Analisis keragaman genetik gladiol dengan penanda RAPD dan evaluasi ketahanan turunan dari beberapa kombinasi silangan terhadap fusarium

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK GLADIOL DENGAN
PENANDA RAPD DAN EVALUASI KETAHANAN TURUNAN
DARI BEBERAPA KOMBINASI SILANGAN TERHADAP
FUSARIUM

OLEH:
BAKHTIAR

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
BAKHTIAR. Analisis Keragaman Genetik Gladiol dengan Penanda RAPD dan
Evaluasi Ketahanan Turunan dari Beberapa Kombinasi Silangan terhadap Fusarium.
Dibimbing oleh Hajrial Aswidinnoor dan Toto Sutater.
Produksi bunga dan subang gladiol sering tidak optimal karena adanya penyakit
layu dan busuk subang yang disebabkan cendawan Fusarium oxysporum f sp. gladiolii.
Oleh karena itu, penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu cam untuk
pengendalian penyakit tersebut. Informasi keragaman genetik antar genotipe sangat
penting diketahui untuk mendukung program pemuliaan gladiol tahan fusarium. Analisis

keragaman genetik secara cepat dan mudah dapat dilakukan dengan RAPD. Dalam
program persilangan gladiol sering dijumpai adanya ketidak berhasilan persilangan antar
genotipe tertentu, sehingga diperlukan informasi tentang tingkat keberhasilan
persilangan dari berbagai kombinasi tetua. Setelah rekombinasi sifat ketahanan terhadap
fusarium dengan persilangan, diperlukan seleksi terhadap individu turunannya. Seleksi
ketahanan terhadap fusarium pada gladiol, memerlukan waktu beberapa tahun setelah
persilangan. Untuk mempercepat prosedur seleksi &lam program pemuliaan gladiol
tahan fusarium, seleksi pada tahap semaian sangat memungkinkan dilakukan.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Virologi, Laboratorium Biokontrol,
Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung, Kebun percobaan dan rumah plastik Instalasi
Penelitian Tanaman Hias (INLITHI) Cipanas dari bulan Oktober 2000 sampai dengan
Maret 2002. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menduga keragaman genetik beberapa
genotipe gladiol koleksi INLITHI Cipanas (2) mempelajari produksi biji sebagai
indikasi tingkat keberhasilan persilangan antar beberapa genotipe gladiol, (3)
mengembangkan metode seleksi ketahanan terhadap fusarium pada gladiol di tingkat
semaian dan (4) mengevaluasi ketahanan terhadap fusarium populasi turudn dari
beberapa kombinasi silangan. Untuk i t - penelitian dilakukan dua tahapan percobaan,
yaitu (1) Analisis keragaman genetik gladiol dan (2) hibridisasi dan evaluasi ketahanan
populasi turunan beberapa kombinasi silangan terhadap fusarium pada tahap semaian.
Analisis pengelompokan berdasarkan hasil amplifikasi dengan menggunakan 9

primer yang menghasilkan 120 lokus polimorfik menunjukkan bahwa 16 genotipe
gladiol koleksi INLITHI Cipanas mengelompok menjadi empat kelompok utarna pada
tingkat kemiripan 75 %. Kelompok pertama terdiri dari Yester, Yellow, Queen Occer,
623-1, Dayang Sumbi, Holand Merah dan Mirella, Rififi, Priscilla dan White Friendship.
Kelompok kedua dan ketiga berturut-turut Silver Jubille dan Rendesvous. Kelompok
keempat terdiri dari HWF8, HWF56, PHI9 dan PH75. Koefisien kemiripan genetik
antar 16 genotipe glad101 koleksi INLITHI Cipanas yang diuji berkisar 0,69 - 0,89.
Genotipe Silver Jubille dan Rendezvous, hasil introduksi dari Belanda tahun 1999 dapat
menambah keragaman genetik koleksi plasma nutfah gladiol di INLITHI Cipanas.
Kemiripan genetik antar tetua belum &pat menjelaskan tingkat keberhasilan persilangan
antar genotipe gladiol. Pembentukan biji akan lebih banyak jika Priscilla, 646-15 dan
Holand Merah digunakan sebagai tetua betina dan sebaliknya jika Silver Jubille,
Rendezvous, Rififi dan Queen Occer sebagai tetua betina. Seleksi penapisan genotipe
tahan terhadap harium dengan kerapatan inokulurn lo3 propagul per gram tanah dapat
dilakukan pada 8 minggu setelah semai. Persentase jumlah zuriat tahan lebih banyak
diperoleh dari kombinasi silangan 623-1 x Queen Occer, Queen Occer x 623-1 dan 64615 x 623-1.

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK GLADIOL DENGAN
PENANDA RAPD DAN EVALUASI KETAHANAN TURUNAN
DARI BEBERAPA KOMBINASI SILANGAN TERHADAP

FUSARIUM

OLEH:
BAKHTIAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Agronomi

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2002

Judul Tesis

: Analisis Keragaman Genetik Gladiol dengan Penanda RAPD dan

Evaluasi Ketahanan Turunan dari Beberapa Kombinasi Silangan

terhadap Fusarium
Nama

: Bakhtiar

NPR

: 99052

Program Studi

: Agronomi

Menyetujui,
1. Kornisi Pembimbing

Dr.Ir.Hairia1Aswidinnoor. M.Sc.
Ketua

2. Ketua Program Studi Agronomi


Dr.Ir. Hairial Aswidinnoor. M.Sc.
Tanggal Lulus :

2 2 APR

rogram Pascasarjana

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menjatakan bahwa tcsis yang bejudul:

ANALISIS I(ERAGmi4AN GENETIK GLADIOL DENGAN PENANDA RAPD DAN
EVALUASI ISETAHAr'AN lTJRmTA?u'GNU BEBERAPA KOMBINASI
SILANGAN TEIZHADAF FUS-Tvf

Adalah benar merupahfi hail karya saya sendiri dan Selum pernah dipublikasih.
Scmwi srrmbcr

&rii


daii informasi yang digunakan telah dinyatakan stoczira jelas dan

&pat diperiksa kebenaramya.

Bogor, April 2002

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bireuen pada tanggal 1 Nopember 1968 sebagai anak
bungsu dari pasangan Ahmad Basyah Ibrahim dan Halimah (Alm). Pendidikan dasar
sampai menengah atas diselesaikan di Bireuen Aceh Jeumpa. Pendidikan sarjana
ditempuh pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh dan lulus tahun 1994. Pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Agronomi.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Dikti Depdiknas.
Sejak tahun 1994 sampai dengan 1996, penulis bekerja di perkebunan kelapa

sawit PT. Fajar Baizury & Brothers, Banda Aceh sebagai staf bagian tanaman. Sejak
tahun 1996 sampai sekaran8 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi
Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala ramat dan
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2000 adalah pemuliaan gladiol tahan fusarium,
dengan judul Analisis Keragaman Genetik Gladiol dengan Penanda RAPD dan Evaluasi
Ketahanan Turunan dari Beberapa Kombinasi Silangan terhadap Fusarium.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor,
M.Sc. dan Dr.Ir. Toto Sutater, MS.,APU., selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran dalam perencanaaan sarnpai penulisan hasil penelitian ini. Ucapan
yang sama penulis sarnpaikan kepada Ir. Dedeh Siti Badriah, M.Si atas bantuan
penyediaan bahan tanaman dan saran-sarannya dalam pelaksanaan penelitian di
lapangan, Ir. Yoyo Sulyo, MS atas kemudahan pemakaian fasilitas laboratorium, ibu
Fitri Racmawati, SP dan ibu Lely, ibu Risna dan sdr. Aang yang telah memberi bantuan
dalam pelaksanaan penelitian, ibu Ir. Evie atas bantuannya dalam penyediaan isolat

fusarium, dan semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini.
Rasa terimakasih yang sangat dalam penulis sampaikan kepada ibunda (alm) dan
ayahanda serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Untuk isteri dan anakku
tercinta, disampaikan terimakasih dan penghargaan yang talc terhingga atas doa,
dorongan, pengorban dan kesabarannya dalam mendamping penulis selama mengikuti

pendidikan dan penulisan tesis ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, April 2002

Bakhtiar

DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

vii
...

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................

Tujuan Penelitian ..............................................................................
Hipotesis.............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Gladiol ...............................................................................
Penanda Genetik untuk Analisis Keragaman Tanarnan.....................
Penyakit Fusarium ............................................................................
Pengendalian Fusarium pada Gladiol................................................
Pemuiiaan Tanaman Gladio Tahan Fusarium ...................................
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK GLADIOL DENGAN PENANDA
RAPD
Pendahuluan........................................................................................
Bahan clan Metode..............................................................................
Hasil ...................................................................................................
Pembahasan ........................................................................................
Kesimpulan dan Saran.........................................................................
HIBRIDISASI DAN EVALUASI KETAHANAN TERHADAP FUSARI-

U M PADA POPULASI KETURUNAN DARI BEBERAPA KOMBINASI
SILANGAN GLADIOL
Pendahuluan .......................................................................................

Bahan dan Metode............................................ ............................... ..
Hasil ...................................................................................................
Pembahasan ........................................................................................
Kesimpulan clan Saran.........................................................................
PEMBAHASAN UMUM..............................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

Vlll

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Genotipe-genotipe gladiol yang di gunakan dalarn analisis keragaman
genetik...................................................................................................

2 Susunan basa primer yang digunakan dan jumlah fragmen DNA
yang teramplifikasi pada masing-masing primer.. ................................
3 Genotipe gladiol yang digunakan dalam persilangan...........................

4 Persentase keberhasilan persilangan dan jurnlah biji bernas dari

populasi gladiol hasil silangan .............................................................
5 Persentase zuriat gladiol tahan dan peka terhadap fusarium dari
populasi beberapa kombinasi silangan pada 8 minggu setelah
semal......................................................................................................

21

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Profil hasil amplifikasi DNA gladiol dengan menggunakan primer

..............
OPCl9...................................................................................
;

25

2 Dendogram kesarnaan genetik 16 genotipe gladiol koleksi
INLITHI Cipanas berdasarkan penanda RAPD....................................

26

3 Tanaman gladiol yang sehat dan diserang fbsarium pada tahap
semaian .................................................................................................

37

4 Persentase jumlah tanaman layu pada semaian genotipe gladiol yang
digunakan sebagai kontrol tahan dan kontrol peka pada pengamatan
mulai 3 sampai 8 minggu setelah semai................................................

'

39

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Penampilan
bunga beberapa genotipe gladiol yang digunakan dalam
..
penelit~an...............................................................................................

60

2 Profil hasil amplifikasi DNA gladiol dengan menggunakan primer
No.5.......................................................................................................

61

3 Profil hasil arnplifikasi DNA gladiol dengan menggunakan primer
83044...................................................................................................

61

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman gladiol (Gladiolus hybridus. Hort) merupakan sdah satu komoditas
hortikultura wnbi-wnbian yang digunakan sebagai bunga potong dan tanaman taman.
Pengembangan gladiol sangat menguntungkan karena mudah dibudidayakan, dapat
ditanam pada lahan terbuka, tidak memerlukan naungan dan pada luasan lahan yang
relatif sempit masih memberikan keuntungan.
Di Indonesia, gladiol dapat dibudidayakan di daerah dataran tinggi sepanjang
tahun. Pusat produksi bunga gladiol di antaranya di Cipanas (Cianjur), Selabintana
(Sukabumi), Lembang, Parongpong (Bandung) Jawa Barat, di Bandungan Jawa Tengah,
di Batu dan Pujon Jawa Tirnur, di Brastagi Sumatera Utara dan di Malino Sulawesi
Selatan.

Permintaan bunga potong di dalam negeri cenderung meningkat setiap tahun,
terutama di kota bear seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Sernarang dan
Denpasar. Daya serap pasar di Indonesia terhadap bunga potong gladiol mencapai
127.200 tangkai per minggu (BCI dan Nehem, 1989) apalagi pada hari-hari besar sering
mencapai 20 - 30 kali dari hari-hari biasa (Hasyim, 1989). Hal ini akan memacu

pertumbuhan ekonomi petani penanam bunga, industri tanaman hias dan pendapatan
daerah.
Penyalut layu dan busuk subang yang disebabkan cendawan Fusarium
oxysporum f sp. gladiolii merupakan salah satu kendala yang membatasi produksi
bunga dan subang gladiol (Straathof et al., 1997). Fusarium merupakan patogen tular
tanah yang berkembang biak dengan pesat pada subang di tempt penyimpanan

(Maryam clan Djatnika, 1995). Kerugian yang disebabkan oleh infeksi fusarium pada

gladiol cukup besar, di Florida Amerika Serikat bisa mencapai 1,s juta dolar setiap
musim (Pirone, 1978), sedangkan di Indonesia penyakit ini dapat mengakibatkan
kerugian sampai 100 % (Djatnika, 1989).
Usaha untuk mengatasi penyakit layu dan busuk subang dilakukan dengan
beberapa cara untuk membatasi infeksi oleh fusarium pada bahan tanam. Di antaranya
adalah anak subang yang telah dicuci bersih segera direndam &lam air hangat, subang
dapat direndam dalam fungisida setelah panen dan sebelum tanam dan fimigasi lahan
(Wilfret, 1992; MacKay and Hughes, 1982). Di samping itu, rotasi tanam dianjurkan
untuk menghmdari endemik, tetapi dalam jangka waktu pen&k tidak optimal
(Kartapraja, Sutater dan Djatnika, 1996). Penggunaan kultivar tahan merupakan strategi
yang ekonomis, ramah lingkungan clan efektif untuk pengendalian penyakit (Agrios,
1996).
Kultivar gladiol yang tahan terhadap h a r i u m di Indonesia saat ini sangat jarang

ditemukan dan keragaman karakter bunga juga terbatas. Sedangkan pemintaan gladiol
sebagai bunga potong selalu menghendaki sesuatu yang baru, karena selera konsumen
cepat berubah dari waktu ke waktu. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pemulia untuk
merakit kultivar barn yang lebih beragam secara terus menerus.
Informasi keragaman genetik antar bahan pemuliaan penting diketahui sebagai
dasar untuk memilih tetua yang akan disilangkan (Brown-Guedira et al., 2000).
Keragaman genetik plasma nutfah dapat dianalisis secara cepat dengan penanda
molekuler pada tingkat DNA (Staub, Serquen and Gupta, 1996). Analisis dengan
penanda molekuler hanya berdasarkan polimorfisme urutan nukleotida saja, sehingga
jumlahnya banyak, konsisten tidak dipengaruhl oleh lingkungan dan tingkat
pertumbuhan tanaman (Vogel et al., 1996).

RAPD (Random Amplrjied Polymorphic DNA) merupakan salah satu penanda
molekuler yang menggunakan prinsip kerja mesin PCR yang mampu mengamplifikasi
DNA genom dengan menggunakan primer tunggal dari sequen nukleotida acak
(Williams et al., 1990). RAPD sangat banyak digunakan untuk analisis keragaman
genetik dan organisasi plasma nutfah tanaman. Sampai saat ini, informasi keragaman
genetik dan hubungan kekerabatan antar kultivar gladiol pada tingkat DNA sangat
terbatas.
Untuk mendapatkan keragaman berbagai sifat bunga gladiol seperti warna,
bentuk bunga yang lebih bervariasi dan ketahanan terhadap penyakit diperlukan
genotipe-genotipe yang tidak berkerabat dekat untuk dijadikan sebagai tetua persilangan.

Tanaman gladiol biasanya dapat disaling-silangkan antar kultivar (Herlina, 199l), tetapi
seringjuga dijumpai dari persilangan tersebut yang tidak berhasil. Persilangan dilakukan
untuk menggabungkan sifat ketahanan terhadap fusarium dan sifat bunga yang

diinginkan konsumen. Setelah persilangan, perlu dilaLulran selelisi terhadap iddividu
keturunan hasil silangan untuk mengetahui tingkat ketahanan terhadap harium yang
akan dikembangkan sebagai kultivar baru.
Penentuan tingkat ketahanan terhadap penyakit pada tanaman gladiol biasanya
baru dapat dilakukan beberapa tahun setelah dibuat persilangan, sedangkan seleksi untuk
karakteristik bunga baru dapat dilakukan 4 - 5 tahun setelah persilangan (Straathof, et
al., 1997). Hal ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan sangat lama, sehingga seleksi
pada tahap semaian akan sangat membantu pemulia tanaman gladiol untuk
mempersingkat waktu dan mengurangi biaya.
Seleksi semaian pada tanaman hias berurnbi untuk ketahanan terhadap f i u m
telah berhasil dilakukan pada bunga lili (Straathof and Loffler, 1994). Ketahanan gladiol

terhadap fusarium pada tingkat semaian dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat
ketahanan populasi keturunannya terhadap fusarium (Straathof et al., 1997), dan
mempercepat seleksi ketahanan gladiol teihadap fharium (Badriah, et al., 1998).

Tujuan Penelitian
1. Menduga keragaman genetik beberapa genotipe gladiol koleksi INLITHI Cipanas
dengan penanda RAPD.

2. Mengetahui tingkat keberhasilan persilangan dari beberapa kombinasi silangan antar
beberapa genotipe gladiol
3. Mengembangkan metode penapisan genotipe gladiol tahan fusarium pada tahap
semaian

4. Mengevaluasi ketahanan populasi kelanmm hasil silangan beberapa genotipe gladiol
terhadap fusanum.

Hipotesis
1. Keragaman genetik antar genotipe gladiol koleksi INLITHI Cipanas sangat tinggi.
2. Tingkat keberhasilan persilangan antar genotipe yang mempuyai jarak genetik yang
dekat akan lebih tinggi.

3. Jumlah zuriat yang tahan terhadap fusarium lebih banyak diperoleh dari kombinasi
silangan antar tetua-tetua yang tahan.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Gladiol
Gladiol merupakan tanarnan semusim yang sangat cocok digunakan sebagai
bunga potong ataupun sebagai tanaman taman. Hal ini disebabkan karena gladiol
memiliki wama, bentuk dan ukuran bunga yang sangat bervariasi yang sangat jarang
ditemukan pada tanaman hias lainnya. Gladiol dapat menghasilkan bunga dengan
berbagai warna, kecuali biru, hitam dan coklat, bahkan satu bunga bisa memiliki dua
sampai tiga kombinasi warna (Wilfret, 1992). Bentuk bunga bundar, segitiga, dan seperti
bunga anggrek, pinggr mahkota bunga juga bervariasi seperti keriting, rata, agak
membengkok dan lancip. Tangkai bunganya panjang dan bunga tersusun rapi di
sepanjang tangkai mulai agak jarang sampai rapat dengan susunan bunga yang simetris
(Herlina, 1991).
Gladiol berasal dari Afrika Selatan kemudian menyebar ke daratan Asia sampai
ke Eropa dan berkembang dengan baik di Belanda. Gladiol juga sudah dibudidayakan
secara komersial sebagai bunga potong di Amerika yang bibitnya berasal dari silangan
di Eropa (Wilfiet, 1992). Nama gladiol berasal dari bahasa Latin yang berarti pedang
kecil yang mengacu pada bentuk daunnya yang sempit dan panjang seperti pedang,
sehingga gladiol juga dikenal dengan nama lili pedang (Suardi, 1999).
Dalarn taksonomi gladiol dimasukkan ke dalam dunia Plantae, divisi
Traheophyta, subdivisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subklas Monocotyledonae, ordo
Iridales, famili Iridaceae, genus Gladiolus, dan spesiesnya sangat banyak di antaranya
Gludiolus b.bridus, Gludiolus grundflorus dan lain-lain (Badriah, 1995). Pada
umumnya jumlah set kromosom gladiol yang berasal dari Afiika adalah n = 15 sehingga
tanaman diploidnya mengandung 2n

=

30. Spesies-spesies yang berkembang di Eropa

ternyata memiliki kromosom 60 sampai 130 yang termasuk tanarnan poliploid. Dengan
demikian diperkirakan spesies Afrika merupakan nenek moyang genus gladiol
(Goldblatt, Tekei and Razzaq, 1993).
Hibrida gladiol modem mempakan polihibrida yang dikenal dengan Gladiolus
grandrflorrus atau gladiol berbunga besar yang diperoleh dari persi langan interspesies

dengan melibatkan 11 spesies (Wilfret, 1992). Gladiol yang dibudidayakan oleh petani
di Indonesia merupakan kultivar yang diintroduksi dari luar negeri yang sudah
berlangsung sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun silam dan masih berlangsung
sampai sekarang (Badriah, 1995).
Kultivar-kultivar yang banyak berkembang di Indonesia diantaranya adalah
Queen Occer, Piscilla, Holand Merah, White Friendship, Dr. Mansoer dan lain-lain.
Kultivar Dayang Sumbi memiliki bunga berwarna merah cerah yang merupakan hasil
persilangan yang dilakukan oleh INLITHI Cipanas antara tetua betina Groene Specht
(introduksi dari Belanda tahun 1986) dengan tetua jantan Dr. Mansoer yang banyak
ditanam di Lembang dan Bandung (Badriah et al., 2000).
S i k h hidup gladiol berlangsung selama 16 - 18 minggu. Pada umur 3

-

5

minggu setelah bibit subang ditanam tumbuh tunas baru. Setelah 12 - 14 minggu sudah
mulai berbunga. Pada umur 16 - 18 minggu gladiol akan membentuk subang dan
beberapa anak subang baru, sedangkan subang lama akan mengkerut dan mati. Subang
bam tersebut terus membesar dan dapat mencapai diameter 3 cm atau lebih yang
nantinya dapat dijadikan sebagai bibit baru setelah mencapai masa dormansi selarna dua
sampai empat bulan di penyimpanan (Herlina, 1991 ).
Perbanyakan tanarnan gladiol dapat dilakukan secara generatif maupun secara
vegetatif Perbanyakan secara generatif hanya dilakukan untuk tujuan pemuliaan saja

dalam rangka perluasan keragaman genetik dan mendapatkan kultivar baru. Hal ini
disebabkan tanaman hasil perbanyakan generatif hanya bisa menghasilkan anak subang
yang berdiameter kecil yaitu 1 cm. Sedangkan subang yang bisa langsung menghasilkan
bunga ukuran standar hams berdiameter 3 cm atau lebih. Untuk msndapatkan subang
yang berdiameter besar diperlukan beberapa siklus hidup yang membutuhkan waktu
sekitar 2 - 4 tahun setelah persilangan. Perbanyakan vegetatif bisa langsung
menghasilkan bunga dengan ukuran standar yang biasanya dilakukan dengan
menggunakan subang utuh, subang belah, anak subang dan teknik kultur jaringan
(Herlina dan Heryanto, 1995).
Penanda Genetik untuk Analisis Keragaman Tanaman
Dalam pemuliaan konvensional, identifikasi sumber keragaman genetik yang

akan dijadikan sebagai tetua untuk mendapatkan genotipe unggul biasanya dilakukan
identifikasi secara morfologi dan sitogenetika. Dalam rangka menambah informasi yang
lebih banyak, menelusuri genotipe unggul yang ads dalam plasma nutfhh pada At ini
telah banyak digunakan identifikasi dengan isozirn dan molekuler.
Tanaman &pat diidentifikasi secara morfologi karena adanya kemudahan dalam
mengamati perbedaan-perbedan antar tanaman secara visual. Identifkasi secara
morfologi telah digunakan secara luas dalam pemuliaan tamman seperti jumlah anakan,
karakteristik batang, daun, bunga, buah, biji, dan lain sebagainya. Namun demikian,
hanya karakteristik morfologi yang dikendalikan oleh lokus tunggal dan ekspresinya
sama pada berbagai lingkungan yang dapat digunakan sebagai penanda genetik (Staub
et al.,1996).

Dalam mengidentifikasi tanaman untuk keperluan seleksi secara morfologi
sangat tergantung pada kemampuan pemulia dalam membedakan sifat morfologi

tanaman secara visual. Oleh karena itu diperlukan pengalaman yang banyak dan kejelian
yang tinggi dalam mengamati tanaman. Di samping itu penanda morfologi merniliki
kelemahan karena dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan
sehingga kadangkala tidak dapat dibedakan antar genotipe yang diamati karena secara
morfologi kelihatannya sama, tetapi sebenarnya berbeda akibat sifat resesif yang tertutup
oleh sifat dominan.
Penanda sitogenetika juga sering digunakan dalam kajian genetika dan
pemuliaan tanarnan yang berhubungan dengan karakteristik kromosom. Penanda
sitogenetika yang sering digunakan untuk membedakan antar spesies tanaman adalah
jumlah, bentuk, ukuran clan prilaku lcromosom (Moore, 1976). Namun demikian
penggunaan penanda sitogenetika j u g memiliki kelemahan karena prosedur
sitogenetika yang biasa dilakukan sering juga tidak dapat membedakan adanya sisipan
bagian kromosom yang pindah silang sehingga terjadinya rekombinasi suatu sifat. Oleh
karena itu para ahli terus mengembangkan penanda genetik lainnya yang dapat
digunakan secara lebih tepat untuk mengidentifikasi keragaman genetik tanaman.
Isozim merupakan enzim-enzim yang mengkatalis reaksi yang sama tetapi
mempunyai struktur kimia, berat molekul dan muatan listrik yang berbeda-beda
sehingga dapat dipisahkan dan divisualisasi dengan menggunakan prosedur
elektroforesis (Pierce and Brewbaker, 1973). Ketika ditarnbahkan substrat dan kofaktor
yang sesuai ke &lam enzimenzim tersebut dan dielektroforesis maka akibat dari reaksi
enzimatis tersebut akan menampilkan warna tertentu yang terkumpul pada gel sebagai
pita-pita dengan ukuran yang berbeda-beda. Pita-pita tersebut dapat dijadikan sebagai
infomasi genetik karena mewakili setiap enzim yang ekspresinya dikendalikan oleh gen
yang berbeda (Staub et a1.,1996). Data yang dihasilkan penanda isozim bersifat

kodominan sehingga bisa membedakan individu homozigot dari yang heterozigot
(Bustamam dan Moeljopawiro, 1998).
Penanda isozim telah banyak digunakan pemulia tanaman dalam mempelajari
keragaman individu tanaman dalam sebuah populasi, mengidentifikasi kultivar,
membuat peta genetik, klasifikasi plasma nutfah, mendeteksi rekombinasi genetik dari
persilangan kerabat jauh (Pierce and Brewbaker, 1973). Penanda isozim juga masih
memiliki banyak kelemahan karena hasil polimorfismenya masih dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan tanaman, jenis jaringan sampel yang digunakan dan sebagian
besar tanaman memperlihatkan keragaman pita yang relatif sempit (Staub et al., 1996).
Oleh karena itu untuk keperluan cakupan yang lebih luas, pemanfaatan penanda isozim

akan terbatas, tetapi keterbatasan ini selanjutnya diperbaiki dengan menggunakan
penanda molekuler.

Penanda molekuler kadang-kadang dikenal sebagai sidik jari DNA karena
mengacu pada pita polirnorfisme berupa h g m e n DNA Keunggulan utarna penanda
molekuler adalah keakuratan yang tinggi dan tidak dipen-

oleh lingkungan

(Bustamam dan Moeljopawiro, 1998), Penanda molekuler dapat diuji pada berbagai
tingkat perkembangan tanaman, pada pengujian ketahanan terhadap hama clan penyakit
tidak tergantung pada organisme pengganggu, seleksi pada tingkat genotipe dapat
mempercepat proses seleksi dan hemat dalarn pengujian lapangan seianjutnya
(Wattimena, 1999).
Pengkajian keragaman genetik berdasarkan penanda molekuler dapat dilakukan
dengan hibridisasi fiagrnen DNA dengan penanda DNA pada teknik non-PCR
(polimerase chain reaction) seperti RFLP (Tanksley et al., 1989), dengan amplifikasi
fragrnen DNA dalam mesin PCR seperti RAPD (Williams et al., 1990) dan lain-lain.

Analisis penanda molekuler dengan RFLP hampir sama dengan isozim bersifat
kodominan tetapi polimorfismenya lebih besar daripada isozim dan dapat digunakan
untuk menyusun peta keterpautan antara sifat morfologi dengan penanda RFLP
(Tanksley et ul., 1989).
T e h k RFLP memiliki kelemahan karena memerlukan koleksi pustaka DNA
pelacak, melibatkan hibridisasi southern blot, visualisasi menggunakan bahan radio aktif
atau chemiluminescent, pemakaian enzim-enzim restriksi, memerlukan ketrampilan yang
tinggi, banyak menyita waktu dan tenaga kerja sehingga relatif mahal (Demeke and
Adam, 1994). Sebaliknya, RAPD memiliki keunggulan karena biaya pelaksanaannya
relatif murah, teknik pengerjaannya sederhana, prosesnya cepat, hanya memerlukan
DNA dalam jumlah yang sedikit, tidak menggunakan radioaktif, tidak memerlukan
pelacak dan enzim restriksi dan tidak memerlukan informasi urutan DNA sebelurnnya
(Gallego and Martinez, 1996). Kelemahannya adalah data yang dihasilkannya tidak

spesifik dan tidak kodominan karena tidak dapat membedakan genotipe homozigot
dominan dengan genotipe heterozigot (Vogel et al., 1996).
Penan& RAPD dihasilkan dari penempelan primer acak tunggal yang
panjangnya 10 nukleotida ke DNA sampel komplementernya kemudian diamplifikasi
dengan PCR (William er al., 1990). Fragmen DNA hasil amplifikasi dapat dipisahkan
dengan elektroforesis pada gel agarosa atau poliakrilamid dan divisualisasikan dengan
ethidium bromi& di atas UV-tmnsluminator atau dengan perak nitrat (Staub et ul.,
1996).
Penanda RAPD telah digunakan secara luas pada berbagai keperluan dalam
pemuliaan tanaman. Di antaranya adalah untuk analisis hubungan kekerabatan duku
(Song et al.,2000), hubungan filogenetik taflaman Circhorim itydbus L var sativum

(Koch and Jung, 1997), keragaman genetik dan evaluasi organisasi plasma nutfah
(Okuno et ul., 1998), hubungan genetik antar kultivar pepaya (Stiles et al., 1993) dan
sebagainya.
Penyakit Layu Fusarium

Penyakit layu fusarium pada gladiol dijumpai di berbagai negara penghasil
bunga gladiol seperti Belanda, Italia, Arnerika Serikat, India, dan di Indonesia juga tidak
luput dari penyakit ini (Maryarn dan Djatnika, 1995). Penyakit layu fusarium merupakan
penyakit utama yang menyerang gladiol, yang disebabkan oleh cendawan Fusarium
oxysporum f sp. gladioli (Straathoff et al., 1997). Patogen ini dapat menyebabkan

kehilangan produksi subang dan bunga yang sangat besar bukan hanya pada gladiol
tetapi juga pada spesies Iridaceae lainnya seperti Babiana, Croczls, Freesia, Iris, Ixia,
Sparaxis, Stepthathera dan Watsonia (McClelland, 1945).
Fusarium terrnasuk subdivisi Deuromycotina yaitu cendawan yang tidak

sempurna karena hanya memiliki daur aseksual saja dan dikelompokkan dalarn kelas
Hypomyetes, ordo Hyphales yaitu cendawan yang menghasilkan spora aseksual pada

atau di dalam hifa dan genus Alternaria yaitu penyebab bercak dan hawar daun.
Fzlsarium oxysprum merupakan patogen tular tanah yang menyebabkan penyakit layu
dan busuk akar pada kebanyakan tanaman semusim (Agrios, 1996).

Pada saat memperbanyak diri, cendawan haploid dapat menghasilkan t i p bentuk
spora aseksual, yaitu uni(bi-)sellular mikrokonidia, multisellular 3-4 makrokonidia dan
klamidospora. Pada lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhanya, Marnidospora
bisa terpisah dari hifa dan tetap dapat bertahan hidup cukup lama di dalam tanah
(Schippers and van Eck, 1981; Booth, 1971). Miselium fusarium kelihatan seperti kapas

dan sering berwarna merah muda, ungu atau kuning. Bentuk konodioforanya bervariasi

ada yang seperti silinder biasa atau gem& pendek, bercabang tidak beraturan,
makrokonidianya

sedikit

melengkung

dan

ujungnya

bengkok,

sedangkan

mikrokonidianya berbentuk oblong (Barnett, 1960).
Spesies Fwarium oxysporum dibedakan menurut formae spesiales untuk
menggambarkan kemiripan patogen tersebut secara morfologi yang menyebabkan
penyakit pada tanaman yang berbeda, sehingga dinamakan sesuai dengan spesies
tanaman yang diserangnya (Kistler, 1997). Kebanyakan dari formae spesiales tersebut
menyebabkan layu dan menyurnbat pembuluh tanaman inang (McClelland, 1945).
Infeksi terjadi pada saat spora cendawan berkecambah dan mas& ke dalam jaringan

tanaman melalui bagian dasar atau buku-buku subang dan luka (MacHardy and
Beckman, 1981).
Pada gladiol yang diifeksi fUsarium tam*

ada nekrosis pada ujung daun yang

diikuti dengan perubahan warna dam menjadi hijau kekuningan. Bagian tanaman di atas
pemukaan tanah tumbuh melengkung clan pertumbuhan tamman kerdil dan mudah

patah dan menghasilkan bunga yang cacat. Pada serangan lebih lanjut pangkal batang
membusuk, berwarna kehitarnan kemudian rebah dan mati (Badriah, 200 1). Infeksi pada
awal pertumbuhan tanaman akan mempengaruhl pembentukan bunga, sedangkan infeksi
pada tahap lebih lanjut hanya mempengaruhi produksi subang, sehingga masih
memunglunkan untuk memanen bunga (Remotti, 1996).
Gejala serangan yang umum terlihat pada subang di penyimpanan adalah adanya
bintik nekrosis pa& permukaan subang atau busuk pada bagian dasar subang
(McClelland, 1945) dan dalam keadaan lembab hifa patogen yang berwarna putih seperti
kapas menutupi permukaan bintik nekrosis tadi dan menjalar ke bagian tanaman yang
lain (Maryam dan Djatnika, 1995). Subang yang terserang, jaringan bagian dalamnya

membusuk kemudian mengering, sehingga kulit subang mengeriput dan menjadi liat
seperti mumrni, kalau dijatuhkan ke benda keras akan berbunyi seperti batu dijatuhkan
(Badriah, 200 1).
Patogen h r i u m &pat menyebar melalui sisa bahan tanam, tanah terinfebi, air
siraman atau alat-alat pertanian. Di tempat penyimpanan, satu subang yang terinfeksi
akan menularkan penyakit tersebut ke seluruh subang lainnya (Maryam dan Djatnika,
1995). Patogen ini juga merupakan penginfeksi laten di dalam subang, sehingga

penyakit ini sangat mudah meyebar di daerah pertanaman gladiol, walaupun ditanam
pada lahan yang belum terinfeksi sebelumnya ( Remotti, 1996).
Pengendalian Fusarium pada Gladiol
Pengendalian penyakit layu fusariurn telah dilakukan dengan cara penanaman
bahan tanam dan lahan yang bebas patogen fusarium. Lahan dijaga agar tetap bersih dan
membuang tanaman yang terserang untuk mengurangi inokulum fusarium dan
penyemprotan dengan fungisida (Maryam dan Djatnika, 1995). asinfeksi subang dan
pembersihan lahan (McKay and Hughes, 1982), dan rotasi tanam O(artapraja et
al., 1996)juga sering diterapkan untuk pengendalian k r i u m .
Subang yang bebas dari patogen bisa diperoleh dengan penan-

pemanenan,

transportasi dan penyirnpanan dengan sangat hati-hati. Pada saat panen subang dihindari
agar subang tidak luka, subang yang terinfeksi di lapangan segera dibuang supaya tidak
tercarnpur dengan subang yang sehat. Subang yang telah dipanen segera dibersihkan dari
sisa-sisa tanah dan sisi tanaman yang telah mengering, selanjutnya disimpan di gudang
yang bersih, bebas patogen dan kering. Pemeliharaan subang di penyimpanan
merupakan pengendalian penyakit pada tingkat dini (Maryam dan Djatnika, 1995).

Disinfeksi subang biasanya dilakukan dengan m e n m a n bahan kimia.
Sebelum digunakan sebagai bibit, subang yang akan ditanam bisa direndam dalam
suspensi pestisida. Anak subang dapat direndam dalam air hangat yang mengandung 5%
alkohol (Pirone, 1978) yang diperkirakan dapat meminimalkan terbawanya patogen ke
lapangan. Pemakaiaan pestisida yang terus menerus akan mengganggu keseimbangan
lingkungan akibat matinya organisme lain yang bukan target pengendalian dan
menambah polusi lingkungan di samping juga biayanya mahal.
Penggenangan lahan dengan air dan fumigasi lahan dengan pestisida dapat
dilakukan untuk menghllangkan infeksi ataupun kontaminasi lahan oleh fusarium.
Penggenangan lahan dilakukan sebelum penanaman gladiol sehinga diperkirakan
harium yang ada di &lam tanah akan kekurangan oksigen dan akhirnya mati. Namun
demikian, ha1 ini sulit dilakukan terutama karena penanaman gladiol biasanya pada
daerah dataran tinggi yang kontur tanahnya berbukit-bukit serta tidak ada irigasi.
Fumigasi lahan dengan metilbromida juga sering dilakukan terutama pada lahan yang
relatif sempit karena biayanya sangat mahal clan menyebabkan polusi tanah.
Penanaman gladiol pada lahan bebas fusariurn dapat dilakukan untuk
menghambat penyebaran M u m dan menghlndari kerusakan gladiol yang lebih parah.
Untuk itu penanaman gladiol tidak dilakukan terus menerus pada lahan yang sama.
Rotasi tanam dapat menghmdari terjadinya endemik fusarium pada suatu areal tertentu

dan diperkirakan dapat memutuskan s i b hidup fUsarium, tetapi dalarn jangka waktu
pendek kurang memuaskan (Kartapraja, et al., 1996).
Rotasi tanarn atau pemberaan beberapa lama sangat sulit menghilangkan patogen
dari lahan yang telah terinfeksi fusarium (Burgess, 1981). Hal ini disebabkan fusarium
dapat membentuk klamidospora yang dapat bertahan hidup bertahun-tahwn di dalam

tanah (Schippers and van Eck, 1981; Booth, 1971). Di samping itu, dengan rotasi tanam
mengakibatkan setiap musim tanam petani hams mencari lahan baru dan selalu
berpindah-pindah untuk menanam gladiol pada lahan yang berbeda-beda. Akibatnya,
petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk sewa lahan baru dan biaya produksi
lainnya.
Perkembangan fusarium akan pesat pada pemupukan nitrogen yang tinggi
(Nelson, Horst and Woltz, 1981), kondisi lingkungan yang lembab dan penggunaan
kultivar rentan (Maryam dan Djatnika, 1995). Dengan demikian untuk membatasi
perkembangan penyakit fusarium dapat dilakukan pemupukan nitrogen yang rendah, dan
penanam pada musim kering. Namun demikian, hal tersebut akan membatasi
perturnbuhan gladiol dan ketersediaan bunga potong setiap saat tidak terjamin sehingga
bisa merugikan petani. Akibatnya semua usaha-usaha di atas belum memberikan hasil
yang maksimal dalam pengendalian penyakit f h r i u m pada gladiol.
Penggunaan kultivar gladiol yang tahan terhadap fusarium merupakan salah satu
alternatif pengendalian f h r i u r n yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan (Agrios,
1996). Selama ini, kultivar gladiol yang dibudidayakan petani di Indonesia kebanyakan
adalah kultivar yang peka terhadap fusarium. Hasil pengujian pada tahun 1996 terhadap
beberapa kultivar yang ditanarn petani ternyata belum ada kultivar yang tahan (Badriah,
Djatnika dan Permadi 1996). Kultivar Mirella termasuk yang tahan, tetapi h a n g
diminati petani karena bunganya kecil dan tangkainya lemah sirta sulit disilangkan
dengan kultivar lainnya, sehingga kultivar ini sulit ditemukan di lapangan.

Pemuliaan Tanaman Gladiol Tahan Fusarium
Adanya keragaman genetik mempakan modal dasar dalam pemuliaan tanaman.
Usaha yang telah dilakukan dalam pemuliaan tanaman gladiol adalah koleksi plasma

nutfah, introduksi, hibridisasi dan pengujian adaptasi. Koleksi plasma nutfah terhadap
gladiol yang telah lama beradaptasi di Indonesia dilakukan dalam rangka
mengumpullcan plasma nutfah yang ada untuk dikarakterisasi dan digunakan sebagai
tetua dalam persilangan-persilangan. Sampai dengan tahun 1995 lebih kurang ada 50
kultivar yang diusahakan oleh petani di Indonesia (Badriah, 1995).
Introduksi kultivar-kultivar baru biasanya dilakukan dari Belanda sebagai
penghasil bunga gladiol terbesar di dunia. Introduksi bertujuan untuk menambah
keragaman genetik dan koleksi plasma nutfah. Sampai tahun 1994, Balai Penelitian

tanaman Hias (BALITHI) telah mengintroduksi sebanyak 20 kultivar. Narnun dernikian
tidak semuanya berkembang dengan baik karena peka terhadap penyakit layu barium

dan daya adaptasinya tidak baik. Pada tahun 1999 BALITHI mengintroduksi kembali 10
kultivar baru (Badriah, 200 1).
Hibridisasi pada tanaman gladiol dilakukan dalam rangka mendapatkan tipe-tipe

barb khususnya memiliki estetika yang tinggi dari segi variasi warna, ukuran, bentuk,
produksi bunga dan penampilan yang lebih memenuhi selera konsurnen atau juga
memiliki keistimewaan tertentu seperti warna bunga variegata. Di sarnping itu,
kepentingan utama dalam hibridisasi adalah untuk mendapatkan kultivar yang tahan
terhadap penyakit terutama b a r i u m (Badriah, 1995).
Pemulia gladiol untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium dilakukan
dengan menyilangkan tetua-tetua yang memiliki tingkat ketahanan yang berbeda-beda.
Straathof at al., (1997) menyarankan untuk menggunakan paling sedikit satu genotipe
tahan sebagai tetua untuk mendapatkan kultivar tahan. Gen yang mengendalikan
ketahanan terhadap f k m u m bervariasi antar tanaman mulai dan satu gen tunggal
dominan pada buncis, satu gen resesif pada Cicer arietinum, pada bunga tulip oleh aksi

gen aditif (Armstrong and Armstrong, 1981). Pada gladiol, belum ada informasi, tetapi
diperkirakan aksi gen ketahanan terhadap fusarium sesuai dengan model aditif (Straathof
at al., 1997).
Pengujian ketahanan gladiol terhadap barium telah banyak dilakukan dengan
cara inokulasi buatan. Tanah di lapang diinfestasikan dengan inokulum fusarium atau
pada lahan bekas pertanaman gladiol yang terserang berat sebelurnnya. Untuk pengujian

subang gladiol ditanarn pada lahan tersebut, selanjutnya diamati tingkat kelayuan
tanaman atau tingkat pembusukan subang (Badriah et al., 1996). Namun demikian ha1
tersebut dilakukan pada Mtivar yang sudah ada. Di samping itu, dengan metode
tersebut kemunglunan 1010s dari serangan penyakit lebih tinggi dan kehomogenan
tekanan seleksi tidak dapat terjamin. Sedangkan pada klon-klon harapan atau pada awal
program pemuliaan metode tersebut tidak bisa diterapkan.
Metode untuk lebih mengefisienkan clan mempercepat pengujian tingkat
ketahanan terhadap M u m bisa dilakukan pada tahap sernaian Dengan ietode
tersebut biji hasil silangan langsung dapat diuji, sehingga pemulia secara langsung dapat
menyeleksi hasil silangan yang peka dan hanya yang tahan yang dilanjutkan untuk
pengujian tahap berikutnya. Dengan dernikian pemulia tidak menghabiskan waktu,
tenaga dan biaya untuk pemeliharaan populasi hasil silangan yang peka.
Pengembangan metode pengujian pada tahap semaian telah berhasil dilakukan
pads bungs potong yang diperbanyak dengan umbi seperti pada bunga lili (Straathof and

Lofler, 1994). Metode pengujian pada tahap semaian lebih mudah dan juga lebih mudah
dikontrol (Straathof, et al., 1997). Namun dernikian, waktu yang diperlukan untuk
evaluasi penyakit juga masih lama, yaitu dengan mengamati pembusukan anak subang
pada yang dipanen 30 minggu setelah semai.

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK GLADIOL DENGAN
PENANDA RAPD
ABSTRAK

Informasi keragaman genetik antar genotipe sangat penting untuk mendukung program
pemuliaan gladiol tahan fusariurn. Analisis keragaman genetik secara cepat dan mudah
dapat dilakukan dengan RAPD. Penelitian ini bertujuan untuk menduga keragaman
genetik beberapa genotipe gladiol koleksi INLITHI Cipanas. Analisis pengelornpokan
berdasarkan fiagrnen DNA hasil amplifikasi dengan 9 primer yang menghasilkan 120
lokus polimorfik menunjukkan bahwa 16 genotipe gladiol koleksi INLITHI Cipanas
mengelompok menjadi empat kelompok utarna pada tingkat kemiripan 75 %. Kelompok
pertama terdiri dari Yester, Yellow, Queen Occer, 623-1, Dayang Sumbi, Holand Merah
dan Mirella, Rififi, Priscilla dan White Friendship. Kelompok kedua dm ketiga berturutturut Silver Jubille dan Rendesvous. Kelompok keempat terdiri dari HWF8, HWF56,
pH19 dan PH75. Koefisien kemiripan genetik 16 genotipe gladiol koleksi INLITHI
Cipanas berkisar 0,69 - 0,89, namun demikian masih memunglunkan untuk
memanfaatkan koleksi tersebut dalam merakit kultivar baru dengan berbagai
karakteristik bunga.

PENDAHULUAN
Tanaman gladiol (Gladiolus hybridus. Hort) merupakan salah satu komoditas
hortikultursr yang digunakan sebagai bunga potong dan tamman taman. Gladiol
menempati urutan ke empat setelah mawar, krisan dan sedap malam sebagai bunga
potong komersial yang diperdagangkan di pasaran dalam negeri (Abidin dan Harahap,
1991). Di samping itu, gladiol juga mudah dibudidayakan, dapat ditanarn pada lahan
terbuka dan pada luasan lahan yang relatif sempit masih memberikan keuntungan.
Peluang pasar bunga potong gladiol masih besar, terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang dan Denpasar. Daya serap pasar
di Indonesia terhadap bunga potong gladiol mencapai 127.200 tangkai per minggu (BCI
and Nehem, 1989) apalagi pada hari-hari besar sering mencapai 20 - 30 kali dari harihari biasa (Hasyim, 1989). Dengan demikian pengembangan bunga gladiol akan
memacu pertumbuhan ekonomi petani penanam bunga, industri tanaman hias,
pendapatan daerah.

Permintaan bunga potong lalu menghendaki sesuatu yang baru dan lebih
beragam dari segi warna, bentuk, jumlah bunga, kuntum yang susun teratur dan simetris,
tangkai yang panjang, kesegaran yang lama dan mudah pengepakannya (Pratiwi dan
Sarimo, 1989). Kultivar dengan karakteristik bunga sesuai keinginan konsumen menjadi
tantangan bagi pemulia tanaman hias untuk merakit kultivar baru. Dalarn merakit
kultivar, pemulia memerlukan informasi keragaman genetik antar bahan pemuliaan
untuk mernilih tetua yang akan disilangkan (Brown-Guedira et al., 2000).
RAPD (Random Amplrfied Polymorphic DNA) merupakan salah satu penanda
molekuler yang dapat digunakan untuk menduga keragaman genetik antar genotipe

tanaman (Williams et al., 1990). RAPD telah digunakan untuk menganalisis keragaman
genetik dan kekerabatan antar kultivar berbagai jenis tanaman seperti pada Vaccinizm
augustifolium Aiton (Burgher, Jamieson and Ly 2002), bunga aster (Gettys and Werner,
2001), buah plum (Boonprakop, et al., 2001), ape1 (Oraguizie et al., 2001), duku (Song
et a1.,2000), bunga mawar (Debener, Bartels and Mattiesch, 19%), bunga poinsettia
(Jing-Tian, Sawe and Gawel, 1997), pepaya (Stiles et al., 1993) dan sebagainya.
RAPD memiliki beberapa kelebihan karena teknik pengerjaannya sederhana,
relatif murah, cepat, hanya memerlukan sedikit DNA, tidak melibatkan penggunaan
radioaktif, mudah dilakukan. Di samping itu analisis RAPD juga tidak memerlukan
pelacak dan enzim restriksi, dapat dilakukan pada berbagai tahap pertumbuhan tamman
dan tidak mernerlukan inforrnasi sequen DNA sebeluninya (Gallego and Martinez,

1996). Polimorfisme yang dihasilkan RAPD juga lebih tinggi dibandingkan isozim
(Fuentes et al.,1999).
Sampai saat ini, informasi keragaman genetik antar kultivar gladiol pada tingkat
DNA sangat belurn banyak diketahui dan d i p e r k i h keragaman genetik gladiol sangat

-.

luas karena memiliki berbagai variasi warna bunga. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk menduga keragaman genetik beberapa genotipe gladiol koleksi
INLITHI Cipanas pada tingkat DNA dengan menggunakan penanda RAPD.

BAHAN DAN METODE
Materi Tanaman
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari delapan genotipe
gladiol yang telah beradaptasi di Indonesia, empat genotipe introduksi dari Belanda
tahun 1999 dan empat genotipe hasil persilangan yang dilakukan oleh INLITHI Cipanas.
Semua bahan tanam tersebut merupakan koleksi INLITHI Cipanas dengan karakter

bunga dan tingkat ketahanan terhadap fharium yang berbeda-beda (Tabel 1).
Ekstraksi DNA
DNA total diekstraksi dari daun gladiol dengan menggunakan metode Doyle and
Doyle (1987) dengan sedikit modifikasi pada peningkatan konsentrasi

P-

mercaptoethanol dari O,2 % menjadi 2 %. Sebanyak 0,3 g daun muda dimasukkan ke
&lam tabung eppendorf 1,s mL dan dilurnatkan dengan ujung besi yang terbuat dari

stainless steel kemudian ditambahkan 700 pL buffer CTAE3 [ 100 m M Tris-HC1 pH 8,O;
1,4 M NaCI; 20 m M EDTA; 2 % (blv) CTAE3; yang sebelumnya dipanaskan pada suhu
65' C dan 2 % P-mercaptoethanol yang ditambahkan pada s a t melakukan ekstraksi].

Selanjutnya digoyang-goyang dalam shaker selama 30 detik supaya tercampur sempurna
lalu diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65' C selama 30 menit dan sesekali
dibolak-balik secara perlahan supaya buffer tercampur sempurna dengan sampel.
Kemudian campuran tersebut dibiarkan pa& suhu ruang selama beberapa menit untuk
menurunkan suhu.

Tabel 1. Genotipe-genotipe gladiol yang digunakan dalam analisis keragaman genetik

NO. (
11 I

Genotipe

( Warna bunga ( Ketahanan
thd Fusariurn

I

Keterangan

ester

1 Kuning

1-

1 Sudah berdaptasi

Yellow

Kuning

-

Sudah berdaptasi

7

I Queen Occer
1 623-1
I Dayang Sumbi
I

I

--

-

I

I

I

-

Merah

Sudah berdaptasi

Sangat peka

I Mirella

/ Merah

/ Tahan

I Sudah berdaptasi

I

I

I Pink

I

I

I Pink

1 Tahan

I IntmduLsi 1999

1 9 1 Rendez-vous
11

I

I Orange
1 Tahan
( Sudah berdaptasi
I
I Merahhning / Sangat tahan III Introduksi 1999
I Merah
I Agak peka I Sudah berdaptasi

Holand Merah

I Silver Jubille

i

I Agak tahan I Introduksi 1999

I

Priscilla
1

12

Sudah berdaptasi

White Friendship
Mer-g
Merdputih
Merah berbintik

16

1 pH75

Sumber : Badriah (2001)

M e r d kuning

II-

Holand Merah x White Freinship

1 Holand Merah x White Freinship

I

1

I

1

Priscilla x Holand Merah
Priscilla x Holand Merah

J

Untuk memisahkan larutan DNA dengan kotoran lainnya ditambahkan
klorofodisoamilalkohol (24 : 1) sebanyak 700 pL dan digoyang-goyang sampai
terbentuk emulsi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 15.000 rpm selama 15 menit
pada suhu niang. Larutan bagian atas dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung yang
baru kemudian ditambahkan 750 pL isopropanol dingin dan digoyang-goyang secara
perlahan.
Pengendapan DNA dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 15.000 rpm
selama 15 menit pada suhu ruang. Larutan bagian atas dibuang dan pellet dicuci dengan

200 pL ethanol 70 % dengan cara menggoyang-goyang dan disentrifugasi 10.000 rpm
selama 10 menit kemuQan ethanol 70 % dibuang dengan cara dipipet. Endapan DNA
dikeringkan dengan cara membalikkan tabung di atas kertas tisue dan divacurn 10 menit
sampai kering. Endapan DNA dilarutkan dengan 50 pL aquabides dengan cara
digoyang-goyang secara perlahan dan dinkubasi selama 30 menit atau pada suhu 3 7 ' ~
selama satu malam.
Amplifikasi DNA
DNA diamplifikasi dengan menggunakan primer acak (Amersham Pharnacia
Biotech) yang terseleksi pada penelitian sebelumnya (Sutater et al., 2000; Tabel 2).
Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan 25 pL campuran larutan PCR yang
terdiri dari beads (Amersham Pharmacia Biotech), 25 pmol primer (5 pmoVpL), 2 pL

DNA cetakan, dan 18 pL dH2O sampai volume akhir 25. Setiap beads telah
mengandung iimPli~aqmDNA polimerase clan Stoffel flagmen, d N T P s (masingmasing dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP 0,4 mM dalam 25 pL), 2,5 pg bovine serum
albumin (BSA) dan buffer (3 mM MgC12, 30 mM KC1 dan 10 mM Tris, pH 8,3 dalam
25 pL volume reaksi).
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung eppendorf volume 500 pL dan kocok
secara perlahan-lahan supaya semua larutan tercampur sempurna. Minyak mineral
ditarnbahkan ke atas campuran larutan PCR sebanyak 20 pL untuk menghindari
penguapan selama berlangsungnya reaksi.
Tabung berisi campuran larutan PCR dimasukkan ke dalam mesin PCR. Reaksi
amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (Gene Amp PCR System
2400 Perkin-Elmer) dan diprogramkan untuk PCR awal pada suhu 9 5 ' ~selama 5 menit

satu siklus. Dc