Pengembangan Platform Diagnostik Penyakit Myeloproliferative Neoplasms (Mpn) Dengan Pendekatan Multi Biomarker Genotyping

PENGEMBANGAN PLATFORM DIAGNOSTIK
MOLEKULER PENYAKIT MYELOPROLIFERATIVE
NEOPLASMS (MPN) DENGAN PENDEKATAN MULTI
BIOMARKER GENOTYPING

UMMU HABIBAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Pengembangan
Platform Diagnostik Molekuler Penyakit Myeloproliferative Neoplasms (MPN)
dengan Pendekatan Multi Biomarker Genotyping” adalah karya saya bersama
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Ummu Habibah
NRP P051130171

iv

RINGKASAN
UMMU HABIBAH. Pengembangan Platform Diagnostik Penyakit
Myeloproliferative Neoplasms (MPN) dengan pendekatan Multi Biomarker
Genotyping. Dibimbing oleh SUHARSONO dan AHMAD RUSDAN
HANDOYO UTOMO.
Penyakit Myeloproliferative Neoplasms (MPN) terdiri atas beberapa
kelainan darah, diantaranya Chronic Myeloid Leukemia (CML), Polyctyhemia
Vera (PV), Essential Thrombocythemia (ET) dan Primary Myelofibrosis (PMF).
Kelainan fungsi darah tersebut disebabkan oleh adanya translokasi gen BCRABL1 dan mutasi JAK2 V617F. Kelainan genetik tersebut mengakibatkan aktivasi
terus-menerus enzim tirosin kinase. Metode deteksi RT-PCR based Reverse Dot

Blot Hybridization menyediakan metode yang efektif dalam biaya, waktu dan
resiko kerja. PCR konvensional dan direct DNA sequencing digunakan sebagai
pembanding terhadap metode RDB.
Hasil uji sensitivitas metode RDB pada 19 sampel BCR-ABL1 yang telah
diketahui kuantitasnya melalui PCR kuantitatif membuktikan bahwa RDB mampu
memberikan sinyal yang kuat pada BCR-ABL1 dengan kuantitas BCR-ABL1 10%.
Pengujian kepada kelompok BCR-ABL1 sebanyak 41 sampel memperoleh hasil
yang sama antara metode RDB dan metode deteksi standar. Analisis terhadap
JAK2 dengan 29 sampel menunjukkan 97% kesamaan data antara metode RDB
dengan metode standar DNA sequencing. Sedangkan pengujian terhadap sampel
BCR-ABL1+JAK2 yang berjumlah 8 sampel memperoleh hasil yang sama persis
antara metode RDB dengan metode standar RT-PCR elektroforesis gel (BCRABL1) dan DNA sequencing (JAK2).
Kata kunci: myeloproliferative neoplasma, reverse dot blot, BCR-ABL1, JAK2

SUMMARY
UMMU HABIBAH. The Development of Molecular Diagnostic Platform of
Myeloproliferative Neoplasms (MPN) with Multi Biomarker Genotyping.
Supervised by SUHARSONO and AHMAD RUSDAN HANDOYO UTOMO.
Myeloproliferative neoplasms consist of various blood disorder, such as:
chronic myeloid leukemia (CML), polycythemia vera (PV), essential

thrombocythemia (ET) and primary myelofibrosis (PMF). Those kind of MPN are
caused by BCR-ABL1 translocation and JAK2 V617F mutation. BCR-ABL1
translocation and JAK2 V617F mutation lead to consitutive activation of tyrosine
kinase. RT-PCR based Reverse Dot Blot Hybridization method provided a costeffective, less time consume and lower risk detection method. In this research
RDB method was compared to common qualitative and quantitative PCR and
direct DNA sequencing. Sensitivity test of RDB method with known quantity of
nineteen BCR-ABL1 samples through standard quantitative PCR method proved
that RDB could detect significant signal of BCR-ABL1 copies above 10%.
Fourty-one samples for BCR-ABL1 were proved to be 100% similarity
between RDB and standard method. Similarity between RDB method and DNA
direct sequencing for JAK2 V617F mutation were 28 of 29 samples, which one of
29 samples found to be Mutan with RDB method meanwhile resulted wild type
with direct DNA sequencing. The analysis of eight samples for BCR-ABL1/JAK2
found highly similarity results between RDB method and standard PCR (BCRABL1) and direct DNA sequencing (JAK2).
Keywords: myeloproliferative neoplasms, reverse dot blot, BCR-ABL1, JAK2

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusuna laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN PLATFORM DIAGNOSTIK
MOLEKUKER PENYAKIT MYELOPROLIFERATIVE
NEOPLASMS (MPN) DENGAN PENDEKATAN MULTI
BIOMARKER GENOTYPING

UMMU HABIBAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.

Judul Penelitian
Nama
NRP

: Pengembangan Platform Diagnostik Molekuler Penyakit
...Myeloproliferative
Neoplasms
(MPN)
dengan
...Pendekatan Multi Biomarker Genotyping

..: Ummu Habibah
..: P051130171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Ketua

Ahmad R. H. Utomo, Ph.D
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Progam Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA


Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 1 Februari 2016

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA
Puji berlimpah syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkah rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini
dengan judul “Pengembangan Platform Diagnostik Molekuler Penyakit
Myeloproliferative Neoplasms (MPN) dengan Pendekatan Multi Biomarker
Genotyping”. Disertai dengan penulisan jurnal ilmiah dengan judul “Screening of
BCR-ABL1 transcript variants and JAK2 V617F in suspected Myeloproliferative
Neoplasms (MPN) patients using RT-PCR Reverse Dot-Blot Hybridization
(RDB) Method”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan

Bapak Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, Ph. D sebagai anggota komisi
pembimbing.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa
pendidikan, hingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan pada program
Pascasarjana Bioteknologi IPB.
3. Keluarga besar laboratorium SCI dan Kalbe Genomic, PT Kalbe Farma, Tbk.
Yang telah memberikan banyak bantuan demi kelancaran penelitian dan
penyelesaian tesis ini.
4. Kedua orang tua dan adik atas doa dan perhatian tidak terbatas kepada penulis.
5. Keluarga besar Bioteknologi IPB angkatan 2013 dengan kebersamaan dan
motivasi ketika sama-sama menyelesaikan studi.
6. Segenap karyawan serta staf administrasi Program Studi Bioteknologi, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Serta semua pihak yang terlibat dalam dukungan, motivasi dan inspirasi bagi
penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Ummu Habibah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 4
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 4
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 11
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 11
Bahan Penelitian ................................................................................................ 11
Prosedur Kerja ................................................................................................... 11
Immobilisasi Pelacak ..................................................................................... 11
Sintesis cDNA................................................................................................ 12
Amplifikasi cDNA ......................................................................................... 12
Hibridisasi Reverse Dot Blot (RDB) ............................................................. 13
Pengurutan DNA............................................................................................ 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 14

Metode Reverse Dot Blot .................................................................................. 14
Uji sensitifitas BCR-ABL1 ................................................................................. 15
Kelompok sampel BCR-ABL1 ........................................................................... 16
Kelompok sampel JAK2 .................................................................................... 18
Kelompok Sampel BCR-ABL1+JAK2 ............................................................... 21
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 23
KESIMPULAN ................................................................................................. 23
SARAN ............................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 28

xii

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan klinis pasien ET ........................................................................ 8
Tabel 2 Pelacak Oligonukleotida ........................................................................... 11
Tabel 3 Primer dan pelacak yang digunakan dalam penelitian ini ........................ 12
Tabel 4 Hasil deteksi sampel JAK2 dengan metode RDB dan metode direct DNA
.sequencing ................................................................................................ 19
Tabel 5 Hasil deteksi sampel ganda BCR-ABL1+JAK2 dengan metode RDB dan

.metode standar .......................................................................................... 22

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema prosedur standar deteksi penyakit MPN ..................................... 3
Gambar 2 Varian transkrip tipe translokasi gen BCR-ABL1 (Burmeister dan
Reindhart, 2007)...................................................................................... 6
Gambar 3 Skema jalur signaling BCR-ABL1 (Faderl et al., 1999).......................... 7
Gambar 4 Contoh skema deteksi penyakit MPN (Tefferi, 2010) ............................ 9
Gambar 5 Skema oligonukleotida (pelacak) pada membran nilon........................ 10
Gambar 6 Hasil hibridisasi RDB dengan kuantitas BCR-ABL1 yang berbeda...... 15
Gambar 7 Validasi metode RDB pada sampel BCR-ABL1 ................................... 17
Gambar 8 Gambar gel elektroforesis hasil amplifikasi JAK2 ............................... 19
Gambar 9 Hasil RDB JAK2 dan perbandingannya dengan direct DNA sequencing
............................................................................................................... 20
Gambar 10 Gambar membran hasil RDB dengan deteksi BCR-ABL1+JAK2
sekaligus ................................................................................................ 22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Myeloproliferative Neoplasms atau Myeloproliferative Neoplasias (MPNs)
merupakan suatu kelainan stem sel hematopoietik yang berkaitan dengan
proliferasi satu atau lebih sel myeloid di sumsum tulang belakang dan
meningkatkan jumlah sel dewasa pada sistem darah tepi (Jones et al. 2009).
MPNs dikarakterisasi dengan produksi berlebihan sel darah dewasa dan
fungsional dalam jangka waktu yang lama (Ma et al. 2009). Myeloproliferative
Neoplasma (MPNs) dibagi menjadi delapan kelompok terpisah; chronic
myelogeneous leukemia (CML), polycythemia vera (PV), essential
thrombocythemia (ET), primary myelofibrosis (PMF), systemic mastocytosis,
chronic eosinophilic leukemia, chronic neutrophilic leukemia dan MPN yang
tidak diklasifikasi (Tefferi dan Vardiman 2008).
Chronic Myeloid Leukemia merupakan penyakit neoplasma berbahaya
pada stem sel hematopoietik yang dikarakterisasi oleh pergantian difusi pada
sumsum tulang belakang dan/atau darah tepi oleh sel neoplasma (Prasad et al.
2013). Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah kelainan neoplasma manusia
pertama yang diketahui disebabkan oleh aberasi genetik, yaitu oleh kromosom
philadelphia (Philadelphia (Ph) Chromosome). Kromosom Ph terbentuk melalui
translokasi resiprokal antara gen ABL1 (Abelson 1) dari kromosom 9 dan gen
BCR (Breakpoint Cluster Region) dari kromosom 22 yang meningkatkan aktivasi
konstitutif tirosin kinase (Järås et al. 2010).
Tipe translokasi BCR-ABL1 terbagi menjadi 4 kelompok utama; Mayor
(M-bcr), minor (m-bcr), mikro (μ-bcr) dan nano (n-bcr) (Burmeister dan
Reindhart 2007). Fusi major (M-bcr) gen BCR-ABL1 menghasilkan transkrip
dengan ukuran 210 kDa dari basa dengan panjang 8,5 kb yang akan mengaktifkan
tirosin kinase secara konstitutif dan tidak menghambat diferensiasi tapi
meningkatkan proliferasi dan viabilitas sel myeloid dan mengarah kepada
perkembangan CML (Iqbal et al. 2011). Produk protein yang dihasilkan oleh gen
yang mengalami translokasi relatif lebih tinggi dari protein normal abl tanpa
translokasi (Eren 2000). Tirosin kinase terletak di sitoplasma pada membran
plasma yang berinteraksi dengan aktin sitoskeletal (Constance et al. 2012).
Protein abl normal berpindah antara sitoplasma dan nukleus pada sel yang
berproliferasi (Preyer et al. 2011).
Pada penelitian ini 4 tipe translokasi BCR-ABL1 yang diteliti, adalah
e13a2, e14a2, e1a2 dan e19a2. Tipe translokasi tersebut dipilih berdasarkan
mayoritas tipe translokasi yang ditemukan di Indonesia berdasarkan data Kalbe
Genomics Laboratory tahun 2013-2014. Tipe translokasi tersebut juga merupakan
frekuensi dominan pada beberapa penelitian lainnya (Goh et al. 2006, Paz-y-Miño
et al. 2013, Deb et al. 2014). Tipe e13a2 dan e14a2 merupakan tipe dengan
prevalensi paling tinggi pada penderita CML. Selain e13a2 dan e14a2 tersebut
tipe e1a2 dan e19a2 merupakan tipe yang banyak dimiliki oleh penderita
dibanding tipe translokasi BCR-ABL1 lainnya.
BCR-ABL1 meng-aktivasi sejumlah besar pola sinyal yang mengarahkan
ke proliferasi tidak terkontrol, menghambat apoptosis dan menghalangi
diferensiasi myeloid. Salah satu jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk
menyembuhkan CML adalah dengan imatinib. Imatinib bekerja sebagai inhibitor

2

bagi tirosin kinase yang mengarah ke sitogenetis yang bisa bertahan lama dan
remisi molekuler pada sebagian besar pasien CML yang berada pada tahap awal
(Grebien et al. 2011).
Penyakit lainnya yang termasuk dalam MPNs, yaitu: Polycythemia Vera
(PV), Primary Myelofibrosis (PMV) dan Essential Trombocythemia (ET)
disebabkan oleh mutasi pada gen Janus Kinase 2 (JAK2) yaitu mutasi V617F
(D’Angelo et al. 2014). Polycythemia Vera merupakan kelainan klonal neoplasma
stem sel sumsum tulang belakang yang menyebabkan proliferasi berlebihan pada
eritroid, myeloid dan pembelahan megakaryosit dan membawa resiko komplikasi
trombosit. Sedangkan Essential Thrombocythemia dikarakterisasi dengan
trombosit yang bertahan di sistem darah (menjadi sekunder dari penyakit lain).
Primary Myelofibrosis merupakan kelainan myeloproliferativ yang dikarakterisasi
dengan fibrosis sumsum tulang belakang, splenomegaly, hematopoiesis
ekstrameduler dan leucoerythroblastic sistem darah tepi (Provan et al. 2004).
Mutasi gen JAK2 terjadi pada asam amino ke 617 dengan substitusi basa G
menjadi basa T. Substitusi tersebut berakibat terhadap perubahan asam amino
valin mejadi fenilalanin (Hammond et al. 2007). Kedua asam amino tersebut
merupakan asam amino non polar hidrofobik (Steensma 2006). Awal tahun 2005
ditemukan banyak pasien MPN yang disebabkan oleh mutasi gen JAK2 V617F
(McLornan et al. 2006).
Optimasi deteksi dan monitoring telah dikembangkan dengan berbagai
metode, diantaranya: metode Real Time PCR (Eder et al. 1999). Metode lainnya
yang sering digunakan adalah quantitative reverse transcription PCR (RQ-PCR)
(Jones et al. 2009). Stock et al. (2006) juga menggunakan quantitative real time
PCR (RT-PCR) untuk monitoring pasien CML. Beberapa metode tersebut masih
memiliki kekurangan seperti konsumsi waktu, tidak bisa membedakan tipe
translokasi dengan perbedaan ukuran basa 10 pb, dan biaya yang relatif mahal
(Stock et al. 2006). Metode lainnya yang bisa digunakan untuk deteksi MPN
seperti Fluoresence In Situ Hybridization memiliki kekurangan karena memiliki
rata-rata false positif mencapai 10% dan tidak berfungsi ketika sel yang membawa
kromosom Ph kurang dari 10% (Faderl et al. 1999). Prosedur standar yang
digunakan dalam deteksi molekuler penyakit MPN mempunyai alur seperti yang
terlihat pada Gambar 1. Secara garis besar, pasien MPN dikelompokkan menjadi
pasien positif Ph dan negatif Ph.
Alternatif lain yang bisa digunakan sebagai metode deteksi adalah dengan
Reverse Dot Blot (RDB). Metode RDB merupakan metode deteksi untuk
beberapa aberasi genetik secara bersamaan dalam satu kali proses dan spesifik,
konsumsi waktu yang lebih sedikit, biaya yang lebih murah dan hasil yang akurat.
Metode RDB merupakan metode yang telah digunakan dalam mendeteksi
beberapa penyakit lain, seperti cystic fibrosis (Dooki et al. 2010) dan β-thalasemia
(Lin et al. 2012). Metode RDB digunakan karena lebih murah dalam deteksi
mutasi dibanding RT PCR atau sequencing. Metode RDB juga metode dengan
resiko kerja lebih rendah karena dalam keadaan yang sudah dioptimasi proses
elektroforesis tidak perlu dilakukan, karena tanpa elektroforesis zat berbahaya
seperti Ethidium bromida tidak digunakan.
Reverse Dot Blot (RDB) merupakan metode hibridisasi yang digunakan
dalam deteksi mutasi pada manusia (Lappin et al. 2001). Menurut Lappin et al.

3

(2001) metode RDB sering digunakan dalam diagnosa genotip dengan spektrum
mutasi tinggi, medium atau kelainan dengan frekuensi tinggi.
Hibridisasi RDB menerapkan prinsip formasi ikatan amida antara gugus
karboksil yang ada pada membran dan amino-linker di ujung 5’ oligonukleotida
(Zhang et al. 1991). Pada prosedur RDB, ekson (atau daerah yang diinginkan
lainnya) diamplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan
primer oligonukelotida yang dilabel dengan biotin. Amplikon kemudian
didenaturasi dan dihibridisasi dengan pelacak DNA spesifik mutan yang
kemudian akan saling berikatan. Posisi masing-masing pelacak “dot” sangat
penting untuk untuk validasi genotipe, bahkan kesalahan kecil dalam penilaian
spot secara manual bisa menyebabkan identifikasi genotipe yang tidak akurat
(Lappin et al. 2001). Pelacak dengan sekuens yang spesifik terhadap mutasi atau
translokasi tertentu ditempelkan ke membran. Kemudian sampel produk PCR
ditambahkan saat proses hibridisasi, utas DNA yang komplemen akan diikat pada
membran.

Gambar 1 Skema prosedur standar deteksi penyakit MPN

4

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode RDB sebagai prosedur
standar untuk deteksi translokasi BCR-ABL1 dan mutasi JAK2 yang berperan
dalam penyakit MPN (CML, PV, ET dan PMF).

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi translokasi BCRABL1 dan mutasi JAK2 V617F penyebab penyakit MPN dengan cepat, akurat,
spesifik dan murah.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meneliti gen BCR-ABL1 (tipe translokasi e13a2, e14a2, e1a2
dan e19a2) dan JAK2 yang terlibat pada 4 penyakit yang termasuk MPN, yaitu
CML, PV, ET dan PMF.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Myeloproliferatife Neoplasms (MPN) sebelumnya disebut sebagai
Myeloproliferative Disorders merupakan klasifikasi gabungan dari klasifikasi
sebelumnya yaitu CMPDs (Chronic Myeloproliferative Diseases), MDS
(Myelodysplastic syndromes), MDS/MDP dan MCD (Mast Cell Disease). Pada
tahun 2008 tiga kelainan tersebut digabung dalam satu kelompok utama MPN
yang mencakup 8 kelainan (Tefferi dan Vardiman 2008).
Penyakit Chronic Myeloid Leukemia (CML) secara fisiologis merupakan
kelainan darah yang mengganggu fungsi normal sistem hematopoietik (MacLean
et al. 2013). Secara umum leukemia diartikan sebagai neoplasma berbahaya pada
stem sel hematopoietik yang dikarakterisasi oleh pergantian difusi pada sumsum
tulang belakang dan/atau darah tepi oleh sel neoplasias (Prasad et al. 2013).
Pengertian biologis pada penyakit CML adalah pengembangan sel progenitor
myeloid di berbagai tahap pematangan yang dilepaskan lebih awal ke sistem
darah tepi. Perubahan kelainan sel progenitor myeloid dipengaruhi oleh kapasitas
proliferatif dan pergantian yang seimbang antara pembaruan diri sel dan
diferensiasi (Faderl et al. 1999).
Pada tahun 2006 di Indonesia, penderita Leukemia berada di posisi kelima
dari penderita kanker yang terdaftar di berbagai rumah sakit. Posisi pertama yaitu
kanker payudara dan setelahnya kanker serviks, kanker hati dan saluran empedu
intrahepatik serta limfoma non-Hodgkin (Rendra et al. 2013).
CML merupakan neoplasma manusia pertama yang diketahui berkaitan
dengan aberasi genetik (Burmeister dan Reindhart 2007), yaitu kromosom
philadelphia (Philadelphia (Ph) Chromosome). Kromosom Ph terbentuk melalui
translokasi resiprokal antara gen ABL dari kromosom 9 dan gen BCR dari
kromosom 22 yang meningkatkan aktivasi konstitutif tirosin kinase (Sessions
2007, Järås et al. 2010). Translokasi BCR-ABL1 merupakan terjadinya
penambahan segmen ujung 3’ gen ABL dari kromosom 9q34 ke bagian ujung 5’
gen BCR 22q11 (Faderl et al. 1999).
Philadelphia chromosome pertama ditemukan oleh Nowell dan
Hungerford pada tahun 1960. Translokasi tersebut berakibat pergantian ekson
pertama ABL gen tirosin kinase non-reseptor dengan sekuens dari BCR
menghasilkan oncoprotein BCR-ABL1 chimeric (Jagani et al. 2008).
Fusi yang terjadi antara gen BCR dari kromosom 22 dan gen ABL dari
kromosom 9 mempunyai titik fusi yang berbeda. Gen ABL menyumbangkan
biasanya ekson 2 atau ekson 3, sedangkan gen BCR ekson 1 atau 2 untuk
minor(m-), ekson 12 sampai 15 untuk major (M-), ekson 19 atau 21 untuk micro
( -) dan daerah antara ekson 6 dan 7 untuk nano ( -) (Burmeister dan Reindhart
2008). Karena gen BCR mempunyai beberapa breakpoint, hasil translokasi bisa
berbeda-beda pada setiap individu yang memiliki translokasi. Beberapa tipe
translokasi yang telah ditemukan (Gambar 2) memiliki ukuran transkrip yang
berbeda.

6

Gambar 2 Varian transkrip tipe translokasi gen BCR-ABL1 (Burmeister dan
Reindhart, 2007)
Gen BCR-ABL1 meng-aktivasi sejumlah besar pola sinyal yang
mengarahkan ke proliferasi yang tidak terkontrol, menghambat apoptosis dan
menghalangi diferensiasi myeloid. Salah satu jenis pengobatan yang biasa
digunakan untuk menyembuhkan CML adalah dengan imatinib. Imatinib bekerja
sebagai inhibitor bagi tirosin kinase yang mengarah ke sitogenetis yang bisa
bertahan lama dan remisi molekuler pada sebagian besar pasien CML yang berada
pada tahap awal (Grebien et al. 2011). Aktivitas signaling translokasi BCR-ABL1
seperti pada Gambar 3. Namun, setelah pemakaian dalam jangka waktu yang
panjang imatinib bisa membangun resistensi dan rentan memperburuk kondisi
klinis pasien (Mao et al. 2010). Ketika ada kendala dalam pengobatan dengan
imatinib maka pengobatan pasien akan dialihkan ke tirosin kinase inhibitor
generasi kedua atau allogenic stem cell transplantation.
Polycythemia Vera (PV) merupakan kelainan neoplasma dimana darah
menjadi kental dikarenakan meningkatnya jumlah sel darah merah (Posfai et al.
2014). Sebanyak 95% pasien PV mempunyai mutasi gen Janus Kinase 2 V617F
(Kim et al. 2013). Mutasi V617F JAK2 juga ditemukan pada sebagian besar
penyakit bagian dari MPN yaitu Essential Trombocythemia (ET) dan Primary
Myeofibrosis (PMF). Essential Trombocythemia merupakan kelainan dimana
jumlah trombosit yang dihasilkan sumsum tulang belakang meningkat secara
signifikan (Posfai et al. 2014). Pada pasien ET lebih dari 50% ditemukan mutasi
V617F JAK2 (Kim et al. 2013). Kelainan Primary Myelofibrosis (PMF) juga
disebabkan oleh mutasi V617F. Lebih dari 50% pasien PMF ditemukan
mempunyai mutasi V617F. Primary Myelofibrosis dikarakterisasi dengan
meningkatnya fiber (serat) di sumsum tulang belakang sehingga menjadi lebih
kental (Savona 2014).

7

Gambar 3 Skema jalur signaling BCR-ABL1 (Faderl et al., 1999)
PV dikarakterisasi dengan: kelebihan produksi eritrosit matang, hematokrit
meningkat, masa sel darah meningkat dan splenomegali (perut begah, sakit di
daerah perut, anoreksia, perasaan cepat kenyang) karena ekstramedular
hematopoiesis. Banyak pasien PV juga memiliki sirkulasi granulosit dan
trombosit meningkat. Pasien juga bisa komplikasi karean hemostasis abnormal,
termasuk disfungsi trombosit (Zaleskas et al. 2006).
Pasien PV cenderung memiliki JAK2 V617F homozigot, sedangkan pasien
ET cenderung memiliki JAK2 V617F heterozigot. Homozigositas V617F
berhubungan dengan perubahan ekspresi yang ditandai di gen target downstream.
Mutan JAK2 mempengaruhi penampilan dan stabilitas reseptor eritropoietin di
permukaan sel dan mengurangi level reseptor trombopoietin di permukaan sel
(Campbell dan Green 2006). Peningkatan level mutan JAK2 menyebabkan lebih
banyak eritrositosis dan lebih sedikit trombositosis (Cross et al. 2008).
Mutasi gen JAK2 V617F mengenal Loss of Heterozigosity (LOH) yang
dikarenakan keberadaan mutasi oleh duplikasi alel mutan melalui rekombinasi
mitotik pada lengan pendek kromosom 9 yang menyebabkan homozigot.
Homozigositas berakibat durasi penyakit yang lebih lama secara signifikan dan
resiko komplikasi lebih tinggi. LOH berkaibat allele burden yaitu signifikansi
perbandingan kuantitas mutan dan wild type. Menurut Gonzalez et al. (2009)
homozigot JAK2 tidak bisa ditentukan ketika allele burden lebih rendah dari 50%
(Gonzalez et al. 2014).
Pada pasien ET dibagi menjadi dua subtipe, yaitu: V617F positif (mirip
PV) dan V617F negatif. Terdapat perbedaan kondisi klinis antara kedua subtipe
tersebut (Tabel 1).

8

Tabel 1 Perbedaan klinis pasien ET
V617F positif ET
Hemoglobin lebih tinggi
Sel darah putih lebih tinggi
Sumsum tulang belakang lebih selular
Resiko lebih tinggi untuk trombosis vena
Transformasi ke PV
Lebih sensitif terhadap hydroxyurea

V617F negatif ET
Trombosit lebih terisolasi
Splenomegali
Abnormalitas sitogenetis
Megakaryosit displasia
Hematopoiesis klona

Gen JAK2 berlokasi di kromosom 9q24, memiliki 25 ekson dan 1132 asam
amino (Tefferi 2010). Mutasi V617F dinyatakan oleh pada studi sebelumnya
berlokasi di ekson 14 pada gen Janus Kinase 2 (Wu et al. 2014). Protein JAK2
merupakan tirosin kinase non-reseptor yang berkaitan dengan daerah sitoplasma
pada beberapa reseptor membran sitokin (Gonzalez et al. 2014). Perubahan asam
amino pada kodon 617 menyebabkan protein JAK2 mengaktivasi multiple sinyal
downstream yang mempengaruhi transkripsi gen, yang menyebabkan proliferasi
sel hematopoietik (Vytrva et al. 2014).
Protein JAK2 merupakan tirosin kinase non-reseptor yang berkaitan
dengan daerah sitoplasma pada beberapa reseptor membran sitokin. JAK2
diaktivasi ketika reseptor berikatan ke faktor pertumbuhan hematopoietik, dan
berperan sebagai molekul intermediet melewati aktivasi konstitutif jalur yang
bergantung pada STAT5-, AKT- dan ERK- (Gonzalez et al. 2014). Perubahan
asam amino pada kodon 617 menyebabkan protein JAK2 mengaktivasi multiple
sinyal downstream yang mempengaruhi transkripsi gen, yang menyebabkan
proliferasi sel hematopoietik (Vytrva et al. 2014).
Gen janus kinase 2 meregulasi tirosin kinase sitoplasma, diperlukan dalam
memulai sinyal intraseluler oleh reseptor untuk pembentukan sel darah merah,
pembentukan trombosit, interluekin 3, granulocyte stimulating factor (G-CSF)
dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). JAK2
berikatan dengan reseptor eritropoitin di retikulum endoplasma dan dibutuhkan
juga untuk ekspresi di permukaan sel (Campbell dan Green 2006).
Penyakit MPN digolongkan menjadi Ph positif dan Ph negatif, pada
beberapa kasus gejala klinis yang ditimbulkan seringkali meragukan
pengklasifikasian penyakit dnegan deteksi genetis akan lebih mudah untuk
dibedakan. Metode yang digunakan dalam deteksi genetik penyakit MPNs sangat
berperan dalam proses pengobatan. Perbedaan mutasi juga mempengaruhi obat
terapi yang akan digunakan dalam pengobatan kanker. Berdasarkan prosedur
standar yang biasa digunakan, deteksi MPN memakan waktu lama dan diurutakan
berdasarkan aberasi genetik dengan prevalensi tinggi seperti yang diringkas pada
Gambar 4.
Metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi penyakit MPN seperti
studi sitogenetis mengalami kendala seperti memakan waktu yang lama. Metode
lainnya seperti fluoresence in situ hybridization (FISH) bisa digunakan untuk
analisis sel pada tahap metafase dan sel yang belum membelah di interfase dan
hasilnya mudah dihitung namun memiliki resiko false positif yang bisa mencapai
10% dan tidak berpengaruh jika kromosom Ph kurang dari 10%. Metode
hypermetaphase fluoresence in situ hybridization memungkinkan analisis sampai
500 sel metafase untuk setiap sampel, waktu prosedur yang efektif dan false

9

positive serendah mungkin namun tidak bisa menggunakan sampel darah sistem
darah tepi (Faderl et al. 1999).

Gambar 4 Contoh skema deteksi penyakit MPN (Tefferi 2010)
RDB merupakan metode berbasis PCR dengan kemampuan untuk
screening beberapa mutasi dalam reaksi hibridisasi tunggal. Metode RDB
biasanya digunakan untuk mendeteksi penyakit dengan spektrum mutasi tinggi.
Pada RDB, ekson (atau daerah yang diteliti lainnya) diamplifikasi dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer oligonukleotida yang
dilabel. Label yang sering digunakan adalah biotin, karena diketahui biotin tidak
mempengaruhi integritas reaksi amplifikasi. Amplikon (produk yang telah
diamplifikasi) kemudian didenaturasi dan dihibridisasi dengan oligonukleotida
pelacak DNA spesifik. Setelah proses hibridisasi dan pencucian, asam nukleat
diinkubasi dengan enzim yang dikonjugasikan ke streptavidin. Kompleks
streptavidin-biotin-asam nukleat kemudian dicuci dan diinkubasi dengan substrat
kromogenik atau luminogeni yang akan memvisualisasikan spot yang telah
berhibridasasi (Lappin et al. 2001).
Metode RDB menggunakan prinsip formasi ikatan amida antara gugus
karboksil pada membran dengan amino-linker dari ujung 5’ oligonukleotida
produk PCR. Membran biodyne C dipilih sebagai media hibridisasi karena mudah
dan tahan lama, juga karena memiliki kelompok karboksil anionik tinggi.
Komposisi anion berkontribusi dalam pengurangan ikatan non-spesifik
dikarenakan interaksi elektrostatis antara asam nukleat di oligonukleotida dengan
membran (Zhang et al. 1991).
Pelacak yang diikatkan ke memran dimodifikasi dengan penambahan
spacer dan amino-linker. Kedua material tersebut berperan dalam efisiensi
hibridisasi. Pelacak dengan spacer diketahui lebih efisien, pelacak tanpa spacer
menjadi 4 kali kurang efisien dalam proses hibridisasi RDB. Amino-linker
memiliki peran dalam ikatan pelacak ke membran dan membantu memperkuat
ikatan pelacak ke oligonukleotida target (Zhang et al. 1991).

10

RDB mempunyai kelebihan karena tidak menggunakan pelacak dengan
label radioaktif seperti pada Allele Specific Oligonucleotide dan penggunaan
kontrol positif untuk menunjukkan fungsional yang tepat dari reaksi PCR pada
masing-masing tube seperti pada ARMS (Dooki et al. 2010).
Proses pelacakan sekuens DNA sasaran dengan metode RDB disajikan
pada gambar 5. DNA pelacak yang sudah diikat dengan amino modifier C6 dan
internal spacer 18 diimobilisasi ke membran. DNA yang dilacak didicampurkan
ke membran sehingga terjadi proses hibridisasi antara DNA pelacak dan DNA
yang dilacak dengan prinsip komplementasi.

Gambar 5 .Skema oligonukleotida (pelacak) pada membran nilon. (a) a-n
merupakan masing-masing sekuens pelacak spesifik dengan
translokasi dan mutasi yang diteliti ditambahkan ke membran saat
proses immobilisasi pelacak. (b) Hasil yang diperoleh setelah proses
hibridisasi, dot berwarna berarti sampel yang mempunyai sekuens
yang identik dengan pelacak, sedangkan pada kolom yang tidak
terdapat dot berarti sampel tidak mempunyai sekuens yang spesifik
dengan pelacak.

11

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 – September 2015
di Laboratorium Stem Cell and Cancer Institute, Jakarta.

Bahan Penelitian
RNA dari 78 pasien dengan kelainan darah yang terdapat di Laboratorium
KalGen Service digunakan untuk validasi metode RDB. Pelacak untuk RDB
berupa oligonukleotida yang diikat dengan amino modifier C6 dan internal spacer
18 (Tabel 2). Primer untuk amplifikasi cDNA disajikan pada Tabel 3.

Prosedur Kerja
Immobilisasi Pelacak
Satu membran (2x2.5cm) untuk satu sampel dengan perlakuan yang sama.
Membran dicuci dengan HCl 0.1 N, kemudian diinkubasi dengan EDC {1-Ethyl3-(-Dimethylamino propyl) Carboiimide hydrochloride} 10% selama 15 menit
sambil digoyang pada kecepatan 60 rpm. Membran dicuci dengan ddH2O
sebanyak dua kali. Setelah membran dikeringkan di suhu ruangan, masing-masing
pelacak dengan konsentrasi 2 µM (dilarutkan di NaHCO3 0.5 M) diteteskan
dengan mikropipet pada masing-masing kotak di membran dan diinkubasi selama
15 menit. Membran dibiarkan pada larutan TBS (Tris Buffered Saline) 0.1%
Tween selama 2 menit sambil digoyang pada kecepatan 60 rpm, kemudian
membran dipindahkan ke larutan NaOH 0.1 N selama 10 menit sambil digoyang
selama 10 menit pada kecepatan 60 rpm. Membran dicuci dengan ddH2O
sebanyak dua kali dan kemudian dikeringkan pada suhu ruangan. Sekuens pelacak
dirancang spesifik bagi masing-masing translokasi dan mutasi. Konsentrasi
pelacak untuk setiap dot (Biotin, IC, translokasi BCR-ABL1 dan mutasi JAK2)
adalah 2 μM.
Tabel 2 Pelacak Oligonukleotida
Name

Location, 5'-3'
position (size, nt)

e13a2

BCR-ABL1, 287-307
(21)

5'- GAAGGGCTTCTTCCTTATTGA-3'

e1a2

BCR-ABL1, 446-465
(20)

5'- TGAAGGGCTTCTGCGTCTCC-3'

e19a2

BCR-ABL1, 827-847
(21)

5'- GCTGAAGGGCTTTGACGTCGA-3'

JAK2wt

JAK2, 2336-2353
(18)

5'- TCTCCACAGACACATACT-3'

JAK2m

JAK2, 2336-2355
(20)

5'- TCTCCACAGAAACATACTCC-3'

Sequence

Modification
5'Amino Modifier
C6,Int Spacer
18/Sequence
5'Amino Modifier
C6,Int Spacer
18/Sequence
5'Amino Modifier
C6,Int Spacer
18/Sequence
5'Amino Modifier
C6,Int Spacer
18/Sequence
5'Amino Modifier
C6,Int Spacer
18/Sequence

12

Sintesis cDNA
RNA yang telah diisolasi dikonversi ke cDNA dengan enzim reverse
trankriptase dan primer random hexamer. Proses konversi menggunakan
Transcriptor First Strand cDNA Synthesize (Roche).
Amplifikasi cDNA
Amplifikasi BCR-ABL1 menggunakan metode PCR multiplex dengan 6
primer biotin (Tabel 1) dalam satu reaksi berdasarkan Burmeister dan Reindhart
(2008). Reaksi PCR terdiri atas; 1 µL cDNA, 1x PCR buffer, 6 utas primer (Table
1), 0.2 mM dNTP, 1.25 U/mL HotStar Taq Polymerase (Qiagen). PCR dijalankan
berdasarkan kondisi siklus; pre-denaturasi pada 950C selama 15 menit, 40 siklus
950C selama 10 detik, 630C selama 20 detik dan 720C selama 30 detik, untuk
ekstensi akhir pada 720C selama 15 detik. Untuk masing-masing proses PCR
digunakan cell line K562 sebagai kontrol positif, NTC (no template control)
digunakan untuk kontrol kontaminasi. Amplifikasi JAK2 V617F menggunakan
primer yang didesain oleh Gonzalez et al. (2014). Reaksi PCR terdiri atas: 1 µL
cDNA, 1x PCR buffer, 0.25 μM primer, 0.2 mM dNTP, 3.5 mM MgCl2, dan 1.25
U/mL HotStar Taq Polymerase (Qiagen). PCR dijalankan berdasarkan Gonzalez
et al. (2014) yaitu; pre-denaturasi pada 950C selama 15 menit, 50 siklus: 950C
selama 5 detik, 580C selama 3 detik, 720C selama 20 detik, tahap akhir pada 750C
selama 1 detik. Setiap primer dimodifikasi dengan pelabelan biotin. Biotin
berperan dalam proses hibridisasi reverse dot blot.
Produk PCR sebanyak 5 µL ditambahkan dengan 1 µL loading dye
diimigrasikan pada gel agarose dengan konsentrasi 2.5% selama 60 menit pada 95
volt. Gambar gel difoto dengan gel documentation.
Tabel 3 Primer dan pelacak yang digunakan dalam penelitian ini
Name

Location, 5'-3'
position (size,
nt)

ABL-3AS

ABL, 454-484 (29)

BCR-1S
BCR-6S
BCR-12S
BCR-19S
BCRRAS

Sequence

Modification

5'CCATTGTGATTATAGCCTAAGACCCGGAG3'

5' biotinylated,
HPLC-purified

BCR, 1502-1524
(23)

5'- CTCCAGCGAGGAGGACTTCTCCT-3'

5' biotinylated,
HPLC-purified

BCR, 2351-2378
(28)

5'CCTGAGAGCCAGAAGCAACAAAGATGCC3'

5' biotinylated,
HPLC-purified

BCR, 3064-3088
(25)
BCR, 3788-3809
(22)
BCR, 3766-3788
(23)

JAK2(F)2

JAK2, 92281-92308
(28)

JAK2(R)2

JAK2, 98087-98114
(28)

5'- AGAACATCCGGGAGCAGCAGAAGAA-3'
5'- ACTGAAGGCAGCCTTCGACGTC-3'
5'- ATGTCCGTGGCCACACCGGACAC-3'
5'ATTTTTAAAGGCGTACGAAGAGAAGTAG3'
5'ATAAGCAGAATATTTTTGGCACATACAT-3'

5' biotinylated,
HPLC-purified
5' biotinylated,
HPLC-purified
5' biotinylated,
HPLC-purified
5' biotinylated
5' biotinylated

13

Hibridisasi Reverse Dot Blot (RDB)
Proses hibridisasi dikembangkan oleh KalGen DNA beserta reagent-reagent
yang dibutuhkan. Proses RDB terdiri atas dua proses utama: hibridisasi dan
deteksi warna. Proses hibridisasi dimulai dengan denaturasi produk PCR pada
suhu 950C selama 5 menit, kemudian didinginkan di es selama 2 menit. Pada
masing-masing ruang (2x2 cm) di chamber hibridisasi dimasukkan 500 µL larutan
hibridisasi dan didiamkan selama 2 menit. Produk PCR (cDNA pasien) yang telah
didenaturasi dicampurkan dengan 500 µL larutan hibridisasi (Sodium Dodecyl
Sulfat/SDS) kemudian dimasukkan ke masing-masing ruang hibridisasi dan
diinkubasi selama 15 menit pada suhu 450C. Larutan sebelumnya dibuang
kemudian diganti dengan larutan post-hibridisasi sebanyak 800 µL, proses yang
sama diulang 2 kali. Proses selanjutnya merupakan deteksi warna yang dimulai
dengan penurunan suhu sampai 250C. Membran dicuci dengan 500 µL blocking
solution, larutan sebelumnya dikeluarkan kemudian ditambahkan lagi 500 µL dan
diinkubasi selama 5 menit. Larutan kemudian diganti dengan larutan enzymeconjugate (Streptavidin) sebanyak 500 µL dan diinkubasi selama 3 menit. Suhu
dinaikkan menjadi 360C, wash solution I ditambahkan sebanyak 800 µL dan
diulang sebanyak dua kali. Substrate solution ditambahkan 500 µL dan diinkubasi
selama 3-6 menit sambil ditutup (mencegah cahaya masuk). Larutan diganti
dengan wash solution II sebanyak 1000 µL dan diulang sebanyak 3 kali. Membran
dikeringkan dan dianalisis.
Pengurutan DNA
Pengurutan DNA (Sequencing) dilakukan terhadap pasienn yang mengalami
mutasi JAK2 untuk konfirmasi keakuratan proses RDB. Proses sekuensing
menggunakan 3500 Sequence Analayzer (Applied Biosystems).
Proses sekuensing dilakukan dalam 4 tahapan: purifikasi produk PCR, cycle
sequencing, purifikasi produk cycle sequencing dan sekuensing.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Translokasi gen BCR dari kromosom 22 dan gen ABL dari kromosom 9
membentuk gen baru. Gen ini menghasilkan aktifitas tirosin kinase yang tinggi
sehingga mengakibatkan proliferasi sel (Buyukasik et al. 2010). Gen BCR
memiliki beberapa situs breakpoint, sehingga pembentukan translokasi bisa terjadi
pada breakpoint yang berbeda dan mengakibatkan variasi translokasi gen (major,
minor, mikro dan nano) (Sessions 2007). Translokasi BCR-ABL1 menghasil
protein khimera p210 oleh translokasi major, sedangkan translokasi minor
menghasilkan protein yang lebih pendek p190 dan translokasi nano menghasilkan
protein p230 (Deininger et al. 2000).
Gen JAK2 V617F berperan dalam regulasi fungsi hematopoitik. Mutasi gen
JAK2 V617F mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol dan produksi
karakteristik klinis MPN. Sedangkan translokasi gen BCR-ABL1 mengakibatkan
ketidak-seimbangan pembagian sel, differensiasi dan apoptosis sehingga
mengakibatkan CML (Carranza et al. 2014).

Metode Reverse Dot Blot

Prinsip kerja metode RDB merupakan hibridisasi antara dua utas DNA, satu
utas ada pada pelacak yang ada pada membran dan satu utas ada pada produk
PCR sampel. Utas yang komplemen akan mengikat utas sampel pada membran,
sehingga ketika diberi substrat biotin yang sudah berikatan dengan enzim dan
konjugat akan bereaksi dengan menghasilkan warna. Melalui penelitian ini
metode RDB dikembangkan untuk menguji keberadaan gen BCR-ABL1 dan
mutasi JAK2 V617F pada pasien yang diduga menderita MPN. Prinsip kerja
reverse dot blot dikembangkan berdasarkan metode Zhang et al. (1991). Pelacak
yang diimobilisasikan di membran dimodifikasi dengan penambahan ammino
modifier C6 dan internal spacer 18. Primer yang digunakan untuk amplifikasi
dilabel dengan bitotin yang akan berinteraksi dengan konjugat dan enzim alkalin
fosfatase saat penambahan substrat pada proses deteksi warna dalam RDB.
Membran yang digunakan harus memiliki densitas kelompok karboksil anionik
yang tinggi untuk bereaksi dengan oligonukleotida dengan amino yang
dimodifikasi. Membran biodyne C memiliki kemampuan gugus karboksil yang
bisa bereaksi dengan amino-linker oligonukleotida melalui aktifasi EDC (Zhang
et al. 1991).
Metode RT-PCR based hybridization Reverse Dot Blot dikembangakan
dengan tujuan sebuah metode standar untuk deteksi BCR-ABL1 dan JAK2 yang
lebih hemat dalam hal waktu, biaya dan resiko kerja. Dengan pengembangan
metode RDB nantinya proses yang membahayakan seperti penggunakan Ethidium
bromide yang bersifat karsinogenik bisa dihilangkan.
Pengujian spesifisitas dan sensitifitas metode PCR-based Reverse Dot Blot
Hybridization menggunakan sampel yang dibagi menjadi 3 kelompok; kelompok
BCR-ABL1, kelompok JAK2 dan kelompok BCR-ABL1+JAK2. Kelompok BCRABL1+JAK2 dimaksudkan agar memudahkan deteksi nantinya dengan dua gen
sekaligus yang diperoleh dalam satu kali proses. Setelah melalui proses RDB
kedua gen tersebut terbukti tidak saling komplementer.
Uji validasi metode RDB dilakukan terhadap 78 sampel yang terdiri dari 41
sampel BCR-ABL1, 29 sampel JAK2 dan 8 sampel BCR-ABL1+JAK2.

15

Uji sensitifitas BCR-ABL1

Uji sensitifitas dilakukan dengan melakukan hibridisasi pada sampel dengan
kuantitas BCR-ABL1 yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengamati secara
langsung mengenai perbedaan ketebalan warna dot yang dihasilkan pada kuantitas
gen BCR-ABL1 berbeda. Percobaan dilakukan dengan kuantitas gen BCR-ABL1
0% (rentang 0-0.096%), 1% (rentang 1.125-1.751%), 10% (rentang 11.65214.867%) dan 100% berdasarkan International Scale (IS). Berdasarkan hasil
hibridisasi terdapat perbedaan intensitas warna yang dihasilkan pada kuantitas
berbeda (Gambar 6). Hasil ini juga memperlihatkan sensitifitas metode RDB
untuk mendeteksi BCR-ABL1 dengan kuantitas rendah 1%, dan menampakkan
sinyal yang lebih kuat pada kuantitas 10%.

Gambar 6 Hasil hibridisasi RDB dengan kuantitas BCR-ABL1 yang berbeda.
Dot BCR-ABL1 yang diamati berada pada baris kedua membran (yang
dilingkari), intensitas dot yang dihasilkan berbeda sesuai dengan
kuantitas gen BCR-ABL1. Aplikasi pelacak yang diterapkan sesuai
dengan Gambar 7A.
Sensitifitas metode RDB terhadap BCR-ABL1 memperlihatkan bahwa
metode RDB juga bisa digunakan untuk mengontrol pasien yang dalam masa
pengobatan, baik dengan tirosin kinase inhibitor ataupun pengobatan lain seperti
hydroxyurea. Intensitas warna pada BCR-ABL1 kuantitas 100% memperlihatkan
warna paling pekat dan konstan pada semua sampel percobaan. Dot tidak terlihat
pada BCR-ABL1 kuantitas 0% dan tidak juga pada kuantitas lebih dari 0%. Dot
mulai terlihat pada BCR-ABL1 dengan kuantitas 1%, intensitas dot bertambah
kuat dapat diamati pada kuantitas dot lebih dari 1% dengan kelebihan hanya
berkisar antara 0.7%.

16

Hasil uji sensitifitas metode RDB menjadi salah satu bukti keunggulan
metode RDB dibanding metode lainnya, dengan sensitif pada kuantitas 1%.
Perubahan intensitas warna dot bisa dipengaruhi oleh konsentrasi pelacak pada
membran, konsentrasi DNA sampel, konsentrasi reagent yang dipakai saat
hibridisasi RDB terutama konsentrasi substrat dan enzim. Konstanitas konsentrasi
setiap komponen perlu dipertahankan agar tidak terjadi kesalahan dalam penilaian
hasil hibridisasi.

Kelompok sampel BCR-ABL1
Analisis terhadap empat puluh satu sampel BCR-ABL1 memperoleh hasil:
lima sampel negatif BCR-ABL1, delapan belas sampel memiliki varian transkrip
e13a2, tiga belas sampel merupakan tipe e14a2, tiga sampel merupakan tipe e19a2
dan dua sampel termasuk e1a2.
Pita hasil amplifikasi dengan ukuran berbeda mewakili tipe translokasi
berbeda, merupakan hasil dari metode multiplex PCR (Gambar 7B). Setiap
sampel yang positif memiliki translokasi BCR-ABL1 memiliki dua pita, satu pita
untuk kontrol internal dan pita lainnya dengan ukuran lebih kecil untuk tipe
translokasi. Pita kontrol internal berukuran 718 pb, untuk tipe e13a2 dengan
ukuran 343 pb, e14a2 dengan ukuran 418 pb, e1a2 dengan ukuran 474 pb dan
e19a2 dengan ukuran 234 pb. Internal kontrol berada pada gen BCR di kromosom
22. Sampel wild type hanya memiliki satu pita internal kontrol.
Kontrol untuk amplifikasi gen BCR-ABL1 adalah HL60 untuk kontrol
negatif, dan cell line K562 untuk kontrol positif BCR-ABL1 dengan tipe
translokasi major bcr.
Penelitian ini juga menggunakan PCR dan elektroforesis gel BCR-ABL1
sebagai konfirmasi hasil. Setelah diamplifikasi dengan multiplex PCR hasil
elektroforesis gel akan memperlihatkan pita dengan ukuran yang berbeda sesuai
dengan tipe translokasi berdasarkan pengembangan multiplex PCR oleh
Burmeister dan Reindhart (2008). Namun, proses PCR dan elektroforesis gel
tersebut meragukan ketika diperoleh pita yang ukurannya tidak jauh berbeda satu
sama lain. Sehingga jarak antara pita sampel dan pita kontrol tidak terlalu jauh
untuk bisa dibedakan secara mutlak. Karena itu, metode RDB merupakan metode
yang lebih baik karena memiliki perbedaan pelacak pada setiap tipe translokasi
BCR-ABL1.
Pelacak yang mewakili masing-masing translokasi BCR-ABL1 dan mutasi
JAK2 V617F disusun seperti pada Gambar 7A. Secara umum pada masing-masing
membran terdapat 3 dot (Gambar 7C); satu dot mewakili biotin sebagai
pembuktian bahwa terjadi proses hibridisasi pada membran tersebut, satu dot
mewakili tipe translokasi BCR-ABL1, dan satu dot mewakili mutasi JAK2 V617F
(mutan atau wild type).
Tipe major yang merupakan tipe utama dalam CML mempunyai frekuensi
yang tidak sama pada setiap etnis dan negara (dua tipe dominan e13a2 dan e14a2).
Pada penelitian ini ditemukan frekuensi e14a2 lebih tinggi dibanding e13a2, sama
halnya dengan beberapa penelitian sebelumnya (Lucas et al. 2009, Iqbal et al.
2011). Hasilnya berlawanan dengan penelitian terhadap masyarakat Meksiko
(Rosas-Cabral et al. 2003) dan terhadap masyarakat Ekuador (Paz-y-Miño et al.
2013) yang menemukan frekuensi e13a2 lebih tinggi dibanding e14a2.

17

Gambar 7 Validasi metode RDB pada sampel BCR-ABL1. (A) Pola pelacak
pada membran yang dihibridisasi pada RDB (B= Biotin; IC= Internal
Control; M3= e14a2; M2= e13a2; m= e1a2; μ= e19a2; JW= JAK2
wild type; JM= JAK2 mutan) (B) Gambar gel elektroforesis gel
setelah diamplifikasi pada proses PCR dengan panjang pita yang
berbeda sesuai dengan tipe translokasi BCR-ABL1; M= Marker 100+
pb, NTC= Kontrol negatif, 1-3= Sampel, MC= Marker lengkap) (C)
Hasil RDB untuk sampel normal dan sampel penderita dengan 4 tipe
translokasi BCR-ABL1.
Sejauh ini pengobatan yang diterapkan pada CML masih mengutamakan
penggunaan Imatinib Mesylate, menurut beberapa studi (Iqbal et al. 2011, Souza
et al. 2012) ditemukan perbedaan respon tipe e13a2 dan e14a2 terhadap imatinib.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa e13a2 memiliki respon yang lebih baik
terhadap imatinib. Berdasarkan penelitian Lucas et al. (2009) e13a2 memiliki
respon yang lebih baik dibanding e14a2 setelah 12 bulan pengobatan. Namun
hasil yang berlawanan dinyatakan oleh Deb et al. (2014) yang berdasarkan
penelitiannya e14a2 memiliki respon yang lebih baik terhadap imatinib setelah
pengobatan selama 6 bulan (Deb et al. 2014). Hal ini mengisyaratkan bahwa
kemungkinan hasil lebih valid dengan penelitian lebih lanjut dan dalam jangka
waktu lebih panjang untuk membuktikan hipotesis yang tepat. Sejauh ini peran
masing-masing translokasi terhadap penyakit masih menjadi kontroversial, Deb et
al. (2014) menyatakan bahwa tidak ada bukti valid yang menyatakan tipe
translokasi yang berbeda mempengaruhi prognosis penyakit. Namun pada

18

beberapa penelitian ditemukan bahwa pasien yang memiliki varian e14a2
memiliki platelet yang lebih tinggi dibanding varian e13a2. Sedangkan pada
parameter klinis lainnya belum ditemukan perbedaan berdasarkan varian
translokasi yang signifikan.
Tipe selain e13a2, e14a2, e19a2 masih ditemukan dengan frekuensi yang
rendah. Souza et al. (2012) menyatakan frekuensi e1a2 sebanyak 1% pada pasien
CML di Brazil, sedangkan Goh et al. (2006) juga menemukan pasien dengan
translokasi selain tipe major dengan frekuensi rendah. Beberapa varian translokasi
yang ditemukan pada pasien CML di Korea diantaranya: b1a1, b2a3 dan e1a3
(Goh et al. 2006).
Tirosin kinase inhibitor yang digunakan dalam pengobatan pasien berbeda
tergantung gejala klinis yang dimiliki oleh pasien tersebut. Imatinib mesylate
memang menjadi pengobatan utama, tapi pada beberapa kasus pengobatan
dialihkan ke tirosin kinase inhibitor generasi kedua, seperti: dasatinib, nilotinib,
ponatinib dan lainnya. Dikarenakan tujuan penggunaan imatinib dan hasil
pengobatan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Kasus lain yang juga ditemukan pada pasien CML adalah hadirnya dua tipe
translokasi BCR-ABL1 pada satu pasien yang sama. Hal ini juga dikemukakan
pada beberapa studi CML lainny