ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh :

DENNY SAPUTRA

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pada hakikatnya hak untuk melakukan penuntutan ada pada jaksa dan hak tersebut dilaksanakan sepenuhnya tidak tergantung pada adanya bantuan dan izin dari orang yang terhadapnya kejahatan itu telah dilakukan. Namun dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat suatu pengeculian yakni menyertakan adanya suatu pengaduan untuk melakukan tuntutan pidana bagi beberapa kejahatan yang penuntutannya digantungkan kepada adanya suatu pengaduan disebut delik aduan. Pendangan masyarakat mengenai penentuan delik aduan selama ini mendorong untuk dilakukan evaluasi dan reformasi kebijakan penentuan delik aduan. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah kebijakan penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Kebijakan penentuan delik aduan mencakup kebijakan kriminalisasi, penentuan suatu delik yang dikualifikasikan sebagai delik aduan atau bukan, dan kebijakan formulasi mengenai delik aduan secara umum yang ditentukan dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Kebijakan penentuan delik aduan dalam KUHP mencakup Kebijakan kriminalisasi suatu perbuatan yang sepatutnya dijadikan delik aduan atau bukan dengan mengacu pada adanya hubungan pribadi/keperdataan yang sangat kuat, adanya hubungan kekeluargaan, perlindungan terhadap nama baik


(2)

dan martabat orang yang terkena perbuatan delik (orang yang dirugikan). Terhadap orang yang telah mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan diterima oleh pejabat yang berwenang. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bersifat sebagai delik aduan atau bukan didasarkan pada pertimbangan masalah yang lebih melindungi kepentingan tertentu dari orang yang terkena perbuatan itu, jika dilakukan penuntutan, daripada kepentingan untuk melindungin kepentingan umum jika terhadap perbuatan itu dilakukan penuntutan. Perkembangan di dalam masyarakat, dalam kaitannya dengan delik aduan, menyebabkan materi yang ditentukan sebagai delik aduan terutama delik aduan absolut sudah tidak memadai lagi sebagai upaya perlindungan masyarakat, terutama efek perlindungan umum masyarakat. Terhadap masalah subjek delik aduan, siapa yang berhak mengajukan pengaduan, mengacu pada makna sebenarnya dari delik aduan yang memperhatikan kepentingan individu/pribadi yakni orang yang terkena delik adua, dan dirumuskan secara jelas dalam ketentuan yang mengatur delik aduan tersebut. Tenggang waktu pengajuan pengaduan mengacu pada ketentuan umum KUHP dengan mempertimbangkan kelengkapan pengaduan yang berisikan kapan terjadi delik aduan, sejak kapan ia mengetahui terjadi delik aduan, mengapa dilakukan, dengan apa dan bagaimana cara melakukannya. Pejabat yang berwenang menerima pengaduan diselaraskan dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana. Banyaknya fenomena dan reaksi yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa fungsi hukum pidana dalam kaitannya dengan kebijakan penentuan delik aduan harus benar-benar memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Salah satu cara yang dapat diambil adalah dengan menentukan suatu delik aduan sebagai delik aduan relatif yang berorientasikan pada kepentingan umum. Misalnya saja perubahan sifat delik aduan pada delik perzinahan dari delik aduan sbsolut diganti dengan delik aduan relatif yang berorientasi pada kepentingan umum, begitu pula delik-delik yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dimaksudkan untuk menciptakan iklim ekonomi kearah peningkatan dan kemajuan pembangunan.


(3)

A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh suatu organisasi atau lembaga dalam rangka menghadapi permasalahan tertentu. Kebijakan memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi suatu organisasi atau lembaga.

Menurut Hasibuan (1994 ; 64), kebijakan adalah proses penyusunan secara sistematis mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan adalah kegiatan memilih dan menghubungkan fakta juga membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan perencanaan manajemen yang baik, maka organisasi dapat melihat keadaan dan membuat urutan prioritas utama yang ingin dicapai organisasi.

Menurut Soekanto (2001 ; 66), kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana bagi pemerintah atau organisasi dalam


(4)

pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, cara bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sementara itu Mustopawijaya (2004 ; 16-17), merumuskan kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi, baik publik atau bisnis, yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu berupa ketentuan-ketentuan yang berisikan pedoman perilaku dalam:

a. Pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran atau unit organisasi pelaksana kebijakan

b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan, baik dalam hubungan dalam unit organisasi atau pelaksana maupun kelompok sasaran dimaksud.

2. Kategori Kebijakan

Istilah kebijakan dewasa ini telah digunakan untuk menjelaskan hal yang beragam. Menurut Wahab (1998 ; 22), penggunaan istilah kebijakan dapat dikategorikan dalam sepuluh kelompok, yaitu sebagai berikut:

a. Kebijakan sebagai label bagi suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam konteks ini, kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan pemerintahan atau bidang kegiatan di mana pemerintah terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan luar negeri.

b. Kebijakan sebagai ekspresi mengenai tujuan umum/keadaan yang dikehendaki. Di sini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehendak dan


(5)

kondisi yang dituju, seperti pernyataan tentang tujuan pembangunan di bidang SDM untuk mewujudkan aparatur yang bersih.

c. Kebijakan sebagai bidang proposal tertentu. Dalam konteks ini kebijakan berupa proposal, seperti misalnya usulan RUU di Bidang Perkawinan.

d. Kebijakan sebagai sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah keputusan untuk melakukan perombakan terhadap suatu sistem administrasi negara.

e. Kebijakan sebagai sebuah pengesahan formal. Disisni kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun telah sebagai keputusan yang sah. Sebagai contohnya adalah UU nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan keputusan sah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

f. Kebijakan sebagai sebuah program. Kebijakan adalah program yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh adalah peningkatan pendaya gunaan aparatur negara, yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, termasuk cara pengorganisasiannya.

g. Kebijakan sebagai out put atau apa yang ingin dihasilkan. Yang dimaksud kebijakan di sini adalah out put yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pelayanan yang murah dan cepat atau pegawai negeri sipil yang profesional.

h. Kebijakan sebagai out come. Kebijakan di sini digunakan untuk menyatakan dampak yang diharapkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pemerintahan yang efektif dan efisien.

i. Kebijakan sebagai teori atau model. Kebijakan di sini menggambarkan model suatu keadaan, dengan asumsi yang digunakan. Sebagai contoh, kalau pajak


(6)

dinaikkan x % maka revenue diperkirakan akan naik y % atau kalau x dilakukan maka yang terjadi adalah y.

j. Kebijakan sebagai proses atau tahapan yang akan dilalui untuk mencapai hasil yang diharapkan.

3. Ciri-Ciri Kebijakan

Sebagai serangkaian upaya yang dilakukan dengan langkah-langkah secara logis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada masa mendatang, maka kebijakan yang disusunharus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Menurut Azwar (1996 ; 23-24), kebijakan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Bagian dari sistem administrasi

Kebijakan adalah bagian dari fungsi administrasi yang sangat penting, sehingga kebijakan harus dalam kerangka administrasi, artinya kebijakan dibuat harus dilaksanakan dan dievaluasi.

b. Dilaksanakan secara berkesinambungan

Kebijakan merupakan bagian dari siklus pemecahan masalah (problem solving circle) yang juga merupakan fungsi manajemen. Kebijakan akan kembali pada kebijakan berikutnya setelah langkah-langkah dalam siklus dilalui. Namun siklus tersebut bukan bersifat statis namun dinamis, sehingga akan berbentuk suatu spiral siklus yang tidak mengenal titik akhir.

c. Berorientasi pada masa depan

Hasil kebijakan menghasilkan kebaikan bukan saja saat ini tapi juga pada masa yang akan datang.


(7)

d. Mampu menyelesaikan masalah

Siklus kebijakan adalah pemecahan masalah artinya penyusunan kebijakan didasarkan pada masalah artinya penyusunan kebijakan didasarkan pada masalah yang dihadapi dan penyusunannya harus berdasarkan pada langkah-langkah siklus pemecahan masalah.

e. Mempunyai tujuan

Tujuan harus ditetapkan berdasarkan pada tujuan yang paling umum atau tujuan yang lebih berorientasi dampak (impact) dan hasil (out put) serta perlu dijabarkan kepada tujuan yang khusus atau yang berorientasi padaout putatau uraian yang lebih spesifik.

f. Bersifat mampu kelola

Kebijakan harus bersifat realistis, logis, objektif, runtut, fleksibel yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia.

4. Kebijakan Formulasi

Istilah kebijakan seiring dipertukarkan dengan tujuan program, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai tujuan yang diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah persoalan-persoalan (Budi Winarno, 2007 ; 36).


(8)

a. Pedoman untuk bertindak, yakni suatu deklarasi mengenai suatu dasar/pedoman bertindak, arah tindakan tertentu, program mengenaiaktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana.

b. Perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

c. Tindakan berpola yang mengarah pada suatu tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.

d. Langkah/tindakan yang dilakukan oleh seorang atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Sebuah ketetapan yang berlakuyang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (Ealau dan Prewitt, 1983 ;78 ).

B. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Perbuatan Pidana dan Unsur Pidana

Perbuatan pidana menurut Moeljatno (1993 ; 54), adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Simons menyatakan (dalam Leden Marpaung, 1991 ; 4), perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.


(9)

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP, yang disebutdelictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan sebagaimana dalam Pasal 531 KUHP dinamakandelictum omissionis. Di samping itu ada delik yang dapat diwujudkan dengan berbuat negatif dinamakan delicta commissinis per omnissionem commisa, misalnya ketentuan dalam Pasal 341 KUHP dimana seorang Ibu yang bisa saja menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan.

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, Moeljatno (1993:63) menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Kelima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. a. Unsur pokok objektif

1) Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:


(10)

a) Actadalah perbuatan aktif yang disebut perbuatan positif dan;

b) Omnission, adalah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

2) Akibat perbuatan manusia. Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. 3) Keadaan-keadaan. Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan; b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sikap melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif. Asas pokok hukum pidana adalah “tidak ada hukuman kalau tak ada kesalahan”. Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja dan kealpaan (Leden Marpaung, 1989 ; 6-7).

1) Kesengajaan. Menurut para pakar, ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu: a) Sengaja sebagai maksud;

b) Sengaja sebagai kepastian; dan c) Sengaja sebagai kemungkinan.

2) Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan, ada 2 (dua) bentuk kealpaan yaitu:


(11)

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

c. Unsur melawan hukum. Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum itu kedalam dua macam yaitu:

1) Sikap melawan hukum formal. Menurut ajaran sifat melawan hukum formal, yang dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis); dan

2) Sikap melawan hukum material. Menurut ajaran sifat melawan hukum material, disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

2. Syarat-syarat Perbuatan Pidana

Seseorang untuk dapat dijatuhi pidana dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran yaitu ajaran (aliran) monisme dan ajaran (aliran) dualisme. Ajaran (aliran) monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana jika perbuatannya itu tidak memenuhi rumusan delik


(12)

tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak. Ajaran (aliran) dualisme, memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka pertama terlebih dahulu harus dilihat apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi kemudian masuk pada tahap kedua yaitu melihat apakah ada kesalahan, kemudian ketiga melihat apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab. A. Zainal Abidin (1962 ; 38) merumuskan kedua ajaran (aliran) tersebut di dalam satu rumusan syarat-syarat pemidanaan yaitu:

a. Ajaran (aliran) monisme atau klasik:

c=ab Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan ab berarti seluruh unsur-unsur darifeit

b. Ajaran (aliran) dualisme atau modern:

c=a + b Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan a + b berarti dua kelompok unsurfeitdandader

Berdasarkan ajaran ini, dibutuhkan dalam syarat-syarat pemidanaan harus dipenuhi unsur-unsur dari tindak pidana. Selain itu, dalam poin b ditambahkan satu unsur lagi adalah adanya pelaku (dader).

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi


(13)

walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Menurut Romli Atmasasmita (1989 ; 79), pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Sedangkan menurut Roeslan Saleh (1982 ; 33), berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

D. Tinjauan Umum Tentang Delik Aduan

1. Pengertian Delik Aduan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat asas hukum pidana yakni hukum pidana sebagai “hukum publik” dimana ditentukan bahwa “untuk menuntut sesuatu delik, baik yang berupa kejahatan maupun pelanggaran, hak untuk melakukan penuntutan itu diletakkan pada penuntut umum dan pada umumnya permintaan dari pihak orang yang menderita atau melakukan penuntutan tidak mempunyai pengaruh terhadap penuntutan ini (Barda Nawawi Arief, 1993 : 127).

Hukum pidana sebagai “hukum publik” menurut Van Apeldoorn sebagaimana ditulis kembali oleh E. Utrecht (1994 ; 57), melihat dalam peristiwa pidana (strafbaar feit) suatu pelanggaran tata tertib hukum (rechtsorde) umum dan tidak melihat dalam peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan khusus


(14)

(bijzondere belangen) dari pada individu. Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu, tetapi penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah. Lebih lanjut E. Utrecht mengemukakan mengapa hukum pidana dikatakan sebagai hukum publik, karena hukum pidana itu mengatur perhubungan antara individu dengan masyarakat sebagai masyarakat, hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya. Sifat hukum pidana itu ternyata khusus dalam hal sering suatu tindakan tertentu tetap menjadi peristiwa pidana, biarpun tindakan itu dilakukan dengan persetujuan yang dikenai akibat tindakan tersebut, dan ternyata dalam hal umumnya dituntut tidaknya sesuatu peristiwa pidana tidak tergantung pada kehendak dari yang dirugikan oleh peristiwa pidana itu. Penuntutan suatu peristiwa pidana terletak dalam tangan suatu alat negara, yaitu dalam tangan kejaksaan (Utrecht, 1994 ; 58).

Menurut Sianturi (1982 ; 416), hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti bahwa kepentingan umum lebih diutamakan. Karenanya penuntutan suatu delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak tergantung pada orang-orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikan ada keberatan dari penderita, tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan.

Namun demikian dalam hal ini terdapat pengecualian dalam adanya suatu tindak pidana (kejahatan) dimana terhadap beberapa tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Karenanya apabila


(15)

kapada suatu Pengadilan/Mahkamah diajukan suatu delik aduan tanpa dilengkapi dengan pengaduan(tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan), harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima (niet ontvangkelijk verklaard). Tindak pidana seperti itu disebut “klacht delicten” yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “gewone delicten” yakni tindak pidana-tindak pidana yang dapat dituntu tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. Delik-delik yang hanya dapat dituntut apabila ada suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan itu di dalam bahasa Belanda disebut “delicten op klachte vervolgbaar” atau dalam bahasa Jerman disebut juga “antragsdelikte”, yakni sebagai lawan apa yang disebut “delicten van ambtswege vervolgbaar” atau delik-delik yang dituntut sesuai dengan jabatan (P.A.F. Lamintang, 1990 ; 207).

Menurut Memorie Van Theolichting, disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tersebut, sehingga kepentingan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan (Barda Nawawi Arief, 1994 ; 209).

Delik-delik pengaduan penuntutan tergantung daripada orang yang dirugikan. Orang ini menentukan penuntutan, karena tanpa mengajukan penuntutan, ia dapat mencegah penuntutan. Sebaliknya apabila ia mengajukan pengajuan, badan


(16)

penuntut umum tidak berwajib untuk memberi akibat pada pengaduan yang diajukan. Hal ini disebabkan karena adanya asas opportuniteit, asas tentang kefaedahan penerapan undang-undang, yang merupakan dasar daripada tuntutan pidana pada hukum positif, tetap dipertahankan, sehingga dalam delik-delik pengaduan penguasa yang menuntut, berhak untuk tidak meneruskan perkara demi kepentingan umum. Pernyataan yang benar ialah apakah badan penuntut umum, selama belum diajukan pengaduan, masih berhak untuk mengadakan tindakan-tindakan pengusutan.

Mengenai pengertian dari pengaduan itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 ; 8)dimuat pengertian antara lain sebagai berikut :

“Mengadukan, mengajukan perkara dan sebagainya (kepada hakim, orang yang berkuasa);……. Pengaduan 1. penyambungan; 2. aduan (hal atau perkara yang diadukan); 3. Proses, perbuatan, cara mengadu 4. Ungkapan rasa tidak senang atau tidak puas akan hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi perlu diperhatikan”.

Melihat pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, nampak persepsi tentang “pengaduan” masih belum jelas, masih kabur bahkan pengertian “mengajukan perkara dan sebagainya” bukan membuat pengertian “pengaduan” semakin jelas. Menurut Mr. M.H. Tirtamidjaja (1997 ; 89), sebagaimana dikemukakan dalam bukunnya Leden Marpuang, diutarakan antara lain :

“Suatu pengaduan adalah suatu pernyataan tegas dari orang yang berhak untuk mengadu bahwa ia menghendaki penuntutan orang yang telah melakukan pelanggaran pidana itu”.

Pendapat Mr. M.H. Tirtamidjaja tersebut, memang telah dapat membentuk pengertian tentang “pengaduan” tetapi belum tepat betul karena pernyataan


(17)

tersebut belum jelas apakah lisan atau tertulis. Jika tidak berbentuk tertulis, akan sulit dipergunakan karena tanggal pengajuan maupun waktu untuk mencabut akan sulit ditentukan. Dengan demikian maka suatu pengaduan adalah pernyataan tertulis dari orang yang berhak untuk mengadu bahwa ia menghendaki penuntutan pelaku suatu kejahatan atau tindak pidana.

Orang yang “mengadu”, jika yang menderita atau korban kejahatan suatu tindak pidana, sudah dewasa maka tidak menimbulkan permasalahan karena korban itulah yang berhak mengadu. Masalah timbul, jika korban suatu tindak pidana aduan, belum dewasa. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan formulasi dalam hal menyangkut tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai delik aduan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Pengertian “pengaduan” sebagai unsur dari tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai delik aduan, maka perlu dibedakan “pengaduan” dengan “laporan”. Menurut Nico Ngani (1984 ; 28) perbedaan antara pengaduan dan laporan adalah sebagai berikut :

1. Pelaporan dapat diajukan terhadap semua perbuatan pidana, sedang pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan untuk mana adanya pengaduan itu menjadi syarat/unsur.

2. Setiap orang dapat melaporkan suatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.

3. Laporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan sebaliknya di dalam kejahatan-kejahatan tertentu merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.


(18)

2. Jenis-jenis Delik aduan

Pada umumnya delik aduan terbagi atas delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif (nisbi).

1. Delik Aduan Absolut

Delik aduan absolut adalah delik aduan yang dalam keadaan apapun tetap merupakan delik aduan. Atau menurut kata-kata Vos : “Absolute zijn die, welke als regel allen op klchte vervolgbaar zijn ….”. Tindakan pengaduan di sini diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga semua yang bersangkutan dengan itu harus dituntut (Barda Nawawi Arief, 1984 ; 27).

Delik aduan absolut terdapat pada beberapa pasal yang tersebar, antara lain delik penghinaan (Pasal 310 sampai dengan Pasal 319) dengan catatan bahwa penghinaan terhadap pejabat pada waktu ia sedang melakukan jabatan yang sah, dapat dituntut oleh Jaksa, beberapa delik kesusilaan (Pasal 284, 287, 293, dan 332) dan kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP).

2. Delik Aduan Relatif

Delik aduan relatif adalah tiap kejahatan yang hanya dalam keadaan tertentu saja merupakan delik aduan, umumnya kejahatan itu bukanlah delik aduan melainkan kejahatan biasa. Pengaduan ini dilakukan bukan untuk menuntut peristiwanya tetapi karena itu merupakan delik aduan relatif (Nico Ngani, 1994 ; 261). Kejahatan-kejahatan yang termasuk golongan kejahatan aduan ini adalah pencurian dalam keluarga (familie-diefstal). Pasal 367 dan delik-delik kekayaan (vermogensdelicten) yang kurang lebih sejenis, seperti pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP), penggelapan (Pasal 376), penipuan (Pasal 394 KUHP).


(19)

Adapun yang menjadikan alasan delik aduan relatif, sebagaimana yang ditetapkan dalamWetboek van StrafrechtBelanda, Modderman, Menteri Kehakiman Belanda mengemukakan alasannya, yakni :

a. Alasan Susila, yaitu mencegah terjadinya pemerintah terpaksa menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan yang sangat dalam (intim) antara yang satu dengan yang lain berhadapan muka di depan Hakim Pidana.

b. Alasan Materiil (stoffelijk), yaitu de facto (feitelijk) ada semacam kondominium antara suami dan istri.


(20)

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan penentuan delik aduan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mencakup kebijakan kriminalisasi, penentuan suatu delik yang dikualifikasikan sebagai delik aduan atau bukan, dan kebijakan formulasi mengenai delik aduan secara umum yang ditentukan dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Kebijakan penentuan delik aduan dalam KUHP mencakup kebijakan kriminalisasi suatu perbuatan yang sepatutnya dijadikan delik aduan atau bukan dengan mengacu pada adanya hubungan pribadi/keperdataan yang sangat kuat, adanya hubungan kekeluargaan, perlindungan terhadap nama baik dan martabat orang yang terkena perbuatan delik (orang yang dirugikan). Kebijakan menetapkan subjek delik aduan, yakni orang yang berhak melakukan penuntutan adalah orang yang terkena perbuatan delik atau jika ia belum cukup 16 tahun dan belum dewasa maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah, wali pengawas/wali pengampu, keluarga sedarah sampai derajat ketiga. Jika korban kejahatan telah meninggal maka yang berhak mengajukan pengaduan adalah : Orang tuanya, anaknya, suami/istrinya yang masih hidup. Terhadap orang yang telah


(21)

69 mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan diterima oleh pejabat yang berwenang. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan delik aduan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bersifat sebagai delik aduan atau bukan didasarkan pada pertimbangan masalah yang lebih melindungi kepentingan tertentu dari orang yang terkena perbuatan itu, jika dilakukan penuntutan, daripada kepentingan untuk melindungi kepentingan umum jika terhadap perbuatan itu dilakukan penuntutan. Permasalahan yang mempengaruhi penentuan delik aduan antara lain:

a. Masalah Kebijakan Penentuan Delik Aduan. b. Masalah Subjek Delik Aduan.

c. Masalah Pengajuan Pengaduan dan Penarikan Pengaduan kembali. d. Masalah Pejabat yang Berwenang.

B. Saran

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan diatas maka beberapa saran yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut :

1. Dengan banyaknya fenomena dan reaksi yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa fungsi hukum pidana dalam kaitannya dengan kebijakan penentuan delik aduan harus benar-benar memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Salah satu cara yang dapat diambil adalah dengan menentukan suatu delik aduan sebagai delik aduan relatif yang berorientasikan pada kepentingan umum. Misalnya saja perubahan sifat delik aduan pada delik perzinahan dari delik aduan absolut


(22)

70 diganti dengan delik aduan relatif yang berorientasi pada kepentingan umum, begitu pula delik-delik yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dimaksudkan untuk menciptakan iklim ekonomi kearah peningkatan dan kemajuan pembangunan.

2. Perlu berhati-hati dalam menentukan dan memformulasikan apakah suatu delik merupakan delik aduan atau bukan apalagi terhadap delik yang dikualifikasikan sebagai delik aduan absolut.

3. Menentukan secara tegas dan lugas mengenai siapa-siapa yang mempunyai hak untuk mengajukan pengaduan dan terhadap suatu delik aduan yang terjadi, serta mengenai tenggang waktu, penarikan kembali pengaduan dan pejabat yang menerima pengaduan. Dalam hal mengenai waktu dan proses pengaduan serta pejabat yang berwenang menerima pengaduan harus dapat diselaraskan dengan kaidah hukum yang berlaku lainnya. Seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.


(23)

Oleh :

DENNY SAPUTRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(24)

(Skripsi)

Oleh : Denny Saputra

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(25)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..………. 4

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan ... 12

1. Pengertian Kebijakan ... 12

2. Kategori Kebijakan ... 13

3. Ciri-Ciri Kebijakan ... 15

4. Kebijakan Formulasi ... 16

B. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana ... 17

1. Pengertian Perbuatan Pidana dan Unsur Pidana ... 17

2. Syarat-syarat Perbuatan Pidana ... 20

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 21

D. Tinjauan Umum Tentang Delik Aduan………... 22

1. Jenis-jenis Delik aduan………. 22

2. Pengertian Delik Aduan………... 26 DAFTAR PUSTAKA


(26)

B. Sumber dan Jenis Data………..………. 29 C. Penentuan Populasi dan Sampel………..……….. 30 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data………..……..……….. 31 E. Analisis Data………..………. 32 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ………..……….. 33 B. Kebijakan Penentuan Delik Aduan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).……….……..….……... 35 C. Hal-hal yang Mempengaruhi dalam Kebijakan Penentuan Delik

Aduan Dalam Perundang-undangan Pidana DiIndonesia ..…..….... 55 IV. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 68


(27)

Moh.Mahfud, MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudarto, 1981,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung.

Soekanto, soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Utrecht, 1994,Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. www.google.com


(28)

Lamintang, P.A.F., 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Moh.Mahfud, MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ngani, Nico, 1984,Sinerema Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Sianturi dan E.Y. Kanter, 1982,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Alumni, Jakarta.

Sudarto, 1981,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung. Utrecht, 1994,Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, Jakarta.


(29)

Hasan, Sanusi. 1999. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Moeljatno, 1986.Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1989. Metode Penelitian Survei (Edisi Revisi). LP3ES, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1996. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Alumni, Bandung.


(30)

Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

_________________, 1993, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Delik Aduan, Lokakarya Pembaharuan Hukum Pidana.

_________________, 1996,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sianturi dan E.Y. Kanter, 1982,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Alumni, Jakarta.


(31)

…jangan pernah berhenti ketika kau sedang Berjaya Dan lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali…


(32)

-Penulis-1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Safruddin, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(33)

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan sujudnya.


(34)

Nama Mahasiswa : Denny Saputra No. Pokok Mahasiswa : 0642011129 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP 196312171988032003 NIP 196112311989031023 2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(35)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 19 januari 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Amril Bamim, dan Ibu Sinayah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) I Way Halim yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 25 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) YP UNILA Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006.

Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) dengan mengikuti Studi Banding Jakarta - Bandung pada tahun 2009.


(36)

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Penentuan Delik Aduan dalam Perundang-undangan Pidana di Indonesia” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(37)

menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Dona Raisa M., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 20 Februari 2012 Penulis


(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Safruddin, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap shalat dan sujudnya.


(3)

Judul Skripsi : ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN DELIK ADUAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Denny Saputra No. Pokok Mahasiswa : 0642011129

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP 196312171988032003 NIP 196112311989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(4)

RIWAYAT HUDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 19 januari 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Amril Bamim, dan Ibu Sinayah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) I Way Halim yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 25 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) YP UNILA Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006.

Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) dengan mengikuti Studi Banding Jakarta - Bandung pada tahun 2009.


(5)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Penentuan Delik Aduan dalam Perundang-undangan Pidana di Indonesia” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

5. Bapak Safruddin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Dona Raisa M., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 20 Februari 2012 Penulis