Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL
TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN
DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI

AI NURASIAH ZAKIAH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI
DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Kelembagaan
Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu
Daerah Aliran Sungai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Ai Nurasiah Zakiah
NIM: I34090087

ABSTRAK
AI NURASIAH ZAKIAH. Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan
Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai.
Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO.
Perilaku destruktif manusia atas sumberdaya alam khususnya hutan
semakin mencemaskan dalam beberapa tahun belakangan ini. Kasus penebangan
liar dan penyerobotan lahan hutan terus berlangsung, yang menyebabkan
degradasi hutan, erosi, dan berkurangnya debit air. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis secara kritis keberadaan dan peran kelembagaan lokal dalam
pengelolaan hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan
antara peran kelembagaan lokal terhadap perubahan tata guna lahan dan tingkat

kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan
lokal di Desa Citaman telah berperan secara nyata dalam perubahan tata guna
lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan kapasitas kelembagaan
lokal, rendahnya kesadaran masyarakat akan tugas dan fungsi kelembagaan, serta
keterbatasan pembinaan oleh lembaga terkait dianggap menjadi penghambat
jalannya kelembagaan dan terbatasnya peran kelembagaan.
Kata Kunci: kelembagaan lokal, penggunaan lahan, dan tingkat kesejahteraan
masyarakat

ABSTRACT
AI NURASIAH ZAKIAH. The Role of Local Institutions on Land Use and the
Welfare of society in the Upstram Watershed. Supervised by MARTUA
SIHALOHO.
Destructive people’s behavior toward natural resources has led to critical
issues of natural resources management, especially in the last few years, where
the new goverment are continues reform and local autonomy taking places. Cases
of illegal logging and forest encoarchment are continues and these have led to
seriour forest degradation, forest land errotion, and even significance decrease of
springs and water supply. The aims of this study are to critically analyse the
existance of local institutions, to analyze the profile and the roles of local

institutions in forest management. The purposeof this studyare to analyzethe
relationship between the role of local institutions to changes in land use and the
level of social welfare. Results of this study indicate that local institutional
Citaman village had significantly instrumental in the change of land use and the
level of social welfare. Lack of local institutions’ capacity, lack of awareness of
the duties and functions of institutions, and lack of goverment support and
supervision considered to be a inhibit the progress of institutions and lack of local
institutions.
Keywords: local institutions, land use, and the welfare of society

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL
TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN
DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI

AI NURASIAH ZAKIAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI
DAN PENGEMBANGANMASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

JudulSkripsi

Nama
NIM

: Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran
Sungai
: Ai Nurasiah Zakiah
: I34090087

Disetujui oleh,


Martua Sihaloho, SP, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: ________________

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat
rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran
Kelembagaan Lokal Terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan
Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran kelembagaan lokal
terhadap penggunaan lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta perubahan
tata guna lahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Bachrani selaku ketua kelompok tani hutan Karya Muda II, dan kepada seluruh
masyarakat Desa Citaman yang telah banyak membantu dalam pengambilan data
dan informasi di lokasi penelitian. Terimakasih dan hormat yang mendalam
kepada MartuaSihaloho, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, masukan, saran, dan sabar membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Orang tua tercinta Achmad Rosyidin dan Ibunda Iis
Badriyah, serta kakak-kakak tersayang, Nunung Sayidah dan Asep Hidayat yang
selalu sabar memberi doa, dukungan, semangat, materi dan semua
pengorbanannya dengan penuh ikhlas kepada penulis. Sahabat-sahabat terbaik
SKPM dan HIMASIERA, khusunya Ajeng Intan, Arif Rachman, Hamdani
Pramono, Elbi Yudha Pratama, Indra Setiayadi, Bahari Ilmawan, Oki Wanna
Rijky, dan Adia Yuniarti, serta banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per
satu. Sahabat yang tiada henti memberikan dukungan Cindy Lukitasari, Dessy
Emalia, Trini Nuresa, dan Dessy Ratna Cempaka. Cokorda Agung Wibowo, yang
selalu memotivasi, mendukung dan mendengarkan keluh kesah penulis. Teman
satu bimbingan dan sahabat terbaik Dian Nurdianti, untuk masukan, saran,
candaan, dan kebersamaan dalam mengerjakan skripsi sehingga kita bisa bersamasama menyelesaikan dengan lancar. Keluarga besar PSAA Fajar Harapan, Ir. H
Srijanto Prono, H. Emo Sudarmo, Bapak Dahrur Charori,dan Drs. Sumpeno yang
telah mendidik dan membesarkan penulis, serta mendengarkan curahan dan

pengaduan penulis. Ibu Maryati Nasution (Alm), Bpk Budiman, Bpk Ahmad
Saubari, dan alumni IPB angkatan 1959 yang telah menjadi donatur bagi penulis
selama studi di IPB.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya,
dan bagi para pembaca pada umumnya.

Bogor, Mei 2013

Ai Nurasiah Zakiah
I34090087

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Konsep Kelembagaan Lokal
Peran Kelembagaan Lokal
Tata Guna Lahan “Penggunaan dan Penguasaan Lahan”
Penggunaan Lahan
Penguasaan dan Pemilikan Lahan
Konsep Kesejahteraan Masyarakat
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Metodologi Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi geografi
Iklim
Hidrologi
Penggunaan Lahan
Kondisi Demografi
Kondisi Sosial Ekonomi
Agama
Ketersediaan Fasilitas Umum
Pranata Sosial, Budaya, dan Adat Istiadat
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL, PERUBAHAN TATA
GUNA LAHAN, DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI
Aspek Kesejarahan Kelembagaan Lokal di Desa Citaman
Karakteristik Umum Kelembagaan Lokal di Desa Citaman
Peran Kelembagaan Lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Terbatasnya Peran
Kelembagaan Lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman
Eksistensi Kelembagaan Lokal di Desa Citaman


Halaman
i
ii
v
vi
1
1
3
3
3
5
5
5
6
6
8
10
11
13
14

14
17
17
17
17
20
21
21
21
22
22
23
23
24
24
24
27

27
28
31
35
36

ii

Perubahan Tata Guna Lahan Masyarakat Desa Citaman
Sejarah Akses Penggunaan Lahan di Desa Citaman
Ragam Struktur Agraria “Pemilikan dan Penguasaan Lahan” di
Desa Citaman
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Desa Citaman
Kepemilikan Lahan
Kemampuan Membayar Buruh
Kemampuan Menyekolahkan Anak
Kemampuan Akses Kesehatan
Keterlibatan pada Organisasi/Kelembagaan Lokal
Tingkat Kepemilikan Aset
Kondisi Tempat Tinggal Responden
Kepemilikan Kendaraan
Kepemilikan Barang Elektronik
Kepemilikan Hewan Ternak
Kepemilikan Tabungan
Tingkat Pendapatan
HUBUNGAN PERAN KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP
PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN TINGKAT
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI HULU DAERAH
ALIRAN SUNGAI
Hubungan Peran Kelembagaan Lokal terhadap Perubahan Tata
Guna Lahan
Hubungan Peran Kelembagaan Lokal terhadap Perubahan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Hubungan Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Perubahan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

38
39
44
45
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
59

60
60
61
63
64

iii

DAFTAR TABEL
No.
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12

Tabel 13

Tabel 14
Tabel 15

Tabel 16

Tabel 17

Tabel 18

Tabel 19

Halaman
Focus Group Discussion (FGD), Jenis data serta sumber
data dan informasi di Desa Citaman
Wawancara responden dan jenis informasi yang dicari
Luas penggunaan lahan Desa Citaman tahun 2012
Jumlah penduduk Desa Citaman menurut kelompok umur
tahun 2012
Komposisi penduduk Desa Citaman berdasarkan mata
pencaharian tahun 2012
Sejarah kelembagaan lokal di Desa Citaman
Karakteristik umum kelembagaan yang teridentifikasi di
Desa Citaman
Peran kelembagaan lokal KTH Karya Muda II di hulu
daerah aliran sungai (DAS) di Desa Citaman
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terbatasnya
peran kelembagaan lokal di Desa Citaman
Faktor penyebab dan wujud nyata eksistensi kelembagaan
lokal di Desa Citaman 2013
Akses dan penggunaan lahan di Desa Citaman
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan SPPT sebelum dan sesudah adanya KTH
Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan
tata guna lahan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya
Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan pemilikan
dan pola penguasaan lahan di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya KTH
Karya Muda II di Desa Citaman di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kemampuan membayar buruh sebelum dan sesudah
adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kemampuan menyekolahkan anak sebelum dan sesudah
adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kemampuan akses kesehatan sebelum dan sesudah
adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
keterlibatan dalam kelembagaan lokal sebelum dan
sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman
2013

18
19
22
23
23
27
30
31
35
36
39
40

41

44
45

46

47

48

49

iv

Tabel 20

Tabel 21

Tabel 22

Tabel 23

Tabel 24

Tabel 25

Tabel26
Tabel 27
Tabel 28
Tabel 29

Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan tempat tinggal sebelum dan sesudah adanya
KTH Karya Muda II tahun 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan kendaraan sebelum dan sesudah adanya
KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah
adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan hewan ternak sebelum dan sesudah adanya
KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan
kepemilikan tabungan sebelum dan sesudah adanya KTH
Karya Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat
pendapatan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya
Muda II di Desa Citaman 2013
Jumlah pendapatan masyarakat dari hasil tani on farm
untuk luas tanah 1 hektar
Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan
perubahan tata guna lahan
Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat
Hubungan antara tata guna lahan
dan tingkat
kesejahteraan masyarakat

51

52

53

54

55

56

57
60
60
61

v

DAFTAR GAMBAR
No.
Gambar 1
Gambar 2

Lingkup hubungan-hubungan agraria
Kerangka berpikir

Halaman
9
13

DAFTAR LAMPIRAN
No
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8

Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013
Sketsa Desa Citaman, Kecamatan Ciomas,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten
Sketsa lokasi lahan milik kelompok tani hutan
Karya Muda II
Kerangka sampling rumah tangga anggota
KTH Karya Muda II
Kerangka sampling rumah tangga non anggota
KTH Karya Muda II
Hasil uji korelasi Rank Spearman
Dokumentasi dan penghargaan yang diperoleh
oleh KTH Karya Muda II
Dokumentasi penelitian

Halaman
68
69
70
71
72
75
78
80

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian besar
bermata pencaharian di bidang pertanian (agraris) baik sebagai pemilik tanah,
petani penggarap tanah, maupun sebagai buruh tani. Tanah atau sumberdaya
lainnya pada suatu masyarakat agraris merupakan faktor produksi yang
mempunyai arti penting baik menyangkut aspek sosiologi, ekonomi, maupun
aspek politik. Menurut Tjondronegoro (1998), tanah yang menjadi aset utama bagi
rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber
kehidupan utamanya. Sumberdaya tanah bersifat multifungsi dalam aktifitas
kehidupan manusia di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun nonpertanian. Di bidang pertanian, tanah digunakan sebagai lahan untuk berusaha tani
sehingga dapat menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan. Sedangkan di bidang non-pertanian tanah digunakan sebagai tempat
pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.
Manusia merupakan komponen daerah aliran sungai (DAS) yang memegang
peranan penting dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Pertumbuhan dan
perkembangan penduduk yang cukup pesat serta aktivitas masyarakat yang
semakin beragam menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan
sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi
sumberdaya alam secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan
atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh
manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat
permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan
tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan,
maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat
permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat
sementara (Kivell 1993).
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayah
DAS Cidanau berupa pencurian kayu/penebangan liar, perambahan lahan yang
dijadikan lahan budidaya pertanian berupa sawah dan kebun. Cagar Alam Rawa
Danau kini menjadi pusat utama perhatian pemerintah khususnya Badan
Pengelola DAS (BPDAS) Cidanau sejak terjadinya euphoria reformasi tahun
1998. Perambahan terjadi kembali dalam jumlah cukup banyak, penduduk yang
ditransmigrasikan ada yang kembali menggarap lahan Cagar Alam Rawa Danau.
Hasil identifikasi tahun 2004 dari luas 2 500 ha telah dirambah untuk lahan
pertanian berupa sawah dan kebun sekitar 845 ha atau 1/3 luas kawasan.
Penggarap tercatat 1.497 orang dengan luas garapan masing-masing 500 m2 – 5
000 m2. Menurut data statistik, masyarakat di wilayah DAS Cidanau secara umum
bermata pencaharian sebagi petani (36%) dengan luas lahan mencapai 75% dan
kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk pertanian rata-rata
dibawah 1 ha dan luas pemilikan lahan terbanyak rata-rata antara 0.20-0.50 ha.
Penggunaan lahannya lebih banyak berupa lahan sawah dan irigasi, baik teknis
maupun non teknis seluas 5 193.35 ha, tanah tegalan yang ditanami sawah tadah
hujan seluas 1 235 ha dan berupa kebun rakyat seluas 3 309 ha, sedangkan luas

2

penggunaan untuk sawah adalah 4 359.15 ha. Pertanian merupakan salah satu
mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ciomas. Luas lahan kritis di
Kecamatan Ciomas mencapai 592.88 ha.
Pemanfaatan sumberdaya lahan belum menerapkan prinsip prioritas antara
hulu-tengah, dan hilir. Masyarakat yang berada pada setiap bagian DAS tetap
mengelola lahan berdasarkan pengalamannya dalam berkebun dan bertani. Tidak
ada batasan atau prioritas pengelolaan untuk daerah hulu, tengah, dan hilir.
Sebagai akibatnya dan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka
intensitas pengelolaan dan pemanfaatan semakin meningkat. Ketika masyarakat
tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan
yang mereka miliki, maka situasi ini kemudian mendorong mereka melakukan
konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa kebun
campuran, sawah, dan lahan kering.
Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin
parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama
melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Membentuk gerakan masyarakat
tersebut dibutuhkan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi dan koordinasi
dalam mengelola DAS. Prinsipnya kelembagaan DAS dibentuk atas kesadaran
dan kebutuhan masyarakat sekitar DAS untuk melaksanakan pengelolaan DAS
yang lebih baik sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang timbul
seperti konflik kepentingan antar sektor dan antar pemerintah daerah yang
menyebabkan degradasi DAS. Pembentukan kelembagaan DAS harus didasarkan
pada komitmen bersama dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS agar
terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara pemangku
kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak dapat
memperoleh manfaat, peran, tanggungjawab, dan membangun komitmen untuk
mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
melestarikan ekosistem DAS (Dephut 2003 b). Upaya penyelamatan hulu DAS
tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kelembagaan yang terdapat di
daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga pelestarian lingkungan, fungsi, dan
kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir.
Desa Citaman, Kecamatan Ciomas merupakan salah satu desa di kawasan
Cagar Alam Rawa Danau sebagai kawasan endemik situs konservasi rawa
pegunungan satu-satunya tersisa di Pulau Jawa. Tetapi, proses pembiaran dan
salah urus menyebabkan hampir sepertiganya diduduki oleh petani lapar tanah
sebagai akibat ketimpangan struktur agraria di kawasan tersebut. Guna
mengetahui gambaran bagaimana realitas sosial di lokasi, perlu diteliti mengenai
perubahan tata guna lahan (penggunaan, penguasaan, dan pemilikan lahan).
Penelitian diharapkan dapat dihasilkan pemikiran yang mendalam mengenai
masalah tata guna lahan yang sedang terjadi khususnya di Desa Citaman DAS
Cidanau. Berdasarkan hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan
dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai”.

3

Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di bagian latar belakang di atas,
maka peneliti merumuskan masalah sebagi berikut:
1. Sejauhmana kelembagaan lokal di hulu DAS berperan dalam perubahan tata
guna lahan masyarakat?
2. Sejauhmana kelembagaan lokal di hulu DAS berperan dalam tingkat
kesejahteraan masyarakat?
3. Sejauhmana perubahan tata guna lahan berperan dalam tingkat kesejahteraan
masyarakat?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis peran kelembagaan lokal di hulu DAS dalam perubahan tata
guna lahan masyarakat.
2. Menganalisis peran kelembagaan lokal di hulu DAS dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
3. Menganalisis peran perubahan tata guna lahan
dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi maupun
non akademisi. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya, serta dapat menambah khasanah
dalam kajian ilmu pengetahuan agraria. Bagi non akademisi seperti pemerintah,
swasta maupun masyarakat, dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banten dan Desa Citaman, Kecamatan
Ciomas pada khususnya.

4

5

PENDEKATAN TEORITIS
Konsep Kelembagaan Lokal
Lembaga berasal dari kata institute lebih menunjuk kepada suatu “badan”
seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai bentuk organisasi
yang memiliki beragam tujuan (Nasdian 2003). Kelembagaan sosial merupakan
terjemahan dari istilah social institution. Koentjaraningrat (1964) menyebut
kelembagaan sosial sebagai pranata sosial, yaitu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi, yang dimaksud
dengan kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau
sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai
yang penting.
Kelembagaan atau yang hidup dalam suatu masyarakat dapat dianalisis
dalam dua perspektif. Perspektif pertama, kelembagaan sebagai nilai, norma,
aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai
institusi/organisasi atau struktur (Durkheim 1964). Kelembagaan sebagai nilai,
norma, dan aturan main menurut Scott (2008) memberikan kedamaian bagi
kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial. Dalam analisis Scott (1989)
keberadaan kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai
“asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah
kehidupan. Sehingga, ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan
ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di
pedesaan.
Peran Kelembagaan Lokal
Peran kelembagaan lokal yaitu pemerintah lokal/desa dan lembaga
kemasyarakatan lokal, di pandang sebagai suatu proses dari tata kelola pemerintah
yang baik. Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku,
dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, budaya komunitas, fungsionalitas, dan intensitas
interaksinya dengan supra lokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong
oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Kelembagaan
lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan
karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan
komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakatnya (Hidayat 2011).
Dimensi kelembagaan dikemukakan oleh Uphoff (1986) mengidentifikasi
kelembagaan secara hirarkis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso, dan
kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah
kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik,
partisipatori, maupun swasta. Dalam analisis Uphoff (1986), kelembagaan lokal
jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa. Pada
kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan
pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada
kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh

6

dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff,
kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu
wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri, dan
kelembagaan bisnis lainnya yang berorientasi profit.
Fungsi kelembagaan sosial Doorn dan Lammers (1964) dalam Nasdian
(2003):
1. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah masalah dalam
masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka
kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.
3. Memberi pegangan kepada masyarakat mengadakan kontrol sosial: artinya
sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.
4. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.
Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan
kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan
kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut
memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik.
Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan
lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah satu kelembagaan lokal
yang bersifat partisipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan
adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini
ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia.
Budi (1999) mengemukakan bahwa peran kelembagaan lokal baik pada
organisasi pemerintah lokal maupun pada organsiasi kemasyarakatan lokal secara
positif akan teraktualisasikan dalam penerapan prinsip-prinsip, meliputi prinsip
akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen.
Penggunaan Lahan
Notohadikusumo (2005) mengemukakan bahwa lahan adalah jabaran
operasional kawasan. Lahan mengandung sejumlah ekosistem dan sekaligus juga
menjadi bagian dari ekosistem-ekosistem yang dikandungnya. Menurut Utomo et
al. (1992), lahan memiliki ciri yang unik dibanding sumberdaya lainnya, yakni
lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan
dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan.
Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan
menurut Jayadinata (1999) adalah penggunaan lahan itu sendiri. Tata guna lahan
tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai
penggunaan permukaan bumu di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna
lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil, air, dan iklim)
serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan terdapat dua unsur penting,
antara lain:

7

1. Tata guna lahan yang berarti penataan/pengaturan penggunaan (merujuk
kepada sumberdaya manusia).
2. Lahan (merupakan sumberdaya alam) yang berarti ruang permukaan lahan
serta lapisan bantuan dibawahnya dan lapisan udara diatasnya, serta
memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain seperti air, iklim, tubuh lahan,
hewan, vegetasi, dan mineral.
Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah berbeda
tergantung struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi
fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan tergantung
kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat
membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain
kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran
akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan penataan/pengaturan estetika.
Chapin (1995) dalam Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat
dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.
2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
3. Nilai sosial, merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh
penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi dan
kepercayaan.
Utomo et al. (1992) menjelaskan bahwa penggolongan lahan dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti
kesuburan, kandungan mineral atau terdapat endapan bahan galian
dipermukaannya.
2. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang
pembangunan, tidak memanfaatkan potensi alamnya tetapi lebih ditentukan
oleh hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang
telah ada, diantaranya kegiatan prasarana dan fasilitas umum.
Utomo et al. (1992) menjelaskan tentang faktor–faktor yang menentukan
karakteristik penggunaan lahan, antara lain:
1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan dengan peruntukan lahan
bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup
penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana
dan prasarana kehidupan, seperti sumber ekonomi, akses transportasi, akses
layanan kesehatan, dan rekreasi.
2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh
mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian,
pengairan, industri, penambangan, transmigrasi, perhubungan, dan pariwisata.
3. Faktor penggunaan teknologi; faktor ini dapat mempercepat alih fungsi lahan
ketika penggunaan teknologi tersebut menurunkan potensi lahan. Misalnya
penggunaan pestisida dengan dosis yang terlalu tinggi di suatu kawasan dapat
menyebabkan kerusakan lahan sehingga perlu untuk dialih fungsi.

8

4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang
diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi jalannya sistem kehidupan
masyarakat dan lingkungannya.
Perubahan penggunaan lahan atau disebut dengan alih fungsi lahan sebagai
perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri (Utomo
et al. 1992). Faktor penyebab alih fungsi yang bersifat langsung dipengaruhi oleh
pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman
dan sebaran lahan sawah. Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung,
seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan dan perubahan
struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan
pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus
urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota
(Pakhpahan 1993).
Konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena
pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung.
Begitu pula selama jumlah penduduk terus meningkat maka konversi lahan
pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan 1997).
Penguasaan dan Pemilikan lahan
Aspek penggunaan lahan seperti yang dikutip oleh Syahyuti (2005) tertuang
dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Secara konseptual agraria terdiri dari dua aspek
utama yang berbeda yaitu aspek „penguasaan dan pemilikan‟ dan „aspek
penggunaan dan pemanfaatan‟. Aspek penguasaan dan pemilikan berkenaan
dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, aspek penggunaan dan
pemanfaatan membicarakan bagiaman lahan dan sumberdaya alam lainnya
digunakan sebagai sumberdaya ekonomi.
Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa Latin
Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal dari kata
“ager”, yang artinya “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”. Suatu bentangan
“lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah” yang terdiri dari aneka unsur yang
meliputi tanah, air, hutan, bahan mineral/tambang, dan udara. Sitorus (2002) juga
menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari
sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang
mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial
yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur,
yaitu obyek agraria atau sering disebut sebagai sumber-sumber agraria dan subyek
agraria.
Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) UUPA 1960, Sitorus (2002)
menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (1) tanah atau permukaan
bumi yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan
peternakan; (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan
perikanan (sungai, danau maupun laut); (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan
fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam
kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (4) bahan tambang, mencakup beragam

9

bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam tubuh bumi; dan (5) udara,
dalam arti ruang di atas bumi dan air.
Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai
representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut
adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution).
Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih
spesifik dimensi kerja. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti
sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan
agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi
terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga
kategori subyek agraria (Sitorus 2002) (Gambar 1).
Komunitas

Sumber-sumber
agraria

Swasta

Pemerintah

Keterangan :
Hubungan teknis agraria (kerja)
Hubungan sosial agraria
Gambar 1 Lingkup Hubungan-hubungan Agraria
(Sumber: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70
Tahun Gunawan Wiradi)
Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling
berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara kepemilikan, dan
penguasaan lahan perlu dibedakan. Kata “pemilikan” menunjuk pada penguasaan
formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang
atas tanah, yaitu hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya
dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut
menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja
melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh
hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain
sebagainya. Sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif.
Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah
yang secara efektif menguasainya. Kata pengusahaan/pemanfaatan nampaknya
cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah
diusahakan secara produktif.

10

Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena
memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa,
sakap, gadai, dan sebagainya. Pemilik lahan luas biasanya tidak selalu
menggarapnya sendiri. Sebaliknya pemilik tanah sempit dapat pula menggarap
tanah orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya
sendiri. Wiradi (1984) mengemukakan bahwa terdapat lima pengelompokkan
penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) pemilik penggarap
murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) penyewa
dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi
mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) pemilik penyewa
dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya
sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) pemilik bukan penggarap; dan
(5) tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan
garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani, dan hanya
sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani.
Fenomena pemilikan lahan terkait erat dengan pertumbuhan penduduk.
Makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, sejalan dengan
pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin
bertambah (tunakisma). Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini
memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan
lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh
tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja (Rusli 1995).
Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa pola penguasaan lahan dapat
diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana lahan tersebut diakses oleh
orang lain. Menurutnya, penguasaan dapat dibagi dua yaitu: (1) pertama, pemilik
sekaligus penggarap. Pemilik penggarap umunya dilakukan oleh petani berlahan
sempit, karena ketergantungan ekonomi dan kebutuhan akan rumahtangga maka
pemilik sekaligus menggarap lahannya dengan menggunakan tenaga kerja dan
atau memanfaatkan buruh tani; (2) kedua, pemilik yang mempercayakan kepada
penggarap. Seperti ungkapan Scheltema (1985) yang dikutip oleh Sihaloho
(2004), pola ini merupakan pola yang khas terjadi di Indonesia sejak tahun 1931
dan telah ditemukan di 19 daerah hukum adat. Hal ini menunjukkan ketimpangan
struktur agraria telah terjadi sejak lama dan sistem bagi hasil dan atau sewa
menjadi solusi ketimpangan ini khususnya dalam hal penguasaan dan atau akses
terhadap lahan.
Konsep Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif,
tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan
itu sendiri. Suharto (2006) mensintesiskan bahwa sedikitnya ada empat makna
yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut:
1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada
istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala
kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,

11

kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang
mengancam kehidupannya.
2. Sebagai pelayanan sosial. Yakni mencakup jaminan sosial, pelayanan
kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pelayanan sosial personal.
3. Sebagai tunjangan sosial.
4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembagalembaga sosial, masyarakat, maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian
pelayanan sosial (pengertian ke-dua), dan tunjangan sosial (pengertian ke-tiga).
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga
suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek
tertentu. Menurut BPS (2006), indikator kesejahteraan yaitu:
1. Kependudukan
Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi
penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses
pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan
nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja
mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitik
beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu,
program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat
prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
2. Kesehatan dan gizi
Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang
dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator
utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting
lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status
kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek
sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor
kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak
Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal
tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai
suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin
sejahtera.
4. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk
mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga
dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
5. Taraf dan pola konsumsi
Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk
mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau
berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah
bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk.

12

Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan
memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data
pengeluaran dapat juga diungkapakan tentang pola konsumsi rumah tangga
secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk
makanan dan bukan makanan.
6. Perumahan dan lingkungan
Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi
pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin
sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas
yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat
dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar
rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).
7. Sosial dan budaya
Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan
mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang
mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata, akses
pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan
radio, dan membaca surat kabar.
Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang
diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun
tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang relatif karena
tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi
pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakikatnya bukan hanya sesuatu yang
mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan
tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.
Menurut Yosep seperti yang dikutip Maharani (2006), kesejahteraan itu
bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil, misalnya
keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki
bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap
kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan
tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.
Yusuf et al. (2009) melihat indikator atau ukuran kesejahteraan petani
secara partisipatif di dua desa yang menjadi lokasi penelitiannya, yaitu Desa
Dangiang dan Desa Sukatani. Berdasarkan hasil kajian kesejahteraan warga secara
partisipatif (participatory poverty assesment/PPA) di Desa Dangiang terdapat tiga
lapisan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, yaitu golongan mampu,
sedang, dan tidak mampu. Indikator atau ukuran kesejahteraan petani sangat
ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah, kemampuan
akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal, serta kemampuan
membayar tenaga buruh upahan. Sedangkan di Desa Sukatani, indikator
kesejahteraan petani juga sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, selain
itu juga sumber tenaga kerja, jenis bangunan rumah, kemampuan akses terhadap
fasilitas kesehatan, dan kemampuan untuk menyumbang dalam kegiatan sosialkeagamaan.

13

Kerangka Pemikiran
Masyarakat yang berada pada setiap bagian DAS tetap mengelola lahan
berdasarkan pengalamannya dalam berkebun dan bertani. Tidak ada batasan atau
prioritas pengelolaan untuk daerah hulu, tengah, dan hilir. Akibatnya dan seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan dan
pemanfaatan semakin meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, situasi ini
mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan budidaya
pertanian, baik berupa kebun campuran, sawah, dan lahan kering.Salah satu
langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan
membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga
ekosistem DAS. Kelembagaan lokal yang dibutuhkan adalah organisasi baik
organisasi pemerinah lokal maupun organisasi kemasyarakatan lokal yang
memiliki komitmen akan keberpihakan untuk membantu dalam mengatasi
berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat, dan memiliki tanggungjawab
sosial dalam mengelola perubahan. Peran kelembagaan lokal yang ada di Desa
Citaman berpengaruh terhadap perubahan tata guna lahan. Hal ini tentu saja akan
berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat di desa tersebut. Secara ringkas
alur pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Peran
Kelembagaan
Lokal

Akuntabilitas
Transparansi
Partisipasi
Daya tanggap
Komitmen

Perubahan
Tata Guna Lahan

Penggunaan Lahan:
Pertanian:
Lahan basah
Perkebunan
Tegalan
Non Pertanian:
Lahan domestik

Keterangan :
: Berhubungan
Gambar 2 Kerangka berpikir

Tingkat
Kesejahteraan
masyarakat
Penggarapan lahan
Tingkat partisipasi
sekolah
Kemampuan akses
kesehatan
Keterlibatanpada
organisasi tani
lokal
Kemampuan
membayar tenaga
buruh upahan.
Kepemilikan ase
Tingkat
pendapatan

14

Hipotesis Penelitian
Hipotesis Penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Peran kelembagaan lokal di hulu DAS berhubungan dengan perubahan tata
guna lahan masyarakat.
2. Peran kelembagaan lokal di hulu DAS berhubungan
dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
3. Diduga perubahan tata guna lahan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Definisi Operasioanl
1. Peran organisasi kemasyarakatan/kelembagaan lokal adalah persepsi
masyarakat tentang keberadaan organisasi kemasyarakatan/kelembagaan lokal
dalam mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria berdasarkan
prinsip-prinsip berikut:
a. Akuntabilitas adalah persepsi responden tentang tanggung jawab
kelembagaan lokal dalam melakukan kegiatan kelompok.
b. Transparansi adalah persepsi responden tentang kebebasan arus informasi,
kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi setiap kebijakan,
program, dan kegiatan pemberdayaan.
c. Partisipasi adalah persepsi responden tentang peran organisasi masyarakat
dalam melibatkan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik
dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili
kepentingannya dalam kegiatan kelembagaan.
d. Daya tanggap adalah persepsi responden tentang ketercapaian daya tanggap
organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan kelembagaan.
e. Komitmen adalah persepsi responden tentang tanggung jawab kelembagaan
lokal dalam melakukan kegiatan kelembagaan untuk meningkatkan
kesejahteraan, tata kelola yang baik, dan berdampak pada keberlanjutan
kelembagaan.
Terdapat lima pertanyaan untuk setiap variabel dalam konsep peran
kelembagaan. Nilai terhadap jawaban responden adalah, 4 untuk sangat setuju,
3 (setuju), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat tidak setuju). Dapat dikategorikan
menjadi:
1. Peran kelembagaan lokal rendah jika skor 25 - < 49.
2. Peran kelembagaan lokal sedang jika skor 50 - < 75.
3. Peran kelembagaan lokal tinggi jika skor 76 - 100.
2. Tata Guna Lahan
Penggunaan Lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan)
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikategorikan menjadi tiga:
a. Rendah: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi kebun, diberi
skor 1.
b. Sedang: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi kebun
campuran, diberi skor 2.
c. Tinggi: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi talun, diberi
skor 3.

15

3.Tingkat kesejahteraan adalah tingkat kualitas hidup masyarakat berdasarkan
pandangan masyarakat itu sendiri. Tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini
terdiri dari: luas kepemilikan lahan, kemampuan menyekolahkan anak,
kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal,
kemampuan membayar tenaga buruh upahan, tingakt pendapatan, dan
kepemilikan aset.
a. Luas penggarapan lahan, luas lahan yang dimiliki dan digunakan oleh
masyarakat untuk lahan pertanian yang menjadi kebutuhan utama
masyarakat.
1. Tinggi: luas lahan < 0.24 hektar, diberi skor 1.
2. Sedang : luas lahan 0.25-0.99 hektar, diberi skor 2.
3. Rendah: luas lahan > 1 hektar, diberi skor 3.
b. Kemampuan membayar tenaga buruh upahan, kemampuan pemilik lahan
untuk menggunakan tenaga buruh.
1. Rendah: menggarap dan mengelola lahannya sendiri hanya dibantu oleh
anak dan istri tanpa mengeluarkan biaya/upah kerja, diberi skor 1.
2. Sedang: menggarap dan mengelola lahannya dibantu oleh saudara atau
tetangga yang mengeluarkan biaya/upah kerja, namun upahnya tidak
penuh (saling membantu), diberi skor 2.
3. Tinggi: menggarap dan mengelola lahannya sepenuhnya menggunakan
buruh dan mengeluarkan biaya/upah kerja, diberi skor 3.
b.Tingkat partisipasi sekolah, kemampuan untuk menyekolahkan anak.
1. Rendah: mampu menyekolahkan anak sampai tamat SD, diberi skor 1.
2. Sedang : mampu menyekolahkan anak sampai tamat SMP, diberi skor 2.
3. Tinggi: mampu menyekolahkan anak sampai bangku SMA dan Perguruan
tinggi, diberi skor 3.
c. Kemampuan akses kesehatan, kemampuan masyarakat untuk mengakses
kesehatannya.
1.Rendah: mampu mengakses kesehatan ke orang pintar atau dukun
setempat, diberi skor 1.
2. Sedang: mampu mengakses kesehatan ke puskesmas, diberi skor 2.
3. Tinggi: mampu mengakses kesehatan ke rumah sakit, diberi skor 3
d. Keterlibatan pada kelembagaan tani lokal, posisi dan peran masyarakat
dalam kelembagaan.
1. Rendah: masyarakat yang tidak menjadi anggota