Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung

KAJIAN RESPONS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI
DAS WAY BETUNG

ZAENAL MUBAROK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Respons
Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014
Zaenal Mubarok
NIM A155110051

RINGKASAN
ZAENAL MUBAROK. Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan
Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung. Dibimbing oleh KUKUH
MURTILAKSONO sebagai ketua komisi pembimbing dan ENNI DWI
WAHJUNIE sebagai anggota komisi pembimbing.
Tekanan lahan DAS Way Betung yang disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk sebesar 114.973 jiwa (2007) menjadi 134.792 jiwa (2012) berpengaruh
terhadap perubahan penggunaan lahan sehingga mempengaruhi karakteristik
hidrologi DAS. Pendekatan kajian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap
karakteristik hidrologi dapat menggunakan model hidrologi. Model hidrologi
SWAT dapat memprediksi karakteristik hidrologi DAS yang dipengaruhi oleh
perubahan pengelolaan lahan.
Tujuan penelitian ini meliputi : 1) Melakukan prediksi karakteristik
hidrologi DAS Way Betung dengan menggunakan model SWAT; 2) Mengkaji

pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi; 3)
Menyusun rekomendasi perencanaan penggunaan lahan DAS Way Betung yang
terbaik.
Pelaksanaan penelitian terbagi atas 3 (tiga) tahap yaitu : (1) Pengumpulan
peta dan data; (2) Pengolahan data masukan (input) model; (3) Menjalankan model
SWAT. Kegiatan pada tahap 1 meliputi : pengumpulan peta dan data berupa peta
dan data tanah, peta penggunaan lahan, Digital Elevation Model (DEM), data iklim,
dan data hidrologi. Kegiatan pada tahap 2 meliputi : pengolahan data masukan
(input) model SWAT untuk proses delineasi DAS (watershed delineation), analisis
HRU (HRU analysis), dan pembuatan basis data iklim (weather generator data).
Kegiatan tahap 3 meliputi : menjalankan model SWAT melalui urutan proses
dimulai dengan delineasi DAS (watershed delineation), analisis HRU (HRU
analysis), membuat basis data iklim (weather generator data), membangun data
masukan model SWAT, simulasi model SWAT (SWAT simulation), kalibrasi dan
validasi.
Parameter model SWAT yang disesuaikan pada proses kalibrasi adalah CN2
(SCS curve number), ALPHA_BF (Faktor alpha aliran dasar), GW_DELAY (waktu
air menuju zona jenuh), GWQMN (ambang batas kedalaman air di aquifer dangkal
untuk terjadi aliran air), GW_REVAP (koefisien revap air bawah tanah),
RCHRG_DP (fraksi perkolasi perairan dalam), ESCO (faktor evaporasi tanah),

ESCO (faktor uptake tanaman), CH_N2 (nilai Manning untuk saluran utama),
CH_K2 (hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium), SOL_K (konduktivitas
hidrolik jenuh), SOL_AWC (kapasitas air tersedia), dan SURLAG (koefisien lag
aliran permukaan). Kalibrasi model terhadap periode tahun 2010 menghasilkan
nilai korelasi R² = 0.71 dan NS = 0.69. Konsistensi hasil model ditunjukkan oleh
hasil validasi periode tahun 2011 yang diperoleh nilai R² = 0.75 dan NS = 0.80.
Model SWAT mampu memprediksi pengaruh penggunaan lahan terhadap
karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 yang ditunjukkan oleh total
air sungai, aliran permukaan, aliran lateral, dan aliran dasar, nilai KRS dan nilai C
masing-masing sebesar 802.26 mm, 193.74 mm, 455.80 mm, 152.72 mm, 50.27
(sedang), dan 0.12 (baik).

Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi
DAS Way Betung tahun 2001 dan 2010 ditunjukkan oleh jumlah total air sungai,
nilai KRS, dan nilai C tahun 2001 dan 2010 masing-masing sebesar 1 143.25 mm,
38.83 (baik) dan 0.10 (baik) menjadi 802.26 mm, 50.27 (sedang) dan 0.12 (baik).
Penggunaan lahan yang direkomendasikan pada DAS Way Betung adalah
penerapan agroteknologi pada lahan pertanian sesuai dengan fungsi kawasan hutan
(skenario 3) dan penerapan agroteknologi pada penggunaan lahan kondisi saat ini
(existing) (skenario 2) sebagai skenario alternatif. Nilai KRS skenario 3 dan 2

masing-masing sebesar 29.39 (baik) dan 36.10 (baik), dan nilai C masing-masing
sebesar 0.11 (baik) dan 0.12 (baik) lebih baik dibandingkan kondisi saat ini
(existing).
Kata kunci: Curve number, koefisien runoff, koefisien regim sungai, penggunaan
lahan, simulasi.

SUMMARY
ZAENAL MUBAROK. Response of Land Use Change on Hydrological
Characteristics of Way Betung Watershed. Supervised by KUKUH
MURTILAKSONO as chairman and ENNI DWI WAHJUNIE as member of
advisory committee.
The land pressure of Way Betung Watershed (DAS) caused by a population
increase from 114,973 people (2007) to 134,792 people (2012) has influenced the
change in land use and hydrological characteristics. The model used in this study
was a hydrological model, which examined the effect of land use change on the
hydrological characteristics. SWAT hydrological model could predict the
hydrological characteristics influenced by the change in land management.
The aims of this study were: 1) to conduct a prediction on the hydrological
characteristics of Way Betung Watershed using SWAT model; 2) to assess the
impact of land use change on hydrological characteristics; and, 3) to recommend

the best landuse of Way Betung Watershed.
The research was carried out in three (3) stages: (1) collecting maps and data,
(2) processing input data of the model, and (3) running SWAT model. Phase 1
included such activities as collecting maps and data in the form of maps and soil
data, land use maps, Digital Elevation Model (DEM), climate data, and
hydrological data. Phase 2 included processing input data of SWAT model for
watershed delineation process (watershed delineation), analyzing HRU (HRU
analysis), and building a database of climate (weather generator data). Phase 3
included running SWAT model through a sequence of processes starting with
watershed delineation, HRU analysis, weather generator data, the building of input
data of SWAT model, SWAT simulation, calibration and validation.
The SWAT model parameters adjusted to the calibration process were CN2
(SCS curve number), ALPHA_BF (base flow alpha factor), GW_DELAY (when
the water went to toward the saturated zone), GWQMN ( threshold of water depth
in the shallow aquifer for water flow to occur), GW_REVAP (revap coefficient of
underground water), RCHRG_DP (fraction of deep waters percolation), ESCO (soil
evaporation factor), ESCO (plant uptake factor), CH_N2 (manning value for the
main channel), CH_K2 (hydraulic conductivity in the main alluvium channel),
SOL_K (saturated hydraulic conductivity), SOL_AWC (available water capacity),
and SURLAG (lag coefficient of surface runoff). Model calibration towards the

period of 2010 resulted in a correlation value of R ² = 0.71 and NS = 0.69. The
consistency of the model result was shown by the validation result of 2011 period
with the value of R² = 0.75 and NS = 0.80.
SWAT model was able to predict the effects of land use on the hydrological
characteristics of Way Betung watershed in 2010 that was indicated by the water
yield , surface runoff, lateral flow, and base flow, KRS value and C value is 802.26
mm, 193.74 mm, 455.80 mm, 152.72 mm, 50.27 (medium), and 0.12 (good)
respectively.
The effects of land use change on the hydrological characteristics of Way
Betung Watershed in 2001 and 2010 were shown by the water yield, KRS value,

and C value in 2001 and 2010 is 1 143.25 mm, 38.83 (good) and 0.10 (good) to
802.26 mm, 50.27 (medium) and 0.12 (good) respectively.
The recommendations of the land use in Way Betung Watershed are the
application of agro technology on agricultural land in line with the functions of
forest area (scenario 3) and the application of agro technology on the existing land
use (scenario 2) as an alternative scenario. KRS values of scenarios 3 and 2 is 29.39
(good) and 36.10 (good) respectively; beside C value is 0.11 (good) and 0.12 (good)
respectively. It is better than the existing land use.
Keywords: Curve number, runoff coefficient, coefficient of river regime, land use,

simulation.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN RESPON PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI
DAS WAY BETUNG

ZAENAL MUBAROK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup:

Penguji pada Ujian Terbuka:

Judul Tesis :
Nama
NIM

Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap
Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung
: Zaenal Mubarok
: A155110051


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Kukuh Murtilaksono, MS
Ketua

Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 11 April 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Desember 2013
adalah karakteristik hidrologi, dengan judul “Kajian Respons Perubahan
Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada :
1.
Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi
saran, bimbingan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
2.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang memberikan fasilitas biaya
pendidikan di sekolah pascasarjana IPB.

3.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Bogor yang membantu
administrasi dan fasilitator mahasiswa dengan IPB.
4.
Balai Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung sebagai tempat
bekerja penulis.
5.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Taman Hutan
Raya (TAHURA) Wan Abdurrahman, Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji
Sekampung dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Provinsi Lampung yang memberikan data yang mendukung dalam
pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah.
6.
Heri Meylina (istri), Azriel Bilhaq dan Azkya Luthfiana (anak-anak) yang
selalu mendukung dengan do’a dan kesabaran serta keikhlasan.
7.
Seluruh keluarga besar di Sukabumi dan Bandar Lampung yang telah
memberikan do’a, kesabaran, serta dukungan.
8.
Teman-teman Program Studi DAS 2011, Ilmu Tanah 2011, SIL 2011, dan
PWL 2011 atas bantuan dan kerjasamanya.
Ucapan dan rasa syukur juga disampaikan kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang mendukung dalam kelancaran pelaksanaan
penelitian dan penulisan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2014
Zaenal Mubarok

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pikir Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Penggunaan Lahan
Perubahan Penggunaan Lahan
Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respons Hidrologi
Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT)

4
4
5
6
7
7
8
9

3 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Tahapan Penelitian
Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT
Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap
Aspek Hidrologi
Skenario Perencanaan Penggunaan Lahan

14
14
14
14
23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT
Kalibrasi Model
Validasi Model
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Aspek Hidrologi
Skenario Perubahan Penggunaan Lahan
Rekomendasi Pengelolaan Penggunaan Lahan yang Terbaik

24
24
29
32
38
39
45
50

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

52
52
52

23
24

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

99

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Parameter basis data iklim (Weather Generator Data)
Edit SWAT input
Kelas Lereng DAS Way Betung
Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010
Jumlah penduduk DAS Way Betung tahun 2010
Luas sub DAS hasil delineasi model SWAT
Total air sungai (WATER YLD) DAS Way Betung tahun 2010
sebelum kalibrasi
Nilai parameter pada tahap kalibrasi model SWAT
Total air sungai (WATER YLD) DAS Way Betung tahun 2010
sesudah kalibrasi
Analisis karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010
Validasi model SWAT terkalibrasi terhadap total air sungai
DAS Way Betung tahun 2011
Analisis karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2011
sesudah validasi
Luas perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2001,
2006, dan 2010
Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik
DAS Way Betung tahun 2001, 2006, dan 2010
Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fluktuasi debit
DAS Way Betung tahun 2001-2010
Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 berdasarkan
peta fungsi kawasan hutan
Perubahan Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010
berdasarkan peta fungsi kawasan hutan
Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 1
Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 1
Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 2
Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 2
Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 3
Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 3
Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada
masing-masing skenario
Nilai koefisien regim sungai (KRS) DAS Way Betung tahun 2010
pada maing-masing skenario
Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010
pada masing-masing skenario

19
21
26
29
29
31
33
36
37
38
38
39
40
41
41
45
46
46
48
48
49
49
49
51
51
51

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Kerangka pemikiran penelitian
Representasi siklus hidrologi
Proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT
Hubungan antara curah hujan dan runoff dalam metode
Curva Number SCS
Lokasi penelitian DAS Way Betung
Diagram alir tahapan penelitian
Delineasi DAS
Analisis HRU
Input basis data iklim
Simulasi SWAT (SWAT Simulation)
Curah hujan tahunan DAS Way Betung tahun 2001–2010
Curah hujan rata-rata bulanan DAS Way Betung tahun 2001-2010
Peta sebaran kelas lereng DAS Way Betung
Peta sebaran jenis tanah DAS Way Betung
Peta sebaran sub DAS pada DAS Way Betung
Perbandingan total air sungai DAS Way Betung tahun 2010
hasil pengukuran dengan model SWAT sebelum kalibrasi
Perbandingan total air sungai sungai DAS Way Betung tahun 2010
hasil pengukuran dengan model SWATsetelah kalibrasi
Validasi model SWAT terkalibrasi terhadap total air sungai
DAS Way Betung tahun 2011
Jenis dan luas penggunaan lahan dan luas DAS Way
Betung tahun 2001-2010
Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2001
Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2006
Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010
Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 sesuai peta
fungsi kawasan hutan (Skenario 2)

4
11
11
12
16
17
20
20
21
22
25
25
27
28
30
33
37
39
40
42
43
44
47

DAFTAR LAMPIRAN
1. Lokasi pengambilan contoh tanah
2. Input database sifat fisik tanah dalam model SWAT
3. HRU yang terbentuk dalam model SWAT dengan metode treshold
by percentage
4. Input database iklim dalam model SWAT
5. Curah hujan dan debit observasi DAS Way Betung
6. Bilangan kurva (CN) aliran permukaan untuk berbagai komplek
tanah-penutup tanah (Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya : II),

56
57
68
76
81
97

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Propinsi Lampung memiliki luas daratan 35 288.35 km2 yang terbagi atas
14 Kabupaten/kota, sedangkan luas kawasan hutan adalah 1 004 735 ha (30.3%
dari luas daratan). DAS besar di Provinsi Lampung sebanyak 6 (enam) terdiri atas
DAS Tulang Bawang seluas 979 819 ha, DAS Seputih seluas 751 527 ha, DAS
Mesuji seluas 723 715 ha, DAS Sekampung seluas 482.316 ha, DAS Semangka 161
441 ha, dan DAS Abar Kambas seluas 156 338 ha.
DAS Way Betung merupakan salah satu DAS yang termasuk kedalam
wilayah DAS Sekampung. DAS Sekampung meliputi 8 wilayah administrasi
Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten
Pesawaran, Kabupaten Lampung Tengah, Kota Bandar Lampung, Kota Metro,
Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Lampung Timur. Hulu DAS Way
Betung merupakan kawasan hutan yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan
Raya Wan Abdurrahman (TAHURA WAR) yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.408/KPTS-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993
tentang perubahan fungsi dan penunjukan kawasan hutan lindung Gunung Betung
(Register 19) seluas 22 249 ha menjadi TAHURA. Pengelolaan DAS Way Betung
secara sinergi dilakukan bersama antara Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
dengan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Way Seputih Way Sekampung.
Wilayah DAS Way Betung secara administrasi termasuk kedalam wilayah
Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Wilayah Kota Bandar Lampung
yang termasuk kedalam wilayah DAS Way Betung adalah Kecamatan Teluk
Betung Barat dan Kecamatan Kemiling. Keberadaan DAS Way Betung memiliki
peran sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan air masyarakat Kota Bandar
Lampung. Sebagian besar kebutuhan air minum Kota Bandar Lampung dipasok
oleh PDAM Way Rilau dengan sumber air baku berasal dari sungai Way Betung.
Sebagian besar aktivitas penduduk DAS Way Betung tergantung pada sektor
pertanian. Meningkatnya jumlah penduduk di dua kecamatan tersebut berpengaruh
tehadap meningkatnya pemanfaatan lahan yang mengakibatkan perubahan kondisi
biofisik DAS Way Betung. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap karakteristik
hidrologi DAS Way Betung yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya
nilai rasio antara debit maksimum dan debit minimum (Qmax/Qmin) (Yuwono
2011). Kondisi tersebut disebabkan oleh hutan yang merupakan hulu DAS Way
Betung berubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Perubahan hutan di wilayah
DAS menjadi penggunaan lainnya berdampak negatif terhadap karakteristik
hidrologi. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) dipastikan akan mengakibatkan perubahan karakterisitik hidrologi
DAS (Pawitan 2006).
Perencanaan pengelolaan lahan diperlukan agar lahan dapat digunakan secara
lestari dan berkelanjutan (sustainable). Penerapan agroteknologi yang tidak sesuai
dengan kaidah konservasi tanah dan air dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
air yang mengalir ke bagian hilir. Agroteknologi vegetatif (strip cropping) dan
mekanik (teras) pada lahan pertanian dapat diaplikasikan untuk menjaga dan
memperbaiki kualitas tanah dan air (Arsyad 2006).

2
Menurut Pawitan (2006), pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan
dapat mengontrol perubahan aliran air dan meminimalkan kerusakan tanah.
Pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan terhadap respons hidrologi
perlu dilakukan melalui kajian. Kajian dapat dilakukan secara langsung dengan
melakukan evaluasi dan berbagai pengukuran di lapang atau memprediksinya
dengan menggunakan model (Rachman dan Dariah 2007).
Model hidrologi digunakan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan
terhadap karakteristik hidrologi. Salah satu model hidrologi yang sering digunakan
adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). SWAT merupakan model
hidrologi yang banyak digunakan untuk mengevaluasi dampak iklim, penggunaan
lahan, dan pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi (Arnold et al. 2011).

Perumusan Masalah
DAS Way Betung berdasarkan peta tutupan lahan yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan memiliki luas 5 119.63 ha.
Jenis tutupan lahan DAS Way Betung terdiri atas hutan lahan kering sekunder,
kebun campuran, pemukiman, pertanian lahan kering, dan petanian lahan kering
campuran. Periode tahun 2001 sampai 2006 terjadi perubahan penggunaan lahan
DAS Way Betung dengan menurunnya luas hutan lahan kering sekunder dan
pertanian lahan kering campuran masing-masing seluas 254.30 ha dan 1 267.27 ha.
Disisi lain terjadi peningkatan signifikan luas kebun campuran dan pemukiman
masing-masing seluas 1 499.25 ha, dan 82.54 ha. Sedangkan pertanian lahan kering
berubah menjadi tipe penggunaan lahan lainnya. Perubahan hutan lahan kering
sekunder di sebabkan oleh bertambahnya areal pertanian lahan kering campuran,
sedangkan berkurangnya pertanian lahan kering campuran disebabkan oleh
meningkatnya pemukiman dan kebun campuran.
Kondisi di atas menggambarkan adanya tekanan terhadap lahan DAS Way
Betung. Pemukiman dan kebun campuran bertambah disebabkan oleh
meningkatnya jumlah penduduk disekitar DAS Way Betung. Berdasarkan data BPS
Kota Bandar Lampung (2013), jumlah penduduk Kecamatan Teluk Betung Barat
dan Kecamatan Kemiling terjadi peningkatan semula tahun 2007 berjumlah
114 973 jiwa menjadi 134 792 jiwa pada tahun 2012. Pertambahan jumlah
penduduk mengakibatkan tekanan terhadap lahan sehingga meningkatnya
pemanfaatan lahan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perubahan pertanian
lahan kering menjadi areal pemukiman. Keterbatasan lahan pertanian cenderung
merubah hutan sehingga terjadi kerusakan.
Kerusakan hutan tersebut dikontribusi oleh kegiatan perambahan oleh
masyarakat di sekitar DAS Way Betung. Inventarisasi penduduk yang dilakukan
pada Tahun 2004 terhadap penduduk/masyarakat yang berada di dalam kawasan
TAHURA WAR sebanyak 2 380 KK (Dinas Kehutanan 2011). Perambahan
dilakukan dengan membuka lahan melalui pembakaran sedangkan pengelolaan
lahan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Penggunaan lahan yang
tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi akan menyebabkan degradasi lahan
yang pada akhirnya akan menurunkan produktifitas lahan (Arsyad 2006). Dampak
degradasi lahan akan dirasakan oleh seluruh komponen dalam DAS, baik
masyarakat di bagian hulu maupun di bagian hilir.

3
Perubahan penggunaan lahan pada DAS Way Betung mempengaruhi
karakteristik hidrologi. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Unila (2003) di DAS
Way Betung menunjukkan bahwa perambahan hutan dan izin hutan
kemasyarakatan seluas 492.7 ha berdampak terhadap penurunan debit minimum
rata-rata DAS Way Betung dari 1.1 m3/det tahun 1997 menjadi 0.9 m3/det tahun
2002. Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung sejak tahun 1991 hingga
2006 sebesar 973.30 ha menjadi 508.10 ha menyebabkan peningkatan koefisien
aliran permukaan (C) dari 48.6% (1991-1995) menjadi 61.6% (2002-2006) dan
koefisien regim sungai (KRS) dari 11 (1991) menjadi 30 (2006) (Yuwono 2011).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
berupa kajian perubahan penggunaan lahan terhadap respons hidrologi di DAS Way
Betung sekaligus menyusun skenario penggunaan lahan untuk mengkaji kondisi
hidrologi DAS Way Betung.

Kerangka Pikir Penelitian
Hulu DAS Way Betung merupakan kawasan hutan yang termasuk dalam
kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Pertambahan jumlah penduduk
DAS Way Betung yang bergantung pada sektor pertanian berpengaruh tehadap
perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unila (2002) dan Yuwono (2011), perubahan
penggunaan lahan DAS Way Betung mempengaruhi karakteristik hidologi.
Upaya pemecahan masalah yaitu melakukan analisis karakteristik hidrologi
melalui pengembangan pola pengelolaan dan penggunaan lahan yang dapat
meningkatkan kapasitas infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan.
Analisis karakteristik hidrologi DAS yang dipengaruhi oleh perubahan
pengelolaan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan model hidrologi. Salah
satu model hidrologi yang baik digunakan adalah model SWAT (Soil and Water
Assesment Tools). Aplikasi model SWAT digunakan untuk mensimulasi perubahan
penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Way Betung. Kerangka
pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, tujuan penelitian adalah:
Melakukan prediksi karakteristik hidrologi DAS Way Betung dengan
menggunakan model SWAT.
Mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik
hidrologi.
Menyusun rekomendasi perencanaan penggunaan lahan DAS Way Betung
yang terbaik.
Manfaat Penelitian

1.
2.

Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah maupun Pemerintah
Pusat dalam menentukan kebijakan pengelolaan DAS Way Betung.
Menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di bidang pengelolaan DAS

4
Masalah DAS Way Betung
1.
2.
3.
4.
5.

Pertambahan jumlah penduduk
Perambahan hutan
Perubahan penggunaan lahan hutan di DAS Way Betung
Menurunnya Qmin 1,1 m3/det (1997) menjadi 0,9 m3/det (2002)
Meningkatnya C 48,6% (1991-1995) menjadi 61,6% (2002-2006)

Skenario rencana
penggunaan lahan

Kapasitas infiltrasi meningkat
dan aliran permukaan
menurun

Simulasi model hidrologi
dengan model SWAT
(Kalibrasi dan Validasi)

Rencana penggunaan lahan yang terbaik

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan
Daerah aliran sungai (DAS), Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan. DAS bukan hanya merupakan badan sungai, tetapi satu kesatuan
seluruh ekosistem yang ada didalam pemisah topografis. Pemisah topografis di

5
darat berupa daerah yang paling tinggi biasanya punggung bukit yang merupakan
batas antara satu DAS dengan DAS lainnya.
DAS terdiri atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Menurut
Asdak (2004), ciri biogeofisik dari setiap bagian DAS adalah sebagai berikut:
1) Daerah hulu: sebagai daerah konservasi; kerapatan drainase lebih tinggi;
memiliki kemiringan lereng lebih besar dari 15%; bukan merupakan daerah banjir;
pemakaian air diatur berdasarkan pola drainase; vegetasi merupakan tegakan hutan.
2) Daerah tengah: bagian tengah merupakan daerah perubahan/transisi dari
kondisi biogeofisik bagian hulu dan hilir. 3) Daerah hilir: sebagai daerah
pemanfaatan; kerapatan drainase lebih kecil; memiliki kemiringan lereng kurang
dari 8%; beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan); pemakaian air
diatur berdasarkan bangunan irigasi; vegetasi didominasi tanaman pertanian.
Daerah hulu suatu sungai merupakan bagian penting karena memiliki fungsi
perlindungan terhadap seluruh DAS (Asdak 2004). Ada keterkaitan antara daerah
hulu dan hilir dalam suatu DAS sehingga kondisi daerah hilir dipengaruhi oleh
seluruh aktivitas yang dilakukan di daerah hulu. Aktivitas manusia pada daerah
hulu DAS baik yang bersifat perbaikan kondisi DAS maupun eksploitasi akan
berdampak pada kondisi hidrologi daerah hilir. Oleh karena itu perlu adanya
kegiatan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS merupakan usaha untuk menggunakan semua sumberdaya
(tanah, vegetasi, air dan sebagainya) pada DAS tersebut secara rasional untuk
mendapatkan penggunaan lahan yang berkelanjutan demi tercapainya produksi
maksimum atau optimum dalam waktu yang tidak terbatas dan untuk menekan
bahaya kerusakan seminim mungkin sehingga didapat hasil air dalam jumlah,
kualitas, dan distribusi yang baik (Sinukaban 2007a). Pengelolaan suatu DAS
dikatakan berhasil apabila terpenuhi beberapa hal berikut yaitu: (1) Tercapainya
kondisi hidrologis yang optimal, (2) Meningkatnya produktivitas lahan yang
diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, (3) Terbentuknya kelembagaan
masyarakat yang muncul dari bawah sesuai dengan sosial budaya masyarakat
setempat dan (4) Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan
lingkungan dan berkeadilan (Departemen Kehutanan 2001).

Penggunaan Lahan
Lahan merupakan faktor produksi utama yang tidak dapat digantikan dalam
usaha pertanian. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, lahan adalah bagian daratan
dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta
segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek
geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh
manusia. Ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak (conditio sinequanon) dalam
mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Lahan memiliki
peran dan fungsi penting bagi masyarakat Indonesia sebagai negara agraris, secara
filosofis memiliki nilai ekonomis, nilai sosial, dan bahkan nilai religius.
Definisi penggunaan lahan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bentuk
penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang merupakan

6
bentukan alami maupun buatan manusia. Kegiatan manusia terhadap lingkungan
alamiah menghasilkan lingkungan binaan menjadi ladang, sawah, dan pemukiman.
Kegiatan manusia pada sebidang lahan memberikan gambaran suatu penggunaan
lahan. Penutupan lahan adalah kondisi fisik di atas permukaan bumi. Perwujudan
kondisi fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dengan mengesampingkan
kegiatan manusia memberikan gambaran satu penutupan lahan. Penggunaan lahan
lebih bersifat dinamis seiring dengan perkembangan kehidupan dan budaya
manusia.
Informasi mengenai penutupan/penggunaan lahan diperoleh melalui dua
pendekatan: 1) survei lapang dan 2) pemanfaatan teknologi penginderaan jauh
(remote sensing). Proses survei lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data
primer dan sekunder. Proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan
pemetaan penutupan lahan/penggunaan lahan berpedoman pada klasifikasi
penutupan lahan/penggunaan. Analisis citra landsat dapat menyadap tujuh kategori
penutupan lahan/penggunaan lahan: 1) Air, 2) Hutan, 3) Lahan pertanian,
4) Lahan rawa, 5) Lahan perdagangan, 6) Lahan pemukiman dengan bangunan
bertingkat tinggi, dan 7) Lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat rendah
(Sutanto 1998).
Perlindungan terhadap lahan agar dapat bermanfaat dan berdayaguna dalam
jangka waktu lama diperlukan perencanaan. Perencanaan tataguna lahan diperlukan
agar pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya
(Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Perencanaan tataguna lahan merupakan
salah satu upaya menghindari degradasi lahan. Menurut FAO (1995), degradasi
lahan cenderung terus memburuk pada lahan-lahan tanpa perencanaan sebagai
akibat pengambilan keputusan yang tidak tepat, struktur insentif kelembagaan yang
mengarah pada pengambilan keputusan penggunaan lahan yang tidak sesuai atau
akibat kebijakan penggunaan lahan yang hanya berorientasi pada eksploitasi lahan.

Perubahan Penggunaan Lahan
Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai
suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya menjadi penggunaan
lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk
konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dalam
pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari. Namun
selain faktor pembangunan, perubahan penggunanan lahan dapat diakibatkan oleh
pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2004)
bahwa perubahan penggunaan lahan tidak mungkin dihindari karena pertumbuhan
jumlah penduduk yang cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk
dengan lahan pertanian tidak seimbang. Upaya manusia memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya lahan merupakan faktor utama terjadinya perubahan
penggunaan lahan dan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya.
Perubahan penggunaan lahan yang umum terjadi adalah berubahnya
penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi areal terbangun terutama
permukiman. Menurut Warsono et al. (2009), faktor dominan yang mempengaruhi

7
perkembangan kelompok pemukiman yang menyebar tidak teratur sebagai bentuk
lingkungan perumahan adalah faktor persaingan memperoleh lahan. Penduduk di
pedesaan akan lebih memilih mempertahankan lahan pekarangan dan
memindahkan aktivitas sosial ekonominya yang berlatar belakang pertanian
menjadi pekarangan sekaligus pemukiman. Hal ini menyebabkan pemilikan lahan
pertanian menjadi semakin sempit sehingga para petani mulai merambah hutan
dan lahan tidak produktif lainnya sebagai lahan pertanian. Berubahnya hutan
menjadi penggunaan lahan lainnya berdampak terhadap kondisi tata air setempat.
Perubahan fungsi lahan di daerah pinggiran/pedesaan yang memiliki karakteristik
sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian menjadi lahan dengan
kegiatan non pertanian akan mempengaruhi kondisi tata air/hidrologi (Rosnila
2005).

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Karakteristik biofisik jenis tanah, penggunaan lahan, topografi, kemiringan,
dan panjang lereng sebagai unsur utama DAS sangat berperan dalam sistem
hidrologi DAS. Karakteristik biofisik DAS dalam merespons curah hujan dapat
memberikan pengaruh terhadap sistem hidrologi DAS mencakup proses aliran
permukaan, evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, kandungan air tanah, dan aliran
sungai. Tanggapan DAS sebagai pengatur proses terhadap hujan akan memberikan
keluaran akibat interaksi semua proses yang terjadi dalam DAS (Pawitan 2006).
Konsep siklus hidrologi (hydrology cycle) menjadikan dasar pemikiran untuk
mempelajari siklus hidrologi DAS sebagaimana siklus hidrologi dalam skala luas
(benua). DAS sebagai suatu sistem yang alami menjadi tempat berlangsungnya
proses fisik hidrologis menjadi sarana untuk mempelajari respons hidrologi yang
terjadi. Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi dalam ekosistem DAS
bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air dalam skala DAS.
Pengaruh penggunaan lahan terhadap sistem hidrologi DAS erat kaitannya
dengan kegiatan manusia dalam merekayasa lahan. Perubahan penggunaan lahan
dari satu tipe ke tipe lainnya baik permanen maupun sementara menjadi salah satu
fokus dalam perencanaan pengelolaan DAS (Asdak 2004).
Unsur vegetasi memiliki peranan penting dalam sistem hidrologi DAS.
Vegetasi dapat merubah sifat fisika maupun kimia tanah, mempengaruhi kondisi
permukaan tanah sehingga akan berpengaruh terhadap besar kecilnya aliran
permukaan.

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respons Hidrologi
Perubahan tutupan lahan sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan
akan mempengaruhi sistem tata air DAS. Fenomena ini ditunjukkan oleh
karakteristik hidrologi DAS yang dapat dikenali melalui produksi air, erosi dan
sedimen (Seyhan 1999). Perubahan hutan menjadi lahan pertanian maupun
pemukiman menyebabkan hilangnya vegetasi penutup permukaan dan
berkurangnya daerah yang dapat meresapkan air. Dengan demikian, peresapan air
ke dalam tanah (infiltrasi) menjadi rendah sehingga simpanan air bawah tanah

8
berkurang yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada musim kemarau
(Sinukaban 2007b). Disisi lain, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya
kelebihan air di permukaan pada musim hujan.
Menurut Asdak (2004), perubahan sifat aliran sungai yang terjadi adalah
peningkatan koefisien aliran permukaan yaitu terjadinya peningkatan jumlah air
hujan yang menjadi aliran permukaan sehingga meningkatkan debit sungai.
Peningkatan debit puncak akan merubah bentuk hidrograf secara drastis dalam
waktu yang relatif singkat.
Perubahan respons hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan juga dapat
dilihat dari rasio antara debit maksimum dan debit minimum suatu sungai
(Prastowo 2003). Rasio digunakan sebagai indikator keberhasilan pengelolaan
DAS sehingga dapat diketahui kondisi kerusakan DAS. Tingginya fluktuasi debit
maksimum dan minimum menunjukkan curah hujan yang tinggi sangat
berpengaruh terhadap meningkatnya aliran permukaan. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa DAS mengalami kerusakan fungsi hidrologi sehingga dapat
dikatakan fungsi DAS telah terganggu serta terjadinya degradasi kualitas DAS. Hal
ini dikarenakan tingginya aliran permukaan juga akan meningkatkan jumlah erosi
dan sedimen yang terangkut aliran permukaan (Asdak 2004).

Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Model merupakan suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata yang
mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu (Dooge
1973). Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik semua aspek
penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah-masalah tertentu (Muchtar
2006).
Model hidrologi DAS yang utama terdiri dari 3 tipe yaitu model fisik, analog
dan digital (Arsyad 2006). Model fisik merupakan model dalam skala lebih kecil
keadaan sebenarnya yang dibuat di laboratorium dengan asumsi bahwa terdapat
kesamaan dinamik antara model dengan keadaan sebenarnya. Model analog
merupakan model yang menggunakan sistem mekanikal atau listrik yang analog
dengan sistem yang diselidiki, contohnya adalah aliran arus listrik yang digunakan
untuk mensimulasi aliran air. Model digital terdiri dari model deterministik, model
stokhastik dan model parametrik.
Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada persamaan
matematik untuk menjelaskan proses yang berperan dalam model dengan
memperhitungkan hukum kontinuitas atau konservasi massa dan energi. Model
stokhastik didasarkan atas pengembangan urutan sintetik data yang berasal dari
sifat statistik data contoh yang tersedia; berguna untuk menghasilkan urutan
masukan bagi model deterministik dan parametrik jika data yang tersedia hanya
dari pengamatan pendek. Model parametrik didasarkan atas penggunaan hubungan
yang secara statistik nyata antara peubah-peubah yang dianggap penting dari
sejumlah data yang cukup tersedia. Berdasarkan tipe analisis, model parametrik
terbagi atas kotak hitam (hanya masukan dan keluaran utama yang ditelaah), kotak
kelabu (sistem telaah cara kerja agak detail), dan kotak putih (semua rincian
bagaimana sistem itu bekerja dikemukakan).

9
Model hidrologi merupakan model yang menggambarkan secara abstrak
keadaan hidrologi yang mempunyai kesamaan dengan keadaan hidrologi
sebenarnya di lapang (Pawitan 2008). Hal yang sama dinyatakan Harto (1993),
bahwa model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi
yang kompleks. Adapun tujuan penggunaan suatu model dalam pengkajian
hidrologi adalah untuk 1) Peramalan (forecasting) termasuk sistem peringatan dan
manajemen, peramalan disini menunjukkan besaran maupun waktu kejadian yang
dianalisis berdasarkan probabilistic; 2) Perkiraan (prediction) termasuk besaran
kejadian dan waktu hipotetik; 3) Alat deteksi dalam masalah pengendalian,
dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat
dikontrol dan diatur; 4) Alat pengenal (identification tool) dalam masalah
perencanaan, misalnya untuk melihat pengaruh urbanisasi, pengelolaan tanah
dengan membandingkan masukan dan keluaran dalam sistem tertentu;
5) Ekstrapolasi data/informasi; 6) Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku
manusia yang berubah/ meningkat; dan 7) Penelitian dasar dalam proses hidrologi.
Model simulasi hidrologi untuk analisis DAS diklasifikasikan ke dalam
lumped parameter versus distributed parameter berdasarkan representasi ruang.
Pada model lumped parameter, variabel atau parameter model tidak mempunyai
variabilitas ruang, artinya semua proses dalam DAS terjadi pada satu tititk spasial
(seperti kotak hitam). Sedangkan pada model distributed parameter, proses dan
mekanisme fisik digambarkan dalam keruangan. Secara teori model tersebut
sangat memuaskan akan tetapi ketersediaan data lapang sering terbatas untuk
mengkalibrasi dan memverifikasi hasil simulasi.
Beberapa model hidrologi yang sering digunakan sebelumnya seperti model
USLE (Universal Soil Loss Equation), Modified-USLE, Revised-USLE,
CREAMS (Chemical, Runoff and Erosion from Agricultural Management
Systems) dan GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agricultural
Management Systems) yang merupakan model lumped parameter. WEPP,HEC-1,
ANSWERS, AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) dan
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) tergolong distributed model. Standford
Watershed Model, SWMM (Storm Water Management Model) merupakan model
continuous yang didasarkan pada persamaan kesetimbangan air dalam jangka
yang lebih panjang. Model tersebut cocok digunakan pada DAS dengan ukuran
yang lebih luas (Yusuf 2010).

Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT)
Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT) dikembangkan oleh
Dr. Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT merupakan
model kejadian kontinyu untuk skala DAS yang beroperasi secara harian dan
dirancang untuk memprediksi dampak praktek pengelolaan lahan terhadap air,
sedimen, dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada
suatu DAS yang memiliki karakteristik jenis tanah, penggunaan lahan dan
pengelolaannya yang kompleks dalam jangka waktu yang lama. SWAT dapat
memodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan
air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara, dan lain sebagainya. Prosesproses tersebut didasarkan pada konsep neraca air (Neitsch et al. 2005).

10
Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu, dan karakteristik tanah,
pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan bakteri, dan pengelolaan
lahan. Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan ke dalam
dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi dan fase air pada siklus
hidrologi air (Neitsch et al. 2005).
Dalam SWAT, DAS dibagi menjadi beberapa SubDAS, yang kemudian
dibagi lagi ke dalam unit respons hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU)
yang memiliki karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, dan tanah yang
homogen. HRU menunjukkan persentase Sub DAS yang teridentifikasi dan tidak
teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT. Alternatif lainnya, sebuah
DAS dapat dibagi ke dalam Sub DAS yang memiliki karakteristik penggunaan
lahan, jenis tanah dan pengelolaan yang dominan (Neitsch et al. 2005).
SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga kini,
SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya
memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model
ini diciptakan. Pengembangan SWAT sangat didukung oleh perkembangan
teknologi. Pada awalnya, SWAT telah dikembangkan dalam Windows (Visual
Basic), GRASS, ArcView, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map
Window, suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna
(Neitsch et al. 2005).
SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output
SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model
dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0,73. Kalibrasi
aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol and Abbaspour (2006)
menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efisiensi sebesar 0,82.
Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukkan
bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, soil available water
capacity, dan koefisien evaporasi tanah.

Fase Lahan Pada Siklus Hidrologi
Fase lahan pada siklus hidrologi mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur
hara, dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS
(Gambar 2). Siklus hidrologi yang disimulasikan di dalam model SWAT
didasarkan pada perhitungan neraca air:
�� = � + ∑(
�=

��



� �

− �� − ��





�)

Dimana SWi adalah kadar air tanah akhir (mm), SWo adalah kadar air tanah
awal pada hari ke-i (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah hujan pada
hari ke-i (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm), Ea
adalah jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm), Wseep adalah jumlah air yang
masuk ke zona vadose dari profil tanah (seepage) pada hari ke-i (mm), Qgw adalah
jumlah aliran air bawah tanah (baseflow/ground water flow) pada hari ke-i (mm).

11
Pembagian DAS mampu membuat model yang mencerminkan perbedaan
evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang bervariasi. Aliran permukaan
(surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat
ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff) suatu DAS. Hal
ini dapat meningkatkan keakuratan dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik
untuk neraca air.

Gambar 2. Representasi siklus hidrologi
Fase Air Pada Siklus Hidrologi
Pada fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi SWAT dapat
menentukan muatan air, sedimen, unsur hara dan pestisida menuju ke saluran utama,
muatan tersebut ditelusuri hingga ke jaringan sungai DAS. SWAT juga
memodelkan perubahan kimia di dalam sungai dan badan sungai. Perbedaan proses
yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses yang terjadi dalam sungai yang
dimodelkan SWAT

12
Penelusuran pada sungai dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen:
air, sedimen, unsur hara dan kimia organik. Ketika air mengalir ke hilir, ada bagian
yang mungkin hilang karena evaporasi dan menyebar melalui badan saluran.
Kehilangan lainnya yang potensial yaitu pergerakan air dari saluran ke area
pertanian atau penggunaan oleh manusia. Aliran dapat digantikan oleh hujan yang
jatuh langsung ke dalam saluran dan/atau tambahan air dari debit sungai.

Perhitungan Prediksi Debit Aliran
Aliran permukaan pada model SWAT dihitung menggunakan metode SCS
Curve Number sebagai berikut:
Q � �=

��� − ��
��� − �� +

Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah jumlah
curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat simpanan
permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter retensi (mm).
Parameter retensi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
=

. (

��



)

CN adalah curve number (bilangan kurva) dan nilai Ia adalah 0.2 S
(berdasarkan hasil penelitian), sehingga persamaan perhitungan aliran permukaan
menjadi:
Q � �=

��� − .
��� + .8

Aliran permukaan hanya terjadi apabila Rday > Ia. Solusi grafis untuk
persamaan di atas dari perbedaan nilai bilangan kurva seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan antara curah hujan dan runoff dalam
metode Curva Number SCS

13
Data Masukan Model
Data masukan model untuk setiap Sub DAS dikelompokkan ke dalam
beberapa kategori yaitu iklim, unit respons hidrologi (hydrologic response
units/HRU), genangan/daerah basah, air bawah tanah, dan saluran utama yang
mendrainase Sub DAS. Unit respons hidrologi merupakan kelompok lahan
dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan
pengelolaan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data
harian.
Data iklim meliputi curah hujan, temperatur maksimum dan minimum,
radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Data tanah yang
dibutuhkan model terdiri dari kedalaman solum tanah, ketebalan horizon, bobot isi,
Available Water Capacity (AWC), Saturated Hydraulic Conductivity, C-organik,
kandungan liat, debu, pasir, bahan kasar dan albedo.

Data Masukan Model
Data masukan model untuk setiap Sub DAS dikelompokkan ke dalam
beberapa kategori yaitu iklim, unit respons hidrologi (hydrologic response
units/HRU), genangan/daerah basah, air bawah tanah, dan saluran utama yang
mendrainase Sub DAS. Unit respons hidrologi merupakan kelompok lahan
dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan
pengelolaan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data
harian.
Data iklim meliputi curah hujan, temperatur maksimum dan minimum,
radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Data tanah yang
dibutuhkan model terdiri dari kedalaman solum tanah, ketebalan horizon, bobot isi,
Available Water Capacity (AWC), Saturated Hydraulic Conductivity, C-organik,
kandungan liat, debu, pasir, bahan kasar dan albedo.

Keluaran Model
Informasi keluaran model dapat dillihat pada masing-masing HRU, Sub
DAS maupun sungai. Informasi yang terdapat pada masing-masing Sub DAS dan
HRU dihasilkan selama periode simulasi terdiri dari evapotranspirasi potensial dan
aktual, kandungan air tanah, perkolasi, aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar
dan hasil air (Neitsch et al. 2005). Sedangkan informasi pada tingkat sungai adalah
aliran masuk dan aliran keluar.

14

3 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Desember 2013. DAS
Way Betung seluas 5 119.63 ha terbagi atas dua wilayah administrasi yaitu Kota
Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. DAS Way Betung secara geografis
terletak pada koordinat 105o 09’– 105o 14’ BT dan 05o 24’ – 05o 29’ LS.
(Gambar 5).

Bahan dan Alat
Bahan pendukung penelitian terdiri atas: 1) Peta dan data tanah, 2) Peta
DEM resolusi 30 meter, 3 ) Peta tutupan lahan DAS Way Betung tahun 2001, 2006
dan 2010, 4) Data hidrologi (curah hujan dan debit sungai harian tahun 2