71 Belanda. Kekuasaan kolonial di Hindia Belanda bertanggung jawab terhadap
Opperbestuur kekuasaan tertinggi, yakni KoningKroon takhta Raja Belanda.
60
Adapun feodalisme tradisional yang dipraktekkan oleh kerajaan- kerajaan di Hindia Belanda jelas bukan merupakan perwujudan dari kehendak
rakyat Hindia Belanda. Bahkan kerajaan-kerajaan itu pun memperoleh takhta kekuasaannya atas persetujuan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Gagasan kedaulatan rakyat Indonesia menghendaki agar kekuasaan pemerintahan di Indonesia diperoleh dari rakyat Indonesia sendiri. Artinya,
kedaulatan rakyat menolak kedaulatan bangsa lain atas Indonesia dan juga menolak kedaulatan raja yang berlaku di kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia. Watak penolakan tersebut menunjukkan bahwa asas kedaulatan rakyat merupakan wacana pascakolonial yang menolak otokrasi kolonial dan
warisannya di Indonesia.
2. Asas Permusyawaratan
Kedaulatan rakyat
terkait dengan
asas permusyawaratan.
Permusyawaratan merupakan asas operasional untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Asas permusyawaratan berakar pada ajaran Islam tentang
musyawarah. Pengertian permusyawaratan menunjuk pada mekanisme perundingan dalam mengambil putusan bersama sehingga putusan yang
dihasilkan bersifat bulat. Permusyawaratan mengandung arti tidak ada aturan mayoritas dalam pengambilan putusan. Permusyawaratan dipandang lebih
mampu mewujudkan kedaulatan rakyat karena putusan dilakukan dengan
60
G.J. Wolhoff, op. cit., hlm. 56-57.
72 cara merundingkan terlebih dahulu permasalahan sebelum mengambil
putusan berdasarkan aturan mayoritas. Makna permusyawaratan seperti itu membedakan antara kedaulatan
rakyat di Indonesia dengan demokrasi Barat yang berwatak liberal. Asas permusyawaratan dalam UUD 1945 menghendaki agar perwujudan
kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan kehendak untuk memperoleh persetujuan bersama dibandingkan dengan penggunaan aturan mayoritas
secara mutlak. Aturan mayoritas adalah prinsip dasar demokrasi liberal Barat. Sebaliknya,
permusyawaratan mengutamakan
kesepakatan bersama
dibandingkan dengan aturan mayoritas. Makna permusyawaratan seperti itu menunjukkan adanya penolakan terhadap sistem politik liberal yang
dipraktekan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
3. Asas Ketuhanan Yang Mahaesa
Negara kolonial Hindia Belanda adalah negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan negara. Sekalipun demikian, kecenderungan
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memberikan dukungan terhadap agama Kristen sangat kuat. Secara historis, kolonialisme Hindia Belanda dan
kolonialisme Barat pada umumnya didorong oleh misi penyebarluasan agama Kristen kepada bangsa-bangsa non-Kristen. Misi tersebut secara tersamar
tetap mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Watak misionaris itu terutama tampak dalam kebijakan-kebijakan
pemerintah kolonial terhadap agama Islam. Pemerintah kolonial Hindia Belanda secara sadar telah membuat kebijakan yang mengekang dan
membatasi kebebasan beragama di kalangan umat Islam di Indonesia.
73 Implikasinya, kebijakan tersebut akan menghambat perkembangan agama
Islam di Indonesia yang merupakan agama terbesar yang dianut oleh penduduk Indonesia.
Secara politis pemerintah kolonial Hindia Belanda memang memandang Islam sebagai ancaman subversif terhadap kolonialisme
Belanda. Tak heran bila kemudian pemerintah kolonial berupaya untuk membatasi ruang gerak agama Islam. Kebijakan pemerintah kolonial hanya
membolehkan Islam dilaksanakan dalam kehidupan ibadah yang bersifat pribadi, sementara dalam kehidupan publik, termasuk politik, pemerintah
melarang umat Islam untuk melaksanakan ajarannya. Kebijakan ini sesungguhnya sesuai dengan ajaran sekularisme yang menjadi prinsip dasar
negara-negara modern Barat, termasuk negara Belanda. Akibat dari kebijakan sekuler itu dirasakan dalam kehidupan hukum.
Ajaran Islam mengenal adanya hukum Islam atau syari’ah yang meliputi berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek publik seperti politik. Dengan
adanya kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bersifat sekuler maka umat Islam hanya diperbolehkan untuk melaksanakan hak dan
kewajiban hukum dalam kehidupan ibadah yang bersifat pribadi. Sementara dalam kehidupan publik harus tunduk pada hukum-hukum kolonial.
Pemerintah kolonial memang mengizinkan adanya pengadilan agama Islam, tetapi pengadilan itu hanya mengadili perkara-perkara dalam bidang perdata.
Itupun hanya terbatas pada perkara-perkara dalam bidang perkawinan Islam saja, yakni perkara nikah, talak dan rujuk. Selebihnya dalam bidang perdata
74 lainnya seperti waris dan muamalah umat Islam harus tunduk pada hukum
adat atau hukum Barat yang dibuat Belanda.
61
Keadaan seperti itu menimbulkan perlawanan dari ummat Islam yang menghendaki agar hukum Islam diberlakukan kembali sepenuhnya dalam
kehidupan ummat Islam di Indonesia. Upaya perlawanan itu memperoleh momentum pada saat perancangan UUD 1945 di BPUPKI. Hasilnya adalah
rumusan dasar negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan yang secara eksplisit memberikan kewajiban menjalankan syari’at Islam itu merupakan cerminan
dari kehendak ummat Islam untuk memulihkan kembali pelaksanaan hukum Islam di Indonesia yang sebelumnya dibatasi oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Namun, rumusan Piagam Jakarta itu mengalami perubahan sehari
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Rumusan tersebut berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan
perubahan tersebut kewajiban menjalankan syari’at Islam tidak secara ekplisit menjadi ketentuan konstitusi. Kewajiban menjalankan syari’ah Islam berlaku
kembali setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Presiden Soekarno yang menyatakan “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai UUD 1945 dan adalah suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
61
Keterangan tentang kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hukum Islam dan hendak menggantikannya dengan hokum adat terungkap secara gamblang dalam pidato
anggota BPUPKI Ki Bagus Hadikusumo pada tanggal 31 Mei 1945 di depan BPUPKI. Lihat RM. A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 144-145.
75 Sekalipun begitu rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap
merupakan prinsip yang menunjukkan secara jelas adanya perlawanan terhadap sistem negara kolonial Hindia Belanda yang berwatak sekuler.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas yang secara diametral membedakan negara nasional Indonesia dengan negara kolonial Hindia
Belanda. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan negara Indonesia bukan negara sekuler
melainkan negara yang mengakui mengakui
kebebasan beragama
sekaligus memajukan
kehidupan beragama.
Berdasarkan asas tersebut, negara secara resmi terlibat aktif dalam mengurus kehidupan agama di Indonesia. Secara normatif hal itu
memungkinkan berlakunya kembali hukum Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagaimana dikehendaki dalam Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945.
4. Asas Kekeluargaan