Deteksi Dan Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Meloidogyne Penyebab Umbi Berbintil Pada Kentang

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU
AKAR Meloidogyne PENYEBAB UMBI BERBINTIL
PADA KENTANG

APRILYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Identifikasi
Spesies Nematoda Puru Akar Meloidogyne Penyebab Umbi Berbintil pada
Kentang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Aprilyani
NIM A351130324

RINGKASAN
APRILYANI. Deteksi dan Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Meloidogyne
Penyebab Umbi Berbintil pada Kentang. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan
GEDE SUASTIKA.
Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari famili Solanaceae
yang merupakan tanaman pangan keempat utama dunia sesudah gandum, jagung
dan padi. Indonesia merupakan salah satu produsen kentang di Asia Tenggara
dengan sentra produksi utama di Pulau Jawa, yaitu di provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Produksi kentang mengalami penurunan yang
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah gangguan hama dan
penyakit. Nematoda puru akar/NPA (Meloidogyne spp.) adalah salah satu patogen
pada kentang yang berdampak nyata dalam mengurangi kualitas dan kuantitas
umbi kentang.

Penelitian untuk mendeteksi dan mengidentifikasi spesies Meloidogyne pada
kentang di pulau Jawa dilaksanakan di Laboratorium Nematologi Departemen
Proteksi Tanaman IPB, Laboratorium Karantina Tumbuhan Tanjung Priok Wilker
Pos Bogor, dan Laboratorium Karantina Tumbuhan BBKP Soekarno-Hatta.
Contoh umbi kentang yang sakit yaitu umbi berbintil diambil dari Pangalengan
(Jawa Barat), Banjarnegara (Jawa Tengah), dan Kota Batu (Jawa Timur).
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2015.
Identifikasi secara morfologi dilakukan terhadap pola perineal (sidik pantat)
nematoda betina. Identifikasi secara molekuler menggunakan teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) dilanjutkan dengan sikuensing fragmen DNA dan analisis
filogenetik. DNA nematoda berasal dari ekstraksi nematoda betina dan
diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer spesifik untuk Meloidogyne
incognita (MI-F dan MI-R), M. arenaria (Far dan Rar), dan M. javanica (Fjav dan
Rjav). Primer multipleks, yaitu JMV1, JMV2, dan JMV-hapla digunakan untuk
mendeteksi M. hapla, M. falax, dan M. chitwoodi.
Gejala penyakit oleh NPA di lapangan ditemukan bervariasi, antara lain
permukaan umbi tidak rata, bergelombang, tidak normal, dan berbintil dan
terkadang disertai dengan adanya infeksi dari patogen lain sehingga umumnya
umbi cepat busuk. Pada bagian dalam umbi terdapat bercak-bercak berwarna
krem kekuningan (nekrosis) yang terdiri atas nematoda betina dan massa telur.

Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi diikuti (konfirmasi)
identifikasi secara molekuler dengan PCR menunjukkan bahwa spesies yang
berasosiasi dengan umbi berbintil pada kentang di tiga sentra produksi kentang di
Pulau Jawa adalah M. arenaria, M. javanica, dan M. incognita. M. incognita dan
M. javanica terdeteksi di Pangalengan, Banjarnegara, dan Kota Batu sedangkan
M. arenaria hanya terdeteksi di Pangalengan dan Banjarnegara.
Produk PCR kemudian digunakan untuk sikeunsing untuk menunjukkan
adanya hubungan filogenetik dan homologi dengan isolat dari negara lain. Isolat
M. javanica asal Pangalengan berkerabat sangat dekat dengan isolat M. javanica
asal Cina dan Malaysia dengan tingkat homologi yang tinggi yaitu berturut-turut
sebesar 95.7% dan 95.4%. Isolat M. incognita asal Pangalengan memiliki
hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan isolat asal Cina, India, dan

5

Malaysia dan memiliki nilai homologi yang tinggi dengan M. incognita asal Cina,
India, dan Malaysia berturut-turut sebesar 99.8%, 99.6%, dan 99.2%.
Kata kunci: filogenetik, M. arenaria, M. javanica, M. incognita, pola perineal.

SUMMARY

APRILYANI. Detection and Identification of the Root-knot Nematodes Species
Meloidogyne Causing the Pimple-like Knot on Potato Tuber. Supervised by
SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA.
Potato (Solanum tuberosum L.) is one of the Solanaceous plant considered
as the forth main staple food after wheat, corn, and rice. Indonesia is a potato
producer country in Southeast Asia with production areas mainly location in Java
Island, i.e. West Java, Central Java, and East Java. Potatoes production are
decreasing recently due to by many factors including pests and diseases. Root
knot nematode (Meloidogyne spp.) is one of the pathogen which might contribute
to a significant loss of the quality and quantity of potato tubers.
This research was aimed to detect and identify the species of Meloidogyne
on potato in Java island. The infected potato tubers, showing pimple-like knot,
were collected from Pangalengan (West Java), Banjarnegara (Central Java), and
Kota Batu (East Java). The research was conducted in Nematology Laboratory,
Department Plant Protection, IPB; Plant Quarantine Laboratory Tanjung Priok
Agriculture Quarantine; and Soekarno-Hatta Plant Quarantine from October 2014
to March 2015.
Nematode identification was carried out based on morphological perineal
pattern of adult female. Molecular identification was conducted by Polymerase
Chain Reaction (PCR) technique and followed by DNA fragmen sequencing and

phylogenetic analysis. Nematode DNA is extracted from adult female and
amplified by PCR using spesific primer for Meloidogyne incognita (MI-F dan
MI-R), M. arenaria (Far dan Rar), and M. javanica (Fjav dan Rjav). A multiplex
primer JMV1, JMV2, and JMV-hapla was used to detect M. hapla, M. falax, and
M. chitwoodi.
Variation of the infected tuber by Meloidogyne was observed in the field,
involving unsmoothing, wavy, blemish and pimple-like skin of potato tuber even
followed later infection by other pathogens so that tuber decayed quickly.
Necrosis occurred inside the infected tuber which consisted of adult female of
Meloidogyne and egg masses.
Identification based on morphological character was further confirmated
by molecular identification using PCR technique. Three Meloidogyne species was
found i.e. M. arenaria, M. javanica, and M. incognita. M. incognita and
M. javanica were detected in Pangalengan, Banjarnegara, and Kota Batu while
M. arenaria was only detected in Pangalengan and Banjarnegara.
Based on the DNA fragment sequencing and phylogenetic analysis, M.
javanica isolate from Pangalengan was closely related to M. javanica isolates
from China and Malaysia with homology of 95.7% and 95.4%, respectively.
M. incognita isolate from Pangalengan was closely related to isolates from China,
India, and Malaysia with high homology level of 99.8%, 99.6%, and 99.2%,

respectively.
Key words: M. arenaria, M. javanica, M. incognita, perineal pattern,
phylogenetic.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI SPESIES NEMATODA PURU
AKAR Meloidogyne PENYEBAB UMBI BERBINTIL
PADA KENTANG

APRILYANI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komis pada Ujian Tesis: Dr Ir Arifin Tasrif, MSc MM.

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Oktober 2014 ini ialah Deteksi dan Identifikasi Spesies Nematoda Puru
Akar Meloidogyne Penyebab Umbi Berbintil pada Kentang.
Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada Dr Ir Supramana, MSi dan

Dr Ir Gede Suastika, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, arahan, saran dan juga motivasi selama penelitian hingga penulisan
akhir karya tulis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku Ketua Program Studi Fitopatologi
Sekolah Pascasarjana IPB, Dr Ir Pudjianto, MSi selaku Ketua Program Studi
Entomologi Sekolah Pascasarjana IPB, dan Dr Ir Abdul Muin Adnan, MS selaku
Kepala Laboratorium Nematologi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr Ir Arifin Tasrif MSc MM selaku Kepala Pusat Kepatuhan Kerjasama dan
Informasi Perkarantinaan sekaligus sebagai Penguji Luar Komisi. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir H M. Musyaffak Fauzi, SH MSi selaku
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta yang telah memberi ijin
kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Dr Ir Nina Maryana, MSi atas rekomendasinya hingga penulis
dapat melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman
IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian
yang telah memberikan beasiswa dan Kepala Balai Besar Karantina Pertanian
Tanjung Priok. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih atas bantuannya kepada
Dra Endang Winarni dan rekan-rekan di Karantina Tumbuhan BBKP SoekarnoHatta, juga kepada Ibu Iyar SP dan rekan-rekan di Wilker Pos Bogor BBKP
Tanjung Priok. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Pak Alit di Pangalengan

(Bandung), Miftahul Huda SP dan Agus Susilo di Banjarnegara, rekan-rekan
BBKP Surabaya Wilker Malang (Mba Silvi, Mba Siska dkk) atas bantuannya,
Fitrianingrum Kurniawati SP MSi, Hishar Mirsam SP MSi, dan Bapak Gatut Heru
Bromo atas bantuannya, juga teman-teman satu angkatan (2013-2015) atas
bantuan dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada
kedua orang tua yaitu Bapak Sutan Busman (alm), Ibunda Cinenah, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata penulis persembahkan
untuk suami tercinta serta ananda Busmannisa Hilmalia Rizky. Semoga tulisan ini
bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Aprilyani
A351130324

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Manfaat penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Kentang (Solanum tuberosum L.)
Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)
Spesies-spesies Meloidogyne
Deteksi dan Identifikasi Meloidogyne
BAHAN DAN METODE
Pengambilan Sampel Umbi
Identifikasi Spesies Meloidogyne berdasarkan Karakter Morfologi
Identifikasi NPA berdasarkan PCR ITS r-DNA
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Pengambilan Sampel
Gejala Penyakit Meloidogyne spp.
Spesies Meloidogyne berdasarkan ITS r-DNA
Pembahasan Umum
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xv
xv
xvi
1
1
2
2
2
3
3
4
7
9
11
11
11
11
14
14
14
17
21
24
24
24
25
29
34

DAFTAR TABEL
1. Amplifikasi fragmen ITS-rDNA spesies Meloidogyne menggunakan
PCR
2. Homologi sikuen nukleotida M. javanica asal Pangalengan
dengan M. javanica yang ada di GenBank
3. Homologi sikuen nukleotida M. incognita asal Pangalengan dengan
M. incognita yang ada di GenBank

12
18
20

DAFTAR GAMBAR
1. Gejala infeksi Meloiodogyne spp. pada umbi kentang
2. Siklus hidup Meloidogyne spp.
3. Lokasi pertanaman kentang (a) Pangalengan (Jawa Barat); (b)
Banjarnegara (Jawa Tengah); (c) Kota Batu (Jawa Timur)
4. Variasi gejala yang disebabkan oleh Meloidogyne spp. pada umbi
(a) permukaan kulit umbi tidak rata; (b) bergelombang; (c) berbintil
5. Gejala nekrosis pada umbi kentang yang terinfeksi Meloidogyne spp.
6. Nematoda betina Meloidogyne spp. dengan massa telur (a) nematoda
betina; (b) massa telur
7. Pola perineal M. incognita (Perbesaran 400x). (a) M. incognita
menurut Eissenback et al. (1981); (b) M. incognita asal
Pangalengan; (c) M. incognita asal Banjarnegara; (d) M. incognita
asal Kota Batu
8. Pola perineal M. javanica (Perbesaran 400x). (a) M. javanica
menurut Eissenback et al. (1981); (b) M. javanica asal Pangalengan;
(c) M. javanica asal Banjarnegara; (d) M. javanica asal Kota Batu
9. Pola perineal M.arenaria (Perbesaran 400x). (a) M. arenaria
menurut Eissenback et al. (1981); (b) M. arenaria asal Pangalengan
10. Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne spp. dengan menggunakan
primer spesifik M. javanica (M: Marker 100 pb; 1: Pangalengan; 2:
Banjarnegara; 3: Kota Batu
11. Pohon filogeni M. javanica yang menginfeksi kentang di
Pangalengan, Jawa Barat
12. Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne spp. dengan menggunakan
primer spesifik M. incognita (M: Marker 100 pb; 1: Pangalengan; 2:
Banjarnegara; 3: Kota Batu)
13. Pohon filogeni M. incognita yang menginfeksi kentang di
Pangalengan, Jawa Barat
14. Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne spp. dengan menggunakan
primer spesifik M. arenaria (M: Marker 100 pb; 1: Pangalengan; 2:
Banjarnegara; 3: Kota Batu)

5
6
14
14
15
15

16
17
17
18
19
19
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1. Runutan basa nukleotida M. javanica Pangalengan
2. Runutan basa nukleotida M. incognita Pangalengan

29
31

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama dunia yang
menempati urutan keempat sesudah gandum, jagung dan padi (Rubatzky dan
Yamaguchi 1998). Kandungan gizi yang lengkap pada kentang menyebabkan
kentang dijadikan sebagai pangan alternatif. Kebutuhan akan kentang semakin
tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat
(Rukmana 1997).
Indonesia merupakan salah satu produsen kentang di Asia Tenggara. Daerah
sentra pertanaman kentang di Indonesia adalah Nangroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Tengah dan
Jawa Barat menempati urutan teratas sebagai produsen kentang di Indonesia.
Namun, produksi kentang di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2013
dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2012, luas panen kentang 65 989 ha
dengan produksi 1 094 240 ton dan produktivitas 16.58 ton/ha, sedangkan pada
tahun 2013 luas panen kentang 62 900 ha, dengan produksi 1 023 381 ton, dan
produktivitas 16.27 ton/ha (BPS 2014).
Penurunan produksi kentang disebabkan oleh banyak faktor salah satunya
gangguan hama dan penyakit tanaman. Penyakit penting pada tanaman kentang
diantaranya disebabkan oleh Meloidogyne spp., Globodera sp., Phytophthora
infestans, Potato Virus X, Potato Virus Y, Potato Leaf Roll Virus, Ralstonia
solanacearum, dan Erwinia carotovora (Luc et al. 1995). Meloidogyne spp. atau
nematoda puru akar (NPA) tersebar luas di seluruh dunia dan menyebabkan
kehilangan hasil yang substansial di daerah tropis dan subtropis (Tesarova 2003).
Menurut Adam et al. (2007), ada enam spesies utama Meloidogyne yang
merugikan secara ekonomi yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica,
M. hapla, M. fallax dan M. chitwoodi.
Di Indonesia, kehilangan hasil akibat NPA bervariasi tergantung pada
varietas tanaman dan keadaan lingkungan. Kurniawan (2010) melaporkan
kerugian yang disebabkan oleh Meloidogyne spp. pada wortel sebesar 15% hingga
95%, penyakit yang ditimbulkan berupa umbi bercabang. Kerugian oleh NPA
pada tanaman kentang bersifat langsung dan juga tidak langsung. Kerugian
langsung berupa penurunan kualitas dan kuantitas umbi sedangkan kerugian tidak
langsung yaitu meningkatkan kerentanan tanaman terhadap infeksi cendawan dan
bakteri. Gejala pada tanaman yang terinfeksi berat dapat terlihat dengan
pertumbuhan tanaman yang kerdil dan menguning, pada bagian perakaran
terdapat puru. Tanaman kentang yang terinfeksi M. hapla meningkatkan
kerentanan terhadap layu Verticilium di lapangan maupun di rumah kaca
(Jacobsen et al. 1979).
Pada umbi kentang, M. chitwoodi dan M. fallax menyebabkan bintil-bintil
pada permukaan luarnya sedangkan pada M. hapla bintil tidak terlihat. Beberapa
kultivar kentang, walaupun terinfestasi berat namun tidak nampak gejala luarnya,
gejala hanya terlihat pada jaringan di dalam yaitu berupa nekrotik dan kecoklatan
(EPPO 2009). M. chitwoodi dan M. fallax memarasit tanaman monokotil dan juga

2

tanaman dikotil termasuk tanaman kentang, wortel dan juga tomat. M. chitwoodi
dan M. fallax adalah termasuk OPTK (organisme pengganggu tumbuhan
karantina) di Eropa yang dapat menyebabkan kerusakan yang berat pada inangnya
terutama pada tanaman kentang (S. tuberosum).
M. hapla dan M. chitwoodi merupakan dua dari spesies Meloidogyne yang
termasuk dalam daftar OPTK berdasarkan Lampiran Permentan Republik
Indonesia Nomor 93 tahun 2011. M. hapla termasuk ke dalam OPTK A2, yang
artinya keberadaannya telah terdeteksi di Indonesia namun daerah penyebarannya
masih terbatas. Daerah endemik M. hapla adalah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan
2010), akan tetapi dari dua penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa
timur, M. hapla telah teridentifikasi menginfeksi tanaman wortel di dua daerah
tersebut (Hikmia et al. 2012). Informasi mengenai spesies NPA Meloidogyne
yang menginfeksi kentang di Indonesia masih terbatas sehingga perlu dilakukan
penelitian mengenai deteksi dan identifikasi spesies nematoda tersebut dengan
metode yang tepat dan akurat.
Tujuan Penelitian
1. Mendeteksi dan mengidentifikasi spesies Meloidogyne penyebab umbi
berbintil pada kentang di tiga sentra produksi kentang di Pulau Jawa
2. Mengetahui hubungan filogenetik antara spesies Meloidogyne yang ada di
Indonesia dengan spesies Meloidogyne yang ada di negara lain yang telah
terdaftar di GenBank.
Manfaat penelitian
Penelitian ini dapat memberikan:
1. Data spesies-spesies Meloidogyne pada umbi berbintil kentang di tiga sentra
produksi kentang di Pulau Jawa
2. Data distribusi spesies-spesies Meloidogyne pada umbi berbintil kentang di
tiga sentra produksi kentang di Pulau Jawa
3. Kebijakan terkait dengan karantina dalam menentukan strategi pengendalian
penyakit yang efektif dan efisien
Hipotesis
1. Penyakit umbi berbintil pada kentang disebabkan oleh beberapa spesies NPA,
Meloidogyne spp.
2. Spesies Meloidogyne dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi dan
secara molekuler dengan teknik PCR pada bagian ITS r-DNA.

TINJAUAN PUSTAKA
Kentang (Solanum tuberosum L.)
Klasifikasi dan Sejarah Kentang
Kentang termasuk ke dalam Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Kelas
Dicotyledonae, Subkelas Asteridae, Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus
Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. (CABI 2007). Awal mulanya
kentang diintroduksi dari Amerika Selatan ke Spanyol sekitar tahun 1570. Pada
tahun 1811, kentang sudah tersebar ke daerah pegunungan di Indonesia, yaitu
Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Tanah Karo (Sumatera Utara), Takengon (Aceh),
Curup dan Kapahiang (Bengkulu), Pasemah (Sumatera Selatan), Tomohon dan
Mondoinding (Sulawesi Utara), Goa (Sulawesi Selatan), Bali, Flores, Timor,
Manusela Seram (Maluku), dan Arfak (Irian Jaya) (Wattimena et al. 2000).
Kandungan Gizi
Bagian utama kentang yang menjadi bahan makanan adalah umbi, yang
merupakan sumber karbohidrat, vitamin dan mineral yang cukup tinggi.
Kandungan zat gizi kentang per 100 g adalah kalori 62 kkal, protein 2.10 g dan
lemak 0.2 g (Pusdatin 2013). Vitamin yang terkandung di dalam kentang
diantaranya adalah Vitamin C, Vitamin B1, B3, dan B6. Beberapa mineral yang
terkandung di dalam kentang yaitu Zat Besi, Potasium, Fosfor, dan Magnesium.
Selain itu kentang juga dapat dijadikan sebagai anti oksidan yang dapat menghalau
penuaan (FAO 2008).
Syarat Tumbuh
Tanaman kentang menyukai tanah yang berdrainase baik, bertekstur sedang
hingga agak sedang, remah dengan pH 5.5-6.5 (agak asam) dan aerasi yang baik.
Tekstur dan kepadatan tanah berpengaruh terhadap bentuk, hasil, dan kualitas
umbi (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Tanaman kentang adalah tanaman yang
membutuhkan suhu malam yang tinggi (15-20 ◦C) untuk dapat membentuk umbi.
Oleh karena itu daerah pertanaman kentang di Indonesia terbatas di dataran tinggi
dengan ketinggian tempat di atas 1000 meter di atas permukaan laut. Jenis tanah
di dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa pada umumnya adalah
tanah andosol (incepticol) yang rawan erosi sehingga budidaya kentang dilakukan
dengan penggunaan mulsa (Wattimena et al. 2000).
Pemanenan
Kegiatan pemanenan merupakan tahap akhir dari teknik budidaya tanaman
yang menentukan produksi yang dihasilkan. Pelaksanaan panen harus dilakukan
dengan benar dan tepat waktu, cara, dan kriteria umbi yang dipanen. Panen
tanaman kentang dilakukan pada umur 100-110 HST. Sepuluh hari sebelum panen
tanaman diberi herbisida. Tujuan pemberian herbisida adalah untuk mematikan
tanaman dan membuat batang tanaman kentang menjadi kering sehingga
memudahkan pekerjaan panen serta memudahkan umbi lepas dari stolon.
Pemanenan yang terlalu awal dapat menyebabkan rendahnya produksi dan kulit
umbi dapat terkelupas sehingga terinfeksi busuk umbi dan tidak dapat disimpan
lama (Ummah 2010).

4

Hama dan Penyakit Kentang
Menurut Luc et al. (1995), penyakit penting pada tanaman kentang
diantaranya disebabkan oleh Meloidogyne spp., Globodera spp., Phytophthora
infestans, Potato Virus X, Potato Virus Y, Potato Leaf Roll Virus, Ralstonia
solanacearum, dan Erwinia carotovora. Selain itu menurut Zitter dan Loria
(2001) penyakit pada kentang disebabkan oleh Streptomyces scabies,
Spongospora subterranean, Rhizoctonia solani, Helminthosporium solani,
Alternaria solani, Fusarium spp., Phytophthora infestans, Pythium spp.,
Phytophthora erythroseptica, Erwinia carotovora subsp. carotovora, Erwinia
carotovora subsp. atroseptica, Corynebacterium sepedonicum, dan Meloidogyne
spp. Nematoda parasit tanaman yang telah diketahui memparasit tanaman kentang
tercatat sebanyak 67 spesies yang tergabung dalam 24 genus. Dalam skala global,
nematoda parasit kentang yang dianggap penting secara ekonomi, berturut-turut
adalah Globodera (nematoda sista kentang), Meloidogyne (nematoda bengkak
akar), Ditylenchus (nematoda batang dan umbi), Pratylenchus (nematoda peluka
akar), Trichodorus dan Paratrichodorus (nematoda akar menjari), dan Nacobbus
(nematoda bengkak akar palsu) (Hadisoeganda et al. 2005).
Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)
Klasifikasi
Spesies Meloidogyne dikenal dengan “root-knot nematode atau nematoda
puru akar”. Kata Meloidogyne berasal dari bahasa Yunani yang artinya betina
berbentuk apel (apple-shaped female). Meloidogyne merupakan nematoda
endoparasit obligat yang bersifat menetap (sedentary). Nematoda ini adalah
endoparasit akar dan patogen penting pada berbagai spesies tanaman di dunia
(Dropkin 1991). Meloidogyne spp. termasuk ke dalam Kingdom Metazoa, Filum
Nematoda, Kelas Chromadorea, Famili Meloidogynidae, Subfamili
Meloidogyninae, dan Genus Meloidogyne (CABI 2007).
Arti Penting
Nematoda puru akar pertama kali dilaporkan pada tahun 1855 oleh Berkeley
(Mitkowski & Abawi 2003). Meloidogyne adalah genus terbesar yang tersebar
luas di seluruh dunia dan jumlahnya melimpah dibandingkan dengan nematoda
parasit tumbuhan lainnya. M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria merupakan
spesies Meloidogyne yang paling melimpah dan menyebabkan kerusakan pada
tanaman budidaya di daerah beriklim hangat dimana suhu udara pada musim
dingin tidak begitu rendah (Singh & Sitaramaiah 1994).
Ada enam spesies utama Meloidogyne yang merugikan secara ekonomi
yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, M. hapla, M. fallax dan
M. chitwoodi (Adam et al. 2007). M. chitwoodi (Columbia root-knot nematode)
dan M. fallax (false Columbia root-knot nematode) memiliki inang yang luas
termasuk tanaman sereal. Hal ini berarti pengendalian terhadap tanaman ini sangat
sulit dengan rotasi tanaman dibandingkan dengan tanaman yang memiliki inang
yang lebih sempit seperti M. hapla (northern root-knot nematode) (EPPO 2009).
Distribusi
Sebaran genus Meloidogyne di seluruh dunia berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Taylor et al.(1982) yaitu M. incognita 46.68%, M. javanica

5

39.73%, M. arenaria 6.65%, M. hapla 6.19, M. exigua 0.45%, M. chitwoodi
0.15%, dan M. oryzae 0.15%. Survei tersebut dilakukan terhadap tanaman
pertanian dari 76 negara di dunia yang tersebar di lima benua dan Kepulauan
Oceania. Terdapat empat spesies NPA yang sebaran dan perannya penting dalam
dunia pertanian, yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan M. hapla. Di
antara empat spesies tersebut, M. incognita merupakan patogen penting pada
berbagai jenis tanaman di daerah tropis dan subtropis (Luc et al. 1995).
Gejala Penyakit
NPA menyerang bagian tanaman di bawah permukaan tanah terutama akar,
dan umbi. Gejala pada bagian tanaman tersebut dikenal dengan sebutan puru.
Gejala pada bagian tajuk seperti kekurangan nutrisi dan kekurangan air. Secara
umum keberadaan nematoda ini tidak mematikan tanaman tetapi dapat
mempredisposisikan patogen sekunder lain seperti bakteri dan cendawan untuk
menginfeksi dan dapat menyebabkan kematian pada tanaman (Singh &
Sitaramaiah 1994). Secara umum gejala pada bagian tajuk menyebabkan tanaman
layu, umbi yang dihasilkan pun sedikit (Abawi et al. 2008).
Pada tanaman kentang, penampakan gejala yang khas dapat diamati melalui
akar atau umbi dengan menunjukkan adanya puru atau tonjolan berbagai ukuran
dan bentuk. Terjadinya puru dan ukurannya tergantung pada kerapatan nematoda
dan spesiesnya. Dalam keadaan lingkungan yang baik, umbi kentang dari semua
bentuk dan ukuran dapat terinfeksi. Umbi yang terinfeksi terbentuk puru sehingga
nampak seperti kutil pada permukaannya atau sama sekali tidak berubah bentuk.
Umbi kentang yang tidak menampakkan gejala berupa puru tidak menutup
kemungkinan bahwa kentang tersebut tidak terinfeksi oleh NPA sehingga perlu
dilakukan identifikasi untuk setiap kentang (Jayanti 2011).

Gambar 1 Gejala infeksi Meloiodogyne spp. pada umbi kentang (Jayanti 2011)
Biologi Meloidogyne spp.
Nematoda betina dari genus Meloidogyne berbentuk seperti buah pir,
membengkak kecuali pada bagian ujung anteriornya memanjang. Hidup pada
jaringan inangnya sebagai endoparasit menetap (sedentary endoparasite). Dinding
tubuhnya lunak dan berwarna putih dan tidak membentuk sista. Esofagus
berkembang baik dengan metakorpus yang membesar yang terdiri atas katup
(valve), isthmus yang pendek dan juga kelenjar yang membesar yang tumpang
tindih dengan usus secara ventral. Kutikula beranulasi, tidak berekor, anus dan
vulva pada bagian ujung. Stilet betina memanjang dengan basal knob yang
berkembang baik. Telur diletakkan dalam matriks gelatin. Ganti kulit pertama
terjadi dalam telur. Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dan

6
J2 menginisiasi pembentukan feeding site dengan
bantuan sekeresi kelenjar esofagus ke dalam selsel akar, membentuk sel raksasa

J2 berkembang menjadi
J3, J4 dan nematoda
dewasa. Puru terbentuk
sebagai respon parasitisme
nematoda

Sel
raksasa

J2 masuk ke akar dan ke
area perpanjangan akar

J2 yang infektif tertarik
pada ujung akar yang
sedang tumbuh
J1 ganti kulit
dalam telur

telur

Telur terbungkus
pada massa telur
pada bagian luar
betina dewasa

Massa
telur

Akar yang berpuru tidak cukup
menyediakan nutrisi bagi
tanamanan

Betina dewasa
memproduksi lebih dari
1000 telur. Jantan kurang
dibutuhkan

Gambar 2 Siklus hidup Meloidogyne spp. (Sumber: Mitkowski & Abawi 2003)
berpindah (migratory). Ekor jantan membulat, tanpa kaudal alae, memiliki satu
atau dua testes, spikula yang ramping, dan gubernakulum yang sederhana. Juvenil
2 (J2) setelah keluar dari telur kemudian berpindah dan infektif. Panjang J2 kirakira 280-500 µm, stiletnya ramping dengan panjang stilet 10 µm dengan basal
knob yang membulat. Juvenil 3 dan juvenil 4 membengkak (Singh & Sitaramaiah
1994).
Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) diawali dengan
pembentukan telur oleh nematoda betina dewasa yang terdapat dalam massa telur
(Gambar 2). Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan
berubah menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan hingga
500 telur dalam massa gelatinus. Telur-telur mengandung zigot sel tunggal
apabila baru diletakkan. Embrio berkembang menjadi juvenil 1 (J1) yang
mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur. Telur menetas dan J1
mengalami perubahan menjadi J2 yang muncul pada suhu dan kelembaban yang
sesuai dan bergerak di dalam tanah menuju ke ujung akar yang sedang tumbuh. J2
masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel akar dengan stiletnya. Setelah masuk ke
dalam akar, J2 bergerak diantara sel-sel sampai tiba di tempat dekat silinder pusat
atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. J2 akan hidup menetap pada
sel-sel tersebut, mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit menjadi J3 dan J4
yang selanjutnya akan menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin
1991) .
Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup di
dalam tanah atau pada jaringan akar. Betina dewasa tetap tertambat pada daerah

7

makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada
pada permukaan akar. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus
menghasilkan telur hingga mencapai 1000 telur. Keberadaan nematoda akan
merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuklah puru (Luc et al.
1995).
Spesies-spesies Meloidogyne
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) adalah patogen tumbuhan yang
sangat penting secara ekonomi dan tersebar luas di seluruh dunia. Nematoda ini
bersifat parasit obligat dan memparasit ribuan jenis tanaman termasuk monokotil,
dikotil, herba, dan tanaman berkayu. Spesies-spesies dari genus Meloidogyne ini
merupakan patogen utama pada tanaman pangan, sayuran, buah, dan tanaman
hias di daerah tropis, subtropis dan juga daerah beriklim empat musim
(Eissenback & Triantaphyllou 1991).
M. arenaria
M. arenaria tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah yang beriklim
lebih hangat sedangkan pada daerah yang bersuhu lebih dingin terdapat pada
tanaman di rumah kaca. M. arenaria bersifat polifag, menginfeksi baik dikotil
maupun monokotil. Secara morfologi, nematoda betina berbentuk seperti buah pir,
bagian posterior membengkak. Panjang stilet 13-17 µm, ujung stilet melengkung
ke arah dorsal, secara bertahap menyempit dan menumpul ke ujung anterior,
membulat, secara bertahap melebar ke ujung posterior. Basal knob membulat,
offset. Pola perineal bervariasi, membulat hingga lonjong dengan striae yang
halus. Lengkung dorsal rendah, rata dengan striae yang halus atau membengkok
mengarah ke ujung ekor pada garis lateral membentuk bahu pada bagian lengkung
lateral. Striae bagian dorsal dan ventral bertemu pada sebuah sudut di garis lateral.
Nematoda jantan seperti cacing (vermiform), bagian mulut tidak offset, halus,
lateral lip biasanya tidak ada. Panjang stilet 20-28 µm dengan basal knob offset.
Panjang tubuh juvenil 2 (J2) 392-605 µm, panjang ekor 44-69 µm dengan ujung
ekor yang membulat dengan panjang daerah hialin 6-13 µm (Hunt & Hundoo
2009).
M. chitwoodi
M. chitwoodi atau lebih dikenal sebagai Columbia root knot nematode
adalah spesies Meloidogyne yang banyak menginfeksi kentang di daerah beriklim
dingin. M. chitwoodi (Columbia root-knot nematode) dan M. fallax (false
Columbia root-knot nematode) memiliki inang yang luas termasuk tanaman sereal
(EPPO 2013). Kentang dan tomat adalah tanaman inang yang utama (Hunt &
Handoo 2009). M. chitwoodi tercatat pertama kali pada tahun 1980 di Amerika
Serikat. Spesies ini dideteksi di wilayah EPPO pada tahun 1980-an namun
kemungkinan telah berada di daerah tersebut pada akhir 1930-an. Daerah asal
M. chitwoodi tidak diketahui (EPPO 2013).
Secara morfologi, betina berwarna putih seperti mutiara, membulat hingga
berbentuk seperti buah pear. Pola perineal pada dasarnya bulat hingga oval yang
nyata dan terbelah, striae yang membelit dan keriting di sekitar bagian atas anus.
Vulva terletak pada bagian tanpa striae. Struktur seperti vesikel berada pada
bagian median bulb nematoda betina. Panjang nematoda betina 430-740 µm

8

(mean 591 µm: SD 60 µm), lebar 344-518 µm (mean 422 µm: SD 42 µm).
panjang stilet 11.2 – 12.5 µm(mean 11.9 µm: SD 0.3 µm), lebar knob stilet 3.44.3 µm (3.8 µm: SD 0.3 µm). panjang mulut kelenjar esofagus dorsal hingga
pangkal stilet 3.4 – 5.5 µm. Jarak vulva ke anus 13-22 µm (mean 18 V: SD 2 µm)
(Golden et al.1980).
M. fallax
M. fallax pertama kali ditemukan tahun 1996 di Belanda dan setelah itu
ditemukan pula di negara-negara lain di wilayah EPPO (EPPO 2013).
Persebarannya terutama di daerah Australia, Selandia Baru, dan juga Eropa
(Belgia, Prancis, Jerman, dan Belanda). Inang utama dari nematoda ini adalah
kentang, tomat, dan wortel, selain itu juga menyerang tanaman dikotil dan
monokotil (Hunt & Hundoo 2009). Betina beranulasi, putih seperti mutiara
dengan betntuk membulat hingga seperti buah pear, panjang 400-720 μm dan
lebar 250-460 μm. Stilet melengkung ke arah dorsal, panjang stilet 13.9-15.2 μm,
dengan knob yang membulat hingga lonjong. Jantan M. fallax memiliki ciri
berbentuk vermiform, beranulasi, menyempit ke arah anterior, posterior
membulat, panjangnya 735-1520 μm dan lebarnya 27-44 μm. Stilet memiliki
panjang 18.9-20.9, knob yang besar dan membulat (Karssen 1996).
M. hapla
M. hapla biasanya terdapat pada daerah empat musim dan pada dataran
tinggi di daerah tropis. Inang utamanya adalah tanaman dikotil. Secara morfologi,
betina berbentuk seperti buah pir, membengkak ke arah ujung. Panjang stilet 1317 µm,basal knob kecil, bulat, offset. Pola perineal membulat, lengkung dorsal
rendah, dan striae halus, memiliki tonjolan pada bagian dekat anus. Nematoda
jantan memiliki bagian lateral lip ada, dan bagian labial offset. Panjang stilet 1922 µm, basal knob kecil, membulat dan offset. Panjang juvenil 2 360-500 µm,
panjang ekor 48-70 µm, bagian hialin tidak teratur bentuknya, ujung ekor
membulat (Hunt & Hundoo 2009).
M. incognita
M. incognita tersebar di seluruh dunia, terbatas persebarannya pada tanaman
yang dibudidayakan di daerah yang beriklim empat musim. Umumnya sangat
polifag, menginfeksi baik tanaman dikotil maupun monokotil. Secara morfologi,
betina seperti buah pir, membengkak pada bagian posterior. Panjang stilet 15-16
µm,basal knob membulat, offset. Pola perineal berbentuk oval hingga bulat,
lengkung dorsal persegi, tinggi, straie biasanya bergelombang, daerah lateral ada
atau sangat tipis dengan striae yang menggarpu. Nematoda jantan memiliki
panjang stilet 23-26 µm, basal knob offset, bentuknya bulat dan memanjang
secara transversal. Panjang juvenil 2 (J2) 350-450 µm, panjang ekor 43-65 µm
dengan panjang daerah hialin 6-14 µm, ujung ekor membulat (Hunt & Hundoo
2009).
M. javanica
M. javanica tersebar di seluruh dunia, terbatas persebarannya pada tanaman
yang dibudidayakan di daerah yang beriklim empat musim. Umumnya sangat
polifag, menginfeksi baik tanaman dikotil maupun monokotil. Secara morfologi,
betina seperti buah pir, membengkak pada bagian posterior. Panjang stilet 14-18

9

µm, basal knob stilet lonjong, dan offset. Pola perineal membulat, lengkung dorsal
rendah, striae halus, bagian lateral jelas, garis pembatas yang jelas dari striae yang
terbentuk dari garis paralel. Nematoda jantan seperti cacing (vermiform), bagian
bibir offset dan memiliki lateral lip. Panjang stilet 19-24 µm, basal knob lonjong
dan offset. Panjang juvenil 2 (J2) 400-560 µm, panjang ekor 47-60 µm dengan
panjang daerah hialin 9-18 µm, membulat pada ujung ekor (Hunt & Hundoo
2009).
Deteksi dan Identifikasi Meloidogyne
Metode deteksi dan identifikasi Meloidogyne spp. awalnya dengan cara
konvensional. Eissenback et al. (1980) telah mencoba membedakan antar spesies
M. arenaria, M. javanica, M. hapla, dan M. incognita berdasarkan karakter
morfologi dari struktur kepala, pola perineal (perineal pattern), dan juga stilet
nematoda betina. Identifikasi karakter morfologi terhadap nematoda jantan pun
dilakukan berdasarkan bentuk kepala dan juga stilet (Eissenback et al. 1981).
Karakter utama yang digunakan untuk pengidentifikasian spesies Meloidogyne
yaitu perbedaan pola kutikular pada bagian vulva dan anus (perineal pattern),
perbedaan jarak antara bagian depan kelenjar esofaghus dengan pangkal stilet, dan
perbedaan bentuk dan ukuran stilet (Decker 1988).
Namun, pengidentifikasian secara morfologi memerlukan keahlian yang
tinggi karena antar spesies memiliki karakter morfologi yang hampir sama. Selain
dengan cara konvensional, saat ini pengidentifikasian nematoda dilakukan dengan
cara molekuler yaitu dengan metode PCR (polymerase chain reaction). Metode
PCR tersebut sangat sensitif, dan dapat digunakan untuk melipatgandakan satu
molekul DNA (Yuwono 2006).
Identifikasi dengan metode PCR merupakan alternatif deteksi untuk spesies
Meloidogyne (Zijlstra et al. 2000). Tidak dapat dipungkiri bahwa metode berbasis
PCR meningkatkan arti penting dalam diagnosis spesies dan filogeni dalam genus
Meloidogyne. Teknik-teknik itu termasuk RFLP (restriction fragment length
polymorphism) pada ITS (internal transcribed spacer) wilayah rDNA, fragmen
RAPD (random amplified polymorphic DNA), sekuen 18S rDNA, probe DNA
satelit dan primer-primer spesifik (Hunt & Handoo 2009).
Harris et al.( 1990) berhasil melakukan amplifikasi DNA mitokondria dari
larva dan telur nematoda dengan reaksi PCR. Power dan Harris (1993) merancang
primer untuk amplifikasi daerah antara kode gen mitokondria untuk oksidasi
sitokrom sub unit II dan primer 16S rRNA untuk membedakan M. incognita,
M. javanica, M. arenaria, M. hapla dan M. chitwoodi. Sampel DNA yang
digunakan berasal dari juvenil Meloidogyne yang berasal dari 70 negara.
Williamson et al. (1997) menggunakan primer khusus sequence characterized
amplified region (SCAR) untuk amplifikasi ekstrak DNA dari larva nematoda
menggunakan metode gabungan proteinase K untuk mengidentifikasi M. hapla
dan M. chitwoodi. Ziljstra et al. (2000) menggunakan wilayah ITS rDNA sebagai
target PCR untuk mengidentifikasi M. arenaria, M. javanica dan M. incognita
dengan primer SCAR dengan sampel DNA yang berasal dari massa telur, juvenil,
dan nematoda betina. Wishart et al. (2000) mendesain primer multipleks yang

10

memungkinkan untuk mengidentifikasi tiga spesies sekaligus yaitu M. fallax,
M. hapla, dan M. chitwoodi dengan tiga pasang primer.
De Lay et al. (2002) menggunakan sekuen 18S rDNA untuk membuat
filogeni, bahkan Tigano et al. (2005) selain menggunakan sekuen 18S rDNA juga
menggunakan sekuen wilayah IGS (intergenic spacer) rDNA mitokondria. Carta
et al. (2006) merekomendasikan protokol molekuler untuk mengidentifikasi
nematoda puru akar pada kentang. Qiu et al. (2006) mengembangkan protokol
untuk PCR dalam mengidentifikasi M. arenaria, M. javanica, dan M. incognita
dari ekstrak tanah dengan target amplifikasi pada wilayah ITS rDNA.

11

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi,Departemen Proteksi
Tanaman, IPB; Laboratorium Karantina Tumbuhan Tanjung Priok Wilker Pos
Bogor; dan Laboratorium Karantina Tumbuhan BBKP Soekarno-Hatta dari bulan
Oktober 2014 hingga Maret 2015.
Pengambilan Sampel Umbi
Pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi, yaitu Desa Marga Mukti,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung (Jawa Barat); Desa Wanayasa,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah); dan Desa Sumber
Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (Jawa Timur). Pengambilan sampel
dilakukan pada tempat penangkaran benih kentang yang menunjukkan gejala
umbi berbintil. Sampel dimasukkan dalam amplop kertas dan dan disimpan dalam
kotak sampel.
Identifikasi Spesies Meloidogyne berdasarkan Karakter Morfologi
Umbi berbintil yang diduga terinfeksi nematoda dibedah untuk
mendapatkan betina dewasa. Nematoda betina diletakkan di dalam cawan
Syracuse yang sebelumnya telah diberi air. Nematoda betina dewasa dipisahkan
dari jaringan kentang dengan jarum preparat. Pembuatan preparat untuk nematoda
betina dilakukan dengan cara memotong bagian anterior dan posterior dengan
skalpel kemudian bagian posterior dibersihkan dengan 45% asam laktat
menggunakan jarum pengait nematoda. Setelah itu potongan nematoda betina
dipindahkan ke atas gelas objek yang telah ditetesi dengan lactophenol blue dan
ditutup dengan gelas penutup (Gambar 3). Gelas penutup direkat dengan cat kuku
kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop kompon dengan perbesaran
400 x. Konfirmasi spesies nematoda berdasarkan kunci identifikasi pada
http://nematode.unl.edu, kunci identifikasi Meloidogyne spp. oleh Eissenback et
al. (1981) dan kunci identifikasi NPA oleh Eissenback et al. (1991).
Identifikasi NPA berdasarkan PCR ITS r-DNA
Ekstraksi Nematoda Betina
Sebanyak 10-20 nematoda betina yang telah dipisahkan dari umbi berbintil,
dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL kemudian ditambahkan 150 μL bufer
ekstrak (200 mM Tris-HCl: pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA dan SDS 0.5%)
kemudian digerus dengan mikropistil steril. Setelah homogen ditambahkan
kloroform isoamilalkohol sebanyak 150 μL, divorteks selama 3 menit, kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang
terbentuk dimasukkan ke dalam tabung mikro baru. Ditambahkan larutan sodium
asetat 3 M (pH 5.2) 0.5 volume kemudian tabung dibolak-balik dan kemudian
disimpan di lemari pendingin pada suhu 20 °C selama 10 menit atau semalam.
Suspensi yang didapat disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 15

12

menit. Supernatan diambil dan tambahkan 2/3 volume isopropanol kemudian
dibolak-balik. Supernatan disimpan pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi
disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang
terbentuk dibuang, ditambahkan etanol 80% sebanyak 200 mL etanol untuk
mencuci pelet (endapan DNA), kemudian cairan pelet disentrifugasi dengan
kecepatan 12 000 rpm selama 15 menit. Cairan etanol dibuang dan endapan DNA
dikeringanginkan dengan cara membalik tabung mikro. Bufer TE (10 mM TrisHCl: pH 8.0, 1 mM EDTA) ditambahkan pada tabung mikro sesuai dengan
ketebalan endapan DNA, pada endapan yang tipis sebanyak 30-40 μL dan untuk
endapan yang tebal 50-100 μL.
Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA menggunakan primer spesifik dilakukan untuk M.
incognita, yaitu MI-F (5’-GTG AGG ATT CAG TCT CCCAG-3’) dan MI-R (5’ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-3’) (Meng et al. 2004);
M.
arenaria Far (5’-TCG GCG ATA GAG GTA AAT GAC-3’) dan Rar (5’-TCG
GCG ATA GAC ACT ACA AAC T-3’), dan M. javanica Fjav (5’-GGT GCG
CGA TTG AAC TGA GC-3’) dan Rjav (5’-CAG GCC CTT CAG TGG AAC
TAT AC-3’) (Zijlstra et al. 2000). Deteksi M. hapla, M. falax, dan M. chitwoodi
menggunakan primer multipleks, yaitu JMV1 (5’-GGA TGG CGT GCT TTC
AAC-3’), JMV2 (5’-TTT CCC CTT ATG ATG TTT ACC C-3’), dan JMV-hapla
(5’-AAA AAT CC CTC GAA AAA TCC ACC-3’) (Wishart et al. 2002).
Reaksi PCR yang digunakan untuk setiap reaksi PCR dengan primer yang
spesifik yaitu 12.5 μL 2x master mix (KAPPA), 1 μL primer forward 10 μM,
1 μL primer reverse 10 μM, dan 2 μL DNA, dan 8.5 μL ddH2O sehingga total
volume reaksi 25 μL. Reaksi PCR menggunakan primer multipleks terdiri atas
12.5 μL 2x master mix (KAPPA), 1 μL JMV1 10 μM, 1 μL JMV2 10 μM,
1
μL JMV hapla 10 μM, dan 2 μL DNA, dan 7.5 μL ddH2O sehingga total volume
reaksi 25 μL. Selanjutnya dilakukan amplifikasi pada mesin PCR (thermo cycler)
dengan Program yang berbeda sesuai dengan spesies Meloidogyne yang
diinginkan (Tabel 1).
Tabel 1 Amplifikasi fragmen ITS-rDNA spesies Meloidogyne menggunakan PCR
Spesies
M. javanica
M.incognita
M. arenaria
M..chitwoodi,
M. fallax,
dan M. hapla

Denaturasi
awal
940C; 4’
950C; 2’
940C; 4’
940C; 4’

Denaturasi

Annealing

940C;30”
940C;30”
940C;30”
940C;30”

550C;45”
570C;45”
550C;45”
500C ;30”

Pemanjangan
pertama
720C; 1’
720C; 2’
720C; 1’
720C; 90’’

Pemanjangan
akhir
720C;7’
720C;10’
720C;7’
720C;7’

Jumlah
siklus
30
35
35
45

Hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat DNA melalui elektroforesis
menggunakan gel agarosa 1% dalam 90 mL bufer TAE 2x. Pengukuran fragmen
DNA menggunakan penanda 100 pb DNA ladder (Fermentas, United States of
America). Sampel disiapkan dengan mencampur 5 μL DNA, 2 μL gel red 1%,
dan 2 μL loading dye, kemudian sampel diisikan dalam sumuran gel sebanyak 9
μL menggunakan pipet mikro. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 50 volt DC
selama 60 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan gel doc (BIORAD).

13

Sikuen hasil PCR
Sikuen hasil PCR dilakukan terhadap sampel yang positif. Hasil sikuen
dianalisis menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST)
dengan program optimasi untuk mendapatkan urutan basa DNA yang terdapat
dalam situs National Center for Biotechnology Information (NCBI)
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blast.cgi). Pembentukan pohon filogeni
dengan software Clustal W (Bioedit version 6.05) dan program Mega version
5.05. berdasarkan pendekatan Neighbour Joining (NJ) (Handayani 2012).

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Pengambilan Sampel
Sampel kentang berasal dari penangkar benih kentang di tiga sentra
produksi kentang di Pulau Jawa yaitu pertama Desa Margamukti, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung (Jawa Barat) yang terletak pada ketinggian
1470 mdpl, dengan posisi S: 070 11.876’ dan E: 1070 36.497’ dengan suhu 200C.
Lokasi yang kedua berasal Desa Wanayasa, Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara (Jawa Tengah) yang terletak pada ketinggian 1400 mdpl, dengan
posisi S: 070 12. 087’ dan E: 1090 46.057’ dengan suhu 200C . Lokasi yang ketiga
berada di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (Jawa Timur)
yang berada pada ketinggian 1635 mdpl dan berada pada posisi S: 070 76. 359’
dan E: 1120 52. 545’ (Gambar 3).

aa

cc

bb

Gambar 3 Lokasi pertanaman kentang (a) Pangalengan (Jawa Barat); (b)
Banjarnegara (Jawa Tengah); (c) Kota Batu (Jawa Timur)
Gejala Penyakit Meloidogyne spp.
Gejala pada umbi kentang yang terinfeksi Meloidogyne spp. yaitu
permukaan kulit umbi tidak rata, bergelombang dan berbintil dan terkadang
disertai dengan adanya infeksi dari patogen lain sehingga umumnya umbi cepat
busuk (Gambar 4). Bentuk dan ukuran puru tergantung kepada spesies nematoda,
jenis tanaman dan faktor lingkungan (Decker 1988). Bagian umbi yang sakit bila
bagian kulit luarnya dibuka akan tampak bercak-bercak berwarna krem
kekuningan dan bila dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran rendah akan tampak nematoda betina (Gambar 5).

a
Gambar 4

b

c

Variasi gejala yang disebabkan oleh Meloidogyne spp. pada umbi
(a) permukaan kulit umbi tidak rata; (b) bergelombang; (c) berbintil

15

Gambar 5 Gejala nekrosis pada umbi kentang yang terinfeksi Meloidogyne spp..
Secara umum, bobot umbi yang terserang Meloidogyne spp. lebih rendah
dibandingkan dengan umbi yang sehat. Infeksi M. incognita pada kentang, secara
statistik dapat mengurangi bobot umbi pada kentang (Gondal et al. 2012).
Nematoda betina Meloidogyne spp. yang terdapat dalam umbi terdiri atas berbagai
stadia, mulai stadia muda hingga dewasa dengan massa telur (Gambar 6).
Dalam satu umbi, terdapat beberapa spesies Meloidogyne yang dapat
menginfeksi bersama. Umbi yang terserang akan berwarna kecoklatan dan
neksrosis pada bagian dalam umbi. Nekrosis pada umbi ini terjadi karena adanya
reaksi enzimatis yang dikeluarkan oleh nematoda Meloidogyne spp.. Reaksi ini
menyebabkan hancurnya jaringan pektin pada umbi. Nematoda parasit umunya
menyebabkan terjadinya pektinolitik pada jaringan inang. Pada akar, sekresi
enzim selulase dan pektinase juga mampu mendegradasi sel hingga ujung akar
luka dan pecah, hal ini menyebabkan auksin tidak aktif. Tidak aktifnya auksin
maka pertumbuhan tanaman terhambat (Supramana et al. 2008).
Setiap massa telur berisi 300-400 butir telur Meloidogyne spp. Batas
toleransi untuk M. incognita pada kentang diperkirakan 1.2 telur dan juvenil/cm3
tanah (Russo et al. 2007) lebih besar dibandingkan untuk M. hapla yaitu 50
telur/250 cm3 tanah (Brodie et al. 1993) dan 0.50-0.64 telur dan juvenil instar
2/cm3 tanah untuk M. javanica dalam pot percobaan di rumah kaca (Vovlas et al.
2005).

b
a
Gambar 6 Nematoda betina Meloidogyne spp. dengan massa telur (a) nematoda
betina; (b) massa telur

16

Spesies Meloidogyne berdasarkan Morfologi Pola Perineal
Tiga spesies Meloidogyne, yaitu M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria
berhasil diidentifikasi secara morfologi melalui sidik pantat (pola perineal)
nematoda betina pada ketiga sampel asal Jawa Barat, Jawa Tengah dan
JawaTimur. M. incognita dan M. javanica ditemukan pada ketiga lokasi,
sedangkan M. arenaria ditemukan pada sampel asal Pangalengan.
Gambar 7 memperlihatkan adanya ciri khusus dari M. incognita.
Lengkungan striae bagian dorsal berbentuk persegi (sudut ± 90◦) dan merupakan
karakter khusus dari M. incognita (Eissenback et al. 1981). M. javanica terlihat
menunjukkan adanya garis lateral yang jelas pada daerah yang memisahkan
bagian dorsal dan juga ventral (Gambar 8). M. javanica memiliki ciri khusus
yaitu adanya dua garis lateral yang memisahkan antara bagian dorsal dan ventral
(Eissenback et al. 1991). Secara khusus pola perineal dari M. arenaria sangat
bervariasi (Gambar 10). Ciri tersebut ditandai dengan lengkungan tepi yang
rendah dan bulat, dengan striae yang halus hingga bergelombang (Eissenback &
Triantaphyllou 1991).

Gambar 7

Pola perineal M. incognita (Perbesaran 400x). (a) M. incognita
menurut Eissenback et al. (1981); (b) M. incognita asal
Pangalengan; (c) M. incognita asal Banjarnegara; (d) M. incognita
asal Kota Batu

17

Gambar 8 Pola perineal M. javanica (Perbesaran 400x). (a) M. javanica menurut
Eissenback et al. (1981); (b) M. javanica asal Pangalengan;
(c) M. javanica asal Banjarnegara; (d) M. javanica asal Kota Batu