Penyusunan Baseline Deforetasi Berbasis Spasial di Beberapa Kecamatan Provinsi Jambi

PENYUSUNAN BASELINE DEFORESTASI BERBASIS
SPASIAL DI BEBERAPA KECAMATAN PROVINSI JAMBI

PUTU IKA PUSPITA SARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyusunan Baseline
Deforetasi Berbasis Spasial di Beberapa Kecamatan Provinsi Jambi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Putu Ika Puspita Sari
NIM E14090125

ABSTRAK
PUTU IKA PUSPITA SARI. Penyusunan Baseline Deforetasi Berbasis Spasial di
Beberapa Kecamatan Provinsi Jambi. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI
JAYA
Deforestasi dan degradasi hutan merupakan masalah utama yang
mempengaruhi penurunan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Tipologi deforestasi
dikembangkan pada faktor dasar sosial ekonomi untuk masing-masing kecamatan di
Provinsi Jambi dengan menggunakan metode pengelompokkan yaitu Standardized
Euclidean Distance. Baseline deforestasi ditentukan berdasarkan basis timeseries
(periode waktu) pada tutupan hutan dan lahan sejak tahun 1990-2011. Hasil dari
penelitian ini menemukan bahwa secara signifikan,tipologi deforestasi dipengaruhi
oleh pertumbuhan jumlah penduduk, serta kebutuhan penduduk akan lahan pertanian
dan perkebunan (termasuk karet/sawit). Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa
model baseline deforestasi yaitu Lh = (2 x 10235) Th-69.49 untuk memprediksi luas
hutan yang mengalami deforestasi dan Lh = (2 x 10247) Th-69.49 untuk memprediksi

luas hutan tanpa deforestasi.

Kata kunci: deforestasi, tipologi, faktor pendorong, gas rumah kaca,
pengelompokkan

ABSTRACT
PUTU IKA PUSPITA SARI. Developing Spatial Based Deforestation Baseline in
Several Districts of Jambi. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA
Deforestation and forest degradation are the main problems that affect the
accumulation of Green House Gas at the atmosphere. This study describes the
development of deforestation tipology on the basis social economic factor at
several districts in Jambi Province using clustering method, i.e. Standardized
Euclidean Distance. The baseline of deforestation was developed on the basis of
timeseries of forest and land cover maps and satellite imagineries from 1990 to
2011. This study found that deforestation typology is significantly affected by
population growth, as well as the needs of the agricultural land and plantations
(including rubber/oil). This research also found that the baseline model are Lh =
(2 x10235) Th-69.49 for predicting forest area with deforestation considered and
Lh=(2x10247)Th-69.49 for predicting forest area without deforestation considered
(zero deforestation).

Keywords: deforestation, tipology, driving force, green house gas, clustering

PENYUSUNAN BASELINE DEFORESTASI BERBASIS
SPASIAL DI BEBERAPA KECAMATAN PROVINSI JAMBI

PUTU IKA PUSPITA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
NAMA FAKULTAS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Penyusunan Baseline Deforetasi Berbasis Spasial di Beberapa

Kecamatan Provinsi Jambi
Nama
: Putu Ika Puspita Sari
NIM
: E14090125

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc. F.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Penyusunan Baseline Deforetasi Berbasis Spasial di
Beberapa Kecamatan Provinsi Jambi” disusun sebagai suatu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati
Jaya, M Agr selaku pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku
penguji, Bapak Dr Ir Bahruni MS selaku ketua sidang yang telah banyak memberi
saran dan masukan sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis juga ucapkan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Uus Saepul, S Hut
selaku laboran laboratorium GIS dan Remote Sensing Fakultas Kehutanan IPB
yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada Sri Chairi Mulyani, Artika Afifatus
Solehah, Finitya Arlini Cita, Bunga Mentari, Sofyan Hadi Prasetyo, Reflyani
Puspita Dewi, S Hut, dan Putu Ananta Wijaya, S Hut serta keluarga besar lab GIS
dan Remote Sensing atas bantuannya selama ini.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan
karena keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
permohonan maaf serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar

karya ini lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat serta
kebaikan dalam setiap langkah perjalanannya.

Bogor, Januari 2014
Putu Ika Puspita Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Alat dan Data


2

Lokasi dan Waktu Penelitian

3

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Pembuatan Dendrogram

10

Deforestasi


18

Faktor-Faktor Pemicu Deforestasi (Driving Forces)

22

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA


24

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.

10.

11.
12.
13.

14.
15.
16.
17.
18.
19.

Tipe tutupan lahan
Tipologi kecamatan
Laju deforestasi pada setiap interval waktu
Pengujian keakuratan tipologi dengan 1 peubah:
penduduk
(Tipo_1Var).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 2 peubah: penduduk dan
dan luas perkebunan (Tipo_2Var).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 3 peubah: penduduk, lahan
pertanian, dan perkebunan (Tipo_3Var).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 3 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian dan perkebunan karet/sawit
(Tipo_3aVar).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 4 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian dan perkebunan (Tipo_4Var).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 5 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian, sawit/karet dan perkebunan
(Tipo_5Var).
Pengujian keakuratan tipologi dengan 8 peubah: penduduk, jumlah
murid SD up, jumlah bangunan SD, lahan pertanian sawah irigasi
dan sawah lahan kering, luas perkebunan sawit dan karet; dan luas
perkebunan rakyat, produksi sawit dan karet produksi hasil-hasil
pertanian (Tipo_8Var).
Akurasi penggabungan dengan 1 peubah (Tipo_1Var)
Akurasi penggabungan dengan 2 peubah (Tipo_2Var)
Akurasi penggabungan dengan 3 peubah (Tipo_3Var)
Akurasi penggabungan dengan 3 peubah (Tipo_3aVar)
Akurasi penggabungan dengan 4 peubah (Tipo_4Var)
Akurasi Penggabungan dengan 5 peubah (Tipo_5Var)
Akurasi Penggabungan dengan 8 peubah (Tipo_8Var)
Luas hutan dan Laju deforestasi di beberapa kecamatan Provinsi
Jambi
Prediksi luas hutan tahun 2015 sampai 2060

5
12
13
13
14
14

14
14

15

15
15
15
16
16
16
16
16
18
20

DAFTAR GAMBAR
1. Peta Lokasi Provinsi Jambi
2. Dendrogram menggunakan (a) 1 peubah (penduduk) dan (b) 2

3

peubah (penduduk dan luas perkebunan).
3. Dendrogram menggunakan (a) 3 peubah (penduduk, luas lahan
pertanian, dan luas lahan perkebunan) dan (b) 3a peubah (penduduk,
luas lahan pertanian, dan luas lahan perkebunan karet/sawit).
4. Dendrogram menggunakan (e) 4 peubah (penduduk, jumlah murid
SD atau yang lebih tinggi, luas lahan pertanian, dan luas lahan
perkebunan) dan (f) 5 peubah (penduduk, jumlah murid SD atau

10

11

5.

6.
7.
8.

9.

10.
11.

yang lebih tinggi, luas lahan pertanian, luas lahan perkebunan, dan
luas lahan perkebunan sawit/karet).
Dendrogram menggunakan 8 peubah (penduduk, jumlah murid SD
atau yang lebih tinggi, jumlah bangunan SD atau yang lebih tinggi,
luas lahan pertanian,Luas perkebunan rakyat, luas lahan perkebunan
sawit/karet, produksi sawit/karet, danproduksi hasil-hasil pertanian
secara keseluruhan).
Tipologi Kecamatan menggunakan 3 peubah
Tipologi Kecamatan menggunakan 2 peubah
Kurva penurunan luas hutan,luas hutan tanpa deforestasi dan laju
deforestasi.
Luas hutan (ha),
Laju deforestasi (ha/th),
Luas hutan tanpa deforestasi (ha/periode)
,
Luas deforestasi
(ha/periode).
(a) Kurva baseline deforestasi.
Prediksi luas hutan dengan
deforestasi (ha),
Luas hutan tanpa deforestasi (ha), (b) Kurva
Baseline Emisi GRK (tC/ha). Emisi GRK (tC/ha).
Sebaran Spasial Deforestasi Pada Periode tahun 1990-2000
Sebaran Spasial Deforestasi Pada Periode tahun 2000-2011

11

11
17
17

19

21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Tipologi Kecamatan
Luas Hutan Per Periode Waktu
Laju deforestasi per tahun di setiap kecamatan,Provinsi Jambi
Persentase laju deforestasi per tahun per kecamatan

26
27
28
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hilangnya hutan di Indonesia telah meningkat tajam selama 12 tahun
terakhir. Penelitian yang dipimpin oleh Hansen (2013) dari University of
Maryland, menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15.8 juta hektar antara tahun
2000 dan 2012, peringkat kelima setelah Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan
Kanada. Namun, berdasarkan persentase dari lima negara tersebut, Indonesia
berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu sekitar 8.4 persen.
Sebagai perbandingan, Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut.
Dari 98% kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di wilayah hutan
berkerapatan tinggi yang ada di Sumatra dan Kalimantan. Provinsi Jambi
merupakan salah satu lokasi yang memiliki laju deforestasi yang tinggi (Butler
2013).
Santili et al. 2005 menyatakan bahwa laju deforestasi tahunan di Indonesia
sekitar 17 000 km2 antara tahun 1987-1997 dan kemudian meningkat menjadi
21 000 km2 pada tahun 2003 dengan emisi karbon yang mirip di Amazon.
Berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia (2011) dalam jangka waktu 10 tahun
(tahun 2000-2009) telah terjadi pengurangan kawasan hutan akibat deforestasi di
kawasan lindung seluas 2.01 juta ha. Sementara deforestasi di kawasan konservasi
mencapai luasan 1.27 ha. Forest Watch Indonesia (2011) juga menyebutkan
bahwa laju deforestasi yang terjadi pada hutan di Pulau Sumatra sekitar 23.92%
pada periode tahun 2000-2009. Penyebab dari deforestasi yang terjadi yaitu akibat
dari pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan untuk pemukiman dan
perladangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, serta pertambangan
besar-besaran. Menurut Sunderlin dan Resosudarmo (1997), penyebab dari
deforestasi yaitu sistem perladangan berpindah, transmigrasi, perkebunan, industri
perkayuan dan pertumbuhan kepadatan penduduk dianggap penyebab paling
utama. Carr dan Suter (2005) juga menyatakan bahwa peran penduduk merupakan
faktor pemicu dari deforestasi. Sejalan dengan penelitian Carr dan Sutter (2005),
Perz et al.(2005) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk, migrasi, dan
penggunaan lahan yang mencerminkan perubahan demografis dan pertanian
merupakan faktor pemicu dari deforestasi di Amerika Latin. Ehrhardt dan Karen
(1998) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi untuk
laju deforestasi dan pendidikan yang tinggi memiliki efek negatif pada laju
deforestasi. Buitenzorgy dan Mol (2010) menyatakan bahwa yang menjadi
penyebab dari deforestasi juga harus dipertimbangkan dari segi perkembangan
politik dan bukan hanya fokus pada pembangunan ekonomi untuk menjelaskan
dinamika deforestasi.
Saat ini laju deforestasi di Provinsi Jambi relatif tinggi. Dari data Dirjen
Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan (2008b) menunjukkan bahwa pada
tahun 2012, deforestasi hutan jambi mencapai angka 76 552.10 ha atau sekitar
42.89%. Berbagai upaya untuk pengurangan laju deforestasi kini mulai dilakukan
oleh pihak yang memiliki perhatian terhadap masalah hutan dan lingkungan hidup.
Hal ini dilakukan agar dampak negatif akibat kegiatan deforestasi dapat dikurangi
atau bahkan dihentikan.

2
Untuk mengetahui dengan tepat laju deforestasi yang terjadi di Provinsi
Jambi, diperlukan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya
dengan mengambil beberapa peubah untuk membangun tipologi berbasis
deforestasi. Dari identifikasi tipologi ini, dapat diketahui peubah yang paling
menentukan penyebab utama deforestasi di Provinsi Jambi sehingga dapat
diketahui baseline deforestasi di Provinsi Jambi. Dari penelitian ini, diharapkan
agar segera dilakukan penyusunan langkah-langkah yang konkret guna penurunan
laju deforestasi sehingga kelestarian hutan bisa dipertahankan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi model baseline
deforestasi dan faktor pendorong penyebab terjadinya deforestasi, serta
membangun tipologi kecamatan berbasis deforestasi di Provinsi Jambi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar rencana
penanggulangan dan pengurangan laju deforestasi di Provinsi Jambi tepatnya di
Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun,
Kabupaten Merangin, dan Kota Jambi.

METODE
Alat dan Data
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu GPS (Global Positioning
System) untuk pengambilan titik koordinat di lapangan, kamera digital untuk
dokumentasi, tally sheet untuk pendataan, dan perekam suara untuk kegiatan
wawancara.
Perangkat Lunak (Software)
Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis citra satelit adalah Erdas
Imagine 9.1, sedangkan perangkat lunak yang digunakan untuk analisis spasial
adalah ArcGis 9.3,Arcview 3.2 menggunakan Extention Kappa dan Dendogram
(Jaya’s) Ver 1.6.
Perangkat Keras (Hardware)
Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop untuk
proses pengolahan data.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tematik kementrian
kehutanan tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2011 berupa peta tutupan
lahan yang diperoleh dari Baplan (2011), Citra Satelit Landsat 7 ETM+ path/row
124/61, 125/61, 125/62, 126/61, 126/62 tanggal perekaman 3 Juni 1990, 4
September 2000, 23 Mei 2003, 7 Oktober 2006, 7 Oktober 2009, dan 9 Mei 2011,

3
serta Peta batas administrasi Provinsi Jambi, peta jaringan jalan Provinsi Jambi
dan data BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten dalam Angka Provinsi Jambi.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 di
Provinsi Jambi. Sedangkan untuk pengolahan analisis data, dilakukan di
Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB. Berikut fokus
areal lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta Lokasi Provinsi Jambi
Prosedur Analisis Data
Pra Pengolahan Citra
Layer stack
Layer stack merupakan suatu proses penggabungan band yang mempunyai
format .TIFF menjadi format imagine (.img). Penggabungan band dilakukan
sesuai kebutuhan. Pada penelitian ini band yang digunakan adalah band 1,2,3,4,5,
dan 7 karena pada band/saluran tersebut memiliki resolusi spasial yang sama yaitu
30 meter, sedangkan pada band 6 dan band 8 memiliki resolusi spasial yang
berbeda yaitu 60 meter pada band 6 dan 15 meter pada band 8 (Panchromatic).
Proses layer stack dilakukan dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1

4
Pembuatan citra komposit
Pembuatan citra komposit dilakukan dengan menggabungkan citra komposit
RGB (Red Green Blue) dengan komposisi band 5-4-3 mengacu pada standar
Departemen Kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi.
Pembuatan mosaik citra (Mozaic process)
Mosaik citra adalah proses penggabungan dua atau lebih citra satelit dalam
satu kenampakan yang selaras dalam hal kontras warna dan berkesinambungan
dalam hal obyek permukaan yang tersambung secara sempurna. Proses mosaik
citra dilakukan dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1. Pada penelitian ini tiap
satu tahun citra berasal dari lima citra dengan path-row berbeda. Maka dari itu
perlu dilakukan proses mosaik citra pada penelitian ini.

Pemotongan citra
Pemotongan citra (cropping) dilakukan berdasarkan lokasi yang menjadi
pusat penelitian yang mana harus disesuaikan dengan batas pada Peta Dasar
Tematik Kehutanan (PDTK) Provinsi Jambi. Proses pemotongan citra ini dibantu
dengan software Erdas Imagine 9.1
Klasifikasi Citra
Metode klasifikasi yang akan digunakan adalah klasifikasi visual.
Klasifikasi visual atau analisis secara visual merupakan pengenalan tutupan lahan
yang kemudian dilakukan pendeliniasian (pemberian batas antara tutupan lahan
yang berbeda). Deliniasi dan dijitasi dilakukan dengan menggunakan software
ArcGis 9.3 Elemen yang digunakan dalam interpretasi terdiri atas rona, warna,
bentuk, ukuran, tekstur, pola, dan asosiasi. Klasifikasi visual dilakukan untuk
mendapatkan gambaran awal dalam mengidentifikasi penentuan jumlah kelas
penutupan lahan dan tipe-tipe penutupan lahan yang ada di Provinsi Jambi.
Pengetahuan mengenai penutupan lahan ini dibangun melalui data lapangan yang
telah dikumpulkan. Data yang dimaksud adalah data berupa foto dan koordinat
titik-titik hasil pemeriksaan lapangan yang berasal dari survey lapangan. Tipe dan
kelas penutupan lahan berdasarkan klasifikasi visual yang ada di Provinsi Jambi
dapat dilihat pada Tabel 1.

5
Tabel 1 Tipe tutupan lahan
No
1.

Tipe tutupan
lahan
Badan Air
Koordinat:
lat
:
103°28’53.08”E
lon
:
1°31’6.04”S

Citra Satelit

Deskripsi
Badan air adalah tutupan
lahan
berupa
perairan,
termasuk laut, sungai, danau,
waduk, terumbu karang dan
lamun
(lumpur
pantai)
(Baplan 2008a).

2.

Belukar rawa
Koordinat:
lat
:
103°13’22.99”E
lon
:
1°15’3.38”S

Belukar rawa adalah vegetasi
semak/belukar dari bekas
hutan di daerah rawa (Baplan
2008a).

3.

Hutan Karet
Koordinat:
lat
:
103°27’29.95”E
lon
:
1°22’41.02”S

Hutan karet adalah hutan
yang tumbuh berkembang
pada habitat lahan kering
yang belum
mengalami
intervensi manusia dengan
vegetasi dominan berupa
pohon karet. (BSN 2010)

4.

Kebun karet
Koordinat:
lat:
103°15’46.21”E
lon
:
1°54’33.40”S

Kebun karet adalah tutupan
tanaman perkebunan yang
sudah ditanami oleh tanaman
karet (Baplan 2008a)

5.

Kebun
campuran
Koordinat :
lat
:
103°13’22.99”E
lon
:
103°13’22.99”S

Kebun campuran adalah
lahan yang ditanami oleh
tanaman perkebunan maupun
tanaman yang berada pada
pertanian
lahan
kering.
Kebun campuran biasanya
ditanami tanaman lebih dari
satu jenis atau tidak seragam
yang menghasilkan bunga,
buah, dan getah. Cara
pengambilan hasilnya bukan
dengan
cara
menebang
pohon.
Perkebunan
campuran
di
Indonesia
biasanya berasosiasi dengan
pemukiman pedesaan atau
pekarangan, dan diusahakan
secara
tradisional
oleh
penduduk (BSN 2010).

Foto Lapangan

6
Tabel 1
(Lanjutan)
Tipe tutupan
No
lahan
6.
Kebun kelapa
sawit
Koordinat :
lat
:
103°16’2.80”E
lon
:
1°55’11.90”S

Citra Satelit

Deskripsi
Kebun kelapa sawit adalah
kawasan perkebunan yang
sudah ditanami oleh tanaman
sawit (Baplan 2008a)

7.

Pertanian lahan
kering
Koordinat :
lat
:
103°13’24.80”E
lon
:
1°18’1.14”S

Pertanian lahan kering adalah
pertanian di lahan kering
seperti
tegalan,
kebun
campuran
dan
ladang
(Baplan 2008a)

8.

Pemukiman
Koordinat:
lat
:
103°15’9.51”E
lon
:
1°42’50.96”S

Pemukiman adalah areal atau
lahan
yang
digunakan
sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung kehidupan
(BSN 2010)

9.

Sawah
Koordinat:
lat
:
103°30’30.96”E
lon
:
1°29’53.23”S

10.

Semak belukar
Koordinat:
lat
:
103°29’42.71”E
lon
:
1°25’22.79”S

Sawah adalah areal pertanian
yang digenangi air atau
diberi air baik dengan
teknologi pengairan, tadah
hujan, lebak atau pasang
surut yang dicirikan oleh
pola
pematang,
dengan
ditanami
jenis
tanaman
pangan berumur pendek
(padi) (BSN 2010)
Semak
belukar
adalah
kawasan lahan kering yang
telah ditumbuhi berbagai
vegetasi alami heterogen dan
homogen
yang
tingkat
kerapatannya jarang hingga
rapat. Kawasan tersebut
didominasi vegetasi rendah
(alami). Semak belukar di
Indonesia biasanya kawasan
bekas hutan dan biasanya
tidak menampakkan lagi
bekas atau bercak tebangan
(BSN 2010).

Foto Lapangan

7
Tabel 1
(Lanjutan)
Tipe tutupan
No
lahan
11. Tanah terbuka
Koordinat:
lat
:
103°39’5.07”E
lon
:
1°25’53.26”S
12.

Pertanian lahan
kering campur
lat
:
103°13’23.80”E
lon
:
1°17’58.12”S

13.

Hutan sekunder
Koordinat:
lat
:
103°15’10.74”E
lon
:
1°53’34.51”S

Citra Satelit

Deskripsi

Foto Lapangan

Tanah
terbuka
adalah
tanah/lahan tanpa tutupan
baik yang bersifat alami,
semi alami maupun artifisial
(BSN 2010).

Pertanian
lahan
kering
campur adalah semua jenis
pertanian lahan kering yang
berselang-seling
dengan
semak, belukar dan hutan
bekas
tebangan.
Sering
muncul pada perladangan
berpindah, dan rotasi tanam
lahan karst. (Suratmo et al
2013)
Hutan sekunder adalah hutan
yang
tumbuh
dan
berkembang secara alami
sesudah
terjadi
kerusakan/perubahan pada
hutan
yang
pertama
(Lamprecht 1986)

Deteksi perubahan tutupan lahan
Deteksi perubahan tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan metode
Post Classification Comparison (PCC) yaitu map-to-map comparison pada peta
tutupan lahan provinsi jambi per periode yaitu 1990-2000, 2000-2003, 2003-2006,
2006-2009, dan 2009-2011. Setelah dilakukan deteksi perubahan lahan,
selanjutnya peta tutupan lahan tersebut di overlay dengan peta batas administrasi
Provinsi Jambi, dan peta jaringan jalan dengan software ArcGis version 9.1.
Deteksi perubahan lahan hanya dilakukan pada perubahan deforestasi.
Pengecekan Lapangan (Ground check)
Kegiatan pengecekan lapangan bertujuan untuk mengetahui kondisi
tutupan lahan di Provinsi Jambi saat ini. Pelaksanaan pengecekan lapangan
dilakukan dengan melihat hasil deteksi perubahan tutupan lahan yang digunakan
sebagai acuan di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan data pada
100 titik di lapangan secara purposive.
Pembangunan Tipologi Deforestasi
Secara umum deforestasi berkaitan sangat erat dengan peubah-peubah sosial
ekonomi masyarakat dan kondisi biofisik serta penggunaan lahan yang ada di
setiap desa atau kecamatan. Guna mendapatkan informasi yang lebih akurat
terhadap deforestasi, maka dibangun tipologi kecamatan. Pembangunan tipologi
dilakukan melalui analisis dendrogram dengan peubah-peubah berikut:

8
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Jumlah penduduk,
Jumlah murid SD ke atas,
Jumlah bangunan SD ke atas,
Luas lahan pertanian sawah irigasi,
Luas sawah lahan kering,
Luas perkebunan sawit dan karet,
Luas total perkebunan besar dan kebun rakyat,
Volume produksi sawit, karet dan produksi hasil-hasil pertanian
keseluruhan.

Analisis Klaster Pada Pembangunan Tipologi
Pembangunan tipologi dilakukan menggunakan pendekatan klastering,
menggunakan rumus Jarak Euclidean yang terstandarisasi (Standardized
Euclidean Distance, sebagai berikut:
SDED JK

 n ( xij  xik ) 2 
 

S i2
 i 1


Keterangan:
Si = Keragaman dari peubah ke-i
Xij = nilai peubah ke i dari klaster j
Xik = nilai peubah ke i dari klaster j
Analisis Akurasi
Analisis Akurasi dapat dilakukan dengan membuat matriks kontingensi
dengan menghitung besarnya akurasi pembuat (Producer’s acuracy/PA) dan
akurasi pengguna (User’s Accuracy/UA) dari setiap kelas. Akurasi dapat dihitung
dengan persamaan:
x
Pr oducer ' s accuracy ( PA)  ii 100%
xi 
x
User' s accuracy (UA)  ii 100%
xi
Pembuatan Dendrogram
Dalam analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masingmasing ukuran klaster, maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan
pengelompokkan klaster. Grafik yang menggambarkan pengelompokkan ini
sering disebut dengan dendrogram. Metode penggambaran yang digunakan adalah
metode tetangga terdekat (nearest neighbour method) yaitu metode penggambaran
klaster berdasarkan jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering disebut
dengan metode Single Linkage. Pembuatan dendrogram dapat dilakukan pada
software ArcView 3.2 dengan menggunakan Extension software for kappa dan
cluster.
Penentuan klaster
Pembuatan tipologi deforestasi ditentukan dengan membagi menjadi 3
kelompok berdasarkan kemiripannya. Obyek yang ditentukan dalam pembagian
kelompok ini adalah kecamatan di Provinsi Jambi.

9
Analisis laju deforestasi
Besarnya Laju Deforestasi ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan
luas hutan per periode waktunya dan menghitung persentase deforestasi per tahun.
Luas hutan yang digunakan yaitu hutan primer dan sekunder pada tahun 19902011. Besarnya luas hutan yang mengalami deforestasi diketahui dengan
menggunakan pivot table pada citra satelit landsat 7 ETM+. Laju deforestasi per
tahun diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
Lhd : luas hutan yang mengalami deforestasi per periode waktu
t
: lamanya periode waktu
Selanjutnya, untuk mencari persentase deforestasi per tahun dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
Lhd : luas hutan yang mengalami deforestasi per periode waktu
Lh : luas hutan keseluruhan
t
: lamanya periode waktu
Estimasi Baseline Deforestasi dan Gas rumah Kaca
Dalam menghitung baseline deforestasi baik pada hutan yang mengalami
deforestasi maupun hutan yang tidak mengalami deforestasi digunakan persamaan
sebagai berikut,
Lh = a Thb
Keterangan:
Lh : luas hutan (yang mengalami deforestasi ataupun tanpa deforestasi)
Th : tahun
a,b : koefisien-koefisien regresi
Sedangkan untu menghitung emisi gas rumah kaca dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Keterangan:
EGRK : emisi gas rumah kaca
LHtd : luas hutan tanpa deforestasi
LHdd : luas hutan dengan deforestasi
C
: konstanta yang bernilai 164.417 merupakan sediaan karbon hutan
primer (tC/ha) (Jaya,2013)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Dendrogram
Pembuatan dendrogram dilakukan dengan tujuan untuk menyusun urutan
pengelompokkan klaster berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing
ukuran klaster yang digunakan. Pengklasteran dilakukan untuk mengelompokkan
tipologi kecamatan berbasis deforestasi di Provinsi Jambi. Pembuatan dendrogram
dapat dilihat pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 8

(a)
(b)
Gambar 2 Dendrogram menggunakan (a) 1 peubah (penduduk) dan (b) 2 peubah
(penduduk dan luas perkebunan).

(a)

(b)

11
Gambar 3 Dendrogram menggunakan (a) 3 peubah (penduduk, luas lahan pertanian,
dan luas lahan perkebunan) dan (b) 3a peubah (penduduk, luas lahan
pertanian, dan luas lahan perkebunan karet/sawit).

(a)
(b)
Gambar 4 Dendrogram menggunakan (a) 4 peubah (penduduk, jumlah murid SD
atau yang lebih tinggi, luas lahan pertanian, dan luas lahan
perkebunan) dan (b) 5 peubah (penduduk, jumlah murid SD atau yang
lebih tinggi, luas lahan pertanian, luas lahan perkebunan, dan luas
lahan perkebunan sawit/karet).

Gambar 5 Dendrogram menggunakan 8 peubah (penduduk, jumlah murid SD
atau yang lebih tinggi, jumlah bangunan SD atau yang lebih tinggi,
luas lahan pertanian,Luas perkebunan rakyat, luas lahan perkebunan
sawit/karet, produksi sawit/karet, danproduksi hasil-hasil pertanian
secara keseluruhan).
Berdasarkan dendrogram pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5, tipologi
kecamatan berbasis deforestasi dapat dikelompokkan menjadi 3 kelas dengan

12
kategori T1,T2, dan T3. Pengelompokkan tipologi T1, T2, dan T3 pada 29
kecamatan di Provinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tipologi kecamatan
Kelas

C1
C2
C3
C4
C5
C6
C7
C8
C9
C10
C11
C12
C13
C14
C15
C16
C17
C18
C19
C20
C21
C22
C23
C24
C25
C26
C27
C28
C29
T1
T2
T3

1
Tipo_1
var
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T2
T1
T1
T2
T2
T3
T3
T2
T1
T2
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T2
T1
18
9
2

2
Tipo_2
var
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T3
T2
T1
T1
T2
T2
T3
T3
T2
T1
T2
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T2
T1
17
9
3

3
Tipo_3
var
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T2
T3
T1
T1
T1
T2
T1
T3
T3
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
22
4
3

Jumlah peubah
3
4
Tipo_3a
Tipo_4
var
var
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T3
T1
T1
T2
T2
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T2
T3
T3
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T3
T3
T3
T3
T1
T2
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T1
T1
T2
T2
T1
T1
T1
T1
T1
T1
22
19
4
6
3
4

5
Tipo_5
var
T1
T1
T1
T3
T1
T2
T1
T1
T1
T2
T3
T1
T1
T1
T1
T1
T3
T3
T2
T1
T2
T1
T1
T2
T1
T2
T1
T1
T1
19
6
4

8
Tipo_8
var
T3
T3
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T3
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T2
T2
T1
23
3
1

Keterangan:
Tipo_1var : Tipologi dengan 1 peubah, yaitu jumlah penduduk
Tipo_2var :Tipologi dengan 2 peubah, yaitu Jumlah penduduk dan luas perkebunan
Tipo_3var :Tipologi dengan 3 peubah, yaitu jumlah penduduk, luas lahan pertanian, dan
luas perkebunan secara umum

13
Tipo_3avar :Tipologi dengan 3 peubah, yaitu jumlah penduduk, luas lahan pertanian, dan
luas lahan perkebunan sawit/karet
Tipo_4var : Tipologi dengan 4 peubah, yaitu jumlah penduduk, jumlah murid SD ke
atas, luas lahan pertanian, dan luas lahan perkebunan
Tipo_5var : Tipologi dengan 5 peubah, yaitu jumlah penduduk, jumlah murid SD ke
atas, luas lahan pertanian, luas lahan perkebunan, dan luas lahan
perkebunan sawit/karet
Tipo_8var : Tipologi dengan 8 peubah, yaitu jumlah penduduk, jumlah murid ke atas,
jumlah bangunan SD ke atas, luas lahan pertanian, luas perkebunan rakyat,
luas lahan perkebunan sawit/karet, produksi sawit/karet, dan produksi
hasil-hasil pertanian.

Guna melakukan pengujian terhadap kelas-kelas deforestasi yang sesuai
dengan tipologi kecamatan, selanjutnya dibuat kelas deforestasi sebagaimana
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Laju deforestasi pada setiap interval waktu
Kelas
Deforestasi
D1
D2
D3

LDY
90_00
941.4
3765.7
8472.8

Laju deforestasi pada setiap periode waktu
LDY
LDY
LDY
LDY
00-03
03_06
06_09
09_11
1282.9
628.3
818
223.7
5131.5
2513
3272.1
894.8
11545.8
5654.3
7362.2
2013.3

LDY
00_11
598.4
2393.6
5385.6

Keterangan:
LDY 90_00 : Laju Deforestasi tahun 1990-2000; LDY 00_03 : Laju Deforestasi tahun
2000-2003; LDY 03_06 : Laju Deforestasi tahun 2003-2006; LDY 06_09 : Laju
Deforestasi tahun 2006-2009; LDY 09_11 : Laju Deforestasi tahun 2009-2011; LDY
00_11 : Laju Deforestasi tahun 2000-2011

Pada Tabel 3 tahun 1990-2000 diketahui laju deforestasi pada kelas
deforestasi (KD) 1, 2, dan 3 sebesar 941.42 ha/th, 3765.68 ha/th, dan 8472.78
ha/th. Sedangkan pada periode tahun 2000-2011, laju deforestasi cenderung
menurun.
Setelah dilakukan pembuatan kelas deforestasi berdasarkan tiap periode
tahun yang telah ditentukan, maka selanjutnya dilakukan pengujian keakuratan
tipologi berdasarkan kelas deforestasi. Pengujian keakuratan tipologi dapat dilihat
pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 10.
Tabel 4 Pengujian keakuratan tipologi dengan 1 peubah: penduduk (Tipo_1Var).
T1
T2
T3
Tot
UA

D1
D2
10
5
6
2
2
0
18
7
0.56
0.29
Rata-rata PA = 0.26

D3
Tot
3
18
1
9
0
2
4
29
0
Rata-rata UA = 0.28

Keterangan: UA: User accuracy, PA : Producer accuracy

PA
0.56
0.22
0

14
Tabel 5 Pengujian keakuratan tipologi dengan 2 peubah: penduduk dan luas
perkebunan (Tipo_2Var).
T1
T2
T3
Tot
UA

D1
D2
9
5
6
2
3
0
18
7
0.5
0.29
Rata-rata PA = 0.5

D3
Tot
3
17
1
9
0
3
4
29
0
Rata-rata UA = 0.29

PA
0.53
0.22
0.00

Keterangan = Tabel 4
Tabel 6 Pengujian keakuratan tipologi dengan 3 peubah: penduduk, lahan
pertanian, dan perkebunan (Tipo_3Var).
T1
T2
T3
Tot
UA

D1
D2
13
6
2
1
3
0
18
7
0.72
0.14
Rata-rata PA = 0.28

D3
Tot
3
22
1
4
0
3
4
29
0.00
Rata-rata UA = 0.29

PA
0.59
0.25
0.00

Keterangan = Tabel 4
Tabel 7 Pengujian keakuratan tipologi dengan 3 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian, dan perkebunan karet/sawit
(Tipo_3aVar).
T1
T2
T3
Tot
UA

D1
D2
13
6
2
1
3
0
18
7
0.72
0.14
Rata-rata PA = 0.28

D3
Tot
3
22
1
4
0
3
4
29
0.00
Rata-rata UA = 0.29

PA
0.59
0.25
0.00

Keterangan = Tabel 4
Tabel 8 Pengujian keakuratan tipologi dengan 4 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian, dan perkebunan (Tipo_4Var).
D1
D2
T1
11
6
T2
4
1
T3
3
0
Tot
18
7
UA
0.61
0.14
Rata-rata PA = 0.33
Keterangan = Tabel 4

D3
Tot
2
19
1
6
1
4
4
29
0.25
Rata-rata UA = 0.33

PA
0.58
0.17
0.25

15
Tabel 9 Pengujian keakuratan tipologi dengan 5 peubah: penduduk, jumlah
murid SD ke atas, lahan pertanian, sawit/karet, dan perkebunan
(Tipo_5Var).
D1
D2
11
6
4
1
3
0
18
7
0.61
0.14
Rata-rata PA = 0.33

T1
T2
T3
Tot
UA

D3
Tot
2
19
1
6
1
4
4
29
0.25
Rata-rata UA = 0.33

PA
0.58
0.17
0.25

Keterangan = Tabel 4
Tabel 10 Pengujian keakuratan tipologi dengan 8 peubah: penduduk, jumlah
murid SD up, jumlah bangunan SD, lahan pertanian sawah irigasi dan
sawah lahan kering, luas perkebunan sawit dan karet; dan luas
perkebunan rakyat, produksi sawit, dan karet produksi hasil-hasil
pertanian (Tipo_8Var).
D1
D2
15
4
2
1
1
2
18
7
0.83
0.14
Rata-rata PA = 0.33

T1
T2
T3
Tot
UA

D3
Tot
4
23
0
3
0
3
4
29
0.00
Rata-rata UA = 0.33

PA
0.65
0.33
0.00

Keterangan = Tabel 4
Dari Tabel 4 sampai dengan Tabel 10, diketahui bahwa akurasi tipologinya
sangat rendah dan pada beberapa tabel tipologi memiliki akurasi yang sama. Oleh
karena itu maka dilakukan penggabungan tipologi 2 dan 3 menjadi satu dengan
notasi “T2/T3”. Hasil akurasinya cukup baik, terutama yang dihasilkan oleh 3
peubah. Hasil akurasi setelah dilakukan penggabungan tipologi disajikan pada
Tabel 11 sampai Tabel 17.
Tabel 11 Akurasi penggabungan dengan 1 peubah (Tipo_1Var)
T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D1
10
8
0.56
0.41

D2/D3
8
3
0.27
Rata-rata PA

PA
0.56
0.73
0.45
0.64

Keterangan = Tabel 4
Tabel 12 Akurasi penggabungan dengan 2 peubah (Tipo_2Var)
T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

Keterangan = Tabel 4

D1
9
9
0.5
0.39

D2/D3
8
3
0.27
Rata-rata PA

PA
0.53
0.75
0.41
0.64

16
Tabel 13 Akurasi penggabungan dengan 3 peubah (Tipo_3Var)
D1
13
5
0.72
0.45

T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D2/D3
9
2
0.18
Rata-rata PA

PA
0.59
0.71
0.52
0.65

Keterangan = Tabel 4
Tabel 14 Akurasi penggabungan dengan 3 peubah (Tipo_3aVar)
D1
13
5
0.72
0.45

T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D2/D3
9
2
0.18
Rata-rata PA

PA
0.59
0.71
0.52
0.65

Keterangan = Tabel 4
Tabel 15 Akurasi penggabungan dengan 4 peubah (Tipo_4Var)
D1
11
7
0.61
0.44

T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D2/D3
8
3
0.27
Rata-rata PA

PA
0.58
0.70
0.48
0.64

Keterangan = Tabel 4
Tabel 16 Akurasi Penggabungan dengan 5 peubah (Tipo_5Var)
D1
11
7
0.61
0.44

T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D2/D3
8
3
0.27
Rata-rata PA

PA
0.58
0.7
0.48
0.64

Keterangan = Tabel 4
Tabel 17 Akurasi Penggabungan dengan 8 peubah (Tipo_8Var)
T1
T2/T3
UA
Rata-rata UA

D1
15
3
0.83
0,55

D2/D3
8
3
0.27
Rata-rata PA

PA
0.65
0.5
0.62
0,58

Keterangan = Tabel 4
Dari hasil penggabungan klaster tersebut diketahui bahwa tipologi yang
memberikan akurasi terbaik adalah tipologi dengan 3 variabel, yaitu jumlah
penduduk, luas lahan pertanian, dan luas areal perkebunan (termasuk sawit/karet).
Pada Gambar 6 dan Gambar 7 disajikan sebaran tipologi sebelum dan sesudah
dilakukannya penggabungan.

17

Gambar 6 Tipologi Kecamatan menggunakan 3 peubah

Gambar 7 Tipologi Kecamatan menggunakan 2 peubah
Hasil analisis klaster menunjukkan bahwa variasi terjadinya deforestasi
sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor sosial dan ekonomi masyarakat di suatu
wilayah. Dari delapan faktor yang dikaji, faktor-faktor yang sangat signifikan ada
3 faktor yang terdiri atas kepadatan penduduk serta kebutuhan lahan pertanian dan

18
lahan perkebunan (termasuk karet/sawit). Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Parker (2013) yang menemukan bahwa pertanian merupakan penyebab langsung
deforestasi hutan di 100 negara berkembang yang menyebabkan 73% deforestasi,
dimana penyebabnya terbagi menjadi pertanian komersial (40%) dan pertanian
penghidupan (33%). Penyebab lainnya adalah pertambangan (7 persen),
infrastruktur (10 persen), dan perluasan kota (10 persen) (Parker 2013). Sunderlin
dan Resosudarmo (1997) menyebutkan bahwa pertumbuhan kepadatan penduduk
merupakan penyebab paling utama. Demikian halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa faktor pemicu dari
deforestasi adalah faktor pertanian, ekstraksi kayu, dan perluasan infrastruktur.
Menurut Nawir et al. (2008), penyebab deforestasi ada 2 yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung meliputi: 1)
Kebakaran hutan, 2) banjir, 3) kondisi morfologi dan curah hujan yang tinggi, 4)
penebangan untuk lahan perkebunan, 5) perambahan hutan, 6) program
transmigrasi, 7) pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah dan air yang
tidak sesuai, serta 8) pertambangan dan pengeboran minyak. Penyebab tidak
langsung antara lain : 1) kegagalan pasar akibat harga kayu hasil hutan yang
terlalu rendah, 2) kegagalan kebijakan dalam memberikan ijin pengusahaan hutan
dan program transmigrasi, 3) kelemahan pemerintah dalam penegakan hukum, 4)
penyebab sosial ekonomi dan politik yang lebih luas, seperti krisis ekonomi, era
reformasi, kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan penyebaran
kekuatan ekonomi dan politik yang tidak merata
Berdasarkan tiga faktor tersebut, tipologi berbasis deforestasi dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelas tipologi dengan rata-rata akurasi pembuat
(average of producer’s accuracy) sekitar 65%, akurasi Pengguna (User’s
accuracy) sebesar 45%, dan akurasi umum (overall accuracy) sebesar 52%.
Penggunaan faktor-faktor lainnya memberikan akurasi model yang lebih rendah.
Penggunaan faktor atau peubah yang lebih banyak tidak menyebabkan tipologi
kecamatan berbasis deforestasi ini menjadi lebih baik.
Deforestasi
Pada Tabel 18 dirangkum tentang laju deforestasi di Provinsi Jambi.
Tabel 18 Luas hutan dan Laju deforestasi di beberapa kecamatan Provinsi Jambi
1990
Luas hutan(ha)
Periode deforestasi.
Lama Periode
Laju deforestasi (ha/th)
Laju deforestasi (%/th)
Luas deforestasi
(ha/periode)
Luas hutan tanpa
deforestasi (ha/periode)

Tahun
2000
2003

2006

2009

2011

1 273 598.6
1990-2000
10
37 851.4
2.97

881 670.1
2000-2003
3
39 015.9
4.42

764 603
2003-2006
3
10 320.3
1.35

733 497.2
2006-2009
3
40 883.4
5.57

632 742.9
2009-2011
2
3 164.6
0.5

625 517.8
2000-2011
11
24 651.1
3.94

378 513.8

117 047.6

30 960.8

122 650.1

6329.1

271 161.7

1 652 112.4

998 717.7

795 563.8

856 147.3

639 072.1

896 679.6

Laju deforestasi di Indonesia berkisar antara 1.6 juta hingga 2.5 juta ha per
tahun. Terdapat 54.6 juta ha lahan rusak di dalam kawasan hutan dan 41.7 juta ha

19
lahan rusak diluar kawasan (Nawir et al. 2008). Berdasarkan data Badan Planologi
Departemen Kehutanan (2008), deforestasi di dalam kawasan hutan periode 20032006 di Pulau Sumatera adalah yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau
besar lainya, yaitu sebesar 268 000 ha per tahun. Pulau Sumatera berkontribusi
sebesar 22.8% terhadap deforestasi total di Indonesia (1.17 juta ha per tahun).
Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%. Berdasarkan
analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi dan Birdlife Indonesia (2004),
dalam kurun waktu 10 tahun jambi kehilangan luas hutan sebesar 1 juta ha.
Menurut hasil perhitungan Badan Planologi Departemen Kehutanan (2008), luas
deforestasi kawasan hutan lindung di Provinsi Jambi pada periode tahun 20032006 adalah 391 000 ha, dengan angka deforestasi tahunan sebesar 130 300
ha/tahun.
Berdasarkan data luas hutan tahun 1990-2011, pada periode tahun 20002003, tahun 2006-2009, dan tahun 2000-2011 terjadi peningkatan laju deforestasi
secara berturut-turut sebesar 39 015.86 ha/th, 40 883.38 ha/th, dan 2 465 107ha/th
dari periode tahun sebelumnya. Pada periode tahun 1990-2000 laju deforestasi
mengalami penurunan dari 37.851.38 ha/th menjadi 24 651.07ha/th pada periode
tahun 2000-2011. Pada penelitian ini, jika dilihat dari persentase laju deforestasi
terhadap luas hutan awal, persentase laju deforestasi cenderung meningkat dari
sekitar 2.97% pada periode tahun 1990-2000 menjadi sekitar 3.94% pada periode
2000-2011. Selama periode 1990-2011, rata-rata laju deforestasi sekitar 3.13% per
tahun. Secara skematis, laju deforestasi dan luas hutan keseluruhan di wilayah
studi dapat disajikan pada Gambar 8.
1800000
1600000
1400000
Luas (ha)

1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
1985

1990

1995

2000

2005

2010

2015

Tahun

Gambar 8 Kurva penurunan luas hutan,luas hutan tanpa deforestasi dan laju
deforestasi.
Luas hutan (ha),
Laju deforestasi (ha/th),
Luas hutan tanpa deforestasi (ha/periode)
,
Luas deforestasi
(ha/periode).
Penurunan luas hutan akibat deforestasi dan tanpa adanya deforestasi secara
statistik diperoleh dari grafik hubungan yang menggunakan persamaan power
untuk mendapatkan keakuratan yang tinggi dan dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut:

20
Dengan deforestasi : Lh = (2 x 10235) Th-69.49
Tanpa deforestasi : Lh = (2 x 10247) Th-73.09
Dari persamaan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi luas hutan di
tahun yang akan datang. Pada Tabel 19 disajikan hasil prediksi luas hutan dan
jumlah emisi Gas Rumah Kaca di masa yang akan datang. Model baseline ini
dapat digunakan untuk meramalkan luas hutan sampai dengan tahun-tahun
berikutnya dengan asumsi tahun tidak ada perubahan.
Tabel 19 Prediksi luas hutan tahun 2015 sampai 2060
Prediksi luas
Luas hutan
hutan dengan
tanpa
Persen
Persen
deforestasi (ha)
deforestasi (ha)
2015
486358.75
19.7 618823.16
25.1
2020
409414.61
16.6 516295.57
21
2025
344790.13
14.0 430947.86
17.5
2030
290489.42
11.7 359869.12
14.6
2035
244843.68
9.94 300647.09
12.2
2040
206457.02
8.38 251281.81
10.2
2045
174161.33
7.07 210114.39
8.53
2050
146978.63
5.97 175768.19
7.13
2055
124089.83
5.04 147100.32
5.97
2060
104808.58
4.25 123161.47
5.00
Catatan : *) persen terhadap luas prov. Jambi : 2463534.61
Sediaan karbon hutan primer (tC/ha): 164.4166667 (Jaya, 2013)
Tahun

Emisi GRK
(tc/ha)
21779359.7
17573016.1
14165769.4
11407181.5
9175013.06
7369944.17
5911284.23
4733485.38
3783308.73
3017520.78

700000

1
600000
Luas (ha)

500000

1. Lh = (2 x 10235) Th-69.49
2. Lh = (2 x 10247) Th-73.09

2

400000
300000
200000
100000
0
2010

2020

2030

2040
Tahun

(a)

2050

2060

2070

21
25000000

Emisi (tC/Ha)

20000000
15000000
10000000
5000000
0
2010

2020

2030

2040

2050

2060

2070

Tahun

(b)
Gambar 9 (a) Kurva baseline deforestasi.
Prediksi luas hutan dengan
deforestasi (ha),
Luas hutan tanpa deforestasi (ha), (b) Kurva
Baseline Emisi GRK (tC/ha).
Emisi GRK (tC/ha).
Model baseline deforestasi dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan
“Business As Usual” (BAU) dapat dilihat pada Gambar 9. Business As Usual
merupakan emisi dari hutan pada kondisi tanpa upaya khusus mitigasi, dan
dijadikan sebagai dasar perhitungan emisi. Tanpa melakukan kebijakan
pencegahan konversi hutan (deforestasi) maka pada tahun 2060, luas hutan hanya
akan tinggal sekitar 104 808.58 atau hanya 4.25% dari luas Provinsi Jambi sebesar
2 463 534.61 ha khususnya pada Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari,
Sarolangun, Merangin, dan Kota Jambi. Gambar 9 menunjukkan luas areal hutan
yang mengalami deforestasi maupun yang tidak mengalami deforestasi akan
mengalami penurunan luas areal dari per tahunnya. Dengan penurunan luas hutan
yang sangat tinggi ini maka dikhawatirkan Provinsi Jambi akan kehilangan hutan
yang sangat luas.
Hutan dalam konteks perubahan iklim global dapat berperan baik sebagai
penyerap dan penyimpan karbon (sink) maupun sebagai sumber emisi (source).
Penurunan luas hutan sebagai akibat deforestasi akan menyebabkan terjadinya
pelepasan GRK (Gas Rumah Kaca) ke atmosfer. Deforestasi menyumbang sekitar
18% terhadap emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs) global sebesar
42 Gton CO2 per tahun (Patin 2007). Sohngen et al. (2008) menyatakan bahwa
Emisi gas rumah kaca dari deforestasi di daerah tropis berada di kisaran 1 sampai
2 Pg C yr-1 untuk tahun 1990an yang setara sebanyak 25% dari emisi gas rumah
kaca antropogenik global. Berdasarkan laju deforestasi dan prediksi luas hutan
sebagai akibat deforestasi pada penelitian ini, emisi GRK yang berasal dari
deforestasi ini sekitar 21 juta tcHa-1 pada tahun 2015 dan sekitar 3 juta tcHa-1
pada tahun 2060.

22
Faktor-Faktor Pemicu Deforestasi (Driving Forces)
Berdasarkan kajian faktor-faktor sosial ekonomi serta hasil wawancara
dengan beberapa sumber informan, faktor-faktor pemicu terjadinya deforestasi
(driving force) utamanya adalah karena faktor ekonomi, yaitu 1). Perluasan
perkebunan (sawit dan karet); 2). Perluasan lahan pertanian padi (sawah dan
ladang); dan 3). Peningkatan penduduk yang menyebabkan peningkatan
kebutuhan ruang untuk sarana dan prasarana tempat tinggal dan usaha. Faktorfaktor lain seperti ilegal logging, perladangan liar, kebakaran liar, kebakaran
hutan, pencarian kayu bakar, dan penebangan untuk kebutuhan rumah tangga
relatif kecil. Faktor alam seperti longsor, banjir, dan kebakaran hutan sudah relatif
kecil. Sejalan dengan penelitian Adeoye dan Ayeni (2011) yang menyatakan
bahwa faktor-faktor pemicu terjadinya deforestasi yang paling utama adalah
peningkatan populasi, penyediaan tempat tinggal, penyediaan infrastruktur,
kegiatan pertanian, dan penebangan komersial. Berikut ini disajikan peta sebaran
deforestasi di beberapa kecamatan Provinsi Jambi pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10 Sebaran Spasial Deforestasi Pada Periode tahun 1990-2000

23

Gambar 11 Sebaran Spasial Deforestasi Pada Periode tahun 2000-2011
Berdasarkan Gambar 15, pada periode tahun 1990-2000 deforestasi terjadi
secara merata pada tipologi T1 dan tipologi T2/T3. Namun, pada periode tahun
2000-2011 deforestasi terjadi secara luas pada tipologi T1.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Laju deforestasi umumnya sejalan dengan tipologi kecamatan yang
dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi (penduduk, kebutuhan lahan
pertanian, dan lahan perkebunan besar serta perkebunan karet/sawit).
2. Selama periode 1990-2011, rata-rata laju deforestasi di beberapa
kecamatan sekitar 3.13% atau sekitar 25 981.1 ha/tahun.
3. Tipologi berbasis deforestasi dapat dibangun dengan akurasi pembuat
sekitar 65% atau akurasi umum sekitar 52%.
4. Model baseline deforestasi yaitu Lh = (2 x 10235) Th-69.49 untuk prediksi
luas hutan akibat deforestasi dan faktor lain serta Lh = (2 x 10247) Th-69.49
untuk prediksi luas hutan tanpa deforestasi.
5. Faktor pemicu deforestasi di Provinsi Jambi umumnya adalah faktor sosial
ekonomi masyarakat seperti pembangunan lahan pertanian dan perkebunan
serta tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

24
Saran
Penelitian serupa perlu dilakukan pada berbagai lokasi untuk menguji
apakah penyusunan baseline deforestasi dan gas rumah kaca berbasis spasial bisa
digunakan untuk memprediksi terjadinya deforestasi pada tahun yang akan datang
dengan rentang waktu yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA
Adeoye NO, Ayeni B. 2011. Assessment of Deforestation, Biodiversity Loss and
the Associated Factors: Case Study of Ijesa-Ekiti Region of Southwestern
Nigeria. Geojurnal. 76: 229-243. doi: 10.1007/s10708-009-9336-z.
Anonim. 2011. IPPKH Sumatera, Jawa, dan Kalimantan tentang Penggunaan
Kawasan Hutan PerPulau.http://ppkh.dephut.go.id/[Internet]. [1 November
2013].
Apriyani I. 2012. Yang Dilindungi pun sudah tak terlindungi.
http://fwi.or.id/tag/deforestasi [Internet]. 22 Juni 2012; [16 Desember 2013]
Baplan Dephut [Badan Planologi Departemen Kehutanan]. 2008a. Pemantauan
Sumber Daya Hutan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
________________________________________________. 2008b. Perhitungan
Deforestasi Indonesia tahun 2008. Badan Planologi Departemen Kehutanan.
Beno J,Ngazi AM. 2013. Ini Penyebab Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia.
http://nasional.news.viva.co.id[Internet]. 18 Oktober 2013; [16 Desember
2013].
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2011a.Merangin dalam Angka 2011. Jakarta (ID):
BPS Kabupaten Merangin
_______________________. 2011b. Kota Jambi dalam Angka 2011. Jakarta
(ID): BPS Kota Jambi.
_______________________. 2011c. Sarolangun dalam Angka 2011. Jakarta
(ID): BPS Kabupaten sarolangun.
_______________________. 2011d. Batanghari dalam Angka 2011. Jakarta(ID):
BPS Kabupaten Batanghari
_______________________.2011e. Muaro Jambi dalam Angka 2011.
Jakarta(ID): BPS Kabupaten Muaro jambi.
BSN [Badan Standarisasi Nasional]. 2010. Klasifikasi Penutupan Lahan. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.
Buitenzorgy M, Mol APJ. 2010. Does Democracy Lead to a Better Environment?
Deforestation and the Democratic Transition Peak. Environtment Resource
Economic. 48: 59-70. doi: 10.1007/s10640-010-9397.
Butler R. 2013. Temuan Peta Hutan Google: Laju Deforestasi Meningkat di
Indonesia. http://www.mongabay.co.id[Internet]. 15 November 2013; [16
Desember 2013].
Carr DL, Suter L. 2005. Population Dynamics and Tropical Deforestation State of
the Debate and Conceptual Challenges. Population and Environtment. 27(1).
doi: 10.1007/s11111-005-0014.

25
Ehrhardt M, Karen. 1998. Social Determinants of Deforestation in Developing
Countries: Across-National Study. Social Forces. 77(2): 567-586.
FAO[Food and Agricultural Organization]. 2011. REDD di dalam Copenhagen
accord. http://agroindonesia.co.id/[Internet]. [1 November 2013].
Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode tahun
2000-2009. http://fwi.or.id[Internet]. [28 Juli 2011].
Geist H,Lambin EF. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of
Tropical Deforestation. Bioscience. 52(2): 143-150.
Hansen M.2013. Forest Change Mapped by Google Earth. http://www.bbc.co.uk
[Internet]. 14 November 2013]; [23 Desember 2013].
Jaya INS. 2013. Laporan Akhir Penelitian Strategis: Pengembangan Metode
Geospasial dalam Menyusun Peta Biomassa Lanskap Resolusi Sedang
Menggunakan Data Terestris dan Citra Satelit. Bogor (ID): Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
KKI-WARSI/Birdlife. 2004. Potret Hutan Jambi (KKI-WARSI Jambi dan Birdlife
Indonesia). http://www.warsi.or.id[Internet]. [Februari 2004].
Kodoatie RJ,Syarif R. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta (ID): CV Andi Offset.
Lamprecht H. 1989. Silvikulture in the Tropics. Deutsche Gesselschaft fur
technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. Germany.
Masripatin N. 2007. Apa itu REDD. http://forestclimatecenter.org [Internet] [6
Januari 2013].
Nawir AA, Murniati, Rumboko L. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia (Akan
Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dar