Peranan Pemerintah Daerah ProdukHukum Keuangan

5 disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal. Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang pengaturan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian aspirasi jangka pendek yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand design yang menjadi cetak biru dari hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang seyogyanya dicapai dalam jangka panjang. Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan perundang-undangan di Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah dari Undang- undang. Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada hakekatnya harus menjadi acuan bagi beberapa KementrianLembaga di Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya memuat grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya. Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain. Selanjutnya, grand design ini akan mengurai secara detail perumusan visi dan misi kebijakan desentraliasi fiskal. Visi dan misi ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan kebijakan serta strategi praktis yang harus dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

1.2. Peranan Pemerintah Daerah

Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial Gramlich 1990. Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi Musgrave 1959. Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. 6 Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan multi-level government, pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi tugas dari masing-masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini yang belakangan disebut sebagai first-generation theory of fiscal federalism menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan Oates 2005. Redistribusi pendapatan akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat dan dunia usaha berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan. Sistem multi-level government juga biasanya memiliki aktifitas redistribusi yang lain, yaitu pemerataan fiskal fiscal equalization. Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya kepada daerah yang lebih miskin sedemikian hingga setiap daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk menyediakan sejumlah layanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah sering menjadi kunci dari konsep pemerataan antar daerah. Namun demikian, bukan hanya jumlah transfer fiskal saja yang penting. Padovano 2007 juga mencatat pentingnya perbedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari sisi pemerintah pusat membedakan treatment redistribusi terhadap pemerintah daerah, dengan tujuan mendapatkan konsensus pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat Alesina et al., 1999; Lockwood, 2002; Besley dan Coate, 2003. Ataupun dapat pula dilihat sebagai perbedaan strategi pemerintah daerah dalam mengadministrasikan program redistribusi misalnya di Emerson, 1988. Berbeda dengan apa yang dikatakan Musgrave 1959 di atas, Buchanan 1974 menunjukkan bahwa redistribusi pendapatan juga dapat secara efektif jika dilakukan oleh pemerintah daerah. Kuncinya adalah dalam penyediaan barang publik lokal. Penyediaan barang publik oleh pemerintah biasanya dilandaskan atas sifat dari barang publik itu sendiri. Beberapa barang memiliki ciri non-exludability dan non-rivalry dalam konsumsinya. Mekanisme pasar menghadapi sifat optimal individu sebagai free rider yang pada gilirannya akan menyebabkan barang publik tidak akan tersedia dalam jumlah yang cukup. Buchanan 1974 menunjukkan bahwa dengan penyediaan barang publik yang dipadukan dengan adanya persaingan antar daerah, maka tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan terlalu jauh dari batas optimal Pareto. Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi di perekonomian adalah untuk menyediakan perlindungan sosial. Masyarakat menginginkan adanya perlindungan sosial dari resiko kemiskinan di usia tua, resiko kesehatan, dan resiko pengangguran dalam jangka waktu lama. Gramlich 1990 menyatakan bahwa penyediaan skema perlindungan sosial akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah pusat. Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya mobilitas orang antardaerah. Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah, seperti yang diuraikan di atas, bahwa literatur telah menunjukkan perlunya pembedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Karena itu pemerintah daerah, dalam kerangka hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah, juga dapat menjadi agen perubahan dalam hal perlindungan sosial di masyarakat. 7 Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya dilakukan dengan prinsip ”money follow function”. Dalam implementasinya, seiring dengan pelimpahan kewenangan Pusat kepada yang Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan, terutama melalui transfer yang jumlahnya cukup besar. Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut juga dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat kepentingan publik, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

1.3. Elemen utama desentralisasi fiskal Indonesia