Penentuan Batas Edge dan Core Area Hutan Sisa (Remnant Forest) di Suaka Margasatwa Balai Raja Propinsi Riau

!

" #$%#&#&#%

'

(

+ .+

'+!+

)

*+ ' + ! + ,

- (

+

)


(

+ .+/+

0

'
'

)
!

.

)

*+ ' + ! + / 1 /

2


&3

(

&#%%

+ +

' +!+'

- (

,

+ .+ 0 +

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja adalah kawasan konservasi
di Provinsi Riau yang ditetapkan
Kehutanan

sebagai suaka margasatwa oleh Menteri

Nomor 173/Kpts-Institut/1986 tanggal 6 Juni 1986 dengan

luas

kawasan adalah 18.880 hektar. Salah satu tujuan penetapan kawasan adalah upaya
untuk mengkonservasi gajah dan harimau sumatra.

Dengan berkembangnya

waktu dan peningkatan aktivitas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seperti
kegiatan illegal logging, pertambangan, pertanian, perkebunan dan pemukiman
mengakibatkan luas kawasan SM Balai Raja tersebut semakin berkurang.

Berdasarkan data Landsat tahun 1985, 1989, 1992, 2000 dan 2004, telah terjadi
penurunan luasan tutupan vegetasi dan penggunaan lahan berupa hutan berturutturut sebagai berikut 13.705,19 ha, 12.767,78 ha, 10.504,84 ha, 1.865,88 ha dan
705,85 ha.

Dengan demikian terjadi kehilangan hutan selama periode 1985

sampai 2004 sebesar 12.999.34 ha (rata-rata 684,18 ha per tahun atau 4,99%
pertahun) untuk luasan SM Balai Raja.

Sementara terjadi peningkatan

penggunaan lahan untuk pemukiman dan bareland

dari tahun 1985 sebesar

280,51 ha (pemukiman) dan 825,78 ha (bareland) meningkat pada tahun 2004
menjadi 1.103,36 ha (pemukiman) dan 4.947,59 ha (bareland).

Sedangkan


penggunaan lahan untuk kelapa sawit yang pada tahun 1985 tidak ada menjadi
sebesar 3.391,36 ha pada tahun 2004 (PPLH IPB & CPI 2005).
Dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi maka saat ini kondisi
nyata hutan kawasan SM Balai Raja adalah merupakan suatu bentuk remnant
forest (hutan sisa). Hutan sisa adalah hutan yang tersisa akibat matriks suatu
hutan terganggu. Matriks adalah elemen (habitat) homogen yang paling dominan
dalam suatu bentang lansekap.
pengecilan atau pemusnahan

Fragmentasi habitat dapat mempercepat

populasi dengan cara membagi populasi yang

tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang
luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap

2

tekanan silang dalam, genetic drift dan masalah-masalah lain yang terkait dengan
populasi berukuran kecil.

Kondisi vegetasi di kawasan SM Balai Raja pada saat ini terbagi menjadi
beberapa kelompok yaitu hutan, semak belukar, alang-alang, riparian dan vegetasi
pada areal berair, ladang, kebun kelapa sawit, dan kebun karet.

Kawasan

merupakan salah satu contoh kasus dari beberapa kerusakan yang terjadi pada
kawasan konservasi yang ada di Indonesia.

Dengan melihat sejarah

perkembangan kehutanan maka perusakan kawasan konservasi tersebut akan terus
berlangsung sehingga memungkinkan sekali seluruh kawasan konservasi akan
terfragmentasi menjadi pulau-pulau habitat kecil yang tersisa (hutan sisa) dengan
nasib yang sama dengan SM Balai Raja.
Kondisi kawasan konservasi yang terfragmentasi

menjadi pulau-pulau

habitat berukuran kecil merupakan suatu pertanyaan besar bagi pelestarian habitat

maupun satwa liar yang terdapat didalamnya. Dengan fragmentasi habitat tersebut
menyebabkan semakin berkurangnya fungsi kawasan untuk mendukung berbagai
hidupan liar dan kebutuhan manusia. Sehingga akan dimungkinkan terjadinya
kematian spesies dan bahkan kepunahan spesies tertentu.
Teori single large or several small (SLOSS) masih memperdepatkan bahwa
kawasan konservasi dapat dikelola dengan beberapa pulau-pulau habitat yang
berukuran kecil (several small theory) atau sebuah pulau habitat yang cukup besar
untuk pelestarian hidupan liar (single large theory). Teori single large lebih
kepada pendekatan biogeografi pulau. Dimana semakin besar areal konservasi
maka semakin besar kemungkinan habitat yang tersedia bagi hidupan liar untuk
dapat berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidupnya dari kepunahan.
Hal yang terpenting dari teori single large atau several small sebenarnya adalah
berapa luasan dan jumlah minimal yang diperlukan bagi suatu habitat untuk
dapat melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. Untuk itu diperlukan suatu
usaha pengelolaan hutan yang terfragmentasi seperti hutan sisa.
Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan tersebut maka dibutuhkan
informasi tentang kondisi edge dan core area pada hutan sisa. Informasi tentang
lebar edge, keanekaragaman jenis tumbuhan, struktur tegakan pada edge hutan

3


sisa dapat memberikan informasi bagi rencana pengembangan maupun tindakantindakan pengelolaan yang dilaksanakan terhadap matriks yang terfragmentasi.
Perumusan Masalah
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri saat ini adalah kondisi kawasan suaka
margasatwa bukanlah merupakan suatu kawasan dengan kondisi ekologis yang
kompak dalam melindungi dan melestarikan berbagai jenis satwa yang ada di
dalamnya. Kawasan tersebut terpecah-pecah menjadi pacth-pacth yang berukuran
kecil. Hal ini disebabkan oleh pertambahan penduduk dan aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhannya sehingga memberikan tekanan yang sangat signifikan
terhadap kawasan SM Balai Raja.

Akibat

aktivitas manusia tersebut telah

mengubah kawasan hutan SM Balai Raja menjadi berbagai bentuk penggunaan
lahan seperti pemukiman, perkebunan kelapa sawit, sawah, ladang, kebun karet
dan penggunaan lainnya.
Kawasan SM Balai Raja terfragmentasi dan membentuk hutan sisa dengan
ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi awalnya. Hutan sisa ini

merupakan hutan tempat kehidupan terakhir berbagai hidupan liar yang ada pada
kawasan suaka margasatwa tersebut.
Mengingat kondisi aktual SM Balai Raja adalah hutan sisa maka merupakan
keharusan untuk mengelola hutan sisa

tersebut.

Untuk mengetahui

bentuk

pengelolaannya maka diperlukan informasi yang berkenaan dengan kondisi hutan
sisa tersebut. Lebar forest edge, keanekaragaman jenis dan spesies indikator
merupakan informasi yang berkenaan dengan pengelolaannya masih sangat minim
tersedia. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan menjawab permasalahan
pada hutan sisa kawasan SM Balai Raja.
Tujuan Penelitian
Penelitian memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Menentukan lebarnya daerah tepi yang terbentuk pada hutan sisa
2. Menentukan keanekaragaman jenis (jumlah jenis, jenis dominan, indeks

kekayaan jenis, indeks kelimpahan jenis dan indeks kemerataan jenis) dan
struktur tegakan pada daerah tepi hutan sisa

4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang lebar daerah tepi
hutan (forest edge) yang terbentuk, keanekaragaman jenis tumbuhan, struktur
tegakan dan spesies indikator pada daerah tepi

hutan sisa SM Balai Raja,

sehingga berguna bagi tindakan pengelolaan kawasan SM Balai Raja.
Kerangka Pemikiran
Perubahan terhadap kondisi hutan akan senantiasa terjadi sebagai akibat
dari pemanfaatan manusia maupun disebabkan oleh keberadaannya sebagai suatu
sistem yang dinamis. Perubahan-perubahan yang terjadi tentunya akan dapat
menyebabkan gangguan terhadap komunitas hutan. Fragmentasi hutan adalah
merupakan suatu bentuk gangguan pada hutan tersebut. Hutan sisa adalah suatu
hutan yang tersisa yang terbentuk akibat terganggunya suatu matrik hutan. Hutan

sisa ini memiliki edge area dan core area. Baik edge area maupun core area
memiliki komposisi dan struktur tumbuhan dan nilai keanekaragaman tersendiri
yang dapat diidentifikasi untuk menentukan lebar dan batas edge terhadap core
area.
Tindakan pengelolaan terhadap

hutan ini mutlak diperlukan, baik

itu

menyangkut pemeliharaan, pemanfaatan maupun rehabilitasi. Menyikapi upaya
pengelolaan yang harus dilakukan terhadap hutan yang terfragmentasi, variabel
penting yang harus diperhatikan

adalah bagaimana kondisi ekologis yang

berhubungan dengan keadaan vegetasi maupun lingkungan

tumbuhan yang

terdapat di dalamnya. Informasi-informasi menyangkut kondisi ekologis tersebut
berupa keterangan tentang keanekaragaman jenis dan struktur tegakan diharapkan
akan makin memperjelas dan memudahkan dalam pengelolaan hutan sisa
kawasan suaka margasatwa secara benar dan lebih bijaksana.

5

SM BALAI RAJA

FRAGMENTASI
HABITAT

HABITAT
HIDUPA
N LIAR

LADANG
KEBUN SAWIT
KEBUNKARET
SAWAH
PEMUKIMAN

REMNANT FOREST

EDGE
AREA

CORE
AREA

KOMPOSISI
JENIS

KOMPOSISI
JENIS

PERUBAHAN/PERBEDAAN
KEANEKARAGAMAN
SPESIES INDIKATOR

LEBAR & BATAS
DAERAH TEPI

PENGELOLAAN

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Fragmentasi dan Edge
Dalam terminologi lansekap ekologi edge dapat diartikan sebagai tempat
pertemuan

patch ataupun matriks yang berbeda. Thomas et. Al (1979),

mendefinisikan edge (daerah tepi) sebagai tempat pertemuan dua komunitas
tumbuhan yang berbeda. Forest egde merupakan ciri-ciri struktural yang penting
dari sebuah lansekap (Leopod 1933; Harris 1988; Murcia 1995). Sebagai batas
antara hutan dan komunitas lainnya, edge merupakan titik pertemuan pertama dari
aliran organisme, materi, dan energi antar kedua habitat tersebut (Wiens 1992;
Forman 1995). Aliran tersebut dapat mempengaruhi dinamika hutan. Jika edge
mempengaruhi besarnya atau arah dari aliran diantara dua habitat, maka kemudian
edge mungkin akan mempengaruhi dinamika dari forest intrerior (Angelstam
1992: Wiens et al 1993; Pickett & Cadenasso 1995).
Selanjutnya Thomas menyatakan bahwa dilihat dari struktur lansekapnya,
edge dapat dibedakan menjadi (a). Inheren egde yaitu edge yang terbentuk dari
pertemuan dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya; (b) Induced edge;
edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya penggembalaan,
logging, kebakaran.
Pengaruh edge telah menjadi topik utama bagi studi pola dan proses-proses
lansekap yang diasosiakan dengan pembentukan edge dan fragmentasi selama
beberapa akhir dekade ini. Penelitian pada forest edge yang dimulai Leopold
(1993) mengenalkan bahwa habitat edge mendukung kelimpahan jenis dan
keanekaragaman yang tinggi.
Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi.
Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah
hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intentsitas cahaya,
suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis. (Kapos 1989); Bierregaard
dkk. 1992). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 meter ke dalam hutan
(Laurance 1991).

Oleh karena

spesies

tumbuhan dan hewan

biasanya

beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu, perubahan
tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan.

8

Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan di
tengah hutan.

Edge dipandang sebagai

suatu ekosistem tersendiri yang

diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem.

Keanekaragaman pada edge

lebih tinggi dari pada patchnya. Thomas et al (1979), menemukan bahwa edge
mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar, karena efek aditif dari fauna
karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda.

Bentuk, luas, dan

konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang
sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah.
Bentuk, luas dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem
pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah.
Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah
proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang
heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan
berbeda dengan matriks awal dalam hal: (a) matriks yang terfragmen akan
mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge
menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang
menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya.
Karakteristik spasial fragmen banyak dipengaruhi oleh fenomena edge.
Fenomena edge biasanya terjadi pada hutan-hutan yang telah mengalami
pemusnahan vegetasi (penebangan) sehingga merubah struktur dominan vertikal.
Tanaman di daerah edge mendapat cahaya lebih banyak dibandingkan di interior
dari sebuah fragmen. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya temperatur dan
menurunkan kelembaban, selain itu kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan
dengan hutan

interior. Penggabungan perubahan pada cahaya, temperatur,

kelembaban dan kondisi angin di hutan edge mengubah struktur dan komposisi
komunitas yang ada. Sebagai contoh, pacth-pacth deciduous di sebelah tenggara
Wisconsin, tipikal hutan edge mengandung lebih banyak spesies pioner dan
tanaman xeric daripada interior. Kerapatannya lebih tinggi pada semak belukar
dan vegetasi herba penutup tanah sampai beberapa meter ke dalam hutan.
Tingginya kekayaan jenis di daerah tepi hutan dimungkinkan adanya invasi
spesies exotic.

9

Penyebab efek edge pada habitat khusus merupakan jarak yang konstan dari
border (tepi) ke poros (pusat) dari fragmen habitat, fragmen-fragmen yang lebih
kecil akan mengandung proporsi yang lebih tinggi pada habitat edge dibanding
fragmen-fragmen yang lebih besar. Sebagai contoh, pada hutan remnant
deciduous dari 1 ha dimana 100% habitat edge akan tidak mempunyai habitat
interior, 10 ha fragmen mempunyai 5,3 ha edge (53%) dan 4,7 ha interior (47%),
sedangkan hutan remnant yang 100 ha mempunyai 19 ha edge (19%) dan 81 ha
interior (81%).
Selanjutnya banyak penelitian yang menghubungkan ukuran habitat
fragmen dengan jumlah spesies tanaman atau hewan. Salah satunya adalah
penelitian burung di daerah temperate dan tropika menunjukkan bahwa
menurunnya hutan fragmen yang teriosolasi akan menurunkan jumlah spesies
burung dan akan meningkatkan kepunahan lokal. Sebagai contoh, dalam
komunitas burung padang rumput diperkirakan spesies yang akan datang sebesar
79% pada 1000 ha fragmen padang rumput dan sebesar 31% spesies burung pada
10 ha fragmen padang rumput.
Namun adapula spesies yang toleran terhadap penurunan ukuran fragmen.
Sebagai contoh, spesies primata dengan jelajah khusus yang luas dari 10-100 ha
pada hutan-hutan tropika yang terisolasi.
Penurunan populasi akibat penurunan fragmen memberikan pengaruh
langsung dan tidak langsung dari hilangnya suatu habitat. Peningkatan kejadian
pemangsa burung dan parasit anak-anak burung pada fragmen

kecil telah

menyebabkan penurunan populasi pada burung ”pengicau” yang disebabkan oleh
meningkatnya

parasit arthopoda. Fragmentasi yang kecil juga menyebabkan

berjangkitnya serangga pemangsa karena rendahnya efisiensi pencarian oleh
predator. Pada akhirnya, rendahnya kunjungan para penyerbuk pada habitat
fragmen akan menghasilkan penurunan produksi biji pada spesies-spesies
tanaman tersebut.
Edge yang terbentuk mungkin merupakan hasil dari perubahan yang secara
mendadak dari perbedaan jenis-jenis tanah, topografi, geomophic dan iklim mikro
karena pertemuan vegetasi ditentukan oleh kejadian alam jangka panjang.

10

Forest edge dicirikan dengan kondisi biofisik yang berbeda dengan
ekosistem hutan dalam interior pacth (Chen et al, 1992; Hobbs and Humphries,
1995). Dari perspektif konservasi sangatlah penting bahwa forest edge jarang
sekali ditemukan pada hutan-hutan yang tidak terganggu tetapi sangat umum
terdapat pada lansekap yang diubah secara artificial (Franklin & Forman, 1987;
Noss & Cooperrier, 1994).
Keanekaragaman Jenis
Konsep keanekaragaman jenis (spesies diversity) berawal dari apa yang
disebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang
luas keanekaragaman hayati merupakan

keragaman kehidupan dalam semua

bentuk dan tingkatan organisme (Hunter, 1990), termasuk struktur, fungsi dan
proses-proses ekologi di semua tingkatan (Society of American Forester (1991)
dalam Kissinger (2001).
Sebagai suata usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional,
Crow et al. (1994) telah mengidentifikasi keanekaragaman menjadi tiga tipe atau
sub kelompok keanekaragaman, yakni: komposisi, struktural dan fungsional.
Keanekaragaman

komposisi adalah

keanekaragaman sesuatu

wilayah , seperti jenis dalam suatu tegakan hutan.

dalam suatu

Keanekaragaman struktur

dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horizontal dari tumbuhan, ukuran
tumbuhan, atau distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan
dengan proses-proses ekologi, aliran energi, dan hubungan trophic level. Pada
tipe-tipe tersebut keanekaragaman dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi
biologi, misalnya dari tingkatan genetik, jenis atau ekosistem (Probst and Crow,
1991).
Tiap tipe dan tingkatan keanekaragaman mengekspresikan berbagai skala
spasial, dari lokal sampai global. Memperhatikan skala relevansi dalam
manajemen, strategi yang baik pada tingkat lokal mungkin menurun untuk
keanekaragaman tingkat regional
Magurran (1998) menyatakan
keanekaragaman, yakni :

(Crow, 1990).

Whitaker (1977) dalam

tentang skala pengukuran dalam inventarisasi

11

a.

Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada
suatu unit contoh yang diukur.

b.

Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yakni nilai keanekaragaman pada
suatu habitat yang homogen (kumpulan atau gabungan keanekaragaman
titik).

c.

Keanekaragaman gamma ( gamma diversity), yaitu keanekaragmagan suatu
pulau atau landscape (kumpulan atau gabungan keanekaragaman alpha).

d.

Keanekaragaman total (total diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu
wilayah biogeografi (kumpulan dari keanekaragaman gamma).
Robert (1995) mengusulkan penyederhanaan agar menggunakan tiga skala

spasial

yakni (1). Bagian dari areal tegakan yang dicirikan dengan suatu

kerusakan atau ciri tertentu sebagai akibat perlakuan yang berbeda terhadap
lahan, komposisi, atau strukturnya (diistilahkan dengan “patch’), (2) Tegakan
yakni suatu kumpulan pohon-pohon dan asosiasi vegetasi dari struktur yang
serupa yang tumbuh pada kondisi lahan yang serupa, (3) Lanscape yakni beragam
kawasan lahan dengan komposisi berbeda dalam suatu interaksi ekosistem.
Selain skala keruangan, tipe maupun tingkatan keanekaragaman tersebut
terjadi

pula

dalam

skala

waktu.

Untuk

itulah

sebelum

menentukan

keanekaragaman terlebih dahulu harus ditentukan tipe, tingkatan organisasi, dan
skala spasial maupun temporal.
Berdasarkan
keanekaragaman

tingkatan

organisasi

biologi

dalam

suatu

ukuran

dan dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih

membatasi cakupan permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis
adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert, 1995).
Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya dapat disusun dari
dua komponen. Pertama adalah jumlah jenis dalam suatu areal, yang mana para
ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen
kedua adalah species evennes atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan lagi
suatu indeks yang berupaya mengkombinasi antara kekayaan jenis dan
kemerataan ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas
(kelimpahan jenis).

12

Kekayaan jenis.
Kekayaan jenis pertama kali dikemukan oleh McIntossh tahun 1967.
Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah

jumlah

jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995)
mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu
tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa
kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu.
Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah
sebagai berikut : (1) Metode rarefaction yang pertama kali dikemukan oleh
Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Maguran, 1988). (2)
indeks kekayaan jenis Margalef, (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks
kekayaan jenis Jackknife.
Kemerataan jenis
Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara
setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan
Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator
adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu komunitas.
Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1)
indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shanon-Wiener, (3) indeks
kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs
(1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynolds (1988)
yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness number.
Kelimpahan jenis
Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan oleh Good (1953) dalam
Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan jenis atau species
abundance (Magurran, 1988). Seperti dikemukan semula bahwa konsep ini
merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis
dan kemerataan jenis. Diantara sekian banyak indeks heterogenitas, ada tiga
indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yakni : indeks
Simpson, indeks Shanon-Wiener dan indeks Brillouin (Poole, 197; Krebs, 1989).

13

Dalam hubungannnya dengan komunitas hutan, keanekaragaman jenis akan
bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya.

Bruenig (1995)

mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari
kandungan humus podsol yang dalam, medium, dan dangkal sesuai kajiannya
pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran-kerangas perbukitan-hutan
kerapah) di Serawak, Brunai dan Cina Selatan, serta Bana daerah Amazon.
Disimpulkannya bahwa kekayaan jenis berhubungan dan dibatasi kondisi tanah
dimana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara
dan kualitas humus.
Struktur Tegakan
Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu:

struktur tegakan

vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1996)
dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk.
Sedangkan Husch et al (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal
merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya,
yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.
Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil.
Diagram ini merupakan dua sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang
memiliki ukuran lebar 7,5 meter dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal
pohon, umunya pohon dengan tinggi 5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam
gambaran. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon
yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986).
Daniel et al. (1987) mengemukan bahwa struktur tegakan menunjukkan
sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering
mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki
oleh tegakan semua umur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan
tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk J
terbalik.
Oliver dan Larson (1990) menjelaskan

bahwa struktur tegakan adalah

sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan.
Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang

14

horisontal dan vertikal (3). Besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup
volume tajuk, luas daun, dan lain-lain

(4) umur pohon, (5) kombinasi dari

kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi
mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat
semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosunarto, 1981).
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih
mengarah ke struktur tegakan horizontal, yakni menyangkut nilai luas bidang
dasar, frekwensi dan kerapatan pohon.

Spesies Indikator
Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi
lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator. Spesies
indikator juga mempunyai arti sebagai spesies yang dapat memberikan gambaran
tentang kondisi lingkungan suatu tempat.
Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh
(1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator
adalah:
a) Mudah diidentifikasi
b) Tersebar secara kosmopolit
c) Kelimpahan dapat dihitung
d) Variabilitas ekologi dan genetik rendah
e) Ukuran tubuh relatif besar
f) Mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama
g) Karakteristik ekologi diketahui dengan baik
h) Terintegrasi dengan kondisi lingkungan
i) Cocok untuk digunakan pada studi laboratorium

Kegunaan Spesies Indikator
Dalam penilaian cepat skala besar keragaman jenis dan potensi regenerasi
hutan, salah satu pendekatan yang digunakan untuk menduga karakteristik

15

hutan dengan mudah dan cepat adalah dengan mengukur parameter-parameter
hutan tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan kehadiran
spesies indikator pada hutan yang telah terganggu (Person, 1995; World Bank,
1998; Lindermayer et al., 2000)
Hutan sekunder memainkan peranan penting dalam konservasi keragaman
jenis pohon di Asia Tenggara karena terus meningkatnya fragmentasi dan
berkurangnya luas hutan-hutan tidak terganggu di wilayah ini. Suatu metode
pengujian cepat dibuat untuk memfasilitasi penetapan kesempurnaan hutan-hutan
sekunder dalam istilah struktur hutan dan komposisi jenis, dengan menggunakan
jenis tumbuhan indikator dari marga Macaranga dan Mallotus (Euphorbiaceae)
(Slik, 2003).
Kerusakan hutan dan jenis-jenis tumbuhan perintis
Salah satu dari perubahan-perubahan yang jelas terlihat setelah kerusakan di
hutan-hutan tropis adalah kemunculan jenis tumbuhan perintis secara tiba-tiba.
Meningkatnya jenis-jenis perintis di habitat-habitat yang terganggu berkaitan erat
dengan meningkatnya kadar cahaya di lapisan bawah hutan. Karena adanya
peningkatan jumlah jenis-jenis perintis setelah kerusakan, maka jenis-jenis
perintis tersebut pada prinsipnya cocok untuk mendeteksi dan mengukur
kerusakan hutan tropis. Disini fokusnya adalah pada dua marga yang berhubungan
erat, mudah untuk dikenali, marga yang kaya jenis di Asia Tenggara, yaitu
Macaranga dan Mallotus.
Banyak jenis dari kedua marga ini dapat diklasifikasikan sebagai ciri khas
jenis-jenis perintis dan kelimpahannya berkaitan erat dengan tingkat umum
kerusakan di hutan-hutan yang diteliti jangka waktu setelah kerusakan terjadi, dan
jumlah kerusakan.
Mengukur tingkat kerusakan di hutan terbakar dan bekas pembalakan
didapat dari kelimpahan jenis pohon perintis marga Macaranga dan Mallotus,
serta dari komposisi komposisi komunitas burung dan kupu-kupu. Umumnya
genus Macaranga cepat tumbuh, pohon juga dapat mencapai ketinggian 20 m.
Beberapa spesies Macaranga dikaitkan dengan semut untuk memproduksi nutrisi
dan bersarang dalam pergantian ruang bagi perlindungan herbivora (Feldhaar et
al. 2000). Beberapa spesies digunakan sebagai spesies indikator bagi tingkat

16

gangguan terhadap sebuah kawasan hutan (Slik et al. 2003). Sangat menarik
untuk dikaji bahwa distribusi populasi masing-masing berbeda dari satu spesies
Macaranga terhadap spesiea Macaranga lainnya, yang mana didasarkan pada
kondisi habitatnya masing-masing.
Pola Sebaran Spasial
Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting
dalam komunitas ekologi. Hal ini merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk
meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari
kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold, 1988). Pola
sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan
terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu:
a.

Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan
(misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)

b.

Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi

c.

Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya
kompetisi)

d.

Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada
beberapa faktor diatas.
Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random, (2)

mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1971; Ludwig &
Reynold, 1988; McNaughton & Wolf, 1990).
Pola acak terbentuk akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1971;
Ludwig and Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif. Rosalina (1996)
menyatakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola
sebarannya umumnya acak.

Bruenig (1995) dalam Kissinger (2002)

mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis disebabkan jenis
tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa
persyaratan khusus dalam cahaya dan hara.

17

Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa
terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold,
1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya keteraturan
sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis
tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan
(Rosalina, 1996).
Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada
suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang
lain didekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang
berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok (McNaughton &
Wolf, 1990).
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting
untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon.

Manokaran

(1992) mengungkapkan berdasarkan penelitian mengenai pola spasial yang terjadi
pada spesies pohon Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran
spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada topografi, kelembaban
tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.

19

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan
Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di
dalam kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja, Provinsi Riau. Waktu penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2004.
Bahan dan Alat
Objek penelitian adalah vegetasi dari suatu hutan sisa akibat fragmentasi
kawasan hutan Suaka Margasatwa Balai Raja. Bahan yang digunakan adalah
bahan keperluan untuk pembuatan herbarium seperti alkohol 70%, kantong
plastik, kertas koran, label gantung, karung dan tally sheet.
Alat yang digunakan meliputi peta lokasi, meteran, pisau, parang, penggaris,
lakban, haga hypsometer, pita ukur, phi band, kompas, peralatan dokumentasi,
dan alat tulis menulis.
Metode
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data vegetasi yang mencakup:
a. Jumlah invidu, jumlah jenis, diameter setinggi dada, tinggi, dan luas
penutupan tajuk (untuk kepentingan pembuatan diagram profil) untuk
tingkat pohon dan tiang.
b. Jumlah jenis vegetasi tingkat pancang dan semai

Pembuatan plot pengamatan.
1.

Sebelum dilakukan pembuatan petak contoh pengamatan, terlebih dahulu
dilakukan kegiatan survei pendahuluan dan ditunjang dengan studi peta
kerja maupun peta hutan sisa kawasan SM Balai Raja guna mengetahui
lokasi penempatan petak contoh penelitian.

20

2.

Penetapan jalur dilakukan secara purposive sampling berupa jalur-jalur
analisis vegetasi yang ditempatkan mulai dari tepi hutan sisa sampai ke
dalam hutan dengan panjang jalur 300 meter dan jarak antar jalur yang
bervariasi tergantung dengan kondisi keberadaan vegetasi di lapangan.

3.

Jalur pengamatan adalah berupa jalur berpetak dengan ukuran petak contoh
20m x 20m untuk tingkat pohon dimana dilakukan pencatatan jumlah jenis,
diameter setinggi dada, dan tinggi pohon. Dalam petak contoh 20m x 20m
dibuat sub petak contoh berukuran 10m x 10m untuk tingkat tiang dimana
dilakukan pengamatan

jumlah jenis, diameter setinggi dada, dan tinggi

vegetasi; sub petak contoh 5m x 5m untuk pengamatan permudaan tingkat
pancang; sub petak contoh berukuran 2m x 2m untuk pengamatan
permudaan tingkat semai.
Berdasarkan komposisi jenis yang dihasilkan dari tiap contoh, kemudian
dilakukan perhitungan ukuran keanekaragaman jenis (kekayaan, kemerataan dan
kelimpahan jenis). Dari data yang diperoleh digunakan juga dalam penentuan
struktur tegakan. Selain itu dilakukan perhitungan indeks nilai penting (INP) dari
vegetasi hutan sisa.

21

Gambar 2 Penempatan transek pengamatan pada lokasi penelitian.

c
a

b

300 m
d

Gambar 3 Teknik pengumpulan data untuk kepentingan analisis vegetasi.
(a = 2m x 2m; b = 5m x 5m; c = 10m x 10 m; d = 20m x 20 m)

22

Analisis Data
Determinasi jenis
Untuk mengetahui nama jenis dan famili dari jenis-jenis tumbuhan yang
diamati adalah dengan membuat herbarium masing-masing jenis dan kemudian
diidentifikasi pada Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian
Biologi-LIPI Bogor, disamping itu dengan menggunakan literatur yang ada
kemudian dicocokkan dengan nama daerah dari masing-masing jenis.
Indeks Keragaman
Indeks keragaman yang ditentukan meliputi kekayaan jenis, kelimpahan
jenis dan kemerataan (Magurran, 1988)
1. Kekayaan jenis (Species richness)
Indeks Kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks kekayaan jenis
Margalef, yakni sebagai berikut :
DMg = (S – 1) / Ln.N
Dimana :
DMg = indeks diversitas Margalef
S

= jumlah jenis yang teramati

N

= jumlah total individu yang teramati

ln

= logaritma natural

2. Kelimpahan jenis (Species Abudance)
Penentuan indeks kelimpahan jenis pada penelitian ini menggunakan indeks
Shannon-Wiener, yang dihitung dengan formula berikut :



23

Dimana
H’ = indeks diversitas Shanon
s

= jumlah jenis

pi

= proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)

ln

= log natural

3. Kemerataan jenis (Species evenness)
Kemerataan jenis ditentukan dengan menggunakan indeks kemerataan jenis
Shannon-Wiener dengan persamaan sebagai berikut :

Dimana
J

= indeks kemerataan

H’

= indeks diversitas Shannon

H’maks = ln(s)
Dominansi spesies tumbuhan
Perhitungan dominansi spesies tumbuhan baik tingkat pohon dan permudaan serta
tumbuhan bawah ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting, dengan
persamaan sebagai berikut :
1. Tingkat pohon dan tiang

24

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

2. Tingkat permudaan pancang dan semai

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR

Struktur Tegakan Tingkat Pohon dan Tiang. Analisa struktur vegetasi
vertikal dilakukan dengan menggunakan diagram profil.

Petak contoh yang

digunakan untuk pembuatan diagram profil diperoleh dengan mengambil masingmasing satu jalur yang mewakili kondisi bagian utara, selatan, timur dan barat
hutan sisa yang diamati. Gambaran yang disajikan merupakan proyeksi dari
kondisi vegetasi pohon dan tiang dalam suatu areal dengan lebar 20 meter dan
panjang 80 meter. Selanjutnya untuk pembuatan diagram profil dilakukan
pengukuran tinggi dan luas penutupan tajuk baik pada tingkat pohon maupun
tiang.

25

Penentuan Lebar Edge.
Penentuan lebar nilai edge adalah dengan menggunakan analisis gerombol
(Bray Curtis Cluster Analisis). Adapun tahapan dalam analisis cluster tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Data jumlah individu setiap jenis yang terdapat pada masing-masing petak
perjalur dimasukkan dalam tabel sehingga terdapat dua tabel yaitu masingmasing untuk tingkat semai dan pancang.
2. Dilakukan penghitungan nilai jarak diantara dua unit contoh dengan
menggunakan rumus Bray Curtis Distance. Metode penggabungan unitunit contoh yang digunakan adalah average lingkage clustering, yaitu
jarak antar cluster yang dihitung berdasarkan pada jarak rata-rata diantara
setiap pasangan unit contoh atau cluster.
3. Cluster-cluster yang terbentuk dan jarak antar cluster digambarkan dalam
sebuah dendogram.
4. Jarak cluster untuk klasifikasi ditentukan dengan menggunakan indeks
kesamaan komunitas Sorensen. Titik pembatas dendogram ditentukan
pada koefisisen jarak dimana diperkirakan setiap cluster yang terbentuk
memiliki indeks kesamaan sebesar ≥ 25% (Mueller-Dombois dan
Ellenberg, 1974). Indek kesamaan komunitas didapatkan dari rumus
indeks kesamaan komunitas Sorensen dengan persamaan sebagai berikut:
2 C
IS jk = --------- x 100%
A+B
Dimana :
IS = persen similarity antara unit contoh ke-j dan unit contoh ke- k.
A

= jumlah jenis di dalam contoh A

B

= jumlah jenis di dalam contoh B

C

= jumlah jenis yang sama atau lebih kecil dari jenis-jenis yang sama
yang pada dua unit contoh yang dibandingkan.

26

5. Hasil dari klasifikasi tersebut kemudian dibahas lebih lanjut secara
deskriptif terhadap jumlah cluster yang terbentuk.
6. Berdasarkan cluster-cluster yang terbentuk dalam setiap jalur, dilakukan
pencaharian keberadaan spesies indikator pada setiap petak. Kehadiran
spesies indikator pada setiap petak dalam cluster tersebut menunjukkan
lebar daerah tepi yang terbentuk pada hutan sisa.

27

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Pengelolaan
Kawasan SM Balai Raja sebelum ditetapkan sebagai kawasan suaka
margasatwa pada tahun 1986, adalah bagian dari HPH PT Chandra Dirgantara,
yang

ditetapkan

pada

tahun

1980

berdasarkan

SK.

Mentan

No.

228/Kpts/Um/4/1980 tertanggal 1 April 1980. Kemudian pada tahun 1986, ketika
HPH PT Chandra Dirgantara berhenti beroperasi, kawasan tersebut ditetapkan
menjadi Suaka Alam.

Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja ini ditunjuk

dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni
(SK. TGHK Propinsi Riau).
Bagian Utara dari kawasan SM Balai Raja ini bertumpang tindih dengan
kawasan HPH PT CD. Sehingga kawasan SM Balai Raja bagian Utara telah
mengalami kerusakan yang parah dibandingkan di bagian Selatan kawasan.
Tumpang tindih atau duplikasi kegiatan HPH di kawasan Suaka Margasatwa ini
tak pelak memicu pula terjadinya perambahan hutan di berbagai pelosok kawasan
SM Balai Raja. Terlebih kawasan SM Balai Raja ini dikelola dengan personil,
sarana dan prasarana dan pendanaan yang amat terbatas.
Letak dan Luas
Secara geografis kawasan SM Satwa Balai Raja terletak pada koordinat
101005-101025’ BT dan 01007-01015’LU.

Secara administrasi pemerintahan

terletak di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dan
berdasarkan pengelolaan wilayah kerja Konservasi Sumber Daya Alam masuk ke
dalam wilayah Balai Seksi Konservasi Sumberdaya Alam Bengkalis- Dumai,
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau dengan luas 18.880 hektar.
Penggunaan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan SM Balai Raja, yang dapat diidentifikasi oleh Landsat
adalah hutan alam, semak belukar, alang-alang, lahan terbuka (bareland), daerah
terbangun (build-up), ladang, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Hutan alam

28

terdiri dari hutan rawa dan hutan dataran rendah. Semak belukar merupakan
penutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi semak. Alang-alang merupakan
penutupan lahan yang didominasi oleh rumput alang-alang.

Lahan terbuka

merupakan kondisi penutupan lahan yang tanpa atau dengan vegetasi yang
minimal. Daerah terbangun merupakan penutupan lahan yang didominasi oleh
pemukiman dan infrastruktur lainnya. Perkebunan merupakan penutupan lahan
oleh tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit dan karet.
Analisis perubahan penggunaan dan penutupan lahan, dilakukan dengan
membandingkan data Landsat Tahun 1985, 1989, 1992, 2000 dan 2004.
Iklim
Kawasan SM Balai Raja sebagian besar termasuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah dan
Agroklimat - Bogor, data curah hujan rata-rata tahunan kawasan SM Balai Raja
berkisar antara 2.500 mm – 2.750 mm/tahun (Gambar .). Memiliki bulan basah 6
dan tanpa bulan kering. Kelembaban rata-rata berkisar antara 79% - 83%.
Temperatur maximum rata-rata sebesar 32,9 oC dan temperatur minimum rata-rata
sebesar 21,3 oC. Musim kemarau berkisar pada bulan Februari – Agustus,
sedangkan musim penghujan pada bulan September – Januari.

Gambar 4 Peta curah hujan tahunan (lingkaran merah adalah
kawasan SM Balai Raja).

29

Elevasi dan Kelas Kemiringan Lahan

Kondisi bentang alam kawasan SM Balai Raja adalah daerah dataran rendah
bergelombang dengan daerah depresi (cekungan) yang menyebar diantara bukitbukit kecil. Satuan morfologi ini sebagian merupakan daerah rawa-rawa.
SM Balai Raja berada pada ketinggian dengan kisaran 25 – 75 m diatas
permukaan laut (mdpl) (BAKOSURTANAL, 1 : 50.000, 1989). Bila dilihat dari
perbedaan ketinggian yang relatif kecil tersebut menunjukkan bahwa bentuk lahan
pada SM Balai Raja umumnya datar sampai bergelombang dengan kemiringan
lereng berada pada kisaran 0 – 8 %.
Berdasarkan peta topografi bagian utara – barat kawasan SM Balai Raja
termasuk datar (slope: 0 – 3%), sedangkan bagian timur – selatan dalam kisaran
datar – bergelombang (slope: 0 – 8%). Akan tetapi, pada beberapa lokasi seperti
di sempadan sungai, terutama sungai yang mengalir ke arah utara, kemiringan
lerengnya antara 8 – 15%.

Penutupan lahan pada sempadan sungai tersebut

umumnya masih berupa hutan atau semak belukar rapat.

Berdasarkan

pengamatan lapang, penutupan lahan pada daerah-daerah yang datar banyak
didominasi oleh kebun sawit, alang-alang, ladang, pemukiman dan semak.
Petrografi
Sifat petrografi atau batuan induk, waktu pembentukan dan kondisi iklim
merupakan tiga faktor penentu utama pedogenesis atau proses pembentukan tanah
di lokasi studi.
Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Indonesia, Lembar Dumai (0817) dan
Bagan Siapi-api (0878), Sumatra skala 1:250.000 (Cameron, et al., 1982),
petrografi lokasi studi terbentuk dari batu-batuan yang berasal dari Formasi Minas
(Qpmi) berumur Quarter-pleistosen yang terdiri atas batulumpur lunak
terkaolinkan dan terurat limonitkan, batulanau, pasir dan kerikil. Formasi ini
merupakan daerah lipatan dan peralihan antara antiklin dan sinklin.
Fisiografi
Secara umum, kondisi fisiografi lokasi studi dapat dikelompokkan atas tiga
grup, yaitu: (1) Aluvial (A), (2) Dataran (P) dan (3) Aneka Bentuk (X).

30

Grup aluvial berkembang dari endapan aluvial sungai dan menempati jalurjalur aliran sungai. Grup fisiografi ini ditandai oleh adanya dataran banjir dari
sungai bermeander yang terutama membentuk tanggul sepanjang sungai utama
yang letaknya lebih tinggi dari daerah rawa belakang dan terbentuk dari bahan
endapan halus, sehingga drainasenya terhambat.
Grup dataran merupakan bentukan dari bahan sedimen yang berasal dari
Formasi Minas yang telah mengalami proses pengangkatan atau lipatan sehingga
membentuk wilayah datar sampai berombak agak bergelombang. Grup dataran
memiliki sejarah yang cukup kompleks, yaitu telah mengalami proses geomorfik
di permukaan, termasuk proses erosi dan sedimentasi serta pelipatan.
Pembagian lebih lanjut Grup Dataran didasarkan atas morfologi bentang
alam dan tingkat torehan. Karena proses pembentukan tanah lebih tua dari proses
penorehan atau erosi, maka dijumpai perbedaan antara profil tanah yang sedikit
tererosi pada daerah punggung dan profil tanah tererosi sedang sampai berat pada
daerah lereng.
Berkaitan dengan penggunaan dan penutupan lahannya, daerah yang
digunakan untuk permukiman digolongkan kedalam Grup Aneka Bentuk. Di
lokasi studi, grup ini hanya dijumpai di sekitar Duri.
Tanah
Hasil analisis dan evaluasi sifat kimia dan tekstur yang dilakukan terhadap
17 contoh tanah yang mewakili kondisi tanah di lokasi studi menunjukkan bahwa
secara umum tanah di lokasi studi dicirikan oleh reaksi tanah yang sangat masam
sampai masam yang didukung oleh kadar kation-kation basa Ca dan Mg sangat
rendah, dengan kejenuhan Al sebagai penyumbang utama kemasaman pada
tingkat tinggi sampai sangat tinggi. Kadar unsur hara esensial utama N, P dan K
juga berada pada tingkat sangat rendah sampai rendah, kecuali pada lahan-lahan
perkebunan kelapa sawit dengan kadar P tergolong sedang sampai tinggi sebagai
akibat dari tindakan pemupukan. Kadar bahan organik tanah yang ditunjukkan
oleh kadar C-organik secara umum juga tergolong sangat rendah sampai rendah,
kecuali pada lahan kebun kelapa sawit dan rawa gambut yang tergolong tinggi dan
sangat tinggi.

Rendahnya kadar liat, bahan organik dan kation-kation basa

31

menyebabkan tanah di lokasi studi memiliki kapasitas tukar kation (KTK) dan
kejenuhan basa (KB) yang juga tergolong sangat rendah sampai rendah. Dengan
demikian, tanah di lokasi studi memiliki tingkat kesuburan kimia yang sangat
rendah.
Lokasi studi terdapat 4 klas kemampuan lahan, yaitu klas II, III, IV dan
VIII. Makin tinggi klasnya maka makin berat upaya penanggulangan terhadap
faktor-faktor pembatasnya,

baik dari segi biaya maupun aspek teknisnya.

Artinya, makin sempit alternatif penggunaannya.

Sebaliknya, makin rendah

klasnya makin baik tanah tersebut untuk semua kegiatan pertanian. Luasan setiap
klas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sebaran luas kemampuan lahan
Klas
Kemampuan
Lahan
Luas (Ha)

II

III

IV

VIII

X

Total

5799.93

5123.24

4633.17

990.33

126.60

16673.27

Luas (%)

34.79

30.73

27.79

5.94

0.75

100.00

Hidrologi
Kawasan yang bertipe ekosistem hutan hujan dataran ini dialiri oleh 3 (tiga)
buah sungai Balai Raja, Sungai Meliliang dan Sungai Titian Jangkar

yang

mengalir membelah kawasan dari utara sampai selatan sampai bermuara di
Sungai Mandau.
Pada bagian sebelah barat, daerahnya relatif datar dengan kondisi drainase
kurang baik, sehingga pada daerah tersebut merupakan daerah rawa yang cukup
luas. Jaringan sungai hanya terdapat pada daerah bagian selatan dan timur dengan
anak sungai kecil-kecil dengan pola aliran menyebar. Sungai-sungai di daerah ini
cenderung mengalir ke arah timur dengan pola aliran berbentuk dendritik, yaitu
anak-anak sungai bertemu dengan sungai utama membentuk sudut lancip.
Fluktuasi debit musim hujan dan musim kemarau cukup besar. Pada musim
kemarau anak sungai tidak ada debit yang mengalir karena tidak ada aliran base
flow dan pada musim hujan debit anak sungai cukup besar.

32

Kondisi air tanah cukup dalam pada daerah sebelah timur, selatan dan utaratimur. Pada daerah ini air tanah dangkal dijumpai pada daerah depresi (cekungan).
Kondisi Vegetasi dan Habitus
Kondisi vegetasi di kawasan SM Balai Raja pada saat ini terbagi menjadi
beberapa kelompok yaitu hutan, semak belukar, alang-alang, riparian dan vegetasi
pada areal berair, ladang, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Areal SM Balai
Raja merupakan habitus berbagai jenis vegetasi terutama vegetasi hutan dataran
rendah pada saat ditetapkan menjadi kawasan suaka margasatwa. Kawasan SM
Balai Raja ini merupakan salah satu kelompok hutan dataran rendah di Sumatera
yang juga merupakan habitat berbagai jenis satwaliar, mamalia, burung, reptilia
dan amphibia. Namun pada saat ini areal bervegetasinya terutama hutan telah
berubah secara mencolok.
Hutan sebagai tumpuan habitus berbagai jenis vegetasi di SM Balai Raja
telah menyusut tajam yaitu tinggal 705 Ha pada tahun 2004. Pada saat ini kondisi
hutan sebagian besar terpencar dengan luasan yang sangat kecil dan terdapat dua
kelompok pada dua bagian kawasan yaitu di kanan-kiri anak sungai Mandau dan
di hutan kawasan konservasi Caltex.
Hutan yang tersisa dengan luasan yang kecil, umumnya berupa hutan
sekunder yang rawang. Dengan strata tajuk yang ada yaitu C, D dan E. Jenis
vegetasi yang utama jenis yang tidak digunakan/ditebang oleh masyarakat dan
kelompok jenis mahang (Macaranga spp) anggerung (Trema oriantalis). Namun
untuk hutan di kawasan konservasi Caltex relatif kondisinya cukup bagus
dibandingkan yang lainnya. Strata tajuk hutan terdiri atas strata A (ketinggian
tajuk di atas 30 m) tidak ada, strata B ( ketinggian tajuk 20 – 30 m) dihuni oleh
jenis antara lain Kempas (Koompasia malacensis), Giam (Anisoptera cf.
marginata Korth), dan Meranti batu (Shorea sp). Strata C (ketinggian tajuk 20 –
10 m) ditempati oleh beberapa jenis vegetasi diantaranya Putek (Barringtonia
giganthostachya), Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk), Banik dan Petaling
(Ochanostachys amentacea). Sedangkan strata D (ketinggian tajuk 10 – 4 m)
diduduki oleh jenis-jenis vegetasi yaitu Sekubit , Balik angin (Mallotus
paniculatus Meull. Arg), luku, dan Sisik padi. Untuk strata E yang merupakan

33

lantai hutan ditumbuhi oleh jenis vegetasi ibu-ibu (Anisophylla disticha (Jack)
Baillon) dan pasak bumi (Eurycoma longifolia).
Satwa Liar
Pada kawasan ditemukan jenis-jenis

mamalia besar, seperti (Elephas

maximus), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Beruang madu
(Helarctos malayanus) dan Tapir (Tapirus indicus), Lutung (Presbytis cristata)
dan Beruk (Macaca nemestrina), Babi hutan (Sus barbatus), Landak (Hystrix
brachyura), trenggiling (Manis javanica). Sedangkan jenis-jenis burung yaitu
cekakak hutan melayu (Actenoides concretus), cica daun sayap biru (Chloropsis
cochinchinensis), cipoh jantung (Aegithina viridissima), takur tenggeret
(Magalaima australis), rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng hitam
(Anthracoceros malayanus), pelatuk ayam (Dryocopus javensis), gagak kampung
(Corvus macrorhyncos), gagak hutan (Corvus enca), tuwur asia (Eudynamys
scolopacea), tiung emas (Gracula religiosa), ciung air pompong (Macronous
ptilosus), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), pelatuk sayap merah (Picus
puniceus), puyuh sengayan (Rollulus rouloul).
Mamalia kecil yang dijumpai pada kawasan SM.Balai Raja khususnya di
kawasan hutan Konservasi Caltex terdiri dari dua ordo yaitu Rodentia dan
Scandentia. Ordo Rodentia terdiri dari tikus dan bajing, tikus termasuk famili
Muridae sedangkan bajing atau squirrels termasuk famili Sciuridae. Jenis-jenis
tikus yang ditemukan antaralain tikus duri coklat (Maxomys rajah), tikus duri
merah (Maxomys surifer), tikus duri ekor pendek (Maxomys whiteheadi) dan satu
jenis bajing. Tupai dikelompokkan ke dalam ordo scandentia dan hanya terdapat
satu famili yaitu Tupaiidae. Ada dua jenis tupai yang ditemukan yaitu tupai akar
(Tupai glis) dan tupai ekor sikat (Ptilocercus lowii).
Sementara jenis-jenis burung penghuni Edge hutan yang tercatat adalah
kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis), cinenen belukar (Orthotomus
atrogularis), wiwik kelabu (Cacomantis merulinus), wiwik lurik (Cacomantis
sonneratii), merbah mata merah (Pycnonotus brunneus), asi besar (Malacopteron
magnum), kedasi ungu (Chrysococcyx xanthorhynchus),
(Orthotomus ruficeps), tepus (Stachyris maculata),

cin