Analisis Tataniaga Beras di Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi

ANALISIS TATANIAGA BERAS
DI KECAMATAN ROGOJAMPI
KABUPATEN BANYUWANGI

ADIB PRIAMBUDI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Beras di Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Adib Priambudi
H34096002



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
ADIB PRIAMBUDI. Analisis Tataniaga Beras di Kecamatan Rogojampi
Kabupaten Banyuwangi. Dibimbing oleh JOKO PURWONO.
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia
dengan tingkat konsumsi 139 kilogram per kapita per tahun. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis sistem tataniaga beras yang meliputi saluran tataniaga,
lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu,
penelitian ini menganalisis efisiensi tataniaga beras di setiap jenis saluran
tataniaga. Hasil dari penelitian ini yaitu saluran tataniaga beras di kabupaten

Banyuwangi terdiri dari 12 saluran dan ada enam jenis lembaga tataniaga
(Kelompok Tani, Penebas, Penggilingan, Pedagang Besar, Pedagang Pengecer
dan Sub Divisi Regional Bulog). Total hasil panen padi Musim Tanam I 2012
sebanyak 272.880 kilogram GKP atau setara 150.084 kilogram beras. Analisis
efsiensi tataniaga membuktikan bahwa pada saluran VII mendistribusikan
31.755,50 kilogram beras. Biaya tataniaga tertinggi yaitu 1.512 rupiah per
kilogram pada Saluran XII. Nilai marjin tataniaga terbesar juga pada Saluran XII
yaitu sebesar 2.721 rupiah per kilogram. Saluran III memiliki nilai farmer’s share
79 persen. Nilai farmer’s share yang lebih tinggi pada suatu saluran dibandingkan
dengan saluran tataniaga lainnya menunjukkan saluran tersebut efisien secara
operasional.
Kata-kunci : beras, bulog, efsiensi, pangan, tataniaga

ABSTRACT
ADIB PRIAMBUDI. Rice Marketing Analysis In Rogojampi
Banyuwangi Regency. Supervised by JOKO PURWONO.

District

Rice is the primary food for 95 percent of Indonesia's population and

consumption levels 139 kilograms by capita by year. The purpose of this study
was to analyze the system of rice marketing that includes channel marketing,
marketing institutes, marketing functions, market structure and market behavior.
In addition, this research analyzes the efficiency of rice marketing in any type of
marketing channels. Results from this research that rice marketing channels in
Banyuwangi regency consists of 12 channels and there are six types of institutions
marketing (farmers group, middleman, milling, wholesalers, retailers and sub
regional division Bulog). Total harvest rice planting season I 2012 as much as
272.880 kilograms GKP or equivalent 150.084 kilograms of rice. Marketing
efficiency analysis proves that the channel VII distribute 31.755,50 kilograms of
rice. Highest marketing costs 1,512 rupiah per kilogram on channel XII. Greatest
value of margin marketing is also on the channel XII is equal to 2.721 rupiah per
kilogram. Channel III has a value of the farmer's share of 79 percent. Farmer's
share value higher on a channel other than the channel marketing shows the
channel operationally efficient.
Keywords : bulog, efficient, food, marketing, rice

ANALISIS TATANIAGA BERAS
DI KECAMATAN ROGOJAMPI
KABUPATEN BANYUWANGI


ADIB PRIAMBUDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agibisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Beras di Kecamatan Rogojampi Kabupaten
Banyuwangi
Nama
: Adib Priambudi
NIM

: H34096002

Disetujui oleh

Ir Joko Purwono, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil
diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Februari 2012 ini ialah tataniaga, dengan judul Analisis Tataniaga Beras di
Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi.

Skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan
arahan dari berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, kepada :
1. Ir. Joko Purwono, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran.
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. selaku dosen penguji, Ir. Burhanuddin, MM.
selaku komisi akademik dan Ir. Juniar Atmakusuma, MS. selaku dosen
evaluator yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan
saran.
3. Arif Karyadi, SP. selaku dosen pembimbing akademik beserta seluruh
Dosen dan Staf Departemen Agribisnis yang telah membimbing penulis.
4. Yayak Rahman Hidayat, SP. dan Suryani, SPd. sebagai Orang Tua
penulis yang selalu memberikan kasih sayang selama-lamanya, serta
Selia, Wira, dan Dina sebagai saudara dari penulis. Merekalah yang
senantiasa memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat dikerjakan dan diselesaikan dengan baik.
Terima kasih banyak keluarga besarku tercinta.
5. Seluruh instansi pemerintahan dan non-pemerintahan serta perorangan
kabupaten Banyuwangi yang terkait dalam penyusunan skripsi ini,
penulis berterima kasih atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan

yang telah diberikan.
6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen, keluarga
besar Ikatan Mahasiswa Jember di Bogor serta seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013
Adib Priambudi

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Agribisnis Beras
Tinjauan Penelitian Terdahulu

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Sistem Tataniaga
Lembaga Tataniaga
Saluran Tataniaga
Fungsi Tataniaga
Struktur Pasar
Perilaku Pasar
Efisiensi Tataniaga
Marjin Tataniaga
Farmer’s share
Rasio Keuntungan dan Biaya
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Contoh
Metode Pengolahan Data
Analisis Data
Analisis Saluran, Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Analisis Karakter Pelaku dan Struktur Pasar
Analisis Marjin Tataniaga
Analisis Farmer’s Share
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kabupaten Banyuwangi
Keadaan Umum Kecamatan Rogojampi
Karakteristik Petani Sampel
Karakteristik Lembaga Tataniaga
Responden Penebas Gabah
Responden Penggilingan Padi
Responden Pedagang Besar

1
1
3
5
5
5
5

5
6
8
8
9
10
10
11
12
13
13
13
14
14
14
15
15
15
17
17

18
18
18
18
19
19
19
19
20
21
24
25
25
26

Responden Pedagang Pengecer
Responden Kelompok Tani
Responden Badan Urusan Logistik (Bulog)
ANALISIS SALURAN, LEMBAGA DAN FUNGSI TATANIAGA
Analisis Saluran Tataniaga Beras
Analisis Lembaga Tataniaga Beras
Penebas Gabah
Penggilingan Padi
Pedagang Besar Beras
Pedagang Pengecer Beras
Kelompok Tani
Subdivre Bulog
Analisis Fungsi Tataniaga Beras
Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Padi
Fungsi Tataniaga di Tingkat Penebas Gabah
Fungsi Tataniaga di Tingkat Penggilingan
Fungsi Tataniaga di Tingkat Kelompok Tani
Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Besar
Fungsi Tataniaga di Tingkat Subdivre Bulog Banyuwangi
Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer
ANALISIS STRUKTUR DAN PERILAKU PASAR
Analisis Struktur Pasar Beras
Struktur Pasar di Tingkat Petani
Struktur Pasar di Tingkat Penggilingan
Struktur Pasar di Tingkat Penebas
Struktur Pasar di Tingkat Kelompok Tani
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar
Struktur Pasar di Tingkat Subdivre Bulog Banyuwangi
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer
Analisis Perilaku Pasar Beras
Praktek Penjualan dan Pembelian
Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi
Sistem Pembayaran yang Digunakan dalam Transaksi
Kerjasama antar Lembaga Tataniaga
ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA
Analisis Volume Distribusi
Analisis Biaya Tataniaga
Analisis Marjin Tataniaga
Analisis Farmer’s Share
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

27
27
28
29
30
33
34
34
34
34
35
35
35
35
36
36
36
37
38
38
39
39
39
39
40
40
40
40
41
41
41
42
42
43
43
43
44
46
46
47
49
50
51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Luas lahan panen dan produksi padi nasional tahun 2005 - 2011
Perkembangan luas panen dan produksi padi provinsi tahun 2009 – 2010
Luas panen (Ha) kabupaten sentra produksi padi tahun 2005 - 2009
Luas lahan pertanian di Rogojampi
Golongan usia petani sampel di Rogojampi
Tingkat pendidikan petani sampel di Rogojampi
Status keanggotaan kelompok tani petani sampel di Rogojampi
Status usahatani petani sampel di Rogojampi
Status kepemilikan lahan petani sampel di Rogojampi
Luas lahan garapan petani sampel di Rogojampi
Pengalaman usahatani petani sampel di Rogojampi
Responden pelaku niaga dan jenis lembaga pemasaran
Pengalaman usaha penebas responden
Skala usaha penebas responden
Pengalaman usaha RMU responden
Skala usaha RMU responden
Pengalaman usaha pedagang besar responden
Skala usaha pedagang besar responden
Pengalaman usaha pedagang pengecer responden
Skala usaha pedagang pengecer responden
Jumlah petani sampel yang menjual gabah ke lembaga tataniaga
Distribusi penjualan gabah (setara beras) petani padi Rogojampi
Distribusi Penjualan beras penggilingan di lokasi penelitian
Distribusi penjualan beras kelompok tani di lokasi penelitian
Distribusi penjualan beras pedagang besar di lokasi penelitian
Pangsa pasar saluran tataniaga beras di lokasi penelitian
Biaya tataniaga beras (Rupiah per Kilogram) di lokasi penelitian
Marjin tataniaga beras di lokasi penelitian
Farmer’s share di lokasi penelitian
Rasio keuntungan dan biaya di lokasi penelitian

1
3
3
20
21
21
22
22
23
23
23
24
25
25
25
26
26
27
27
27
31
32
32
33
33
44
45
46
47
48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Perubahan harga GKP di tingkat petani tahun 2008 – 2011
Harga beras medium di tingkat konsumen akhir tahun 2011
Definisi marjin tataniaga dan nilai marjin tataniaga
Kerangka pemikiran operasional penelitian tataniaga beras
Musim tanam petani padi Rogojampi
Saluran umum tataniaga beras Banyuwangi

2
2
14
15
29
30

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Luas panen, rata-rata produksi dan total produksi padi sawah
Volume distribusi saluran tataniaga beras di lokasi penelitian
Marjin tataniaga beras di lokasi penelitian
Profil petani sampel di lokasi penelitian
Dokumentasi lokasi penelitian
Peta Rogojampi
Peta administrasi kabupaten Banyuwangi

51
52
53
54
54
56
56

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus tersedia
setiap saat, secara kuantitas maupun kualitasnya, aman, bergizi serta harganya
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi
95 persen penduduk Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang mencapai 237 juta
jiwa (angka sementara BPS), penduduk Indonesia di tahun 2010 memerlukan
energi dan protein sebanyak 55 persen. Makanan alternatif lainnya belum mampu
menggantikan beras. Oleh karena itu beras dapat dikatakan sebagai makanan
pokok bangsa Indonesia dengan permintaan di pasaran mencapai 139 kg per
kapita per tahun (Saragih, 2006). Pertumbuhan penduduk satu persen saja,
penambahan jumlah penduduk akan mencapai 2,4 juta orang per tahun (Saragih,
2010). Penambahan jumlah penduduk akan membuat permintaan beras ikut
meningkat, sehingga harga beras menjadi tinggi. Ketersediaan beras di pasar
konsumsi akan dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran beras tersebut.
Disisi lain, peningkatan luas lahan panen dan produksi padi bisa dijadikan
sebagai bentuk indikator perubahan penawaran beras dari tahun ke tahun. Berikut
ini tersajikan data perkembangan luas lahan panen padi dan produksi padi
Nasional dari tahun 2005 sampai 2011.
Tabel 1 Luas lahan panen dan produksi padi nasional tahun 2005 - 20111

Tabel 1 menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya meningkatkan
produksi beras nasional melalui peningkatan areal panen dan produktivitas padi.
Tahun 2005 hingga 2011 terlihat jelas terjadi adanya penambahan luas lahan
panen padi nasional. Peningkatan luas lahan panen ini berdampak pada
peningkatan total produksi. Tahun 2010 terjadi penurunan luas lahan panen, salah
satu penyebabnya yaitu terjadi konversi lahan pertanian. Penurunan luas lahan
panen di tahun 2010 ternyata tidak menyebabkan penurunan produksi. Hal ini
dikarenakan pemerintah selalu memberikan program-program pertanian yang
meningkatkan produktivitas padi. Laju kenaikan lahan panen tahun 2011 adalah
yang terbesar, akan tetapi di tahun itu juga terjadi bencana banjir dan serangan
hama yang menyebabkan produktivitas turun.
1

http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi
Tanaman Padi Provinsi Indonesia. diakses pada tanggal 5 Mei 2012.

2

a

Gambar 1 Perubahan harga GKP di tingkat petani tahun 2008 – 2011a

Badan Pusat Statistik (2011), diadaptasi dari data Rata-Rata Harga Gabah Menurut Kualitas,
Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Petani di Indonesia 2008-2011 yang dapat diunduh dari
http://www.bps.go.id

Petani Indonesia, setiap tahun berupaya meningkatkan produksi padi demi
memenuhi kebutuhan beras nasional. Peningkatan produksi padi di Indonesia
berbanding lurus dengan kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat
petani. Tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011 , harga rata-rata GKP di tingkat petani
nasional sebesar Rp 2.450,- /Kg, Rp 2.700,- /Kg, Rp 3.100,- /Kg dan Rp 3.550,/Kg. Kenaikan rata-rata harga GKP di tingkat petani setiap tahunnya seharusnya
bisa menguntungkan petani. Akan tetapi jika dilihat perkembangan per bulannya,
harga GKP di tingkat petani mengalami fluktuasi. Perubahan harga GKP perbulan
akan terlihat jelas pada Gambar 1. Hal ini bisa disebabkan karena panen raya,
paceklik, ataupun adanya impor beras.
Harga Beras Medium Nasional Tahun 2011
8.000
7.800
7.600
7.400
7.200
7.000
6.800
6.600

7.709

7.328

7.803

7.474

7.432
7.307

7.150

7.590
7.421

7.041
7.043

7.133

Harga Rata-rata (Rp/Kg)

Gambar 2 Harga beras medium di tingkat konsumen akhir tahun 2011a
a

Kementerian Perdagangan (2012), diadaptasi dari Tabel Harga Kebutuhan Pokok Nasional yang
dapat diunduh dari http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/prices/national-price-table

Gambar diatas menjelaskan bahwa terjadi perubahan harga beras medium di
tingkat konsumen akhir nasional. Gambar diatas juga menggambarkan harga beras
medium mengalami tren naik. Selama tahun 2011 telah terjadi kenaikan 475
rupiah per kilogram. Jika dibandingkan antara harga GKP dengan harga beras
medium maka terlihat jelas adanya gap harga.

3
Pemerintah setiap tahunnya berusaha menaikkan produksi padi dan
menurunkan nilai impor beras dengan memberdayakan Kementerian Pertanian
(Kementan). Kebijakan pertanian yang dikeluarkan Kementan meliputi kebijakan
pertanian dari segi on farm maupun off farm. Kebijakan dari segi on-farm
diantaranya adalah mengeluarkan beberapa varietas padi unggul, pemberian
penyuluhan budidaya padi modern, subsidi untuk pupuk dan benih padi (Bantuan
Langsung Benih Unggul). Sedangkan dari segi off farm-nya pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkait dengan permodalan dan tataniaga
beras.
Perumusan Masalah
Pemerintah masih mengandalkan produksi padi dari pulau Jawa dalam
rangka pemenuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya terus meningkat.
pulau Jawa memegang peranan penting dalam produksi beras, dengan produksi
sekitar 56 persen, selebihnya 22 persen di pulau Sumatera, 10 persen di pulau
Sulawesi dan 5 persen di pulau Kalimantan. Diperkirakan beberapa tahun ke
depan pulau Jawa tetap menjadi produsen utama beras di Indonesia. Berikut ini
data produksi padi menurut propinsi.
Tabel 2 Perkembangan luas panen dan produksi padi provinsi tahun 2009 – 2010a

a

Badan Pusat Statistik (2011), diadaptasi dari Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman
Padi Provinsi Indonesia yang dapat diunduh dari http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3

Data diatas merupakan lima provinsi sentra produksi padi di Indonesia. Dari
data tersebut, provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan luas lahan
penanaman padi terluas dan produksi padi tertinggi di tahun 2009 dan tahun 2010.
Akan tetapi jika dilihat dari produktivitasnya, Jawa Barat mengalami penurunan.
Di urutan kedua, Jawa Timur menunjukkan peningkatan Luas Lahan, Produksi
dan Produktivitasnya. Jawa Tengah pun demikian, akan tetapi yang
membedakannya adalah luas lahan dan produktivitasnya masih di bawah provinsi
Jawa Timur.
Tabel 3 Luas panen (Ha) kabupaten sentra produksi padi tahun 2005 - 2009

4
Ketersedian beras di Jawa Timur masih ditopang oleh produksi sendiri. Ada
beberapa daerah lumbung padi (daerah penghasil padi utama) di propinsi Jawa
Timur, kabupaten Banyuwangi termasuk salah satu diantaranya. Hampir seluruh
wilayah di kabupaten Banyuwangi menanam padi, akan tetapi jumlah lahan padi
yang dipanen masih mengalami fluktuasi (tabel 3). Hal ini menyebabkan produksi
beras pun berfluktuasi setiap tahunnya. Keberhasilan panen raya, pengendalian
hama dan penyakit terpadu, penggunaan benih unggul, irigasi dan pemupukan
yang lebih baik (intensifikasi pertanian yang optimal) menjadi faktor penting yang
mempengaruhi peningkatan produksi padi. Sebaliknya, kenaikan harga faktorfaktor input pertanian seperti benih padi, pupuk dan sarana produksi padi
(Saprodi), menjadikannya sebagai kendala pada sebagian besar petani di
kabupaten Banyuwangi.
Fluktuasi produksi padi menjadi salah satu alasan munculnya kebijakan
impor beras. Produksi padi yang mengalami penurunan menyebabkan cadangan
beras harus dipenuhi dengan mendatangkan beras dari luar negeri. Kondisi lahan
produksi padi di kabupaten Banyuwangi yang terserang hama wereng cokelat di
tahun 2011 membuat cadangan beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) maupun
di pasar lokal berkurang. Penurunan penawaran gabah dan beras membuat harga
gabah maupun beras itupun naik melebihi Harga Pokok Pembelian (HPP)
pemerintah. Bulog merupakan salah satu lembaga tataniaga beras.
Ketidakmampuan Bulog membeli gabah dan beras lokal mendasari adanya
kebijakan impor beras. Kekurangan cadangan beras di gudang Bulog akhirnya
dipenuhi oleh beras impor dari luar negeri 2 . Kebijakan impor ini ternyata
berdampak pada sistem tataniaga beras yang ada di kabupaten Banyuwangi yaitu
menyebabkan kuota pembelian gabah dan beras lokal oleh Bulog berkurang.
Penerimaan petani di kabupaten Banyuwangi belum maksimal, terbatasnya
modal usahatani dan adanya penebas (tengkulak) adalah penyebabnya. Petani
yang terbatas modal usahataninya akan kesulitan memperoleh input produksi.
Input produksi yang tidak sesuai dengan standar budidaya yang baik akan
menyebabkan hasil panen tidak maksimal. Rendahnya produksi petani ternyata
masih harus dihadapkan dengan adanya penebas yang membeli gabah kering
panen jauh dibawah harga beli gabah kering panen penggilingan padi.
Tataniaga beras di kabupaten Banyuwangi dari tingkat petani hingga
konsumen akhir melalui berbagai lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem
tataniaga. Banyaknya mata rantai saluran tataniaga dari tingkat petani hingga
konsumen akhir menyebabkan besarnya perbedaan harga produk yang diterima
oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Petani padi
sebagai produsen, cenderung untuk menjual gabah kepada lembaga tataniaga
selanjutnya daripada mengolahnya sendiri menjadi beras yang memiliki nilai jual
lebih tinggi. Semakin banyak lembaga yang terlibat dalam tataniaga beras, maka
semakin besar nilai marjin tataniaga yang akan terjadi.
Beras merupakan bahan pangan pokok yang dibutuhkan penduduk
Indonesia. Beras yang diproduksi dari gabah hasil panen petani padi kabupaten
Banyuwangi harus mampu memenuhi permintaan konsumen lokal dan luar
daerah. Beras Banyuwangi sudah memiliki brand image karena kualitasnya.
2

http://issuu.com/wardhan/docs/24_november_web. Bongkar 8000 Ton Beras Vietnam.
Surat Kabar Harian Jawapos (Radar Banyuwangi). Diakses pada tanggal 22 Desember 2012.

5
Seluruh kegiatan ekonomi yang membantu proses aliran produk beras dari
produsen hingga konsumen akhir mempengaruhi tataniaga beras di lokasi
penelitian. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana sistem tataniaga beras di lokasi penelitian.
2.
Bagaimana efisiensi tataniaga beras di lokasi penelitian.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis sistem tataniaga beras yang meliputi saluran tataniaga,
lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar.
2.
Menganalisis efisiensi tataniaga beras di setiap jenis saluran tataniaga.
Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dalam hal
tataniaga beras, terutama bagi instansi terkait seperti Pemerintah Daerah Tingkat
II Banyuwangi beserta Dinas Pertanian dalam rangka mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi beras sebagai
produk unggulan daerah serta memperbaiki sistem tataniaga yang selama ini
dilakukan. Bagi penulis penelitian ini merupakan sarana untuk mengaplikasikan
ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah, serta sebagai syarat dalam
menyelesaikan studi kuliah. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan tataniaga beras.
Ruang Lingkup Penelitian

1.
2.

Penelitian ini dibatasi oleh:
Produk yang diteliti adalah beras secara keseluruhan.
Objek Penelitian adalah responden yang terdiri dari 35 petani (pemilik,
penyewa dan penggarap) yang berusahatani padi, 20 pedagang beras
(lembaga tataniaga), satu kelompok tani, dan satu instansi pemerintahan
terkait (Bulog Banyuwangi).

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Agribisnis Beras
Beras yang berasal dari Padi (Oryza Sativa Sp) merupakan bahan makanan
pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Rata-rata konsumsi beras masyarakat
Indonesia adalah 139 kg per kapita per tahun. Beras memiliki rasa yang disukai
dan sesuai dengan selera masyarakat Indonesia pada umumnya, serta memiliki
kandungan gizi (kalori dan protein) yang jauh lebih tinggi dibanding komoditas
pangan lainnya (seperti jagung, ketela, kentang dan sagu). Beras termasuk

6
komoditas pertanian strategis, karena ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia
saat ini bertumpu pada produksi beras dengan jumlah yang sesuai konsumsi
nasional, harga terjangkau dan bergizi tinggi. Untuk itu pemenuhan kebutuhan
pokok ini tergantung pada produksi beras dalam negeri. Apabila terjadi
kekurangan stok beras nasional akibat kurangnya produksi dalam negeri, solusi
instan yang selalu dilakukan pemerintah adalah dengan cara mengimpor beras dari
luar negeri. Setelah empat bulan ditanam oleh petani, padi bisa dipanen dan dijual
dalam bentuk GKP. Proses berikutnya adalah GKP dijemur hingga kadar air
tertentu sesuai dengan standar penggilingan atau disebut GKG. Gabah yang siap
giling selanjutnya diproduksi menjadi beras. Dilihat dari segi tataniaganya beras
banyak dijual di toko-toko dan kios-kios beras di Banyuwangi dan sekitarnya
yang dikemas dalam berbagai ukuran kemasan mulai dari 5 kg sampai dengan 50
kg dengan berbagai kualitas.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Harga gabah yang fluktuatif berpengaruh pada harga beras. Peningkatan
harga gabah akan berdampak pada kesejahteraan petani, namun akan
mengakibatkan naiknya harga beras dan merugikan konsumen. Jika hal tersebut
menjadi permasalahan umum di bidang pertanian, maka menurut Ariyono (2012)
perlu dikaji pendapatan usahatani padi dan pemasaran beras yang efektif dan
efisien. Tujuan penelitian Ariyono adalah (1) mengkaji keragaan usahatani padi di
kabupaten Karawang, (2) menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi di
kabupaten Karawang, (3) menganalisis sistem pemasaran beras di kabupaten
Karawang. Petani mengeluarkan biaya usahatani dalam menjalankan usahatani.
Hasil penelitian Ariyono (2012) menunjukkan bahwa petani yang menjual
dengan harga GKP terendah menerima pendapatan usahatani atas biaya tunai Rp
4.134.187,80 dengan R/C rasio 1,40 dan pendapatan usahatani atas biaya total Rp
1.033.980,41 dengan R/C rasio 1,08. Petani yang menjual dengan harga GKP
tertinggi menerima pendapatan usahatani atas biaya tunai Rp 14.676.155,80
dengan R/C rasio 2,42 dan pendapatan atas biaya total Rp 11.575.948,41 dengan
R/C rasio 1,86. Perhitungan pendapatan usahatani dengan harga GKP rata-rata,
pendapatan usahatani atas biaya tunai yaitu Rp 7.563.885,30 dengan R/C rasio
1,73 dan pendapatan usahatani atas biaya total yaitu Rp 4.463.667,91 dengan R/C
rasio 1,33. Nilai R/C rasio terhadap biaya tunai dan biaya total untuk harga GKP
terendah, tertinggi dan rata-rata melebihi satu sehingga usahatani padi yang
dijalankan oleh petani responden layak dan menguntungkan serta efisien.
Menurut Ariyono (2012), lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem
pemasaran beras di kabupaten Karawang adalah petani, penggilingan
(Penggilingan I, Penggilingan II, dan Penggilingan III), pedagang grosir di Pasar
Johar, pedagang grosir di Pasar Induk Cipinang, Bulog Subdivre Karawang,
pedagang pengecer di kabupaten Karawang dan pedagang pengecer di
Jabodetabek. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi pemasaran berupa
fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Lembaga pemasaran
mengeluarkan biaya pemasaran untuk menjalankan fungsi pemasaran. Lembaga
pemasaran tersebut terjalin dalam delapan saluran. Saluran pemasaran yang lebih
efisien dibanding saluran lain adalah saluran IIB dengan marjin terkecil yaitu Rp
2.256,94 per kilogram dan farmer’s share terbesar yaitu 68,87 persen.

7
Hasil yang didapatkan dari penelitian Aditama (2011) menunjukkan bahwa
secara umum, ada enam saluran tataniaga beras di kabupaten Demak. Lembagalembaga yang terlibat dalam alur pemasaran tersebut yaitu petani, tengkulak, RMU,
grosir, dan ritel. Tengkulak masih menjadi pihak yang dominan yang menerima
penjualan gabah hasil panen petani. Sebagian besar tengkulak membeli hasil panen
dengan sistem tebas. Sistem tebas ini banyak dipilih sebagian besar petani karena
petani membutuhkan uang cepat dan kemudahan fasilitas untuk panen. Berdasarkan
fungsi BULOG sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar bagi
produsen atau petani, BULOG dinilai belum berfungsi. Hal ini ditunjukkan dengan
aktivitas BULOG yang hanya menyerap beras dari grosir dan RMU. Seharusnya
BULOG mampu menyerap gabah hasil panen petani yang harganya cenderung rendah
ketika panen raya.
Berdasarkan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya penelitian Aditama (2011) menyatakan banwa saluran
tataniaga 1B adalah saluran yang lebih efisien dibandingkan saluran yang lain.
Saluran tersebut memiliki total marjin yang terkecil yaitu sebesar Rp 1.464,00.
Berdasarkan analisis farmer’s share, saluran 1B memiliki nilai terbesar yaitu sebesar
71 persen. Sedangkan melalui analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran yang
paling efisien adalah saluran 3A dengan rata-rata rasio sebesar 3,64. Namun dari
keenam saluran tersebut, saluran IB merupakan saluran yang memiliki volume
perdagangan terbesar yaitu 2.581,9 ton atau 21,22 persen dari total pangsa pasar
perdagangan beras yang berarti paling memberikan prospek kepada petani dan
seluruh lembaga untuk memasarkan produknya.
Menurut Wulandari dalam skripsinya (2008) yang memfokuskan obyek
penelitiannya pada Sub Terminal Agribisnis dengan komoditas Sayuran
didapatkan informasi untuk pasar tradisional memiliki empat pola saluran
tataniaga sedangkan untuk pasar modern memiliki tiga pola saluran tataniaga.
Struktur pasar komoditas sayuran yang terbentuk di petani, pedagang pengumpul
desa, pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang pasar induk cenderung
mengarah pada pasar persaingan sempurna, sedangkan pada pedagang pengumpul
STA untuk pasar tradisional, PCM dan Supermarket cenderung mengarah pada
pasar persaingan monopolistik.
Menurut Suriyana dalam penelitiannya di tahun 2005, DKI Jakarta sebagai
pusat perekonomian dengan total lebih dari 10 juta jiwa konsumen beras
memerlukan jaminan pasokan serta kelancaran distribusi beras. Salah satu pihak
yang banyak berperan dalam pengadaan dan pemasaran beras di daerah ibukota
adalah PT. Food Station Tjipinang Jaya selaku pengelola Pasar Induk Cipinang
(PIC). Dalam penelitian Suriyana juga di ungkapkan bahwa telah terbentuk pasar
persaingan monopolistik antara PIC dan pasar tradisional. Persaingan tersebut
terjadi karena terdapat banyak penjual, tidak ada hambatan keluar masuk pasar,
terdapat banyak jenis beras dan pengetahuan informasi mengenai pasar cukup
besar. Sedangkan yang terjadi pada pasar modern cenderung oligopoli diferensiasi
karena hanya terdapat sedikit penjual, sulit masuk pasar, terdapat banyak jenis
beras dan pengetahuan indformasi mengenai pasar cukup besar. Kondisi pasar
yang terjadi diatas menyebabkan petani menjadi pihak penerima harga dan tidak
memiliki kekuatan dalam tawar menawar. Sebaliknya, kekuatan pembentukan
harga berada pada lembaga tataniaga setelah petani, yaitu para pedagang beras
daerah dan pedagang grosir PIC. Penelitian Suriyana ini melengkapi informasi
penelitian sebelumnya dari Komara dan Syahroni.

8
Penelitian Syahroni (2001), bertujuan antara lain untuk menganalisis ; (1)
mekanisme pasar oleh PIC (Pasar Induk Cipinang), (2) pangsa pasar beras PIC
dan tingkat persediaan beras stabil yang perlu dipertahankan PIC dan, (3)
keterpaduan pasar beras melalui Index of Market Connection (IMC) di DKI
Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, saluran tataniaga beras dari daerah
hingga konsumen mempunyai enam alternatif pola. Pangsa PIC dalam distribusi
beras untuk wilayah DKI pada tahun 1997 sebesar 57,21 persen dan pada tahun
1998 sebesar 55,56 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pasokan langsung dari
daerah semakin lama semakin meningkat, tetapi juga ada indikasi masuknya
pasokan beras dari daerah Lampung, karena fasilitas transportasi dari Lampung
sama baiknya dengan Cirebon. Jumlah beras yang harus disediakan di PIC adalah
sebesar 1,784 ton per hari supaya stok beras terjamin. Dari data harga tahun 1999
yang dianalisisnya menunjukkan tidak adanya keterpaduan pasar antara pasar
induk dengan pasar eceran, karena besaran koefisien IMC-nya semua lebih besar
dari satu.
Penelitian Komara pada tahun 2000, bertujuan untuk mengetahui saluran
tataniaga yang terdapat dalam tataniaga komoditas beras di kabupaten Karawang,
serta lembaga-lembaga apa saja yang terlibat di dalamnya, menganalisis marjin
tataniaga diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga beras
serta fungsi-fungsi yang dilakukan oleh Bulog atau Sub Dolog dan Non Bulog
dilihat dari marjin tataniaga serta indeks keterpaduan pasarnya. Hasil penelitian
menunjukan bahwa saluran tataniaga beras memiliki dua belas saluran tataniaga.
Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga itu adalah pedagang
pengumpul, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah, pedagang
pengecer, KUD serta Dolog. Dengan fungsi tataniaga yang dilakukan adalah
fungsi pertukaran (pembeli dan penjualan) dan fungsi fisik (penyimpanan,
pengolahan, pengangkutan) serta fungsi fasilitas (standarisasi dan grading).
Semakin banyak penambahan fungsi tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat
akan menghasilkan biaya tataniaga yang semakin tinggi dan mempengaruhi
marjin tataniaga yang terbentuk. Saluran tataniaga melalui Bulog lebih efisien
dibandingkan dengan saluran tataniaga melalui KUD. Keterpaduan pasar baik
antara Pasar Induk Cipinang (PIC) dengan Bulog maupun dengan KUD
Binamukti dalam jangka pendek masih rendah. Hal ini menunjukan pembentukan
harga pada satu pihak tidak membawa pengaruh bagi pihak lain.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia akan menyebabkan permintaan
komoditi beras di Indonesia meningkat. Beras menjadi salah satu kebutuhan
pokok orang Indonesia untuk dijadikan sebagai bahan makanan utama yaitu nasi.
Ketersediaan beras di pasar wajib dijaga guna mendukung ketahanan pangan
Rakyat Indonesia.
Ketersediaan beras perlu didukung dengan adanya usaha peningkatan
usahatani padi di setiap daerah, melalui peningkatan produksi padi baik
produktivitas maupun perluasan areal tanam. Pemerintah dalam hal ini telah

9
banyak mengeluarkan program-program yang mendukung untuk membantu
peningkatan produksi padi. Petani padi mulai beralih meninggalkan teknik
budidaya konvensional, dengan harapan teknik budidaya modern yang terpadu
bisa meningkatkan hasil produksi dan juga akhirnya bisa meningkatan pendapatan
petani serta meningkatkan pendapatan pemerintah di sektor pertanian.
Meskipun ada gejala naiknya permintaan (pertumbuhan penduduk) dan
penawaran (peningkatan produksi), dikhawatirkan kenaikan tersebut tidak disertai
suatu sistem tataniaga yang lebih baik. Jika hal tersebut terjadi pada tataniaga
beras maka akan menimbulkan efek sebaliknya, yakni dapat menurunkan tingkat
pendapatan petani sebagai akibat tidak stabilnya harga.
Dengan sedikit ulasan diatas maka peneliti mencoba untuk merangkaikan
teori, dalil, proposisi dan pengetahuan peneliti yang disusun secara sistematik
untuk menjawab sementara tujuan penelitian tataniaga beras ini secara deduktif.
Penelitian tataniaga beras menggunakan konsep-konsep yang telah dipakai oleh
beberapa ahli. Konsep sistem dan efisiensi tataniaga pertanian pada umumnya bisa
digunakan untuk membantu menganalisa objek yang diteliti. Sistem tataniaga
terdiri dari lembaga tataniaga, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar
dan perilaku pasar. Menurut Saefudin (1983) efisiensi pemasaran dibedakan atas
efisiensi operasional (teknologi) dan efisiensi harga (ekonomi). Efisiensi
operasional menekankan kemampuan meminimumkan biaya yang digunakan
untuk menggerakkan/memindahkan barang dari produsen ke konsumen atau
meminimumkan biaya untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Efisiensi
operasional dapat didekati dengan biaya pemasaran dan marjin pemasaran.
Menurut Asmarantaka (2009) Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan
sistem tataniaga dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan
seluruh produksi pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien yang sesuai
dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga hanya mungkin terjadi apabila
terjadi koordinasi yang tinggi antar tingkat lembaga tataniaga dalam sistem
tersebut.
Sistem Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian adalah semua
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian
dari tangan produsen ke tangan konsumen. Selain itu termasuk di dalamnya
kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang
ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan
yang lebih tinggi kepada konsumennya. Menurut Sudiyono (2002), tataniaga
pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan
penciptaan guna waktu, guna tempat dan bentuk, yang dilakukan oleh lembagalembaga tataniaga dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga.
Tataniaga pertanian tidak hanya meliputi aliran komoditi pertanian yang terjadi
setelah proses produksi pada usahatani, tetapi juga meliputi penyediaan input
produksi untuk melakukan proses produksi.
Tataniaga merupakan kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau
penambahan kegunaan daripada barang dan jasa. Oleh karena itu tataniaga
termasuk tindakan atau usaha yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh
kegiatan tataniaga adalah kegunaan tempat, waktu dan kegunaan pemilikan.

10
Kegunaan waktu adalah suatu barang atau jasa akan mempunyai nilai yang lebih
besar apabila sudah terjadi perubahan waktu. Kegunaan tempat adalah suatu
barang atau jasa akan lebih besar nilainya karena perubahan tempat. Kegunaaan
pemilik berarti bahwa barang-barang mempunyai kegunaan yang lebih besar
karena perpindahan hak milik atas barang.
Berdasarakan uraian di atas, tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan
atau kegiatan yang berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen
sampai konsumen. Dari definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa tujuan
akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang atau jasa ke konsumen akhir.
Untuk memperkaya definisi mengenai tataniaga tersebut, maka sebaiknya
dipahami juga beberapa istilah-istilah yaitu kebutuhan, keinginan, permintaan,
transaksi, produk, pertukaran dan pasar.
Sistem tataniaga bisa berjalan dengan baik jika didalamnya terdapat bagianbagian seperti lembaga tataniaga, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur
pasar dan perilaku pasar.
Lembaga Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatankegiatan atau fungsi tataniaga yang membuat barang-barang berpindah dari tangan
produsen ke konsumen. Lembaga tataniaga meliputi produsen, pedagang
perantara dan lembaga pemberi jasa.
Produsen adalah semua orang (badan) yang tugas utamanya menghasilkan
barang-barang. Pedagang perantara (midleman pre intermediary) adalah
perorangan, perserikatan, atau perseroan yang berusaha dalam bidang tataniaga
yang tugasnya membeli dan mengumpulkan barang-barang yang berasal dari
produsen dan menyalurkannya kepada konsumen. Lembaga pemberi jasa
(facilitating agencies) adalah orang atau badan yang memberikan jasa atau
fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga yang dilakukan produsen atau
pedagang perantara. Contoh dari lembaga ini antara lain adalah bank, usaha
pengangkutan, biro iklan dan sebagainya.
Dahl and Hammond (1977), mengatakan bahwa untuk menganalisis sistem
tataniaga dapat dilakukan melalui pendekatan kelembagaan (Institutional
Approach), terdiri dari pedagang, pedagang perantara, pedagang spekulan,
pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas tataniaga.
Saluran Tataniaga
Penyaluran barang-barang dari pihak produsen ke pihak konsumen melalui
satu hingga beberapa pedagang perantara yang berbeda. Pedagang perantara ini
dikenal sebagai saluran tataniaga (marketing channel). Jadi saluran tataniaga
terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak
menghiraukan apakah mereka memiliki barang dagangannya atau hanya bertindak
sebagai agen dari pemilik barang. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam
penyampaian barang atau jasa dari produsen ke tangan konsumen. Adanya
perbedaan jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa dengan
konsumen mengakibatkan keberadaan lembaga-lembaga tataniaga sangat
diperlukan untuk dapat menggerakkan barang dan jasa tersebut dari titik produsen
ke titik konsumen. Limbong dan Sitorus (1985), menyatakan bahwa terdapat
beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan seorang produsen bila
hendak memilih pola distribusi diantaranya :

11
1. Pertimbangan pasar meliputi siapa yang menjadi konsumen produknya
(rumah tangga, industri, atau rumah tangga dan industri), beberapa besar
pembeli potensial, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa
besar jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.
2. Pertimbangan barang meliputi : berapa besar nilai per unit barang tersebut;
berapa besar dan berat barang; apakah mudah sobek atau tidak; bagaimana
sifat teknis dari barang tersebut; apakah berupa barang standar atau pesanan,
dan bagaimana luasnya produk lain perusahaan bersangkutan.
3. Pertimbangan dari segi perusahaan meliputi sumber permodalan,
kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran, dan
pelayanan yang diberikan oleh penjual.
4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi : pelayanan yang dapat
diberikan lembaga perantara; kegunaan perantara; sikap perantara terhadap
kebijaksanaan produsen serta volume penjualan dan pertimbangan biaya.
Fungsi Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu proses daripada pertukaran yang mencakup
serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan barang atau jasa dari
sektor produksi ke sektor konsumsi. Kegiatan-kegiatan ini yang disebut sebagai
fungsi tataniaga. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau struktur
tataniaga. Pada umumnya fungsi tataniaga di kelompokkan sebagai berikut:
1. Fungsi Pertukaran
- Penjualan : Mengalihkan barang ke pembeli dengan harga yang memuaskan.
- Pembelian : Mengalihkan barang dari penjual dan pembeli dengan harga yang
memuaskan.
2. Fungsi Pengadaan secara Fisik
Pengangkutan : Pemindahan barang dari tempat produksi dan atau tempat
penjualan ke tempat-tempat dimana barang tersebut akan
terpakai (kegunaan tempat).
Penyimpanan : Penahanan barang selama jangka waktu antara dihasilkan
atau diterima sampai dijual (kegunaan waktu).
3. Fungsi Pelancar
Pembiayaan : Mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan dengan
transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi
sampai sektor konsumsi.
Penanggungan resiko : Usaha untuk mengelak atau mengurangi
kemungkinan rugi karena barang yang rusak,
hilang, turunnya harga dan tingginya biaya.
Standardisasi dan Grading : Penentuan atau penetapan dasar penggolongan
(kelas atau derajat) untuk barang dan memilih
barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau
derajat yang telah ditetapkan dengan jalan
standardisasi.
Informasi Pasar : Mengetahui tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan fakta-fakta yang terjadi, penyampaian fakta,
menafsirkan fakta dan mengambil kesimpulan akan
fakta yang terjadi.

12
Dahl and Hammond (1977), mengatakan bahwa untuk menganalisis sistem
tataniaga dapat dilakukan melalui pendekatan fungsi (functional approach), terdiri
dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan,
pengolahan dan pengangkutan) dan fungsi fasilitas (standarisasi dan grading,
penanggung resiko, pembiayaan dan informasi pasar).
Fungsi tataniaga didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan fungsional yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga, baik aktifitas proses fisik maupun
aktifitas jasa, yang ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen
sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan atau penambahan
kegunaan bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan terhadap suatu produk.
Struktur Pasar
Struktur pasar yaitu suatu dimensi yang secara deskriptif menjelaskan
gambaran fisik meliputi apa yang dimaksud dengan industri, pasar, ukuran
perusahaan di dalam suatu pasar, ukuran dari distribusi dan konsentrasi
perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk, kondisi keluar masuk pasar dan
hubungan antara penjual dan pembeli, pembeli-pembeli serta penjual-penjual.
Hubungan antara penjual dengan penjual dan pembeli dengan pembeli
disebut sebagai kompetisi. Hubungan kompetisi ini menggambarkan bagaimana
lembaga tataniaga berinteraksi dan mengambil tindakan sebagai reaksi atas
tindakan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lainnya dalam satu tingkatan
sistem tataniaga yang sama. Hubungan antara penjual dan pembeli disebut dengan
hubungan negosiasi, hubungan ini terbentuk dari tindakkan dan interaksi antar
penjual dan pembeli.
Hubungan kompetisi dan negosiasi mungkin dapat ditunjukan oleh karakter
individu (bagaimana lembaga „a‟ berinteraksi dengan lembaga‟ b‟) dalam pasar
atau agregasi dari semua pelaku pasar (bagaimana semua lembaga berinteraksi).
Agregasi hubungan antara pembeli dan atau penjual disebut dengan perilaku pasar
atau market conduct (Dahl and Hammond, 1977).
Dahl and Hammond (1977) menyatakan ada empat karakteristik yang dapat
digunakan untuk membedakan struktur pasar, yaitu : (1) jumlah dan ukuran
perusahaan per produsen, (2) pandangan pembeli terhadap sifat produk, (3)
kondisi keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan
kondisi pasar diantara partisipan. Secara garis besar struktur pasar dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu pasar bersaing sempurna dan
pasar bersaing tidak sempurna. Ciri utama pasar bersaing sempurna yaitu didalam
pasar terdapat banyak penjual dan pembeli, pelaku pasar hanya menguasai
sebagian kecil dari barang yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi
pembentukan harga (pricetaker), barang yang dipasarkan bersifat homogen serta
penjual dan pembeli dapat dengan mudah keluar atau masuk kedalam pasar karena
tidak adanya hambatan.
Hal yang membedakan pasar bersaing sempurna dan pasar bersaing tidak
sempurna adalah ada tidaknya ciri atau kriteria di atas. Dalam pasar bersaing tidak
sempurna salah satu atau beberapa kriteria diatas tidak terpenuhi. Struktur pasar
bersaing tidak sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pembeli dan sisi
penjual. Dilihat dari sisi pembeli pasar bersaing tidak sempurna terdiri atas pasar
monopsoni, oligopsoni dan monopolistik. Dari sisi penjual terdiri atas pasar
monopolistik, monopoli, oligopoli dan duopoli (Limbong dan Sitorus, 1985).

13
Perilaku Pasar
Dahl and Hammond (1977), mengatakan bahwa untuk menganalisis sistem
tataniaga dapat dilakukan pendekatan perilaku (behavioral approach), merupakan
aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku
lembaga tataniaga. Pendekatan perilaku terdiri dari pendekatan input-output,
power, communications dan adaptive behavior system.
Efisiensi Tataniaga
Dahl and Hammond (1977), mengemukakan bahwa keragaan pasar
merupakan akibat dari keadaan struktur dan perilku pasar dalam kenyataan seharihari yang ditunjukkan dengan variabel harga, biaya dan volume produksi dari
output yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu
sistem tataniaga. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator harga
dan penyebarannya ditingkat produsen dan konsumen serta marjin dan
penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran. Salah satu cara untuk mempelajari
apakah suatu sistem tataniaga telah bekerja efisien dalam suatu struktur pasar
tertentu adalah dengan melakukan analisis terhadap marjin tataniaga, farmer‟s
share serta analisis rasio keuntungan dan biaya, untuk melihat besarnya
sumbangan pedagang perantara sebagai penyumbang antara produsen dan
konsumen. Tataniaga disebut efisien apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak
yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen
memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan
Sitorus, 1985).
Menurut Azzaino (1993), salah satu cara untuk mempelajari apakah suatu
sistem tataniaga telah bekerja efisisen dalam suatu struktur pasar tertentu adalah
dengan melakukan analisis terhadap penyebaran harga dari tingkat produsen
sampai tingkat eceran (konsumen). Komoditas yang sama pada saluran yang
berbeda, saluran tataniaga yang mempunyai nilai marjin yang lebih kecil dianggap
lebih efisien (Sarma,1985).
Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen
dengan harga di tingkat produsen (Dahl and Hammond,1977). Sedangkan
menurut Limbong dan Sitorus (1985), mengatakan bahwa marjin tataniaga dapat
didefinisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga
yang diterima oleh produsen. Marjin tataniaga dapat dinyatakan sebagai nilai dari
jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga dari produsen hingga konsumen akhir.
Marjin tataniaga umumnya dianalisis pada komoditas dan jumlah yang sama
serta pada struktur pasar bersaing sempurna. Marjin tataniaga berbeda-beda antara
satu komoditas hasil pertanian dengan komoditas lainnya. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan jasa-jasa yang diberikan pada berbagai komoditas mulai dari
petani sampai ke tingkat pengecer maupun konsumen akhir. Sedangkan nilai
marjin tataniaga (value of marketing) merupakan perkalian antara marjin tataniaga
dengan volume yang terjual (Gambar 3). Biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam proses pengaliran komoditi dari produsen sampai konsumen
yang nilainya tergantung dari fasilitas dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan
oleh setiap lembaga-lembaga yang terlibat (Kustiari, 2003).

14
P
Marjin Tataniaga = Pr - Pf
Sr
Nilai Marjin Tataniaga = (Pr-Pf) x (Qr,f)

Sf

Keterangan:
Df
:
Sf
:
Dr
:
Sr
:
Pf
:
Pr
:
Qr,f
:

Pr

Pf

Dr
Df
Qr,f

Q

Permintaan di tingkat petani
Penawaran di tingkat petani
Permintaan di tingkat pengecer
Penawaran di tingkat pengecer
Harga di tingkat petani
Harga di tingkat pengecer
Jumlah produk di tingkat
petani dan pengecer

Gambar 3 Definisi marjin tataniaga dan nilai marjin tataniagaa
a

Asmarantaka (2009), diadaptasi dari modul Tataniaga Produk Pertanian hal. 46

Perbedaan perlakuan antara satu komoditas dengan komoditas lainnya akan
menyebabkan perbedaan marjin tataniaga antara komoditas tersebut. Rendahnya
marjin tataniaga suatu komoditas belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang
tinggi dalam tataniaga komoditas tersebut. Salah satu cara yang bermanfaat adalah
membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen. Penelitian ini perlu mengetahui harga yang diterima
oleh petani, harga beli, biaya-biaya tataniaga dan harga jualnya.
Farmer’s share
Indikator lain yang digunakan untuk melihat efisiensi tataniaga yaitu dengan
membandingkan harga yang dibayar oleh konsumen akhir atau farmer’s share
yang dinyatakan dalam persen. Farmer’s share merupakan bagian harga yang
diterima oleh petani dan mempun