Bahasa dan Faktor Luar Bahasa

(1)

LINGUISTIK UMUM

BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Linguistik Umum Dosen Penampu : Yang Yang Merdiyatna, S.S., M.Pd.

Disusun oleh

Dwi Septiyani R 1510631080040 Fitria Nurul Afifah 1510631080058

Ima Noerfadilla 1510631080072 Muhammad Yusuf 1510631080199 Nurhaeni 1510631080116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA

KARAWANG


(2)

LEMBAR PENGESAHAN Bahasa dan Faktor Luar Bahasa

Disusun oleh:

Dwi Septiyani R 1510631080040 Fitria Nurul Afifah 1510631080058 Ima Noerfadilla 1510631080072 Muhammad Yusuf 1510631080199 Nurhaeni 1510631080116

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. karena atas karunia-Nya. Sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini merupakan syarat untuk

melengkapi nilai tugas Mata Kuliah “Linguistik Umum”. Keberhasilan makalah ini

tidak lain juga disertai referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Makalah ini juga memiliki kekurangan dan kesalahan, baik dalam penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai materi ini. Sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Penyusun


(4)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ………...

KATA PENGANTAR……….………. ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

DAFTAR ISI………... iv

BAGIAN I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Rumusan Masalah………... 1

1.3 Tujuan Penulisan………...… 1

BAGIAN II PEMBAHASAN……… 2

2.1 Bahasa dan Faktor Luar Bahasa……… 2

BAGIAN III PENUTUP……… 5

3.1 Kesimpulan………..…………...………..….... 5

3.2 Saran………. 5


(5)

BAGIAN I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Objek kajian linguistik tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai sistim komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya; bahasa keseharian manusia; bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa inggris disebut dengan ordinary language atau natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistic, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud objek kajian linguistik mikro dan makro? 2. Apa yang dimaksud masyarakat bahasa? Jelaskan!

3. Apa yang dimaksud variasi dan status sosial bahasa?

4. Apa yang dimaksud penggunaan bahasa dan kontak bahasa? 5. Apa yang dimaksud daripada hubungan bahasa dan budaya? 1.3 Tujuan

Agar tulisan dari makalah ini diharapkan mampu memiliki kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis diharapkan tulisan dari makalah ini menambah khazanah teoritis keilmuan Linguistik Umum dan secara praktis diharapkan Tulisan dari makalah ini menambah pengetahuan, wawasan dan keilmuan bagi penulis maupun bagi pembaca.


(6)

BAGIAN II PEMBAHASAN 2.1 Bahasa dan Faktor Luar Bahasa

Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri; sedangkan kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar bahasa. Kiranya yang dimaksud dengan faktor-faktor diluar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia didalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa. Yang ingin dibicarakan dan yang erat kaitannya dengan bahasa adalah masalah bahasa dalam kaitannya dengan kegiatan sosial didalam masyarakat; atau lebih jelasnya, hubungan bahasa dengan masyarakat itu.

2.1.1 Masyarakat Bahasa

Kata masyarakat biasa diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang banyaknya relatif), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Seperti masyarakat betawi. Lalu yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Contoh seperti sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa sunda maka dapat dikatakan mereka adalah masyarakat bahasa sunda. Akhirnya tentang masyarakat bahasa ini ada masalah, bagaimana dengan masyarakat yang bilingual atau multilingual, seperti keadaan di Indonesia selain ada bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia, ada pula bahasa-bahasa daerah. Pada umumnya, mereka adalah bilingual yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Ada juga yang multilingual karena menguasai pula bahasa daerah lain atau bahasa asing.

2.1.2 Variasi dan Status Sosial Bahasa

Bahasa itu bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itu sangat beragam, berdasarkan penuturnya kita mengenal adanya dialek-dialek, baik dialek regional maupun dialeg sosial. Lalu berdasarkan penggunaannya kita mengenal adanya ragam-ragam bahasa, seperti ragam jurnalistik, ragam sastra, ragam ilmiah, dsb. Dalam beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk

membedakan adanya dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang pertama adalah variasi bahasa tinggi ( T ), dan yang lain variasi bahasa rendah ( R ). Variasi T digunakan dalam situasi-situasi resmi, seperti pidato kenegaraan dan bahasa pengantar dalam pendidikan. Variasi T ini harus dipelajari melalui pendidikan formal disekolah-sekolah. Sedangkan variasi bahasa R digunakan dalam situasi yang tidak formal, seperti dirumah, dan surat pribadi. Variasi R ini dipelajari secara langsung didalam masyarakat umum.


(7)

Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut istilah diglosia (Ferguson 1964). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis. Variasi bahasa T dan R ini biasanya mempunyai nama yang berlainan. Variasi bahasa Yunani T disebut katherevusa dan variasi bahasa Yunani R disebut dhimotiki; variasi bahasa Arab T disebut al-fusha dan variasi bahasa Arab R disebut ad-darij; variasi bahasa Jerman Swiss disebut schrifttdrache dan variasi bahasa Jerman Swiss R disebut schweizerdeutsch. Dalam bahasa Indonesia variasi bahasa T, barangkali, sama dengan ragam bahasa Indonesia variasi bahasa T, barangkali, sama dengan ragam bahasa Indonesia baku dan variasi bahasa R sama dengan ragam bahasa Indonesia nonbaku. Variasi bahasa T dan R ini biasanya mempunyai kosakata masing-masing yang berbeda. Sekadar contoh:

(a) Bahasa Yunani

Ragam T Ragam R

ikos spiti ‘rumah’ idhor nero ‘air’ inos krasi ‘anggur’ (b) Bahasa Arab

ma eh ‘apa’ anfun manaxir ‘hidung’ al ‘ana dilwa’ti ‘sekarang’ (c) Bahasa Indonesia

Uang duit

Tidak nggak, kagak Istri bini

2.1.3 Penggunaan Bahasa

Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:

(1) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan

waktu terjadinya percakapan.

(2) Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.


(8)

(4) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk da nisi percakapan. Misalnya dalam kalimat:

a. Dia berkata dalam hati, “Mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik.”

b. Dia berkata dalam hati, mudah-mudah lamarannya diterima dengan baik.

Perkataan “mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat (a) adalah bentuk percakapan; sedangkan kalimat (b) adalah contoh isi percakapan.

(5) Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam

melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan dengan cara yang santai; tetapi dapat juga dengan semangat yang menyala-nyala.

(6) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan

apakah secara lisan atau bukan.

(7) Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta

percakapan.

(8) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa

yang digunakan. 2.1.4 Kontak Bahasa

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang dating. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan

multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi,

alihkode, dan campurkode. Namun disamping itu banyak pula yang hanya menguasai

satu bahasa. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual,

unilingual, atau monoglot; yang menguasai dua bahasa disebut bilingual; sedangkan


(9)

Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual sebagai akibat adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), dapat terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching), dan

campurkode (code-mixing). Keempat peristiwa ini gejalanya sama,yaitu

adanya unsur bahasa yang lain dalam bahasa yang digunakan namun,konsep masalahnya tidak sama. Yang dimaksud dengan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai ke tataran leksikon. Contoh pada tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, dan /g/ maka konsonan tersebut akan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan. Jadi, kata Bogor akan diucapkan mBogor. Contoh pada interferensi pada tataran gramatikal misalnya, penggunaan prefiks ke-seperti pada kata kepukul, ketabrak, dan

kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca. Contoh interferensi

dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif Makanan itu telah

dimakan oleh saya dari penutur berbahasa ibu bahasa Sunda. Dalam bahasa

Sunda susunannya adalah Makanan the atas dituang kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah Makanan itu telah saya makan.

Interfernsi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu, sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Kata dalam bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir,

riset, sopir, dan dongkrak adalah contoh yang sudah berintegrasi.

Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali terjadi peristiwa yang disebut ahlikode, yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Umpamanya, ketika A dan B sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, datanglah C yang tidak mengerti bahasa Indonesia tetapi berbahasa inggris (dan kebetulan A dan B juga dapat berbahasa inggris), maka kemudian digunakanlah bahasa inggris. Setelah C pamit, A dan B meneruskan kembali bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.


(10)

Ahli kode juga terjadi karena sebab-sebab lain. Misalnya karena perubahan situasi, atau topik pembicaraan. Berikut disajikan contoh yang diambil dari Djoko Kentjo (1982)

A : Dik! Saya dengar kabar selentingan lho. Wanneer verirek je naar Hollan? Nanti saya titip surat, ya?

B : Silahkan, Mbak! 2.1.5 Bahasa dan Budaya

Satu lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada satu hipotesis yang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan oleh dua orang pakar , yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.Jadi, bahasa itu menguasai cara berfikir dan bertindak manusia.Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya. Misalnya, katanya, dalam bahasa-bahasa yang mempunyai kategori kala atau waktu, masyarakat penuturnya sangat menghargai dan sangat terikat oleh waktu. Segala hal yang mereka lakukan selalu sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. Tetapi dalam bahasa-bahasa yang tidak mempunyai kategori kala, masyarakatnya sangat tidak menghargai waktu. Jadwal acara yang telah disusun seringkali tidak dapat dipatuhi waktunya. Itulah barangkali sebabnya kalau di Indonesia ada ungkapan ‘jam karet”, sedangkan di Eropa tidak ada. Karena eratnya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan ini,maka ada pakar yang menyamakan hubungan keduanya itu sebagai bayi kembar siam, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Atau sebagai sekeping mata uang sisi yang satu adalah bahasa dan sisi yang lain adalah kebudayaan.


(11)

BAGIAN III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri sedangkan faktor diluar bahasa merupakan kajian linguistik makro. Kiranya yang dimaksud dengan faktor-faktor diluar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia didalam masyarakat, karena tidak ada kegiatan yang tanpa

berhubungan dengan bahasa jelasnya, hubungan bahasa dengan masyarakat itu sangat erat kaitannya.

3.2 Saran

Demikianlah hasil ringkasan pembahasan mengenai Bahasa dan Faktor Luar Bahasa. Saran dan kritik senantiasa kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dalam penulisan laporan kami selanjutnya.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

http://evyca-sijelek.blogspot.com/2011/12/linguistik-umum-bahasa-dan-faktor-luar.html Chaer, Abdul. (2014). Linguistik Umum. Jakarta:PT. Rineka Cipta.


(1)

Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut istilah diglosia (Ferguson 1964). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis. Variasi bahasa T dan R ini biasanya mempunyai nama yang berlainan. Variasi bahasa Yunani T disebut katherevusa dan variasi bahasa Yunani R disebut dhimotiki; variasi bahasa Arab T disebut al-fusha dan variasi bahasa Arab R disebut ad-darij; variasi bahasa Jerman Swiss disebut schrifttdrache dan variasi bahasa Jerman Swiss R disebut schweizerdeutsch. Dalam bahasa Indonesia variasi bahasa T, barangkali, sama dengan ragam bahasa Indonesia variasi bahasa T, barangkali, sama dengan ragam bahasa Indonesia baku dan variasi bahasa R sama dengan ragam bahasa Indonesia nonbaku. Variasi bahasa T dan R ini biasanya mempunyai kosakata masing-masing yang berbeda. Sekadar contoh:

(a) Bahasa Yunani

Ragam T Ragam R

ikos spiti ‘rumah’ idhor nero ‘air’ inos krasi ‘anggur’ (b) Bahasa Arab

ma eh ‘apa’ anfun manaxir ‘hidung’ al ‘ana dilwa’ti ‘sekarang’ (c) Bahasa Indonesia

Uang duit

Tidak nggak, kagak Istri bini

2.1.3 Penggunaan Bahasa

Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:

(1) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan.

(2) Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan. (3) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.


(2)

(4) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk da nisi percakapan. Misalnya dalam kalimat:

a. Dia berkata dalam hati, “Mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik.”

b. Dia berkata dalam hati, mudah-mudah lamarannya diterima dengan baik.

Perkataan “mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat (a) adalah bentuk percakapan; sedangkan kalimat (b) adalah contoh isi percakapan.

(5) Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan dengan cara yang santai; tetapi dapat juga dengan semangat yang menyala-nyala.

(6) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.

(7) Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.

(8) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.

2.1.4 Kontak Bahasa

Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang dating. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya yang disebut bilingualisme dan multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode. Namun disamping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut monolingual, unilingual, atau monoglot; yang menguasai dua bahasa disebut bilingual; sedangkan yang menguasai lebih dua bahasa disebut multilingual, plurilingual, atau poliglot.


(3)

Dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual sebagai akibat adanya kontak bahasa (dan juga kontak budaya), dapat terjadi peristiwa atau kasus yang disebut interferensi, integrasi, alihkode (code-switching), dan campurkode (code-mixing). Keempat peristiwa ini gejalanya sama,yaitu adanya unsur bahasa yang lain dalam bahasa yang digunakan namun,konsep masalahnya tidak sama. Yang dimaksud dengan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai ke tataran leksikon. Contoh pada tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, dan /g/ maka konsonan tersebut akan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan. Jadi, kata Bogor akan diucapkan mBogor. Contoh pada interferensi pada tataran gramatikal misalnya, penggunaan prefiks ke-seperti pada kata kepukul, ketabrak, dan kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca. Contoh interferensi dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif Makanan itu telah dimakan oleh saya dari penutur berbahasa ibu bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah Makanan the atas dituang kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah Makanan itu telah saya makan.

Interfernsi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk itu, sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Kata dalam bahasa Indonesia yang sekarang dieja menjadi montir, riset, sopir, dan dongkrak adalah contoh yang sudah berintegrasi.

Dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali terjadi peristiwa yang disebut ahlikode, yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Umpamanya, ketika A dan B sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, datanglah C yang tidak mengerti bahasa Indonesia tetapi berbahasa inggris (dan kebetulan A dan B juga dapat berbahasa inggris), maka kemudian digunakanlah bahasa inggris. Setelah C pamit, A dan B meneruskan kembali bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.


(4)

Ahli kode juga terjadi karena sebab-sebab lain. Misalnya karena perubahan situasi, atau topik pembicaraan. Berikut disajikan contoh yang diambil dari Djoko Kentjo (1982)

A : Dik! Saya dengar kabar selentingan lho. Wanneer verirek je naar Hollan? Nanti saya titip surat, ya?

B : Silahkan, Mbak!

2.1.5 Bahasa dan Budaya

Satu lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada satu hipotesis yang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan oleh dua orang pakar , yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.Jadi, bahasa itu menguasai cara berfikir dan bertindak manusia.Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya. Misalnya, katanya, dalam bahasa-bahasa yang mempunyai kategori kala atau waktu, masyarakat penuturnya sangat menghargai dan sangat terikat oleh waktu. Segala hal yang mereka lakukan selalu sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. Tetapi dalam bahasa-bahasa yang tidak mempunyai kategori kala, masyarakatnya sangat tidak menghargai waktu. Jadwal acara yang telah disusun seringkali tidak dapat dipatuhi waktunya. Itulah barangkali sebabnya kalau di Indonesia ada ungkapan ‘jam karet”, sedangkan di Eropa tidak ada. Karena eratnya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan ini,maka ada pakar yang menyamakan hubungan keduanya itu sebagai bayi kembar siam, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Atau sebagai sekeping mata uang sisi yang satu adalah bahasa dan sisi yang lain adalah kebudayaan.


(5)

BAGIAN III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri sedangkan faktor diluar bahasa merupakan kajian linguistik makro. Kiranya yang dimaksud dengan faktor-faktor diluar bahasa itu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia didalam masyarakat, karena tidak ada kegiatan yang tanpa

berhubungan dengan bahasa jelasnya, hubungan bahasa dengan masyarakat itu sangat erat kaitannya.

3.2 Saran

Demikianlah hasil ringkasan pembahasan mengenai Bahasa dan Faktor Luar Bahasa. Saran dan kritik senantiasa kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dalam penulisan laporan kami selanjutnya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

http://evyca-sijelek.blogspot.com/2011/12/linguistik-umum-bahasa-dan-faktor-luar.html