Development of agroecological based horticultural crops on sloping land in Upstream of Jeneberang Watershed, South Sulawesi

(1)

PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA

BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN

BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG,

SULAWESI SELATAN

SAIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Desember 2011

SAIDA P062070031


(3)

ABSTRACT

SAIDA. Development of Agroecological Based Horticultural Crops On Sloping Land In Upstream of Jeneberang Watershed, South Sulawesi. Supervised by SUPIANDI SABIHAM (Main Supervisor), SURJONO HADI SUTJAHJO and WIDIATMAKA (Co-Supervisors)

The aims of this study were to evaluate the land capability and suitability for horticultural crops, to determine the suitable forest management method to minimize the erosion, to determine the sustainability of horticultural crops farming, and to formulate model design of agroecology-based horticultural crops development on sloping land in upstream of Jeneberang watershed, South Sulawesi, conducted from April 2009 until December 2009. The first step of this study was determination of land capability using USDA method. The second step was determination of land suitability using FAO method. The third step was erotion prediction using USLE method. The forth step was sustainability analysis using Multi Dimensional Scalling (MDS)-Rapfarm method. The last step was design the dynamical model using Stella 9.0.2 program analysis.

Classes of land capability in upstream of Jeneberang watershed were class II, III, IV,VI and VII with limiting factors of drainage, root zone barrier, and erosion danger. Classes of actual land suitability for fruits commodity on land with elevation < 700 m above sea level (asl) were S2 and S3, with limiting factors of nutrient retention, root medium and erosion danger, and classes of potential land suitability were S1, S2, and S3. Classes of actual land suitability for vegetables commodity (potato, mustard, carrot, cabbage, and scallion) with elevation ≥ 700 m asl were S2, S3, and N, limiting factors of nutrient retention, root medium and erosion danger, and classes of potential land suitability were S1, S2, and S3. Erosion happened in upstream of Jeneberang watershed was 2.57 ton/ha/year until 5.764,82 ton/ha/year. Farming sustainability index of fruits about 41,90 – 54,41 and vegetables about 39,58 – 64,85. Ecology, economy, institution, and technology dimensions include to enough sustainable category, whereas social dimension include to less sustainable category. Result of leverage Rap-farm analysis showed that in 43 attributes, 9 attributes were sensitive to affect fruits farming and 23 attributes were sensitive to vegetables farming. Dynamical model simulation of fruits horticultural development showed erosion reduction, productivity and sales value improvement in year of 10, whereas vegetables commodity in year of 9. Moderate and optimistic scenario more effective in decreasing erosion and increasing productivity and sales value. Model scenario simulation in 2020 for rambutan commodity, erosion prediction at moderate scenario was 3,35 ton/ha/year, and optimistic scenario was 2,56 ton/ha/year, productivity was 6.222,3 kg/ha with sales value Rp. 34.512.298. Model scenario simulation in 2019 for potato commodity, erosion prediction that happened at moderate scenario was 27,80 ton/ha/year, and optimistic scenario was 21,07 ton/ha/year, productivity was 8.724,43 kg/ha with sales value Rp. 34.897.720. Base on, moderate scenario can use of development of agroecological based horticultural crops in Gowa Regency.

Key words : horticultural development, sloping land, agroecology, erosion, dynamic model.


(4)

RINGKASAN

Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh lingkungan tempat tumbuh komoditas pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Agroekosistem atau faktor biofisik seperti jenis tanah dan iklim (intensitas cahaya, curah hujan, kelembaban, dan suhu) dapat menjadi peluang dan/atau masalah dalam pengembangan pertanian, bergantung kepada kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam menggunakan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Budidaya tanaman hortikultura di lahan dataran tinggi yang berlereng dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi, curah hujan yang relatif tinggi, dan lain-lain. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah ini dapat menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan dataran tinggi, tetapi juga di dataran rendah di bawahnya.

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan untuk tanaman hortikultura, menentukan metode pengelolaan lahan yang sesuai untuk meminimalkan terjadinya erosi, menentukan keberlanjutan usahatani tanaman hortikultura, dan merumuskan disain model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang.

Penelitian ini dilaksanakan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang terletak di Kabupaten Gowa, meliputi dua kecamatan yaitu Kecamatan Parangloe (elevasi < 700 m dpl) dan Kecamatan Tinggi Moncong (elevasi > 700 m dpl). Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Desember 2009.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama adalah penentuan kemampuan lahan menggunakan metode yang dikembangkan oleh USDA. Tahap kedua adalah penentuan kesesuaian lahan menggunakan metode FAO. Tahap ketiga adalah prediksi erosi yang terjadi menggunakan metode USLE. Tahap keempat adalah analisis keberlanjutan menggunakan


(5)

metode Multi Dimensional Scalling (MDS)-Rapfarm. Tahap terakhir, mendisain model dinamik menggunakan program Stella 9.0.2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang terdiri dari lima kelas. Lahan kelas II memiliki faktor pembatas drainase (subkelas IIw) dan faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIs). Lahan dengan kelas kemampuan III memiliki faktor pembatas drainase (subkelas IIIw), faktor pembatas hambatan daerah perakaran (subkelas IIIs), dan faktor pembatas bahaya erosi (subkelas IIIe). Lahan dengan kelas kemampuan IV memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas IVe). Lahan dengan kelas kemampuan VI memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas VIe). Lahan dengan kelas kemampuan VII memiliki faktor pembatas bahaya erosi (subkelas VIIe).

Komoditas unggulan berdasarkan analisis LQ di daerah hulu DAS Jeneberang adalah komoditas buah-buahan meliputi rambutan, mangga, pisang, dan durian, sedangkan komoditas sayuran yaitu kentang, wortel, kubis, sawi, dan bawang daun. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk komoditas unggulan hortikultura buah-buahan adalah S2 dan S3, dengan faktor pembatas retensi hara, media perakaran, dan bahaya erosi. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk komoditas buah-buahan yaitu S1, S2, dan S3, dengan faktor pembatas media perakaran dan bahaya erosi. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk komoditas unggulan hortikultura sayuran adalah S2, S3, dan N dengan faktor pembatas retensi hara dan bahaya erosi. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk komoditas hortikultura sayuran yaitu S1, S2, S3, dan N, dengan faktor pembatas bahaya erosi.

Hasil perhitungan prediksi erosi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang menunjukkan bahwa besarnya erosi berkisar 2,57 – 5.764,82 ton/ha/tahun. Perhitungan tersebut diperoleh dari nilai erosivitas hujan yang berkisar 1398,60 – 1562,10, nilai erodibilitas tanah yang berkisar 0,04 – 0,58, nilai panjang dan kemiringan lereng yang berkisar 0,25 – 12,00, nilai vegetasi penutup tanah yang berkisar 0,1 – 0,8, dan nilai faktor pengelolaan lahan berkisar 0,4 – 0,9. Tingkat bahaya erosi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang yaitu lahan tererosi sangat berat paling luas arealnya yaitu 3.010,26 ha (29,37%), lahan dengan tingkat bahaya erosi berat sekitar 2.836,67 ha (27,66%), lahan dengan tingkat bahaya erosi sedang sekitar 2.026,05 ha (19,77%), serta lahan


(6)

dengan tingkat bahaya erosi rendah sekitar 2.377,64 ha (23,20%) dari total luas lahan yang ditanami tanaman hortikultura.

Indeks keberlanjutan untuk sistem usahatani hortikultura buah-buahan berkisar antara 41,90 sampai 54,41. Dimensi ekologi (54,41), dimensi ekonomi (51,40), dan dimensi kelembagaan (50,64), termasuk dalam status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial (43,77) dan dimensi teknologi (41,90) masuk dalam status kurang berkelanjutan. Indeks keberlanjutan untuk sistem usahatani hortikultura sayuran berkisar antara 39,58 sampai 64,85. Dimensi ekonomi (64,85), dimensi kelembagaan (56,47), dan dimensi teknologi (56,71) termasuk dalam status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (48,17) dan dimensi sosial (39,58) masuk dalam status kurang berkelanjutan.

Simulasi model kondisi eksisting pengembangan tanaman hortikultura buah-buahan berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang menunjukkan bahwa erosi yang terjadi sebesar 2,56 ton/ha/tahun, produksi dan pendapatan petani buah-buahan meningkat sampai tahun 2020. Simulasi model kondisi eksisting pengembangan tanaman hortikultura sayuran berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang menunjukkan bahwa erosi yang terjadi sebesar 29,50 ton/ha/tahun, produksi dan pendapatan petani sayuran meningkat sampai tahun 2019.

Skenario moderat merupakan skenario yang dapat diadopsi di masa yang akan datang untuk pengembangan tanaman hortikultura buah-buahan dan sayuran berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang, dengan pertimbangan besarnya erosi yang terjadi, produktivitas, dan pendapatan petani. Pada pertanaman rambutan, skenario moderat memberikan hasil yaitu erosi yang terjadi sebesar 7,49 ton/ha/tahun, produksi 6.222,3 kg/ha/tahun dan pendapatan petani Rp. 34.512.298 per tahun. Pendapatan petani rambutan masih lebih rendah dari besaran kebutuhan hidup layak (KHL) yaitu sebesar Rp. 34.732.500 per tahun. Sedangkan pada pertanaman kentang, skenario moderat memberikan hasil yaitu erosi yang terjadi sebesar 27,80 ton/ha/tahun, produksi 17.448,9 kg/ha/tahun (dua kali musim tanam), dan pendapatan petani Rp. 69.795.440 per tahun. Pendapatan petani kentang lebih besar dari pada besaran nilai kebutuhan hidup layak (KHL) yaitu Rp. 27.698.000 per tahun.


(7)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA

BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN

BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG,

SULAWESI SELATAN

SAIDA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup: Jumat, 3 Juni 2011

1.Dr. Ir. Sandra Aziz, M.Sc.

2.Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.

Pada Ujian Terbuka: Jumat, 11 Nopember 2011

1.Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. 2.Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.S.


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat ridho-Nya jualah sehingga penyusunan dan penulisan disertasi ini dapat

diselesaikan. Rangkaian tahapan penelitian dengan judul “Pengembangan

Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlereng di Hulu DAS

Jeneberang, Sulawesi Selatan” telah dilaksanakan, mulai dari bulan Juli 2008

sampai dengan April 2010. Karya ilmiah ini dipilah menjadi beberapa makalah yang memuat hasil-hasil penelitian disertasi tersebut. Makalah pertama berjudul

“Analisis Keberlanjutan Usahatani Hortikultura Sayuran pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan” dipublikasikan pada JMST Volume 12 (1), Maret 2011. Makalah kedua dengan judul “Analisis Keberlanjutan Usahatani

Hortikultura Buah-Buahan pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang,

Sulawesi Selatan” dalam proses penerbitan pada Jurnal Ilmiah Bertani Volume VI

(2), Mei 2011 No. ISSN: 1907-6894. Makalah ketiga dengan judul “Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi pada Lahan

Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan” telah diajukan untuk dapat

dipublikasikan pada jurnal Forum Pascasarjana Sekolah Pascasarjana IPB, dan saat tulisan ini dibuat makalah dalam proses perbaikan untuk dipublikasikan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr., Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku komisi pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode 2007-2010 Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode tahun 2010 Bapak Dr. drh. Hasim, dan periode 2011 Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian UMI dan Rektor UMI yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB. Demikian pula diucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS kepada Penulis selama


(11)

tiga tahun menempuh pendidikan di IPB. Terima kasih juga ditujukan kepada Pemda Kabupaten Gowa, Dinas Tanaman Pangan, Camat Tinggi Moncong, Camat Parangloe, PPL Kecamatan Tinggi Moncong, PPL Kecamatan Parangloe, Ir. Arifuddin beserta keluarga, dan semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Ucapan terima kasih dan penghormatan atas doa dari Ibunda Hj. Sahlan Tahty, demikian pula kepada suami diucapkan terima kasih atas bantuan doa dan pengorbanannya. Demikian pula kepada saudara-saudara ku tercinta terima kasih atas doanya.

Penulis mengharapkan hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan dapat digunakan sebagai sumbang saran bagi pembangunan pertanian khususnya pengembangan tanaman hortikultura pada lahan berlereng.

Bogor, Desember 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Maros pada tanggal 9 Mei 1967 sebagai anak ke-6 dari pasangan alm. H. Abd. Wahid Rahim dan Hj. Sahlan Tahty. Mendapat gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1998 mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Tanah dan mendapatkan gelar M.Si. pada tahun 2001. Tahun 2007, penulis mendapatkan Beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan ke program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Penulis bekerja sebagai tenaga edukatif pada Progam Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, diterima sejak tahun 1992. Selama bekerja sebagai staf dosen di UMI, Penulis aktif melakukan penelitian-penelitian yang pembiayaannya dari UMI, KOPERTIS WILAYAH IX, DP2M DIKTI, dan bekerjasama dengan Perkebunan Kelapa Sawit di Luwuk Banggae Sulawesi Tengah. Sebagian dari penelitian program doktor ini mendapat pembiayaan dari DP2M DIKTI melalui Hibah Penelitian Kompetitif Strategis Nasional tahun anggaran 2010.

Beberapa hasil penelitian telah diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi seperti (1) Improving Soil Chemical Properties of an Acid Soil Rich in Pyrite in Relation to Application of Electric Furnace Slag and Rock Phosphate (2001). Jurnal Agrista Vol. 5 No. 2. Fak. Pertanian Unsyiah, Banda Aceh, (2) Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Pereduksi Sulfat dari Ekosistem Air Hitam, Kalimantan Tengah (2003). Jurnal Agrista Vol. 6 No. 3 Fak. Pertanian Unsyiah, Banda Aceh, (3) Perbaikan Sifat-Sifat Kimia Tanah Sulfat Masam Menggunakan Bakteri Pereduksi Sulfat (2006). Jurnal Agrotek Vol. 1 No. 1. Fak. Pertanian Universitas Muslim Indonesia, Makassar, dan (4) Bioremediasi Limbah Tambang (2007). Jurnal Pariwisata dan Lingkungan. Center for Tourism and Environmental Studies. Jakarta. Dan bagian dari Disertasi ini sementara dalam proses untuk penerbitan di JMST Universitas Terbuka Volume 12 (1), Maret 2011 dengan judul Analisis Keberlanjutan Usahatani Hortikultura Sayuran pada Lahan Berlereng di


(13)

Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. Disamping itu juga di Jurnal Forum Pascasarjana IPB, dengan judul Model Pengembangan Tanaman Hortikultura Sayuran Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang` ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 6

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Kerangka Pemikiran ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 13

2.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 21

2.3. Penurunan Kualitas Sumberdaya Lahan ... 23

2.4. Degradasi Lahan Erosif Pada Lahan Berlereng ... 26

2.5. Penerapan Teknologi pada Lahan di Dataran Tinggi ... 27

2.6. Kelembagaan Usahatani ... 30

2.7. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Agroekologi .. 31

2.8. Pertanian Sebagai Suatu Sistem ... 34

2.9. Partisipasi Masyarakat ... 35

2.10. Pengembangan Tanaman Hortikultura ... 37

III. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 41

3.1. Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan ... 41

3.2. Kependudukan dan Sosial Ekonomi ... 43

IV. METODE PENELITIAN ... 47

4.1. Tempat dan Waktu ... 47

4.2. Bahan dan Alat ... 47

4.3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 47

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG ... 57

5.1. Pendahuluan ... 57

5.2. Metode Penelitian... 59

5.3. Hasil dan Pembahasan... 60


(15)

VI. EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI

HULU DAS JENEBERANG ... 79

6.1. Pendahuluan ... 79

6.2. Metode Penelitian ... 80

6.3. Hasil dan Pembahasan ... 84

6.4. Kesimpulan ... 112

VII. PREDIKSI EROSI YANG TERJADI PADA PERTANAMAN HORTIKULTURA DI LAHAN BERLERENG HULU DAS JENEBERANG ... 115

7.1. Pendahuluan ... 115

7.2. Metode Penelitian ... 118

7.3. Hasil dan Pembahasan ... 121

7.4. Kesimpulan ... 130

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG ... 133

8.1. Pendahuluan ... 133

8.2. Metode Penelitian ... 134

8.3. Hasil dan Pembahasan ... 135

8.4. Kesimpulan ... 160

IX. MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BER- BASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG ... 163

9.1. Pendahuluan ... 163

9.2. Metode Penelitian ... 165

9.3. Hasil dan Pembahasan ... 171

9.4. Kesimpulan ... 205

X. PEMBAHASAN UMUM ... 207

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 219

11.1. Kesimpulan ... 219

11.2. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ... 223 LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 1. Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang ... 41 2. Kelas kemiringan lereng wilayah hulu DAS Jeneberang ... 42 3. Luas masing-masing jenis penutupan lahan di wilayah hulu DAS Jeneberang ... 43 4. Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun 2006-2009 44 5. Persentase penduduk menurut mata pencaharian di wilayah hulu DAS Jeneberang ... 45 6. Jumlah dan luas SL di hulu DAS Jeneberang berdasarkan jenis tanah,

kelas lereng dan ketinggian tempat ... 65 7. Karakteristik fisik dan morfologi lahan di hulu DAS Jeneberang ... 66 8. Kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan homogen (SLH) wilayah hulu DAS Jeneberang ... 68 9. Kelas kemampuan lahan, subkelas kemampuan lahan dan luas di hulu DAS Jeneberang ... 71 10. Status kawasan pada masing-masing kelas kemampuan lahan wilayah hulu DAS Jeneberang ... 74 11. Kelas kemampuan lahan, faktor pembahas, luas, dan arahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang pada kawasan dalam status areal penggunaan lain (APL) ... 75 12. Nilai LQ komoditas hortikultura buah-buahan pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang ... 85 13. Nilai LQ komoditas hortikultura sayuran pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang ... 86 14. Hasil analisis sifat kimia tanah dan status kesuburan tanah di hulu DAS Jeneberang ... 88 15. Dominansi relatif tutupan lahan (tanaman hortikultura) di hulu DAS

Jeneberang pada masing-masing SLH yang diamati ... 93


(17)

16. Hasil klasifikasi kesesuaian lahan untuk komoditas hortikultura buah-buahan (rambutan, mangga, pisang dan durian) pada setiap SLH di hulu DAS

Jeneberang ... 96

17. Luas areal (ha) berdasarkan kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial untuk komoditas hortikultura buah-buahan ... 102 18. Hasil klasifikasi kesesuaian lahan untuk komoditas hortikultura sayuran (kentang, wortel, kubis, sawi dan bawang daun) pada setiap SLH di hulu

DAS Jeneberang ... 104 19. Luas areal (ha) berdasarkan kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial

untuk komoditas hortikultura sayuran ... 106 20. Tingkat bahaya erosi berdasar tebal solum dan besarnya bahaya erosi

(jumlah erosi maksimum, A) ... 121 21. Hasil analisis sifat fisik tanah dan fisiografi lahan di daerah hulu DAS

Jeneberang ... 122 22. Prediksi erosi yang terjadi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang 125 23. Tingkat bahaya erosi dan luasannya di hulu DAS Jeneberang ... 127 24. Erosi yang dapat ditoleransikan pada lahan berlereng di hulu DAS

Jeneberang ... 128 25. Parameter statistik (Goodness of fit) dari analisis indeks dan status

keberlanjutan usahatani hortikultura buah-buahan pada lahan berlereng

di hulu DAS Jeneberang ... 145 26. Hasil analisis Monte Carlo (MC) dan Multidimensi (MDS) untuk RAP-

Farm komoditas unggulan hortikultura buah-buahan dengan selang

kepercayaan 95% ... 146 27. Parameter statistik (Goodness of fit) dari analisis indeks dan status

keberlanjutan usahatani hortikultura sayuran pada lahan berlereng

di hulu DAS Jeneberang ... 157 28. Hasil analisis Monte Carlo (MC) dan Multidimensi (MDS) untuk nilai

RAP-Farm komoditas unggulan hortikultura sayuran dengan selang

kepercayaan 95% ... 158 29. Status keberlanjutan usahatani hortikultura buah-buahan dan sayuran


(18)

30. Kebutuhan stakeholders sistem pengembangan tanaman hortikultura berbasis Agroekologi di hulu DAS Jeneberang ... 168 31. Metode analisis data yang digunakan dalam menyusun alternatif rancangan model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi ... 171 32. Matriks keputusan setiap alternatif komoditas hortikultura buah-buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) 172 33. Matriks keputusan setiap alternatif sistem penanaman hortikultura buah- buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance

Index (CPI) ... 173 34. Matriks keputusan setiap alternatif tindakan konservasi pertanaman

hortikultura buah-buahan berdasarkan hasil perhitungan Metode

Composite Performance Index (CPI) ... 174 35. Rata-rata latar belakang petani penggarap pada usahatani hortikultura

buah-buahan ... 175 36. Analisis usahatani beberapa komoditas hortikultura buah-buahan di hulu DAS Jeneberang ... 177 37. Nilai BC-ratio, NPV, dan IRR untuk usahatani rambutan dengan modal pinjaman bank dan tingkat diskonto atau nilai bunga bank 17% untuk

masing-masing skenario dan kondisi eksisting ... 182 38. Tingkat erosi, produktivitas, dan pendapatan petani rambutan dibandingkan dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak

(KHL) pada masing-masing skenario ... 183 39. Matriks keputusan setiap alternatif jenis komoditas hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) 184 40. Pola tanam yang diterapkan petani dan persentasenya pada musim tanam Tahun 2009 di hulu DAS Jeneberang ... 186 41. Matriks keputusan setiap alternatif sistem penanaman komoditas hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite Performance Index (CPI) ... 187 42. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis pupuk untuk pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Bayes ... 188


(19)

43. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis amelioran untuk pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode

Bayes ... 189 44. Matriks keputusan setiap alternatif pemilihan jenis pestisida untuk

pertanaman hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode

Bayes ... 190 45. Matriks keputusan setiap alternatif tindakan konservasi pertanaman

hortikultura sayuran berdasarkan hasil perhitungan Metode Composite

Performance Index (CPI) ... 192 46. Rata-rata latar belakang petani penggarap pada usahatani hortikultura

sayuran ... 196 47. Analisis usahatani komoditas unggulan hortikultura sayuran di hulu

DAS Jeneberang ... 198 48. Nilai BC-ratio, NPV, dan IRR untuk usahatani kentang dengan modal

pinjaman bank dan tingkat diskonto atau nilai bunga bank 17% untuk

masing-masing skenario dan kondisi eksisting ... 204 49. Tingkat erosi, produktivitas, dan pendapatan petani kentang dibandingkan dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak

(KHL) pada masing-masing skenario ... 205 50. Tanaman dominan pada kondisi eksisting, kelas kesesuain lahan,

permasalahan, usaha perbaikan dan arahan pemanfaatan pada masing-


(20)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman 1. Perumusan masalah penelitian ... 9 2. Kerangka pemikiran pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng ... 10 3. Peta lokasi penelitian di hulu DAS Jeneberang, Kabupaten Gowa

Sulawesi Selatan ... 49 4. Peta zona agroekologi berbasis elevasi di hulu DAS Jeneberang ... 63 5. Peta satuan lahan homogen pada setiap zona agroekologi berbasis

elevasi di hulu DAS Jeneberang ... 64 6. Peta kelas kemampuan lahan di hulu DAS Jeneberang ... 69 7. Peta kemampuan lahan untuk pertanian pada areal penggunaan lain di

hulu DAS Jeneberang ... 73 8. Peta lokasi contoh pengamatan dominansi relatif tutupan lahan tanaman Hortikultura di hulu DAS Jeneberang ... 92 9. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas rambutan di area hulu DAS

Jeneberang ... 98 10. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas mangga di area hulu DAS

Jeneberang ... 99 11. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas pisang di area hulu DAS

Jeneberang ... 100 12. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas durian di area hulu DAS

Jeneberang ... 101 13. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas kentang di area hulu DAS

Jeneberang ... 107 14. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas wortel di area hulu DAS

Jeneberang ... 108 15. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas sawi di area hulu DAS

Jeneberang ... 109 16. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas bawang daun di area hulu DAS Jeneberang ... 110


(21)

17. Peta kesesuaian lahan aktual komoditas kubis di area hulu DAS

Jeneberang ... 111 18. Peta tingkat bahaya erosi di hulu DAS Jeneberang ... 129 19. Pola penanaman dan pembuatan pembuatan bedengan searah lereng yang diterapkan oleh petani hortikultura sayuran di hulu DAS Jeneberang ... 130 20. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani buah-

buahan untuk dimensi ekologi ... 137 21. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani buah-

buahan untuk dimensi ekonomi ... 138 22. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani buah-

buahan untuk dimensi sosial ... 139 23. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani buah-

buahan untuk dimensi kelembagaan ... 141 24. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani buah-

buahan untuk dimensi teknologi ... 142 25. Diagram layang-layang analisis indeks dan status keberlanjutan sistem

usahatani komoditas unggulan buah-buahan pada lahan berlereng di –

hulu DAS Jeneberang ... 143 26. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani sayuran

untuk dimensi ekologi ... 148 27. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani sayuran

untuk dimensi ekonomi ... 150 28. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani sayuran

untuk dimensi sosial ... 151 29. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani sayuran

untuk dimensi kelembagaan ... 152 30. Atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani sayuran

untuk dimensi teknologi ... 153 31. Diagram layang-layang analisis indeks dan status keberlanjutan sistem

usahatani komoditas unggulan sayuran pada lahan berlereng di hulu


(22)

32. Diagram layang-layang analisis indeks dan status keberlanjutan sistem usahatani komoditas buah-buahan dan sayuran pada lahan berlereng

di hulu DAS Jeneberang ... 160 33. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi ... 169 34. Diagram input - output model pengembangan tanaman hortikultura

berkelanjutan berbasis agroekologi ... 170 35. Struktur model dinamik pengembangan tanaman hortikultura buah- buahan berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang ... 178 36. Simulasi total erosi yang terjadi, produksi tanaman buah-buahan, dan total pendapatan usahatani buah-buahan ... 179 37. Prediksi erosi yang terjadi pada pertanaman hortikultura buah-buahan hasil simulasi skenario sampai tahun 2020 ... 180 38. Perkiraan produktivitas rambutan hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun 2020 ... 181 39. Perkiraan pendapatan petani rambutan hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun 2020 ... 181 40. Distribusi rata-rata curah hujan dengan pola tanam sayuran yang diterapkan petani di hulu DAS Jeneberang ... 186 41. Kondisi teras yang dibuat oleh petani sayuran di hulu DAS Jeneberang 191 42. Jenis teras dengan penanaman rumput dibibir teras dan pembuatan teras

dengan cara kredit ... 192 43. Kelembagaan yang ada di hulu DAS Jeneberang ... 195

44. Struktur model pengembangan tanaman hortikultura sayuran berbasis agroekologi di hulu DAS Jeneberang ... 200 45. Simulasi model pengembangan tanaman hortikultura sayuran berdasarkan produksi, nilai rupiah, dan total erosi ... 200

46. Prediksi erosi yang terjadi pada pertanaman hortikultura sayuran hasil simulasi skenario sampai tahun 2020 ... 202 47. Perkiraan produktivitas kentang hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun 2020 ... 202


(23)

48. Perkiraan pendapatan petani kentang hasil simulasi skenario tahun 2010 sampai tahun 2020 ... 203


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Peta satuan lahan di hulu DAS Jeneberang ... 233 2. Titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah di hulu DAS

Jeneberang ... 234 3. Hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah dari Kec. Parangloe dan Kec.

Tinggi Moncong dari Laboratorium Tanah Univ. Hasanuddin ... 235 4. Hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah dari Kec. Parangloe dan Kec.

Tinggi Moncong dari Laboratorium Tanah UMI Makassar ... 236 5. Matriks kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Arsyad, 2007) ... 237 6. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kubis ... 238 7. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman sawi ... 239 8. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kentang ... 240 9. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman wortel ... 241 10. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman bawang daun ... 242 11. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman rambutan ... 243 12. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman mangga ... 244 13. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman pisang ... 245 14. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman durian ... 246 15. Kode struktur tanah ... 247 16. Kode permeabilitas profil tanah ... 247 17. Penilaian kelas kelerengan (faktor LS) ... 247 18. Nilai faktor tanaman (faktor C) ... 248 19. Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah ... 249 20. Data curah hujan hulu DAS Jeneberang Kec. Parangloe ... 250


(25)

21. Data Curah hujan hulu DAS jeneberang Kec. Tinggi Moncong ... 251 22. Persamaan pada masing-masing submodel dari model pengembangan

tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh lingkungan tempat tumbuh komoditas pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Agroekosistem atau faktor biofisik seperti jenis tanah dan iklim (intensitas cahaya, curah hujan, kelembaban, dan suhu) dapat menjadi peluang dan/atau masalah dalam pengembangan pertanian, bergantung kepada kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam menggunakan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Sekitar 45% wilayah Indonesia merupakan perbukitan dan dataran tinggi yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat beragam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan dataran tinggi memiliki peran penting dalam pembangunan pertanian nasional. Selain memberikan manfaat bagi petani, lahan dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya (Dariah, 2007).

Budidaya tanaman hortikultura di lahan dataran tinggi dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi, curah hujan yang relatif tinggi, dan lain-lain. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah ini dapat menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan dataran tinggi, tetapi juga di dataran rendah di bawahnya. Empat hal yang mencerminkan penurunan kualitas pertanian lahan kering dataran tinggi antara lain adalah (1) usaha tani yang semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, (2) menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan, (3) meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama dan penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian


(27)

2

materi yang tidak sedikit, dan (4) hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar (Irianto et al., 1999; Anyamba et al., 2006; Pranadji, 2006).

Daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang merupakan salah satu dari tiga daerah aliran sungai yang terdapat di Sulawesi Selatan yang termasuk DAS prioritas. Kondisi lahan di daerah aliran sungai Jeneberang mengalami kerusakan karena adanya alih fungsi lahan dan sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak mengikuti teknik konservasi tanah dan air yang sangat diperlukan untuk lahan dengan kemiringan curam.

Bagian hulu DAS Jeneberang merupakan daerah tangkapan hujan sungai Jeneberang. Di bagian hilirnya terletak Kota Makassar yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Sungguminasa yang merupakan ibukota Kabupaten Gowa. Selain itu, di bagian hilir sungai terdapat Bendungan Bili-Bili. Bendungan Bili-Bili merupakan pemasok berbagai kebutuhan air untuk daerah sekitarnya, baik untuk keperluan irigasi, pembangkit tenaga listrik, keperluan domestik, dan industri. Selain itu, bendungan ini juga berfungsi sebagai media pengendali banjir dan sedimentasi di muara Sungai Jeneberang.

Beberapa tahun terakhir ini fungsi hidrologi DAS Jeneberang bagian hulu semakin menurun. Pertambahan luas lahan kritis cenderung lebih besar bila dibandingkan dengan luas keberhasilan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Erosi yang meningkat menyebabkan sedimentasi di muara yang juga semakin meningkat. Erosi dan sedimentasi telah menyebabkan dampak lanjut, baik terhadap sistem hidrologi secara keseluruhan maupun terhadap sistem kehidupan di muara sungai dan sekitarnya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, luas lahan di hulu DAS Jeneberang dengan kemiringan lereng 35 – 45 % adalah 343.203,5 ha (89,28% dari total luas hulu DAS Jeneberang), dan erosi yang terjadi berkisar dari 1,07 – 465,47 ton/ha (Makaheming, 2003). Erosi yang terjadi cukup tinggi dan bahkan terjadi longsor pada tahun 2004 yang lalu sehingga terjadi sedimentasi di daerah Dam Bili-Bili (Suriani, 2006). Sumber sedimen di Dam Bili-Bili berasal dari erosi tanah


(28)

3

(71,22%), erosi longsor dan erosi tebing sungai (28,78%) (Zubair dan Djuhartono, 2001).

Hasil penelitian Mappa et al. (1987) menunjukkan bahwa Sungai Jeneberang yang diharapkan dapat menjadi sumber air irigasi bagi sekitar 31.000 ha sawah di bagian hilir, pada musim kemarau hanya dapat memenuhi kebutuhan air irigasi sekitar 10% saja. Di samping itu, keperluan air untuk industri dan domestik pada musim kemarau juga menjadi kritis. Di lain pihak pada musim hujan terjadi lonjakan debit sungai yang menyebabkan banjir serta akibat-akibat sampingannya. Numiaty (1995) dan Mustafa et al. (1995) menyatakan adanya fluktuasi debit aliran sungai Jaleko (DAS Jeneberang) yang sangat berbeda nyata antara musim penghujan dan musim kemarau sepanjang tahun (1992 – 1994). Debit maksimum mencapai sekitar 422 m3/detik dan debit minimum 2,6 m3/detik. Kondisi hidrologi Sungai Jeneberang sangat tidak menguntungkan sistem drainase di Kota Makassar. Mappa et al. (1987) selanjutnya mengemukakan bahwa luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah 65.620 ha, dimana 5.250 ha tererosi berat, 37.400 ha tererosi sedang dan 6.563 ha tererosi ringan.

Usahatani hortikultura yang diusahakan oleh petani di hulu DAS Jeneberang adalah tanaman sayuran dan buah-buahan. Luas lahan yang ditanami tanaman hortikultura sekitar 69.930 ha (18,19% dari total luas hulu DAS Jeneberang) dalam bentuk tegalan dan kebun (Makaheming, 2003). Usahatani hortikultura diusahakan pada lahan datar hingga berbukit (0 – 40%) sehingga lahan sangat potensial mengalami erosi. Tanaman hortikultura sayuran yang banyak diusahakan adalah kentang, kubis, bawang prei, wortel, cabe dan tomat. Tanaman hortikultura buah-buahan yang banyak diusahakan adalah avokad, markisa dan rambutan (Said, 2001). Hasil penelitian Tangkaisari (1987) tentang tingkat erosi di DAS Jeneberang bagian hulu menunjukkan bahwa total tanah tererosi pada petak pertanaman bawang prei tanpa konservasi sebesar 80 ton/ha/tahun dan petak pertanaman bawang prei yang berteras saluran sebesar 9 ton/ha/tahun; keduanya melampaui erosi yang dapat diperbolehkan sebesar 8 ton/ha. Pada tahun 1993 – 1994 erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang adalah 21,53 ton/ha/tahun, dan tahun 1999 erosi yang terjadi meningkat menjadi 25 ton/ha/tahun (Arsyad, et al., 2000 dalam Makaheming, 2003).


(29)

4

Diduga pola penggunaan lahan di daerah bagian hulu DAS Jeneberang tidak sejalan dengan kemampuan lahannya. Usaha pertanian tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada areal dengan kemiringan lereng yang besar tanpa memperhatikan upaya konservasi. Pemanfaatan lahan yang tidak mempertimbangkan atau tidak disesuaikan dengan kemampuan lahannya akan menyebabkan kerusakan tanah dan lingkungan yang lebih parah lagi. Karena besarnya ancaman bahaya erosi dan sedimentasi, tanpa adanya rencana penataan dan pengaturan penggunaan lahan ke arah yang optimal, kemungkinan kerusakan tanah dan lingkungan DAS secara keseluruhan akan menjadi lebih parah di masa yang akan datang dan semakin meluasnya tanah yang tidak produktif. Untuk itu diperlukan penataan dan pengaturan penggunaan lahan yang optimal, sehingga diharapkan kerusakan tanah dan lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin dan manfaat ekonomi dapat diperoleh secara maksimal.

Upaya penerapan kaidah-kaidah konservasi sumberdaya lahan dalam sistem budidaya tanaman hortikultura pada prinsipnya tergantung dari kesadaran dan kemampuan petani sebagai pelaku yang menentukan dalam pengelolaan usahataninya. Namun disadari benar bahwa petani pada umumnya masih dalam kondisi serba kekurangan sehingga pemenuhan kebutuhan jangka pendek lebih diprioritaskan dibandingkan persoalan jangka panjang seperti konservasi sumberdaya lahan. Petani dapat dipandang sebagai kelompok primer yang perlu mendapat informasi, pembinaan dan bimbingan dari pemerintah melalui program pemberdayaan dan penyuluhan. Bagi komunitas petani yang mempunyai karakteristik demikian, diperlukan pendekatan sistemik baik dari sisi perubahan sikap mental maupun perilaku manusianya.

Budidaya pertanian khususnya komoditas hortikultura pada lahan berlereng atau pegunungan dapat dilakukan tetapi harus memperhatikan teknologi konservasi tanah dan air. Selain memberikan manfaat bagi petani, lahan di pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai dan menyangga daerah di bawahnya. Dengan demikian peluang untuk budidaya pertanian di lahan berlereng atau pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi apabila tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.


(30)

5

47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan.

Pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi dalam pengelolaan lahan dataran tinggi yang tepat guna dan tepat sasaran dapat memberi keuntungan ekonomi dan melindungi lahan dan lingkungan secara simultan. Dengan demikian, pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan dapat terwujud. Lahan dataran tinggi dengan iklim dan jenis tanah yang berbeda mempunyai karakteristik lingkungan tumbuh tanaman yang heterogen. Lingkungan tumbuh demikian memenuhi persyaratan fisiologis bagi jenis-jenis tanaman tertentu. Kelompok jenis tanaman berdasarkan persyaratan fisiologis harus memenuhi persyaratan agronomis yang diekspresikan dalam tingkat kesesuaian tanaman bagi berbagai karakteristik fisik dan kimia tanah. Jenis-jenis tanaman ini yang akan ditanam pada bidang olah lahan berlereng yang telah diteras (Altieri, 2002). Menurut FAO (1989, dalam Susanto 2006) pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dengan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikan rupa sehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dimana diharapkan dari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan peternakan mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, tidak merusak lingkungan dan secara sosial dapat diterima. Konsep agroekologi merupakan pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan diharapkan tidak akan berbeda nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (Puslitanak, 1999).

Menurut Susanto (2006), pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi perlu ditekankan pada usaha mempertahankan dan meningkatkan tingkat produksi yang sudah dicapai. Penjabarannya mencakup empat dimensi yaitu sosial ekonomi, sumberdaya alam sebagai aset produksi dalam usahatani, peningkatan peranan masyarakat, dan implementasi program yang realistis. Dimensi sosial-ekonomi perlu ditekankan kearah usaha mengatasi kemiskinan, keseimbangan produksi dan konsumsi, keseimbangan demografi, kesehatan


(31)

6

masyarakat, penataan hunian yang manusiawi, dan keseimbangan lingkungan dan pembangunan. Sumberdaya alam sebagai aset produksi perlu difahami bentuk, keberadaan dan karakternya sehingga pemanfaatannya mengarah pada prinsip kesamaan hak antar generasi atas sumber daya, keseimbangan pemanfaatan, preservasi dan konservasi, dan peningkatan kemanfaatan untuk generasi yang akan datang. Pemberdayaan masyarakat mencakup pemanfaatan pengetahuan dan teknologi, kesetaraan akses sumber produksi, dan kebijakan pemerintah antar sektor yang berpihak pada sektor pertanian. Implementasi program yang realistis meliputi adanya pendanaan yang berpihak pada sektor pertanian, peningkatan nilai tambah teknologi asli (kearifan lokal) untuk dijadikan sebagai bagian dari keunggulan kompetitif, transfer teknologi, dukungan keilmuan melalui penelitian yang terkoordinasi, peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, dan proses pengambilan keputusan yang transparan.

Penerapan model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi di wilayah dataran tinggi khususnya di hulu DAS Jeneberang diharapkan dapat memberikan keuntungan langsung kepada petani di samping menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, antara lain sebagai obyek wisata agro, penyedia lapangan kerja, penggalang ketahanan pangan, dan penyedia berbagai fungsi lingkungan seperti pengendali erosi dan longsor, penghasil oksigen, dan pengatur tata air daerah aliran sungai.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendesain model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi yang mampu menjaga dan melestarikan sumberdaya lahan dan lingkungan pada lahan berlereng, sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa menurunkan kualitas lahan dan lingkungan, meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani di daerah hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan.

Tujuan khususnya meliputi :

a. Mengevaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan untuk tanaman hortikultura pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang.


(32)

7

b. Menentukan metode pengelolaan lahan yang sesuai untuk meminimalkan terjadinya erosi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang. c. Menentukan keberlanjutan budidaya tanaman hortikultura berbasis

agroekologi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang.

d. Merumuskan disain model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang.

1.3. Perumusan Masalah

Lahan dengan kemiringan yang cukup curam umumnya ditemui di daerah hulu suatu DAS. Daerah hulu DAS Jeneberang merupakan lahan yang secara status terdiri atas dua kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Petani memanfaatkan lahan di kawasan lindung sebagai lahan budidaya tanaman tahunan seperti kopi, sehingga terjadi alih fungsi lahan. Sedangkan di kawasan budidaya, lahannya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan untuk budidaya tanaman hortikultura, tanaman pangan, dan tanaman perkebunan. Di kawasan usahatani yang ditanami tanaman hortikultura, pengusahaannya dilakukan secara intensif pada kondisi lahan berlereng dan intensitas curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan peluang terjadinya longsor cukup besar. Erosi dan longsor tersebut menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Disisi lain, penyebab terjadinya hal tersebut adalah faktor petaninya sendiri. Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petani masih sangat minim, sementara kelembagaan yang ada di tingkat usahatani sangat lemah yang menyebabkan pengelolaan lahan tidak menggunakan prinsip pengelolaan konservasi. Hal ini telah memperparah terjadinya degradasi lahan dan lingkungan. Dampak dari kejadian tersebut adalah produktivitas lahan menurun, kualitas dan kuantitas produksi menurun, pendapatan petani rendah dan menyebabkan petani miskin dan tidak sejahtera. Secara skematis, perumusan masalah pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Beberapa pertanyaan penelitian yang merupakan permasalahan-permasalahan yang perlu dicarikan alternatif penanganannya yaitu :

a. Bagaimana pengelolaan lahan eksisting untuk tanaman hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang? Apakah sudah menerapkan pengelolaan lahan berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan?


(33)

8

b. Apakah metode pengelolaan lahan di daerah hulu DAS Jeneberang telah mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air?

c. Bagaimana keberlanjutan potensi pertanian hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang?

d. Bagaimana model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi yang sesuai untuk diterapkan di daerah hulu DAS Jeneberang?

1.4. Kerangka Pemikiran

Kawasan budidaya di daerah hulu DAS Jeneberang dibagi menjadi dua kawasan yaitu kawasan usahatani dan kawasan non-usahatani. Kawasan usahatani dimanfaatkan untuk usahatani tanaman hortikultura, tanaman pangan, tanaman palawija, dan perkebunan. Pengelolaan lahan untuk tanaman hortikultura dan perkebunan memerlukan penanganan yang cukup sulit karena lahannya memiliki kemiringan yang curam, sehingga diperlukan pengelolaan dengan memperhatikan konservasi tanah dan disesuaikan dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya. Pengembangan tanaman hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang melalui pendekatan agroekologi akan lebih ramah lingkungan, yaitu dengan membuat zona agroekologi. Dalam setiap zona agroekologi, pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan (berkelanjutan) dapat dilakukan melalui pengelolaan biofisik lahan dan tanaman, partisipasi dan peningkatan pengetahuan petani melalui penyuluhan, penguatan kelembagaan dan penyediaan lembaga saprodi, pemasaran dan modal usahatani (pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi). Untuk membangun hal tersebut maka pendekatannya dapat dilakukan secara holistik dengan mengamati keterkaitan dan pengaruh antar satu bagian dengan bagian lainnya. Metode analisis yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui pemodelan, sehingga apabila diterapkan diharapkan dapat menciptakan kondisi sumberdaya lahan dan lingkungan yang lestari, pemanfaatan lahan berkelanjutan tanpa terjadinya kerusakan lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 2.


(34)

9

1.5. Manfaat Penelitian

Model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi kepada Pemda setempat untuk menyelesaikan permasalahan degradasi lahan dan lingkungan serta perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi (input) dari usahatani tanaman hortikultura. Dengan demikian pemanfaatan lahan di bagian hulu DAS Jeneberang dapat dilakukan secara berkelanjutan.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang, melalui perbaikan lahan yang terdegradasi dan peningkatan produktivitas lahan yang berdampak terhadap pendapatan petani.


(35)

10

DAERAH HULU DAS JENEBERANG

KAWASAN BUDIDAYA

BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA DI LAHAN BERLERENG

Kelas Kemampuan dan Kesesuaian Lahan

Jenis Tanaman dan Pola Tanam Pengelolaan Lahan

Pemupukan dan Ameliorasi

Prediksi Erosi

Faktor Iklim, Tanah dan Topografi

Faktor Vegetasi dan Pengelolaan Lahan

Penyuluhan Peningkatan Pengetahuan Petani

Penyuluhan Teknologi Ramah Lingkungan

Kompetensi Masyarakat Tani

Kelembagaan Petani Hortikultura

- Menjaga dan Melestarikan Sumberdaya Lahan dan Lingk. - Dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa menurunkan

kualitas lahan

- Meningkatkan produktivitas lahan - Meningkatkan pendapatan petani

PENGELOLAAN LAHAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG

Gambar 2. Kerangka pemikiran pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng.

Tindakan Konservasi Tanah dan Air KAWASAN LINDUNG

Kondisi Iklim – Lahan Kondisi Sosial Petani Kondisi Kelembagaan

ZONA AGROEKOLOGI RTRW


(36)

10

PERTANIAN TAN. HORTIKULTURA

LERENG

CURAH HUJAN TINGGI LONGSOR DAN EROSI KESUBURAN RENDAH JENIS KOMODITAS

- PRODUKTIVITAS LAHAN RENDAH

- KUALITAS DAN KUANTITAS PRODUKSI RENDAH - PENDAPATAN PETANI RENDAH

- PETANI MISKIN DAN TIDAK SEJAHTERA LEMAHNYA

KELEMBAGAAN USAHATANI

KURANGNYA PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT LAHAN BERLERENG

DAERAH HULU DAS JENEBERANG

KAWASAN LINDUNG KAWASAN BUDIDAYA

ALIH FUNGSI LAHAN NON PERTANIAN

Pengelolaan lahan berlereng berdasarkan kemampuannya

Pengelolaan lahan berlereng untuk meminimalkan

terjadinya erosi Pengelolaan lahan berlereng

berdasarkan kesesuaiannya

Analisis keberlanjutan pertanian hortikultura di lahan

berlereng

Gambar 1. Perumusan masalah penelitian.


(37)

(38)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan

Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu pengunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan dipandang sebagai kapasitas lahan untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum (Arsyad, 2000). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2000) menggolongkan kedalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan lahan atau pengelolaan. 2.1.1. Kelas Kemampuan Lahan

Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII. Lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Lahan pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal lahan kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti


(39)

14

buah-buahan, tanaman hias, dan beberapa jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Lahan dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad, 2006).

Kelas I. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput, hutan, dan cagar alam. Lahan dalam kelas I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut : (1) terletak pada topografi hampir datar, (2) ancaman erosi kecil, (3) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (4) umumnya berdrainase baik, (5) mudah diolah, (6) kapasitas menahan air baik, (7) subur atau responsif terhadap pemupukan, (8) tidak terancam banjir, dan (9) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.

Kelas II. Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu kombinasi dari pengaruh berikut : (1) lereng yang landai, (2) kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, (3) kedalaman efektif agak dalam, (4) struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan.

Kelas III. Lahan dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang


(40)

15

memerlukan pengolahan tanah tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam kelas III membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan tanah, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu beberapa hal berikut : (1) lereng yang agak miring atau bergelombang, (2) peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat, (3) seringkali mengalami banjir yang merusak tanaman, (4) lapisan bawah tanah yang berpermeabilitas lambat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, atau (9) hambatan iklim yang agak besar.

Kelas IV. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Lahan di dalam kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang pengembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) lereng yang miring atau berbukit, (2) kepekaan erosi yang besar, (3) pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase, (8)


(41)

16

salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.

Kelas V. Lahan di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir, atau berbatu-batu, atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.

Kelas VI. Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) terletak pada lereng agak curam, (2) ancaman erosi berat, (3) telah tererosi berat, (4) mengandung garam larut atau natrium, (5) berbatu-batu, (6) daerah perakaran sangat dangkal, dan (7) atau iklim yang tidak sesuai.

Kelas VII. Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuat terras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetative untuk konservasi tanah, disamping tindakan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan dan ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam, (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit, dan (3) daerah perakaran sangat dangkal.


(42)

17

Kelas VIII. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada kelas VIII dapat berupa (1) terletak pada lereng yang sangat curam, atau (2) berbatu, atau (3) kapasitas menahan air sangat rendah.

Beberapa kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) adalah :

1. Iklim

Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah, agak kering, dan kering akan mempengaruhi kemampuan lahan.

2. Lereng, ancaman erosi dan erosi yang terjadi

Kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi sangat nyata mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan tanah. Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan.

Kecuraman lereng dikelompokkan sebagai berikut : A = 0 sampai 3% (datar)

B = 3 sampai 8% (landai atau berombak)

C = 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D = 15 sampai 30% (miring atau berbukit)

E = 30 sampai 45% (agak curam) F = 45 sampai 65% (curam) G = lebih dari 65% (sangat curam)

Kepekaan erosi tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut : KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah)


(43)

18

KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi)

Kerusakan erosi yang telah terjadi dikelompokkan sebagai berikut : E0 = tidak ada erosi

E1 = ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang E2 = sedang : 25 sampai 75% lapisan atas hilang

E3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang

E4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang E5 = sangat berat : erosi parit

3. Kedalaman tanah

Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut :

K0 = lebih dari 90 cm (dalam) K1 = 90 sampai 50 cm (sedang) K2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)

K3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) 4. Tekstur tanah

Tekstur tanah adalah salah satu factor penting yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya. Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah (30 – 60 cm) dikelompokkan sebagai berikut :

T1

T2

T3 =

=

=

tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat

tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu


(44)

19

T4

T5 =

=

berdebu, dan debu

tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus

tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.

5. Permeabilitas

Permeabilitas tanah dikelompokkan sebagai berikut : P1 = lambat : kurang 0,5 cm/jam

P2 = agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam P3 = sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam P4 = agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam P5 = cepat : lebih dari 12,5 cm/jam 6. Drainase

Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut :

D0 D1 D2 D3 D4 D5 = = = = = =

berlebihan, air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan sangat mengalami kekurangan air.

baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.

agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran.

agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik. buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan. sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

7. Batuan dipermukaan

Batuan dipermukaan yaitu adanya bahan kasar atau batuan berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya batuan dipermukaan dikelompokkan sebagai berikut :


(45)

20 B0 B1 B2 B3 = = = =

tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.

sedang : 15 sampai 50% volume tanah, pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu.

banyak : 50 sampai 90% volume tanah, pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu.

sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah, pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.

8. Batuan tersingkap

Penyebaran batuan tersingkap dikelompokkan sebagai berikut :

B0 B1 B2 B3 B4 = = = = =

tidak ada : kurang dari 2% permukaan tanah tertutup.

sedikit : 2% sampai 10% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu.

sedang : 10% sampai 50% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman terganggu.

banyak : 50% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu.

sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap.

2.1.2. Subkelas Kemampuan Lahan

Pengelompokan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat dan ancaman. Jadi subkelas merupakan pengelompokan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi, dan iklim. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu ancaman erosi, ancaman kelebihan air, pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim.

Subkelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan masalah utama. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.


(46)

21

Subkelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir yang merusak tanaman.

Subkelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar, adanya batuan dipermukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan dan tidak praktis dihilangkan. Subkelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperatur dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan.

2.1.3. Satuan Kemampuan Lahan

Pengelompokan di dalam satuan kemampuan lahan adalah pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternative pengelolaan bagi tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

2.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian pada dasarnya mengacu pada Klasifikasi Kemampuan Lahan USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961) atau Klasifikasi Kesesuaian Lahan yang dikembangkan oleh FAO (1976). Sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan menurut kerangka evaluasi lahan FAO pada saat ini banyak digunakan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Metode FAO dapat dipakai


(47)

22

untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Kerangka dari sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan ini mengenal empat kategori, yaitu : (1) ordo, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) kelas, menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; (3) sub-kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; dan (4) unit, menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas.

Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal dua ordo yaitu ordo S (sesuai) dan ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelompokan lahan akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Lahan yang termasuk ordo N yaitu lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Kelas kesesuaian lahan yaitu pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N. Kelas S1 artinya sangat sesuai (highly suitable) yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 artinya cukup sesuai (moderately suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan


(48)

23

mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3 artinya sesuai marginal (marginally suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Kelas N1 artinya tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kelas N2 artinya tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Ahamed, Rao, dan Murthy, 2000).

Subkelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih subkelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Dalam satu subkelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

2.3. Penurunan Kualitas Sumberdaya Lahan

Kegiatan pertanian sering disebut sebagai penyebab menurunnya biodiversitas, baik di atas maupun di dalam tanah, sehingga hal tersebut diduga menyebabkan produksi pangan dan layanan lingkungan seperti penyediaan air bersih, penyediaan habitat bagi fauna dan flora liar, dan kesehatan manusia menurun. Di lain pihak, kebutuhan pangan di Indonesia terus meningkat karena jumlah penduduk yang terus meningkat dengan cepat. Peningkatan produksi pertanian di Indonesia dari tahun 1995 hingga 2010 diperkirakan sekitar 1,3% setiap tahunnya (Simatupang, et al., 1995), dengan demikian produksi yang diperoleh tidak akan mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan pangan, pemerintah menggunakan 2 strategi dasar yaitu melalui peningkatan pendayagunaan lahan pertanian yang telah ada (intensifikasi)


(49)

24

dan melalui perluasan lahan pertanian (eksentifikasi). Pelaksanaan kedua strategi tersebut membutuhkan pemahaman pentingnya sumber daya lahan yang memadai agar keseimbangan ekosistem terjaga.

Dampak berkurangnya biodiversitas tanah terhadap layanan lingkungan dan produktivitas tanaman serta upaya mempertahankan biodiversitas pada berbagai skala (lahan, bentang lahan, regional, global) telah sering dibicarakan pada berbagai level, namun pelaksanaan dan implementasinya masih kurang mendapat perhatian yang serius (van Noordwijk dan Swift, 1999; Jackson et al., 2005). Hal tersebut dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat akan keuntungan yang diperoleh dari usaha konservasi biodiversitas masih belum memadai.

Ekosistem mengalami ketidakseimbangan dimana pada musim penghujan terjadi banjir, erosi dan longsor, tetapi pada musim kemarau kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Gagal panen juga sering terjadi karena adanya serangan hama dan penyakit. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya penurunan kualitas sumberdaya lahan, dan hal ini berhubungan dengan terganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah), menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan, berkurangnya tingkat keindahan lansekap, berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas sumber daya lahan adalah adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebih (van Noordwijk dan Hairiah, 2006).

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa kelompok fungsional organisme tanah, karena berubahnya jenis dan kerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah sehingga berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan jenis masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah (Giller et al., 1997; Lavelle et al., 2001). Pada lahan-lahan pertanian umumnya ada tiga masalah pokok yang berhubungan dengan gangguan siklus atau ketersediaan hara, rusaknya kondisi fisik tanah, gangguan fungsi hidrologi


(1)

Tabel Lampiran 15. Kode Struktur Tanah (Arsyad, 2006)

Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Kode

Granuler sangat halus (< 1 mm) 1

Granuler halus (1 - 2 mm) 2

Granuler sedang – kasar ( 2 – 10 mm) 3

Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4

Tabel Lampiran 16. Kode Permeabilitas Profil Tanah (Arsyad, 2006) Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode

Sangat lambat < 0,5 6

Lambat 0,5 – 2,0 5

Lambat – sedang 2,0 – 6,3 4

Sedang 6,3 – 12,7 3

Sedang – cepat 12,7 – 25,4 2

Cepat > 25,4 1

Tabel Lampiran 17. Penilaian kelas kelerengan (faktor LS) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)

Kemiringan Lereng (%) Nilai LS

0 – 8 8 – 15 15 – 25 25 – 45 >45

0,25 1,20 4,25 9,50 12,00


(2)

Tabel Lampiran 18. Nilai Faktor tanaman (faktor C) (Arsyad, 2006)

No. Macam Penggunaan Nilai Faktor

1 Tanah terbuka/tanpa tanaman 1,0

2 Sawah 0,01

3 Tegalan tidak dispesifikasi 0,7

4 Ubikayu 0,8

5 Jagung 0,7

6 Kedelai 0,399

7 Kentang 0,4

8 Kacang Tanah 0,2

9 Padi 0,561

10 Tebu 0,2

11 Pisang 0,6

12 Akar wangi(sereh wangi) 0,4

13 Rumput bede (tahun pertama) 0,287

14 Rumput bede (tahun kedua) 0,002

15 Kopi dengan penutup tanah buruk 0,2

16 Talas 0,85

17 Kebun campuran:- Kerapatan tinggi 0,1

- Kerapatan sedang 0,2

- Kerapatan rendah 0,5

18 Perladangan 0,4

19 Hutan alam : - Serasah banyak 0,001

- Serasah kurang 0,005

20 Hutan produksi : - Tebang habis 0,5

- Tebang pilih 0,2

21 Semak belukar/padang rumput 0,3

22 Ubikayu + kedelai 0,181

23 Ubikayu + kacangtanah 0,195

24 Padi – Sorghum 0,345

25 Padi – Kedelai 0,417

26 Kacangtanah + Gude 0,495

27 Kacangtanah + Kacang tunggak 0,571

28 Kacangtanah + Mulsa jerami 4 ton/ha 0,049

29 Padi + Mulsa jerami 4 ton/ha 0,096

30 Kacangtanah + Mulsa jagung 4 ton/ha 0,128 31 Kacangtanah + Mulsa Crotalaria 3 ton/ha 0,136

32 Kacangtanah + Mulsa kacang tunggak 0,259

33 Kacangtanah + Mulsa jerami 2 ton/ha 0,377

34 Padi + Mulsa Crotalaria 3 ton/ha 0,387

35 Pola tanam tumpang gilir + Mulsa jerami 0,079 36 Pola tanam berurutan + Mulsa sisa tanaman 0,357


(3)

Tabel Lampiran 19. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah

No. Tindakan khusus konservasi tanah Nilai P

1 Teras bangku :

- Konstruksi baik 0,04

- Konstruksi sedang 0,15

- Konstruksi kurang baik 0,35

- Terras tradisional 0,40

2 Strip tanaman rumput Bahia 0,40

3 Pengolahan tanah dan Penanaman menurut garis kontur :

- Kemiringan 0 – 8 % 0,50

- Kemiringan 9 – 20 % 0,75

- Kemiringan lebih dari 20 % 0,90


(4)

Tabel Lampiran 20. Data curah hujan hulu DAS Jeneberang Kecamatan Parangloe (ketinggian < 700 m dpl)

Bulan

Tahun

1996 1997 1998 1999 2000 2005 2006 2007 2008 2009

Januari 383 479 133 1156 763 - 987 753,5 719,5 1112

Februari 771 774 282 910 641 - 820 688,5 1110 792,5

Maret 198 276 402 418 538 - 633,5 267,5 490,5 199,5

April 331 84 950 469 225 - 317,5 467 267,5 170,5

Mei 19 42 297 199 212 - 265 274,5 176 184

Juni 34 - 128 162 167 - 150 383,5 124,5 33,5

Juli 41 25 253 241 53 - 34,5 16,5 29 123,5

Agustus 45 - 237 - - - 0 18,5 60 10,5

September 76 - 199 2 - 37 0 20,5 7,5 8,5

Oktober 175 40 303 5 295 256 0 149,5 94,5 63,5

Nopember 574 170 648 602 - 545 46,5 394 421,5 81


(5)

Tabel Lampiran 21. Data curah hujan hulu DAS Jeneberang Kecamatan Tinggimoncong (ketinggian ≥ 700 m dpl)

Bulan

Tahun

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Januari 948 307 364 416 1081 489 685 448 376 1125 822,0 870 1426

Februari 475 386 430 366 969 508 335 798 328 503 736,0 1199 1003

Maret 619 290 825 575 843 363 236 479 274 677 339,0 413,5 171

April 643 78 346 420 431 279 80 209 205 296 565,0 290 155

Mei 169 283 158 143 43 279 34 69 127 197 222,0 185 217

Juni 429 183 555 133 54 303 313 178 52 174 425,0 197 66

Juli 62 127 189 221 69 109 123 12 38 48 75,0 33 112

Agustus 7 12 - 141 - 33 55 69 24 0 40,0 72 31

September 41 3 - 82 102 16 36 - 41 0 5,5 22 0

Oktober 120 41 - 181 334 221 29 - 201 2 81,0 207,5 33

Nopember 986 142 5 270 381 237 256 - 375 67 217,0 372,5 122


(6)

Tabel Lampiran 22. Persamaan-persamaan pada masing-masing submodel dari model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan