Hubungan pengelolaan air dengan produksi, kandungan gula dan nikotin daun tembakau

HUBUNGAN PENGELOLAAN AIR DENGAN PRODUKSI,
KANDUNGAN GULA DAN NIKOTIN DAUN TEMBAKAU

EKO SULISTYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2006
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa segala pernyataan dalam
disertasi yang berjudul:
Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan Gula dan
Nikotin Daun Tembakau
adalah gagasan dan hasil penelitian saya beserta komisi pembimbing, kecuali
yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.


Bogor, Januari 2006

Eko Sulistyono
NIM. A156010011

ABSTRAK
EKO SULISTYONO. Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi,
Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau. Dibimbing oleh SUDRADJAT,
M.HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HANDOKO dan GATOT IRIANTO.
Tujuan penelitian adalah (1) mendapatkan metode pengelolaan air untuk
menghasilkan daun tembakau dengan kandungan nikotin rendah tetapi
kandungan gula tinggi, (2) hubungan sistem irigasi dengan produksi dan
kandungan gula serta nikotin dan, (3) hubungan transpirasi dengan kandungan
gula dan nikotin dalam bentuk persamaan matematik.
Penelitian terdiri dari dua percobaan yaitu (1) Pengaruh Tingkat dan
Waktu Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin (2)
Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan
Nikotin. Percobaan pertama dilaksanakan di rumah kaca Institut Pertanian
Bogor. Percobaan kedua dilaksanakan di lahan tembakau milik petani di
Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogjakarta. Data dari

percobaan pertama digunakan untuk kalibrasi hubungan transpirasi dengan
kandungan gula dan nikotin. Data dari penelitian kedua digunakan untuk
validasi hubungan tersebut. Perlakuan dari percobaan pertama adalah kombiasi
antara tingkat irigasi (1 hari sekali, 2 hari sekali, 4 hari sekali, 6 hari sekali,
25%, 50% dan 75% air tersedia) dengan waktu irigasi (dari 2 minggu setelah
tanam sampai panen, 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu dan 8 minggu sebelum
panen). Perlakuan dari percobaan kedua adalah sistem irigasi konvensional,
irigasi drip ditambah mulsa dan irigasi drip tanpa mulsa.
Hasil percobaan pertama penunjukkan bahwa kandungan gula
berkorelasi negatif dengan kandungan nikotin, artinya semakin tinggi
kandungan gula akan diikuti oleh kandungan nikotin yang semakin rendah.
Kurva kandungan gula dan nikotin pada berbagai umur tanaman berbentuk
sigmoid dengan titik kritis sintesis gula dan nikotin terjadi setelah umur
tanaman 8 minggu yaitu setelah berbunga. Pengelolaan air yang menghasilkan
efisiensi pemakaian air, produksi, kandungan gula tinggi dan nikotin rendah
adalah irigasi setiap hari sampai kapasitas lapang dari saat tanam tanam sampai
2 minggu sebelum panen, selanjutnya irigasi dilakukan jika 30.3% air tersedia
telah digunakan. Berdasarkan percobaan kedua diketahui bahwa sistem irigasi
drip tanpa mulsa menghasilkan produksi dan efisiensi pemakaian air lebih tinggi
dari pada irigasi konvensional.

Hubungan antara transpirasi (Tr, dalam mm/hari) dengan kandungan
gula adalah [Gula, dalam %] = 2.07 Tr-1 + 14.34. Hubungan antara transpirasi
dengan kandungan nikotin adalah [Nikotin, dalam %] = 0.23 Tr + 2.30.
Pengaturan kandungan gula dan nikotin dapat dilakukan dengan mengatur
besarnya transpi-rasi selama 2 minggu sebelum panen. Panen dilakukan pada
12 minggu setelah tanam.

ABSTRACT
EKO SULISTYONO. The Relationship between Water Management and
Production, Sugar and Nicotine Content of Tobacco Leaf. Adviced by
SUDRADJAT, M. HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HANDOKO and GATOT
IRIANTO.
The objective of this research was to obtain water management method for
resulting tobacco with high sugar content and low nicotine content by making
relation between each of (1) irrigation level and irrigation time, (2) between irrigation system and sugar content or nicotine content, and (3) transpiration and
sugar content or nicotine content.
Research included two experiments: (1) The Effect of Irrigation Level and
Irrigation Time on Yield, Sugar Content and Nicotine Content, (2) The Effect of
Irrigation System on Yield, Sugar Content and Nicotine Content. The First experiment was conducted at green house of Bogor Agricultural University, Darmaga, Bogor from February to June 2004. The Second Experiment was conducted at tobacco farmer’s field in village of Selopamioro, Imogiri, District of
Bantul, Province of Yogjakarta from May to August 2003.. Data of The first

experiment was used for calibration of relationship between transpiration and
sugar content or nicotine content. Data of the second experiment was used for
validation of those relationship. The treatment of the first exeperiment were
combination between irrigation level (irrigation every days, 2 days, 4 days, 6
days until field capacity, irrigation everyday until 75%, 50% and 25% of available soil moisture) and irrigation time (during 2 weeks after planting until harvesting, 2 weeks, 4 weeks, 6 weeks and 8 weeks before harvesting). The treatments of the second experiment were conventional irrigation, drip irrigation
added mulch and drip irrigation without mulch.
Result of the first experiment showed that sugar content correlated with
nicotine content negatively that means the higher sugar content the lower nicotine content. The curve of sugar content and nicotine content with plant age was
sigmoid pattern which rapid synthesis of sugar and nicotine occurred after flowering. Water management that resulted high water used efficiency, high sun
cured leaf weight, high sugar content and low nicotine content was irrigation
everyday until field capacity from planting until 2 weeks before harvesting followed by irrigation when 30.3% available water had been used. Result of the
second experiment showed that drip irrigation plus mulch resulted higher sun
cured leaf weight and water used efficiency than conventional irrigation.
The relationship between transpiration (Tr, in mm/day) and sugar content
was [sugar, in %] = 2.07 .Tr-1 + 14.34. The relation between transpiration and
nicotine content was [nicotine, in %] = 0.23. Tr + 2.30. Controlling of sugar
content and nicotine content could be done by controlling transpiration for 2
weeks before harvesting. Harvesting was conducted at 12 weeks after planting.

HUBUNGAN PENGELOLAAN AIR DENGAN PRODUKSI,

KANDUNGAN GULA DAN NIKOTIN DAUN TEMBAKAU

EKO SULISTYONO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006
Judul Disertasi

: Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan
Gula dan Nikotin Daun Tembakau
Nama Mahasiswa : Eko Sulistyono
NIM
: A 156010011


Disetujui:
Komisi Pembimbing

Dr Ir. Sudradjat, MS
Ketua

Prof Dr Ir H. M. Hasjim Bintoro Djoefrie, MAgr
Anggota

Dr Ir. Handoko, MS
Anggota

Dr Ir. H.Gatot Irianto, MS
Anggota

Diketahui:
Ketua Program Studi Agronomi

Dr. Ir.Satriyas Ilyas, MS

Tanggal Lulus:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmatNya
sehingga Disertasi dengan judul Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi,
Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau dapat diselesaikan.
Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr Ir. Sudradjat MS sebagai ketua Komisi Pembimbing yang telah
mengarah-kan secara keseluruhan bidang.
2. Prof Dr Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie MAgr sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dalam bidang fisiologi.
3. Dr Ir. Handoko MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah
mengarahkan dalam bidang pemodelan khususnya pembentukan persamaan.
4. Dr Ir. Gatot Irianto MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah
mengarahkan dalam aspek hidrologi untuk irigasi.
5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa
BPPS sehingga proses belajar dan penelitian dapat berjalan lancar.

6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Departemen
Pertanian) dan CIRAD atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian lapang.
7. Ketua Program Studi Agronomi Pasca Sarjana, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Dekan Fakultas Pertanian, Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Rektor Institut Pertanian Bogor atas fasilitas yang di-sediakan.
Kritik dari berbagai pihak akan berguna bagi penulis dalam mengembangkan ilmu pengelolaan air khususnya dan agronomi umumnya. Mudahmudahan penelitian ini dapat memperluas atmosfir ilmu Pengelolaan Air pada
khususnya dan Agronomi pada umumnya.

Bogor, Januari 2006
Eko Sulistyono

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 25 Pebruari 1962.

Penulis

dibesarkan dalam lingkungan pertanian lahan sawah dan lahan kering dibawah
asuhan ayah Marsudi dan ibu Siti Aminah yang berprofesi sebagai guru dan
petani.
Penulis menempuh Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di
Ponorogo sampai tahun 1981. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut
Pertanian Bogor, pada Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian dari 1981

sampai 1985, program S2 pada Program Studi Agronomi, Institut Pertanian
Bogor dari 1994 sampai 1998, dan program S3 Program Studi Agronomi,
Institut Pertanian Bogor dari 2001 sampai 2005.
Penulis diangkat menjadi staf pengajar di Jurusan Agronomi, Fakultas
Pertanian, IPB sejak 1987, mulai mengajar mata kuliah Pengelolaan Air. Buku
bahan kuliah yang telah penulis susun adalah Kuantifikasi dan Kualifikasi
Sumber Air untuk Irigasi, Pengelolaan Kelembaban Tanah, Pedoman Praktikum
Penge-lolaan Air. Beberapa makalah yang telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah
antara lain berkaitan dengan efisiensi penggunaan air, kebutuhan air tanaman,
sistem irigasi padi sawah dan budidaya dengan jenuh air.

DAFTAR ISI

Halaman
PENDAHULUAN . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1

Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


1

Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3

Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3

TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

4

Faktor Lingkungan Penentu Sintesis Gula dan Nikotin . . . . . . . . 4
Jadwal Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

7

Sistem Irigasi Tetes . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


12

Evapotranspirasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
Hubungan Evapotranspirasi dengan Produksi . . . . . . . . . . . . . . .

23

Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Transpirasi . . . . . . . . . . 24
Sintesis Nikotin dan Hubungannya dengan Transpirasi . . . . . . . . 26
Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

28

BAHAN DAN METODE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

32

Percobaan I: Pengaruh Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi terhadap
Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin . . . . 32
Waktu dan Tempat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

32

Metode . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

32

Pelaksanaan Penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

34

Percobaan II: Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi,
Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin . . . . . . . . . . . . . 36
Waktu dan Tempat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
Metode . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
Pelaksanaan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

38

HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

40

Percobaan I: Pengaruh Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi terhadap

Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin . . . . . . . . . . . . . . 40
Hasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

40

Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

48

Percobaan II: Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan
Gula dan Nikotin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
61
Hasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

61

Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

69

Keterkaitan Antara Percobaan I dan II: Hubungan Transpirasi
dengan Kandungan Gula dan Nikotin . . . . . . . . . . . . . .

74

Kalibrasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

74

Validasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

77

KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

82

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

84

LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

101

DAFTAR TABEL
Teks
Nomor

Halaman

1. Metode Pengolahan, Tipe Tembakau dan Penggunaannya . . . . . . . . .

30

2. Unsur-unsur Kualitas Fisual Tembakau Asapan . . . . . . . . . . . . . . . . .

30

3. Nisbah Gula dan Nikotin dan Kaitannya dengan Sifat
Organoleptik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

31

4. Jumlah daun pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi
Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5. Tinggi Tanaman pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi
Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6. Panjang Daun Kaki-1 pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

41
41
42

7. Lebar Daun Kaki-1 pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

43

8. Bobot Daun Total pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

44

9. Bobot Kering Akar pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10. Kandungan Gula, Nikotin dan Nisbah Gula/Nikotin pada
Berbagai Tingkat Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11. Rata-rata Evapotranspirasi Harian pada Berbagai Tingkat Irigasi dan
Periode Tumbuh Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12. Efisiensi Pemakaian Air pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

45
45
48
49

13. Rata-rata Transpirasi Harian pada Berbagai Tingkat Irigasi Selama
Dua Minggu Sebelum Panen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14. Pertumbuhan Maksimum Tembakau pada Tiga Sistem Irigasi . . . . . .
15. Produksi Tembakau pada Tiga Sistem Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

49
62
63

16. Produksi Total Tembakau, Rendemen dan Efisiensi Pemakaian Air
pada Tiga Sistem Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

64

17. Kandungan Gula, Nikotin dan Nisbah Gula dengan Nikotin
pada Tiga Sistem Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .
18. Evapotranspirasi Harian pada Berbagai Fase Tumbuh dari
Tiga Sistem Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
19. Intersepsi Radiasi Oleh Tajuk Selama Fase Pertumbuhan Maksimum

64
65

Tembakau pada Siang Hari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Nomor

66

Halaman

20. Kelembaban Udara dan Suhu Udara pada Fase Pertumbuhan
Maksimum Tembakau pada Berbagai Sistem Irigasi . . .. . . . . . . . . . .

67

21. Persen Air Tersedia Dalam Tanah pada Berbagai Fase Tumbuh . . . . .

68

22. Persen Air Tersedia pada Berbagai Kedalaman Tanah pada
Berbagai Periode Tumbuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

68

23. Jumlah Irigasi Selama Berbagai Fase Pertumbuhan . . . . . . . . . . . . . . .

68

23. Korelasi Antara Transpirasi, Kandungan Gula dan Nikotin . . . . . . . . . 75
24. Analisis Ragam Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula. . . .. 75
25. Pendugaan Parameter Hubungan Transpirasi dengan Kandungan
Gula . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

76

26. Analisis Ragam Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Nikotin . .

76

27. Pendugaan Parameter Hubungan Transpirasi dengan
Kandungan Nikotin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

77

28. Kandungan Gula dan Nikotin Hasil Pengukuran dan Pendugaan . . . .

79

.
Lampiran

1. Kebutuhan Air Irigasi untuk Berbagai Tingkat Irigasi . . . . . . . . . . .

102

2. Analisis Gula dan Nikotin. . . . . . . . . . . . . . . . . .

104

3. Pemisahan Transpirasi dengan Metode Rosenthal . . . . . . . .

105

4. Pengukuran Evapotranspirasi dengan Metode Neraca Air . . . . . . . . .

106

5. Analisis Ragam dari Penelitian Rumah Kaca . . . . . . . . . . . . . . . . . .

107

6. Analisis Ragam dari Penelitian Di Lapang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

108

7. Evapotranspirasi pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi . . 109
8. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Bobot Kering Akar pada
Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

110

9. Berat Kering Setiap Grup Daun pada Berbagai Tingkat Irigasi
dan Waktu Irigasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

111

10. Analisis Tanah dari Tempat Penelitian dan Pusat Produksi
Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11. Arti Singkatan dan Istilah yang Digunakan . . .. . . . . . . . . . . . . . . .

112
113

DAFTAR GAMBAR

Teks
Nomor

Halaman

1. Lintasan Biosintesis Dalam Tanaman.

25

2. Sintesis Pati dan Sukrosa . . . . . . . . . . . . . . . . .

27

3. Biosintesis Alkaloid pada Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

29

4. Alur Pembentukan dan Pengujian Hubungan Transpirasi dengan
Kandungan Gula dan Nikotin. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

35

5. Kandungan Gula dan Nikotin Selama Periode Tumbuh Tembakau 46
6. Efisiensi Pemakaian Air, Produksi, Panjang daun dan Lebar Daun
pada Berbagai Tingkat Irigasi Selama 2 Minggu Sebelum Panen. .
7. Hubungan Tingkat Irigasi Mulai 2 MST Sampai Panen dengan
Bobot Kering Daun Total . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8. Kelembaban Tanah Sebelum Irigasi pada Berbagai Frekuensi
Irigasi dan Umur Tanaman . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9. Hubungan Tingkat Irigasi Mulai 2 MSP dengan Kandungan
Gula dan Nikotin Daun Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10. Perbandingan Evapotranspirasi antara Irigasi Drip dan
Irigasi Konvensional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11. Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula dan Nikotin . . ..

51
52
54
59
65
74

Lampiran
1. Gambar Enam Grup Daun Tembakau . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

101

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Air merupakan sumber dari kehidupan alam semesta. Ketidaktersediaan
air akan sangat mengganggu keseluruh makhluk hidup.

Setelah Tuhan

menurunkan hujan, maka mulailah kehidupan di dunia. Jika intensitas curah
hujan lebih besar dari kecepatan infiltrasi maka akan terjadi aliran permukaan.
Aliran permukaan berfungsi mencuci pencemar yang menempel dipermukaan
bumi dan mengalir ke laut. Air infiltrasi mengisi ruang antar partikel tanah
sampai mencapai kapasitas lapang. Kapasitas lapang terjadi jika gaya tarik
partikel tanah terhadap air sama dengan gaya tarik bumi. Jika infiltrasi terus
berlangsung maka gaya tarik bumi menjadi lebih besar dari pada gaya tarik
partikel tanah terhadap air sehingga akan terjadi gerakan air ke bawah atau
perkolasi untuk mengisi air bumi yang berfungsi sebagai cadangan air pada
musim kemarau. Evaporasi air laut merupakan proses penjernihan air secara
besar-besaran sehingga menjadi air bersih kembali.

Pengelolaan air adalah

bidang ilmu yang mempelajari pemeliharaan ketersediaan sumber air
berdasarkan keseimbangan neraca air dalam siklus hidrologi tersebut untuk
kelangsungan kehidupan. Berdasarkan siklus hidrologi tersebut dapat diketahui
sumber air yang potensial adalah air bumi, air laut, air hujan dan air tanah.
Pengelolaan air untuk irigasi meliputi pengembangan sumberdaya air
sehingga sumber air dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya air, pemanfaatan
air yang efisien meliputi pendugaan kebutuhan air tanaman, perencanaan sistem
irigasi dan drainase, sehingga tanaman dapat berproduksi maksimal dengan
kualitas maksimal.

Fungsi air bagi tanaman adalah penyusun protoplasma

karena antara 50% sampai 90% dari bobot tanaman adalah air, sebagai pelarut
yang menyebabkan gas, mineral dan senyawa lain masuk ke dalam sel tanaman
dan bergerak dari sel ke sel serta dari jaringan ke jaringan tanaman, sebagai
bahan reaksi dan media reaksi meliputi fotosintesis dan proses hidrolitik seperti
hidrolisis pati menjadi gula, penjaga turgor sel sehingga tanaman dapat tumbuh
dan mempertahankan bentuknya (Salisbury dan Ross, 1992).
Dari permasalahan hubungan pengelolaan air dengan tanaman yang luas
tersebut, maka penelitian ini membatasi hanya pada hubungan pengelolaan air

dengan kandungan gula dan nikotin pada tembakau yang meliputi (1) hubungan
tingkat irigasi dan waktu irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin,
(2) hubungan sistem irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin dan
(3) hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin.
Tingkat irigasi dan waktu irigasi merupakan jadwal irigasi yang mempengaruhi produksi, kandungan gula dan nikotin. Tingkat irigasi maksimum dilakukan mulai dari tanam sampai umur berbunga untuk menghasilkan jumlah
daun yang maksimal, sedangkan setelah fase berbunga tingkat irigasi diatur
untuk menghasilkan ukuran daun, kandungan gula dan nikotin sehingga
diperoleh kuali-tas yang maksimal.
Irigasi tetes merupakan sistem irigasi yang paling efisien karena air
diberikan dengan debit yang kecil disekitar tanaman (Haman et al., 2004). Pada
sistem tersebut, kehilangan air dari sumber sampai lahan tidak ada sehingga
effisiensi irigasi tetes dapat mencapai 90% sampai 95% (Haman dan Yeager,
2004), sehingga sangat bermanfaat untuk daerah dengan ketersediaan sumber
daya air yang terbatas. Irigasi dapat digunakan untuk pengaturan transpirasi,
karena transpirasi berbanding lurus dengan beda potensial air tanah dan
potensial air sekitar tajuk.
Bukti adanya hubungan antara transpirasi dengan kandungan gula dan
nikotin

adalah

penyemprotan

daun

tembakau

dengan

antitranspiran

menghasilkan tembakau dengan kandungan nikotin yang rendah dan kualitas
yang baik. Transpirasi yang rendah menyebabkan absorsi nitrogen berkurang,
sehingga dapat menurunkan sintesis nikotin (Weidner et al., 2005)).
Penghentian irigasi menje-lang panen tembakau menyebabkan transpirasi
menurun sehingga kandungan gula terlarut meningkat (Naidu, 2001).
Dewasa ini pengelolaan air untuk pengaturan kandungan gula dan
nikotin belum dapat dilakukan dengan tepat, karena belum dibuat hubungan
dalam bentuk persamaan matematik antara transpirasi dengan kandungan gula
dan nikotin. Jika hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin
dapat diperoleh, maka pengaturan kandungan gula dan nikotin dapat dilakukan
dengan cara pengaturan besarnya transpirasi. Transpirasi dapat ditingkatkan

dengan meningkatkan poten-sial air tanah dengan cara memberikan irigasi,
sebaliknya transpirasi dapat diturunkan dengan menurunkan potensial air tanah
dengan cara menghentikan irigasi atau mengurangi tingkat irigasi.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan metode pengelolaan air meliputi tingkat dan waktu irigasi serta
sistem irigasi untuk menghasilkan tembakau dengan kandungan gula tinggi
dan nikotin rendah.
2. Mempelajari pengaruh metode pengelolaan air terhadap produksi tembakau
3. Mengetahui hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin

Hipotesis

1. Tingkat dan waktu irigasi mempengaruhi produksi, kandungan gula dan
niko-tin
2. Sistem irigasi drip memberikan produksi dan efisiensi pemakaian air yang
le-bih tinggi dari pada sistem irigasi konvensional
3. Hubungan kadar gula dengan transpirasi adalah semakin rendah transpirasi
menyebabkan kandungan gula semakin tinggi.
4. Hubungan kadar nikotin dengan transpirasi adalah semakin rendah
transpirasi menyebabkan kandungan nikotin semakin rendah.

TINJAUAN PUSTAKA
Faktor lingkungan mempengaruhi produktivitas dan kualitas tembakau.
Secara umum faktor lingkungan meliputi tanah dan atmosfir. Faktor tanah meli-

puti sifat fisik, kimia tanah dan organisme di dalam tanah, sedangkan faktor
atmosfir meliputi radiasi matahari, curah hujan, kelembaban dan suhu udara.
Fokus penelitian ini dibatasi hanya untuk faktor pengelolaan air untuk
mendapat-kan efisiensi pemakaian air. Pengelolaan air pada tanaman tembakau
diarahkan untuk memaksimalkan bobot dan ukuran daun sampai awal fase
berbunga.

Setelah fase berbunga, pengelolaan air diarahkan untuk

meningkatkan kandungan gula dan menurunkan kandungan nikotin sehingga
nisbah gula dengan nikotin meningkat (Naidu, 2001). Hubungan pengelolaan
air dengan kandungan gula dan nikotin meliputi: pengaruh waktu dan tingkat
irigasi, sistem irigasi dan hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan
kandungan nikotin.

Faktor Lingkungan Penentu Sintesis Gula dan Nikotin

Faktor lingkungan yang mempengaruhi sintesis gula dan nikotin adalah
radiasi, suhu udara, panjang siang, serta kandungan N, P, K, Ca dan pH dalam
tanah.

Radiasi matahari merupakan sumber energi utama dunia yang oleh

tanaman akan diubah menjadi sumber bahan sandang, pangan, papan, energi dan
berbagai produk metabolit sekunder. Selain itu radiasi matahari merupakan
sumber variasi iklim mikro. Unsur-unsur cuaca lainnya seperti suhu udara,
kelembaban udara dan panjang hari sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari
(Handoko, 1994).
Pengelolaan tanaman bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan radiasi matahari. Pengelolaan tanaman dan pemilihan varietas yang memungkinkan intersepsi radiasi tertinggi dapat menghasilkan produksi yang
maksi-mal.

Konsep efisiensi penggunaan energi merupakan biomassa yang

dihasilkan setiap satuan energi yang diintersepsi tanaman (Handoko, 1994).
Jadi produk bio-massa tanaman merupakan fungsi dari energi radiasi.
Produk biomasa atau fotosintat juga dapat diturunkan dari ketersediaan
air tanaman. Konsep efisiensi pemakaian air merupakan nisbah antara biomassa
tanaman dengan transpirasi. Karena transpirasi dipengaruhi oleh defisit uap air

antara tanaman dan atmosfir, maka dapat diturunkan persamaan biomassa
terhadap defisit tekanan uap air. Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran
gas pada daun (Sheriff dan Mattay, 1995), sehingga mempengaruhi kecepatan
fotosintesis. Zhang et al. (1996) menduga bahwa terdapat korelasi yang linear
positif antara nisbah tekanan partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan
defisit tekanan uap air (D).
Berbagai penelitian hubungan antara intersepsi cahaya dengan tanaman
telah banyak dilakukan. Andrade et al. (1993) melaporkan bahwa terdapat
korelasi positif antara intersepsi radiasi dengan jumlah biji jagung/m2. Setiap
mega joule menghasilkan 5.39 biji. Tanaman tebu yang ditanam dengan irigasi
mengintersepsi radiasi sebesar 60% selama 167 - 445 hari setelah tanam.
Koefisien extenction radiasi sebesar 0.38 dapat diduga dari hubungan antara
indeks luas daun dengan fraksi intersepsi cahaya (Muchow et al., 1994).
Biomasa dapat diprediksi berdasarkan intersepsi radiasi kumulatif dan
koefisien efisiensi pemakaian radiasi (Williams et al., 1996). Banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara intersepsi radiasi
dengan biomassa tanaman (Monteith, 1994; Demetriades et al., 1994; Wheeler
et al., 1993). Intersepsi radiasi dipengaruhi oleh teknik budidaya tanaman.
Setelah berbunga, tanaman rape dengan jarak barisan 15 cm mengintersepsi
radiasi lebih tinggi dari pada jarak barisan 30 cm. Peningkatan populasi tanam
dari 1.5 menjadi 12.0 kg benih/ha menyebabkan peningkatan intersepsi radiasi
(Morrison dan Stewart, 1995).
Kelembaban udara di atas tajuk tidak berbeda nyata antara ketiga sistem
irigasi. Ini diduga terjadi aliran udara dari daerah yang lebih kering ke daerah
lebih lembab sehingga tercapai keseimbangan. Perbedaan kelembaban udara
terjadi di bawah kanopi antara sistem irigasi konvensional dengan sistem irigasi
drip. Kelembaban udara di bawah tajuk pada irigasi konvensional lebih tinggi,
ini diduga transmisi radiasi yang lebih tinggi digunakan untuk evaporasi,
sehingga kandungan uap air di bawah kanopi lebih tinggi. Perambatan panas
secara horisontal dari permukaan kering ke permukaan basah menyebabkan

perubahan evapotranspirasi dan neraca air pada daerah beririgasi (Prueger et al.,
1996).
Kelembaban udara mempengaruhi status air tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengkabutan pada tanaman tomat dapat mengurangi
penurunan potensial air daun harian sampai 0.5 Mpa (Stirzaker et al. , 1997),
sehingga dapat mengurangi kecepatan defisit air tanaman.

Pada tanaman

gandum yang ditanam pada RH 80 % dan 40 % akan mengalami kecepatan
defisit air sebesar 0.10 dan 0.18 Mpa/hari selama 6 hari setelah berbunga sampai
19 hari setelah berbunga (Palta, et al., 1994).
Kelembaban

udara

mempengaruhi potensial air dalam batang,

kandungan ABA dan tahanan stomata. Padi yang ditanam pada RH tinggi (75/90
% pada siang/malam) menyebabkan peningkatan potensial air batang,
kandungan ABA xylem dan tahanan stomata dibandingkan RH rendah (40/55 %
siang/malam) (Asch et al., 1995). Respon stomata serupa juga terjadi pada
spesies rumput-rumputan lainnya. Hantaran stomata dari rumput tahan kering
akan menurun dengan meningkatnya perbedaan tekanan uap air antara daun dan
atmosfir (Maroco et al., 1997).
Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran gas pada daun (Sheriff dan
Mattay, 1995), sehingga akan mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Variasi
musiman curah hujan dan defisit uap air atmosfir menyebabkan pertumbuhan
kanopi pohon yang sangat berbeda (Duff et al., 1997). Zhang et al. (1996)
menduga bahwa terdapat korelasi yang linear positif antara nisbah tekanan
partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan defisit tekanan uap air (D).
Suhu udara mempengaruhi produksi dan kualitas produksi. Suhu yang
terlalu tinggi yang terjadi pada 15-20 hari setelah berbunga dapat menurunkan
bobot biji barley sebesar 35 % (Savin, 1997). Suhu 40 oC selama 3 hari yang
terjadi 10 atau 30 hari setelah berbunga akan mempengaruhi jumlah biji,
kandungan N, komposisi protein dan amilosa gandum (Stone dan Nicolas,
1995).
Hara makro untuk tanaman tembakau adalah nitrogen, fosfor, kalium
dan kalsium. Nitrogen merupakan unsur hara yang paling penting yang mempe-

ngaruhi pertumbuhan tembakau dan kualitas daun tembakau. Tipe tembakau
yang berbeda memerlukan jumlah nitrogen yang berbeda untuk menghasilkan
kualitas yang dikehendaki. Pada tembakau asapan, konsentrasi nitrogen dalam
jaringan berkorelasi positif dengan nikotin dan berkorelasi negatif dengan
kandungan gula daun. Fosfor memperbaiki warna tembakau asapan, berkorelasi
positif dengan kandungan gula. Warna daun, tekstur dan daya bakar dapat
diperbaiki dengan kalium. Kalsium merupakan unsur utama penyusun dinding
sel, kandungan abu dan meningkatkan kandungan gula (Tso, 1972).

Jadwal Irigasi

Evapotranspirasi dapat dikontrol dengan cara pengaturan jadwal irigasi.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi irigasi mempengaruhi
evapotranspirasi. Selain itu jadwal irigasi juga dapat dilakukan dengan cara
mempertahankan kelembaban tanah sampai ketersediaan air tertentu. Perubahan
kadar air tanah akan menyebabkan perubahan evapotranspirasi.
Irigasi diberikan jika nilai presipitasi dikurangi nilai evapotranspirasi
bernilai negatif. Jumlah air irigasi yang diberikan berdasarkan persentase air
tersedia pada kondisi optimum. Nilai kadar air tanah optimum untuk setiap
tanaman dan setiap fase pertumbuhan

berbeda.

Jadwal irigasi didasarkan

kepada kadar air tanah saat titik kritis. Titik kritis kadar air tanah adalah suatu
nilai kadar air tanah jika lebih kecil dari nilai tersebut tanaman akan mengalami
stres dan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan dan hasil secara
nyata.
Penelitian berbagai jadwal irigasi telah dilakukan dengan sistem irigasi
tetes, jarak antar lateral 70 cm dan jarak antar emiter 17.5 cm, 35 cm, dan 52.5
cm masing-masing untuk irigasi penuh, 2/3 bagian dan 1/3 bagian. Irigasi
diberikan pada saat yang sama ketika daerah perakaran dari irigasi penuh telah
kehilangan 50 % air tersedia. Jumlah air yang diberikan pada irigasi penuh
dihitung untuk mengisi kembali daerah perakaran sampai kapasitas lapang.
Kedalaman daerah perakaran selama musim pertumbuhan diperkirakan

berdasarkan pola pengosongan air tanah yang ditentukan dengan netron probe
(Oweis et al., 2000).
Jadwal irigasi dapat ditentukan berdasarkan potensial air tanah. Irigasi
dimulai jika potensial air tanah pada kedalaman 60 cm mencapai - 40 kPa.
Kebutuhan air didasarkan pada evaporasi Panci Klas A.

Produksi dengan

ukuran yang baik akan menurun jika potensial air tanah menurun.

Pada

potensial air tanah - 52 kPa dan -49 kPa tidak diperoleh buah dengan ukuran
baik (Noor, 2001).
Jadwal irigasi untuk tanaman tahunan sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman. Jadwal irigasi pada awal fase pertumbuhan kapas
ditentukan berdasarkan potenaial air daun. Potensial air daun diukur pada siang
hari pukul 13.00 - 15.00. Setelah fase awal pertumbuhan, irigasi didasarkan
pada kadar air tanah dan presipitasi.

Irigasi diberikan pada saat 50 % air

tersedia (Steger et al., 1998).
Perencanaan jadwal irigasi penting untuk penghematan air, terutama
untuk daerah dengan sumber air terbatas.

Untuk tanaman tahunan yang

memerlukan periode tertentu dengan kadar air tanah rendah untuk merangsang
pembungaan, jadwal irigasi berperan penting. Selain itu jadwal irigasi yang
baik dapat menghindari dari serangan penyakit yang dirangsang oleh
kelembaban yang terlalu tinggi. Jadwal irigasi dapat menyesuaikan ketersediaan
air dengan kebutuhan air tanaman, penyebaran tenaga kerja menjadi baik dan
meningkatkan indeks pertanaman.

Jadwal irigasi dapat dibuat berdasarkan

neraca air.
Pada tanaman semusim, analisis neraca air dilakukan pada skala waktu
yang lebih detail yaitu harian atau mingguan. Tanaman semusim dengan siklus
hidup antara 3 - 6 bulan sangat peka terhadap kekeringan, maka interval irigasi
biasa dilakukan dalam skala hari. Analisis neraca air untuk tanaman tahunan
dilakukan pada skala waktu yang lebih panjang yaitu 2 mingguan atau bulanan.
Karakter presipitasi yang berbeda menyebabkan dinamika neraca air
yang berbeda.

Kalau diperhatikan setiap kejadian hujan, maka hujan yang

cukup besar (P) akan mengisi air tanah (M), ditahan di tajuk dan batang

tanaman atau intersepsi (Ei), perkolasi dalam (Dp), aliran permukaan (Ro), dan
aliran bawah permukaan (Sp). Air tanah akan dievaporasikan lewat permukaan
tanah (E), dan transpirasi (T), yang sebagian besar terjadi pada periode antar
kejadian hujan. Neraca air untuk hujan yang cukup besar sampai kejadian hujan
berikutnya pada lahan pertanaman adalah (Opena dan Patter, 1999):

P = Ei + E + T + Dp + Ro + Sp + M . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.(2.1)
Untuk intensitas hujan yang tidak terlalu besar dengan lama hujan yang singkat
sehingga tidak melebihi kecepatan infiltrasi, maka tidak terjadi aliran
permukaan, aliran bawah permukaan dan perkolasi dalam, sehingga neraca
airnya adalah (Opena dan Patter, 1999):

P = Ei + E + T + M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.2)
Berdasarkan urutan proses tersebut maka irigasi berfungsi untuk
mengem-balikan kadar air tanah ke kondisi yang optimum bagi pertumbuhan
dan hasil tanaman. Pendugaan kadar air tanah berdasarkan neraca air harian
akan lebih baik jika memperhatikan setiap kejadian hujan ( Porthoghese et al.,
2005).
Kadar air tanah dipengaruhi oleh kedalaman perakaran dan infiltrasi.
Komponen tersebut saling berinteraksi. Infiltrasi yang meningkat akan menambah kedalaman perakaran dan kerapatan perakaran (Opena dan Patter, 1999).
Maraux dan Lafolie (1998) mengembangkan model neraca air tanah dengan
memperhatikan interaksi antara tanaman dan atmosfer.

Perkembangan

perakaran dimasukan dalam memodelkan neraca air tanah tersebut.
Model intersepsi yang memperhatikan setiap periode hujan adalah model
analitik. Model Gash ini menghitung kehilangan oleh intersepsi pada setiap
kejadian hujan. Asumsi model (Ward dan Robinson, 1990) adalah (1) memungkinkan dilakukan memisahkan kejadian hujan menjadi beberapa periode hujan,
setiap periode hujan mempunyai intensitas hujan yang sama, (2) kondisi
meteorologi selama pembasahan kanopi sama dengan selama periode hujan, (3)
selama pembasahan tidak ada tetesan air tajuk, setelah selesai kejadian hujan

simpanan kanopi berkurang dalam 30 menit untuk mencapai nilai kejenuhan.
Secara sederhana model tersebut adalah (Ward dan Robinson, 1990):
Σ I = (1 - p - pt)ΣP’g + (Ex/Rx)Σ(Pg - P’g) + (1-p-pt)ΣPg + qSt + ptΣPg . . .
.(2.3)

Keterangan:
I : Intersepsi
p : porositas tajuk
pt : porositas batang
Pg : presipitasi bruto
P’g : presipitasi sampai terjapai kejenuhan tajuk
Ex : kecepatan evaporasi
Rx : intensitas curah hujan
Q : jumlah periode hujan yang mengisi simpanan batang
St : kapasitas simpan batang.
Evapotranspirasi dipengaruhi oleh irigasi, musim tanam dan pupuk N.
Pemupukan, irigasi penuh meningkatkan evapotranspirasi. Evapotranspirasi
terendah terjadi pada tadah hujan tanpa pemupukan N. Peningkatan evapotranspirasi akibat irigasi penuh dibanding tadah hujan mencapai lebih dari 50 %.
Evapotranspirasi ditentukan dari saat tanam sampai panen menggunakan
persamaan neraca air sebagai berikut ( Oweis et al., 2000):

ET = ∆S + P + I – D . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.4)
ET evapotranspirasi, ∆S perubahan simpanan air tanah diukur dengan netron
probe, P presipitasi, I irigasi, D drainase di bawah perakaran dengan kedalaman
1.8 m. Semua satuan dalam mm. Tidak ada aliran permukaan selama musim
tanam ( Oweis et al., 2000). Aliran permukaan dipengaruhi oleh karácter
permukaan lahan dan karakter hujan (Jonson et al., 2005 ; Cay dan Cattle, 2005)
.

Transpirasi juga dipengaruhi oleh struktur tanah. Ini disebabkan oleh

perbedaan pergerakan horisontal air menuju akar yang terjadi pada tekstur tanah
yang berbeda. Peningkatan ukuran agregat akan menurunkan transpirasi karena
lebih banyak air akan mengalir dari dalam agregat tanpa akar ke luar agregat.
Transpirasi dipengaruhi oleh struktur tanah. Transpirasi terbesar terjadi pada
tipe tanah padang rumput permanen, kemudian diikuti oleh padang rumput tidak

permanen dan padang rumput biodinamik (Drooger, Van Der Meer dan
Bouma,1997)
Transpirasi dipengaruhi oleh perkembangan perakaran tanaman. Model
yang menduga transpirasi dari perkembangan perakaran adalah (Van Noordwijk
dan Vande Geijn, 1996):

Ara = E/Fw = E/{Lp(Pr-Pp-I)} . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(2.5)
Ara : indek luas akar, luas permukaan akar per luas satuan pertanaman (m2m-2)
E

: transpirasi (Lm-2 hari-1)

Fw : volume aliran air per satuan luas permukaan akar (L m-2 hari-1)
Lp : konduktifitas hidrolik akar (Lm-2 Mpa-1 hari-1)
Pp : tekanan air dalam tanaman (Mpa)
Pr : tekanan air pada permukaan akar (Mpa)
I

: suatu faktor (Mpa) yang tergantung pada nilai osmotik lingkungan akar.
Infiltrasi penting dalam pengisian air tanah dan air bumi. Kecepatan

infiltrasi akan menurun dengan waktu.

Jika debit air konstan, kecepatan

infiltrasi (I) dapat diduga sebagai berikut (Sawatsky dan Li, 1997):

I t = S/(2√t) + A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.6)
atau infiltrasi kumulatif adalah

I = S√t + At . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.7)
A adalah konstanta yang hampir sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh
untuk waktu lama, t. (Sawatsky dan Li, 1997).
Definisi perkolasi dalam (deep percolation) adalah kehilangan air akibat
perkolasi lebih dalam dari daerah perakaran.

Neraca air untuk menduga

perkolasi dalam yang digunakan oleh Roman et al. (1999) adalah:

ET + Dz = (R+I) - ∆S . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.8)
ET : evapotranspirasi
R : curah hujan
I : irigasi
Dz : perkolasi dalam dengan kedalaman perakaran z

∆S : perubahan simpanan air tanah pada kedalaman z.
Irigasi yang diperbaiki dapat mengurangi kehilangan oleh perkolasi dalam
(Romain et al., 1999)
Tiga jadwal irigasi meliputi tadah hujan (tanpa irigasi), irigasi rendah
yaitu mengurangi jumlah irigasi 50 % dari irigasi sedang, dan irigasi sedang
yaitu mempertahankan kelembaban tanah lebih besar atau sama dengan 65 % air
tersedia dari awal pembentukan umbi sampai akhir musim pertumbuhan. Jadwal irigasi berdasarkan hasil pengukuran kelembaban tanah dengan tensionmeter dan grafimetri. Jadwal irigasi juga dapat berdasarkan pengukuran kelembaban tanah dengan Boyoucos Soil Moisture Meter (Porter, et. al. 1999).
.
Tujuan utama pengaturan jadwal irigasi untuk penghematan air dan produksi maksimum. Produksi kentang dengan metode tadah hujan tidak berbeda
dengan irigasi secara terjadwal. Ini diduga disebabkan oleh input air sudah cukup dari curah hujan yaitu 268 mm/musim. Irigasi rendah menghasilkan produksi lebih tinggi dari pada tadah hujan dan sama dengan irigasi sedang. Ini
berarti irigasi rendah merupakan jadwal irigasi yang baik karena dapat
menghemat air (Porter, et. al. 1999)..
Jadwal irigasi dengan sistem irigasi tetes dengan jarak antar lateral 70
cm dan jarak antar emiter 17.5; 35; dan 52.5 cm masing-masing untuk irigasi
penuh, 2/3 bagian dan 1/3 bagian. Irigasi diberikan pada saat yang sama ketika
daerah perakaran dari irigasi penuh telah kehilangan 50 % air tersedia. Jumlah
air yang diberikan pada irigasi penuh dihitung untuk mengisi kembali daerah
perakaran sampai kapasitas lapang. Kedalaman daerah perakaran selama musim
pertum-buhan diperkirakan berdasarkan pola pengosongan air tanah yang
ditentukan de-ngan netron probe (Oweis et al., 2000).

Sistem Irigasi Tetes

Sistem irigasi tetes adalah proses pemberian air sekitar tanaman dengan
cara meneteskan atau menyemprotkan air melalui emiter. Irigasi tetes memberi-

kan air sampai kedalaman 30 - 60 cm pada tanah berpasir (Haman et al., 2004).
Keuntungan irigasi tetes tidak terjadi kehilangan hara dari pupuk, efisiensi
distri-busi air tinggi, perataan lahan tidak perlu, hanya daerah perakaran yang
terbasahi, tidak terjadi erosi, biaya tenaga kerja rendah, suplai air dapat diatur
dengan baik dan pemupukan dapat dilakukan bersamaan dengan irigasi. Sistem
irigasi tetes yang didesain dan dikelola dengan baik mempunyai efisiensi 90-95
%, berarti hanya 5% air yang hilang (Haman dan Yeager, 2004).
Perangkat dasar irigasi tetes terdiri atas pompa , pengatur tekanan, pipa
utama , pipa lateral dan emiter. Emiter merupakan pembagi air yang mengatur
discharge dari pipa lateral. Point source emiter mengeluarkan air dari satu titik
dan berjarak lebar (lebih dari 1 meter). multiple-outlets emiter memberikan air
pada dua atau lebih titik penyalur. Line source emitter memberikan air melalui
pipa berlubang sepanjang lateral (American Society of Agriculture Engineers,
1990).
Berbagai tipe emiter telah dikembangkan yang bertujuan untuk meningkat-kan efisiensi irigasi. Pada irigasi tetes tidak ada kehilangan air dari sumber
sampai emiter maka efisiensi irigasi dari sistem irigasi tetes hanya terdiri atas
efisiensi penampungan dan efisiensi pemakaian. Efisiensi penampungan adalah
nisbah antara air irigasi yang tertahan di daerah perakaran dengan volume
irigasi.

Efisiensi pemakaian adalah nisbah antara air irigasi yang tertahan

didaerah perakaran dan defisit air tanah di daerah perakaran (American Society
of Agriculture Engineers, 1990)
Terdapat 4 tipe sistem irigasi tetes:

drip, subsurface, bubbler, dan

spray. Perbedaan dari keempat tipe tersebut adalah tipe emitter yang digunakan.
Tipe drip memberikan air kepermukaan tanah dalam bentuk tetesan-tetesan
terputus-putus atau kontinyu melalui emitter. Untuk tanaman dengan jarak
tanam lebar (buah-buahan), pipa lateral tunggal ditempatkan di atas permukaan
tanah di bawah pohon. Sebanyak 1 sampai 6 emitter dipasang pada pipa lateral
tunggal untuk setiap pohon. Jumlah emitter dipengaruhi oleh karakter tanah (Su
dan Midmore, 2005; Onder et al., 2005).

Untuk tanaman dengan jarak tanam rapat (tanaman dalam barisan) biasanya diirigasi dengan line-source emitter yaitu pipa berlubang atau porous. Pipa
diletakan di atas permukaan sepanjang setiap baris tanaman. Debit untuk singleoutlet emitter kurang dari 12 l/jam, line-source kurang dari 12 l/jam/meter
lateral (Wienfield, 2004).
Tipe subsurface mirip dengan drip, bedanya lateral dan emitter
ditempat-kan di bawah permukaan tanah. Air bergerak dari emitter ke daerah
perakaran dengan gerakan kapiler. Tipe bubler memberikan air ke permukaan
tanah dalam bentuk aliran atau pancaran kecil. Debitnya lebih besar dari pada
drip atau subsurface yaitu lebih besar dari 240 l/jam. Debit emitter lebih besar
dari pada kecepatan infiltrasi,

maka dari itu basin kecil diperlukan untuk

mengisi air sekeliling tanaman yang diirigasi. Tipe spray memberikan air
dengan pancaran kecil atau kabut ke permukaan tanah, sehingga udara juga
berperan dalam penyebaran air, dengan debit kurang dari 120 l/jam (El-Hafedh
et al., 2001),
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem irigasi tetes adalah
sumber air, kemiringan lahan, karakter tanah dan jenis tanaman. Penyumbatan
emitter

merupakan masalah yang sulit dalam sistem irigasi tetes. Semua air

yang masuk sistem perlu disaring. Jenis penyaring tergantung tipe emitter,
jumlah dan sifat kontaminan dalam air (Al-Jamal et al., 2001).
Pada kemiringan kurang dari 5 %, semua tipe irigasi tetes dapat digunakan. Pada kemiringan 5% atau lebih, tipe subsurface dan bubler tidak dapat
digu-nakan, tetapi dapat digunakan tipe drip dan spray. Kecepatan absorbsi air
oleh tanah menentukan jumlah, discharge dan jarak emitter. Pada tanah dengan
kece-patan absorbsi rendah perlu dipilih emitter dengan discharge kecil
(Wiedenfeld, 2004).
Kecepatan absorbsi yang rendah biasanya terjadi pada tanah dengan
tekstur berat, dan air dapat bergerak lebih jauh dari pada tanah tekstur ringan,
maka jumlah emitter per tanaman dapat dikurangi. Pada kecepatan absorbsi
ting-gi perlu dipilih emitter dengan discharge besar, sehingga perlu emitter
lebih ba-nyak setiap tanaman. Jika tanah berpasir, tipe subirigasi tidak cocok.

Pada kondisi tersebut gerakan air secara kapiler tidak dapat membasahi tanah
sesuai dengan kebutuhan air tanaman (Harmanto et al., 2005).
Tanaman dalam barisan hanya cocok dengan tipe drip atau subsurface
dengan line-source emitter. Tanaman berbentuk pohon, semak, merambat lebih
cocok dengan tipe drip, bubler atau spray. Emitter pada drip dapat single atau
multiple outlet point source.

Persemaian atau padang rumput tidak cocok

dengan sistem irigasi tetes (Al-Jamal et al., 2001).

Evapotranspirasi

Secara umum air bergerak dari potensial air tinggi ke potensial air
rendah. Potensial air menunjukkan tingkat energi yang dimiliki oleh air. Air
bergerak secara kontinyu dari sistem tanah ke tanaman dan ke atmosfir
(transpirasi) atau dari sistem tanah ke permukaan tanah dan ke atmosfir
(evaporasi). Evapotranspi-rasi merupakan jumlah dari evaporasi dan transpirasi.
Dalam tahap perencanaan kebutuhan air tanaman telah dikembangkan berbagai
persamaan evapotranspirasi.

Evapotranspirasi aktual yang terjadi pada

kelembaban tanah kurang dari kapasitas lapang dan tingkat pengelolaan tertentu
dapat diukur dengan prinsip neraca air.
Secara umum evapotranspirasi aktual (E) dapat dirumuskan sebagai
berikut (Sperry et al., 2003):

E = [ ψ tanah - ψ atmosfir] / R . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.9)
ψ tanah, potensial air tanah, ψ atmosfir, potensial air di atmosfir, R, resultan
tahanan tanaman dan permukaan tanah. Tahanan permukaan tanah dipengaruhi
antara lain oleh penggunaan mulsa. Tahanan tanaman merupakan resultan dari
tahanan akar, batang dan stomata. Perubahan tahanan tanaman ditentukan oleh
perubahan tahanan stomata.
Tanah dan xylem adalah sama secara hidrolik. Kurva konduktivitas tidak
jenuh untuk tanah vulnerability curve untuk xylem, tetapi dasar secara fisika
antara tanah dan xylem adalah sama. Semua model transport yang berlaku pada
konduktivitas tanah tidak jenuh akan berlaku atau analog dengan kurva vulnera-

bilitas dari xylem. Ini terutama pada tanaman yang memiliki xylem yang relatif
peka. Walapun mekanisme kohesi-tekanan untuk transpor dalam xylem telah
berlawanan dengan pendapat dewasa ini, perbedaan masih ada dalam memahami hidrolika dalam xylem. Ini meliputi besarnya dan mekanisme dari cavitation reversal dan hysteresis dalam kurva vulnerabilitas, dasar struktur untuk
perbeda-an dalam air entry pressure (=cavitation pressure) untuk tipe xylem
yang berbe-da, model quantitatif dari konduktivitas xylem, dan pemahaman secara mekanistik tentang bagaimana stomata mengatur status air tanaman. Perbaikan gambaran tentang hidrolika xylem dalam model penggunaan air oleh
tanaman (evapotrans-pirasi) perlu untuk mendapatkan hubungan mekanistik
antara keterse-diaan air tanah dan penggunaan air oleh kanopi. Perhatian