Analysis of water availability, sedimentation, and organic carbon using SWAT model in the upper jeneberang watershed, South Sulawesi

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR, SEDIMENTASI, DAN KARBON
ORGANIK DENGAN MODEL SWAT DI HULU DAS
JENEBERANG, SULAWESI SELATAN

IFAH LATIFAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ketersediaan
Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik dengan Model SWAT di Hulu DAS
Jeneberang, Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013

Ifah Latifah
NIM F451110071

RINGKASAN
IFAH LATIFAH. Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik
dengan Model SWAT di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. Dibimbing
oleh M. YANUAR J. PURWANTO dan NORA H. PANDJAITAN.

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu merupakan kunci
keberhasilan untuk mencapai ketersediaan air yang berkelanjutan. Selain itu
kesalahan dalam mengelola lahan akan menyebabkan erosi yang dapat
meningkatkan sedimentasi di badan air. Akibat erosi tanah sisa-sisa tanaman yang
telah melapuk menjadi humus juga ikut tererosi. Hal ini akan mengakibatkan
hilangnya karbon di lahan yang tererosi dan masuk ke perairan.
Pertambahan penduduk yang mempunyai kecenderungan meningkat seiring

bertambahnya waktu, menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan termasuk di
DAS bagian hulu. Peningkatan kebutuhan lahan ini berbanding lurus dengan
perubahan fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan dapat mempengaruhi fungsi
hidrologis DAS. Ketika musim penghujan air tidak terserap sepenuhnya oleh
lahan dan mengakibatkan limpasan air yang berlebihan, yang tidak termanfaatkan,
dan mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti erosi dan sedimentasi.
Sedimentasi akan mempengaruhi umur bangunan-bangunan penampung air
seperti waduk. Dengan semakin besarnya volume sedimen, beban waduk akan
semakin berat. Selain itu perubahan tataguna lahan juga berakibat pada proses
hidrologi dimana perubahannya secara signifikan berinteraksi dengan karbon
organik.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi parameter-parameter
model SWAT untuk menganalisis debit dan sedimen, 2) menganalisis fluktuasi
debit, sedimen, dan kandungan karbon organik dalam sedimen, dan 3)
mempelajari dampak teknologi konservasi tanah yang diterapkan ke dalam model.
Model SWAT diaplikasikan untuk mengevaluasi hidrologi DAS, sedimen, dan
terkait hasil karbon organik menggunakan aliran historis dan data meteorologi di
hulu DAS Jeneberang.
Pengambilan sedimen dilakukan dengan menggunakan alat sederhana
Experimental Sediment Trap (EST). Kandungan karbon organik dianalisis dari

sedimen yang terperangkap menggunakan metode Walkley-Black. Data distribusi
spasial (input SIG) dibutuhkan untuk antar-muka ArcSWAT termasuk Digital
Elevation Map (DEM), data tanah, dan data tataguna lahan. Data meteorologi dan
debit sungai juga digunakan untuk keperluan memprediksi aliran sungai dan
kalibrasi. Pada penelitian ini, DEM dengan resolusi 30 m x 30 m diperoleh dari
ASTERGDEM. Data meteorologi termasuk data hujan hariandari dua stasiun
hujan diperoleh dari BPDAS Jeneberang. Tekstur tanah, kadar air yang tersedia,
konduktivitas hidrolik, bulk density, dan kandungan karbon organik dari beberapa
lapisan jenis tanah diperoleh dari peta tanah BPDAS Pompengan-Walane dengan
skala 1:300000 dan sifat-sifat tanah dari basis data tanah UNESCO/FAO. Data
tataguna lahan diperoleh dari BPDAS Pompengan-Jeneberang dan laboratorium
uji tanah.
Hulu DAS Jeneberang terletak di Sulawesi Selatan, Indonesia, merupakan
daerah pertanian berbukit dengan luas 236 km2 yang didominasi lahan sawah

iii

(30%), hutan (25%), tegalan (23%), dan semak belukar (21%). Di bagian hilir,
sekitar 9 km terdapat bendungan serbaguna Bili Bili dan waduk. Jenis tanah
didominasi oleh eutric cambisols (55%), dystric nitosols (29%), humic andosol

(16%). Sebagian besar lereng memiliki kemiringan lebih besar dari 30%. Kondisi
iklim monsunal dengan curah hujan tahunan 2500-4800 mm / tahun. Periode
kering berjalan dari Juli hingga September (presipitasi 100 mm / hari).
Kalibrasi dilakukan dalam periode harian menggunakan data aliran dari
Januari sampai Desember 2001. Proses kalibrasi dilakukan dengan mengatur 26
parameter menggunakan Algoritma SUFI2 dan berhasil mengidentifikasi 19
parameter yang sensitif. Simulasi debit harian menyerupai nilai hasil pengukuran
secara memuaskan dan dalam proses kalibrasi diperoleh R2 = 0.68 dan NS = 0.42.
Validasi dilakukan dalam periode harian menggunakan data dari Januari sampai
Desember 2003. Validasi dilakukan dalam 1 simulasi menggunakan parameter
terbaik. Simulasi debit harian menyerupai nilai hasil pengukuran dengan
memuaskan dan diperoleh nilai R2 = 0.83 and NS = 0.64.
Berdasarkan model SWAT diperoleh fluktuasi debit, sedimen, dan karbon
di hulu DAS Jeneberang. Pada bulan basah nilai debit sebesar 56.57 m3/dt,
sedimen tersuspensi sebesar 139.85 mg/l, dan karbon organik sebesar 0.005% dari
total sedimen. Pada bulan kering nilai debit sebesar 4.84 m3/dt, sedimen
tersuspensi sebesar 33.25 mg/l, dan karbon organik sebesar 0.0005% dari total
sedimen.
Skenario teknologi pengelolaan lahan yang terbaik berdasarkan model
SWAT adalah penerapan sistem tanaman dalam kontur pada kemiringan 0-15%,

teras bangku pada kemiringan 15-30%, dan teras bangku dengan konstruksi baik
pada kemiringan lebih dari 30%.
Kata kunci: debit, DAS Jeneberang, karbon organik, sedimen, model SWAT

SUMMARY
IFAH LATIFAH. Analysis of Water Availability, Sedimentation, and Organic
Carbon Using SWAT Model in the Upper Jeneberang Watershed, South Sulawesi.
Supervised by M. YANUAR J. PURWANTO dan NORA H. PANDJAITAN.

Management of upstream watersheds is a key to get a sustainable
availability of water. Moreover, failure in land managing will cause erosion which
increase sedimentation in water bodies. Because of soil erosion the remnants of
decaying plants on topsoil also were eroded. This case will cause carbon losses in
the eroded land, which flowed into the water.
Growth of population which have a tendence to increase with the time,
caused increasing demand of land included in the upstream of watershed.
Increased demand for land is directly proportional to the land use change and will
affect watershed hydrologic condition. In the rainy season the water are not well
absorbed by the land and resulted water runoff that are not utilized and caused
environmental damage such as erosion and sedimentation. Sedimentation will

affect the lifetime of water storage structures such as dams. With the growing
volume of sediment, reservoir load will be heavier and reservoir capacity will
decreased. Land use change influenced hydrological processes and also
concentration of organic carbon.
Objectives of the study were 1) to identify parameter-parameter of SWAT
model for analyzing discharge and sediment, 2) to analyze fluctuation of
discharge, sediment, and organic carbon content in sediment, and 3) to study
impact of soil conservation technology applied into model. The SWAT model was
applied to evaluate catchment hydrology and sediment and associated organic
carbon yield using historical flow and meteorological data in the upstream of
Jeneberang watershed.
Sediment retrieval is done using a simple tool Experimental Sediment
Trap (EST). Organic carbon content was analyzed from trapped sediment using
Walkley-Black metod. The spatially distributed data (GIS input) needed for
ArcSWAT interface include the Digital Elevation Map (DEM), soil data and
landuse data. Meteorological data and river discharge were also used for
prediction of streamflow and calibration purposes. In this study, Digital elevation
map (DEM) with a resolution of 30 m × 30 m was received from ASTERGDEM.
Meteorological data included daily precipitation from two rainfall stations were
obtained from BPDAS Jeneberang. Soil texture, available water content, hydraulic

conductivity, bulk density and organic carbon content for different layers of each
soil type were obtained mainly from soil map (BPDAS Pompengan-Walane) with
the scale of 1:300000 and UNESCO/FAO soil database. Landuse data was
obtained from BPDAS Pompengan-Jeneberang and Soil Testing Laboratory.
The upstream of Jeneberang watershed, located in South Sulawesi,
Indonesia, is hilly agricultural area of 236 km2 with dominant rice field (30%),
forest (25%), moor (23%), and coppice (21%). The downstream, approximately 9
km, is Bili-Bili multipurpose dam and reservoir. Type of soil is dominated by
Eutric Cambisols (55%), Dystric Nitosols (29%), Humic Andosol (16%). Slope
range dominant is greater than 30%. The climatic conditions are monsoonal with

v

annual precipitation of 2500-4800 mm/years. The dry period runs from July to
September (precipitation < 60 mm/day) and the wet period from October to June
(precipitation > 100 mm/day).
The calibration was carried out daily using flow data from January to
December 2001. Calibration process was done by adjusting 26 parameters using
Algoritma SUFI2 and had identified 19 sensitives parameters. Simulated daily
discharge matched with the observed values statisfactorily in calibration process

and had R2 = 0.68 and NS = 0.42. The validation was carried out daily using flow
data from January to December 2003. The validation was done in 1 simulation
using best fitted parameters. Simulated daily discharge matched with the observed
values statisfactorily and had R2 = 0.83 and NS = 0.64.
With SWAT model was got fluctuation of discharge, sediment, and
organic carbon in the upper Jeneberang watershed. In rainy season discharge
value 56.57 m3/s, suspended sediment 139.85 mg/l, and organic carbon 0.005%
from total sediment. In dry season discharge value 4.84 m3/s, suspended sediment
33.25 mg/l, and organic carbon 0.0005% from total sediment.
The best of land management technology scenario based on SWAT Model
were application of countour cropping on area with slope 0-15%, branch terras on
15-30% slope, and branch terrace with good construction on more than 30% slope.
Keywords: discharge, Jeneberang Watershed, organic carbon, sediment, SWAT
model.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR, SEDIMENTASI, DAN KARBON
ORGANIK DENGAN MODEL SWAT DI HULU DAS
JENEBERANG, SULAWESI SELATAN

IFAH LATIFAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Asep Sapei, MS

Judul Tesis
Nama
1M

: Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik dengan Model
SWAT di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan
: Ifah Latifah
: F451 110071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Nora H Pandjaitan. DEA
Anggota

Purwanto MS
Ketua


Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknik Sipi1 dan Lingkungan



ᄋQ[AN|ajMcGセu@

Pascasarjana

Dr Satyanto K Saptomo, STP, MSi

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013

Tanggal Lulus:

08 OCT 2013

Judul Tesis : Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik
dengan Model SWAT di Hulu DAS Jeneberang Sulawesi Selatan
Nama
: Ifah Latifah
NIM
: F451110071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M Yanuar J Purwanto, MS
Ketua

Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknik Sipil dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Satyanto K. Saptomo, STP, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini
berjudul: Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik dengan
Model SWAT di hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan.
Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr Ir M Yanuar J Purwanto, MS dan Dr Ir Nora H Pandjaitan, DEA yang
sudah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Biro
Perencanaan Kerjasama Luar Negeri yang sudah memberikan dukungan dana
pendidikan melalui Beasiswa Unggulan selama mengikuti program magister
di IPB
3. Prof Dr Ir Asep Sapei, MS sebagai dosen penguji yang sudah memberikan
masukan untuk kesempurnaan tesis ini
4. Kedua orangtua dan keluarga besar yang telah memberikan doa restu untuk
dapat meraih gelar Magister di IPB
5. Wina Faradina, Dena Wahdani, Iwan Ridwansyah, Putri Yasmin, Fadli Irsyad
dan Maulana Ibrahim yang sudah memberikan ilmu dan pengalaman berharga
untuk menyelesaikan tesis ini
6. Dr Ahmad Rifki Asrib, Andi Iqro, Eryk Andreas, dan teman-teman lain yang
ikut membantu dalam pengambilan data penelitian di Sulawesi Selatan
7. Teman-teman yang setia menemani dan memberikan motivasi selama
menjalani masa kuliah, teman-teman SIL 2011, teman-teman TMP 2010 dan
2011, teman-teman DAS 2011, dan teman-teman Wisma Nerita
Kepada semua pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian karya ilmiah
ini dan tidak bisa disebutkan satu-persatu diucapkan juga terima kasih. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2013

Ifah Latifah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xii
xii
xii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2

TINJAUAN PUSTAKA
Erosi Lahan dan Kandungan Karbon dalam Sedimen
Model Soil and Water Assesment Tools (SWAT)
Pengelolaan Lahan
Teknologi Konservasi

2
2
3
4
5

3

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Tahapan Penelitian

7
7
7
8

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penetapan Parameter Model SWAT
Validasi Model
Kajian Debit dan Sedimen
Kajian Sedimen dan Karbon
Skenario Teknologi Pengelolaan Lahan

21
21
24
27
28
30
30

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

35
35
35

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

36
38
51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Rancangan teknik konservasi tanah berdasarkan Proyek Penelitian
Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA, 1990)
Kondisi umum wilayah hulu DAS Jeneberang
Parameter model SWAT yang digunakan dalam kalibrasi
Koefisien regim sungai (KRS) hulu DAS Jeneberang
Fluktuasi sedimen tersuspensi di hulu DAS Jeneberang
Nilai faktor P
Pengaruh penerapan teknik konservasi terhadap hasil sedimen
(ton/ha/tahun) hasil simulasi SWAT

6
24
25
28
29
31
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Lokasi Penelitian
Diagram alir proses penelitian
Peta jaringan sungai di hulu DAS Jeneberang
Diagram alir proses kalibrasi dengan model SWAT – Algoritma SUFI2
Experimental sediment trap (1) penanda – (2) pemberat – (3) toples
plastik tutup terbuka 12x12 cm – (4) Keranjang kawat
Peta Karakteristik tutupan lahan hulu DAS Jeneberang
Peta tipe tanah hulu DAS Jeneberang
Peta kemiringan lereng hulu DAS Jeneberang
Perbandingan model dengan data pengukuran debit sebelum dikalibrasi
Perbandingan model SWAT terkalibrasi dengan data debit pengukuran
Hubungan antara debit pengukuran dan debit simulasi model SWAT
terkalibrasi
Validasi model SWAT terkalibrasi dengan data debit pengukuran
Validasi - Hubungan antara debit pengukuran dan debit simulasi model
SWAT
Hubungan debit air (m3/dt) dengan hasil sedimen (ton)
Peta distribusi penanaman kontur di hulu DAS Jeneberang
Peta distribusi teras bangku di hulu DAS Jeneberang
Peta distribusi teras gulud di hulu DAS Jeneberang
Grafik hasil sedimen dengan beberapa tindakan konservasi
Grafik prediksi karbon organik dan sedimen (ton/ha/tahun)

8
10
11
19
21
22
22
23
25
26
26
27
28
29
32
33
33
34
34

DAFTAR LAMPIRAN
1 Inputan data karakteristik tanah di dalam simulasi SWAT
2 Inputan karakteristik biofisik tutupan lahan dalam simulasi SWAT
3 File WGN yang digunakan dalam simulasi SWAT

39
43
46

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu merupakan kunci
keberhasilan untuk memenuhi ketersediaan air yang berkelanjutan. Selain itu
kesalahan dalam mengelola lahan akan menyebabkan erosi yang dapat
meningkatkan sedimentasi di badan air. Akibat erosi tanah sisa-sisa tanaman yang
telah melapuk menjadi humus juga ikut tererosi. Hal ini akan mengakibatkan
hilangnya karbon di lahan yang tererosi dan masuk ke perairan.
Pertambahan penduduk yang mempunyai kecenderungan meningkat seiring
bertambahnya waktu, menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan termasuk di
DAS bagian hulu. Peningkatan kebutuhan lahan ini berbanding lurus dengan
perubahan fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan dapat mempengaruhi fungsi
hidrologis DAS. Ketika musim penghujan air tidak terserap sepenuhnya oleh
lahan dan mengakibatkan limpasan air yang berlebihan, yang tidak termanfaatkan,
dan mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti erosi dan sedimentasi.
Sedimentasi akan mempengaruhi umur bangunan-bangunan penampung air
seperti waduk. Dengan semakin besarnya volume sedimen, beban waduk akan
semakin berat. Selain itu perubahan tataguna lahan juga berakibat pada proses
hidrologi dimana perubahannya secara signifikan berinteraksi dengan karbon
organik (Oeurng et al. 2011).
Karbon organik dari lapisan tanah yang ikut tererosi, terbawa oleh aliran
permukaan sampai ke badan air. Keadaan ini dapat berakibat besar pada laju
dissolved dan paticulat organic carbon (DOC dan POC) yang larut dan terbawa
dari lahan ke jaringan sungai. Erosi karbon dari lahan tersebut kemudian menjadi
salah satu bagian penting dalam siklus karbon global mengingat peran penting
dari sungai dalam siklus air terestrial, mengatur mobilisasi dan transfer komponen
dari daratan ke lautan. Oleh karena itu pengukuran konsentrasi karbon organik
dalam periode yang berbeda penting diketahui. Namun hubungan antara debit,
sedimen, dan karbon organik di sungai masih sangat jarang diteliti.
Wilayah hulu DAS Jeneberang merupakan daerah tangkapan air untuk
waduk Bili-Bili yang terletak di hilirnya. Air tersebut digunakan untuk irigasi,
suplai air baku, dan pembangkit tenaga listrik. Namun seiring berjalannya waktu
telah terjadi penurunan fungsi layanan akibat perubahan kondisi tangkapan
ditambah lagi dengan adanya longsoran dinding kaldera. Makaheming (2003)
menyatakan bahwa erosi di DAS Jeneberang meningkat setiap tahun. Pada tahun
1993-1994 erosi mencapai 21.53 ton/ha/tahun dan pada tahun 1999 sebesar 25
ton/ha/tahun. Besarnya erosi tersebut sudah melampaui batas erosi yang
diperbolehkan yakni sebesar 13.5 ton/ha sampai 17.33 ton/ha (Saida, 2011).
Menurut Fadiah (2006), erosi terberat pada lahan tegalan sebesar 33.32
ton/ha/tahun.
Peningkatan sedimen rata-rata sebesar 40 ton/ha/tahun dengan laju 2.67%
per tahun. Pada tahun 2001 laju sedimentasi sebesar 2000 m3/km2/tahun. Pada
tahun 2005 meningkat 24.2% menjadi 2608 m3/km2/tahun. Setelah longsoran
kaldera, tahun 2010 laju sedimentasi meningkat 123% menjadi 4678
m3/km2/tahun (Asrib 2012). Hal tersebut akan menambah beban bendungan akibat

2

dari dead storage capacity yang semakin penuh. Melihat hal tersebut, daerah
tangkapan air waduk menjadi penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan.
Jika tanpa upaya pengendalian sedimen maka akan berdampak pada berkurangnya
umur bendungan.
Penelitian tentang terjadinya aliran permukaan dan erosi memerlukan
penggunaan alat analisis yang memadai agar penilaian terhadap proses hidrologi
dan erosi tanah dapat akurat serta analisis prediksi dalam jangka panjang dapat
dijadikan sebagai pendukung dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan
tindakan yang tepat. Alat analisis secara spasial seperti menggunakan sistem
informasi geografi (SIG) merupakan analisis yang baik untuk penilaian
penggunaan lahan yang bersifat kewilayahan. Salah satu alat untuk menganalisis
runoff dan erosi adalah SWAT model (Soil and Water Assesment Tool), yang
sering digunakan untuk menilai hidrologi dan kualitas air. Perpaduan antara model
SWAT dan SIG ini dapat menjadi metode yang komprehensif untuk menganalisis
ketersediaan air, sedimen, dan karbon dalam skala DAS.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a) Mengidentifikasi parameter-parameter model SWAT untuk analisis
debit air dan sedimen di hulu DAS Jeneberang,
b) Menganalisis fluktuasi debit, sedimen, dan kandungan karbon dalam
sedimen di hulu DAS Jeneberang secara musiman,
c) Mengkaji skenario teknologi pengelolaan lahan untuk mengurangi
sedimen dan karbon organik di hulu DAS Jeneberang

2 TINJAUAN PUSTAKA
Erosi Lahan dan Kandungan Karbon dalam Sedimen
Erosi merupakan pengangkutan tanah dari suatu tempat ke tempat lain yang
disebabkan oleh aliran air alami dan angin, sedangkan sedimentasi merupakan
dampak lanjutan dari terjadinya erosi. Erosi yang terjadi terus-menerus dapat
menurunkan tingkat kesuburan tanah karena lapisan tanah atas (top-soil) terus
tergerus dan terbawa oleh limpasan. Sedimentasi menyebabkan pendangkalan
pada bangunan-bangunan hidrologi dan sempadan sungai, memperlambat aliran
sungai dan mengurangi kinerja waduk, danau, reservoir, saluran-saluran irigasi,
dan kolam-kolam ikan (Asdak, 2010).
Erosi di DAS Jeneberang sebesar 2.57-5764.82 ton/ha/tahun sedangkan
batas yang masih ditolerir adalah sebesar 13.5 ton/ha sampai 17.33 ton/ha (Saida
2011). Erosivitas hujan berada pada kisaran 1398.6 – 1562.10, erodibilitas tanah
berada pada kisaran 0.04 – 0.58, dan panjang kemiringan lereng berkisar antara
0.25 – 12.00. Selain itu nilai vegetasi penutupan tanah berkisar 0.1 – 0.8 dan
faktor pengelolaan lahan berkisar 0.4 – 0.9.
Karbon organik merupakan salah satu komponen penting sebagai penyusun
kimiawi sedimen. Karbon organik dapat berasal dari berbagai materi alam
maupun antropogenis khususnya sedimen di wilayah pesisir yang penuh dengan
masukan limbah dari aktivitas manusia. Walaupun komponen organik dapat

3

berdekomposisi dan dikembalikan sebagian ke komponen anorganik, tetapi
sebagian masih terikat dalam sedimen dan menjadi komponen penting sebagai
bagian dari penyusun partikel kimiawi sedimen dan berkemampuan menyerap
senyawa kimiawi terlarut lain termasuk pestisida. Karbon organik sebagai
komponen juga mudah terakumulasi ke dalam partikel lebih halus seperti lanau
dan lempung. Menurut Pratono dan Gunawan (2009), secara umum karbon
organik dalam sedimen menunjukkan variasi nilai antara 0.30% - 1.49% total
sedimen dan dipengaruhi oleh tekstur sedimen.
Karbon organik sangat penting peranannya di dalam proses kimiawi di
sedimen. Selain memiliki kemampuan menyerap materi kimiawi terlarut dalam
kolom air, karbon organik juga mempengaruhi sistem kimiawi seperti proses
reduksi-oksidasi (redoks). Karbon organik akan teroksidasi dengan cara
mengkonsumsi oksigen dalam proses dekomposisi. Jika karbon organik berlebih,
oksigen terlarut dalam air akan habis dan menyebabkan kondisi anaerobik. Hal ini
akan memberikan konsekuensi terhadap reaksi kimiawi yang terjadi dalam kolom
air dan sedimen termasuk reaksi-reaksi pestisida (Pratono dan Gunawan 2009).
Terminologi siklus karbon menggambarkan bahwa karbon mengalami
proses kompleks seperti perubahan dari bentuk karbon organik yang ditemukan
dalam organisme hidup seperti tanaman dan pohon menjadi karbon anorganik dan
kembali lagi. Hujan dan air tanah mentransfer karbon dari tanah, puing-puing
kayu membusuk, sampah daun, dan bahan organik lain ke dalam air, dicerna oleh
mikroorganisme, serangga, dan ikan. Karbondioksida yang dihasilkan dan karbon
anorganik terlarut dari tanah dibawa ke sungai kemudian kembali ke atmosfer.
Menurut Libes (1971) dalam Nalendra (2006) distribusi partikulat karbon
organik dipengaruhi oleh musim. Musim semi dan awal musim panas merupakan
konsentrasi tertinggi dan pada musim panas konsentrasi menurun.
Model Soil and Water Assesment Tools (SWAT)
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian
kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk
memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan kimia pertanian.
Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat
simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Keluaran dari SWAT adalah berupa
informasi-informasi mengenai respon hidrologi di DAS, sub-DAS, dan sungai
utama.
SWAT menggunakan data spesifik mengenai cuaca, karakteristik tanah,
topografi, vegetasi, dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi pada DAS. SWAT
membagi DAS menjadi beberapa SubDAS yang kemudian dibagi lagi ke dalam
unit respon hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki
karakteristik penggunaan lahan dan tanah yang homogen.
Siklus hidrologi yang disimulasikan SWAT didasarkan pada perhitungan
neraca air sebagai berikut (Neitsch, et al. 2002):
t

∑tt

i

d y-

surf -E

-

seep -

gw

................................................ 1

Dimana:
 SWt = kandungan akhir air tanah (mm H2O),
 SW0 = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm H2O),

4







Rday = jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm H2O),
Qsurf = jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm H2O),
Ea = jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O),
Wseep = jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i
(mm H2O),
Qgw = jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm H2O)

Erosi dan hasil sedimentasi dihitung untuk setiap HRU (Hydrological
Response Unit) yang merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan
karakteristik tanah dan penggunaan lahan yang spesifik. Dengan menggunakan
model MUSLE maka persamaannya secara matematis dituliskan sebagai:
..... 2










Dimana:
sed = beban sedimentasi (ton);
Qsurf = volume aliran permukaan(mm H2O/ha);
qpeak = laju puncak aliran permukaan (m3/dt);
areaHRU = luas area dari HRU (ha);
KUSLE = faktor erodibilitas tanah USLE
CUSLE = faktor penutupan dan manajemen USLE;
PUSLE = faktor konservasi lahan USLE;
LSUSLE = faktor topografi USLE; dan
CFRG = faktor coarse fragment.
Pengelolaan Lahan

Kejadian tanah longsor, musim kemarau berkepanjangan, banjir bandang,
pencemaran air, dan sebagainya merupakan faktor yang sulit dihindari dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan di tingkat lapangan. Dengan demikian, posisi dukungan lahan dan air
memerlukan suatu pemikiran yang komprehensif untuk menghadapi tantangan
yang lebih besar di kemudian hari.
Sedimen adalah tanah atau bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu
tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk
ke dalam badan air. Sedimen akan diendapkan pada suatu tempat saat kecepatan
airnya melambat atau terhenti. Peristiwa pengendapan ini dikenal dengan
peristiwa atau proses sedimentasi.
Dari pengertian di atas, maka segala usaha untuk mengendalikan erosi dan
aliran permukaan (runoff) merupakan juga upaya-upaya untuk mengendalikan
sedimen. Itu artinya teknologi untuk pengendalian sedimen sama dengan
teknologi yang digunakan untuk pengendalian erosi dan pengendalian debit runoff.
Teknologi-teknologi yang dapat digunakan antara lain agroforestri, areal
peresapan hujan, penetapan daerah konservasi tanah, dan teknologi konservasi.
Agroforestri
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang
mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan

5

keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini,
terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga akan
mengurangi resiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi
kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur-ulang sisa
tanaman (Hairiah, et. al. 2003)
Areal peresapan air hujan
Metode pembuatan areal peresapan air hujan merupakan koreksi
perkembangan saat ini dimana permukaan tanah pekarangan baik di perkotaan,
pinggiran maupun pedesaan dilapisi dengan concrete paving block (konblok) yang
dipasang rapat atau dengan plesteran dari semen dan pasir. Hal ini berdampak
pada penurunan koefisien resapan air hujan ke dalam tanah. Oleh karena itu perlu
dilakukan koreksi dengan cara mengganti perkerasan tanah dengan rumput atau
bila diperlukan perkerasan dapat menggunakan porous paving block atau grass
block.
Di pedesaan masyarakat memanfaatkan halaman rumahnya untuk
mengeringkan hasil pertanian, misalnya, padi dan kacang-kacangan. Cara yang
ditempuh adalah dengan membuat lantai jemur berupa plesteran dari semen dan
pasir. Pada musim hujan, air hujan sama sekali tidak dapat meresap ke dalam
tanah. Untuk itu maka disarankan untuk memasang porous paving block selebar 1
meter sebagai bingkai di sekeliling lantai jemur sehingga air hujan yang mengalir
dari lantai jemur dapat meresap ke dalam tanah (Maryono dan Santoso 2006).
Penetapan daerah konservasi tanah
Pemerintah dan masyarakat dapat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah
tertentu yang khusus diperuntukan sebagai daerah pemanenan air hujan
(peresapan air hujan) yang dijaga diversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun
tidak boleh dibangun di atas areal tersebut. Menurut Maryono dan Santoso (2006)
untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan
bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia,
maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat
dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.
Teknologi Konservasi
Teknologi konservasi diperlukan untuk mengurangi kecepatan dan volume
aliran permukaan serta kehilangan tanah (erosi) dengan cara menahan air (hujan)
tetap pada tempatnya atau minimal mengurangi kecepatan alirannya, sampai
saatnya vegetasi yang ditanam di tempat tersebut cukup kuat untuk meneruskan
pertumbuhannya (Asdak 2010). Bentuk teknologi konservasi yang umum
dijumpai antara lain adalah teras, penanaman dalam kontur, dan strip penyangga
riparian.
Teras
Teras adalah bangunan konservasi tanah dan air secara mekanis yang
dibuat untuk memperpendek panjang lereng dan atau memperkecil kemiringan
lereng dengan jalan penggalian dan pengurugan tanah melintang lereng. Tujuan
pembuatan teras adalah untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan
(runoff) dan memperbesar peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang.

6

Berdasarkan bentuk, teras dibedakan ke dalam beberapa bentuk
diantaranya teras kredit, teras guludan, teras datar, teras bangku, teras kebun dan
teras individu. Tabel 1 merupakan rancangan teknik konservasi tanah pada pola
usaha tani lahan kering dari P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,
Tanah dan Air) dengan mempertimbangkan kedalaman tanah, kemiringan lahan,
dan kepekaan tanah terhadap erosi.
Tabel 1 Rancangan teknik konservasi tanah berdasarkan Proyek Penelitian
Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (P3HTA, 1990)
Kedalaman tanah
Kepekaan erosi
Kemiringan (%)
45

>90 cm
Kurang
Tinggi

40-90 cm
Kurang
Tinggi