Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

Lampiran 1. Tahapan Penelitian
Generasi

Jumlah tanaman

Tindakan

Parental (Tetua)

Persilangan
G X N1
G X N2
G X N3
G X N4
G X N5

F1

1700

F2


532

Dilakukan persilngan
antara nomor-nomor
kedelai turunan Grobogan
yang terdapat gen
salinitas (N1, N2, N3, N4
dan N5) sebagai tetua
jantan dengan vaerietas
Grobogan (G) sebagai
tetua betina
Bulk plot, penanaman
dikelompokkan/diberi
jarak sesuai produksi
yang tinggi
Penanaman di beri jarak
untuk diseleksi secara
visual


Lampiran 2. Bagan Penelitian

G

N1

N2

N3

N4

N5

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3. Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian
No

Pelaksanaan Penelitian


1

Seleksi benih

2
3
4
5
6

Persiapan media tanam
Pembuatan rumah plastic
Penanaman
Pemupukan
Pemeliharaan

7

Penyiraman

Penyulaman dan Penjarangan
Penyiangan
Pengendalian hama dan penyakit
Panen

8

Peubah Amatan
Tinggi tanaman (cm)

1
X

2

3

4

5


6

Minggu Ke7
8
9

10

11

12

13

X
X
X
X
Disesuaikan dengan kondisi lapangan

Disesuaikan dengan kondisi lapangan
Disesuaikan dengan kondisi lapangan
Disesuaikan dengan kondisi lapangan
X
X

Jumlah cabang (cabang)
Umur berbunga (hari)
Jumlah polong berisi per tanaman (polong)
Jumlah Polong Hampa per tanaman (polong)
Bobot biji per tanaman (g)
Bobot 100 biji (g)

14

X
X
X
X
X

X

Umur panen (hari)

X

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 4. Deskripsi varietas Grobogan

Nama Varietas

: Grobogan

SK

: 238/Kpts/SR.120/3/2008

Tahun


: 2008

Tetua

: Pemurnian populasi Lokal Malabar Grobogan

Rataan Hasil

: 3,40 ton/ha

Potensi Hasil

: 2,77 ton/ha

Karakter Khusus

: Polong masak tidak mudah pecah, dan pada saat panen
daun luruh 95–100% saat panen >95% daunnya telah luruh

Pemulia


: Suhartina, M. Muclish Adie, T. Adisarwanto, Sumarsono,
Sunardi, Tjandramukti, Ali Muchtar, Sihono, SB.
Purwanto, Siti Khawariyah, Murbantoro, Alrodi, Tino
Vihara, Farid Mufhti, dan Suharno

Tipe pertumbuhan

: Determinate

Warna hipokotil

: Ungu

Warna epikotil

: Ungu

Warna daun


: Hijau agak tua

Warna bulu batang

: Cokelat

Warna bunga

: Ungu

Warna kulit biji

: Kuning muda

Warna polong tua

: Cokelat

Warna hilum biji


: Cokelat

Bentuk daun

: Lanceolate

Umur bunga

: 30-32 hari

Umur polong masak : ± 76 hari
Tingi tanaman

: 50-60 cm

Bobot biji

: ± 18 g/100 biji

Kandungan protein

: 43,9%

Kandungan lemak

: 18,4%

Universitas Sumatera Utara

Daerah sebaran

: Beradaptasi baik pada beberapa kondisi lingkungan
tumbuh yang berbeda cukup besar, pada musim hujan dan
daerah beririgasi baik.

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 5. Foto Lahan

Foto Lahan dari Samping

Foto Tanaman Mati

Foto Tanaman Tampak Depan

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 6. Hasil Panen

GXN1 (103)

GXN2 (tan 97)

GXN3 (tan 50)

GXN3 (14)

GXN4 (30)

GXN5 (17)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T.2007. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan
Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai, Penebar Swadaya. Jakarta
Aminah, S., Rosmayati dan Lutfi, A,M,S,. 2013. Seleksi
(Glycine max (L) Merril). J Agr 1 (3) : 637- 645

Galur

Kedelai

Alia, Y dan W.Wilia. 2010. Persilangan Empat Varietas Kedelai Dalam Rangka
Penyediaan Populasi Awal Untuk Seleksi. Universitas Jambi. Jambi.
BPS. 2013. Produksi Padi Tahun 2013 (Angka Ramalan I) Diperkirakan Naik
0,31 Persen Dibandingkan Produksi Tahun 2012. Badan Pusat Statistik
No. 45/07/ Th. XVI.
Barmawi,M. 2007. Pola Segregasi dan Heritabilitas Sifat Ketahanan Kedelai
Terhadap Cowpea Mild Mattle Virus Populasi Wilis X MLG 251.
J.HPT Trop. 7 (1) : 48-52
Djulfry, F.,Sudarsono dan Lestari,M.S. 2011. Tingkat Tolerasnsi Beberapa Galur
Harapan Padi Pada Kondisi Salinitas Di Lahan Rawa Pasang Surut.J 10
(2) : 196-207 J.Agrivigor
Handayani , T. 2014 . Persilangan Untuk Merakit Varietas Unggul Baru Kentang.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung
Hakim, L,. Dan Suyamto. 2012. Heritabilitas dan Harapan Kemajuan Genetik
Beberapa Karakter Kuantitatif Populasi Galur F4 Kedelai Hasil
Persilangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian. Bogor
Hartati, S, Barmawi, M dan Sa’diyah, N. 2013. Pola Segregasi Karakter
Agronomi Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) Generasi F2 Hasil
Persilangan Wilis X B3570. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Bandar Lampung
Henuhili, V. 2012. Persilangan dan Aklimatisasi Pada Bibit Anggrek. Skripsi.
Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta
Krisnawati dan Adie, M. 2008. Kendali Genetik dan Karakter Penentu Toleransi
Kedelai Terhadap Salinitas. Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan
Umbi-umbian. Malang
Masruroh,F.M, Nasrullah dan Murti, R.H. 2009. Analisis Rata – Rata Generasi
Persilangan Tomat LV 6123 Dan LU 5152. Agrivita 31 (2) : 166-175

Universitas Sumatera Utara

Meirina,T., Sri,D., dan Sri,H. 2010. Produktivitas Kedelai (Glycine max (L.)
Merril var Lokon) Yang Diperlakukan Dengan Pupuk Organik Cair
Lengkap Pada Dosis dan Waktu Pemupukan Yang Berbeda. Biologi
MIPA UNDIP. Semarang
Milani, A., Rosmayati dan Lutfhi A.S. 2013. Pertumbuhan dan Populasi Beberapa
Varietas Kedelai Tehadap Inokulasi Bradyrhizobium. J. Agr 1 (2) : 15-22
Nurcahyaningtyas, H.R. 2012. Efek Anthiperlipedemi Susu Kacang Kedelai
(Glycine max (L) Merr.) Pada Tikus Putih Jantan Yang Diberi Dosis
Tinggi Kolestrol dan Lemak. Skripsi, Universitas Indonesia. Depok
Nugroho, S, Barmawi, M dan Sa’diyah, N. 2013. Pola Segregasi Karakter
Agronomi Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) Generasi F2 Hasil
Persilangan Yellow Bean dan Taichung. Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung. Bandar Lampung
Saragih, D.Y,. 2014. Keragaman Genetik Mutan Kedelai (Glycine max L.) M2
dan M3 Berdasarkan Marka RAPD Serta Pengaruh Naungan Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi M3 Hasil Mutasi Kolkisin. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan. 31 (1) : 1-5
Siahaan,S.P. 2012. Uji Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. Merril) Pada
Kondisi Intensitas Cahaya Rendah. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Medan
Sihaloho, A,N., Trikoesoemaningtyan, Sopandie,D.,dan Wirnas, D. 2015.
Identifikasi Aksi Gen Epistasis pada Toleransi Kedelai Terhadap Cekaman
Aluminium. Fakultas Pertanian. Universitas Sisingamangaraja XII.
Tapanuli Utara
Sirait, H. 2013. Studi Pertumbuhan dan Produksi Sistem Tanam dan Varietas
Kedelai Diantara Barisan Pertanaman Kelapa Sawit Umur 16 Tahun.
Skripsi. Universitas Sumatera. Medan
Sitepu,Z.A.L., Rosmayati., dan Isman,N. 2014. Seleksi Galur Kedelai (Glycine
Max (L.) Merril) Generasi F4 Pada Tanah Salin. J Agr 2 (4) : 1287-1293
Suprapto, Narimah.,Khairudin. 2007. Variasi Genetik Heritabilitas Tindak Gen
dan Kemajuan Kedelai (Glycine max L.) Pada Tanah Ultisol. J HPT 9 (2)
: 183-190
Syakir,M., Maslahah,N., dan Januwati,M. 2008. Pengaruh Salinitas Terhadap
Pertumbuhan, Produksi dan Mutu Sambiloto (Andrographis paniculata
Ness).
Balai
Penelitian
Tanaman
Obat
dan
Aromatik.
Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Syukur, M. Sriani,S., Rahmi,Y,. Dan Darmawan, A, K,. 2011. Pendugaan Ragam
Genetik dan Heritabilitas Karakter Komponen Hasil Beberapa Genotipe
Cabai. J. Agrivigor 10 (2) : 148-156
Tawakkal,M.I. 2009 Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas
Kedelai (Glycine max L.) Terhadap Pemberian Pupuk Kandang Kotoran
Sapi. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan
Tulus,

S. 2011. Uji Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai
(Glycine max (L.)Merrill) Berdaya Hasil Tinggi Pada Lahan Kering Di
Manggoapi Manokwari. Skripsi. Universitas Negeri Papua. Manokwari

Wahyu, G, Mangoendidjojo, W., Yudono, P, dan Kasno, A. 2014. Analisis Nilai
Tengah Generasi Untuk Umur Panen Keturunan Persilangan Tiga
Varietas Kedelai. Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wibowo, F. 2015. Seleksi Morfologi dan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine
max (L.) Merr. Turunan F2 Pada Cekaman
Yusuf, A dan D. Harnowo. 2012. Teknologi Budidaya Kedelai Mendukung SLPTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Sumatera Utara.
Zahrah, S. 2011. Respon Berbagai Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill.)
terhadap Pemberian Pupuk NPK Organik. J. Teknobiol. 2(1): 65-69

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Plastik Buatan dalam Rumah Kasa
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat
± 25 m diatas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015
sampai dengan Agustus 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Kedelai F2 hasil
persilangan Varietas Grobogan dengan Genotipe tahan salin sebagai objek
penelitian, tanah salin (5- 6 DHL) sebagai media tanam, pupuk Urea, TSP dan
KCl untuk pemupukan dasar, Polybag 10 kg sebagai wadah tanam, plastik bening
15 kg untuk pelapis polybag, fungisida untuk mengendalikan jamur, insektisida
untuk mengendalikan hama, air untuk menyiram tanaman, dan label untuk
memberi tanda pada polybag serta selang untuk menyiram tanaman.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengukur kadar
garam (Electro Conductivity Meter) untuk mengukur DHL tanah salin, gembor
untuk menyiram tanaman, timbangan untuk menimbang pupuk dan tanah, cangkul
dan alat lain yang mendukung penelitian ini serta termometer untuk mengukur
suhu lingkungan.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengunakan hasil persilangan kombinasi antara varietas
grobogan (G) yang disilangkan terhadap genotipanya (N1, N2, N3, N4 dan N5).
Pada penelitian ini menggunakan lima kombinasi persilangan sebagai berikut :
G x N1, G x N2, G x N3, G x N4 dan G x N5.

Universitas Sumatera Utara

Analisis Data
Uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F2 dilakukan
untuk masing-masing karakter menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk
dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi 16.0.
Kenormalan data dilihat dari nilai kemenjuluran (Skewness) dan Kurtosis.
Menurut Roy (2000), apabila nilai skewness dan kurtosis yang diperoleh:
Skewness

=0

sebaran normal

=aksi gen aditif

Skewness

0

=aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis

komplementer

Kurtosis

=3

Bentuk kurva mesokurtik

Kurtosis

3

banyak gen

sedikit gen

Universitas Sumatera Utara

PELAKSANAAN PENELITIAN
Seleksi Benih
Benih yang digunakan adalah benih yang telah melalui tahap seleksi
sebelumnya. Benih yang digunakan adalah benih yang memiliki bentuk dan
ukuran yang terbaik serta bebas dari bibit penyakit.
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan yaitu tanah salin pada penelitian sebelumnya
yang diambil dari kecamatan precut sei tuan dengan dhl 5-6 mmhos/cm ditimbang
sebanyak 10 kg dan dimasukkan kedalam polybag ukuran 10 kg dilapisi dengan
plastik bening ukuran 15 kg lalu secara bersamaan dimasukkan selang untuk
tempat menyiram.
Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam 2 cm, kemudian
dimasukkan 1 benih per polybag kemudian ditutup kembali dengan tanah.
Pemupukan
Pemupukan dilakukan saat penanaman sesuai dosis anjuran kebutuhan
pupuk kedelai yaitu 100 kg/ha Urea (0,625 g/polybag), 200 kg/ha TSP (1,25
g/polybag), dan 100 kg KCl/ha (0,625 g/polybag).
Pemeliharaan Tanaman
Penyiraman dan Penjagaan Kadar Salinitas
Penyiraman dilakukan pada saat sore hari atau disesuaikan dengan kondisi
tanah melalui selang yang dimasukkan ke polybag bertujuan agar air didalam dan
dipermukaan polybag seimbang. Penjagaan kadar dhl 5-6 mmhos/cm tetap

Universitas Sumatera Utara

diperhatikan, kadar salinitas akan diukur sekali dalam dua minggu menggunakan
electro conductivity meter.
Penyiangan
Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma yang
tumbuh disekitar areal tanam, didalam dan diluar polybag sesuai kondisi
dilapangan.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian

hama

dilakukan

jika

terjadi

serangan,

dengan

menyemprotkan Deltamethrin 2,5 EC dengan konsentrasi 2 cc/liter air, sedangkan
pengendalian penyakit menggunakan mankozeb m-45 dengan dosis 2 cc/liter,
pengendalian disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Pemanenan
Panen dilakukan dengan secara manual dengan memetik polong satu per
satu dengan menggunakan tangan. Panen dilakukan pada tanaman yang berumur
76-85 hari, kkriteria panen ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning
Peubah Amatan
Jumlah Daun (helai)
Jumlah daun dihitung setiap minggu dari 2 MST sampai masuk masa
generatif yang ditandai dengan munculnya bunga. Daun kedelai termasuk jenis
daun trifoliate
Jumlah Cabang (cabang)
Penghitungan jumlah cabang dilakukan dengan menghitung jumlah
cabang yang muncul disekitar batang utama. Penghitungan cabang dilakukan pada
saat tanaman berumur 2 MST.

Universitas Sumatera Utara

Umur Berbunga (HST)
Umur berbunga dilakukan dengan cara menghitung umur awal tanaman berbunga,
setelah itu diamati setiap hari sampai tanaman terakhir berbunga.
Jumlah Polong per Tanaman (polong)
Pengamtan dilakukan dengan menghitung semua polong untuk setiap
tanaman pada saat panen.
Jumlah Polong Berisi per Tanaman (polong)
Pengamatan dilakukan terhadap semua polong berisi setiap tanaman dan
dilakukan pada saat panen.
Jumlah Polong Hampa per Tanaman (polong)
Pengamtan dilakukan dengan menghitung semua polong hampa untuk
setiap tanaman pada saat panen.
Bobot Biji per Tanaman (g)
Dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan per tanaman yang telah
dikeringkan sebelumnya.
Jumlah Biji (g)
Dilakukan dengan membuka polong setiap tanaman keudian menghitung
biji satu per satu pada setiap tanaman.
Umur Panen (hari)
Pengamatan umur panen dilakukan pada tanaman yang telah memenuhi
kriteria panen yaitu ditandai dengan kulit polong sudah berwarna kuning
kecoklatan sebanyak 95% dan daun sudah berguguran.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil penelitian persilangan G x N2 merupakan genotipe yang terbaik
dari produksi tanaman. Untuk umur berbunga paling cepat terdapat pada
persilangan G x N5 dan umur panen paling cepat terdapat pada persilangan
G x N4.
Jumlah Daun (helai)
Tabel 1. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter jumlah daun
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan Keterangan
Aditif+Epistasis
G x N1
-0,02
1,29
Platykurtik
Duplikat
Aditif+Epistasis
G x N2
0,47
-0,52
Platykurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
7,14
Leptokurtik
G x N3
2,43
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N4
-0,13
-0,78
Platykurtik
Duplikat
Aditif+Epistasis
0,08
Platykurtik
G x N5
0,64
Komplementer
7
6

Frequency

5

G
(4,69)
G X N1
(4,23)

4
3
2
1
0
2

3

4

5

6

7

JD ( helai)

Gambar 1. Kurva sebaran jumlah daun G x N1.
Berdasarkan tabel 2 untuk persilangan G x N1 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar -0,02 dan nilai kurtosis 1,29 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut menunjukkan kemenjuluran ke arah kiri karena adanya pengaruh
aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis duplikat dan memiliki bentuk kurva

Universitas Sumatera Utara

platykurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 1.

3,0

2,5

G
(4,69)

Frequency

2,0

1,5

G X N2
(4,91)

1,0

0,5

0,0
1

2

3

4

5

6

7

8

JD ( helai)

Gambar 2. Kurva sebaran jumlah daun G x N2.
Pada persilangan G x N2 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,47 dan
nilai kurtosis -0,52 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

20

GXN3
(5,00)
G
N3
(4,69)
(5,71)

Frequency

15

10

5

0
0

3

6

9

12

JD ( helai)

Gambar 3. Kurva sebaran jumlah daun G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 2,43 dan
nilai kurtosis 7,14 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva leptokurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

3,0

2,5

G
(4,69)

Frequency

2,0

1,5

GXN4
(4,88)

1,0

0,5

0,0
2

3

4

5

6

7

8

JD ( helai)

Gambar 4. Kurva sebaran jumlah daun G x N4.
Pada persilangan G x N4 memiliki nilai kemenjuluran sebesar -0,13 dan
nilai kurtosis 0,78 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kiri karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
duplikat dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan
oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.

12

G
(4,69)

10

Frequency

8

GXN5
(5,26)

6

4

2

0
0

4

8

12

16

JD ( helai)

Gambar 5. Kurva sebaran jumlah daun G x N5.
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,64 dan
nilai kurtosis 0,08 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti

Universitas Sumatera Utara

karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Jumlah Cabang (cabang)
Untuk semua persilangan G x N1, G x N2, G x N3,

G x N4 dan G x N5

serta tetua G dan N3 tidak memiliki kurva karena adanya kesamaan nilai
sehingga skewness dan kurtosis sejajar. Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5
tidak tumbuh.
Umur Berbunga (hari)
Tabel 2. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter umur berbunga.
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan Keterangan
Aditif+Epistasis
G x N1
0,09
3,34
Leptokurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N2
-0,87
-0,47
Platykurtik
Duplikat
Aditif+Epistasis
G x N3
-0,09
-0,30
Platykurtik
Duplikat
Aditif+Epistasis
G x N4
0,61
-0,29
Platykurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N5
0,52
-0,71
Platykurtik
Komplementer
9
8
7

Frequency

6

G X N1
(34,57)

5
4

G
(34,88)

3
2
1
0
32

33

34

35

36

37

UB ( hari)

Gambar 6. Kurva sebaran umur berbunga G x N1.
Berdasarkan tabel 4 untuk persilangan G x N1 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar 0,09 dan nilai kurtosis 3,34 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut menunjukkan kemenjuluran ke arah kanan karena adanya

Universitas Sumatera Utara

pengaruh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer dan memiliki
bentuk kurva leptokurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 6.

5

Frequency

4

G X N2
(34,50)
G
(34,88)

3

2

1

0
32

33

34

35

36

37

UB ( hari)

Gambar 7. Kurva sebaran umur berbunga G x N2.
Berdasarkan tabel 4 untuk persilangan G x N2 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar 0,09 dan nilai kurtosis 3,34 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut menunjukkan kemenjuluran ke arah kanan karena adanya
pengaruh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer dan memiliki
bentuk kurva leptokurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 7. Pada persilangan G x N2 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar -0,87 dan nilai kurtosis -0,47 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut mengalami kemenjuluran ke arah kiri karena adanya aksi gen
aditif dengan pengaruh epistasis duplikat dan memiliki bentuk kurva platykurtik
yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 7.

Universitas Sumatera Utara

14
12

N3
(34,57)

Frequency

10
8

GXN3
G
(34,38) (34,88)

6
4
2
0
31

32

33

34

35

36

37

UB ( hari)

Gambar 8. Kurva sebaran umur berbunga G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar -0,09 dan
nilai kurtosis -0,30 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kiri karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
duplikat dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan
oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.

5

Frequency

4

GXN4
(34,66)

3

G
(34,88)

2

1

0
33

34

35

36

UB ( hari)

Gambar 9. Kurva sebaran umur berbunga G x N4.
Pada persilangan G x N4 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,61 dan
nilai kurtosis -0,29 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.
12

10

Frequency

8

GXN5
(33,84)

6

G
(34,88)

4

2

0
30

31

32

33

34

35

36

37

UB ( hari)

Gambar 10. Kurva sebaran umur berbunga G x N5
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,52 dan
nilai kurtosis -0,71 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Jumlah Polong (Polong)
Tabel 3. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter jumlah polong
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
Keterangan
G x N1
Aditif+Epistasis
G x N2
0,00
-6,00
Platykurtik
Duplikat
Aditif+Epistasis
G x N3
-1,23
-0,84
Platykurtik
Duplikat
G x N4
Aditif+Epistasis
G x N5
0,88
-0,10
Platykurtik
Komplementer

Universitas Sumatera Utara

2,0

Frequency

1,5

G X N2
(4,00)

1,0

0,5

0,0
0

2

4

6

8

Jlh Polong

Gambar 11. Kurva sebaran jumlah polong G x N2.
Berdasarkan tabel 3 untuk persilangan G x N2 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar 0,00 dan nilai kurtosis -6,00 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut berdistribusi normal karena adanya aksi gen aditif dan memiliki
bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 11.
6

5

Frequency

4

G
(1,00)

N3
(4,50)

GXN3
(1,17)

3

2

1

0
1

2

Jlh Polong

Gambar 12. Kurva sebaran jumlah polong G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar -1,23 dan
nilai kurtosis -0,84 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kiri karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
duplikat dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan
oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12.

Universitas Sumatera Utara

5

Frequency

4

GXN5
(3,31)

G
(1,00)

3

2

1

0
0

2

4

6

Jlh Polong

Gambar 13. Kurva sebaran jumlah polong G x N5.
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,88 dan
nilai kurtosis -0,10 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Jumlah Polong Berisi (polong)
Tabel 4. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter jumlah polong berisi
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
Keterangan
G x N1
G x N2
0,00
Aditif
-6,00
Platykurtik
Aditif+Epistasis
G x N3
0,35
-1,82
Platykurtik
Komplementer
G x N4
Aditif+Epistasis
-1,39
Platykurtik
G x N5
0,28
Komplementer

Universitas Sumatera Utara

2,0

Frequency

1,5

G
(1,50)

G X N2
(4,00)

1,0

0,5

0,0
1

2

3

4

5

6

7

JP isi ( Biji)

Gambar 14. Kurva sebaran jumlah polong berisi G x N2.
Berdasarkan tabel 4

untuk persilangan G X N2 memiliki nilai

kemenjuluran sebesar 0,00 dan nilai kurtosis -6,00 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut berdistribusi normal karena adanya aksi gen aditif dan memiliki
bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 14.
3,5

3,0

Frequency

2,5

G
(1,50)
GXN3
(1,85)

2,0

1,5

1,0

N3
(4,50)

0,5

0,0
0

1

2

3

4

JP isi ( Biji)

Gambar 15. Kurva sebaran jumlah polong berisi G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,35 dan
nilai kurtosis -1,82

yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami

kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 15.

Universitas Sumatera Utara

4

Frequency

3

GXN5
(1,88)

2

1

0
0

1

2

3

JP isi ( Biji)

Gambar 16. Kurva sebaran jumlah polong berisi G x N5
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,28 dan
nilai kurtosis -1,39 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Jumlah Polong Hampa (polong)
Tabel 5. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter jumlah polong
Hampa
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
Keterangan
G x N1
G x N2
0,00
Aditif
1,50
Platykurtik
Aditif+Epistasis
G x N3
2,65
7,00
Leptokurtik
Komplementer
G x N4
Aditif+Epistasis
G x N5
2,83
8,00
Leptokurtik
Komplementer

Universitas Sumatera Utara

3,0

2,5

G X N2
(0,50)

Frequency

2,0

1,5

1,0

0,5

0,0
-1

0

1

2

JP Hampa

Gambar 17. Kurva sebaran jumlah polong hampa G X N2.
Berdasarkan tabel 5 untuk persilangan G x N2 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar 0,00 dan nilai kurtosis 1,50 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut berdistribusi normal karena adanya aksi gen aditif dan memiliki
bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 17.
8
7

Frequency

6

GXN3
(0,14)

5
4
3
2
1
0
0

1

JP Hampa

Gambar 18. Kurva sebaran jumlah polong hampa G x N3.
Pada persilangan GXN3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 2,65 dan
nilai kurtosis 7,00 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva leptokurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 18.

Universitas Sumatera Utara

7
6

GXN5
(0,63)

Frequency

5
4
3
2
1
0
-2

0

2

4

JP Hampa

Gambar 19. Kurva sebaran jumlah polong hampa G x N5.
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 2,83 dan
nilai kurtosis 8,00 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva leptokurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Bobot Biji (gram)
Tabel 6. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter bobot biji
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
G x N1
Aditif+Epistasis
G x N2
1,86
3,57
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N3
0,34
7,00
Komplementer
G x N4
Aditif+Epistasis
G x N5
-1,59
1,02
Duplikat

Keterangan
Leptokurtik
Platykurtik
Platykurtik

Universitas Sumatera Utara

2,0

Frequency

1,5

G
(0,07)

1,0

G X N2
(1,05)

0,5

0,0
-1

0

1

2

3

B Biji/ Tanaman

Gambar 20. Kurva sebaran bobot biji G x N2.
Berdasarkan tabel 6 untuk persilangan G x N2 memiliki nilai
kemenjuluran sebesar 1,86 dan nilai kurtosis 3,57 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut mengalami kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen
aditif dengan pengaruh epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva
leptokurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 20.

3,0

2,5

Frequency

2,0

N3
(0,54)

GXN3
(0,19)

G
1,5 (0,07)
1,0

0,5

0,0
0,05

0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

B Biji/ Tanaman

Gambar 21. Kurva sebaran bobot biji G x N3.
Pada persilangan GXN3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,34 dan
nilai kurtosis 1,86 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 26.

6

5

Frequency

4

G
(0,07)

GXN5
(0,26)

3

2

1

0
0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

0,35

0,40

0,45

B Biji/ Tanaman

Gambar 22. Kurva sebaran bobot biji G x N5.
Pada persilangan GXN5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar -1,59 dan
nilai kurtosis 1,02 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kiri

karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh

epistasis duplikat dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti karakter
dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 22. Untuk tetua
tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Jumlah Biji (biji)
Tabel 7. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter jumlah biji
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
Keterangan
G x N1
Aditif+Epistasis
G x N2
1,28
0,85
Platykurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N3
0,37
-2,80
Platykurtik
Komplementer
G x N4
G x N5
0,00
Aditif
-2,80
Platykurtik

Universitas Sumatera Utara

2,0

Frequency

1,5

G
(1,50)

1,0

G X N2
(6,75)

0,5

0,0
0

3

6

9

12

15

J B ( Biji)

Gambar 23. Kurva sebaran jumlah biji G x N2.
Berdasarkan tabel 9

untuk persilangan G x N2 memiliki nilai

kemenjuluran sebesar 1,28 dan nilai kurtosis 0,85 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut mengalami kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen
aditif dengan pengaruh epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva
platykurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 23.

5

Frequency

4

3

GXN3
(2,42)

G
(1,50)

N3
(8,00)

2

1

0
2

3

J B ( Biji)

Gambar 24. Kurva sebaran jumlah biji G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,37 dan
nilai kurtosis -2,80

yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami

kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 24.

6

5

Frequency

4

3

GXN5
(2,50)

G
(1,50)

2

1

0
2

3

J B ( Biji)

Gambar 25. Kurva sebaran jumlah biji G x N5.
Pada persilangan G x N5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,00 dan
nilai kurtosis -2,80 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut berdistribusi
normal karena adanya aksi gen aditif dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang
berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
25. Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Umur Panen (hari)
Tabel 8. Nilai kemenjuluran dan keruncingan kurva karakter umur panen
Persilangan Kemenjuluran
Aksi Gen
Keruncingan
Keterangan
Aditif+Epistasis
G x N1
4,12
17,00
Leptokurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N2
2,06
2,64
Platykurtik
Komplementer
Aditif+Epistasis
G x N3
1,61
0,63
Platykurtik
Komplementer
G x N4
Aditif+Epistasis
G x N5
0,97
-1,13
Platykurtik
Komplementer

Universitas Sumatera Utara

18
16
14

G
(67,00)

Frequency

12
10

G X N1
(67,41)

8
6
4
2
0
64

66

68

70

72

74

Umur Panen

Gambar 26. Kurva sebaran umur panen G x N1.
Berdasarkan tabel 10

untuk persilangan G x N1 memiliki nilai

kemenjuluran sebesar 4,12 dan nilai kurtosis 17,00 yang menunjukkan bahwa
karakter tersebut mengalami kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen
aditif dengan pengaruh epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva
leptokurtik yang berarti karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 26.

10

Frequency

8

G
(67,00)G X N2
(68,16)

6

4

2

0
62

64

66

68

70

72

74

Umur Panen

Gambar 27. Kurva sebaran umur panen G x N2.
Pada persilangan G x N2 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 2,06 dan
nilai kurtosis 2,64 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 27.

Universitas Sumatera Utara

30

25

G, N3
(67,00)GXN3
(68,36)

Frequency

20

15

10

5

0
62

64

66

68

70

72

74

Umur Panen

Gambar 28. Kurva sebaran umur panen G x N3.
Pada persilangan G x N3 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 1,61 dan
nilai kurtosis 0,63 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti
karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28.
25

Frequency

20

G
GXN5
(67,00)
(69,03)

15

10

5

0
62

64

66

68

70

72

74

76

Umur Panen

Gambar 29. Kurva sebaran umur panen G x N5.
Pada persilangan GXN5 memiliki nilai kemenjuluran sebesar 0,97 dan
nilai kurtosis -1,13 yang menunjukkan bahwa karakter tersebut mengalami
kemenjuluran ke arah kanan karena adanya aksi gen aditif dengan pengaruh
epistasis komplementer dan memiliki bentuk kurva platykurtik yang berarti

Universitas Sumatera Utara

karakter dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 29.
Untuk tetua tanaman N1, N2, N4, N5 tidak tumbuh.
Pembahasan
Berdasarkan hasil persilangan G x N1, G x N2, G x N3, G x N4 dan
G x N5 tanaman kedelai yang memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi terdapat
pada hasil persilangan G x N2 sebesar 35,75 cm. Pada karakter jumlah daun
yang lebih tinggi terdapat pada hasil persilangan G x N5 sebesar 5,26 cm.
Menurut Syakir dkk (2008) salinitas secara umum berpengaruh menurunkan
pertumbuhan tanaman sebagai akibat dari penurunan luas daun dan jumlah daun.
Salinitas taraf

rendah

sampai sedang terutama berpengaruh terhadap nilai

osmotik di daerah perakaran tanaman.
Berdasarkan hasil persilangan G x N1, G x N2, G x N3, G x N4 dan
G x N5 tanaman kedelai yang memiliki jumlah polong yang lebih tinggi terdapat
pada hasil persilangan G x N2 sebesar 4,00 polong, untuk karakter jumlah polong
berisi yang lebih tinggi terdapat pada hasil persilangan G x N2 sebesar 4,00
polong, karakter jumlah polong hampa yang lebih tinggi terdapat pada hasil
persilangan G x N3 sebesar 0,14 polong, karakter jumlah biji yang lebih tinggi
terdapat pada hasil persilangan G x N2 sebesar 6,75 biji. Sedangkan pada karakter
bobot biji yang lebih tinggi terdapat pada hasil persilangan G x N2 sebesar 1,05
gram. Menurut Krisnawati dan Adie (2010) penurunan hasil sebesar 50% akibat
cekaman salinitas dapat dikatagorikan sebagai batas kritis seleksi toleransi
tanaman terhadap salinitas.
Berdasarkan hasil persilangan G x N1, G x N2, G x N3, G x N4 dan
G x N5 tanaman kedelai yang memiliki karakter pertumbuhan yang sangat baik

Universitas Sumatera Utara

dan tahan terhadap cekaman salinitas terdapat pada persilangan G x N2. Menurut
Avianto (2016) ada tanaman yang sangat toleran terhadap salinitas dan ada yang
sensitif atau bahkan tidak dapat tumbuh jika ada sedikit kandungan garam di
dalam media pertanaman. Sensitivitas terhadap salinitas dimungkinkan akan
meningkatkan atau menurunkan tergantung spesies tanaman, kultivar ataupun
faktor lingkungan. Respon tanaman terhadap salinitas sangat bervariasi, berbeda
antara tanaman satu dengan tanaman lainnya. Bahkan antar kultivar dalam satu
spesies dapat berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian untuk seluruh hasil persilangan
didapatkan bahwa untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, umur berbunga,
jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah
biji, dan umur panen tidak ada yang berdistribusi normal. Semua karakter tersebut
menunjukan sebaran yang tidak normal dan terdapat kemenjuluran ke arah kanan
maupun ke arah kiri yang dipengaruhi oleh adanya gen aditif epistasis duplikat
maupun komplementer. . Menurut Sihaloho dkk (2015) penyebaran karakter
kuantitatif pada tanaman yang menjulur ke kiri atau ke kanan menunjukkan
adanya pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan lingkungan, pautan gen, dan
epistasis. Penyebaran karakter panjang tajuk, nisbah panjang tajuk akar, bobot
basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang
tidak membentuk sebaran normal terjadi karena keterlibatan gen-gen non aditif
dalam mengendalikan keragaman pada populasi F2 atau karena pengaruh
lingkungan yang besar dan dikendalikan oleh aksi gen aditif epistasis yang
bersifat komplementer

Universitas Sumatera Utara

Pada beberapa hasil persilangan G x N1, G x N2 dan G x N5 pada
karakter jumlah polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa dan jumlah
biji yang dikendalikan oleh aksi gen duplikat. Dilihat dari nilai kurtosis bentuk
kurva untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, umur berbunga, jumlah
polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji, dan
umur panen berbentuk platykurtik dan leptokurtik yang dikendalikan oleh banyak
dan sedikit gen. Menurut Hartati dkk (2013) suatu karakter dalam populasi F2
yang distribusi frekuensinya menunjukan sebaran normal, karakter tersebut
dikendalikan oleh banyak gen dan merupakan karakter kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian untuk masing-masing hasil persilangan
G x N1 dilihat dari nilai skewness didapat bahwa untuk karakter umur berbunga
dan umur panen dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
komplementer. Dilihat dari nilai kurtosis bentuk kurva untuk karakter umur
berbunga berbentuk leptokurtik yang dikendalikan oleh sedikit gen sedangkan
untuk karakter umur panen berbentuk platykurtik yang dikendalikan oleh banyak
gen. Menurut Wahyu dkk (2014), model pewarisan demikian menunjukkan aksi
gen aditif dan dominan terlibat dalam pewarisannya. Peneliti lainnya
mengemukakan bahwa karakter umur genjah tanaman kedelai dikendalikan oleh
gen dominan sempurna gen resesif dan pengaruh aditif. Hal ini memberi petunjuk
bahwa setiap pasangan persilangan menunjukkan aksi gen yang berbeda.
Pada Persilangan G x N3 dilihat dari nilai skewness didapat bahwa untuk
karakter jumlah polong berisi, jumlah polong hampa, jumlah biji pertanaman dan
bobot biji per tanaman dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
komplementer. Sedangkan untuk karakter jumlah polong per tanaman

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis duplikat. Dilihat dari nilai
kurtosis bentuk kurva untuk karakter jumlah polong hampa berbentuk leptokurtik
yang dikendalikan oleh sedikit gen sedangkan untuk karakter produksi jumlah
polong berisi, bobot biji per tanaman dan jumlah biji per tanaman berentuk
platykurtik yang dikendalikan oleh banyak gen yang merupakan karakter
kuantitatif. Menurut Hartati dkk. (2013) frekuensi fenotipe populasi F2 yang tidak
berdistribusi normal menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan sedikit
gen dan kurang dipengeruhi oleh lingkungan. Karena itu, karakter karakter
tersebut merupakan karakter kualitatif. Pola segregasi karakter ini mengikuti
nisbah Mendel atau modifikasinya. Oleh karena itu, dilakukan uji signifikansi
untuk berbagai nisbah teoritis populasi F2 untuk karakter umur panen, jumlah
polong per tanaman
Berdasarkan hasil penelitian untuk masing-masing hasil persilangan
G x N5 dilihat dari nilai skewness didapat bahwa untuk karakter jumlah polong
pertanaman, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa dikendalikan oleh aksi
gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer. Sedangkan untuk karakter
bobot biji per tanaman menunjukkan aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis
duplikat. Sedangkan untuk karakter jumlah biji menunjukkan aksi gen aditif.
Dilihat dari nilai kurtosis bentuk kurva untuk karakter produksi bebentuk
platykurtik yang dikendalikan oleh banyak gen yang merupakan karakter
kuantitatif. Sedangkan untuk karakter jumlah polong hampa berbentuk leptokurtik
yang dikendalikan oleh sedikit gen. Nugroho dkk (2013), karakter kuantitatif
merupakan karakter yang dikendalikan oleh banyak gen yang masing-masing gen
berkontribusi terhadap penampilan karakter yang dianalisis, dan peran dari

Universitas Sumatera Utara

masing-masing gen tidak besar. Hal ini menyebabkan pola segregasi untuk
karakter umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian untuk seluruh hasil persilangan didapatkan
bahwa untuk karakter jumlah daun, umur berbunga, jumlah polong, jumlah
polong berisi, jumlah polong hampa, bobot biji, jumlah biji, dan umur panen tidak
ada yang berdistribusi normal. Semua karakter tersebut menunjukan sebaran yang
tidak normal dan terdapat kemenjuluran ke arah kanan maupun ke arah kiri yang
dipengaruhi oleh adanya gen aditif epistasis duplikat maupun komplementer. Pada
beberapa hasil persilangan G x N1, G x N2 dan G x N5 pada karakter jumlah
polong, jumlah polong berisi, jumlah polong hampa dan jumlah biji yang
dikendalikan oleh aksi gen duplikat. Maka kegiatan seleksi untuk semua karakter
belum bisa dilakukan pada generasi awal karena pengaruh lingkungan yang besar.
Saran
Sebaiknya dilakukan penanaman untuk generasi berikutnya dan dilakukan
seleksi untuk semua karakter secara efektif.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Steenis (2003), tanaman kedelai diklasifikasikan ke dalam
Kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas
Dicotyledonae, ordo Polypetales, famili Papilionaceae (Leguminosae), genus
Glycine dan nama spesies dari tanaman ini adalah Glycine max (L.) Merill.
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar akar
cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah.
Jika kelembaban tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat
menyerap unsur hara dalam air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40
cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat
bertumpunya tanaman dan alat pengangkutan air maupun unsur hara, akar
tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil bintil akar. Bakteri
bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang
kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah oksidasi menjadi NO3
(Sirait, 2013).
Jaringan batang dan daun terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan
plumula. Kuncup-kuncup ketiak tumbuh membentuk cabang ordo pertama dari
batang utama. Jumlah buku dan ruas yang membentuk batang utama tergantung
dari reaksi genotipe terhadap panjangnya hari dan dari tipe tumbuh, yaitu
determinate atau indeterminate (Tawakkal, 2009).
Bunga berwarna putih, merah muda, biru kehijauan, violet, atau ungu
polong membujur dan menggantung dengan panjang 2-8 cm dan lebar 0,5-2 cm.
Biji atau yang dikenal sebagai kacang, terdapat di dalam polong. Setiap polong

Universitas Sumatera Utara

berisi 1-4 biji. Pada saat masih muda, biji berukuran kecil, berwarna putih
kehijauan, dan lunak. Pada perkembangan selanjutnya biji semakin berisi,
mencapai berat maksimal, dan keras. Biji atau kacang kedelai berkeping dua dan
terbungkus oleh kulit tipis. Pada umunya, biji berbentuk bulat telur-lonjong dan
kulit biji berwarna kuning, coklat sampai hitam (Nurcahyaningtyas, 2012).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi yang beragam. Suhu tanah
yang optimal dalam proses perkecambahan 30oC. Curh hujan berkisar antara 150
mm-200 mm perbulan., dengan lama penyinaran matahari 12 jam hari, dan
kelembaban rta ra (RH) 65%. Untuk mendapatkan hasil yang optimal tanaman
kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm perbulan (Tulus, 2011).
Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari atau lama
penyinaran sinar matahari karena kedelai termasuk tanaman hari pendek. Artinya
tanaman kedelai tidak berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis, yaitu 15
jam per hari. Oleh karena itu bila varietas yang berproduksi tinggi dari daerah
subtropik dengan panjang hari 14-16 jam ditanam di daerah tropic dengan ratarata panjang hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan
produksi karena masa berbunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50-60 hari
menjadi 35-40 hari setelah tanam. Sealain itu batang tanaman menjadi lebih
pendek dengan ukuran buku subur juga lebih pendek (Adisarwarto, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Tanah
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai

jenis tanah asal

drainase dan aerase tanahnya cukup baik. Tanaman kedele dapat tumbuh pada pH
5,8 – 7,6. Untuk pertumbuhan yang optimal, tanaman kedele membutuhkan unsur
hara yang cukup dan seimbang dengan sifat fisik tanah yang baik (Zahra, 2011).
Tanaman kedelai dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian 1.500 meter
dari permukaan laut (dpl), tetapi yang paling baik sampai 650 meter dpl, karena
berpengaruh terhadap umur tanaman. Untuk dataran tinggi umur tanaman kedelai
menjadi lebih panjang. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim

yang

dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol,
atau andosol. Pertumbuhan kedelai kurang baik pada tanah pasir, dan pH tanah
yang baik untuk pertumbuhan kedelai adalah 6-6,6 dan untuk Indonesia sudah
dianggap baik jika pH tanah 5,5-6,0 (Rukmi, 2011).
Salinitas
Salinitas dari sudut pandang pertanian merupakan akumulasi garam
terlarut dalam air tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Lahan
salin adalah lahan pasang surut yang secara temporer atau permanen memiliki
salinitas tinggi, dengan nilai ESP (Exchangeeable Sodium Percentage) < 15% atau
nilai EC (Electrical Conductivity) > 4dS/m. Terdapat dua macam bentuk salinitas
tanah, yaitu salinitas primer dan sekunder. Salinitas primer terbentuk akibat
akumulasi garam terlarut dalam tanah atau air tanah melalui proses alami yang
berlangsung dalam jangka waktu lama. Salinitas sekunder terbentuk akibat
aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan tata air tanah, diantaranya
pembukaan lahan dan penggantian vegetasi tahunan dengan tanaman semusim,

Universitas Sumatera Utara

pengairan menggunakan air berkadar garam tinggi atau keterbatasan air irigasi.
Kadar salinitasntr dipengaruhi oleh curah hujan, pelapukan batuan, perpindahan
material oleh angin dari permukaan tanah atau danau, kualitas air irigasi, intrusi
air laut kedaratan, faktor iklim, dan aktivitas manusia (Wibowo, 2015).
Lahan salin adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air
laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam,
atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam
setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8-15%. Ciri-ciri lahan
salin adalah pH < 8.5, dan didominasi oleh garam-garam Na,Ca, dan Mg dalam
bentuk klorida maupun sulfat yang menyebabkan rendahnya ketersediaan N, P,
Mn, Cu, Zn, dan Fe dalam tanah, tekanan osmotik tinggi, lemahnya pergerakan
air dan udara, serta rendahnya aktivitas mikroba tanah. Salinitas menyebabkan
perubahan morfologi,

fisiologi, biokomia dan anatomi pada

tanaman

(Djufry, dkk, 2011)
Garam (NaCl) mempunyai nilai osmosis yang cukup tinggi. Osmosis
adalah difusi air melalui selaput yang permeabel secara deferensial dari satu
konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Keadaan osmosis tinggi
(kandungan garam) pada sel tumbuhan

menyebabkan cekaman, berupa

plasmolisis (penyusutan) di dalam sel tumbuhan (Masruroh, 2008).
Varietas Unggul
Varietas

merupakan

salah

satu

teknologi

meningkatkan produktivitas kedelaii dan pendapatan

utama

yang

mampu

petani. Tersedianya

beberapa varietas kedelai, kini petani dapat memilih varietas yang sesuai dengan
kondisi lingkungan setempat, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi. Oleh karena

Universitas Sumatera Utara

itu uji adaptasi varietas di suatu tempat perlu terus dilakukan oleh instansi terkait
dalam

upaya

mendapatkan

varietas

yang

sesuai

di

suatu

tempat

(Yusuf dan Harnowo, 2012).
Menggunakan vaietas unggul merupakan salah satu upaya yang mudah
dan murah untuk meningkatkan produksi kedelai. Mudah karena teknologinya
tidak rumit karena hanya mengganti varietas kedelai dengan varietas yang lebih
unggul dan murah karena tidak memerlukan tambahan biaya produksi.
Tersedianya varietas unggul yang beragam sangat penting artinya guna menjadi
banyak pilihan bagi petani baik untuk pergiliran varietas antar musim, mencegah
petani menanam satu varietas terus-menerus, mencegah timbulnya serangan hama
dan penyakit, dan menjadi pilihan petani sesuai kondisi lahan. Pengenalan atau
identifikasi varietas unggul adalah suatu teknik untuk menentukan apakah yang
dihadapi

tersebut

adalah

benar

varietas

unggul

yang

dimaksudkan.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mempergunakan alat pegangan berupa
deskripsi varietas (Batubara, 2008).
Varietas atau klon introduksi perlu diuji adaptabilitasnya pada suatu
lingkungan untuk mendapatkan genotip unggul pada lingkungan tersebut. Pada
umumnya suatu daerah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda terhadap
genotip. Respon genotip terhadap faktor lingkungan ini biasanya terlihat dalam
penampilan fenotipe dari tanaman bersangkutan (Saragih, 2014).
Dalam penelitian Aminah, dkk. (2013) menyebutkan bahwa varietas
Grobogan terbukti tahan terhadap tanah salin. Hal ini diperkuat dengan
mencocokkan hasil penelitian, Silvia (2011) bahwa varietas Grobogan dapat
tumbuh dan berproduksi lebih baik pada kondisi tanah salin dengan batas seleksi

Universitas Sumatera Utara

minimum untuk varietas Grobogan (2.82 g) Siahaan (2011) juga menerangkan
bahwa varietas Grobogan generasi F1, diperoleh varietas Grobogan dapat tumbuh
dan berproduksi baik pada tanah salin dengan batas seleksi minimu sebesar
(0,457g) (Wibowo, 2015).
Persilangan
Persilangan artinya mengawinkan 2 jenis tanaman yang berlainan. Tujuan
persilangan ialah untuk mengumpulkan dua sifat yang baik dari kedua jenis
tanaman

induk

untuk

memperoleh

kombinasi

sifat

yang

diinginkan

(Henuhili, 2012)
Usaha memperoleh varietas baru melalui persilangan antar individu
merupakan salah satu metode untuk dapat memperbesar variabilitas genetik. Dari
persilangan tersebut akan memperbanyak pilihan dalam kombinasi baru dari gengen yang diturunkan

Dokumen yang terkait

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 32 102

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 5 102

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 14

Sebaran Normal Karakter-Karakter Pertumbuhan Dan Produksi Hasil Persilangan Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merril) Varietas Anjasmoro Dengan Genotipa Kedelai Tahan Salin Pada F2

0 0 2

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 13

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 2

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 3

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 10

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 3

Sebaran Normal Karakter – Karakter Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L. Merril) Hasil Persilangan Grobogan dengan Genotipa Tahan Salin Pada Turunan F2

0 0 6