Mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan

penyerapanpemanfaatan pangan yang ada. Penyerapanpemanfaatan pangan juga dipengaruhi secara langsung oleh ketersediaan pangan. Model tersebut diasumsikan dapat mencerminkan terjadinya ketahanan pangan dan apabila terjadi sebaliknya disebut dengan kerawanan pangan. Tentu saja masih banyak model lain yang dapat diajukan, sehingga dalam hal ini kajian masih sangat terbuka hanya saja pada penelitian ini dibatasi pada model hub ungan seperti tersebut di atas. Sementara itu melihat setiap wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang unik sehingga memunculkan banyak keragaman, oleh karena itu untuk mengelompokkan keragaman tersebut, maka dalam pemodelan yang dibangun dibedakan dalam 3 kelompok analisis yaitu Nasional, Jawa dan Luar Jawa yang masing- masing hanya meliputi wilayah kabupaten tidak termasuk kota karena keterbatasan data yang tersedia. Tujuan 1. Menyusun model persamaan struktural kerawanan pangan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan

2. Mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan

Luar Jawa Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Departemen Pertanian khususnya dalam melakukan evaluasi terhadap konsep kerawanan pangan yang telah disusun, antara lain : 1. Menghasilkan model yang menerangkan keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa. 2. Menghasilkan gugus indikator yang dapat digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri atas subsistem penyediaan, distribusi dan konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Cakupan pembangunan subsistem tersebut antara lain: 1. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan, maupun impor. 2. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah, antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis. 3. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, dan keragaman sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya. Kondisi sebaliknya dari ketahanan pangan adalah kerawanan pangan, Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara. Kerawanan pangan kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan untuk mengakses pangan yang cukup seperti dari produksi swasembada, pembelian di pasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengasimilasikan pangan ke dalam tubuh, cara makan yang tidak benar, infrastruktur kesehatan dan sanitasi yang tidak memadai, dan lain- lain. Kerawanan pangan sementara merupakan dampak dari menurunnya ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan oleh bencana alam. Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau akibat ketidakmampuan untuk mengimpor panga n yang memadai. Pada tingkat propinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh oleh kurangnya produksi atau distribusi pangan yang memadai ke seluruh pelosok dengan harga yang terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Sementara itu di tingkat individu beberapa aspek seperti ketidakwajaran akses pelayanan umum seperti kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan dan lainnya menimbulkan kerawanan pangan. Kerawanan pangan individu bisa terjadi sejak janin yang mengalami kurang gizi, ini dapat diindikasikan oleh bayi yang lahir dengan berat badan kurang, anak anak dan orang dewasa yang mengalami kurang gizi. Jadi kerawanan pangan merupakan manifestasi dari ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan, pemanfaatanpenyerapan pangan, dimana inetraksi ketiga dimensi tersebut apakah suatu wilayah atau individu mengalami kerawanan pangan. Dewan ketahanan pangan bekerja sama dengan Program Pangan Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa The United Nations Word Food Programme telah melakukan analisa data sekunder untuk indikator- indikator kerawanan pangan yang sudah dipilih melalui pembuatan peta kerawanan pangan untuk menunjukkan titik-titik kerawanan pangan di Indonesia dan dengan demikian situasi kerawanan pangan di suatu wilayah dapat secara konstan dapat dipantau dan dapat diperbaharui secara teratur. Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2004 telah melakukan penentuan indikator-indikator kerawanan pangan suatu wilayah, yang semula 14 indikator pada peta komposit kerawaan pangan, selanjutnya berubah menjadi 10 indikator Lampiran 1. Kesepuluh indikator kerawanan pangan kronis tersebut tercakup dalam 3 dimensi kerawanan pangan antara lain : 1. Ketersediaan Pangan 1 Perbandingan konsumsi normatif serealia terhadap ketersediaan lokal serealia Ketersediaan pangan adalah suatu fungsi dari produksi pangan dan perdagangan pangan, dimana ketersediaan pangan yang utama merupakan fungsi dari produksi pangan. Produksi serealia menjadi perhatian utama dalam memahami tingkat keswasembadaan pangan di suatu propinsi dan kabupaten. Porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari tanaman biji-bijian dan makanan berpati yang merupakan kelompok serealia. Serealia utama yang dimaksud antara lain padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Ketersedian pangan dihitung dari produksi serealia yaitu merupakan jumlah dari produksi beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Produksi beras merupakan konversi sebesar 63.2 dari produksi padi, sedangkan produksi jagung bersih adalah 60 dari produksi jagung mengingat sebanyak 40 persen jagung digunakan untuk pakan ternak. Data menunjukkan bahwa Indonesia telah berswasembada dalam produksi serealia dan bila dipandang dari ketersediaan serealia, Indonesia tergolong tahan pangan. Dalam penyusunan peta kerawanan pangan ketersediaan yang dimaksud adalah ketersediaan pangan serealia gr per kapita per hari, selanjutnya dihitung indeks ketersediaan pangan yang dihitung dengan cara sebagai berikut : F = Produksi serealia beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar t pop x 365 I AV = C norm F Keterangan : F = ketersediaan pangan serealia gram per kapita per hari t pop = Jumlah penduduk I AV = Indeks ketersediaan pangan C norm = Konsumsi normatif 300 gr serealia per kapita per hari Konsumsi normatif menunjukkan jumlah pangan biji-bijian yang harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi dari sereal. Pola konsumsi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata seseorang memperoleh 50 keperluan energi hariannya dari sereal harus mengkonsumi kurang lebih 300 gr sereal per hari. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2,100 Kkal DKP dan Program Pangan Dunia PBB , 2004. Nilai I AV 1, maka daerah tersebut defisit pangan serealia, atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi daerah tersebut. Dan bila nilai I AV 1, maka daerah tersebut surplus pangan serealia.

2. Akses terhadap pangan dan penghidupan