Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat

1

ETNOBOTANI PANGAN SUKU MATBAT DI PULAU MISOOL
KABUPATEN RAJA AMPAT PAPUA BARAT

HABIBA MACAP

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Pangan
Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Habiba Macap
NIM E34090129

3

ABSTRAK
HABIBA MACAP. Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten
Raja Ampat Papua Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A.M.
ZUHUD.
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki
pengetahuan tentang tumbuhan pangan yang berbeda-beda. Namun dokumentasi
mengenai pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pangan belum banyak
dilakukan. Pendokumentasian tersebut dapat dilakukan melalui kajian etnobotani.

Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan
pangan yang dimanfaatkan oleh Suku Matbat. Penelitian ini dilaksanakan di
Kampung Tomolol, pulau Misool Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada bulan
Agustus-September 2012. Pengumpulan data penelitian yaitu observasi lapang dan
wawancara dengan metode purposive sampling. Berdasarkan hasil penelitian,
tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh suku ini sebanyak 63 spesies dari 33
famili dengan dominasi dari famili Arecaeae. Tumbuhan tersebut banyak ditemui
di pekarangan kemudian kebun serta 11 jenis yang ditemukan liar di hutan dataran
rendah. Pada suku ini masih ditemui sistim pertanian nomaden dengan model
kebun agroforestri tradisonal. Kearifan tradisional yang teridentikasi yaitu
semacam larangan atau moratorium dalam pemanfaatan tumbuhan yang disebut
sasi.
Kata Kunci: etnobotani, suku Matbat, tumbuhan pangan

ABSTRACT
HABIBA MACAP. Food Ethnobotany of Matbat Ethnic in Misool Island of Raja
Ampat West Papua. Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL A.M.
ZUHUD.
Indonesia community consists of various ethnic groups who have different
knowledge of food plants. However, there is documentation about knowledge and

utilization of food plants. The documentation can be done through ethnobotanical
study. Purpose of the research was to identify the diversity of the used of food
plants by the matbat ethnic. The research was conducted in Tomolol village,
Misool islands of Raja Ampat, West Papua, on August-September 2012. The data
was collected through observation and interview using purposive sampling method.
Based on this research, the ethnic used 63 species of 33 families was the food
plants with a predominance of family Arecaceae. The plants were mostly found in
the yard and garden, and there were 11 species found wild in lowland forests.
People In this ethnic still found nomadic farming system model with traditional
agroforestry gardens. Traditional knowledge identified the forbiddean or
moratorium the used of plants called “sasi”.
Keywords: ethnobotany, food plants, matbat ethnic

4

ETNOBOTANI PANGAN SUKU MATBAT DI PULAU MISOOL
KABUPATEN RAJA AMPAT PAPUA BARAT

HABIBA MACAP


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

5

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Etnobotani Pangan Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten
Raja Ampat Papua Barat
: Habiba Macap

: E34090129

Disetujui oleh

Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF
Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

6

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Etnobotani Pangan
Suku Matbat di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat Papua Barat”. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Agustus-September 2012.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF dan
Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS selaku pembimbing. Terimakasih kepada
Bapak Toyib Macap, A.md dan Bapak Kepala Desa Kampung Tomolol yang telah
banyak membantu dalam penelitian ini. Terimakasih juga kepada Bapak dan
Mama beserta keluarga atas doa, motivasi dan kasih sayangnya.

Bogor, Juli 2013

Habiba Macap

7

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


Manfaat Penelitian

1

METODE

2

Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Bahan

2

Objek Penelitian

3


Jenis Data yang Dikumpulkan

3

Metode Pengumpulan Data

4

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian

5
5

Karakteristik Responden


10

Tumbuhan Pangan

12

Cara Pengolahan

20

Pola Konsumsi Masyarakat

22

Kedaulatan Pangan Masyarakat Suku Matbat

22

Kearifan Tradisional Sasi Suku Matbat


23

SIMPULAN DAN SARAN

24

Simpulan

24

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

34

8

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis dan metode pengumpulan data
Keanekaragaman famili
Persentase tumbuhan berdasarkan tipe habitat
Daftar spesies tumbuhan pangan yang ditemukan liar dan semi budidaya
Jumlah spesies dan persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan
Persentase tumbuhan pangan berdasarkan habitusnya
Tumbuhan sumber karbohidrat selain sagu
Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat

2
13
14
16
17
17
18
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Lokasi penelitian
Tombak berburu yang terbuat dari kayu, parang dan kapak
Alat angkut/noken dan peralatan membuat api
Peralatan rumah tangga
Sketsa Kampung Tomolol/tata guna lahan Kampung Tomolol
Kelompok umur responden
Anak-anak yang ikut membantu memanen hasil kebun
Persentase jenis kelamin
Perempuan yang ikut serta mengerjakan pekerjaan laki-laki
Komposisi tingkat pendidikan
Tumbuhan pangan karbohidrat yang masih dijumpai liar
Komposisi tumbuhan pangan berdasarkan tipe habitat
Jerat/trap babi hutan
Komposisi tumbuhan berdasarakan status budidaya
Hasil akhir dari pemanenan sagu
Daun gedi (Abelmoschus manihot) dan Rabong (Gigantochloa apus)
Langsat (Lansium domestica) dan Cempedak (Artocarpus integer)
Kacang panjang (Vigna sinensis)
Lemong (Citrus aurantifolia), Kumangi (Occimum basilicum) dan
Sarei (Cymbopogon nardus)
Olahan pangan sayur tumis bunga dan daun papaya (Carica papaya)
Pisang rebus, Patatas rebus, kaladi kukus dan Papeda
Tungku tempat memasak dan Persediaan bahan bakar kayu
Larangan mengambil buah pinang (sasi)

3
8
8
8
9
10
11
11
11
12
13
13
14
15
15
18
19
19
20
21
21
21
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Spesies tumbuhan pangan yang digunakan Masyarakat
Daftar spesies tumbuhan berdasarkan tipe habitat
Jenis olahan pangan Suku Matbat

27
31
33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Papua merupakan salah satu provinsi yang berada di bagian timur Indonesia.
Dengan formasi hutan yang masih alami, Papua memiliki keanekaragaman hayati
yang tergolong tinggi. Selain kaya akan flora dan fauna, Papua juga memiliki
keberagaman etnik dan budaya yang berkaitan dengan alam dan lingkungannya
yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan dan cara setiap
etnik yang berinteraksi dengan alam secara turun-temurun dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Purwanto dan Walujo (1995), masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, masing-masing memiliki tingkat pengetahuan dan
hubungan dengan lingkungannya berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh
lingkungan alam dan kondisi sosial budayanya. Salah satunya yaitu Suku Matbat
yang berada di Kabupaten Raja Ampat. Suku Matbat merupakan salah satu suku
pedalaman Pulau Misool yang berada di Kampung Tomolol Kabupaten Raja
Ampat, Papua Barat. Suku Matbat yang berada di Kampung Tomolol
mengadaptasikan hidupnya dengan lingkungan. Berbagai kebutuhan sehariharinya diperoleh dengan mengambil hasil hutan dan memanfaatkan hutan, antara
lain berburu binatang seperti babi hutan, walabi dan berbagai spesies burung,
memanfaatkan hutan dataran rendah sebagai lahan kebun dan menanam berbagai
tumbuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sumberdaya keanekaragaman hayati hutan (kayu dan bukan kayu) serta
budaya masyarakat di setiap lokasi hutan tak dapat dipisahkan satu sama lain
sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya (Zuhud
2008). Pengetahuan dan pemanfaatan berbagai macam spesies tumbuhan sebagai
sumber pangan secara tradisional pada suku ini, diperoleh dari pengalaman secara
turun-temurun dari para leluhur. Meskipun telah banyak tumbuhan berguna yang
dimanfaatkan oleh suku ini, data dan dokumentasi etnobotani pangan yang
menunjang pelestarian keanekaragaman hayati pada Suku Matbat belum tersedia.
Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung manusia
dengan tumbuhan dalam hal kegiatan pemanfaatannya secara tradisional
(Soekarman dan Riswan 1992). Sehubungan dengan hal tersebut, maka kajian
etnobotani pangan pada suku ini perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman spesies
tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh Suku Matbat.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan data dan informasi mengenai
tumbuhan pangan yang diperoleh, sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten
Raja Ampat dalam pengembangan potensi sumberdaya alam hayati berbasis

2

pengetahuan tradisional Suku Matbat, sehingga kelestarian keanekaragaman
hayati dan budaya tetap terjaga.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Tomolol yang berada di Pulau
Misool Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat (Gambar 1). Penelitian ini
dilaksanakan selama 1 bulan, yaitu dari bulan Juli-Agustus 2012.

Alat dan Bahan
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Perlengkapan wawancara: Panduan wawancara (kuisioner), alat tulis
menulis, kamera.
2.
Perlengkapan eksplorasi tumbuhan: Parang, kamera, karung goni, label,
pemandu lapang, alat tulis menulis, tally sheet.
3.
Perlengkapan pembuatan herbarium: Alkohol 70%, kertas koran, kantong
plastik, selotif, kater, spesimen tumbuhan, kamera.

Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh
Suku Matbat di Kampung Tomolol, Kecamatan Misool, Kabupaten Raja Ampat
dan bentuk-bentuk kearifan tradisional Suku Matbat dalam pemanfaatan
tumbuhan pangan.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh
secara langsung dari lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara, observasi lapang, dan kajian pustaka (Tabel 1).
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
No Jenis Data
1
Nama lokal/ilmiah spesies tumbuhan yang
digunakan
2
Kegunaan tumbuhan
3
Bagian yang digunakan
4
Cara pengolahan tumbuhan pangan
5
Cara penggunaan tumbuhan
6
Cara pembudidayaan
7
Kondisi habitat dan habitus tumbuhan
8
Kondisi Suku Matbat (Sejarah, ekonomi, adat
istiadat, sosial, kepercayaan, pendidikan)
9
Kondisi umum lokasi penelitian

Metode Pengumpulan Data
Wawancara, observasi lapang /pembuatan
spesimen herbarium
Wawancara
Wawancara
Wawancara dan observasi lapang
Wawancara dan observasi lapang
Wawancara dan observasi lapang
Observasi lapang
Wawancara dan observasi lapang
Kajian pustaka dan observasi lapang

3

Sumber: BKSDA PAPUA BARAT (2012)
Keterangan:
Lokasi penelitian
Kampung Tomolol

Gambar 1 Lokasi penelitian

4

Metode Pengumpulan Data
Kajian Pustaka
Data demografi Suku Matbat atau informasi mengenai kondisi umum lokasi
penelitian (letak, luas, kondisi topografi, geologi, klimatik, hidrologis, potensi
flora dan fauna, dan kondisi sosial budaya) didapatkan dengan cara kajian pustaka
setelah berada di lokasi penelitian dengan cara observasi lapang di lokasi tersebut,
dan mengambil data di pemerintah daerah setempat. Hal ini disebabkan kondisi
lokasi penelitian yang berada di daerah terpencil sehingga pustaka mengenai
kondisi umum lokasi tersebut relatif sulit diperoleh.
Wawancara
Penelitian ini dilakukan wawancara semi terstruktur dengan mengisi
pertanyaan yang telah disiapkan pada kuisioner dan mengumpulkan beberapa data
penting sebagai penunjang informasi. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan metode purposive sampling yaitu penentuan sampel atau jumlah
responden sebanyak 30 orang dengan kriteria responden antara lain: masyarakat
yang membudidayakan dan memanfaatkan tumbuhan pangan serta mengetahui
cara pengolahannya.
Observasi Lapang
Observasi lapang dilakukan untuk verifikasi spesies tumbuhan dan
mengambil sampel tumbuhan pangan yang dimanfaatkan berdasarkan hasil
wawancara sebelumnya, dan diidentifikasi melalui pembuatan herbarium agar
dapat diketahui nama ilmiah atau nama perdagangan dari spesies tersebut. Selain
itu observasi lapang juga dilakukan agar dapat diketahui tata guna lahan pada
Suku Matbat di Kampung Tomolol.
Dokumentasi dan Pembuatan Herbarium
Dokumentasi spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat
dengan cara pengambilan gambar atau foto. Spesies-spesies yang tidak dapat
diidentifikasi di lokasi penelitian atau yang termasuk spesies langka, maka dibuat
koleksi herbarium. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006),
koleksi herbarium merupakan kumpulan contoh tumbuhan yang diawetkan,
diklasifikasi dan disimpan dalam bentuk material herbarium, koleksi
basah/karpologi sebagai bahan penelitian. Informasi yang harus dipenuhi dalam
pembuatan herbarium yaitu; keterangan mengenai nama ilmiah, nama daerah
tumbuhan, pengumpul, nomor koleksi, tanggal koleksi, lokasi, elevasi, habitat dan
keterangan lainnya. Adapun material herbarium umumnya bunga, buah, daun
beserta ranting yang diawetkan dengan alkohol.

Analisis Data
Karakteristik Responden
Karakterisistik responden dibedakan kedalam: umur, jenis kelamin,
pendidikan dan mata pencaharian. Karakteristik umur dibedakan menjadi empat

5

kelompok antara lain yaitu, kelas umur 20-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan
>50 tahun.
Persentase Tipe Habitat
Persentase tipe habitat tumbuhan dihitung berdasarkan jumlah spesies yang
dimanfaatkan dari berbagai tipe habitat berupa hutan, kebun, ladang, pekarangan
dan lain-lain. Persentase tipe habitat dapat digunakan persamaan sebagai berikut
(Fakhrozi 2009):


Persentase tipe habitat tertentu =

x 100 %



Persentase Bagian Tumbuhan yang Digunakan
Perhitungan persentase bagian tumbuhan yang dimanfaatkan meliputi
batang, daun, akar, buah, biji, kulit, kayu, bunga, dan umbi pada tumbuhan
pangan ditentukan dengan persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009):
Persentase bagian tertentu yang digunakan =





x 100 %

Persentase Habitus Tumbuhan yang Digunakan
Habitus merupakan perawakan atau tampilan dari suatu tumbuhan. Berikut
definisi mengenai berbagai habitus tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (1988)
diacu dalam Metananda (2012).
1.
Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu
batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.
2.
Herba merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair.
3.
Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang
dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.
4.
Semak merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan anggota
yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada permukaan tanah
dapat mencapai 1m.
5.
Liana merupakan tumbuhan berkayu yang batangnya menjalar/memanjat
pada tumbuhan lain.
Perhitungan persentase tingkat habitus tumbuhan ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut (Fakhrozi 2009):
Persentase habitus tertentu =





x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak Administratif
Kampung Tomolol secara admistratif berada di kecamatan Misool Timur
Kabupaten Raja Ampat dan berkecamatan di kampung volley. Menurut Balai
Besar Konservasi Sumberdaya Alam Papua Barat (2011), kampung ini termasuk
kedalam wilayah Cagar Alam Pulau Misool yang secara geografis berada pada

6

129o44’-130o25’BT dan 1o30’-2o04’LS. Secara administratif kampung ini
berbatasan dengan:
Sebelah utara
: Kampung Volley
Sebelah Selatan
: Kampung Usaha Jaya
Sebelah Barat
: Kampung Fafanlap
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan ini memiliki tipe
iklim A dengan curah hujan rata-rata pertahun 3.660 mm dan rata-rata jumlah
hari hujan 192,9 hari. Hutan yang terdapat pada Kampung Tomolol termasuk tipe
hutan hujan tropis dataran rendah. Hutan hujan tropis dataran rendah merupakan
hutan yang terdapat pada ketinggian 0-1000 mdpl, mempunyai tingkat
keaneragaman hayati yang tinggi dengan iklim basah (tipe A atau B) terutama
pada tanah podsolik, latosol, dan aluvial (Zuhud dan Haryanto 1994).
Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat
Jumlah penduduk Kampung Tomolol pada bulan Agustus tahun 2012
berjumlah 1018 jiwa dengan jumlah laki-laki 431 jiwa dan perempuan 587 jiwa
yang terdiri dari 220 kepala keluarga (KK). Tingkat pendidikan di kampung ini
sangatlah rendah, hanya ada beberapa orang yang lulus Perguruan Tinggi (PT),
namun lebih memilih merantau dan bekerja di tempat lain. Sarana kesehatan di
Kampung Tomolol cukup lengkap. Hal ini terlihat dengan tersedianya fasilitas
Rumah Sakit (RS) yang cukup memadai. Secara umum, anak-anak pada suku ini
banyak terserang penyakit kulit dan kudis akibat dari kurangnya sanitasi.
Mata pencaharian sehari-hari pada masyarakat Tomolol sangatlah beragam.
Meskipun letak kampung berdekatan dengan salah satu perusahan swasta yang
bergerak di bidang budidaya mutiara, tidak semua masyarakat bekerja pada
perusahan tersebut. Adapun sebagian warga yang bekerja pada perusahan ini
hanya menjadi buru diatas rakit dan satpam dengan penghasilan 58.000,-00/hari.
Secara umum masyarakat Kampung Tomolol berprofesi sebagai petani. Jika
kondisi laut lagi tidak bergelombang, masyarakat juga memanfaatkan laut untuk
mencari hasil laut berupa ikan, udang¸ penyu, telur penyu, kerang mangrove dan
hasil laut lainnya untuk dijual dan dikonsumsi sebagai sumber protein hewani.
Warga banyak menghabiskan waktu di hutan untuk membersihkan kebun
yang berada di dalam hutan, mencari berbagai tumbuhan berguna dan menokok
sagu. Kebiasaan berburu sangat tinggi pada masyarakat Tomolol. Masyarakat
yang mendiami Kampung Tomolol merupakan masyarakat asli Suku Matbat.
Terdapat beberapa pendatang yang berjualan di kampung ini, tetapi tingkat
interaksinya dengan masyarakat sangat rendah, hal ini karena para pendatang
tidak tinggal berdampingan dengan masyarakat di dalam kampung, melainkan
memanfaatkan pantai yang tidak adanya pemukiman warga sebagai tempat
berjualan.
Asal Mula Sejarah Suku Matbat
Berdasarkan hasil wawancara dengan para tetua Suku Matbat, Matbat
berasal dari kata mat = manusia dan bat = tanah, secara umum diartikan manusia
tanah atau orang yang mempunyai tanah atau pribumi daerah. Dalam bahasa
primitif Matbat, Matbat = me atau akmeiyaka yang berarti “saya punya barang
sendiri (tanah)”. Pada masa pemerintahan kepala suku, Suku Matbat pada
Kampung Tomolol terdiri dari 6 marga yang dibagi dalam 6 kasta. Untuk kasta

7

yang pertama yaitu Moom hellofanpo, kasta kedua yaitu dari marga Fadimpo
manlangpo, untuk kasta ketiga mempunyai marga Mjam, kasta keempat Mlui,
kasta kelima Faloon dan kasta yang terakhir yaitu yang bermarga Faam.
Sebelum masuknya pemerintahan seperti saat ini, marga Moom yang
merupakan kasta pertama, memimpin sebanyak 14 kali pergantian kepala suku
adat dengan periode memimpin selama seumur hidup untuk setiap oranganya.
Marga Moom sampai saat ini telah menghasilkan 6 generasi dengan generasi yang
pertama yaitu Moom hellofanpo (Moom yang lahir digunung Hellofanpo), Moom
manlangpo (Moom yang lahir digunung Manlangpo), Moom angakni (Moom yang
lahir di dalam sarang ayam hutan), Moom abiwa, Moom heljosu (Moom yang lahir
di gunung Hutan Allah) Moom kapatpojei (Moom yang lahir di Kampung
Tomolol). Marga Moom yang sekarang terbagi menjadi 2 yaitu Macap (Moom
yang beragama islam) dan Moom (Moom yang beragama kristen).
Sistem Kepercayaan
Suku Matbat yang tinggal di Kampung Tomolol 100% beragama kristen.
Masuknya ajaran agama kristen diperkirakan terjadi pada pergantian kepala suku
adat yang ke 7 dari 14 kepala suku adat. Saat ini, meskipun secara keseluruhan
masyarakat menganut agama kristen, namun beberapa kepercayaan zaman dahulu
masih dianut sampai sekarang, salah satunya yaitu masyarakat percaya batu asa
(batu gosok) dan kulit kerang triton mempunyai nilai sakral yang tinggi, karena
pada zaman dahulu sebelum adanya agama, para tetua Suku Matbat jika dalam
membuat perjanjian/sumpah tidak menyebut nama Tuhan melainkan kedua benda
tersebut, sehingga jika dilanggar dapat menyebabkan kematian. Kebiasaan ini
masih ada sampai dengan generasi sekarang dan berdampingan dengan ajaran
agama kristen di Kampung Tomolol.
Bahasa
Klasifikasi bahasa pada Suku Matbat terbagi kedalam tiga bahasa, yaitu
bahasa primitif atau bahasa Matbat, bahasa Raja Ampat atau bahasa Misool, dan
bahasa Indonesia. Sebelum keluar dari hutan dan belum mengenal daerah pantai,
masyarakat menggunakan bahasa primitif (bahasa matbat). Bahasa Raja Ampat
(bahasa Misool) digunakan ketika masyarakat mengenal daerah pantai, kemudian
disusul dengan bahasa Indonesia yang diperkirakan masuk bersamaan dengan
ajaran agama kristen. Saat ini ketiga bahasa tersebut digunakan secara bersamaan,
namun bahasa primitif (bahasa matbat) dan bahasa Raja Ampat (bahasa misool)
digunakan oleh orang dewasa, sedangkan bahasa Indonesia digunakan oleh anakanak.
Sistem Teknologi
Sistem teknologi pada Suku Matbat masih tergolong sederhana. Hal ini
terlihat dari sebagian besar peralatan yang terbuat tumbuhan hutan dan ada
beberapa yang terbuat dari logam. Sistem teknologi terbagi kedalam peralatan
berburu yang terdiri dari aco (tombak yang terbuat dari kayu), panah-panah hutan,
jerat (trap), parang, kapak (Gambar 2). Peralatan melaut terdiri dari uf (pancingan
yang terbuat dari batang daun tumbuhan nipa), aco, kalawai (tombak yang terbuat
dari bambu), dan perahu. Peralatan berkebun terdiri dari weng (kayu yang
ditajamkan bagian ujungnya).

8

(a)
(b)
Gambar 1 (a) Tombak berburu yang terbuat dari kayu; (b) parang dan kapak
Peralatan rumah tangga seperti alat pembuat api terdiri dari batu wajah,
kapas enau dan besi yang disimpan dalam potongan bambu. Alat angkut yang
disebut noken terbuat dari anyaman bambu dan pelepah pohon sagu, alat ini
digunakan sebagai pengganti karung.

(a)
(b)
Gambar 3 (a) Alat angkut/noken; (b) Peralatan membuat api
Pembuatan rumah adat, atap terbuat dari daun nipa (Nypa fruticans) dan
daun sagu (Metroxylon sagu), dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di
dalam rumah adat ini tidak adanya kamar dan segala perabotan diletakan dengan
cara digantung. Selain atap rumah adat, terdapat juga payung tradisional yang
terbuat dari anyaman daun nipa (Gambar 4c). Alat transportasi antara pulau untuk
menjual hasil panen kebun ke kampung sekitarnya, suku ini menggunakan perahu
semang. Perahu ini terbuat dari log kayu dan daun nipa sebagai atap serta di sisi
kiri kanan diberi kayu sebagai penyeimbang (Gambar 4b).

(a)
(b)
(c)
Gambar 4 Peralatan rumah tangga; (a) Rumah adat; (b) Perahu tradisional; (c)
Payung tradisional

9

Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan pada perkampungan Tomolol sangatlah sederhana.
Dengan kondisi perkampungan yang berada di atas bukit, pembagian lahan pada
Kampung Tomolol terdiri dari formasi yang paling depan yaitu hutan mangrove,
hutan pantai kemudian pemukiman yang terdiri dari rumah warga, pekarangan,
dan beberapa fasilitas umum seperti sekolah SD, RS, gereja, dan lapangan volley
ball. Formasi bagian samping terdiri dari Tempat Pemakaman Umum (TPU),
bagian belakang perkampungan merupakan hutan primer dataran rendah, dan
kebun-kebun warga yang menyebar di dalam hutan tersebut sehingga dapat
disebut agroforestri tradisional. Hutan mangrove yang berada dibagian depan
perkampungan, dimanfaatkan masyarakat untuk menyimpan perahu semang agar
terhindar dari gelombang laut, selain itu masyarakat juga mencari hasil laut
berupa kepiting dan kerang mangrove dihutan tersebut.
Kondisi perkampungan yang berada diatas bukit, formasi hutan pantai yang
bersebelahan langsung dengan pemukiman berfungsi untuk menopang perumahan
warga agar tidak terjadi longsor. Hutan pantai ditumbuhi beberapa tumbuhan
pangan semi budidaya seperti kelapa (Cocos nucifera), dan tumbuhan pangan liar
seperti kaladi (Colocasia esculenta) dan katapang (Terminalia catappa) dan
berbagi jenis tumbuhan lainnya. Jarak rumah warga satu dengan yang lainnya
tergolong renggang, hal ini menyebabkan pekarangan yang dimiliki setiap warga
sangatlah luas sehingga ditanami berbagai macam tumbuhan pangan dan
tumbuhan hias seperti pacar air (Impatiens balsamina) dari famili Balsaminceae
dan bougenvile. Fasilitas umum berupa gereja, sekolah SD, RS, dan lapangan
volly ball terletak menyebar dan tidak terpusat pada satu tempat. Berikut sketsa
dari perkampungan Tomolol.

Gambar 5 Sketsa Kampung Tomolol/tata guna lahan Kampung Tomolol

10

Karakteristik Responden
Struktur Umur
Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang diwawancarai cukup
beragam, dimulai dari yang berumur 20 tahun sampai dengan 50 tahun keatas
(Gambar 6). Hal ini menandakan adanya keberlangsungan pengetahuan maupun
pengalaman tentang pemanfaatan tumbuhan pangan pada Suku Matbat dari
leluhur terdahulu hingga saat ini.

Jumlah orang

15
10
5
0
20-30

31-40

41-50

>50

Umur (tahun)

Gambar 6 Kelompok umur responden
Kelompok umur yang paling banyak diwawancarai adalah 41-51 tahun
sebanyak 14 orang, diikuti dengan kelompok umur 50 tahun keatas sebanyak 7
orang dan yang paling sedikit yaitu kelompok umur 20-30 tahun sebanyak 4
orang. Jumlah yang relatif banyak di kelompok tua menunjukan bahwa semakin
tua usia, pengetahuan tentang tumbuhan dan cara pemanfaatannya semakin
banyak.
Masyarakat Matbat walaupun tergolong kedalam umur tua, tetapi tingkat
mobilisasinya sangat tinggi dan tetap produktif. Hal ini didukung dengan kondisi
kesehatan yang sehat karena tidak pernah menggunakan pestisida, tidak adanya
polusi udara dan banyak mengkonsumsi makanan-makanan herbal salah satunya
buah pinang (Areca catechu) dan sirih (Piper betle), serta banyak melakukan
perjalanan ke kebun yang letaknya berada di dalam hutan primer dataran rendah
sehingga kondisi tubuh selalu bugar. Hal ini didukung dengan penelitian Barlina
(2007) yang mengungkapkan beberapa manfaat dari mengkonsumsi pinang antara
lain; biji pinang mengandung tanin, alkoloid, lemak, minyak atsiri, gula, dan air
sangat baik bagi pencernaan dan memiliki fungsi yang vital dalam mengatur
organ-organ metabolisme, serta dapat membangkitkan libido. Biji pinang segar
mengandung 50% alkoloid, senyawa ini memiliki kadar tertinggi pada buah
pinang dan berfungsi sebagai antihelmintik atau anti cacing. Selain itu dapat juga
mengobati beberapa penyakit antara lain bengkak karena retensi cairan (edema),
rasa penuh di dada, batuk berdahak, diare, terlambat haid, keputihan, beri-beri,
malaria, dan memperkecil pupil mata (miosis pada glaucoma).
Daun sirih sering digunakan untuk mengobati sariawan dan keputihan,
bahkan sering digunakan untuk obat kumur atau antiseptik (Syukur dan Hernani
2001 di dalam Rahmah dan Rahman 2010). Kebiasaan bekerja pada Masyarakat
Matbat tidak hanya dilakoni oleh para usia produktif, hal ini terlihat dari adanya
anak-anak yang berumur 7-12 tahun ikut membantu dalam kegiatan berkebun,
memanen hasil dan berjualan.

11

Gambar 7 Anak-anak (usia non produktif) yang ikut membantu memanen hasil
kebun
Jenis Kelamin
Responden yang diwawancarai terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun
yang paling banyak diwawancarai adalah laki-laki sebanyak 28 orang (90,7%)
dari total responden yang berjumlah 30 orang, sisanya 2 orang (6,3%) dengan
jenis kelamin perempuan (Gambar 8). Jumlah responden laki-laki yang paling
banyak diwawancarai, hal ini dikarenakan tingkat mobilisasi kaum laki-laki pada
Suku Matbat dalam hal berkebun dan berburu sangat tinggi, selain itu kaum lakilaki pada suku ini lebih komunikatif dari pada perempuan.
10%
Laki-laki

perempuan

90%

Gambar 8 Persentase jenis kelamin
Berdasarkan observasi lapang, masyarakat dalam melakukan pekerjaan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidaklah berbeda antara kaum laki-laki dan
perempuan. Perempuan pada suku ini juga melakukan pekerjaan laki-laki
diantaranya berkebun, ke hutan mencari kayu bakar dan hasil hutan lainnya,
bekerja pada perusahan swasta yang beroperasi disekitar kampung, ke laut
mencari hasil laut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, kecuali berburu yang
hanya dilakukan oleh kaum laki-laki.

Gambar 9

(a)
(b)
Perempuan yang ikut serta mengerjakan pekerjaan laki-laki (a)
memikul hasil panen kebun; (b) mencari kayu bakar di hutan

Faktor pemicu adanya pemerataan pekerjaan diantara perempuan dan lakilaki, didasari oleh kondisi perkampungan yang berada di pedalam dan pinggiran
hutan, dengan akses keluar yang begitu sulit, sehingga para perempuan di
kampung ini telah terbiasa dan beradaptasi sejak zaman dahulu untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Selain itu masyarakat pada suku ini beranggapan,

12

tanah yang luas dan hutan yang masih alami, jika di dalam satu anggota keluarga
saling bahu-membahu dalam megoptimalkan pekerjaan, maka hasil yang
diperolehpun semakin maksimal sehingga dapat memunuhi kehidupan sehari-hari.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pada Suku Matbat sangat rendah, hal ini terlihat dari
responden yang diwawancarai hanya 6 orang yang pernah bersekolah sampai
tingkat SD, 4 orang tamatan SD, 2 orang hanya mengenyam pendidikan SD
namun tidak tamat, dan sisanya 24 orang tidak bersekolah.

30
20
10
0
Tidak bersekolah

SD

Gambar 10 Komposisi tingkat pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan pada Suku Matbat dapat dilihat dari sarana
pendidikan yang tersedia, hanya sebatas tingkat SD dengan kondisi serba
kekurangan dari tenaga pengajar sampai dengan fasilitas belajar. Minimnya sarana
dan tenaga pengajar disebabkan oleh kondisi perkampungan yang berada di
daerah pedalam dengan aksesibilitas yang sulit dijangkau.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian Suku Matbat terdiri dari berburu, bertani, nelayan,
karyawan perusahan swasta dan menokok sagu di hutan maupun dikebun. Selain
itu masyarakat juga beternak dan memelihara anjing, babi dan ayam yang
digunakan atau dijual pada acara dan keperluan adat. Dalam memenuhi kebutuhan
makanan pokok yakni sagu, masyarakat memanen dan mengolahnya sendiri.
Tumbuhan sagu yang berlimpah dan tumbuh liar di hutan merupakan salah satu
komoditi yang bernilai ekonomi tinggi untuk dijual di kampung sekitarnya.
Mata pencaharian pada Suku Matbat relatif sama satu dengan yang lainnya,
tidak menetap dan dapat berubah-ubah sesuai keperluan dan kondisi alam.
Kegiatan berburu pada suku ini sangat tinggi, hal ini dikarenakan Suku Matbat
banyak menghabiskan waktu di dalam hutan untuk berkebun. Hasil buruan berupa
babi hutan dan walabi dijadikan sebagai makanan pendamping sagu. Setiap hari
minggu segala aktivitas pekerjaan dihentikan, hal ini karena masyarakat
menganggap hari minggu merupakan hari yang penting untuk beribadah dan jika
ditinggalkan maka akan memperoleh bencana.

Tumbuhan Pangan
Keanekaragaman Famili
Berdasarakan keanakaragaman famili, tumbuhan pangan yang teridentifikasi
sebanyak 33 famili dengan total spesies 63 (Lampiran 1). Famili Arecaceae

13

sebanyak 5 spesies, Myrtaceae, dan Cucurbitaceae 4 spsies dari setiap famili
(Tabel 2). Sedangkan famili lainnya bervariasi antara 1-3 spesies.
Tabel 2 Keanekaragaman famili
No
1
2
3
4

Nama Famili
Arecaceae
Myrtaceae
Cucurbitaceae
Famili lain-lain
Total

Jumlah Spesies
5
4
4
50
63

Arecacea merupakan famili yang mempunyai jumlah spesies paling tinggi
diantara spesies yang lainnya. Hal ini karena sebagian besar spesies dari famili
Arecacea merupakan makanan sumber karbohidrat atau makanan utama seperti
sagu (M. sagu), kaladi (C. esculenta) dan tumbuhan buah berupa kelapa (C.
nucifera), dan pinang (A. catechu) yang dikonsumsi setiap hari.
Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman tumbuhan pangan Suku Matbat teridentifikasi sebanyak
63 spesies. Spesies tumbuhan pangan yang didominasi oleh famili Arecaceae
yaitu sagu (M. sagu), kelapa (C. nucifera), pinang (A. catechu), salak (Salacca
zalacca), kaladi (C. esculenta). Famili Myrtaceae terdiri dari jambu air (Syzygium
aqueum), gayawas (Psidium guajava), jambu hutan (Syzygium sp.), dan daun
salam (Syzygium polyantum). Famili Cucurbitaceae terdiri dari labu (Cucurbita
sp.), sayur patola (Luffa acutangula), papari (Momordica charantia), dan
semangka (Citrullus lanatus).
Dominasi spesies dari ketiga famili tersebut sebagian besar merupakan
tumbuhan domestikasi yang berfungsi sebagai sayur, buah, dan rempah-rempah
yang dibudidayakan masyarakat di pekarangan maupun kebun. Tumbuhan
domestikasi adalah tumbuhan yang dahulunya liar kemudian dengan upaya
penjinakan, tumbuhan tersebut menjadi terkendali dalam hal perkembangan
pertumbuhannya. Tumbuhan-tumbuhan yang disebutkan diatas merupakan
tumbuhan yang dikonsumsi hampir setiap hari. Terdapat tiga tumbuhan liar yaitu
sagu (M. sagu), dan jambu hutan (Syzygium sp.) yang dapat dijumpai di hutan
dataran rendah dan kaladi (C. esculenta) yang dapat dijumpai di hutan pantai.

(a)
(b)
Gambar 12 Tumbuhan pangan karbohidrat yang masih dijumpai liar (a) sagu (M.
sagu); (b) kaladi (C. esculenta)

14

Keanekaragaman Tipe Habitat
Tumbuhan pangan yang digunakan oleh Suku Matbat dapat dijumpai di
berbagai tipe habitat seperti pekarangan, kebun, hutan dataran rendah, hutan
pantai, dan tepi jalan (Lampiran 2). Tipe habitat yang paling banyak ditemui
tumbuhan pangan adalah pekarangan kemudian kebun. Hal ini dapat dikatakan
bahwa tumbuhan pangan yang dimanfaatkan Suku Matbat sebagian besar
merupakan spesies yang telah dibudidayakan. Berdasarkan gambar 13,
menunjukan adanya spesies tumbuhan pangan yang ditemui di lebih satu tipe
habitat.
3

Hutan pantai
Hutan dataran rendah
Kebun
Pekarangan
Tepi jalan

11
30
46
7
0

10

20

30

40

50

jumlah spesies

Gambar 13 Komposisi tumbuhan pangan berdasarkan tipe habitat
Tumbuhan yang dibudidayakan di kebun hampir sama dengan yang ditanam
di pekarangan. Hal ini karena letak kebun masyarakat rata-rata berada di dalam
hutan (agroforestri tradisional) dengan akses yang lebih sulit ketika musim hujan,
sehingga spesies yang ada di kebun sengaja dibudidayakan juga di pekarangan
agar memudahkan masyarakat untuk memperoleh tumbuhan tersebut jika
dibutuhkan.
Tabel 3 Persentase tumbuhan berdasarkan tipe habitat
No
1
2
3
4
5

Habitat ditemukan
Tepi jalan
Pekarangan
Kebun
Hutan dataran rendah
Hutan pantai
Total

Jumlah (Spesies)
7
46
30
11
3
97

Persentase (%)
7,21
47,42
30,92
11,34
3,09
100

Status Budidaya
Berdasarkan observasi lapang, kebun masyarakat terletak dan tersebar di
dalam hutan primer dataran rendah. Hal ini dapat dikatakan bentuk kebun tersebut
termasuk agroforestri tradisional/klasik. Thamam (1998) diacu dalam Sardjono et
al. (2013), mendefinisikan agroforestri tradisional/klasik adalah setiap sistem
pertanian dimana pohon-pohon baik yang berasal dari penanaman atau
pemeliharaan tumbuhan/tegakan yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial
ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem).
Contoh-contoh agroforestri tradisonal/klasik di Indonesia menurut Thamam
(1998) diacu dalam Sardjono et al. (2013).
1.
Tegakan hutan alam tropis lembab, hutan payau atau hutan pantai yang
membatasi atau berada dalam mosaik kebun atau lahan pertanian yang
diberakan (dapat dijumpai diseluruh indonesia).

15

2.

Hutan-hutan sekunder yang bersatu dengan usaha-usaha pertanian. Sebagai
contoh, sistem perladangan berpindah atau pertanian gilir-balik tradisional
(traditional shifting cultivation)
3.
Tegakan permanen (umumnya dikeramatkan) pohon yang memiliki manfaat
pada kebun-kebun di sekitar desa
4.
Penanaman pepohonan pada kebun pekarangan di pusat-pusat pemukiman/
sekitar rumah tinggal.
Teknik budidaya tumbuhan pada Suku Matbat tergolong sederhana yaitu
hanya dengan peralatan seperti parang, api untuk membuka lahan dan weng (kayu
yang ditajamkan bagian ujungnya) untuk membuat lubang tanam. Pada Suku
Matbat masih dijumpai sistem pertanian nomaden. Hal ini dilakukan jika lahan
yang ditanami tidak lagi produktif, maka masyarakat membuka atau merambah
hutan dengan cara membakar dan dijadikan kebun baru.
Masyarakat tidak menggunakan pestisida dan pupuk. Permasalahan yang
terjadi pada kebun adalah serangan/perusakan oleh babi hutan yang banyak
merusak tumbuhan umbi-umbian seperti kasbi (Manihot utilisima) serta beberapa
burung paruh bengkok yang biasa memakan buah pisang (Musa spp.). Untuk
mengawasi serangan babi hutan di kebun, masyarakat biasanya memasang
jerat/trap yang sangat sederhana dengan kayu/bambu yang diruncingkan bagian
ujungnya, beberapa bambu dan liana sebagai pengganti tali yang dirakit untuk
menjerat babi. Jerat tersebut dibuat mirip dengan tumbuhan di sekitar agar dapat
terkamuflase (Gambar 14). Babi yang masuk perangkap dimanfaatkan sebagai
sumber protein hewani.

Gambar 14 Jerat/trap babi hutan
Berdasarkan status budidaya, tumbuhan pangan yang paling banyak adalah
spesies yang telah dibudidayakan sebanyak 83% (Gambar 15). Terdapat beberapa
tumbuhan yang tumbuh liar di hutan dan beberapa tergolong semi budidaya
(Tabel 4). Tumbuhan semi budidaya adalah tumbuhan yang telah dibudidaya
namun masih ditemukan liar.
Liar
7%

Semi budidaya
10%

Budidaya
83%

Gambar 15 Komposisi tumbuhan berdasarakan status budidaya

16

Tabel 4 Daftar spesies tumbuhan pangan yang ditemukan liar dan semi budidaya
di Kampung Tomolol
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Nama Tumbuhan
Durian (Durio zibethinus)
Sagu (M sagu)
Kelapa (C nucifera)
Kaladi (C esculenta)
Kanari (Canarium commune)
Katapang (T catappa)
Ganemo (Gnetum gnemo)
Jambu hutan (Syzygium sp,)
Cempedak (Artocarpus integer)
Langsat (Lansium domestica)
Gedi (Abelmoschus Manihot )
Rabong (Gigantochloa apus )
Matoa (Pometia pinnata)

Bagian yang digunakan
Buah
Batang
Buah
Umbi
Buah
Buah
Daun
Buah
Buah
Buah
Daun
Batang
Buah

Status budidaya
Semi budidaya
Semi budidaya
Semi budidaya
Semi budidaya
Liar
Liar
Liar
Semi budidaya
Liar
Liar
Liar
Liar
Liar

Sagu (M. sagu) merupakan tumbuhan yang dapat dijumpai di tiga tipe
habitat yaitu hutan dataran rendah, kebun dan pekarangan. Hal ini karena teknik
pemanenan tumbuhan sagu menjadi bahan baku yang siap diolah menjadi
makanan membutuhkan waktu maksimal satu minggu, karena itu masyarakat
memilih membudidayakannya juga di pekarangan dan kebun sehingga jika
dipanen tidak perlu bermalam di hutan.
Pohon sagu yang siap dipanen adalah sagu yang telah berumur 10-15 tahun
dan telah menunjukkan gejala alam seperti terdapat semacam tunas yang keluar di
bagian ujung pohon sagu. Tanda tersebut dalam bahasa Misool di sebut fa kayuuo.
Tanda tersebut memberi isyarat bahwa batang pohon sagu telah berisi. Dalam
memanen sagu menggunakan beberapa peralatan tradisional seperti nani (kayu
yang bagian ujungnya diberi gelang besi), goti (pelepah sagu yang dibuat
berbentuk perahu), tumang (anyaman daun sagu yang membentuk tabung) parang
dan karung. Pohon sagu kemudian ditebang, belah menjadi dua bagian dengan
bentuk memanjang, hancurkan isi sagu yang ada di dalam batang sagu
menggunakan nani, masukan isi dari batang sagu yang telah dihancurkan ke
dalam karung lalu pindahkan kedalam goti, campurkan isi batang sagu dengan air
dan aduk di dalam goti sampai sari pati sagu keluar, buang bagian yang
kasar/serbuk. Sari pati sagu diendapkan dengan air di dalam goti selama 2 hari 2
malam, setelah sagu mengendap, pisahkan dengan air tersebut. Sagu yang telah
berbentuk tepung padatan kemudian dimasukkan ke dalam tumang.

Gambar 16 Hasil akhir dari pemanenan sagu
Bagian yang Digunakan
Berdasarkan penggunaan bagian tumbuhan, bagian tumbuhan pangan yang
digunakan terdiri dari 6 bagian yakni batang (3), buah (43), daun (16), rimpang

17

(3), umbi (3), bunga (1). Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah
buah (62,31%).
Tabel 5 Jumlah spesies dan persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan
No
1
2
3
4
5
6

Bagian Tumbuhan Pangan yang Digunakan
Batang
Buah
Daun
Rimpang
Umbi
Bunga
Jumlah

Jumlah (spesies)
3
43
16
3
3
1
69

Persentase (%)
4,34
62,31
23,18
4,34
4,34
1,44
100

Spesies yang paling banyak digunakan bagian buahnya sebagian besar
merupakan tumbuhan buah-buahan yang berasal dari pekarangan dan beberapa
buah yang berfungsi sebagai pangan sayur yakni kacang panjang (Vigna sinensis),
kacipir (Psophocarpus tetragonolobus), labu (Cucurbita sp), sayur patola (Luffa
acutangula) yang berasal dari kebun. Terdapat beberapa spesies tumbuhan pangan
buah yang dapat dimakan langsung yakni jambu hutan (Syzigyum sp.), durian (D.
zibethinus), langsat (Lansium domestica), matoa (P. pinnata), cempedak (A.
integer) yang berasal dari hutan dataran rendah dan katapang yang berasal dari
hutan pantai.
Keanekaragaman Habitus
Berdasarkan keanekaragaman habitus, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan
terdiri dari 5 habitus yakni pohon, herba, semak, perdu dan liana.
Tabel 6 Persentase tumbuhan pangan berdasarkan habitusnya
No
1
2
3
4
5

Habitus Tumbuhan
Pohon
Herba
Semak
Liana
Perdu
Total

Jumlah (spesies)
29
14
4
6
10
63

Persentase (%)
46,03
22,22
6,34
9,52
15,87
100

Pohon merupakan habitus tumbuhan pangan yang paling banyak di
manfaatkan yakni sebanyak 29 spesies (46,03%). Spesies tumbuhan yang
berhabitus pohon sebagian besar berupa tumbuhan buah-buahan yang berada di
pekarangan rumah.
Sumber Karbohidrat
Sagu (M. sagu) merupakan tumbuhan pokok yang menjadi sumber
karbohidrat utama bagi masyarakat Kampung Tomolol dari zaman dahulu hingga
saat ini. Selain sagu, terdapat beberapa tumbuhan yang berfungsi sebagai sumber
karbohidrat pengganti sagu (Tabel 7). Menurut Suismono (2008), tumbuhan yang
termasuk sumber karbohidrat antara lain padi, beras, jagung, tepung dan umbiumbian, sedangkan penghasil protein dan lemak adalah kacang tanah, kedelai,
kacang hijau dan kacang-kacangan lainnya.

18

Tabel 7 Tumbuhan sumber karbohidrat selain sagu
No
1
2
3
4

Spesies
Kasbi (Manihot esculenta)
Petatas (Ipomea batatas)
Kaladi (C esculenta)
Pisang (Musa spp,.)

Tipe habitat
Pekarangan /kebun
Pekarangan, kebun
Pekarangan, hutan pantai
Pekarangan, kebun

Tumbuhan sagu yang tumbuh liar di hutan telah menjadi salah satu mata
pencaharian masyarakat disamping berkebun. Masyarakat menokok sagu untuk
dijual dan dikonsumsi sendiri sebagai sumber karbohidrat sehari-hari. Selain
memanfaatkan yang tumbuh liar di hutan, saat ini kebanyakan masyarakat telah
membudidayakan tumbuhan sagu di kebun dan di pekarangan. Selain tumbuhan
sagu yang masih dijumpai liar, kaladi (C. esculenta) merupakan salah satu
tumbuhan sumber karbohidrat yang sering digunakan dan masih dijumpai liar di
hutan pantai.
Sumber Vitamin dan Mineral
Pekarangan setiap rumah warga tergolong luas sehingga dimanfaatkan
untuk menanam berbagai tumbuhan buah untuk dikonsumsi dan sebagai
tumbuhan peneduh. Sayuran dan buah merupakan tumbuhan pangan pengahasil
vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Masyarakat Tomolol
pada umumnya mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang di budidayakan di
pekarangan dan di kebun, namun ada beberapa yang dihasilkan dari hutan.
Sayuran dan buah-buahan yang telah dibudidayakan di kebun dan dapat dijumpai
di pekarangan yaitu daun kasbi (M. utilisima), jantung pisang (Musa spp.), buah,
bunga dan pucuk daun papaya (Carica papaya), sangkari (C. maxima),
merupakan sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi hampir setiap hari.
Selain yang telah dibudidayakan, terdapat beberapa sayuran dan buah yang
berasal dari hutan dataran rendah dan masih banyak dijumpai liar seperti kanari
(C. commune) yang dapat dimakan bagian biji yang terdapat di dalam buah, daun
ganemo (G. gnemo) yang banyak dimanfaatkan pucuk daun mudanya sebagai
sayur dan buahnya yang dapat dimakan setelah direbus, rabong (Gigantochloa
apus) dan gedi (A. manihot) yang digunakan sebagai sayur serta beberapa buahbuahan musiman diantaranya cempedak (A. integer), durian (D. zibethinus),
langsat (L. domesticum), matoa (P. pinnata). Buah-buahan musiman tersebut
merupakan tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi dan masih banyak dijumpai
liar di hutan dataran rendah yang terdapat pada perkampungan Tomolol.

(a)
(b)
Gambar 17 (a) Daun gedi (A. manihot); (b) Rabong (G. apus)
Buah-buahan seperti langsat (L. domestica), durian (D. zibethinus),
cempedak (A. integer) dianggap buah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi

19

karena pada zaman dahulu buah-buahan tersebut merupakan buah seserahan yang
diberikan kepada kepala suku adat/raja. Konon pada zaman dahulu, jika tiba
musim panen, warga dilarang memakan buah tersebut sebelum sang raja.
Seserahan yang diberikan ke sang raja dalam jumlah yang sangat banyak diiringi
dengan tarian yang disebut wala. Tarian tersebut merupakan laporan atau
penggambarkan proses pemanenan, perjalanan mengangkut hasil panen buah dari
hutan sampai di pesisir pantai. Setelah itu diserahkan kepada raja dan dinikmati
oleh seluruh warga. Namun saat ini sistem seserahan tersebut telah terhapus
termakan zaman, sehingga jika musim panen tiba masyarakat secara bebas dapat
memanen dan menjualnya kapan saja.

Gambar 18

(a)
(b)
Buah-buahan musiman (a) Langsat (L. domestica); (b) Cempedak
(A. integer)

Sumber Protein
Selain sumberdaya buah-buahan dan sayuran penghasil vitamin dan mineral,
terdapat tumbuhan pangan sayuran sumber protein. Sumber protein pada
tumbuhan dihasilkan dari tumbuhan kacang-kacangan. Terdapat dua spesies
sayuran sumber protein yaitu kacipir (P. tetragonolobus) dan kacang panjang (V.
sinensis) yang dapat dijumpai di pekarangan dan kebun.

Gambar 19 Kacang panjang (V. sinensis)
Bahan Pelengkap/Rempah
Tumbuhan pangan berupa rempah-rempah merupakan tumbuhan yang
tergolong penting karena sangat berpengaruh pada cita rasa dari bahan utama yang
diolah. Sebagian besar masyarakat menanam rempah-rempah tersebut di
pekarangan rumah, hal ini karena penggunaannya yang tergolong sering sehingga
jika ditanam di pekarangan maka memudahkan jika akan digunakan (Gambar 20).
Terdapat 11 spesies tumbuhan penghasil rempah yang digunakan oleh masyarakat
Suku Matbat.
Tabel 8 Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat
No
1
2
3

Nama Spesies
Langkuas (Alpinia galangal)
Kuning (Curcuma domestica)
Jahe (Zingiber officinale)

Bagian yang digunakan
Rimpang
Rimpang
Rimpang

20

Tabel 8 Bahan pelengkap/rempah yang dimanfaatkan oleh warga Suku Matbat
(Lanjutan)
No
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Spesies
Tomat (Lycopersicon lycopersicon )
Jeruk lemon (Citrus limon)
Rica (Capsicum frutescens)
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
Daun pandan (Pandanus amaryllifolius)
Sarei (Cymbopogon nardus)
Balimbing asam (Averrhoa bilimbi)
Kumangi (Occimum basilicum)

Bagian yang digunakan
Buah
Buah
Buah
Buah
Daun
Daun
Buah
Daun

Secara keseluruhan tingkat kegunaan rempah-rempah tersebut tergolong
sering sehingga banyak dijumpai disetiap pekarangan warga. Bumbu masak yang
menjadi dasar atau pokok adalah jeruk nipis (C. aurantifolia), rica (C. frutescens),
kumangi (O. basilicum), dan sarei (C. nardus). Jeruk nipis selain digunakan untuk
menambah cita rasa asam, biasanya dipakai juga untuk mengolah hasil tangkapan
laut agar tidak barbau amis dan sarei dipakai untuk merebus hasil tangkapan laut.
Kumangi digunakan untuk mengolah salah satu makanan sumber karbohidrat.
Selain bahan-bahan rempah yang telah disebutkan diatas, masyarakat juga dalam
setiap mengolah makanan menggunakan bawang putih untuk merebus ikan dan
bawang merah untuk menumis. Bawang merah dan bawang putih yang digunakan
diperoleh dengan cara membeli. Bumbu masak yang akan digunakan langsung
dipanen seperlunya untuk setiap kali masak. Masyarakat tidak menyimpan bahan
rempah didalam dapur melainkan membiarkan tumbuhan rempah-rempah tersebut
tumbuh di pekarangan.

(a)
(b)
(c)
Gambar 20 Tumbuhan rempah; (a) Lemong (C. aurantifolia); (b) Kumangi (O.
basiliccum); (c) Sarei (C. nardus)

Cara Pengolahan
Tumbuhan pangan yang menjadi makanan pokok sehari-sehari pada Suku
Matbat diolah dengan cara yang bervariasi antara lain direbus, bakar, kukus,
goreng, tumis kering, tumis santan, dan sangrai. Secara umum masyarakat banyak
mengolah tumbuhan pangan tersebut dengan cara direbus. Tumbuhan pangan dan
sayuran yang dimanfaatkan oleh Suku Matbat sebagian besar dapat direbus,
kukus, bakar untuk sebagian sayur dan sumber karbohidrat. Penggunaan
tumbuhan rempah atau perasa pada setiap menu masakan terutama olahan sayuran
tidak terlalu berbeda yakni rata-rata berbahan dasar bawang putih dan bawang

21

merah, rica (C. frutescens) terasi dan garam (Gambar 21), yang membedakannya
hanyalah bahan utama dari masakan itu sendiri.

Gambar 21 Olahan pangan sayur tumis bunga dan daun papaya (C. papaya)
Pengolahan pangan sumber karbohidrat antara lain kasbi (M. utilisima),
pisang (Musa spp.) dan lain-lain kebanyakan diolah dengan cara direbus dan
dikukus untuk memenuhi kebutuhan makan sehari 3 kali (Gambar 22), namun ada
beberapa yang mengolahnya dengan cara digoreng untuk dijadikan cemilan disaat
santai.

(a)
(b)
(c)
Gambar 22 (a) Pisang rebus; (b) Patatas dan kaladi kukus; (c) Papeda
Asal mula pemanfaatan tumbuhan diawali dari adanya suatu rangsangan
untuk mencoba dan mencicipinya, daya tarik dari tumbuhan itu biasanya
ditimbulkan oleh warna, rasa, dan bentuk perawakan atau bagian-bagian
tumbuhan seperti buah dan bunga, sehingga apabila jenis-jenis tersebut ternyata
memenuhi selera dan kebutuhannya maka mereka kemudian berusaha untuk
mencari, mengumpulkan dan akhirnya menanam dan membudidayakannya
(Purwanto dan Walujo 1995). Dalam proses pemasakan tumbuhan