga kerja pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
11. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada UMK pengolahan di
Kabupeten Bogor
12. Alur pemasaran UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
13. Sumber modal awal UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
14. Kendala permodalan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
15. Kendala produksi UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
16. Kendala pemasaran UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
17. Siklus produksi usaha kerupuk kulit
18. Kerupuk kulit usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
19. Siklus produksi usaha kue
20. Kue usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
21. Siklus produksi usaha manisan pala
22. Manisan pala usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
23. Siklus produksi usaha golok
24. Golok usaha logam Kabupaten Bogor
25. Siklus produksi usaha furniture kayu
26. Furniture kayu usaha kayu Kabupaten Bogor
27. Siklus produksi usaha kandang burung
28. Kandang burung usaha bambu Kabupaten Bogor
29. Siklus produksi usaha tas
30. Tas usaha pengolahan bahan dasar kulit Kabupaten Bogor
31. Siklus produksi usaha jaket
32. Jaket usaha pengolahan bahan dasar konveksi Kabupaten Bogor
9
13
14
16
16
17
18
19
19
21
21
21
22
23
23
24
27
28
28
28
29
29
32
32
32
33
33
34
36
36
38
38
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekapitulasi daftar UMK per kecamatan Kabupaten Bogor tahun 20102013
2. Jenis produk unggulan tiap kecamatan di Kabupaten Bogor
45
46
3. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman per tahun
4. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman tiap produk
per tahun
5. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
6. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu tiap produk
per tahun
7. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar kulit per tahun
8. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
47
48
49
50
50
51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha Mikro dan Kecil (UMK) memiliki peran dan potensi penting dalam
mewujudkan pembangunan ekonomi, yaitu sebagai sumber pendapatan
masyarakat kelompok menengah ke bawah dan juga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan (Tambunan, 2009). Perkembangan jumlah usaha mikro dan kecil yang
pesat sangat berperan dalam membuka lapangan pekerjaan.
Jumlah usaha mikro yang mencapai 55.856.176 unit pada 2012 dapat
menyerap tenaga kerja pada sektor usaha mikro mencapai 99.859.517 atau 95,65
persen dari keseluruhan total angkatan kerja yang mampu diserap UMK. Pada
usaha kecil tahun 2012 dapat menyerap tenaga kerja mencapai 4.535.970 atau
4,34 persen dengan jumlah usaha kecil mencapai 629.418 unit. Dengan demikian
UMK sangat berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2013). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Indonesia tahun 2010-2012
Tahun
No
Indikator
2010
Jumlah
2011
%
Jumlah
2012
%
Jumlah
%
1
Usaha Mikro
93.014.753
96,247
94.957.797
96,036
99.859.517
95,655
2
Usaha Kecil
3.627.164
3,753
3.919.992
3,964
4.535.970
4,345
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013 (diolah).
Kabupaten Bogor memiliki jumlah UMK terbesar kedua di Provinsi Jawa
Barat setelah Kabupaten Sukabumi. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor mencapai
1.155 unit atau sekitar 7,71 persen dari total jumlah UMK di Provinsi Jawa Barat.
Jumlah tenaga kerja yang diserap UMK di Kabupaten Bogor merupakan jumlah
yang terbesar di Provinsi Jawa Barat, jumlahnya mencapai 21.172 orang atau 6,25
persen dari total tenaga kerja yang diserap UMK di Provinsi Jawa Barat (BPS
Provinsi Jawa Barat, 2013). Jumlah ini berperan penting dalam upaya mengurangi
jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor.
Usaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Bogor terdiri dari beberapa jenis
usaha, antara lain adalah perdagangan (warung, rumah makan, kelontong, PKL)
dan pengolahan (konveksi, makanan-minuman, pengolahan bahan dasar kulit, dan
pengolahan dasar logam/kayu/bambu). UMK bidang pengolahan merupakan jenis
UMK yang banyak ditemukan di Kabupaten Bogor. Jumlah UMK bidang
perdagangan sebesar 483 unit atau 41,81 persen keseluruhan jumlah UMK
sedangkan UMK pengolahan pada tahun 2012 mencapai 672 unit atau 58,18
persen dari total jumlah UMK (BPS Kabupaten Bogor 2013).
Kemudahan memperoleh bahan baku dan harga bahan baku yang murah
menjadi sebab UMK jenis makanan-minuman merupakan UMK bidang
pengolahan dengan jumlah tertinggi yaitu 282 unit atau 41,93 persen dari total
keseluruhan (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
2
Tabel 2. Statistik UMK pengolahan Kabupaten Bogor 2012
No
1
Kelompok/komoditas
UMK pengolahan makanan-minuman
2
UMK pengolahan logam/kayu/bambu
3
4
Unit
%
282
41,93
208
31,04
UMK pengolahan kulit
87
12,90
UMK pengolahan konveksi
95
14,11
Total
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2013 (diolah).
672
100,00
Tingginya jumlah UMK menyebabkan persaingan yang semakin besar
diantara UMK yang ada, persaingan ini mengaharuskan para pelaku UMK untuk
semakin meningkatkan efisiensi. Efisiensi ini yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pendapatan yang diperoleh. Efisiensi suatu usaha dapat diketahui
dari struktur biaya dan pendapatan. Dengan mengetahui struktur biaya dan
pendapatan maka pelaku usaha dapat melihat biaya yang harus diefisiensikan,
sehingga pada akhirnya akan meperoleh pendapatan yang lebih maksimal. Oleh
karena itu, struktur biaya dan pendapatan perlu diketahui dengan baik.
Perumusan Masalah
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan
uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan
tertentu (Mulyadi, 2002). Besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan
sebuah usaha berbeda dengan usaha lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh skala usaha
yang dijalankan. Mulyadi (2005) mengelompokkan biaya berdasarkan fungsi
pokok perusahaan menjadi tiga kategori yaitu biaya pemasaran, biaya administrasi
dan umum, dan biaya produksi.
Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak berubah ketika jumlah produk yang
dihasilkan berubah. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai
dengan jumlah produk yang dihasilkan (Effendi, 2012). Biaya tetap dan biaya
variabel terdiri dari beberapa komponen biaya.
Komponen–komponen biaya tetap pada UMK bidang pengolahan yaitu
listrik, penyusutan, PBB, dan telefon. Di sisi lain, komponen–komponen biaya
variabelnya yaitu bahan baku, bahan penunjang, upah tenaga kerja, plastik atau
biaya kemasan, biaya angkutan dan biaya bahan bakar. Besarnya komponen biaya
tidaklah sama untuk setiap jenis usaha. Perbedaan besarnya komponen biaya ini
dipengaruhi oleh jenis usaha yang dijalankan.
Penelitian Irfani (2011) menjelaskan bahwa komponen biaya tetap pada
usaha ransel laptop di Kabupaten Bogor terdiri dari gaji pembelian, listrik, telefon,
transportasi, konsumsi dan PBB, sedangkan untuk komponen biaya variabelnya
adalah bahan baku dan upah tenaga kerja. Komponen biaya terbesar yang
dikeluarkan adalah komponen bahan baku sebesar 64,73 persen dari total biaya.
Di sisi lain, pada C.V. Tristar di Madiun, menurut Kusumawardani (2013)
komponen biaya terbesar untuk usaha almari rak piring adalah komponen bahan
baku sebesar 70,15 persen dari keseluruhan biaya. Untuk usaha etalase komponen
3
biaya bahan baku sebesar 77,48 persen dari total biaya menjadi komponen biaya
terbesar.
Komponen biaya terbesar dari UMK bidang pengolahan diatas adalah
komponen biaya bahan baku, namun besar persentasinya berbeda-beda.
Komponen biaya bahan baku menjadi penting karena besarnya sangat
mempengaruhi jumlah biaya produksi. Harga bahan baku pada UMK bidang
pengolahan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perubahan harga bahan baku
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perubahan harga bahan baku pada tahun 2011-2013
Bahan baku
Makanan minuman
Kulit sapi (Rp/buah)
2011
2012
Perubahan
2012-2011
(%)
2013
Perubahan
2013-2012
(%)
27.000
29.000
30.000
7,41
3,45
Pala (Rp/kg)
3.000
4.000
4.000
33,33
0
Gula (Rp/kg)
11.100
12.000
12.300
8,11
2,50
7.500
7.600
7.800
1,33
2,63
12,55
2,14
Tepung (Rp/kg)
Total
Logam/kayu/bambu
Kayu (Rp/m3)
500.000
500.000
520.000
0
4,00
Bambu (Rp/batang)
110.000
115.000
125.000
4,55
8,70
65.000
67.000
67.000
3,08
0
2,54
4,23
2,86
0
2,86
0
0
8,70
0
8,70
Besi (Rp/batang)
Total
Kulit
Kulit sintetis (Rp/rol)
1.750.000
1.800.000
1.800.000
Total
Konveksi
Kain (Rp/cm2)
Total
Sumber: data primer diolah.
23.000
23.000
25.000
Berdasarkan tabel diatas, harga bahan baku untuk semua bidang pada
UMK pengolahan mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Adanya
peningkatan harga bahan baku dalam kurun waktu dua tahun terakhir akan
mengakibatkan perubahan pada struktur biaya UMK. Perubahan struktur biaya ini
pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diterima. Sehingga
perlu adanya pengkajian terhadap struktur biaya UMK agar dapat meningkatkan
pendapatan.
Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana profil UMK pengolahan di Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana struktur biaya masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan?
3. Bagaimana pendapatan masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan?
4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji profil UMK pengolahan di Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis struktur biaya masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis pendapatan masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini adalah memberikan
informasi kepada penulis, pelaku UMK, dan Dinas Koperasi dan UMK setempat
mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan struktur biaya dan pendapatan
UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang
paling efisien berdasarkan struktur biaya dan pendapatan pada UMK bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor. Responden yang diteliti adalah pelaku UMK
bidang pengolahan seperti pengolahan bahan dasar kulit, konveksi, pengolahan
makanan-minuman, pengolahan logam/kayu/bambu, di daerah Dramaga,
Cibinong, dan Ciampea dengan 55 responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Juli hingga Agustus 2013.
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Biaya
Menurut Sugiarto et al (2005), secara ekonomi biaya produksi merupakan
biaya yang dikeluarkan dalam perolehan input. Biaya input tercermin dari balas
jasa dari input tersebut terhadap pemakaian terbaiknya yang tercermin dari biaya
korbanan (opportunity cost). Sukirno (2003), biaya total produksi merupakan
semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktorfaktor produksi dan membeli bahan mentah yang akan digunakan untuk
menciptakan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
Biaya total (total cost/TC) terbagi atas dua komponen yaitu biaya tetap
(fixed cost/FC) dan biaya tidak tetap (variable cost/VC). Menurut Samuelson dan
Nordhaus (2003), biaya total adalah total pengeluaran terendah yang diperlukan
untuk memproduksi setiap tingkat output q, TC meningkat saat q meningkat.
Biaya tetap adalah total pengeluaran yang dibayarkan meskipun tidak ada output
yang diproduksi; biaya tetap tidak terpengaruh oleh berbagai variasi dalam jumlah
output. Biaya tetap terdiri dari biaya listrik, penyusutan, telefon, dan pajak bumi
5
dan bangunan. Biaya variabel adalah pengeluaran yang berubah bersama dengan
tingkat output seperti biaya bahan baku, upah tenaga kerja, bahan bakar, plastik
atau kemasan, biaya tambahan, dan biaya angkutan termasuk semua biaya yang
tidak tetap. Berdasarkan definisi tersebut, biaya total di tulis secara matematis :
TC = TFC + TVC
Analisis Pendapatan
Pendapatan merupakan selisih dari total penerimaan UMK dengan total
pengeluaran UMK. Penerimaan UMK merupakan hasil kali jumlah produksi total
dan harga jual satuan, sedangkan pengeluaran atau biaya UMK adalah semua
pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu UMK yaitu berupa nilai penggunaan
sarana produksi, upah dan lain-lain yang dikeluarkan selama proses produksi.
Biaya total atau pengeluaran tersebut dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya
tetap dan biaya variabel (Soekartawi 2002).
Pengukuran pendapatan selain dengan nilai mutlak dapat dilakukan
dengan mengukur efisiennya. Salah satu cara mengukur efisiensi UMK adalah
dengan membandingkan penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau
Revenue and Cost Ratio (R/C rasio). Analisis R/C ratio ini digunakan untuk
melihat keuntungan relatif suatu cabang usaha dengan cabang usaha lainnya
berdasarkan keuntungan finansial. Dalam analisis R/C rasio dapat diketahui
seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usaha dapat memberikan
sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya dan nilai R/C rasio ini tidak
memiliki satuan (Soeharjo dan Patong, 1973 dalam Rahmi, 2011).
Menurut Damayanti (2011) analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui
seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap rupiah yang
dikeluarkan. Nilai R/C rasio dapat digunakan sebagai tolak ukur efisiensi dari
suatu aktifitas kegiatan usaha sebagai berikut :
1.
R/C rasio > 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
besar dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut efisien.
2.
R/C rasio < 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
kecil dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut tidak efisien.
3.
R/C rasio = 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan sama
dengan satu. Dengan kata lain penerimaan yang diperoleh sama dengan
biaya yang dikeluarkan.
Usaha Mikro dan Kecil
Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2008) kriteria usaha mikro dan
kecil memiliki pengertian yang berbeda menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah dan World Bank. Usaha
mikro menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, diartikan sebagai usaha ekonomi produktif yang dimiliki
6
oleh orang perseorangan ataupun badan usaha perseorangan yang memenuhi
kriteria sebagai usaha mikro. Kriteria usaha mikro tersebut adalah usaha yang
memiliki asset bersih paling banyak sebesar Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan
bangunan yang dijadikan tempat usaha. Selain itu, sebuah usaha bisa dikatakan
sebagai usaha mikro apabila hasil penjualan dari usahanya tersebut tidak lebih dari
Rp 300 juta per tahun.
Menurut World Bank, kriteria usaha mikro dapat dilihat dari tenaga
kerjanya dimana berjumlah kurang dari 10 orang dan tidak lebih. Dari sisi
pendapatannya kurang dari Rp 1,2 milyar dan memiliki asset bersih paling banyak
Rp 1,2 milyar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha kecil adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria sebagai
usaha kecil. Kriteria usaha kecil tercatat memiliki asset bersih lebih dari Rp 50
juta namun kurang dari Rp 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan yang
dijadikan tempat usaha. Sebuah usaha dikatakan sebagai usaha kecil apabila hasil
penjualan dari usahanya lebih dari Rp 300 juta namun tidak lebih dari Rp 2,5
milyar per tahun.
Usaha kecil menurut World Bank adalah usaha yang tenaga kerjanya
maksimal berjumlah 30 orang. Usaha ini memiliki asset bersih paling banyak Rp
3,6 milyar dan pendapatannya tidak lebih dari Rp 36 milyar. Perbedaan kriteria
usaha mikro dan kecil ini dapat dilihat pada Tabel 4. Pada penelitian ini, peneliti
mengacu Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 untuk perbedaan usaha mikro
dan usaha kecil.
Tabel 4. Perbedaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2008 dan World Bank
No
Jenis Usaha
1
Usaha Mikro
2
3
Usaha Kecil
Usaha
Menengah
Menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2008
Assetnya maks. 50 juta/tahun
Omset maks. 300 juta/tahun
Assetnya > 50 juta-500 juta/tahun
Omsetnya > 300 juta-2,5 milyar/tahun
Tenaga kerja < 10 orang/tahun
Pendapatan < Rp 1,2 milyar/tahun
Asset < Rp 1,2 milyar/tahun
Tenaga kerja < 30 orang/tahun
Pendapatan < Rp 36 milyar/tahun
Asset < Rp 36 milyar/tahun
Assetnya > 500 juta-10 milyar/tahun
Omsetnya> 2,5 milyar-50 milyar/tahun
Tenaga kerja maks.300 orang/tahun
Pendapatan < Rp 180 milyar/tahun
Asset < Rp 180 milyar/tahun
Menurut World Bank
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2008.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMK berdasarkan
kuantitas tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1 hingga
5 orang. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja
6 hingga 19 orang (Rahmana, 2009). Di sisi lain, usaha kecil menurut BI memiliki
ciri-ciri nilai asset yang tidak lebih dari Rp 200 juta dan omset per tahun
maksimal Rp 1 milyar.
Sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
UMKM, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berperan dalam menumbuhkan
7
iklim usaha yang dimaksud adalah peningkatan iklim usaha yang kondusif bagi
UMKM, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, serta kemitraan.
Usaha mikro dan kecil bidang pengolahan di Kabupaten Bogor, memiliki
karakteristik yang berbeda. Pada usaha sepatu maju bersama (Nastiti 2012)
karakteristiknya adalah tenaga kerja yang berjumlah 25 orang. Hasil produksinya
dalam satu proses bisa mencapai 100 kodi. Usaha ini juga menjadi supplier untuk
beberapa merek terkenal. Kendala usaha yang dihadapi adalah keterbatasan modal
dan keterbatasan kapasitas produksi tenaga kerja sehingga menyulitkan pelaku
usaha untuk memproduksi sepatu sesuai jumlah permintaan. Pada usaha Lifera
hand bag collection menurut Widiyastuti (2007) karakteristiknya antara lain
tenaga kerja tetap yang berjumlah 25 orang, tenaga kerja yang dimiki merupakan
lulusan SD hingga SLTA, memiliki pembagian kerja yang cukup jelas serta
struktur organisasi.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Kusumawardani (2013) mengenai
perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode Job Order Costing
(Studi Kasus UMKM C.V. TRISTAR Alumunium) melakukan penelitian dengan
menggunakan analisis kuantitatif (harga pokok produksi) dan kualitatif
(membandingkan hasil perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan
metode perusahaan dan metode Job Order Costing). Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan C.V.
TRISTAR untuk 3 produk alumunium standar sudah menggunakan Job Order
Costing tapi masih belum tepat. Kesalahan dilakukan pada perhitungan biaya
bahan baku yang tidak dipisahkan dengan biaya penunjang dan biaya aksesoris,
harga bahan baku yang menggunakan tarif awal pembelian, perhitungan biaya
tenaga kerja langsung yang hanya memakai satu tarif pekerja, dan biaya overhead
belum dibebankan seluruhnya
Irfani (2011) mengenai analisis kelayakan pengembangan usaha ransel
laptop di UMKM Yogi Tas Desa Laladon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.
Metode yang digunakan analisis kriteria investasi dan analisis sensitivitas.
Hasilnya adalah pengembangan usaha Yogi Tas layak dijalankan dengan umur
proyek selama lima tahun pada tingkat discount rate sebesar 6 persen. Analisis
kriteria investasi menghasilkan Net Present Value sebesar Rp 251.207.000,
Internal Rate of Return sebesar 28,46 persen, Net Benefit Cost Ratio sebesar 1,79,
Gross Benefit Cost Ratio sebesar 1,23, Profitability Index sebesar 2,52, dan
Payback Period selama 2 tahun 10 bulan 27 hari.
Penelitian lainnya, Retnangsih (2013) dengan judul analisis biaya dan
profitabilitas usaha roti pada “Ganep Bakery” di Surakarta. Metode yang
digunakan adalah metode full costing. Hasil kesimpulannya adalah struktur biaya
produksi, biaya variabel mencapai 65 persen dari keseluruhan biaya yang
dibutuhkan oleh “Ganep Bakery” setiap bulannya, sedangkan biaya tetap sebesar
35 persen. Dari keseluruhan struktur biaya, biaya bahan baku merupakan biaya
terbesar yaitu mencapai 37 persen kemudian tenaga kerja langsung mencapai 24
persen. Pada total pendapatan secara keseluruhan didominasi dari hasil penjualan
jenis roti basah yaitu sebesar 99 persen sedangkan sisanya berasal dari hasil
penjualan roti kering, yaitu sebesar 1 persen. Ratio profitabilitas usaha sebesar 42
8
persen hal ini menunjukkan bahwa “Ganep Bakery” menghasilkan laba atau
keuntungan usaha cukup tinggi pada tingkat penjualan tertentu.
Putriyana (2008) mengenai analisis biaya dan profitabilitas produksi roti
pada Bella Bakery di Pondok Gede, Bekasi. Metode yang digunakan metode full
costing. Hasil kesimpulannya adalah peningkatan harga pokok roti tawar dan roti
manis berturut-turut disebabkan oleh peningkatan harga bahan baku terutama
tepung terigu. Namun dapat diatasinya dengan meningkatkan harga jual sehingga
marjin yang diperoleh juga meningkat. Bella Bakery memproduksi roti tawar dan
roti manis di atas titik impas. Secara keseluruhan tingkat profitabilitas Bella
Bakery masih tergolong besar.
Wanty (2006) mengenai analisis produksi batik cap dari UKM batik Kota
Pekalongan (studi pada sentra batik Kota Pekalongan-Jawa Tengah). Metode yang
digunakan analisis deskriptif dan model Cobb Douglass. Hasil penelitiannya
adalah (1) faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap produksi batik adalah
faktor tenaga kerja, diikuti obat pewarna, lilin batik, tempat dan kain. (2) faktor
yang berpengaruh paling besar terhadap produksi batik adalah faktor tenaga kerja.
(3) hasil produksi batik cap di Pekalongan mengalami increasing return to scale,
hal ini ditunjukkan dari nilai elastisitas produksi yaitu 1,184 > 1. Dengan
demikian outputnya dapat diperbesar lagi.
Hasil penelitian Korawijayanti (2013) mengenai analisis perhitungan harga
pokok produksi dengan metode Activity-Based Costing System pada UKM
Torakur di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Metode yang digunakan
adalah Activity-Based Costing System. Hasil kesimpulannya adalah metode
Activity Based Costing jika diterapkan pada UKM Torakur memperlihatkan harga
pokok yang berbeda antara torakur dan jenang tomat. Torakur memiliki harga
pokok Rp 8.402,11 dan jenang tomat memiliki harga pokok Rp 9.210,54.
Terdapat selisih perbedaan Rp 808,43 lebih besar pada jenang tomat karena
jenang tomat menggunakan biji wijen dalam salah satu aktivitas produksinya.
Damayanti (2011) mengenai analisis struktur biaya usaha budidaya anggek
di Taman Anggrek Ragunan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan meliputi
analisis terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan, penerimaan yang diperoleh,
pendapatan usaha tani dengan menggunakan rasio penerimaan atas biaya (R/C
rasio) dan perhitungan titik impas (break even point) dengan menggunakan
program aplikasi komputer seperti Microsoft Excel, sedangkan metode kualitatif
digunakan untuk melihat keragaan usaha petani anggrek serta menjelaskan hasil
perhitungan yang akan diuraikan secara deskriptif. Hasil kesimpulannya adalah
berdasarkan struktur biaya anggrek dendrobium dengan meningkatnya skala usaha
maka akan menghasilkan biaya produksi per pot yang lebih efisien. Perbedaan
struktur biaya yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek
disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Semakin kecil biaya bibit
yang dikeluarkan usaha maka biaya produksi per potnya akan semakin efisien
karena lebih dari 50 persen dari total biaya per pot berasal dari biaya bibit.
Hasil penelitian Suripatty (2011) mengenai analisis struktur biaya produksi
dan kontribusi pendapatan komoditi kakao (Theobroma Cacao L) di Desa Latu
menggunakan metode struktur biaya dan analisis kontribusi. Hasil analisis
menunjukkan komponen biaya terbesar dari struktur total biaya produksi adalah
9
biaya tenaga kerja. Kontribusi pendapatan usahatani kakao terhadap total
pendapatan rumah tangga sebesar 15 persen.
Kerangka Pemikiran
Usaha mikro dan kecil di Kabupaten Bogor memiliki tingkat skala usaha
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berdasarkan jumlah modal dan tenaga
kerja yang di gunakan. Hal ini akan berdampak pada tingkat efisiensi yang
berbeda antara skala usaha yang satu dengan yang lainnya. Efisiensi suatu jenis
usaha akan sangat dipengaruhi oleh tingginya tingkat persaingan. Besarnya
efisiensi dapat dihitung dengan menggunakan analisis struktur biaya dan
pendapatan. Semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu
produk, maka akan semakin efisien.
Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha mikro dan kecil
dikelompokkan berdasarkan produk pengolahan yaitu pengolahan makananminuman, pengolahan konveksi, pengolahan bahan dasar kulit, dan pengolahan
dasar logam/kayu/bambu. Analisis struktur biaya digunakan untuk menghitung
semua biaya yang digunakan selama proses produksi, sedangkan analisis
pendapatan digunakan untuk menghitung keuntungan yang diperoleh suatu jenis
usaha. Keuntungan tersebut nantinya akan berdampak pada efisiensi suatu jenis
usaha. Pada Gambar 1 disajikan kerangka pemikiran.
Usaha Mikro dan Kecil di Kabupaten
Bogor
Pengelompokkan usaha mikro dan kecil
berdasarkan sektor pengolahan
Makanan-Minuman
Bahan dasar
logam/kayu/bambu
Bahan dasar kulit
Analisis struktur biaya
Analisis pendapatan
Usaha Mikro dan Kecil
yang efisien
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Konveksi
10
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor yaitu di Kecamatan
Dramaga, Ciampea, dan Cibinong. Ketiga kecamatan ini dipilih karena
merupakan sentra UMK yang ada di Kabupaten Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2013.
Jenis, Sumber, dan Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer mencakup karakteristik pelaku, karakteristik usaha, kendala yang dihadapi
oleh pelaku usaha, biaya yang digunakan dan omset yang diperoleh. Sedangkan
data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer dalam penelitian ini. Data
sekunder mencakup jumlah UMK di Kabupaten Bogor, jumlah tenaga kerja, dan
harga bahan baku.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan dan wawancara
langung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah
disiapkan sebelumnya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi yang
berasal dari berbagai pihak atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik Jawa
Barat, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kementerian Koperasi dan UKM,
Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, jurnal,
dan skripsi.
Metode Penentuan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan metode purposive
sampling, yaitu berdasarkan produk utama dari usaha tersebut. Peneliti memilih
UMK bidang pengolahan karena UMK jenis ini paling banyak ditemui di
Kabupaten Bogor. Sampel yang digunakan sebanyak 55 orang responden pelaku
UMK bidang pengolahan. Sampel ini terdiri dari 19 responden UMK pengolahan
makanan-minuman, 16 UMK pengolahan logam/kayu/bambu, 5 responden UMK
bahan dasar kulit, dan 15 responden UMK konveksi. Dalam penelitian ini, penulis
mengambil sampel UMK pengolahan makanan minuman paling banyak karena
sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor bahwa UMK jenis
makanan minuman paling banyak ditemukan di Kabupaten Bogor. Jumlah
responden pelaku dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah responden pelaku UMK pengolahan
Jenis UMK
Jumlah responden
UMK pengolahan makanan-minuman
19
UMK pengolahan logam/kayu/bambu
16
UMK pengolahan bahan dasar kulit
UMK pengolahan konveksi
5
15
Jumlah
55
11
Metode Pengolahan Data
Analisis Struktur Biaya
Pada penelitian ini, penulis menganalisis struktur biaya UMK bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor. Model yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut (Effendi, 2012):
TC = TFC + TVC
Keterangan:
TC
= Total Cost UMK pengolahan
TFC = Total Fixed Cost UMK pengolahan
TVC = Total Variabel Cost UMK pengolahan
Komponen biaya tetap pada UMK sampel di Kabupaten Bogor yaitu biaya
listrik, biaya telefon, biaya pajak bumi dan bangunan, dan biaya penyusutan.
Biaya listrik digunakan pada UMK yang menggunakan alat untuk melakukan
produksi seperti mesin jahit dan mixer. Biaya telefon digunakan oleh para pelaku
usaha untuk mempermudah dalam hal pemasaran produk. Biaya pajak bumi dan
bangunan (PBB) untuk pelaku yang memiliki lahan usaha. Biaya penyusutan
untuk menunjukkan berapa besar penurunan nilai asset (Soekartawi 1995 dalam
Damayanti 2011).
TFC
= Biaya listrik + Biaya telefon
penyusutan
+ Biaya PBB + Biaya
Biaya penyusutan =
Komponen biaya variabel pada UMK sampel adalah biaya bahan baku,
biaya upah tenaga kerja, biaya tambahan, biaya kemasan, biaya bahan bakar dan
biaya angkutan. Biaya bahan baku digunakan untuk membeli bahan baku dalam
produksi. Biaya tambahan untuk mendapatkan bahan tambahan atau pelengkap
bahan baku. Biaya kemasan adalah biaya yang digunakan dalam mengemas
produk. Biaya bahan bakar adalah biaya yang dikeluarkan untuk transportasi
selama proses produksi. Biaya angkutan adalah biaya untuk angkutan ketika
memasarkan produk. Upah tenaga kerja merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
membayar tenaga kerja.
TVC
= Biaya bahan baku + Biaya upah tenaga kerja + Biaya
tambahan + Biaya kemasan + Biaya bahan bakar + Biaya
angkutan
Analisis Pendapatan
Analisis pendapatan usaha melihat penerimaan yang dapat diperoleh
setelah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan.
12
Perhitungan pendapatan usaha dilakukan dengan persamaan (Djamin, 1984 dalam
Ritonga 2012)
Pd = TR – TC
Keterangan:
Pd
= Pendapatan total
TR
= Total revenue/penerimaan
TC
= Total cost/ biaya
TR = Omset UMK
TC = TFC + TVC
Dengan kaidah keputusan sebagai berikut :
TR > TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor mendapat keuntungan;
TR = TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor dalam titik impas;
TR < TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor merugi.
Selain itu dilakukan pula analisis rasio penerimaan dan biaya. Rasio
penerimaan dan biaya merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima
dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam satu proses produksi. Tujuan
menganalisis nilai R/C rasio untuk melihat efisiensi suatu usaha. Usaha dikatakan
efisien apabila memiliki nilai R/C rasio > 1. Semakin besar nilai R/C rasio maka
usaha tersebut semakin efisien. Rumus yang digunakan dalam perhitungan R/C
rasio adalah sebagai berikut:
R/C rasio atas biaya total = TR / TC
PROFIL UMK PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
Perkembangan UMK di Kabupaten Bogor
UMK di Kabupaten Bogor tersebar di 40 kecamatan pada waktu 4 tahun
terakhir, jumlah UMK terendah dalam kurun waktu tersebut adalah pada tahun
2010 dengan jumah 1.138 UMK. Kecamatan Caringin merupakan kecamatan
dengan jumlah UMK tertinggi di tahun 2010 dengan jumlah mencapai 71 UMK,
sedangkan Kecamatan Rumpin menjadi kecamatan terendah dengan jumlah 3
UMK. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor meningkat pesat di tahun 2013
sebanyak 1.621 UMK. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi dibandingkan
tahun–tahun sebelumnya. Kecamatan di Kabupaten Bogor dengan jumlah UMK
tertinggi adalah Kecamatan Cibinong dengan jumlah 95 UMK, sedangkan
kecamatan dengan jumlah UMK terendah adalah Kecamatan Suka Makmur
dengan jumlah 8 UMK. Kondisi ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
UMK banyak berkembang di Kabupaten Bogor. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah UMK yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah UMK di
Kabupaten Bogor pada tahun 2010 adalah 1.138 unit, jumlah UMK mengalami
peningkatan pada tahun 2011, yakni berjumlah 1.239 unit atau sebesar 8,33 persen
dari tahun 2010. Jumlah UMK berkurang sebesar 6,48 persen di tahun 2012,
ketika jumlah UMK di Kabupaten Bogor berjumlah 1.157 unit, dan puncaknya di
13
tahun 2013 jumlah UMK di Kabupaten Bogor mencapai 1621 unit atau sekitar
39,82 persen dari tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Perkembangan
jumlah UMK di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 2.
Jumlah UMK (unit)
2000
1621
1239
1500
1157
1000
1138
500
0
2010
2011
2012
2013
Tahun
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2013.
Gambar 2. Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor 2010-2013
Perkembangan UMK tidak hanya dapat dilihat dari jumlahnya saja tapi
dapat dilihat dari jenis produk yang dihasilkan UMK di Kabupaten Bogor yang
beraneka ragam, antara lain tas, sepatu, manisan, anyaman, konveksi, olahan
daging kelinci, logam, dan produk lainnya. Setiap kecamatan memiliki produk
yang berbeda dengan kecamatan lainnya atau memiliki ciri khas tersendiri yang
menjadi produk unggulan di tiap kecamatan, contohnya tas (Ciampea, Cariu, dan
Tanjungsari), sirup pala (Dramaga), sepatu (Ciomas dan Tamansari), konveksi
(Cibungbulang), jeans (Sukamakmur), bunga kering (Tenlojaya dan Leuwi
Sadeng), bolu talas (Cibinong), olahan daging kelinci (Cisarua), dan logam
(Citeureup).
Produk Unggulan di Kabupaten Bogor adalah tas, dimana terdapat
beberapa kecamatan yang memproduksi tas dalam skala besar seperti yaitu
Ciampea, Cariu, dan Tanjungsari. Ketiga kecamatan tersebut unggul dalam
persaingan memproduksi tas dibandingkan kecamatan lainnya karena mudahnya
proses dalam memperoleh bahan baku serta lancarnya pemasaran sehingga tas
menjadi produk unggulan di ketiga kecamatan tersebut. Jenis produk unggulan
tiap kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat di Lampiran 2.
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa, selain tas terdapat produk unik
lainnya, yakni bolu talas yang dihasilkan di kecamatan Cibinong. Dengan
menggunakan talas bogor sebagai bahan dasarnya bolu talas yang dihasilkan
menjadi produk ciri khas Kabupaten Bogor yang banyak diminati. Tingginya
respon masyarakat baik dalam Kabupaten Bogor maupun luar Kabupaten Bogor
atas produk bolu talas ini menyumbang cukup besar bagi pemasukan Kabupaten
Bogor.
Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor mempengaruhi
penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2010 tenaga kerja di
bidang UMK mencapai 19.789 orang, jumlah ini meningkat 4,70 persen di tahun
2011 dengan jumlah tenaga kerja mencapai 20.721 orang. Pada tahun 2012 jumlah
tenaga kerja di bidang UMK mencapai 21.172 orang atau mengalami peningkatan
sebesar 2,17 persen (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Dengan adanya peningkatan
dalam penyerapan tenaga kerja disetiap tahunnya maka akan mengurangi jumlah
pengangguran yang ada. Data ini disajikan pada Tabel 6.
14
Tabel 6. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor 20102012
Tahun
Jumlah tenaga kerja UMK
2010
19.789
2011
20.721
2012
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2012.
21.172
Karakteristik Pelaku UMK Bidang Pengolahan
Karakteristik pelaku UMK bidang pengolahan pada penelitian ini dibagi
berdasarkan tiga kriteria yaitu, lama pendidikan, umur pengusaha UMK, dan
pengalaman menjalankan usaha. Lama pendidikan dikelompokkan menjadi empat
kategori yaitu 1 hingga 6 tahun, 7 hingga 9 tahun, 10 hingga 12 tahun, dan lebih
dari 12 tahun. Umur para pengusaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
kelompok umur dibawah 26 tahun, 26 hingga 45 tahun, dan diatas 45
tahun.Pengalaman menjalankan usaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
kurang dari tiga tahun, tiga hingga 10 tahun dan lebih dari 10 tahun.
Pelaku UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor mayoritas memiliki
pendidikan 10-12 tahun, dengan jumlah 29 UMK atau sebesar 53% dari total
keseluruhan. Para pelaku UMK dengan tingkat pendidikan minimal SMA
memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam menerima hal baru, inovasi,
pelatihan dan penyuluhan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
5%
24%
1-6 tahun
53%
18%
7-9 tahun
10-12 tahun
>12 tahun
Gambar 3. Lama pendidikan pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pendapatan karena dengan
pendidikan yang tinggi maka kualitas tenaga kerjanya akan semakin baik,
sehingga produk yang dihasilkan semakin baik, hal ini yang akan menyebabkan
pendapatan yang diterima meningkat. Persentase distribusi responden berdasarkan
tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 7.
15
Tabel 7. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan UMK pengolahan Kabupaten Bogor
Karakteristik
Pendapatan (juta)
0-100 juta
100-500 juta
>500 juta
Total
Tingkat pendidikan (tahun)
1-6 tahun
21,82
1,82
0,00
23,64
7-9 tahun
12,73
5,45
0,00
18,18
10-12 tahun
3,64
32,73
16,36
52,73
>12 tahun
0,00
0,00
5,45
5,45
Total
38,18
40,00
21,82
100,00
Pelaku usaha dengan tingkat pendidikan 1-6 tahun dan 7-9 tahun sebagian
besar berpenghasilan kurang dari Rp 100 juta. Sedangkan pelaku dengan tingkat
pendidikan lebih dari 12 tahun semuanya berpendapatan lebih dari Rp 500 juta.
UMK dengan pendapatan kurang dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku
usahanya memiliki tingkat pendidikan dibawah 10 tahun. Sedangkan UMK
dengan pendapatan lebih dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku usahanya
memiliki tingkat pendidikan lebih dari 10 tahun. Artinya tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi pendapatan yang diterima.
Karakteristik umur pengusaha dapat dikaitkan dengan karateristik
pengalaman menjalankan usaha. Kelompok pelaku UMK yang telah memiliki
pengalaman usaha lebih dari 10 tahun, merupakan yang terbanyak yaitu 56,36
persen, sementara para pelaku usaha paling banyak berusia 26-45 tahun sebesar
65,45 persen. Semua pelaku yang menjalankan usaha kurang dari tiga tahun
berusia di bawah 26 tahun, artinya para pelaku usaha muda ini masih butuh waktu
untuk terus menambah pengalaman dalam menjalankan usahanya. UMK di
Kabupaten Bogor dapat berkembang dengan baik, karena usia pelaku UMK yang
masih produktif (26-45 tahun) dan pengalaman menjalankan usahanya sudah lebih
dari 10 tahun. Sehingga para pelaku dapat meningkatkan produktivitas, kinerja
dan memperluas jaringan untuk mengembangkan usahanya. Tabel 8
memperlihatkan pengalaman menjalankan usaha dan umur pengusaha.
Tabel 8. Persentase distribusi responden berdasarkan umur pengusaha dan
pengalaman menjalankan usaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik
Pengalaman (tahun)
Umur pengusaha (tahun)
45 tahun
10 tahun
0,00
Total
7,27
Total
0,00
7,27
30,91
5,45
36,36
34,55
21,82
56,36
65,45
27,27
100,00
Pada pengambilan sampel 55 UMK di Kabupaten Bogor, sebesar 65,45
persen atau 36 UMK dijalankan oleh pengusaha dengan kelompok umur 26-45
tahun. Mayoritas UMK dijalankan oleh pelaku usaha dengan kelompok umur
produktif (sesuai data dari BPS umur produktif 15-50 tahun). Sehingga usaha
yang dijalankan bisa lebih berkembang atau produktif. Persentase umur
pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.
16
7.27%
27.27%
< 26 tahun
26 - 45 tahun
65.45%
> 45 tahun
Gambar 4. Umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Pelaku UMK pada umumnya menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara saat penelitian yang menunjukkan bahwa
56,36 persen atau 31 pelaku UMK sudah menjalankan usahanya lebih dari 10
tahun. Rentang waktu tersebut berdampak positif pada pelaku usaha karena
pengalaman yang dimiliki oleh para pelaku usaha dapat membuat mereka lebih
meng
USAHA MIKRO DAN KECIL BIDANG INDUSTRI
PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
NABILAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Struktur Biaya
dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Nabilah
NIM H14100072
ABSTRAK
NABILAH. Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil
Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ALLA
ASMARA
Tingginya jumlah UMK menyebabkan persaingan yang semakin besar
diantara UMK yang ada. Persaingan ini mengharuskan para pelaku UMK untuk
semakin meningkatkan efisiensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
profil UMK, menganalisis struktur biaya, dan pendapatan masing-masing UMK
pengolahan di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan yaitu struktur
biaya dan analisis pendapatan. Hasil menunjukkan bahwa UMK di Kabupaten
Bogor mengalami peningkatan dari sisi jumlah UMK dan penyerapan tenaga kerja
tiap tahunnya. Karakteristik UMK Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga yaitu
karakteristik pelaku, karakterisik usaha, dan kendala yang dihadapi. Dari analisis
struktur biaya, bahan baku dan upah tenaga kerja merupakan komponen biaya
terbesar. Pada analisis pendapatan, semua UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
merupakan usaha yang efisien, hal ini dikarenakan besarnya nilai R/C ratio atas
biaya total yang diperoleh lebih dari 1.
Kata kunci: UMK Pengolahan, Analisis Struktur Biaya, Pendapatan, Kabupaten
Bogor
ABSTRACT
NABILAH. Cost Structure Analysis of Small and Micro Enterprises Income on
Manufacturing Industry in Bogor Regency. Supervised by ALLA ASMARA.
High number of SMEs causes an increasing competition among the
existing SMEs. This competition forces the SMEs to enhance its efficiency. This
study aims to analyze the profile of SME, the cost structure, and the income of
each manufacturing SME in Bogor district. The methods of analysis used are cost
structure and income analysis. The results of this study show SMEs in Bogor
district experience an increase in number of SME and employment each year. The
characteristic of SME in Bogor district is devided into three, namely the
characteristic of enterpreneur, the characteristic of the enterprise, and the existing
obstacles. Based on cost structure analysis, the raw material and labor wage are
the biggest component of cost. Based on income analysis, all the manufacturing
SMEs in Bogor district are considered as efficient enterprises due to the high
value of R/C ratio over the total cost obtained which is higher than one.
Keywords: SMEs manufacturing, Cost structure analysis, Income, Bogor Regency
ANALISIS STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN
USAHA MIKRO DAN KECIL BIDANG INDUSTRI
PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
NABILAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Judul skripsi ini adalah Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Mikro dan
Kecil Bidang Industri Pengolahan di Kabupaten Bogor. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis struktur biaya dan
pendapatan UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor. Sumber data yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari Hibah Strategis Nasional dengan Judul
“Strategi Penguatan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam Upaya Pengentasan
Kemiskinan (Studi Kasus: UMK di Kabupaten Bogor).
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Dr. Ir. Sugeng
Budiharsono, Ibu Yulita Budiharsono, serta adik dari penulis yaitu Gina Marisa,
Saif Alhaq, Faiqah Sherena, dan Sammy Elfahri Yusuf, atas segala doa, motivasi,
dan dukungan baik moril maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril
dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, Agr selaku dosen penguji utama dan
Bapak Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi
ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Teman-teman satu bimbingan Yola, Dian, Trisa, dan Adit yang telah menjadi
partner diskusi dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dhimas Setiadi yang senantiasa setia menemani dan memotivasi.
6. Sahabat penulis Achmad Alfian, Hamzah Badegeish, Muhammad Nassa
Ridwansyah, Uais MSJA, Rahayu Aisah P, Hardyani Sasikirana, Penny
Septina, Qinthara, Cynthia Prameswari, Nindya Ulfilianjani, Ajeng Febrina,
Raissa R.R, Dhanty Rais, Aviera, Jazaul Aufa, Debby Oktavira, Masyitho,
Yosep Andrew, Bramastyo, serta teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang selalu
memberikan masukan dan semangat kepada penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nabilah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Biaya
Analisis Pendapatan
Usaha Mikro dan Kecil
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis, Sumber, dan Pengumpulan Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengolahan Data
PROFIL UMK PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
Perkembangan UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Pelaku UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Usaha UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Kendala yang Dihadapi UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Biaya UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Struktur Biaya UMK Pengolahan Makanan Minuman
Struktur Biaya UMK Pengolahan Logam/Kayu/Bambu
Struktur Biaya UMK Pengolahan Bahan Dasar Kulit
Struktur Biaya UMK Pengolahan Konveksi
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan di Kabupaten Bogor
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Makanan Minuman
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Logam/Kayu/Bambu
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Bahan Dasar Kulit
Analisis Pendapatan UMK Pengolahan Konveksi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
4
4
4
4
4
5
5
7
9
10
10
10
10
11
12
12
14
17
22
24
25
25
29
34
36
39
39
39
40
40
41
41
41
43
45
52
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Indonesia tahun 2010-2012
1
Statistik UMK pengolahan Kabupaten Bogor
2
Perubahan harga bahan baku pada tahun 2011-2013
3
Perbedaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2008 dan World Bank
6
5. Jumlah responden pelaku UMK pengolahan
10
6. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor 2010-2012 14
7. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan UMK pengolahan Kabupaten Bogor
15
8. Persentase distribusi responden berdasarkan umur pengusaha dan
pengalaman menjalankan usaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
15
9. Persentase distribusi responden berdasarkan pengalaman menjalankan
usaha dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
15
10. Persentase distribusi responden berdasarkan kepemilikan izin usaha dan
pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
17
11. Persentase distribusi responden berdasarkan kemitraan dan pendapatan
UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
18
12. Persentase distribusi responden berdasarkan program pemerintah
dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
20
13. Persentase distribusi responden berdasarkan jumlah dan sumber tenaga
kerja UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
20
14. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan makanan minuman per tahun
25
15. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan makanan minuman per tahun
26
16. Struktur biaya produksi UMK pengolahan makanan minuman per tahun
27
17. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
30
18. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
31
19. Struktur biaya produksi UMK pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
31
20. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan bahan dasar kulit per tahun
34
21. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan bahan dasar kulit per tahun
35
22. Struktur biaya produksi UMK pengolahan bahan dasar kulit per tahun
35
23. Struktur biaya tetap dan persentase tiap komponen biaya tetap, UMK
pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
37
24. Struktur biaya variabel dan persentase tiap komponen biaya variabel, UMK
pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
37
25. Struktur biaya produksi UMK pengolahan bahan dasar konveksi per tahun 38
26. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman
39
27. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu
40
28. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar kulit
29. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar konveksi
40
41
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran
2. Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor
3. Lama pendidikan pengusaha UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
4. Umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
5. Pengalaman menjalankan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
6. Kepemilikan izin usaha pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
7. Kemitraan pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
8. Bentuk kemitraan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
9. Adanya program pemerintah UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
10. Sumber tenaga kerja pada UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
11. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada UMK pengolahan di
Kabupeten Bogor
12. Alur pemasaran UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
13. Sumber modal awal UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
14. Kendala permodalan UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
15. Kendala produksi UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
16. Kendala pemasaran UMK pengolahan di Kabupeten Bogor
17. Siklus produksi usaha kerupuk kulit
18. Kerupuk kulit usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
19. Siklus produksi usaha kue
20. Kue usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
21. Siklus produksi usaha manisan pala
22. Manisan pala usaha pengolahan makanan minuman Kabupaten Bogor
23. Siklus produksi usaha golok
24. Golok usaha logam Kabupaten Bogor
25. Siklus produksi usaha furniture kayu
26. Furniture kayu usaha kayu Kabupaten Bogor
27. Siklus produksi usaha kandang burung
28. Kandang burung usaha bambu Kabupaten Bogor
29. Siklus produksi usaha tas
30. Tas usaha pengolahan bahan dasar kulit Kabupaten Bogor
31. Siklus produksi usaha jaket
32. Jaket usaha pengolahan bahan dasar konveksi Kabupaten Bogor
9
13
14
16
16
17
18
19
19
21
21
21
22
23
23
24
27
28
28
28
29
29
32
32
32
33
33
34
36
36
38
38
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekapitulasi daftar UMK per kecamatan Kabupaten Bogor tahun 20102013
2. Jenis produk unggulan tiap kecamatan di Kabupaten Bogor
45
46
3. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman per tahun
4. Analisis pendapatan UMK pengolahan makanan minuman tiap produk
per tahun
5. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu per tahun
6. Analisis pendapatan UMK pengolahan logam/kayu/bambu tiap produk
per tahun
7. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar kulit per tahun
8. Analisis pendapatan UMK pengolahan bahan dasar konveksi per tahun
47
48
49
50
50
51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha Mikro dan Kecil (UMK) memiliki peran dan potensi penting dalam
mewujudkan pembangunan ekonomi, yaitu sebagai sumber pendapatan
masyarakat kelompok menengah ke bawah dan juga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan (Tambunan, 2009). Perkembangan jumlah usaha mikro dan kecil yang
pesat sangat berperan dalam membuka lapangan pekerjaan.
Jumlah usaha mikro yang mencapai 55.856.176 unit pada 2012 dapat
menyerap tenaga kerja pada sektor usaha mikro mencapai 99.859.517 atau 95,65
persen dari keseluruhan total angkatan kerja yang mampu diserap UMK. Pada
usaha kecil tahun 2012 dapat menyerap tenaga kerja mencapai 4.535.970 atau
4,34 persen dengan jumlah usaha kecil mencapai 629.418 unit. Dengan demikian
UMK sangat berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja (Kementerian
Koperasi dan UKM, 2013). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Indonesia tahun 2010-2012
Tahun
No
Indikator
2010
Jumlah
2011
%
Jumlah
2012
%
Jumlah
%
1
Usaha Mikro
93.014.753
96,247
94.957.797
96,036
99.859.517
95,655
2
Usaha Kecil
3.627.164
3,753
3.919.992
3,964
4.535.970
4,345
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013 (diolah).
Kabupaten Bogor memiliki jumlah UMK terbesar kedua di Provinsi Jawa
Barat setelah Kabupaten Sukabumi. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor mencapai
1.155 unit atau sekitar 7,71 persen dari total jumlah UMK di Provinsi Jawa Barat.
Jumlah tenaga kerja yang diserap UMK di Kabupaten Bogor merupakan jumlah
yang terbesar di Provinsi Jawa Barat, jumlahnya mencapai 21.172 orang atau 6,25
persen dari total tenaga kerja yang diserap UMK di Provinsi Jawa Barat (BPS
Provinsi Jawa Barat, 2013). Jumlah ini berperan penting dalam upaya mengurangi
jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor.
Usaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Bogor terdiri dari beberapa jenis
usaha, antara lain adalah perdagangan (warung, rumah makan, kelontong, PKL)
dan pengolahan (konveksi, makanan-minuman, pengolahan bahan dasar kulit, dan
pengolahan dasar logam/kayu/bambu). UMK bidang pengolahan merupakan jenis
UMK yang banyak ditemukan di Kabupaten Bogor. Jumlah UMK bidang
perdagangan sebesar 483 unit atau 41,81 persen keseluruhan jumlah UMK
sedangkan UMK pengolahan pada tahun 2012 mencapai 672 unit atau 58,18
persen dari total jumlah UMK (BPS Kabupaten Bogor 2013).
Kemudahan memperoleh bahan baku dan harga bahan baku yang murah
menjadi sebab UMK jenis makanan-minuman merupakan UMK bidang
pengolahan dengan jumlah tertinggi yaitu 282 unit atau 41,93 persen dari total
keseluruhan (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
2
Tabel 2. Statistik UMK pengolahan Kabupaten Bogor 2012
No
1
Kelompok/komoditas
UMK pengolahan makanan-minuman
2
UMK pengolahan logam/kayu/bambu
3
4
Unit
%
282
41,93
208
31,04
UMK pengolahan kulit
87
12,90
UMK pengolahan konveksi
95
14,11
Total
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2013 (diolah).
672
100,00
Tingginya jumlah UMK menyebabkan persaingan yang semakin besar
diantara UMK yang ada, persaingan ini mengaharuskan para pelaku UMK untuk
semakin meningkatkan efisiensi. Efisiensi ini yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pendapatan yang diperoleh. Efisiensi suatu usaha dapat diketahui
dari struktur biaya dan pendapatan. Dengan mengetahui struktur biaya dan
pendapatan maka pelaku usaha dapat melihat biaya yang harus diefisiensikan,
sehingga pada akhirnya akan meperoleh pendapatan yang lebih maksimal. Oleh
karena itu, struktur biaya dan pendapatan perlu diketahui dengan baik.
Perumusan Masalah
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan
uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan
tertentu (Mulyadi, 2002). Besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan
sebuah usaha berbeda dengan usaha lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh skala usaha
yang dijalankan. Mulyadi (2005) mengelompokkan biaya berdasarkan fungsi
pokok perusahaan menjadi tiga kategori yaitu biaya pemasaran, biaya administrasi
dan umum, dan biaya produksi.
Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak berubah ketika jumlah produk yang
dihasilkan berubah. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai
dengan jumlah produk yang dihasilkan (Effendi, 2012). Biaya tetap dan biaya
variabel terdiri dari beberapa komponen biaya.
Komponen–komponen biaya tetap pada UMK bidang pengolahan yaitu
listrik, penyusutan, PBB, dan telefon. Di sisi lain, komponen–komponen biaya
variabelnya yaitu bahan baku, bahan penunjang, upah tenaga kerja, plastik atau
biaya kemasan, biaya angkutan dan biaya bahan bakar. Besarnya komponen biaya
tidaklah sama untuk setiap jenis usaha. Perbedaan besarnya komponen biaya ini
dipengaruhi oleh jenis usaha yang dijalankan.
Penelitian Irfani (2011) menjelaskan bahwa komponen biaya tetap pada
usaha ransel laptop di Kabupaten Bogor terdiri dari gaji pembelian, listrik, telefon,
transportasi, konsumsi dan PBB, sedangkan untuk komponen biaya variabelnya
adalah bahan baku dan upah tenaga kerja. Komponen biaya terbesar yang
dikeluarkan adalah komponen bahan baku sebesar 64,73 persen dari total biaya.
Di sisi lain, pada C.V. Tristar di Madiun, menurut Kusumawardani (2013)
komponen biaya terbesar untuk usaha almari rak piring adalah komponen bahan
baku sebesar 70,15 persen dari keseluruhan biaya. Untuk usaha etalase komponen
3
biaya bahan baku sebesar 77,48 persen dari total biaya menjadi komponen biaya
terbesar.
Komponen biaya terbesar dari UMK bidang pengolahan diatas adalah
komponen biaya bahan baku, namun besar persentasinya berbeda-beda.
Komponen biaya bahan baku menjadi penting karena besarnya sangat
mempengaruhi jumlah biaya produksi. Harga bahan baku pada UMK bidang
pengolahan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perubahan harga bahan baku
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perubahan harga bahan baku pada tahun 2011-2013
Bahan baku
Makanan minuman
Kulit sapi (Rp/buah)
2011
2012
Perubahan
2012-2011
(%)
2013
Perubahan
2013-2012
(%)
27.000
29.000
30.000
7,41
3,45
Pala (Rp/kg)
3.000
4.000
4.000
33,33
0
Gula (Rp/kg)
11.100
12.000
12.300
8,11
2,50
7.500
7.600
7.800
1,33
2,63
12,55
2,14
Tepung (Rp/kg)
Total
Logam/kayu/bambu
Kayu (Rp/m3)
500.000
500.000
520.000
0
4,00
Bambu (Rp/batang)
110.000
115.000
125.000
4,55
8,70
65.000
67.000
67.000
3,08
0
2,54
4,23
2,86
0
2,86
0
0
8,70
0
8,70
Besi (Rp/batang)
Total
Kulit
Kulit sintetis (Rp/rol)
1.750.000
1.800.000
1.800.000
Total
Konveksi
Kain (Rp/cm2)
Total
Sumber: data primer diolah.
23.000
23.000
25.000
Berdasarkan tabel diatas, harga bahan baku untuk semua bidang pada
UMK pengolahan mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Adanya
peningkatan harga bahan baku dalam kurun waktu dua tahun terakhir akan
mengakibatkan perubahan pada struktur biaya UMK. Perubahan struktur biaya ini
pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diterima. Sehingga
perlu adanya pengkajian terhadap struktur biaya UMK agar dapat meningkatkan
pendapatan.
Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana profil UMK pengolahan di Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana struktur biaya masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan?
3. Bagaimana pendapatan masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan?
4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji profil UMK pengolahan di Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis struktur biaya masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis pendapatan masing-masing usaha mikro dan kecil bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini adalah memberikan
informasi kepada penulis, pelaku UMK, dan Dinas Koperasi dan UMK setempat
mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan struktur biaya dan pendapatan
UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang
paling efisien berdasarkan struktur biaya dan pendapatan pada UMK bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor. Responden yang diteliti adalah pelaku UMK
bidang pengolahan seperti pengolahan bahan dasar kulit, konveksi, pengolahan
makanan-minuman, pengolahan logam/kayu/bambu, di daerah Dramaga,
Cibinong, dan Ciampea dengan 55 responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Juli hingga Agustus 2013.
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Biaya
Menurut Sugiarto et al (2005), secara ekonomi biaya produksi merupakan
biaya yang dikeluarkan dalam perolehan input. Biaya input tercermin dari balas
jasa dari input tersebut terhadap pemakaian terbaiknya yang tercermin dari biaya
korbanan (opportunity cost). Sukirno (2003), biaya total produksi merupakan
semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktorfaktor produksi dan membeli bahan mentah yang akan digunakan untuk
menciptakan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
Biaya total (total cost/TC) terbagi atas dua komponen yaitu biaya tetap
(fixed cost/FC) dan biaya tidak tetap (variable cost/VC). Menurut Samuelson dan
Nordhaus (2003), biaya total adalah total pengeluaran terendah yang diperlukan
untuk memproduksi setiap tingkat output q, TC meningkat saat q meningkat.
Biaya tetap adalah total pengeluaran yang dibayarkan meskipun tidak ada output
yang diproduksi; biaya tetap tidak terpengaruh oleh berbagai variasi dalam jumlah
output. Biaya tetap terdiri dari biaya listrik, penyusutan, telefon, dan pajak bumi
5
dan bangunan. Biaya variabel adalah pengeluaran yang berubah bersama dengan
tingkat output seperti biaya bahan baku, upah tenaga kerja, bahan bakar, plastik
atau kemasan, biaya tambahan, dan biaya angkutan termasuk semua biaya yang
tidak tetap. Berdasarkan definisi tersebut, biaya total di tulis secara matematis :
TC = TFC + TVC
Analisis Pendapatan
Pendapatan merupakan selisih dari total penerimaan UMK dengan total
pengeluaran UMK. Penerimaan UMK merupakan hasil kali jumlah produksi total
dan harga jual satuan, sedangkan pengeluaran atau biaya UMK adalah semua
pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu UMK yaitu berupa nilai penggunaan
sarana produksi, upah dan lain-lain yang dikeluarkan selama proses produksi.
Biaya total atau pengeluaran tersebut dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya
tetap dan biaya variabel (Soekartawi 2002).
Pengukuran pendapatan selain dengan nilai mutlak dapat dilakukan
dengan mengukur efisiennya. Salah satu cara mengukur efisiensi UMK adalah
dengan membandingkan penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau
Revenue and Cost Ratio (R/C rasio). Analisis R/C ratio ini digunakan untuk
melihat keuntungan relatif suatu cabang usaha dengan cabang usaha lainnya
berdasarkan keuntungan finansial. Dalam analisis R/C rasio dapat diketahui
seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usaha dapat memberikan
sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya dan nilai R/C rasio ini tidak
memiliki satuan (Soeharjo dan Patong, 1973 dalam Rahmi, 2011).
Menurut Damayanti (2011) analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui
seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap rupiah yang
dikeluarkan. Nilai R/C rasio dapat digunakan sebagai tolak ukur efisiensi dari
suatu aktifitas kegiatan usaha sebagai berikut :
1.
R/C rasio > 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
besar dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut efisien.
2.
R/C rasio < 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
kecil dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut tidak efisien.
3.
R/C rasio = 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan sama
dengan satu. Dengan kata lain penerimaan yang diperoleh sama dengan
biaya yang dikeluarkan.
Usaha Mikro dan Kecil
Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2008) kriteria usaha mikro dan
kecil memiliki pengertian yang berbeda menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah dan World Bank. Usaha
mikro menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, diartikan sebagai usaha ekonomi produktif yang dimiliki
6
oleh orang perseorangan ataupun badan usaha perseorangan yang memenuhi
kriteria sebagai usaha mikro. Kriteria usaha mikro tersebut adalah usaha yang
memiliki asset bersih paling banyak sebesar Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan
bangunan yang dijadikan tempat usaha. Selain itu, sebuah usaha bisa dikatakan
sebagai usaha mikro apabila hasil penjualan dari usahanya tersebut tidak lebih dari
Rp 300 juta per tahun.
Menurut World Bank, kriteria usaha mikro dapat dilihat dari tenaga
kerjanya dimana berjumlah kurang dari 10 orang dan tidak lebih. Dari sisi
pendapatannya kurang dari Rp 1,2 milyar dan memiliki asset bersih paling banyak
Rp 1,2 milyar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha kecil adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria sebagai
usaha kecil. Kriteria usaha kecil tercatat memiliki asset bersih lebih dari Rp 50
juta namun kurang dari Rp 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan yang
dijadikan tempat usaha. Sebuah usaha dikatakan sebagai usaha kecil apabila hasil
penjualan dari usahanya lebih dari Rp 300 juta namun tidak lebih dari Rp 2,5
milyar per tahun.
Usaha kecil menurut World Bank adalah usaha yang tenaga kerjanya
maksimal berjumlah 30 orang. Usaha ini memiliki asset bersih paling banyak Rp
3,6 milyar dan pendapatannya tidak lebih dari Rp 36 milyar. Perbedaan kriteria
usaha mikro dan kecil ini dapat dilihat pada Tabel 4. Pada penelitian ini, peneliti
mengacu Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 untuk perbedaan usaha mikro
dan usaha kecil.
Tabel 4. Perbedaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menurut Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2008 dan World Bank
No
Jenis Usaha
1
Usaha Mikro
2
3
Usaha Kecil
Usaha
Menengah
Menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2008
Assetnya maks. 50 juta/tahun
Omset maks. 300 juta/tahun
Assetnya > 50 juta-500 juta/tahun
Omsetnya > 300 juta-2,5 milyar/tahun
Tenaga kerja < 10 orang/tahun
Pendapatan < Rp 1,2 milyar/tahun
Asset < Rp 1,2 milyar/tahun
Tenaga kerja < 30 orang/tahun
Pendapatan < Rp 36 milyar/tahun
Asset < Rp 36 milyar/tahun
Assetnya > 500 juta-10 milyar/tahun
Omsetnya> 2,5 milyar-50 milyar/tahun
Tenaga kerja maks.300 orang/tahun
Pendapatan < Rp 180 milyar/tahun
Asset < Rp 180 milyar/tahun
Menurut World Bank
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM, 2008.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMK berdasarkan
kuantitas tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1 hingga
5 orang. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja
6 hingga 19 orang (Rahmana, 2009). Di sisi lain, usaha kecil menurut BI memiliki
ciri-ciri nilai asset yang tidak lebih dari Rp 200 juta dan omset per tahun
maksimal Rp 1 milyar.
Sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
UMKM, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berperan dalam menumbuhkan
7
iklim usaha yang dimaksud adalah peningkatan iklim usaha yang kondusif bagi
UMKM, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, serta kemitraan.
Usaha mikro dan kecil bidang pengolahan di Kabupaten Bogor, memiliki
karakteristik yang berbeda. Pada usaha sepatu maju bersama (Nastiti 2012)
karakteristiknya adalah tenaga kerja yang berjumlah 25 orang. Hasil produksinya
dalam satu proses bisa mencapai 100 kodi. Usaha ini juga menjadi supplier untuk
beberapa merek terkenal. Kendala usaha yang dihadapi adalah keterbatasan modal
dan keterbatasan kapasitas produksi tenaga kerja sehingga menyulitkan pelaku
usaha untuk memproduksi sepatu sesuai jumlah permintaan. Pada usaha Lifera
hand bag collection menurut Widiyastuti (2007) karakteristiknya antara lain
tenaga kerja tetap yang berjumlah 25 orang, tenaga kerja yang dimiki merupakan
lulusan SD hingga SLTA, memiliki pembagian kerja yang cukup jelas serta
struktur organisasi.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Kusumawardani (2013) mengenai
perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode Job Order Costing
(Studi Kasus UMKM C.V. TRISTAR Alumunium) melakukan penelitian dengan
menggunakan analisis kuantitatif (harga pokok produksi) dan kualitatif
(membandingkan hasil perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan
metode perusahaan dan metode Job Order Costing). Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan C.V.
TRISTAR untuk 3 produk alumunium standar sudah menggunakan Job Order
Costing tapi masih belum tepat. Kesalahan dilakukan pada perhitungan biaya
bahan baku yang tidak dipisahkan dengan biaya penunjang dan biaya aksesoris,
harga bahan baku yang menggunakan tarif awal pembelian, perhitungan biaya
tenaga kerja langsung yang hanya memakai satu tarif pekerja, dan biaya overhead
belum dibebankan seluruhnya
Irfani (2011) mengenai analisis kelayakan pengembangan usaha ransel
laptop di UMKM Yogi Tas Desa Laladon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.
Metode yang digunakan analisis kriteria investasi dan analisis sensitivitas.
Hasilnya adalah pengembangan usaha Yogi Tas layak dijalankan dengan umur
proyek selama lima tahun pada tingkat discount rate sebesar 6 persen. Analisis
kriteria investasi menghasilkan Net Present Value sebesar Rp 251.207.000,
Internal Rate of Return sebesar 28,46 persen, Net Benefit Cost Ratio sebesar 1,79,
Gross Benefit Cost Ratio sebesar 1,23, Profitability Index sebesar 2,52, dan
Payback Period selama 2 tahun 10 bulan 27 hari.
Penelitian lainnya, Retnangsih (2013) dengan judul analisis biaya dan
profitabilitas usaha roti pada “Ganep Bakery” di Surakarta. Metode yang
digunakan adalah metode full costing. Hasil kesimpulannya adalah struktur biaya
produksi, biaya variabel mencapai 65 persen dari keseluruhan biaya yang
dibutuhkan oleh “Ganep Bakery” setiap bulannya, sedangkan biaya tetap sebesar
35 persen. Dari keseluruhan struktur biaya, biaya bahan baku merupakan biaya
terbesar yaitu mencapai 37 persen kemudian tenaga kerja langsung mencapai 24
persen. Pada total pendapatan secara keseluruhan didominasi dari hasil penjualan
jenis roti basah yaitu sebesar 99 persen sedangkan sisanya berasal dari hasil
penjualan roti kering, yaitu sebesar 1 persen. Ratio profitabilitas usaha sebesar 42
8
persen hal ini menunjukkan bahwa “Ganep Bakery” menghasilkan laba atau
keuntungan usaha cukup tinggi pada tingkat penjualan tertentu.
Putriyana (2008) mengenai analisis biaya dan profitabilitas produksi roti
pada Bella Bakery di Pondok Gede, Bekasi. Metode yang digunakan metode full
costing. Hasil kesimpulannya adalah peningkatan harga pokok roti tawar dan roti
manis berturut-turut disebabkan oleh peningkatan harga bahan baku terutama
tepung terigu. Namun dapat diatasinya dengan meningkatkan harga jual sehingga
marjin yang diperoleh juga meningkat. Bella Bakery memproduksi roti tawar dan
roti manis di atas titik impas. Secara keseluruhan tingkat profitabilitas Bella
Bakery masih tergolong besar.
Wanty (2006) mengenai analisis produksi batik cap dari UKM batik Kota
Pekalongan (studi pada sentra batik Kota Pekalongan-Jawa Tengah). Metode yang
digunakan analisis deskriptif dan model Cobb Douglass. Hasil penelitiannya
adalah (1) faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap produksi batik adalah
faktor tenaga kerja, diikuti obat pewarna, lilin batik, tempat dan kain. (2) faktor
yang berpengaruh paling besar terhadap produksi batik adalah faktor tenaga kerja.
(3) hasil produksi batik cap di Pekalongan mengalami increasing return to scale,
hal ini ditunjukkan dari nilai elastisitas produksi yaitu 1,184 > 1. Dengan
demikian outputnya dapat diperbesar lagi.
Hasil penelitian Korawijayanti (2013) mengenai analisis perhitungan harga
pokok produksi dengan metode Activity-Based Costing System pada UKM
Torakur di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Metode yang digunakan
adalah Activity-Based Costing System. Hasil kesimpulannya adalah metode
Activity Based Costing jika diterapkan pada UKM Torakur memperlihatkan harga
pokok yang berbeda antara torakur dan jenang tomat. Torakur memiliki harga
pokok Rp 8.402,11 dan jenang tomat memiliki harga pokok Rp 9.210,54.
Terdapat selisih perbedaan Rp 808,43 lebih besar pada jenang tomat karena
jenang tomat menggunakan biji wijen dalam salah satu aktivitas produksinya.
Damayanti (2011) mengenai analisis struktur biaya usaha budidaya anggek
di Taman Anggrek Ragunan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan meliputi
analisis terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan, penerimaan yang diperoleh,
pendapatan usaha tani dengan menggunakan rasio penerimaan atas biaya (R/C
rasio) dan perhitungan titik impas (break even point) dengan menggunakan
program aplikasi komputer seperti Microsoft Excel, sedangkan metode kualitatif
digunakan untuk melihat keragaan usaha petani anggrek serta menjelaskan hasil
perhitungan yang akan diuraikan secara deskriptif. Hasil kesimpulannya adalah
berdasarkan struktur biaya anggrek dendrobium dengan meningkatnya skala usaha
maka akan menghasilkan biaya produksi per pot yang lebih efisien. Perbedaan
struktur biaya yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek
disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Semakin kecil biaya bibit
yang dikeluarkan usaha maka biaya produksi per potnya akan semakin efisien
karena lebih dari 50 persen dari total biaya per pot berasal dari biaya bibit.
Hasil penelitian Suripatty (2011) mengenai analisis struktur biaya produksi
dan kontribusi pendapatan komoditi kakao (Theobroma Cacao L) di Desa Latu
menggunakan metode struktur biaya dan analisis kontribusi. Hasil analisis
menunjukkan komponen biaya terbesar dari struktur total biaya produksi adalah
9
biaya tenaga kerja. Kontribusi pendapatan usahatani kakao terhadap total
pendapatan rumah tangga sebesar 15 persen.
Kerangka Pemikiran
Usaha mikro dan kecil di Kabupaten Bogor memiliki tingkat skala usaha
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berdasarkan jumlah modal dan tenaga
kerja yang di gunakan. Hal ini akan berdampak pada tingkat efisiensi yang
berbeda antara skala usaha yang satu dengan yang lainnya. Efisiensi suatu jenis
usaha akan sangat dipengaruhi oleh tingginya tingkat persaingan. Besarnya
efisiensi dapat dihitung dengan menggunakan analisis struktur biaya dan
pendapatan. Semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu
produk, maka akan semakin efisien.
Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha mikro dan kecil
dikelompokkan berdasarkan produk pengolahan yaitu pengolahan makananminuman, pengolahan konveksi, pengolahan bahan dasar kulit, dan pengolahan
dasar logam/kayu/bambu. Analisis struktur biaya digunakan untuk menghitung
semua biaya yang digunakan selama proses produksi, sedangkan analisis
pendapatan digunakan untuk menghitung keuntungan yang diperoleh suatu jenis
usaha. Keuntungan tersebut nantinya akan berdampak pada efisiensi suatu jenis
usaha. Pada Gambar 1 disajikan kerangka pemikiran.
Usaha Mikro dan Kecil di Kabupaten
Bogor
Pengelompokkan usaha mikro dan kecil
berdasarkan sektor pengolahan
Makanan-Minuman
Bahan dasar
logam/kayu/bambu
Bahan dasar kulit
Analisis struktur biaya
Analisis pendapatan
Usaha Mikro dan Kecil
yang efisien
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Konveksi
10
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor yaitu di Kecamatan
Dramaga, Ciampea, dan Cibinong. Ketiga kecamatan ini dipilih karena
merupakan sentra UMK yang ada di Kabupaten Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2013.
Jenis, Sumber, dan Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer mencakup karakteristik pelaku, karakteristik usaha, kendala yang dihadapi
oleh pelaku usaha, biaya yang digunakan dan omset yang diperoleh. Sedangkan
data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer dalam penelitian ini. Data
sekunder mencakup jumlah UMK di Kabupaten Bogor, jumlah tenaga kerja, dan
harga bahan baku.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan dan wawancara
langung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah
disiapkan sebelumnya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi yang
berasal dari berbagai pihak atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik Jawa
Barat, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kementerian Koperasi dan UKM,
Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, jurnal,
dan skripsi.
Metode Penentuan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan metode purposive
sampling, yaitu berdasarkan produk utama dari usaha tersebut. Peneliti memilih
UMK bidang pengolahan karena UMK jenis ini paling banyak ditemui di
Kabupaten Bogor. Sampel yang digunakan sebanyak 55 orang responden pelaku
UMK bidang pengolahan. Sampel ini terdiri dari 19 responden UMK pengolahan
makanan-minuman, 16 UMK pengolahan logam/kayu/bambu, 5 responden UMK
bahan dasar kulit, dan 15 responden UMK konveksi. Dalam penelitian ini, penulis
mengambil sampel UMK pengolahan makanan minuman paling banyak karena
sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor bahwa UMK jenis
makanan minuman paling banyak ditemukan di Kabupaten Bogor. Jumlah
responden pelaku dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah responden pelaku UMK pengolahan
Jenis UMK
Jumlah responden
UMK pengolahan makanan-minuman
19
UMK pengolahan logam/kayu/bambu
16
UMK pengolahan bahan dasar kulit
UMK pengolahan konveksi
5
15
Jumlah
55
11
Metode Pengolahan Data
Analisis Struktur Biaya
Pada penelitian ini, penulis menganalisis struktur biaya UMK bidang
pengolahan di Kabupaten Bogor. Model yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut (Effendi, 2012):
TC = TFC + TVC
Keterangan:
TC
= Total Cost UMK pengolahan
TFC = Total Fixed Cost UMK pengolahan
TVC = Total Variabel Cost UMK pengolahan
Komponen biaya tetap pada UMK sampel di Kabupaten Bogor yaitu biaya
listrik, biaya telefon, biaya pajak bumi dan bangunan, dan biaya penyusutan.
Biaya listrik digunakan pada UMK yang menggunakan alat untuk melakukan
produksi seperti mesin jahit dan mixer. Biaya telefon digunakan oleh para pelaku
usaha untuk mempermudah dalam hal pemasaran produk. Biaya pajak bumi dan
bangunan (PBB) untuk pelaku yang memiliki lahan usaha. Biaya penyusutan
untuk menunjukkan berapa besar penurunan nilai asset (Soekartawi 1995 dalam
Damayanti 2011).
TFC
= Biaya listrik + Biaya telefon
penyusutan
+ Biaya PBB + Biaya
Biaya penyusutan =
Komponen biaya variabel pada UMK sampel adalah biaya bahan baku,
biaya upah tenaga kerja, biaya tambahan, biaya kemasan, biaya bahan bakar dan
biaya angkutan. Biaya bahan baku digunakan untuk membeli bahan baku dalam
produksi. Biaya tambahan untuk mendapatkan bahan tambahan atau pelengkap
bahan baku. Biaya kemasan adalah biaya yang digunakan dalam mengemas
produk. Biaya bahan bakar adalah biaya yang dikeluarkan untuk transportasi
selama proses produksi. Biaya angkutan adalah biaya untuk angkutan ketika
memasarkan produk. Upah tenaga kerja merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
membayar tenaga kerja.
TVC
= Biaya bahan baku + Biaya upah tenaga kerja + Biaya
tambahan + Biaya kemasan + Biaya bahan bakar + Biaya
angkutan
Analisis Pendapatan
Analisis pendapatan usaha melihat penerimaan yang dapat diperoleh
setelah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan.
12
Perhitungan pendapatan usaha dilakukan dengan persamaan (Djamin, 1984 dalam
Ritonga 2012)
Pd = TR – TC
Keterangan:
Pd
= Pendapatan total
TR
= Total revenue/penerimaan
TC
= Total cost/ biaya
TR = Omset UMK
TC = TFC + TVC
Dengan kaidah keputusan sebagai berikut :
TR > TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor mendapat keuntungan;
TR = TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor dalam titik impas;
TR < TC, UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor merugi.
Selain itu dilakukan pula analisis rasio penerimaan dan biaya. Rasio
penerimaan dan biaya merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima
dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam satu proses produksi. Tujuan
menganalisis nilai R/C rasio untuk melihat efisiensi suatu usaha. Usaha dikatakan
efisien apabila memiliki nilai R/C rasio > 1. Semakin besar nilai R/C rasio maka
usaha tersebut semakin efisien. Rumus yang digunakan dalam perhitungan R/C
rasio adalah sebagai berikut:
R/C rasio atas biaya total = TR / TC
PROFIL UMK PENGOLAHAN DI KABUPATEN BOGOR
Perkembangan UMK di Kabupaten Bogor
UMK di Kabupaten Bogor tersebar di 40 kecamatan pada waktu 4 tahun
terakhir, jumlah UMK terendah dalam kurun waktu tersebut adalah pada tahun
2010 dengan jumah 1.138 UMK. Kecamatan Caringin merupakan kecamatan
dengan jumlah UMK tertinggi di tahun 2010 dengan jumlah mencapai 71 UMK,
sedangkan Kecamatan Rumpin menjadi kecamatan terendah dengan jumlah 3
UMK. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor meningkat pesat di tahun 2013
sebanyak 1.621 UMK. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi dibandingkan
tahun–tahun sebelumnya. Kecamatan di Kabupaten Bogor dengan jumlah UMK
tertinggi adalah Kecamatan Cibinong dengan jumlah 95 UMK, sedangkan
kecamatan dengan jumlah UMK terendah adalah Kecamatan Suka Makmur
dengan jumlah 8 UMK. Kondisi ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
UMK banyak berkembang di Kabupaten Bogor. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah UMK yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah UMK di
Kabupaten Bogor pada tahun 2010 adalah 1.138 unit, jumlah UMK mengalami
peningkatan pada tahun 2011, yakni berjumlah 1.239 unit atau sebesar 8,33 persen
dari tahun 2010. Jumlah UMK berkurang sebesar 6,48 persen di tahun 2012,
ketika jumlah UMK di Kabupaten Bogor berjumlah 1.157 unit, dan puncaknya di
13
tahun 2013 jumlah UMK di Kabupaten Bogor mencapai 1621 unit atau sekitar
39,82 persen dari tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Perkembangan
jumlah UMK di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 2.
Jumlah UMK (unit)
2000
1621
1239
1500
1157
1000
1138
500
0
2010
2011
2012
2013
Tahun
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2013.
Gambar 2. Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor 2010-2013
Perkembangan UMK tidak hanya dapat dilihat dari jumlahnya saja tapi
dapat dilihat dari jenis produk yang dihasilkan UMK di Kabupaten Bogor yang
beraneka ragam, antara lain tas, sepatu, manisan, anyaman, konveksi, olahan
daging kelinci, logam, dan produk lainnya. Setiap kecamatan memiliki produk
yang berbeda dengan kecamatan lainnya atau memiliki ciri khas tersendiri yang
menjadi produk unggulan di tiap kecamatan, contohnya tas (Ciampea, Cariu, dan
Tanjungsari), sirup pala (Dramaga), sepatu (Ciomas dan Tamansari), konveksi
(Cibungbulang), jeans (Sukamakmur), bunga kering (Tenlojaya dan Leuwi
Sadeng), bolu talas (Cibinong), olahan daging kelinci (Cisarua), dan logam
(Citeureup).
Produk Unggulan di Kabupaten Bogor adalah tas, dimana terdapat
beberapa kecamatan yang memproduksi tas dalam skala besar seperti yaitu
Ciampea, Cariu, dan Tanjungsari. Ketiga kecamatan tersebut unggul dalam
persaingan memproduksi tas dibandingkan kecamatan lainnya karena mudahnya
proses dalam memperoleh bahan baku serta lancarnya pemasaran sehingga tas
menjadi produk unggulan di ketiga kecamatan tersebut. Jenis produk unggulan
tiap kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat di Lampiran 2.
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa, selain tas terdapat produk unik
lainnya, yakni bolu talas yang dihasilkan di kecamatan Cibinong. Dengan
menggunakan talas bogor sebagai bahan dasarnya bolu talas yang dihasilkan
menjadi produk ciri khas Kabupaten Bogor yang banyak diminati. Tingginya
respon masyarakat baik dalam Kabupaten Bogor maupun luar Kabupaten Bogor
atas produk bolu talas ini menyumbang cukup besar bagi pemasukan Kabupaten
Bogor.
Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor mempengaruhi
penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2010 tenaga kerja di
bidang UMK mencapai 19.789 orang, jumlah ini meningkat 4,70 persen di tahun
2011 dengan jumlah tenaga kerja mencapai 20.721 orang. Pada tahun 2012 jumlah
tenaga kerja di bidang UMK mencapai 21.172 orang atau mengalami peningkatan
sebesar 2,17 persen (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Dengan adanya peningkatan
dalam penyerapan tenaga kerja disetiap tahunnya maka akan mengurangi jumlah
pengangguran yang ada. Data ini disajikan pada Tabel 6.
14
Tabel 6. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor 20102012
Tahun
Jumlah tenaga kerja UMK
2010
19.789
2011
20.721
2012
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2012.
21.172
Karakteristik Pelaku UMK Bidang Pengolahan
Karakteristik pelaku UMK bidang pengolahan pada penelitian ini dibagi
berdasarkan tiga kriteria yaitu, lama pendidikan, umur pengusaha UMK, dan
pengalaman menjalankan usaha. Lama pendidikan dikelompokkan menjadi empat
kategori yaitu 1 hingga 6 tahun, 7 hingga 9 tahun, 10 hingga 12 tahun, dan lebih
dari 12 tahun. Umur para pengusaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
kelompok umur dibawah 26 tahun, 26 hingga 45 tahun, dan diatas 45
tahun.Pengalaman menjalankan usaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
kurang dari tiga tahun, tiga hingga 10 tahun dan lebih dari 10 tahun.
Pelaku UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor mayoritas memiliki
pendidikan 10-12 tahun, dengan jumlah 29 UMK atau sebesar 53% dari total
keseluruhan. Para pelaku UMK dengan tingkat pendidikan minimal SMA
memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam menerima hal baru, inovasi,
pelatihan dan penyuluhan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
5%
24%
1-6 tahun
53%
18%
7-9 tahun
10-12 tahun
>12 tahun
Gambar 3. Lama pendidikan pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pendapatan karena dengan
pendidikan yang tinggi maka kualitas tenaga kerjanya akan semakin baik,
sehingga produk yang dihasilkan semakin baik, hal ini yang akan menyebabkan
pendapatan yang diterima meningkat. Persentase distribusi responden berdasarkan
tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 7.
15
Tabel 7. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan UMK pengolahan Kabupaten Bogor
Karakteristik
Pendapatan (juta)
0-100 juta
100-500 juta
>500 juta
Total
Tingkat pendidikan (tahun)
1-6 tahun
21,82
1,82
0,00
23,64
7-9 tahun
12,73
5,45
0,00
18,18
10-12 tahun
3,64
32,73
16,36
52,73
>12 tahun
0,00
0,00
5,45
5,45
Total
38,18
40,00
21,82
100,00
Pelaku usaha dengan tingkat pendidikan 1-6 tahun dan 7-9 tahun sebagian
besar berpenghasilan kurang dari Rp 100 juta. Sedangkan pelaku dengan tingkat
pendidikan lebih dari 12 tahun semuanya berpendapatan lebih dari Rp 500 juta.
UMK dengan pendapatan kurang dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku
usahanya memiliki tingkat pendidikan dibawah 10 tahun. Sedangkan UMK
dengan pendapatan lebih dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku usahanya
memiliki tingkat pendidikan lebih dari 10 tahun. Artinya tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi pendapatan yang diterima.
Karakteristik umur pengusaha dapat dikaitkan dengan karateristik
pengalaman menjalankan usaha. Kelompok pelaku UMK yang telah memiliki
pengalaman usaha lebih dari 10 tahun, merupakan yang terbanyak yaitu 56,36
persen, sementara para pelaku usaha paling banyak berusia 26-45 tahun sebesar
65,45 persen. Semua pelaku yang menjalankan usaha kurang dari tiga tahun
berusia di bawah 26 tahun, artinya para pelaku usaha muda ini masih butuh waktu
untuk terus menambah pengalaman dalam menjalankan usahanya. UMK di
Kabupaten Bogor dapat berkembang dengan baik, karena usia pelaku UMK yang
masih produktif (26-45 tahun) dan pengalaman menjalankan usahanya sudah lebih
dari 10 tahun. Sehingga para pelaku dapat meningkatkan produktivitas, kinerja
dan memperluas jaringan untuk mengembangkan usahanya. Tabel 8
memperlihatkan pengalaman menjalankan usaha dan umur pengusaha.
Tabel 8. Persentase distribusi responden berdasarkan umur pengusaha dan
pengalaman menjalankan usaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Karakteristik
Pengalaman (tahun)
Umur pengusaha (tahun)
45 tahun
10 tahun
0,00
Total
7,27
Total
0,00
7,27
30,91
5,45
36,36
34,55
21,82
56,36
65,45
27,27
100,00
Pada pengambilan sampel 55 UMK di Kabupaten Bogor, sebesar 65,45
persen atau 36 UMK dijalankan oleh pengusaha dengan kelompok umur 26-45
tahun. Mayoritas UMK dijalankan oleh pelaku usaha dengan kelompok umur
produktif (sesuai data dari BPS umur produktif 15-50 tahun). Sehingga usaha
yang dijalankan bisa lebih berkembang atau produktif. Persentase umur
pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.
16
7.27%
27.27%
< 26 tahun
26 - 45 tahun
65.45%
> 45 tahun
Gambar 4. Umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor
Pelaku UMK pada umumnya menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara saat penelitian yang menunjukkan bahwa
56,36 persen atau 31 pelaku UMK sudah menjalankan usahanya lebih dari 10
tahun. Rentang waktu tersebut berdampak positif pada pelaku usaha karena
pengalaman yang dimiliki oleh para pelaku usaha dapat membuat mereka lebih
meng