Bahan Sekolah Filsafat Gmni FISIP UB (Bung Vindy)
ARISTOTELES
Kita telah berkenalan dengan Plato dan Sokrates dua filsuf tersohor pada era
klasik, disamping mereka berdua era klasik juga memiliki nama yang tak kalah
gemilang bahkan melebihi kegemilangan dari dua nama yang disebut dahulu. Ialah
sosok Aristoteles yang adalah filosof klasik terbesar yang pernah dilahirkan zaman
itu, gagasannya bahkan hidup selama lebih dua ribu tahun lamanya. Sebelum kita
menelusuri bagaimana gagasan-gagasan dari filosof yang juga merupakan murid dari
Plato ini ada baikknya kita terlebih dahulu menelisik latar belakannya. Ari –panggilan
akrab Aristoteles-- lahir pada tahun 384 SM di Stageria semenanjung Kalkideke
(wilayah Balkan sekarang), wilayah kerajaan Macedonia (M. Hatta, 2006:115). Di
mana, mula-mula sosok yang kemudian hari menjadi guru dari Alexander Agung
(Iskandar Zulkarnain) ini mendapat pendidikan dari ayahnya yang seorang dokter
kerajaan, mengenai ilmu-ilmu alam. Ilmu yang kemudian ia kembangkan menjadi
basis dari gagasan filosofinya. Namun, setelah ayahnya meninggal Aristoteles
bergegas pergi ke Atena dan belajar di Academia menjadi murid Plato dan akrab
dengan gagasan-gagasan filosofi.
Ia banyak mengumpulkan dan membaca buku dari berbagai macam ilmu
pengetahuan, mulai dari ilmu Astronomi, pidato, matematika, retorika dan tentu saja
gagasan-gagasan filosofi. Dalam pendangan filosofi agaknya Aristoteles berbeda
dengan pandangan gurunya Plato. Menurut Aristoteles, pengalaman bukanlah
pengetahuan yang hanya pantulan gambaran saja dari idea, seperti yang dikatakan
oleh Plato (M. Hatta, 2006:117). Kendati begitu, Ari megakui bahwa hakekat dari
sesuatu tidaklah terletak pada keadaan bendanya, melainkan pada pengertian adanya,
pada idea. Di sini yang berbeda dengan gagasan Plato, yakni idea itu tidak terlepas
sama sekali dengan keadaan yang nyata. Sebagaimana yang pernah kita ulas
sebelumnya bahwa adanya menurut Plato adalah sebagai suatu keseluruhan pada
yang umum/idea yang kajianya berada pada wilayah yang sangat abstrak, yaitu dunia
idea. Berbeda dengan Plato, yang mana ini sekaligus kritik dari Ari kepada gurunya
bahwa, adannya itu terbagi kedalam berbagai lingkungan seperti fisika, biologi, etik,
politik, dan psikologi. Dan adanya menurut Ari ini juga terdapat pada kenyataankenyataan yang kelihatan. Tidak saja berbeda perihal gagasan dasar filosofi dengan
gurunya, Ari yang menggantikan Plato mengajar di academia juga memiliki cara
mengajar yang sedikit berlainan dengan gurunya tersebut. Apabila Plato maupun
Socrates dahulu mengajar dengan cara mengajar siswanya berdialog, maka Ari
memberi siswanya kuliah. Di academia inilah ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar, terlepas dari berbagai perjalannanya yang hingga ke Macedonia, ia kembali
ke academia hingga ajal datang menjemputnya di usia 63 tahun (M Hatta, 2006:119).
Gagasan Filosofi Aristoteles
Seperti halnya gurunya Plato, Ari berpendapat bahwa tujuan akhir dari filosofi
adalah pengetahuan tentang adanya. Ia masih berpegang pada Plato bahwa kebenaran
hanya akan dapat diketahui melalui jalan pengertian/yang umum. Namun menurut
Ari, adanya itu tidak dapat semata-mata diketahui melalui jalan pengertian/yang
umum seperti yang didengungkan Plato. Tetapi adanya tidak juga dapat diketahui
hanya dari materi, benda, saja. Adanya itu menurut Ari terletak dalam barang/materi
selama barang itu ditentukan oleh yang umum/pengertian. Nah, dititik ini barulah Ari
mulai sedikit berpisah dengan pandangan gurunya. Pandangannya lebih realis dari
pandangan Plato yang terkesan sangat abstrak. terlihat bagaimana pengaruh
pendidikan ayahnya di masa kecilnya dari ilmu-ilmu alam, Ari memandang terlebih
dahulu yang konkrit dan nyata.
Ia bermula dengan mengumpulkan fakta-fakta kemudian fakta yang sudah
terkumpul disusunnya menjadi klasifikasi mulai jenis, ragam, atau sifatnya kedalam
suatu sistem. Cara yang ia lakukan ini mendahului cara kerja ilmiah pada zaman
sekarang. Ilmu filosofi ia tegaskan terpecah menjadi cabang-cabang ilmu seperti
fisika, politik, ekonomi, matematika, astronomi, teknik, hingga seni dengan sistem
kajian yang terdifirensiasi satu dengan yang lain. Pendek kata menurut Ari, adanya
dapat dikeahui melalui cabang-cabang ilmu tersebut tidak hanya sebagai suatu
keseluruhan yang umum/idea.
Logika Aristoteles
Berfikir logik adalah cara berfikir secara teratur menurut yang tepat yang
berdasarkan hubungan kausalitas atau sebab akibat. Dalam hal berfikir secara logika
ini Aristoteles dalam dunia pikir Yunani nyaris tak ada tandingannya. Bukan berarti
filosof-filosof yang hidup sebelum Ari tidak berfikir menggunakan logika tetapi lebih
pada fakta bahwa Ari-lah filosof pertama dalam dunia Yunani yang mendengungkan
cara berfikir yang teratur dalam suatu sitem (M. Hatta, 2006:121). Adapun ajaran
ilmu logika ini kemudian dikenal dengan sebutan silogisme. Maksud silogisme yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal khusus menuju pada kenyataan umum. Hal ini
dilakukan untuk mencapai kebenaran berdasar tarikan kesimpulan dari yang umum
atas hal-hal yang khusus sebagai misal:
Semua Siswi SD Tunas Bahari Hari ini absen
Ani adalah siswi SD Tunas Bahari
Ani absen hari ini
Berdasar ilmu logika, hal ini adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal. Oleh
karena itu dikatakan pula, bahwa, sifat logika sama dengan matematika. Menurut Ari
pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Hal ini berbeda
dengan pengetahuan biasa yang diperoleh dari pengalaman. Pengalaman hanya
menyatakan kepada kita tentang apa yang terjadi. Pengertian atau yang umum
menerangkan apa sebab itu terjadi. Sedangkan pengetahuan ilmiah mencari
pengertian atau yang umum, menyelidiki sebab dan dasar-dasar dari segala yang ada
(M. Hatta, 2006:122).
Ari membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan, menarik
kesimpulan, dan membuktikan. Pengertian mengenai adanya itu dibanginya dalam 10
macam kategori: Pertama, Substansi (barang) misalnya manusia. Kedua, kwantita
(jumlah) misalnya, dua, tiga dst. Ketiga, kwalita (sifat) misalnya, putih beradab.
Keempat, relasi (hubungan). Kelima, tempat, misalnya pasar. Keenam, waktu.
Ketujuh, sikap misalnya, tidur, berdiri. Kedelapan, keadaan misalnya bersenjata.
Kesembilan, kerja (aktif). Kesepuluh, menderita (pasif) (M. Hatta, 2006:124)
Dari kesemua ini substansi-lah yang menjadi pokok sedangken yang lain
hanya sebagai penyebut. Dalam upaya mempertimbangkan, menarik simpulan dan
membuktikan semua mesti didasarkan pada hal yang objektif. Lebih lanjut Ari
mengatakan, bahwa yang “lebih dulu” dan mudah untuk tertangkap oleh pikiran kita
ialah hal-hal yang konkrit, yang dapat dilihat dan dialami. Misalnya, orang buta atau
tuli lebih mudah tergambar dalam pikiran kita daripada “orang” belaka. Akan tetapi
yang “lebih dahulu” pada hakekatnya tidak lebih dahulu, melainkan datang kemudian
hasil turunan dari yang umum/pengertian/idea. Walaupun yang umum ini sebenarnya
lebih dahulu dan menjadi dasar yang pokok. Namun ia sulit tertangkap oleh pikiran
jika tidak disertai dengan hal-hal yang konkrit.
Ari masih berada pada jalur gagasan filosofi dari Plato, bahwa adanya dapat
dicapai melalui yang umum/pengertian/idea. Yang ditentang dari ajaran gurunya ialah
pemisahan extreme antara yang umum dan yang khusus, antara idea dan
gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, antara become dan being.
Pengertiannya mengenai idea berbeda dengan Plato. Idea menurut Plato berada pada
tataran abstrak sama sekali. Sedangken Ari berusaha mencari hubungan antara
ideos/idea dengan kenyataan yang lahir. Disitulah ia letakkan tugas dari logika, yaitu
menghubungkan yang umum/idea dengan hal-hal yang khusus/ pengalaman. Ajaran
logika ini diciptakan oleh Aristoteles sebagai bagian pendahuluan dari keseluruhan
ajaran filosofinya.
Metafisika Aristoteles
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan “barang” dan “bentuk”. Kedua
hal ini diketengahkan untuk meniadakan pemisahan yang extreme dari Plato
mengenai yang umum/idea dengan kenyataan yang lahir/pengalaman. Di sini
“Bentuk” sebagai analogi dari Idea. Tiap-tiap benda di dunia ini pasti berbentuk.
Sedangkan “Barang” dianalogikan sebagai dunia lahir ialah materi yang tidak
mempunyai bangun, selain itu “barang” tidak mempunyai sifat tertentu. Bentuk
adalah bangun dan sekaligus sifatnya. Misalnya, kayu, batu, besi, tanah adalah
barang; maka rumah merupakan bentuknya. Kemudian bagaimana jika pengertian ini
dibawa pada manusia, maka jadinya badan manusia adalah barang, dan jiwanya
merupakan bentuk. Tidak ada barang yang tidak berbentuk segala materi/alam lahir di
dunia ini memiliki bentuk (M. Hatta, 2006:127)
Pendeknya ‘barang” hanya-lah kemungkinan “bentuk-lah” pelaksanan dari
kemungkinan itu. Yang umum/idea terlaksana dalam yang khusus, dengan demikian
adanya dapat diketahui melalui didalam benda-benda yang ada itu, karena yang
umum/idea terlaksana dalam yang khusus. Lantas apakah yang menjadi sebab
pengerak dari “barang” kemungkinan pada “bentuk” pelaksanaan tersebut? Menurut
Aristoteles jawabannya adalah Tuhan-lah faktor penggerak itu. Gerak di sini tidak
diartikan sebagai berpindah tempat tetapi lebih pada perubahan. Dalam hal ini
pendapat Ari sudah dekat kembali kepada Plato.
Filosofi Alam Aristoteles
Alam dalam pandangan Ari ialah meliputi semua pergerakan materi. Dengan adanya
pergerakan berarti terdapat perubahan. Perubahan bergantung dengan tempat dan
waktu berkaitan dengan tempat, menurut Ari luas di alam semesta ini terbatas di luar
itu tidak ada tempat lagi. Sedangkan waktu merupkan ukuran dari gerak yang dahulu
dan kemudian. Waktu menurutnya tidak berhingga, tidak ada awalnya dan akhir.
Dengan demikian, alam menurutnya ada untuk selama-lamanya, hal ini karena waktu
yang tidak terbatas tersebut. Disamping itu Tuhan menurutnya juga merupakan
penggerak pertama dari alam semesta (M Hatta, 2006:132)
Etik Aristoteles
Etik dalam pandangan Aristoteles tujuannya tidaklah mencapai kebaikan demi
kebaikan, melainkan merasai kebahagiaan. Tujuan manusia bukanlah untuk sekedar
mengetahui apa itu budi tetapi mengamalkan budi tersebut. Kaitannya dengan hal ini,
budi pikiran seperti kebiksanaan, kecerdasan, dan pendapat yang sehat lebih
diutamakan oleh Ari dibandingkan dengan budi perangai seperti keberanian,
kesederhanaan, pemurah hati dan lain sebagainya.
Setiap budi perangai yang baik menurutnya berada pada posisi tengah diantara
dua extreme sikap yang saling bertolak belakang. Misalnya, sikap berani yaitu antara
pengecut dan nekat; suka memberi antara kikir dan boros; rendah hati antara berjiwa
budak dan sombong. Dalam budi perangai ini Ari mengambil jalan tengah serta
menekankan pada keseimbangan sikap. Disamping mengambil jalan tengah, ada tiga
hal lagi yang perlu dikemukakan dan perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan
hidup. Pertama, manusia harus memiliki harta secukupnya, karena kemiskinan itu
memunculkan jiwa yang rendah bagi manusia.
Kedua, alat terbaik untuk mencapai kebahagiaan adalah persahabatan.
Menurutnya persahabatan lebih penting dibandingkan keadilan, sebab ketika orang
seorang bersahabat maka dengan sendirinya terjadi keadilan diantara mereka. Akan
tetapi persahabatan lebih mudah terjadi antara orang yang sedikit jumlahnya
dinbandingkan orang denga jumlah banyak. Ketiga, barulah ini keadilan, keadilan
dan persahabatan menurut Ari adalah budi yang menjadi dasar hidup bersama dalam
keluarga dan negara.
Negara Dalam Pandangan Aristoteles
Pada negara-lah pelaksanaan etik dapat berjalan, karena apabila hanya
mengandalkan orang-seorang hal tersebut tidak dapat tercapai. Lebih lanjut dikatakan
Ari, bahwa, manusia itu adalah zoon politicon, mahkluk sosial yang tidak dapat hidup
dan berdiri sendiri (M Hatta, 2006:134). Di mana ilmu politik itu tidak membentuk
manusia melainkan menerima manusia sebagaimana alam melahirkannya. Manusia
berada pada posisi tengah diantara hewan dan Tuhan, yang merupakan dua titik
terendah dan tertinggi. Namun begitu, tabiat manusia lebih dekat ke binatang
daripada kepada Tuhan. Rata-rata tabiat manusia yang sangat dicela Ari, yaitu senang
berlomba-lomba menumpuk keuntungan dalam jumlah besar. Seharusnya manusia
hanya diperkenankan untuk mencari sebatas dapat digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya serta keluarganya.
Pekerjaan berdagang serta memungut riba juga dicelanya, ia menganjurkan
agar negara mengambil tindakan tepat untuk mempengaruhi kehidupan sosial. Negara
hubungannya dengan manusia sendiri adalah mencakup keseluruhan, negara memiliki
tujuan untuk mencapai keselamatan bagi semua penduduknya, keadilan adalah anasir
tertinggi dan esensial sifatnya bagi negara. (M. Hatta, 2006:135) Kewajiban negara
adalah memberikan rakyatnya pendidikan yang tetap agar berbudi baik. Di dalam
negara, kedudukan golongan tengah-lah yang patut dipandang sebagai penduduk
penuh. Ari memandang golongan ini sebagai tiang masyarakat, mereka lebih tinggi
dibandingkan pedagang ataupun bankir.
Pedagang dan bankir bahkan dipandang sederajat dengan para budak. Dalam
adab masyarakat Yunani kala itu perbudakan masih diberlakukan. Aristoteles maupun
Plato tidak menolak hal ini. Orang Yunani memandang hina pekerjaan yang berkitan
dengan kerja fisik termasuk diantaranya pekerjaan berdagang dan bertani, sebab
pekerjaan itu menumpulkan pikiran. Oleh karena, pekerjaan ini dikerjakan oleh para
budak. Orang yang bekerja sepanjang hari tidak memiliki waktu untuk memikirkan
perihal politik dan kepentingan umum. Ari berpendapat, bahwa orang yang memiliki
waktu luang saja yang berhak bersuara tentang pemerintahan. Lebih lanjut,
menurutnya negara yang baik bentuknya tidak memberikan kedudukan warga negara
orang-orang yang bekerja tangan/fisik (M. Hatta, 2006:136)
Aristoteles mengemukakan tiga macam bentuk nagara yaitu: 1) Monarki,
menurut bentuknya pemerintahan ini yang terbaik sebab hanya dijalankan oleh
seorang yang lebih menyerupai Tuhan ditengah-tengah manusia. Namun, sangat
jarang manusia seperti ini sehingga aristokrasilah yang terbaik 2) Aristokrasi:
pemerintahan oleh sedikit orang yang cerdik pandai, namun sistem ini tidak boleh
didasarkan pada sistem turunan. Dan begitu rentan menimbulkan adanya kooptasi
dari kaum pemodal di dalamnya hal ini akan menghilangkan kecakapan. Oleh karena
itu, ada baiknya pemerintahan dilakukan oleh “banyak orang” yakni 3) Politea atau
pemerintahan berdasar kekuasaan seluruh rakyat atau juga disebut dengan demokrasi.
Sunguhpun dalam memberikan pertimbangan “orang banyak” ini kurang memiliki
kecakapan dari orang-orang yang punya keahlian, namun “orang banyak” tidak
mudah dihinggapi kecurangan.
Diantara semua itu di sini Aristoteles memandang rendah demokrasi
dibandingkan dengan aristokrasi, sebab dalam demokrasi keahlian diganti dengan
jumlah. Karena rakyat mudah tertipi maka lebih baik hak pilih dibatasi hanya pada
lingkungan orang-orang cerdik pandai saja. Menurutnya kombinasi dari aristokrasi
dan demokrasi adalah sistem yang sebaik-baiknya (M. Hatta, 2006:138)
Daftar Rujukan
Hatta, Muhammad, (2006). Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Universitas Indonesia UI
Prees
Kita telah berkenalan dengan Plato dan Sokrates dua filsuf tersohor pada era
klasik, disamping mereka berdua era klasik juga memiliki nama yang tak kalah
gemilang bahkan melebihi kegemilangan dari dua nama yang disebut dahulu. Ialah
sosok Aristoteles yang adalah filosof klasik terbesar yang pernah dilahirkan zaman
itu, gagasannya bahkan hidup selama lebih dua ribu tahun lamanya. Sebelum kita
menelusuri bagaimana gagasan-gagasan dari filosof yang juga merupakan murid dari
Plato ini ada baikknya kita terlebih dahulu menelisik latar belakannya. Ari –panggilan
akrab Aristoteles-- lahir pada tahun 384 SM di Stageria semenanjung Kalkideke
(wilayah Balkan sekarang), wilayah kerajaan Macedonia (M. Hatta, 2006:115). Di
mana, mula-mula sosok yang kemudian hari menjadi guru dari Alexander Agung
(Iskandar Zulkarnain) ini mendapat pendidikan dari ayahnya yang seorang dokter
kerajaan, mengenai ilmu-ilmu alam. Ilmu yang kemudian ia kembangkan menjadi
basis dari gagasan filosofinya. Namun, setelah ayahnya meninggal Aristoteles
bergegas pergi ke Atena dan belajar di Academia menjadi murid Plato dan akrab
dengan gagasan-gagasan filosofi.
Ia banyak mengumpulkan dan membaca buku dari berbagai macam ilmu
pengetahuan, mulai dari ilmu Astronomi, pidato, matematika, retorika dan tentu saja
gagasan-gagasan filosofi. Dalam pendangan filosofi agaknya Aristoteles berbeda
dengan pandangan gurunya Plato. Menurut Aristoteles, pengalaman bukanlah
pengetahuan yang hanya pantulan gambaran saja dari idea, seperti yang dikatakan
oleh Plato (M. Hatta, 2006:117). Kendati begitu, Ari megakui bahwa hakekat dari
sesuatu tidaklah terletak pada keadaan bendanya, melainkan pada pengertian adanya,
pada idea. Di sini yang berbeda dengan gagasan Plato, yakni idea itu tidak terlepas
sama sekali dengan keadaan yang nyata. Sebagaimana yang pernah kita ulas
sebelumnya bahwa adanya menurut Plato adalah sebagai suatu keseluruhan pada
yang umum/idea yang kajianya berada pada wilayah yang sangat abstrak, yaitu dunia
idea. Berbeda dengan Plato, yang mana ini sekaligus kritik dari Ari kepada gurunya
bahwa, adannya itu terbagi kedalam berbagai lingkungan seperti fisika, biologi, etik,
politik, dan psikologi. Dan adanya menurut Ari ini juga terdapat pada kenyataankenyataan yang kelihatan. Tidak saja berbeda perihal gagasan dasar filosofi dengan
gurunya, Ari yang menggantikan Plato mengajar di academia juga memiliki cara
mengajar yang sedikit berlainan dengan gurunya tersebut. Apabila Plato maupun
Socrates dahulu mengajar dengan cara mengajar siswanya berdialog, maka Ari
memberi siswanya kuliah. Di academia inilah ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar, terlepas dari berbagai perjalannanya yang hingga ke Macedonia, ia kembali
ke academia hingga ajal datang menjemputnya di usia 63 tahun (M Hatta, 2006:119).
Gagasan Filosofi Aristoteles
Seperti halnya gurunya Plato, Ari berpendapat bahwa tujuan akhir dari filosofi
adalah pengetahuan tentang adanya. Ia masih berpegang pada Plato bahwa kebenaran
hanya akan dapat diketahui melalui jalan pengertian/yang umum. Namun menurut
Ari, adanya itu tidak dapat semata-mata diketahui melalui jalan pengertian/yang
umum seperti yang didengungkan Plato. Tetapi adanya tidak juga dapat diketahui
hanya dari materi, benda, saja. Adanya itu menurut Ari terletak dalam barang/materi
selama barang itu ditentukan oleh yang umum/pengertian. Nah, dititik ini barulah Ari
mulai sedikit berpisah dengan pandangan gurunya. Pandangannya lebih realis dari
pandangan Plato yang terkesan sangat abstrak. terlihat bagaimana pengaruh
pendidikan ayahnya di masa kecilnya dari ilmu-ilmu alam, Ari memandang terlebih
dahulu yang konkrit dan nyata.
Ia bermula dengan mengumpulkan fakta-fakta kemudian fakta yang sudah
terkumpul disusunnya menjadi klasifikasi mulai jenis, ragam, atau sifatnya kedalam
suatu sistem. Cara yang ia lakukan ini mendahului cara kerja ilmiah pada zaman
sekarang. Ilmu filosofi ia tegaskan terpecah menjadi cabang-cabang ilmu seperti
fisika, politik, ekonomi, matematika, astronomi, teknik, hingga seni dengan sistem
kajian yang terdifirensiasi satu dengan yang lain. Pendek kata menurut Ari, adanya
dapat dikeahui melalui cabang-cabang ilmu tersebut tidak hanya sebagai suatu
keseluruhan yang umum/idea.
Logika Aristoteles
Berfikir logik adalah cara berfikir secara teratur menurut yang tepat yang
berdasarkan hubungan kausalitas atau sebab akibat. Dalam hal berfikir secara logika
ini Aristoteles dalam dunia pikir Yunani nyaris tak ada tandingannya. Bukan berarti
filosof-filosof yang hidup sebelum Ari tidak berfikir menggunakan logika tetapi lebih
pada fakta bahwa Ari-lah filosof pertama dalam dunia Yunani yang mendengungkan
cara berfikir yang teratur dalam suatu sitem (M. Hatta, 2006:121). Adapun ajaran
ilmu logika ini kemudian dikenal dengan sebutan silogisme. Maksud silogisme yaitu
menarik kesimpulan dari hal-hal khusus menuju pada kenyataan umum. Hal ini
dilakukan untuk mencapai kebenaran berdasar tarikan kesimpulan dari yang umum
atas hal-hal yang khusus sebagai misal:
Semua Siswi SD Tunas Bahari Hari ini absen
Ani adalah siswi SD Tunas Bahari
Ani absen hari ini
Berdasar ilmu logika, hal ini adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal. Oleh
karena itu dikatakan pula, bahwa, sifat logika sama dengan matematika. Menurut Ari
pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Hal ini berbeda
dengan pengetahuan biasa yang diperoleh dari pengalaman. Pengalaman hanya
menyatakan kepada kita tentang apa yang terjadi. Pengertian atau yang umum
menerangkan apa sebab itu terjadi. Sedangkan pengetahuan ilmiah mencari
pengertian atau yang umum, menyelidiki sebab dan dasar-dasar dari segala yang ada
(M. Hatta, 2006:122).
Ari membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan, menarik
kesimpulan, dan membuktikan. Pengertian mengenai adanya itu dibanginya dalam 10
macam kategori: Pertama, Substansi (barang) misalnya manusia. Kedua, kwantita
(jumlah) misalnya, dua, tiga dst. Ketiga, kwalita (sifat) misalnya, putih beradab.
Keempat, relasi (hubungan). Kelima, tempat, misalnya pasar. Keenam, waktu.
Ketujuh, sikap misalnya, tidur, berdiri. Kedelapan, keadaan misalnya bersenjata.
Kesembilan, kerja (aktif). Kesepuluh, menderita (pasif) (M. Hatta, 2006:124)
Dari kesemua ini substansi-lah yang menjadi pokok sedangken yang lain
hanya sebagai penyebut. Dalam upaya mempertimbangkan, menarik simpulan dan
membuktikan semua mesti didasarkan pada hal yang objektif. Lebih lanjut Ari
mengatakan, bahwa yang “lebih dulu” dan mudah untuk tertangkap oleh pikiran kita
ialah hal-hal yang konkrit, yang dapat dilihat dan dialami. Misalnya, orang buta atau
tuli lebih mudah tergambar dalam pikiran kita daripada “orang” belaka. Akan tetapi
yang “lebih dahulu” pada hakekatnya tidak lebih dahulu, melainkan datang kemudian
hasil turunan dari yang umum/pengertian/idea. Walaupun yang umum ini sebenarnya
lebih dahulu dan menjadi dasar yang pokok. Namun ia sulit tertangkap oleh pikiran
jika tidak disertai dengan hal-hal yang konkrit.
Ari masih berada pada jalur gagasan filosofi dari Plato, bahwa adanya dapat
dicapai melalui yang umum/pengertian/idea. Yang ditentang dari ajaran gurunya ialah
pemisahan extreme antara yang umum dan yang khusus, antara idea dan
gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, antara become dan being.
Pengertiannya mengenai idea berbeda dengan Plato. Idea menurut Plato berada pada
tataran abstrak sama sekali. Sedangken Ari berusaha mencari hubungan antara
ideos/idea dengan kenyataan yang lahir. Disitulah ia letakkan tugas dari logika, yaitu
menghubungkan yang umum/idea dengan hal-hal yang khusus/ pengalaman. Ajaran
logika ini diciptakan oleh Aristoteles sebagai bagian pendahuluan dari keseluruhan
ajaran filosofinya.
Metafisika Aristoteles
Metafisika Aristoteles berpusat pada persoalan “barang” dan “bentuk”. Kedua
hal ini diketengahkan untuk meniadakan pemisahan yang extreme dari Plato
mengenai yang umum/idea dengan kenyataan yang lahir/pengalaman. Di sini
“Bentuk” sebagai analogi dari Idea. Tiap-tiap benda di dunia ini pasti berbentuk.
Sedangkan “Barang” dianalogikan sebagai dunia lahir ialah materi yang tidak
mempunyai bangun, selain itu “barang” tidak mempunyai sifat tertentu. Bentuk
adalah bangun dan sekaligus sifatnya. Misalnya, kayu, batu, besi, tanah adalah
barang; maka rumah merupakan bentuknya. Kemudian bagaimana jika pengertian ini
dibawa pada manusia, maka jadinya badan manusia adalah barang, dan jiwanya
merupakan bentuk. Tidak ada barang yang tidak berbentuk segala materi/alam lahir di
dunia ini memiliki bentuk (M. Hatta, 2006:127)
Pendeknya ‘barang” hanya-lah kemungkinan “bentuk-lah” pelaksanan dari
kemungkinan itu. Yang umum/idea terlaksana dalam yang khusus, dengan demikian
adanya dapat diketahui melalui didalam benda-benda yang ada itu, karena yang
umum/idea terlaksana dalam yang khusus. Lantas apakah yang menjadi sebab
pengerak dari “barang” kemungkinan pada “bentuk” pelaksanaan tersebut? Menurut
Aristoteles jawabannya adalah Tuhan-lah faktor penggerak itu. Gerak di sini tidak
diartikan sebagai berpindah tempat tetapi lebih pada perubahan. Dalam hal ini
pendapat Ari sudah dekat kembali kepada Plato.
Filosofi Alam Aristoteles
Alam dalam pandangan Ari ialah meliputi semua pergerakan materi. Dengan adanya
pergerakan berarti terdapat perubahan. Perubahan bergantung dengan tempat dan
waktu berkaitan dengan tempat, menurut Ari luas di alam semesta ini terbatas di luar
itu tidak ada tempat lagi. Sedangkan waktu merupkan ukuran dari gerak yang dahulu
dan kemudian. Waktu menurutnya tidak berhingga, tidak ada awalnya dan akhir.
Dengan demikian, alam menurutnya ada untuk selama-lamanya, hal ini karena waktu
yang tidak terbatas tersebut. Disamping itu Tuhan menurutnya juga merupakan
penggerak pertama dari alam semesta (M Hatta, 2006:132)
Etik Aristoteles
Etik dalam pandangan Aristoteles tujuannya tidaklah mencapai kebaikan demi
kebaikan, melainkan merasai kebahagiaan. Tujuan manusia bukanlah untuk sekedar
mengetahui apa itu budi tetapi mengamalkan budi tersebut. Kaitannya dengan hal ini,
budi pikiran seperti kebiksanaan, kecerdasan, dan pendapat yang sehat lebih
diutamakan oleh Ari dibandingkan dengan budi perangai seperti keberanian,
kesederhanaan, pemurah hati dan lain sebagainya.
Setiap budi perangai yang baik menurutnya berada pada posisi tengah diantara
dua extreme sikap yang saling bertolak belakang. Misalnya, sikap berani yaitu antara
pengecut dan nekat; suka memberi antara kikir dan boros; rendah hati antara berjiwa
budak dan sombong. Dalam budi perangai ini Ari mengambil jalan tengah serta
menekankan pada keseimbangan sikap. Disamping mengambil jalan tengah, ada tiga
hal lagi yang perlu dikemukakan dan perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan
hidup. Pertama, manusia harus memiliki harta secukupnya, karena kemiskinan itu
memunculkan jiwa yang rendah bagi manusia.
Kedua, alat terbaik untuk mencapai kebahagiaan adalah persahabatan.
Menurutnya persahabatan lebih penting dibandingkan keadilan, sebab ketika orang
seorang bersahabat maka dengan sendirinya terjadi keadilan diantara mereka. Akan
tetapi persahabatan lebih mudah terjadi antara orang yang sedikit jumlahnya
dinbandingkan orang denga jumlah banyak. Ketiga, barulah ini keadilan, keadilan
dan persahabatan menurut Ari adalah budi yang menjadi dasar hidup bersama dalam
keluarga dan negara.
Negara Dalam Pandangan Aristoteles
Pada negara-lah pelaksanaan etik dapat berjalan, karena apabila hanya
mengandalkan orang-seorang hal tersebut tidak dapat tercapai. Lebih lanjut dikatakan
Ari, bahwa, manusia itu adalah zoon politicon, mahkluk sosial yang tidak dapat hidup
dan berdiri sendiri (M Hatta, 2006:134). Di mana ilmu politik itu tidak membentuk
manusia melainkan menerima manusia sebagaimana alam melahirkannya. Manusia
berada pada posisi tengah diantara hewan dan Tuhan, yang merupakan dua titik
terendah dan tertinggi. Namun begitu, tabiat manusia lebih dekat ke binatang
daripada kepada Tuhan. Rata-rata tabiat manusia yang sangat dicela Ari, yaitu senang
berlomba-lomba menumpuk keuntungan dalam jumlah besar. Seharusnya manusia
hanya diperkenankan untuk mencari sebatas dapat digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya serta keluarganya.
Pekerjaan berdagang serta memungut riba juga dicelanya, ia menganjurkan
agar negara mengambil tindakan tepat untuk mempengaruhi kehidupan sosial. Negara
hubungannya dengan manusia sendiri adalah mencakup keseluruhan, negara memiliki
tujuan untuk mencapai keselamatan bagi semua penduduknya, keadilan adalah anasir
tertinggi dan esensial sifatnya bagi negara. (M. Hatta, 2006:135) Kewajiban negara
adalah memberikan rakyatnya pendidikan yang tetap agar berbudi baik. Di dalam
negara, kedudukan golongan tengah-lah yang patut dipandang sebagai penduduk
penuh. Ari memandang golongan ini sebagai tiang masyarakat, mereka lebih tinggi
dibandingkan pedagang ataupun bankir.
Pedagang dan bankir bahkan dipandang sederajat dengan para budak. Dalam
adab masyarakat Yunani kala itu perbudakan masih diberlakukan. Aristoteles maupun
Plato tidak menolak hal ini. Orang Yunani memandang hina pekerjaan yang berkitan
dengan kerja fisik termasuk diantaranya pekerjaan berdagang dan bertani, sebab
pekerjaan itu menumpulkan pikiran. Oleh karena, pekerjaan ini dikerjakan oleh para
budak. Orang yang bekerja sepanjang hari tidak memiliki waktu untuk memikirkan
perihal politik dan kepentingan umum. Ari berpendapat, bahwa orang yang memiliki
waktu luang saja yang berhak bersuara tentang pemerintahan. Lebih lanjut,
menurutnya negara yang baik bentuknya tidak memberikan kedudukan warga negara
orang-orang yang bekerja tangan/fisik (M. Hatta, 2006:136)
Aristoteles mengemukakan tiga macam bentuk nagara yaitu: 1) Monarki,
menurut bentuknya pemerintahan ini yang terbaik sebab hanya dijalankan oleh
seorang yang lebih menyerupai Tuhan ditengah-tengah manusia. Namun, sangat
jarang manusia seperti ini sehingga aristokrasilah yang terbaik 2) Aristokrasi:
pemerintahan oleh sedikit orang yang cerdik pandai, namun sistem ini tidak boleh
didasarkan pada sistem turunan. Dan begitu rentan menimbulkan adanya kooptasi
dari kaum pemodal di dalamnya hal ini akan menghilangkan kecakapan. Oleh karena
itu, ada baiknya pemerintahan dilakukan oleh “banyak orang” yakni 3) Politea atau
pemerintahan berdasar kekuasaan seluruh rakyat atau juga disebut dengan demokrasi.
Sunguhpun dalam memberikan pertimbangan “orang banyak” ini kurang memiliki
kecakapan dari orang-orang yang punya keahlian, namun “orang banyak” tidak
mudah dihinggapi kecurangan.
Diantara semua itu di sini Aristoteles memandang rendah demokrasi
dibandingkan dengan aristokrasi, sebab dalam demokrasi keahlian diganti dengan
jumlah. Karena rakyat mudah tertipi maka lebih baik hak pilih dibatasi hanya pada
lingkungan orang-orang cerdik pandai saja. Menurutnya kombinasi dari aristokrasi
dan demokrasi adalah sistem yang sebaik-baiknya (M. Hatta, 2006:138)
Daftar Rujukan
Hatta, Muhammad, (2006). Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Universitas Indonesia UI
Prees