Analisis Potensi Resapan Di Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu

ANALISIS POTENSI RESAPAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI CISADANE HULU

RADIUS PRANOTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Potensi Resapan
Di Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016

Radius Pranoto
NIM F451130091

RINGKASAN
RADIUS PRANOTO. Analisis Potensi Resapan di Daerah Aliran Sungai Cisadane
Hulu. Dibimbing oleh SATYANTO K. SAPTOMO dan ROH SANTOSO B.
WASPODO.
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin pesat biasanya diikuti dengan
terjadinya perubahan fungsi penggunaan lahan. Aktivitas ini menyebabkan
degradasi lahan, kekritisan daerah resapan, peningkatan run off dan menurunkan
laju infiltrasi suatu daerah aliran sungai. Sebagai antisipasi awal terhadap masalah
tersebut maka perlu dilakukan identifikasi terhadap kondisi kekritisan daerah
resapan dan analisis dampak kekritisan tersebut terhadap neraca air dan potensi laju
resapan airnya.
Penelitian ini dilakukan pada Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu yang
diduga sebagai salah satu DAS kritis di Indonesia. Peta penggunaan lahan tahun
2006, 2009 dan 2013, kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan adalah empat
komponen yang menjadi faktor penentu kekritisan daerah resapan. Dengan teknik
overlay dan scoring maka akan diperoleh kondisi kekritisan daerah resapan. Neraca
air dianalisis dengan metode SCS-CN dan Thornhtwaite-Mather. Besarnya potensi

resapan air diprediksi dengan persamaan yang dikeluarkan oleh IWACO dan
WASECO (1990). Evaluasi model dilakukan dengan melihat nilai standar
deviation (Dvi), koefisien Nash-Sutcliffe (ENS), Index of Agreement (IOA) dan
koefisien determinasi (R2) berdasarkan perbandingan debit limpasan hasil simulasi
dengan debit limpasan observasi.
Dari hasil penelitian diperoleh sebaran kondisi kekritisan daerah resapan di
DAS Cisadane Hulu berturut-turut pada tahun 2006, 2009 dan 2013 yaitu daerah
resapan dalam kondisi baik sebesar 24.7%, 24.7%, 23.6%; normal alami sebesar
6.6%, 6.2%, 3.7%; mulai kritis sebesar 17.9%, 17.8%, 19.4%, agak kritis sebesar
25.0%, 24.9%, 30.7%; kondisi kritis sebesar 23.9%, 24.5%, 22.0%; dan sangat
kritis sebesar 1.9%, 2.0%, 0.7%. Hasil prediksi debit limpasan pada setiap kondisi
daerah resapan tahun 2006, 2009 dan 2013 menunjukkan predikat memuaskan
sampai dengan baik yang ditunjukkan dengan nilai akurasi untuk data bulanan
berturut-turut; Dvi (10.2 %, 10 % dan 6.4 %); untuk nilai ENS (0.53, 0.53 dan 0.54);
untuk nilai IOA (0.81, 0.81 dan 0.82), dan R2 0.67. Sedangkan untuk data tahunan
menghasilkan nilai akurasi Dvi (8.7 %, 8.5 % dan 4.8 %); ENS (0.72, 0.72 dan 0.80),
untuk nilai IOA (0.93, 0.93 dan 0.95) dan R2 0.84. Besarnya potensi laju resapan
air rata-rata untuk daerah resapan dalam kondisi baik sebesar 154.5 x 106 m3,
normal alami sebesar 33.9 x 106 m3, mulai kritis sebesar 94.6 x 106 m3, agak kritis
sebesar 130.9 x 106 m3, kritis sebesar 98.2 x 106 m3, sangat kritis sebesar 6.2 x 106

m3.. Potensi resapan air total tahunan adalah 511.7 x 106 m3 /tahun sampai dengan
569.2 x 106 m3 /tahun atau sekitar 14% - 15.6% dari total curah hujan dengan ratarata perubahan potensi resapan air pada tahun 2006-2009 turun sebesar -0.04%,
tahun 2009-2013 turun sebesar -3.2% dan tahun 2006-2013 turun sebesar -3.3%.
Kata kunci: daerah resapan, neraca air, overlay, scoring

SUMMARY
RADIUS PRANOTO. Analysis of Potential Recharge in Upper Cisadane
Watershed. Supervised by SATYANTO K. SAPTOMO and ROH SANTOSO B.
WASPODO.
The rapid rate of population growth is usually followed by a land use change.
This activity could lead to land degradation, criticality of recharge areas, increase
runoff and decrease in infiltration rate of a watershed. As early anticipation of the
problem, it is necessary to identify the conditions of recharge area and the analysis
of the criticality impact on the water balance and water recharges potential.
This research was conducted in Upper Cisadane Watershed suspected as one
of the critical watershed in Indonesia. Map of the slope, soil type, rainfall, and land
use (in 2006, 2009 and 2013) are four components that became the deciding factor
of criticality of recharge area. By the overlay and scoring technique would be
obtained classification of recharge area conditions. The water balance was analyzed
by SCS-CN and Thornthwaite-Mather method. The amount of water recharge

potential was predicted by the equation issued by IWACO and WASECO (1990).
Evaluation of the results prediction was seen from the standard deviation value
(Dvi), Nash-Sutcliffe coefficient (ENS), Index of Agreement (IOA) and the
coefficient of determination (R2) based on the comparison between discharge
results simulation and observation.
The result showed that distribution of recharge area conditions in Upper
Cisadane Watershed in 2006, 2009, and 2013, were: (1) good: 24.7%, 24.7%,
23.6%; normal: 6.9%, 6.2%, 3.7%; (3) ranging critical: 17.9%, 17.8%, 19.4%, (4)
rather critical: 25.0%, 24.9%, 30.7%; (5) critical: 23.9%, 24.5%, 22.0%; and (6)
very critical: 1.9%, 2.0%, 0.7% respectively. The results prediction of discharge
runoff in every condition of recharge area in 2006, 2009 and 2013 showed good
results, was indicated by the value for monthly data; Dvi (10.2 %, 10 % dan 6.4 %);
for the value of ENS (0.53, 0.53 dan 0.54); for the IOA values (0.81, 0.81 dan 0.82),
and R2 0.67 respectively. For the annual data was indicated by the value Dvi (8.7 %,
8.5 % dan 4.8 %); ENS (0.72, 0.72 dan 0.80), for a value of IOA (0.93, 0.93 dan
0.95) and R2 0.84 respectively. The magnitude of the water recharge potential on
average in the recharge area that still in good condition; 154.5 x 106 m3, normal;
33.9 x 106 m3, ranging critical; 94.6 x 106 m3, rather critical; 130.9 x 106 m3,
critical; 98.2 x 106 m3, very critical; 6.2 x 106 m3. Upper Cisadane Watershed has
an annual of water recharge potential was 511.7 x 106 to 569.2 x 106 m3/year or

around 14% - 15.6% of total rainfall, with an average change in the water recharge
potential from the simulation based on the condition of recharge area in 2006-2009
decreased -0.04%, in 2009-2013 decreased -3.2% and in 2006-2013 decreased 3.3%.
Keywords: recharge area, water balance, overlay, scoring

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS POTENSI RESAPAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI CISADANE HULU

RADIUS PRANOTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nana Mulyana, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
atas karunia yang telah diberikan, sehingga tesis yang berjudul “Analisis Potensi
Resapan di Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu” dapat diselesaikan. Tesis ini
dimaksudkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Teknik Sipil dan Lingkungan.
Naskah tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:
1. Dr Satyanto K Saptomo STP, MSi, selaku ketua komisi pembimbing, serta
Dr Ir Roh Santoso B Waspodo, MT, selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan masukkan dan arahan selama penelitian
berlangsung dan dalam menyusun naskah tesis.
2. Dr Ir M Yanuar J Purwanto, MS, selaku Ketua Program Studi Teknik Sipil
dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah yang telah
mengarahkan dan memotivasi untuk tetap disiplin selama tesis dan studi.
3. Orang tua dan keluarga penulis yang selalu membimbing, menasehati, dan
memberikan dukungan, motivasi dan doanya sehingga penulis dapat
menjalankan penelitian dan menyelesaikan naskah tesis.
4. Istri tercinta (Dwi R Palupi) yang sangat setia, sabar dan selalu mendo’akan
dalam keberhasilan menyusun tesis.
5. Rekan-rekan mahasiswa Magister Teknik Sipil dan Lingkungan (Angkatan
2013) yang selalu memberi semangat serta bantuan saat pelaksanaan
penelitian dan penyusunan naskah tesis.
Tesis ini disusun sesuai dengan ketentuan teknis penyusunan yang ada di
Institut Pertanian Bogor. Semoga ide dan gagasan yang disampaikan dalam tesis ini
dapat tersampaikan dengan baik dan memberikan manfaat bagi pihak yang
membutuhkan. Akhirnya penulis mengakui tulisan ini masih banyak kekurangan,

kami sangat mengharapkan masukan dan kritik untuk perbaikan tulisan tentang
analisis potensi resapan khususnya di DAS Cisadane Hulu dan umumnya untuk
DAS di wilayah Indonesia.

Bogor, April 2016
Radius Pranoto

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Hidrologi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Penilaian Kekritisan Resapan Daerah Aliran Sungai

2
2
4
5

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Analisis Data
Identifikasi Kondisi Daerah Resapan
Analisis Neraca Air (Water Balance)
Kalibrasi dan Pengujian Model
Perhitungan Potensi Resapan

9
9
10

10
11
13
15
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Faktor Potensial dan Aktual Daerah Resapan
Klasifikasi Kondisi Kekritisan Daerah Resapan
Bilangan Kurva (Curve Number)
Hasil Simulasi Neraca Air (Water Balance)
Kalibrasi Model
Potensi Resapan Daerah Aliran Sungai
Evaluasi Metode Penentuan Kondisi Daerah Resapan

16
16
17
24
27
29
36
39
43

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

44
44
45

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

49

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Hubungan kelas kelerengan dan tingkat infiltrasi
Hubungan permeabilitas tanah dan tingkat infiltrasi
Kelompok hidrologi tanah
Hubungan curah hujan dan potensi resapan
Klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan
Hubungan penggunaan lahan dan tingkat infiltrasi aktual
Bahan-bahan penelitian
Nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan dan grup hidrologi tanah
Kategori AMC (Antecedent Moisture Condition)
Penggunaan lahan di DAS Cisadane Hulu
Perubahan bentuk penggunaan lahan DAS Cisadane Hulu
Bentuk penggunaan lahan berdasarkan tingkat infiltrasi aktual
Kelas kelerengan berdasaarkan tingkat infiltrasi
Jenis tanah berdasarkan tingkat infiltrasi
Klasifikasi curah hujan berdasarkan potensi resapan
Kondisi daerah resapan DAS Cisadane Hulu
Perubahan luas kondisi daerah resapan tahun 2006, 2009 dan 2013
Nilai CNP berdasarkan kondisi (tingkat kekritisan) daerah resapan
Perubahan (deviation) nilai CN
Kondisi neraca air di daerah resapan DAS Cisadane Hulu
Perubahan (deviation) limpasan permukaan dan laju infiltrasi
pada setiap daerah resapan
Perubahan (deviation) cadangan air tanah pada setiap daerah resapan
Kondisi neraca air bulanan DAS Cisadane Hulu
Kondisi neraca air tahunan DAS Cisadane Hulu
Perubahan limpasan permukaan (Q), laju infiltrasi (F) dan cadangan air
Kondisi neraca air pada penggunaan lahan DAS Cisadane Hulu
Perbandingan debit hasil simulasi pada daerah resapan (tahun 2006,
2009 dan 2013) dan debit observasi pada outlet Batu Beulah
Perbandingan debit simulasi berdasarkan daerah resapan (tahun 2006,
2009 dan 2013) dan debit observasi pada outlet Batu Beulah
Potensi laju resapan di DAS Cisadane Hulu berdasarkan kelas
kondisi daerah resapan (tahun 2006, 2009 dan 2013)
Potensi laju resapan di DAS Cisadane Hulu berdasarkan penggunaan
lahan (tahun 2006, 2009 dan 2013)
Potensi laju resapan tahunan di DAS Cisadane Hulu berdasarkan
kondisi daerah resapan (tahun 2006, 2009 dan 2013)

6
7
7
7
8
9
10
13
14
19
19
20
21
23
24
25
25
28
28
29
30
31
32
33
34
35
36
38
40
41
41

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Skema siklus hidrologi
DAS Cisadane Hulu
Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data
Garis besar pendekatan penyusunan model pengkajian daerah resapan
Sebaran bentuk penggunaan lahan di DAS Cisadane Hulu

3
9
11
12
18

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Sebaran kelas kelerengan DAS Cisadane Hulu
Sebaran jenis tanah DAS Cisadane Hulu
Sebaran curah hujan DAS Cisadane Hulu
Sebaran kondisi daerah resapan DAS Cisadane Hulu
(a) Limpasan permukaan; (b) infiltrasi di DAS Cisadane Hulu
Cadangan air tanah (∆S) di DAS Cisadane Hulu pada
Neraca air bulanan DAS Cisadane Hulu
Neraca air tahunan DAS Cisadane Hulu
Grafik XY scatter debit bulanan hasil simulasi
Debit bulanan hasil simulasi dan observasi SPAS Batu Beulah
Grafik XY scatter debit tahunan hasil simulasi
Debit tahunan hasil simulasi dan observasi SPAS Batu Beulah
Potensi resapan air tahunan di DAS Cisadane Hulu

20
22
23
26
30
31
33
34
37
37
38
39
42

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Kota administrasi di DAS Cisadane Hulu
Kondisi kekritisan daerah resapan berdasarkan penggunaan lahan
Hasil simulasi neraca air rata-rata bulanan di DAS Cisadane Hulu
Hasil simulasi neraca air rata-rata tahunan di DAS Cisadane Hulu

49
50
51
52

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang diikuti
dengan perubahan fungsi tata guna lahan merupakan faktor utama terjadinya
degradasi lahan (Ouédraogo et al. 2010). Hal ini melatarbelakangi penyusutan
lahan hutan dan vegetasi alam sebagai daerah resapan air (recharge area) sehingga
berpengaruh terhadap siklus hidrologi dalam suatu daerah aliran sungai (Schulze
2000). Proses degradasi berjalan secara perlahan dan kumulatif tetapi memiliki
dampak buruk jangka panjang terhadap lingkungan. Salah satu dampak yang dapat
kita lihat adalah terjadinya peningkatan limpasan permukaan dan menurunnya laju
infiltrasi air hujan (Muchena 2008).
Daerah aliran sungai Cisadane adalah salah satu DAS prioritas yang termasuk
ke dalam wilayah kerja konservasi tanah dalam rangka pembangunan jangka
menengah (Kementerian Kehutanan 2009). Penetapan DAS prioritas tersebut
didasarkan pada; (1)daerah hidrologis kritis yang ditandai dengan besarnya angka
perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dengan debit minimum
(musim kemarau) serta adanya kandungan sedimen yang berlebihan, (2)daerah
yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital seperti waduk, bendungan,
dan bangunan pengairan lainnya, (3)daerah yang rawan terhadap banjir dan
kekeringan, (4)daerah ladang berpindah, (5)daerah yang kesadaran konservasi
tanahnya masih rendah, dan (6)daerah yang kepadatan penduduknya tinggi (Arsyad
2006).
Nilda et al. (2015) mengemukakan bahwa telah terjadi peningkatan debit
puncak di DAS Cisadane Hulu pada tahun 2003 sebesar 81.22 m³/detik menjadi
81.73 m³/detik pada tahun 2010. Naiknya debit puncak ini disebabkan lebih
banyaknya limpasan permukaan akibat perkembangan pemukiman di wilayah
DAS. Hal ini terlihat dengan meningkatnya nilai CN (curve number) rata-rata DAS
Cisadane Hulu, dari 38.5 menjadi 39.4. Nilai CN adalah faktor yang mempengaruhi
besarnya laju limpasan permukaan (Bonta 1997), CN (curve number) yang besar
menunjukkan limpasan permukaan tinggi dan laju infiltrasi rendah, sedangkan nilai
CN (curve number) yang kecil menunjukkan limpasan permukaan rendah dan laju
infiltrasi tinggi (Zhan and Huang 2004; Viji et al. 2015).
Pada dasarnya limpasan permukaan dikendalikan oleh besarnya laju infiltrasi
(resapan) yang memiliki korelasi dengan tutupan vegetasi, topografi dan jenis tanah
(Dong et al. 2015). Menurut Kementerian Kehutanan (2008) pengurangan kawasan
resapan air sebagai dampak perubahan fungsi lahan yang terjadi di DAS Cisadane
Hulu dapat menimbulkan dampak di bagian Sub DAS Cisadane lainnya baik bagian
tengah ataupun bagian hilir. Dengan semakin berkurangnya lahan hijau sebagai
daerah resapan air, maka akan terjadi peningkatan jumlah air yang tidak terserap
dan mengalir di permukaan. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi kondisi kekritisan daerah resapan dan
pengaruhnya terhadap keseimbangan air DAS serta memprediksi besarnya potensi
laju resapan air pada masing-masing kondisi daerah resapan di Wilayah DAS
Cisadane Hulu.

2
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi kekritisan daerah resapan di kawasan DAS Cisadane Hulu?
2. Bagaimana pengaruh penggunaan lahan dan kondisi kekritisan daerah resapan
terhadap limpasan permukaan laju infiltrasi, cadangan air dan potensi laju
resapan air di DAS Cisadane Hulu?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi kondisi kekritisan daerah resapan dan pengaruhnya
terhadap limpasan permukaan dan laju infiltrasi.
2. Memprediksi besarnya potensi resapan air berdasarkan kondisi daerah resapan
DAS Cisadane Hulu.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan DAS.
2. Dasar pertimbangan bagi para stake holder dan masyarakat dalam melakukan
perencanaan perlindungan kawasan resapan air dan mempertahankan kuantitas
sumberdaya air dan tanah.
3. Sebagai dasar bagi penelitian lebih lanjut, misalnya dalam mengembangkan
kriteria daya dukung lahan DAS dan pengembangan kawasan resapan untuk
daerah aliran sungai lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kondisi kekritisan daerah resapan di DAS Cisadane Hulu
berdasarkan metode Peraturan Menteri Kehutanan (P.32/MENHUT-II/2009).
2. Melakukan analisis pengaruh penggunaan lahan dan kondisi daerah resapan
terhadap neraca air dan potensi resapan.
3. Memprediksi potensi resapan air berdasarkan kelas kekritisan daerah resapan
DAS Cisadane Hulu.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Hidrologi
Menurut Brooks et al. (2003), siklus hidrologi adalah siklus yang
menggambarkan proses sirkulasi air dari lahan dan badan air di permukaan bumi
menuju atmosfer yang terus berulang. Siklus hidrologi dapat dimulai dari presipitasi,

3
yang turun ke bumi akan menjadi interception, runoff (stream flow), surface runoff
(overland flow), berinfiltrasi dan berperkolasi ke dalam permukaan tanah sehingga
membentuk interflow (lateral flow) dan groundwater flow (return flow/base flow)
serta kembali lagi ke atmosfer melalui evaporasi dan transpirasi. Interception adalah
air presipitasi yang tertahan pada batang dan daun tanaman dan tidak sampai ke
permukaan bumi. Presipitasi yang sampai ke permukaan bumi akan berinfiltrasi ke
dalam profil tanah. Air yang berinfiltrasi ke dalam tanah akan menambah
kelembapan tanah dan dapat menguap kembali ataupun diserap oleh akar tanaman.
Evaporasi adalah proses penguapan air yang terjadi pada permukaan lahan dan
badan air seperti lautan atau danau, serta dipengaruhi oleh angin dan penyinaran
matahari (Cech 2005). Siklus hidrologi dapat ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema siklus hidrologi
Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran permukaan maupun
tidak langsung melalui vegetasi atau media lainnya akan membentuk siklus aliran
air mulai dari tempat yang tinggi (gunung, pegunungan) menuju ke tempat yang
rendah baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah yang berakhir di laut
(Kodoatie et al. 2008). Aliran permukaan terdiri atas dua jenis. Stream flow untuk
aliran air yang berada dalam sungai atau saluran, dan surface runoff (overland flow)
untuk aliran yang mengalir di atas permukaan tanah (Arsyad 2006).
Air yang telah berinfiltrasi ke dalam vadose zone (zona tidak jenuh) berada
di antara permukaan tanah dan saturation zone (zona jenuh) (Brooks et al 2003).
Air dalam vadose zone dapat bergerak secara lateral saat di bagian bawah vadose
zone dibatasi oleh lapisan kedap. Aliran lateral air ini disebut sebagai interflow.
Interflow kemudian menjadi tambahan input pada aliran sungai (stream flow)
(Ward et al. 1995).
Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah. Aliran
permukaan terdiri atas dua jenis. Pertama yaitu runoff (stream flow) untuk aliran air

4
yang berada dalam sungai atau saluran. Kedua adalah surface runoff untuk aliran
air yang mengalir di atas permukaan tanah (Arsyad 2006). Aliran sungai (runoff)
terbentuk sebagai gabungan dari presipitasi yang masuk ke dalam sungai, surface
runoff, interflow, dan baseflow. Debit runoff sungai dapat naik pada saat presipitasi
dan akan kembali turun setelah presipitasi selesai. Menurut Seyhan (1990), faktorfaktor yang mempengaruhi besarnya runoff antara lain: besar presipitasi, besar
evapotranspirasi dan faktor DAS.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah yang tecantum dalam Undang-Undang
mengenai Sumberdaya Air No. 7 Tahun 2004, suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. DAS berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami. Batas DAS di darat merupakan pemisah topografis
dan batas DAS di laut mencapai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan. Selain itu, menurut Sinukaban (2007), DAS adalah suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas-batas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air
hujan yang jatuh ke dalam DAS mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di
sungai) dalam DAS tersebut.
Menurut Hidayat & Suharto (2010) model pengelolaan DAS berbasis ekohidrologi merupakan pilihan terbaik untuk tercapainya pembangunan sumberdaya
air dan tanah yang berkelanjutan. Pengelolaan daerah aliran sungai di DAS
Cisadane Hulu yang sebagai salah satu DAS kritis, menjadi prioritas utama
pemerintah dalam upaya mengurangi bencana alam seperti banjir, tanah longsor,
ataupun kekeringan. Permasalahan utama dalam pengelolaan DAS umumnya
adalah terjadinya degradasi fungsi DAS akibat dari perubahan tutupan lahan di
kawasan hutan. Oleh sebab itu, agar pengelolaan DAS bisa berjalan optimal maka
perlu dilakukan pengaturan tata guna lahan di wilayah DAS. Tata guna lahan selain
tegakan hutan memang berpotensi untuk menurunkan kemampuan DAS dalam
sistem tata air. Menurut Priatna (2001), kalaupun ingin bercocok tanam di daerah
tangkapan, maka usaha tani yang dapat dilakukan adalah sistem pertanian
konservasi (conservation farming).
Daerah hulu suatu DAS merupakan bagian terpenting dalam menjamin
kelangsungan fungsi ekohidrologi DAS. Daerah hulu DAS biasanya didominasi
oleh kawasan lindung berupa ekosistem hutan. Ekosistem hutan adalah salah satu
sumberdaya alam yang dapat terbarukan, selain berfungsi produksi juga berperan
dalam mengatur kondisi hidro-orologis daerah aliran sungai (DAS). Fungsi hidroorologis hutan beserta komponen strata vegetasinya adalah merupakan sistem
pengatur yang efektif untuk melindungi permukaan tanah dari energi kinetis hujan,
menyimpan dan menahan lebihan air hujan agar tetap berada pada tanah lapisan
permukaan, mengendalikan laju limpasan air permukaan, serta melindungi tanah
dari bahaya erosi (Soerjono 1987). Oleh karena itu, segala tindakan dalam
pengelolaan hutan, seperti: pemanenan, permudaan, penanaman, penjarangan, dan
lain sebagainya mempunyai pengaruh terhadap kondisi tata air DAS (Manan 1985).
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan
konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan,

5
tanah, dan air. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan sumberdaya tersebut
meningkat sangat tajam yang pada kondisi tertentu menimbulkan dampak negatif
bagi kelestarian ekosistem DAS yang bersangkutan. Meningkatnya kebutuhan
terutama dalam konteks kepentingan pemenuhan kebutuhan penduduk yang sangat
besar, sangat berdampak kepada pola tekanan terhadap sumberdaya alam dan
ekosistem DAS yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain (Soedjoko dan
Fandeli 2002).
Penilaian Kekritisan Resapan Daerah Aliran Sungai
Analisa kekritisan lahan dan DAS dapat dilakukan dengan cara menilai 4
(empat) sifat biogeofisik lapangan yaitu faktor topografi, faktor kemiringan, faktor
drainase, dan faktor penggunaan lahan. Aspek yang paling penting adalah faktor
topografi di suatu wilayah, perubahan tutupan lahan dan kelas kemiringan lereng.
Dimana DAS yang didominasi kemiringan lereng yang curam dan topografi
perbukitan atau pegunungan maka akan berpotensi terhadap kekritisan suatu DAS.
Parameter tersebut dari kemiringan lereng, topografi dan ketinggian tempat suatu
wilayah dapat dihitung atau dianalisis dengan penginderaan jauh (Harjadi et al.
2007).
Dari sisi hidrologi, penyebab kunci degradasi DAS adalah berkurangnya
resapan air ke dalam tanah sehingga setiap kali hujan menghasilkan proporsi air
limpasan yang besar dan kemudian terakumulasi menjadi banjir dan genangan.
Disamping itu, kurangnya air yang dapat tersimpan di dalam tanah menyebabkan
luas mata air di musim kemarau berkurang drastis. Berkurangnya jumlah air yang
tersimpan di dalam tanah ini diduga karena adanya perubahan penggunaan lahan
(Narulita et al. 2008).
Secara kuantitatif, upaya rehabilitasi DAS yang diperlukan adalah untuk
memperkecil fluktuasi air antara musim kemarau dan musim hujan. Fluktuasi ini
dapat dikurangi apabila jumlah air yang meresap pada setiap kali hujan dapat
diperbesar yaitu dengan cara meningkatkan kapasitas imbuhan. Untuk
meningkatkan kapasitas imbuhan diperlukan rehabilitasi lahan pada daerah dimana
tingkat kekritisan resapan airnya tinggi dan berada pada daerah hulu lokasi
problematik (Narulita et al. 2008).
Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS
yang bersangkutan adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir yang tinggi dan
kekeringan maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang tingkat
kekritisan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang digunakan adalah
semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air limpasan,
sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base-flow) dapat
naik, demikian pula cadangan air tanahnya. Teknik Identifikasi daerah resapan
dapat dilakukan seperti halnya mengevaluasi lahan, yang dalam hal ini dapat
didekati dengan metode penumpang-tindihan peta atau map over-lay (Kementrian
Kehutanan 2009). Untuk daerah resapan yang tidak terlalu luas atau sedang metode
tersebut dapat dikerjakan secara manual. Ukuran luas daerah juga menentukan peta
dasar yang digunakan, apakah cukup merujuk kepada peta topografi, perlu foto
udara atau bahkan citra satelit. Untuk daerah yang sangat luas diperlukan sistem
digital dengan bantuan komputer.

6
GIS (Geographic Information System) adalah suatu sistem informasi yang
dapat membantu teknik digital tersebut, dengan memadukan antara data grafis
(spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di
bumi (georeference). GIS merupakan salah satu aplikasi yang telah banyak
digunakan oleh para peneliti dalam analisis perubahan fungsi lahan, kekritisan DAS,
neraca air dan model hidrologi lainnya (Amria et al. 2014; Hamdan et al. 2015; Viji
et al. 2015). Di samping itu GIS juga dapat menggabungkan data, mengatur data,
dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat
dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan
dengan keruangan (As-Syakur 2009).
Tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
(P.32/MENHUT-II/2009) tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRLH-DAS), parameterparameter yang menjadi penentuan daerah resapan air adalah curah hujan, jenis
tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan yang dibedakan dengan bobot dan
harkat. Aspek - aspek ini perlu terlebih dahulu disajikan dalam bentuk peta-peta,
kemudian diklasifikasikan sesuai dengan kategori yang gayut, yaitu: peta
penyebaran hujan, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan.
Peta penyebaran hujan, jenis tanah atau batuan dan peta kemiringan lereng
masing-masing ditransform dalam bentuk peta potensi infiltrasi. Ketiga aspek ini
memberikan indeks tingkat infiltrasi potensial yang alami. Bentuk penggunaan
lahan merupakan aspek di bawah pengaruh kegiatan manusia, mempunyai
implikasi yang berbeda terhadap infiltrasi. Jika aspek alami mencerminkan kondisi
‘potensial’, maka aspek penggunaan lahan mencerminkan kondisi ‘aktual’. Dengan
cara menumpang-tindihkan resultante (yang sudah ditransformasi dalam bentuk
nilai tingkat infiltrasi) aspek alami dan aspek aktual (pengaruh manusia), maka
dapat dibuat peta hasil overlay yang baru.
Klasifikasi Kelas Kelerengan
Dari peta topografi dapat dihitung dan diubah menjadi peta (kemiringan)
lereng, yang kemudian ditransform berdasarkan pengaruhnya terhadap tingkat
resapan (infiltrasi). Nilai infiltrasi berdasarkan kelas kelerengan disajikan pada
Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1 Hubungan kelas kelerengan dan tingkat infiltrasi
Kelas
1
2
3
4
5

Lereng (%)
40

Keterangan
Datar
Landai
Bergelombang
Curam
Sangat curam

Tingkat Infiltrasi
Besar
Agak besar
Sedang
Agak kecil
Kecil

Notasi
a
b
c
d
e

(Sumber: P.32/MENHUT-II/2009)

Klasifikasi Jenis Tanah
Setiap jenis tanah memiliki kemampuan meresapkan air yang berbeda-beda.
Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan pengujian kharateristik tanah
dan geohidrologi, yang selanjutnya ditransformasi berdasarkan hubungannya
dengan infiltrasi (permeabilitas tanah) dan diklasifikasikan seperti pada Tabel 2.

7
Tabel 2 Hubungan permeabilitas tanah dan tingkat infiltrasi
Kelas Permeabilitas tanah (cm/jam)
Tingkat Infiltrasi
1
Pasir, pasir berlempung
Besar
2
Agak besar
Lempung berpasir, lempung
3
Sedang
Lempung berdebu, lempung liat berdebu
4
Liat, lempung berliat, liat berpasir, liat berlempung Agak kecil
5
Kecil
Tanah liat (mayoritas liat)

Notasi
a
b
c
d
e

(Sumber: P.32/MENHUT-II/2009)

Selain itu, menurut Asdak (2004) dan USDA (2007) mengelompokkan tanah
berdasarkan karakteristik fisik (tekstur) menjadi empat kelompok hidrologi tanah
(Soil Hydrology Group) yang ditandai dengan huruf A, B, C, dan D. Kelompok
hidrologi tanah tersebut menunjukkkan laju infiltrasi dan salah satu faktor limpasan
permukaan (Tabel 3).
Tabel 3 Kelompok hidrologi tanah
Kelompok
Tekstur
Hidrologi Tanah
A
B
C
D

Laju infiltrasi
(mm/jam)

Potensi air larian paling kecil, termasuk tanah pasir dalam
dengan unsur debu dan liat. Laju infiltrasi tinggi.
Potensi air larian kecil, tanah berpasir lebih dangkal dari A.
Tekstur halus sampai sedang. Laju infiltrasi sedang.
Potensi air larian sedang, tanah dangkal dan mengandung
cukup liat. Tekstur sedang sampai halus. Laju infiltrasi
rendah.
Potensi air larian tinggi, kebanyakan tanah liat, dangkal
dengan lapisan kedap air dekat permukaan tanah. Infiltrasi
paling rendah.

8 - 12
4-8
1-4
0-1

(Sumber: Asdak 2004 dan USDA 2007)

Klasifikasi Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat
yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Hujan merupakan
input air yang masuk dalam suatu DAS. Metode untuk menggambarkan curah hujan
pada suatu wilayah dapat digunakan metode Polygon Theissen ataupun metode
Ishohyet. Polygon Theissen digunakan apabila wilayah yang dipetakan memiliki
topografi datar, sedangkan jika wilayahnya memiliki topografi berombak hingga
bergunung maka metode yang paling sesuai adalah Ishohyet. Klasifikasi curah
hujan yang digunakan dalam kajian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hubungan curah hujan dan potensi resapan
Kelas
1
2
3
4
5

Curah Hujan (mm/tahun)
> 3000
2500 – 3000
2000 – 2500
1500 – 2000
< 1500

(Sumber: Hasil analisis 2015 dan P.32/MENHUT-II/2009)

Potensi resapan
Besar
Agak besar
Sedang
Agak kecil
Kecil

Notasi
a
b
c
d
e

8
Klasifikasi Bentuk Penggunaan Lahan
Berdasarkan SNI 7645:2010 kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup
lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual
struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan, tinggi
tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Sedangkan dalam kategori daerah tak
bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi
atau kepadatan, dan ketinggian atau kedalaman objek (BSN 2010).
Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam penggunaan lahan berdasarkan
atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat
di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun
karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang - alang, dan
sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian dibedakan ke dalam penggunaan
lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan
sebagainya (Arsyad 2000). Klasifikasi tutupan dan prnggunaan lahan secara
lengkap disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan
No

Jenis Tutupan lahan

Kelas tutupan lahan
Daerah pertanian

1

Daerah vegetasi
Daerah bukaan
pertanian

2
3

Daerah tak bervegetasi

Lahan terbuka
Lahan terbangun

Perairan

Tubuh air

Kelas penggunaan lahan
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Ladang
Perkebunan
Hutan produksi
Semak belukar
Pekarangan
Lahan kosong
Pemukiman
Danau/ Waduk
Sungai
Tambak

(Sumber: SNI 7645: 2010)

Proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat diartikan sebagai
bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan
struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang
dimaksud tercermin dengan adanya pertumbuhan aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan jumlah penduduk dan
kebutuhan per kapita dan adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari
sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas sektor sekunder
(manufaktur) dan tersier (jasa) (Hardjowigeno 1994).
Penggunaan lahan, khususnya tipe vegetasi penutup berpengaruh terhadap
infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar
permeabilitas tanah, vegetasi menahan run-off dan vegetasi mengurangi jumlah air
perkolasi melalui transpirasi. Tajuk pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan
hujan yaitu mengubah kecepatan dan ukuran butir tetes hujan.
Dalam tujuan merehabilitasi fungsi DAS, penataan fungsi lahan sebenarnya
lebih difokuskan untuk mengurangi laju erosi dan meningkatkan infiltrasi pada saat

9
terjadi hujan. Dengan demikian akan memberikan sumbangan defosit air tanah yang
bermanfaat pada saat musim kemarau. Faktor-faktor yang berperan antara lain
tinggi dan tebal tajuk, kelebatan, dan serasah yang dihasilkan. Dalam kaitannya
dengan nilai tingkat infiltrasi aktual secara kualitatif bentuk penggunaan lahan DAS
dapat dibuat klasifikasi seperti pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Hubungan penggunaan lahan dan tingkat infiltrasi aktual
Kelas
1
2
3
4
5

Penggunaan Lahan
Hutan lebat (primer dan sekunder)
Hutan produksi, perkebuanan
Semak belukar, padang rumput
Ladang, tegalan (hortikultura)
Pemukiman, pekarangan, sawah

Tingkat Infiltrasi
Besar
Agak besar
Sedang
Agak kecil
Kecil

Notasi
A
B
C
D
E

(Sumber: P.32/MENHUT-II/2009)

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah DAS Cisadane Hulu, Kabupaten dan Kota
Bogor Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan April September 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 DAS Cisadane Hulu

10
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS (Global
Positioning System), seperangkat personal komputer yang dilengkapi dengan
MS.Office 2010, program aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcGIS 10.0
dan Corel Draw.
Bahan yang digunakan diperoleh dari berbagai sumber meliputi peta
batas DAS Cisadane Hulu, peta tata guna lahan (tahun 2006, 2009 dan 2013), peta
kelerengan lahan, peta jenis tanah atau peta kelompok hidrologi tanah, data curah
hujan harian (2004-2013), titik koordinat stasiun pengukuran Hujan (SPH), DEM
(Digital Elevataion Model), dan peta RBI (Rupa Bumi Indonesia). Bahan dan data
penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Bahan-bahan penelitian
No Jenis Data

Sumber Data
Badan Informasi Geospasial
(BIG)
Badan Informasi Geospasial
(BIG)

Keterangan

1

Peta Rupa Bumi
Indonesia

2

DEM

3

Peta Administrasi,
peta tutupan lahan

BPDAS Ciliwung -Citarum

Skala 1:250.000

4

Peta kelerengan

Hasil Klasifikasi DEM

5

Peta jenis tanah

BPDAS Ciliwung-Citarum

Skala 1:25.000
Tanah Tinjau (Skala
1:100.000)

6

Peta kelompok
hidrologi tanah
(KHT)

PUSLITTANAK Bogor

7

Data curah hujan
harian

BPSDA Ciliwung-Cisadane,
PUSAIR Jawa Barat,
BMKG Dramaga

5 SPH (Cihideung, Dramaga,
Empang, Karacak, Pasir jaya)
periode 2004-2014

8

Data (Koordinat)
stasiun pengukuran
hujan (SPH)

BPSDA Ciliwung-Cisadane,
PUSAIR Jawa Barat,
BMKG Dramaga

5 SPH (Cihideung, Dramaga,
Empang, Karacak, Pasir jaya)

Skala 1:25.000
ASTER GDEM (Aster Global
Digital Elevataion Model)

Prosedur Analisis Data
Prosedur analisis data dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu;
(1).identifikasi kondisi daerah resapan (tingkat kekritisan) berdasarkan metode
Menteri Kehutanan (P.32/MENHUT-II/2009) tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTKRHLDAS), (2).analisis neraca air yang meliputi perhitungan limpasan permukaan, laju
infiltrasi, evapotranspirasi dan cadangan air tanah dengan motede SCS-CN dan
Thornhtwaite-Mather, (3).kalibrasi dan pengujian model dan (4).prediksi potensi
laju resapan DAS Cisadane Hulu. Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data
dapat dilihat pada Gambar 3.

11
Mulai
Pengumpulan Data

Peta Tata Guna
Lahan

DEM

Peta Jenis
Tanah & SHG

(Digital Elevataion Model)

Data Curah
Hujan

Reklasifikasi
berdasarkan Tingkat Infiltrasi

Peta Tata Guna
Lahan

Peta
Kelas Lereng

Peta Jenis
Tanah

Peta Curah
Hujan

Overlay & Scoring
(P.32/MENHUT-II/2009)

Peta Sebaran Kondisi
Daerah Resapan dan CN
Analisis Neraca Air setiap Daerah Resapan
(SCS-CN & Thornhtwaite dan Mather)

Limpasan permukaan

Infiltrasi

Prediksi potensi
resapan air (volume)

Evapotranspirasi

Cadangan air tanah

Selesai

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data
Identifikasi Kondisi Daerah Resapan
Identifikasi potensi resapan dilakukan dengan teknik tumpang susun
(overlay) dan pembobotan (scoring) menggunakan aplikasi GIS (Geographic
Information System). Teknik GIS memungkinkan untuk pemodelan hidrologi yang
lebih akurat yaitu dengan kemampuannya mengakomodasi parameter-parameter
hidrologi yang beragam (Melesse et al. 2003).
Peta kemiringan lereng, peta jenis tanah dan peta sebaran hujan dioverlay
menjadi peta potensi infiltrasi. Kemudian diberi score sesuai dengan tingkat
infiltrasi dan potensi resapannnya, yaitu score untuk notasi a = 5, b = 4, c = 3, d =
2 dan e = 1. Ketiga aspek ini memberikan indeks tingkat infiltrasi potensial yang
alami. Bentuk penggunaan lahan merupakan aspek di bawah pengaruh kegiatan
manusia, mempunyai implikasi yang berbeda terhadap infiltrasi (Vink 1975).
Setelah dilakukan overlay dan scoring terhadap komponen-komponen
tersebut di atas, maka kondisi daerah resapan dapat diklasifikasikan, yaitu dengan
membandingkan antara nilai infiltrasi potensial dengan nilai infiltrasi aktualnya.
Metode yang digunakan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan (No.P.32/
MENHUT-II/2009) dengan kriteria penentuan sebagai berikut:

12
I.

II.

III.

IV.

V.
VI.

Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai
infiltrasi potensial, misalnya dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan
seterusnya.
Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti
nilai infiltrasi potensialnya, misal dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan
seterusnya.
Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat dari
nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D
dan seterusnya.
Kondisi Agak Kritis. yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun dua tingkat
dari nilai infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi C, atau dari b menjadi
D dan seterusnya.
Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari nilai
infiltrasi potensialnya, misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E.
Kondisi Sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat besar
menjadi sangat kecil, misalnya dari a menjadi E.

Cara identifikasi karakteristik hingga penentuan kelas kondisi daerah resapan
ini selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Garis besar pendekatan penyusunan model pengkajian daerah resapan
Keterangan:
 Score tingkat infiltrasi potensial (curah hujan, jenis tanah, kelerengan lahan) a =
5; b = 4; c = 3; d = 2; e = 1.
 Score tingkat infiltrasi aktual (penggunaan lahan): A= besar, B = agak besar, C
= sedang, D = agak kecil dan E = kecil.

13
Analisis Neraca Air (Water Balance)
Penentuan nilai CN, Limpasan Permukaan dan Laju Infiltrasi
Tahapan pertama adalah menentukan besarnya nilai curve number (CN)
untuk setiap daerah resapan kemudian menghitung limpasan permukaan (Q) dan
laju infiltrasi (F) dengan metode Soil Conservation Service-Curve Number (SCSCN) (USDA 1986). Persamaan yang di gunakan adalah sebagai berikut.
− .

Q=
S=

+ .

���

CNp =

2

(1)

– 254

(2)

∑�
� ��� � ��

(3)

∑�
� ��

(4)

F = (P - Ia) - Q

(5)

Ia = 0.2 S

Pada metode SCS-CN, limpasan permukaan (Q) dianggap nol apabila curah
hujan (P) = 0.2S. S adalah perbedaan kondisi tanah dan tutupan lahan terhadap nilai
curve number (CN) atau disebut retensi potensial air maksimum. Ia adalah fungsi
penggunaan tanah, perlakuan dan kondisi hidrologi, serta kandungan air tanah
sebelumnya. F adalah penambahan air ke dalam tanah yang nilainya akan selalu
lebih kecil atau sama dengan retensi potensialnya dan dinamakan sebagai infiltrasi.
CNp merupakan bilangan kurva tertimbang yang nilainya bervariasi dari 0 - 100
(Tabel 8). Bila nilai CN = 100, maka nilai S = 0 dan Q = P.
Tabel 8 Nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan dan grup hidrologi tanah
Bentuk penggunaa
lahan
Hutan primer
Hutan sekunder
Zona industri/
pertambangan

Kelompok Hidrologi Tanah
A
B
C
D
30
55
70
77
36
60
73
79
81

88

91

93

Kebun campuran

57

73

82

86

Ladang

72

81

88

91

Ilalang/semak
Perkebunan
Permukiman

49
45
77

69
66
85

79
77
90

84
83
92

Sawah

65

76

84

88

Tubuh air
Lahan kosong

100
49

100
69

100
79

100
84

(Sumber: USDA 2005)

Sumber dalam TR-55
Woods, hydrologic condition: good
Woods, hydrologic condition: fair
Urban district; industrial
Woods-grass combination,
hydrologic condition poor
Row crops; straight row,
hydrologic condition; poor
Pasture, hydrologic condition: fair
Woods, hydrologic condition: poor
Residential district; 1/8 acre or less
Small grain; straight row,
hydrologic condition: poor
Open space: fair condition

14
Bilangan kurva atau CN seharusnya hanya digunakan sebagai pedoman,
hubungan CN dan empiris yang sebenarnya harus ditentukan berdasarkan data lokal
dan regional pada waktu penelitian dilakukan (Canters et al. 2006). Nilai CNP
dihitung dari bobot CN rata-rata (Fan et al. 2013) dan berdasarkan pada kelompok
hidrologi tanah (KHT), bentuk penggunaan lahan dan kondisi hidrologi yang
berpedoman pada nilai tabel CN (Asdak 2002).
Dalam penelitian ini, CNi merupakan nilai CN untuk penggunaan lahan 1, 2,
3....n. Ai adalah luas untuk masing-masing penggunaan lahan. Kondisi hidrologi
(baik, sedang, dan buruk) dari masing-masing bentuk penggunaan lahan ditentukan
berdasarkan tingkat kekritisan daerah resapan. Metode ini sudah digunakan oleh
beberapa peneliti (Reshma et.al 2010; Luxon dan Pius 2013) tidak hanya di
Amerika Serikat tetapi juga di negara lain karena memberikan hasil yang valid dan
konsisten (Kumar dan Rishi 2013).
Tahapan ini juga meliputi penentuan AMC (antecedent moisture condition)
yaitu jumlah curah hujan 5 hari sebelumnya. Nilai AMC adalah suatu indikator dari
kebasahan dan ketersediaan dari simpanan kelembaban tanah sebelumnya sampai
waktu puncak. Keadaan ini memberikan efek yang berbeda pada volume limpasan.
Oleh karena itu, nilai CN perlu disesuaikan dengan kondisi AMC. NRCS (Natural
Resources Conservation Service-USDA) menetapkan batasan total curah hujan 5
hari sebelumnya sebagai acuan untuk menentukan nilai AMC (USDA 2004)
sebagaimana disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Kategori AMC (Antecedent Moisture Condition)
AMC
AMC 1
AMC 2
AMC 3

Jumlah total curah hujan
5 hari sebelumnya (mm)
< 35
35 – 53
> 53

Keterangan
Kering
Normal
Basah

(Sumber: Asdak 2004)

Volume limpasan yang dihitung tanpa menyesuaikan nilai CN berdasarkan AMC
akan menyebabkan model over atau under prediksi. Oleh karena itu nilai CN harus
disesuaikan dengan persamaan berikut (Chow et al. 1988):
CNI =
CNIII =

. ∗ CNII

(6)

∗ CNII

(7)

− ,

+ ,

∗ CNII

∗ CNII

Cadangan Air Tanah
Cadangan air tanah dihitung dengan asumsi bahwa dalam DAS input air
hanya berasal dari curah hujan. Model yang digunakan untuk memprediksi adalah
metode neraca air Thornhtwaite dan Mather (1957) dengan persamaan berikut:
P = Q + ET ± ∆S atau ∆S = P - Q - ET

(8)

15
∆S adalah perubahan cadangan air tanah (mm), P adalah tinggi curah hujan
(mm), Q adalah runoff (mm) dan ET adalah evapotranspirasi (mm). Nilai P dihitung
dengan teknik thiessen polygon. Dimana: R1, R2....., Rn = Curah hujan setiap
stasiun dan A1, A2. ....An = luas area yang dipengaruhi oleh tiap stasiun.
P=

R A +R A +⋯+RnAn

(9)

A +A +⋯+An

Evapotranspirasi (ET) diprediksi berdasarkan persamaan Food Agricultural
Organization (FAO) Penman-Monteith (Allen et al. 1998).
.

ET =

∆∗ R�
̌ −� + �

/ +

∆+ �∗ + .

2

∗ 2 ∗ �� −��

(10)

Kalibrasi dan Pengujian Model
Setiap analisis yang menggunakan model harus disertai dengan pengujian
terhadap model untuk menilai kebenaran model. Metode statistik yang digunakan
untuk tujuan pengujian dan kalibrasi model dalam penelitian ini adalah dengan
persentase perbedaan atau standar deviation terhadap hasil observasi (Dvi) dan
nilai efisiensi model Nash-Sutcliffe (ENS) yang direkomendasikan oleh The
American Society of Civil Engineers. Adapun persamaannya sebagai berikut:
Dvi = [

�� −

��

��

ENS = 1 - [







�� −

�� −

]

��
2


(11)
2

]

(12)

Dimana QMi adalah debit aktual yang terukur, QSi adalah debit hasil simulasi,
dan QS adalah rata-rata debit terukur. Van Liew dan Garbrecht (2003) menunjukkan
hasil simulasi dikriteriakan sebagai berikut:
1. Baik, jika ENS ≥ 0.75
2. Memuaskan, jika 0.75 > ENS > 0.36
3. Kurang memuaskan, jika ENS < 0.36
Santhi et al. (2001) menunjukkan hasil simulasi dikriteriakan baik jika nilai
deviation rata-rata debit hasil simulasi berada pada kisaran -15 % sampai + 15 %
dari rata-rata debit hasil observasi, nilai ENS ≥ 0.5 dan R2 ≥ 0.6.
Kalibrasi model juga dilakukan menggunakan metode IOA (Index of
Agreement) merupakan suatu derajat keakuratan yang menunjukkan seberapa
akurat data observasi yang diprakirakan oleh suatu model. IOA lebih sensitif
terhadap perbedaan ratarata (mean) antara data observasi dan hasil model, sehingga
sangat baik dalam menunjukkan setiap perubahan jika dibandingkan dengan
koefisien korelasi. Nilai hasil perhitungan IOA (d) adalah berkisar antara 0 hingga
1. Hasil prakiraan dari model yang baik ditunjukkan dengan nilai IOA yang
mendekati 1 (Willmott, 1982). Persamaan 8 berikut merupakan persamaan IOA.
IOA = 1 -

[∑



�− � 2

]
| �− ̅ | + | �− ̅ | 2

(13)

16
Pi adalah nilai debit hasil pengukuran, Si adalah debit hasil simulasi dan S̅ adalah
debit simulasi rata-rata. Hasil dari Index of Agreement (IOA) dapat diklasifikasikan
menjadi 4 kriteria:
1. Sempurna (IOA = 1)
2. Baik (0.8 ≤ IOA < 1)
3. Sedang (0.7 ≤ IOA < 0.8)
4. Buruk (IOA < 0.7)
Perhitungan Potensi Resapan
Potensi resapan yang adalah kemampuan daerah resapan suatu DAS dalam
menginfiltrasikan dan meresapkan jumlah air hujan yang jatuh di permukaan.
Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah semakin besar tingkat infiltrasi
maka semakin kecil limpasannya (runoff), sehingga potensi resapannya meningkat.
Model perhitungan potensi resapan air (recharge potention) yang digunakan adalah
aplikasi praktis seperti yang telah dilakukan hampir di setiap Kabupaten Jawa Barat
(IWACO dan WASECO 1990). Daerah resapan biasanya mempunyai nilai
koefisien resapan (recharge coefficient) besar. Koefisien resapan adalah rasio
antara banyaknya volume curah hujan yang mengalir sebagai air infiltrasi terhadap
total curah hujan. Dalam kasus ini nilai koefisien resapan adalah laju infiltrasi (F)
yang diperoleh dari perhitungan dengan metode SCS-CN. Sehingga untuk
mendapatkan besarnya nilai potensi resapan adalah sebagai berikut:
RP = F x P x A

(14)

RP adalah potensi resapan (recharge potention), F adalah laju infiltrasi (%), P
adalah curah hujan (mm atau m) dan A adalah luas permukaan resapan daerah aliran
sungai (106 m3).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
DAS Cisadane Hulu dengan luas 852.56 km2 atau 85256.2 ha mempunyai
jaringan sungai yang mengalir dari hulu hingga outlet Batu Beulah. Daerah ini
secara geografis terletak di antara 106o28’50” BT – 106o56’39” BT dan -6o28’48”
LS – 6O 47’16” LS. Secara administrasi meliputi 19