Orang Beriman Mengawal Kekuasaan Allah

B I N A

A K I D A H

Orang Beriman Mengawal
Kekuasaan Allah
MOHAMMAD DAMAMI

fsp

pd

w.

htt
p:/
/w
w

De
mo

(

40

12 - 24 RABIULAWAL 1432 H

Allah SwT. Oleh karena itu, siapa pun
orangnya kalau ingin disebut pemegang
“kekuasaan” dalam arti yang sesungguhsungguhnya adalah orang yang benar-benar menyadari bahwa dirinya hanyalah selaku pelaksana kekuasaan Allah SwT di
planet bumi ini dan tidak pernah terbersit
sedikit pun dalam hatinya bahwa dirinya
memiliki kekuasaan yang sepenuh-penuhnya, sebebasnya. Atau dengan lain perkataan, pemegang “kekuasaan” yang dalam
arti yang sesungguh-sungguhnya adalah
pemegang kekuasaan yang beriman. Sebab, sifat dan kebiasaan orang yang benarbenar beriman (Mukmin) adalah senantiasa berkonsultasi dan melaporkan segala
tindakan dan perbuatannya kepada Allah
SwT misalnya lewat dzikir (mengingat secara fungsional atas Kekuasaan Allah dan
hasilnya kalau taat kepada-Nya serta akibatnya kalau melenceng dari aturan-Nya),
doa, dan disiplin shalat dengan khusyu’.
Berdasar uraian di atas, dapat ditarik
pengertian bahwa hanya orang berimanlah

yang tahu persis dalam memahami hakikat
kekuasaan dan bagaimana pemanfaatan
kekuasaan dalam proses-proses operasionalisasinya. Oleh karena itu, sejajar dengan posisi orang yang beriraan tersebut,
maka orang beriman juga merasa bertugas
untuk mengawal “kekuasaan” yang telah
dianugerahkan Allah SwT kepada manusia
tersebut agar dipegang dan dijalankan sebagaimana mestinya, sesuai dengan koridor aturan Allah SwT. Siapa pun yang
memegang kekuasaan, maka orang beriman yang lain ada kewajiban untuk mengontrol apakah kekuasaan tersebut dijalankan secara benar menurut koridor aturan Allah SwT. Seperti berbuat adil, menyejahterakan orang/rakyat yang dipimpin,
menepati janji-janji yang telah diucapkan,
dan sebagainya. ataukah belum atau bahkan tidak. Itulah pekerti orang yang beriman.
Wallaahu a’lam bishshawaab.l

litm
erg
er.
co
m)

kekuasaan yang diwakilkan oleh Allah SwT
yang dalam kekuasaan tersebut dipenuhi

rasa tanggungjawab yang sangat berat yang
meliputi wajib memakmurkan kehidupan
di planet bumi, menjaga hukum-hukum
keseimbangan alam (Ar-Rahman [55]: 79), dan menjaga dari kerusakan lingkungan (Ar-Ruum [30]: 41). Perlu ditegaskan
di sini, yang dimaksud “kekuasaan” di sini
bukan sekedar kekuasaan karena sistem
aturan politik (seperti kekuasaan yang melekat pada jabatan selaku Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan semacamnya), organisasi ekonomi
(seperti selaku Komisaris, Direktur, dan semacamnya), organisasi militer (seperti selaku Panglima, Komandan Peleton, dan
semacamnya), organisasi sosial pada
umumnya (seperti Ketua, Sekretaris,
Bendahara, Koordinator Seksi, dan
semacamnya), melainkan juga kekuasaan
yang melekat setiap individu, seperti
kebebasan usaha untuk “memiliki” (baca:
nafsu memiliki), untuk “menikmati” (baca:
nafsu menikmati), dan nafsu “mengatur”.
Selanjutnya, bagaimana operasionalisasi “kekuasaan” itu mengingat batasan
(definisi) “kekuasaan” yang terumus di
atas? Bahwa betapapun besar dan kuatnya

kekuasaan yang dimiliki, apakah itu kekuasaan yang melekat pada setiap diri individu
manusia, atau kekuasaan karena aturan
sistem, menurut Al-Qur’an, tetaplah kekuasaan tersebut titipan Allah SwT, Sang Maha
Penguasa Alam Semesta ini. Karena itu,
untuk mengoperasionalkan kekuasaan
yang dimiliki, maka manusia tetap terikat
oleh koridor aturan dan petunjuk dari Allah
SwT, Tuhan yang telah memberikan wewenang (kekhalifahan) kepada manusia.
Jadi, pengoperasionalan kekuasaan tidak
untuk memuaskan nafsu-kuasa/mengatur,
nafsu memiliki, dan nafsu menikmati, melainkan sebagai wujud rasa tanggungjawab
yang besar terhadap pemilik kekuasaan
yang sebenarnya, yang sejatinya, yaitu

Vi
sit

M

enurut Al-Qur’an, kesadaran

tentang “kekuasaan” itu tidak
dapat dilepaskan dari diri manusia. Dikatakan dalam Al-Qur’an, bahwa sekalipun kedudukan manusia itu ditegaskan
sebagai “hamba” (Adz-Dzaariyaat [51]:
56), namun manusia dianugerahi peranan
sebagai “khalifah” Allah SwT, yaitu sebagai
wakil atau pengemban amanah Allah SwT
di planet bumi yang satu-satunya ini (AlBaqarah [2]: 30) yang memiliki tugas sebagai “musta’mir” atau pemakmur di planet
bumi itu sendiri (Hud [11]: 61). Sebab, segala isi planet bumi itu memang disediakan
Allah SwT untuk manusia seluruhnya, bukan untuk makhluk yang lain (Al-Baqarah
[3]: 29), makhluk jin misalnya. Oleh karena
itu tidak mengherankan kalau manusia memiliki naluri mengejar, ingin memiliki, dan
ingin menikmati “kekuasaan” di atas planet
bumi ini ketika mereka masih hidup.
Sungguhpun manusia dianugerahi
Allah SwT naluri ingin berkuasa di atas,
namun hakikat dan operasionalisasi kekuasaan yang dianugerahkan tersebut perlu
dipahami dan disadari sepenuhnya oleh
manusia. Sebab, kalau tidak demikian, justru kekuasaan yang ingin dikejarnya, dimilikinya, dan dinikmatinya itu akan menyerang balik kepada dirinya sendiri yang sifatnya kontra produktif. Misalnya jatuh dari
kursi kekuasaan dalam keadaan malu dan
terhina, akan menjadi cacat hidup selamalamanya, akan menjadi pemusnah manusia, akan membuat penderitaan tak terperikan bagi berjuta-juta manusia yang lain,

dan bahkan menjadi penyebab rusaknya
lingkungan hidup dan keseimbangan di
planet bumi yang sekali lagi, satu-satunya
ini. Ungkapan tersebut dapat dibuktikan kalau orang mau membuka lembaran-lembaran catatan sejarah yang telah dipublikasikan selama ini.
Apa hakikat “kekuasaan“ yang dianugerahkan Allah SwT kepada manusia itu?
Kekuasaan yang dimiliki manusia adalah