Pencirian membran selulosa asetat berbahan dasar selulosa bakteri dari limbah nanas

PENCIRIAN MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERBAHAN
DASAR SELULOSA BAKTERI DARI LIMBAH NANAS

FEBRI RUFIAN PASLA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
FEBRI RUFIAN PASLA. Pencirian Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa
Bakteri dari Limbah Nanas. Dibimbing oleh SRI MULIJANI dan BETTY MARITA
SOEBRATA.
Penyaringan membran untuk industri makanan dan pengolahan limbah adalah sebuah
tantangan dalam aplikasinya. Membran komersial memiliki harga yang relatif tinggi.
Oleh sebab itu, perlu dicari metode yang sederhana untuk mendapatkan membran yang
murah. Sebuah metode alternatif untuk membuat membran selulosa asetat (CA) berbahan
dasar selulosa bakteri dari limbah nanas dicoba dalam penelitian ini.
Selulosa bakteri (BC) dari limbah nanas yang dibentuk oleh Acetobater xylinum

dimerserisasi dalam NaOH 1% (b/v). Bubuk BC kering diasetilasi dengan anhidrida asam
asetat (1:5) (selulosa:anhidrida) selama 2 jam. Membran CA dibuat dengan cara
melarutkan serpihan CA 14% (b/v) ke dalam diklorometana. Membran dibentuk dengan
cara mencetak polimer CA dalam pelarut diklorometana menjadi film tipis. Membran
CA dicirikan menggunakan seperangkat alat saring cross-flow. Alat saring cross-flow
digunakan untuk pengukuran fluks air dan penyaringan bovine serum albumin (BSA).
Penelitian ini menghasilkan selulosa asetat dengan kadar asetil 42.99% (setara dengan
derajat asetilasi 2.8 sampai 2.9), kadar air 34.06%, dan rendemen sebesar 148.33%.
Membran CA memiliki fluks air yang optimal pada tekanan 7.5 psi, dengan nilai rerata
fluks sebesar 123.97 L/m2jam. Membran CA memiliki nilai fluks BSA sebesar 114.22
L/m2jam dan rerata rejeksi BSA sebesar 44.98%. Membran ini memiliki fungsi
mikrofiltrasi bila dilihat dari hasil pencirian.

ABSTRACT
FEBRI RUFIAN PASLA. Characterization of Cellulose Acetate Membrane Based by
Bacterial Cellulose from Pineapple Waste. Supervised by SRI MULIJANI and BETTY
MARITA SOEBRATA.
Membrane filtration for food industries and waste recovery is a challenging
application. The commercial membrane are relatively high cost. Therefore, there is a need
to seek simple methods to provide low cost membranes. An alternative method to

produce cellulose acetate (CA) membrane based by bacterial cellulose from pineapple
waste was studied.
Bacterial cellulose (BC) from pineapple waste formed by Acetobater xylinum were
mercerized in NaOH 1% (w/v). The dried BC powder were acetylated with acetic acid
anhydride (1:5) (cellulose:anhydride) for 2 hours. CA membrane was made from
dissolving 14% (w/v) CA in dicloromethane. The membrane was formed by casting a thin
film dichloromethane-based solution of CA polymer. The CA membrane was
characterized using a cross flow filtration testing unit. A cross-flow filtration testing unit
was used for water flux and filtration of bovine serum albumin (BSA).
This study produced CA with an acetyl content 42.99% (similar to substitution degree
of 2.8 to 2.9), 34.06% moisture content, and 148.33% yield. The CA membrane has an
optimum water flux at 7.5 psi, with average flux obtained at 123.97 L/m2hour. The CA
membrane had average permeate flux of BSA at 114.22 L/m2hour and average BSA
rejection of 44.98%. This membrane showed microfiltration function according to its
characteristics.

PENCIRIAN MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERBAHAN
DASAR SELULOSA BAKTERI DARI LIMBAH NANAS

FEBRI RUFIAN PASLA


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Pencirian
Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa Bakteri dari Limbah Nanas,
yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2005 bertempat di
Laboratorium Kimia Anorganik Departemen Kimia dan Teknik Kimia Departemen
Teknik Industri Pertanian IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu

terselesaikannya karya ilmiah ini, di antaranya Dra. Sri Mulijani M.S. dan Betty Marita
Soebrata, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan
pengarahan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Program A2
yang telah mendanai penelitian ini. Rini Purnawati, STP untuk masukan dalam
menggunakan alat penyaring cross-flow, Ir. Hendra Adijuwana, MST sebagai Kepala
Laboratorium Anorganik serta kepada Budi Arifin, S.Si, dan Drs Muhammad Farid, atas
diskusi-diskusi berharga yang berkaitan dengan penelitian ini. Pak Sawal, Pak Eman, dan
teman-teman seperjuangan: Astika, Ventura, Riya, Bete, Akbar, dan Atik serta rekanrekan di laboratorium Kimia Anorganik: Daeng, Aldi, Dyah, dan Eka.
Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada keluarga: Papa, Mama, Ka’
Fika dan Ade Fitrian atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. Ungkapan
terima kasih yang terdalam juga kepada Primadian Sari Dewi atas segala doa, nasihat,
dorongan, semangat, senyum, cinta, dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih
juga kepada Mas Herry atas semangat, bantuan yang diberikan dan sebagai sumber
inspirasi bagi penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Yoshua, Rahma,
Danang, Wisnu, Cepe, dan Yansen serta rekan-rekan Kimia 36, 37, 38, dan 39 atas
bantuan dan kebersamaannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2006


Febri Rufian Pasla

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1983 sebagai anak kedua
dari pasangan Rudolf Pasla dan Atika Pasla. Tahun 2000, penulis lulus dari SMU Negeri
13 Jakarta, dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor melalui Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, IPB. Tahun 2003, penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di PT
Yamaha Indonesia Kawasan Industri Pulogadung dengan judul Penentuan Dosis
Optimum Ca(OH)2 dan Penerapannya pada PT Yamaha Indonesia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti berbagai organisasi di kampus
IPB. Periode kepengurusan 2002/2003 menjadi Ketua Chemistry English Club, Ikatan
Mahasiswa Kimia IPB. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan
seperti Panitia Matematika Ria 2001, Panitia Masa Perkenalan Jurusan dan Fakultas, dan
sebagainya. Penulis juga menjadi asisten praktikum Kimia Lingkungan pada tahun ajaran
2004/2005.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL....................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... ix
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Nanas ...........................................................................................................
Selulosa Bakteri............................................................................................
Kadar α-selulosa ...........................................................................................
Selulosa Asetat .............................................................................................
Membran ......................................................................................................
Pencirian Membran.......................................................................................
Kompaksi Membran .....................................................................................
Membran Selulosa Asetat .............................................................................

1
1
2
2
3
3
3

4

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ............................................................................................
Pembuatan Selulosa Bakteri dari Limbah Nenas ........................................
Penyiapan Contoh Kering............................................................................
Sintesis Selulosa Asetat...............................................................................
Pembentukan Membran Selulosa Asetat .....................................................
Pencirian Membran .....................................................................................

4
4
5
5
6
6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar α-selulosa dan Kadar Air Nata de Pina kering ..................................
Kadar Asetil, Kadar Air dan Rendemen Selulosa Asetat .............................

Kelarutan Selulosa Asetat.............................................................................
Membran Selulosa Asetat.............................................................................
Nilai Fluks Air..............................................................................................
Nilai Fluks dan Rejeksi BSA........................................................................

6
7
7
8
8
9

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan...................................................................................................... 10
Saran............................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 11
LAMPIRAN................................................................................................................ 13

DAFTAR TABEL
Halaman

1

Hubungan derajat substitusi selulosa asetat, kadar asetil,
dan aplikasinya ............................................................................................... 2

2

Kelas-kelas komersial selulosa asetat ............................................................ 2

3

Syarat mutu selulosa asetat (SNI 1991) ......................................................... 3

4

Kisaran fluks dan tekanan berbagai jenis membran....................................... 4

5

Nilai fluks permeat BSA dan rejeksi (%) membran selulosa

asetat contoh pada 7.5 psi............................................................................... 9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Rumus Haworth selulosa. .............................................................................. 2

2

Membran selulosa asetat contoh .................................................................... 8

3

Perbandingan antara fluks akuades membran selulosa asetat
contoh dengan waktu pada berbagai tekanan ................................................. 8

4

Hubungan antara fluks selulosa asetat contoh dengan

perubahan variasi tekanan .............................................................................. 9

5

Hubungan antara nilai fluks (a), nilai rejeksi (b)
seiring bertambahnya waktu pada tekanan tetap 7.5 psi
selama 30 menit.............................................................................................. 9

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Reaksi asetilasi selulosa asetat. ..................................................................... 14

2

Penetapan kadar air selulosa dan kadar α-selulosa ........................................ 15

3

Penetapan kadar air dan kadar asetil selulosa asetat ...................................... 16

4

Diagram alir penelitian .................................................................................. 17

5

Data kadar air α-selulosa contoh dan komersial ............................................ 18

6

Data kadar air, kadar asetil selulosa asetat contoh dan
selulosa asetat komersial ................................................................................ 19

7

Perhitungan rendemen selulosa asetat contoh................................................ 20

8

Data fluks air pada berbagai variasi tekanan ................................................. 21

9

Gambar hubungan fluks dengan waktu pada tekanan 2.5; 5.0; 7.5;
dan 10.0 psi..................................................................................................... 22

10 Penentuan konsentrasi permeat BSA .............................................................. 23

1

PENDAHULUAN
Limbah nanas yang dikenal sebagai nanas
banyak dibuang setelah daging buah tersebut
dikonsumsi. Satu buah nanas hanya dapat
dikonsumsi sebanyak 53% saja, sedangkan
sisanya dibuang sebagai limbah, sehingga
limbah nanas makin lama makin menumpuk
dan umumnya hanya dibuang ke tempat
pembuangan sampah (Rulianah 2002).
Berdasarkan hal tersebut maka terdapat
peluang memanfaatkan limbah kulit nanas
untuk diubah menjadi produk yang lebih
bermanfaat. Salah satu caranya ialah
membentuk selulosa dengan memanfaatkan
limbah nanas menggunakan bantuan bakteri
Acetobacter xylinum, seperti telah dilaporkan
dalam beberapa penelitian (Susanto et al.
2000, Rulianah 2002).
Salah satu hasil modifikasi selulosa secara
kimia ialah asetilasi, yaitu substitusi atom
hidrogen pada gugus-gugus hidroksil oleh
asetil (Fengel & Wegener 1995). Pembentukan selulosa asetat dari selulosa bakteri
telah banyak dilaporkan (Arifin 2004,
Yulianawati 2002, Safriani 2000). Penelitianpenelitian di atas menggunakan media yang
berbeda-beda untuk membentuk selulosa
bakteri. Salah satu aplikasi selulosa asetat
ialah sebagai bahan dasar untuk membuat
membran, membran telah digunakan secara
luas untuk industri pertanian, makanan, dan
pengolahan limbah dengan proses penyaringan bakteri (Aprilia et al. 2003, Darwo 2003,
Wanichapichart et al. 2002).
Filtrasi menggunakan membran untuk
industri makanan dan pengolahan limbah
adalah suatu tantangan dalam aplikasinya.
Walaupun biaya membran komersial pada saat
ini jauh lebih murah dibandingkan 10 tahun
yang lalu, tetap saja biaya ini relatif tinggi
(Wanichapichart et al. 2002). Alasan ini
menimbulkan sebuah tantangan untuk
menerapkan teknologi membran yang dapat
digunakan dalam industri. Membran yang
dibuat untuk tujuan penelitian memiliki biaya
yang masih tinggi, karena bahan-bahan yang
diperlukan masih diimpor seperti bahan
polimer. Oleh sebab itu, perlu dicari metode
yang mudah dan berbiaya rendah untuk dapat
membuat membran yang murah. Daya guna
membran tersebut harus cukup diandalkan
untuk skala lab terlebih dahulu.
Penelitian ini diharapkan dapat menentukan ciri membran selulosa asetat
berbahan dasar selulosa bakteri dari limbah
nanas menggunakan parameter fluks air dan

indeks rejeksi, sehingga dapat menjadi acuan
untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Nanas
Nanas berasal dari Amerika selatan dan
Hindia Barat, spesies ini termasuk dalam
dunia Plantae, filum Spermatophyta, kelas
Monocotyledonae, ordo Farinosae, famili
Bromoliaceae, genus Ananas, spesies Ananas
comosus (Morton 1987).
Pada umumnya buah nanas dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu kulit, daging, dan
hati. Ketiga bagian ini dapat diekstrak sari
buah nanas, yang banyak mengandung
glukosa dan asam-asam organik. Kemampuan
air nanas untuk memproduksi nata disebabkan
kandungan nutrisinya yang relatif lengkap,
serta sesuai untuk pertumbuhan A. xylinum
(Arsatmojo 1996).

Selulosa Bakteri
Bakteri penghasil Selulosa
Bakteri seperti Acetobacter, Rhizobium,
Agrobacterium, dan Sarcina, telah dikenal
baik dapat mensintesis biopolimer. Di antara
bakteri-bakteri tersebut A. xylinum ditegaskan
sebagai bakteri yang paling efektif untuk
menghasilkan selulosa bakteri (BC) dan telah
digunakan secara luas (Jonas & Farah 1998).
A. xylinum, yang baru-baru ini diklasifikasi
ulang sebagai Gluconobacter xylinus, ialah
jenis Acetobacter penghasil selulosa yang
telah banyak dipelajari (Krystynowicz &
Bielecki 2001). Bakteri ini dapat dengan
mudah tumbuh di dalam media pertumbuhan,
seperti air kelapa, air tebu, cuka, dan
minuman
yang
terfermentasi,
dengan
menggunakan volume wadah yang dangkal
(Yoshinaga et al.1997), yang dapat dengan
mudah didapatkan disekitar kita.
Kekhasan Selulosa Bakteri
Produk BC dari suatu galur Acetobacter
murni secara kimiawi, yaitu bebas dari lignin
dan hemiselulosa serta produk-produk
biogenik lainnya (Masaoka et al. 1993, Geyer
et al. 1994). Karena itu, BC dapat dimurnikan
dari media dan dari sel-sel bakteri yang
terperangkap didalamnya, dengan perlakuan
lembut memakai larutan basa encer, misalnya
NaOH 0.1 N; selama 20 menit, pada suhu
80oC (Toyosaki et al. 1995). Unit ulang dari
rantai struktur selulosa adalah unit selobiosa.

2

Rumus Haworth
Gambar 1.

selulosa

terlihat

pada

Gambar 1 Rumus Haworth Selulosa (Fengel
& Wegener 1984).
Jaringan BC yang berbentuk lembaran
yang mengapung di permukaan medianya
telah terbukti mempunyai daya regang,
elastisitas, kekenyalan, daya tahan, ketahanan
bentuk, dan kapasitas serap air yang tinggi
(Schmitt et al. 1991). Kapasitas serap air BC
mencapai 100-120 kali bobot keringnya
(Geyer et al. 1994), lebih banyak daripada
yang mampu diserap oleh pulp kayu. Kedua
sifat itu membuat BC banyak diaplikasikan
dalam bidang medis. BC bersifat mudah
terdegradasi, dapat didaur ulang, biocompatible, karena memiliki kelembaman
metabolik, nontoksik, dan nonalergenik.

Kadar α-selulosa
Pada awalnya, selulosa dicirikan sebagai
polimer dengan unit-unit pembangun monosakarida. Tetapi pada awal 1900 Cross &
Bevan mencirikan selulosa dengan cara
melarutkan materi yang mengandung kombinasi selulosa ke dalam natrium hidroksida.
Mereka menamakan materi yang tidak larut
sebagai α-selulosa. Materi yang larut
(dinamakan -selulosa dan -selulosa) yang
diketahui belakangan bukan merupakan
selulosa, tetapi lebih sebagai gula-gula
sederhana dan jenis karbohidrat lainnya
([Anonim] tt). Besarnya kadar α-selulosa
merupakan indikator kemurnian selulosa
(Tanaka et al. 2000).

Selulosa Asetat
Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per
residu anhidroglukosa, sehingga dapat
dilakukan reaksi-reaksi seperti esterifikasi,
eterifikasi dan lain-lain. Bentuk esterifikasi
selulosa dengan menggunakan anhidrida asam
asetat menghasilkan selulosa asetat (CA).
Reaksi pembentukan CA dapat dilihat pada
Lampiran 1. CA merupakan ester organik
selulosa yang berupa padatan tidak berbau,
tidak beracun, tidak berasa, dan berwarna

putih yang dibuat dengan mereaksikan
selulosa dengan bantuan asam sulfat sebagai
katalis (Kroschwitch 1990). CA bersifat tidak
mudah terbakar jika dibandingkan dengan
selulosa nitrat (Fengel & Wegener 1984), oleh
karena itu CA lebih disukai.
Kadar asetil merupakan ukuran jumlah
asam asetat yang diesterifikasi pada rantai
selulosa yang akan menentukan nilai derajat
substitusi (DS). Semakin tinggi kadar asetil
semakin tinggi pula derajat substitusinya.
Hubungan antara derajat dengan kadar asetil
dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa kelas
komersial CA dibedakan berdasarkan DS dan
pelarutnya disenaraikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Hubungan derajat substitusi selulosa
asetat, kadar asetil, dan aplikasinya
(Fengel & Wegener 1984)
Derajat
Kadar asetil
Aplikasi
Substitusi
(%)
0.6-0.9
13.0-18.6
1.2-1.8
22.2-32.2
plastik
2.2-2.7
36.5-42.2
benang, film
43.0-44.8
2.8-3.0
kain,
pembungkus
Tabel 2 Kelas-kelas komersial selulosa asetat
(Immergut 1975)
DS
Pelarut
Aplikasi
1.8-1.9
Air-PropanolTekstil
Kloroform
komposit
2.2-2.3
Aseton
Pernis dan
plastik
2.3-2.4
Aseton
Rayon
asetat
2.5-2.6
Aseton
Film safety
dan sinar X
2.8-2.9
DiklorometanaLembaran
Etanol
penginsulasi
2.9-3.0
Diklorometana
Tekstil
Acuan dalam perolehan CA yang baik
ialah dengan menyenaraikan dengan syarat
mutu yang ada di Indonesia. Syarat mutu CA
menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.
Kadar asetil dan kelarutan CA pada pelarut
organik merupakan parameter utama dalam
penetuan perolehan CA yang baik.
Pembentukan CA menggunakan bahan
dasar selulosa bakteri telah banyak dilaporkan
pada beberapa penelitian (Safriani 2000,
Yulianawati 2002, Arifin 2004). Prosedur
asetilasi yang digunakan pada ketiga
penelitian ini beragam. Arifin (2004)
menggunakan nisbah selulosa:anhidrida asam
asetat (s:a) 1:4, 1:5, 1:6 dan proses
pengeringan yang berbeda-beda, serta

3

perendaman selulosa dalam konsentrasi
NaOH yang bervariasi. Perlakuan yang
terbaik didapat pada pembuatan CA ialah
dengan menggunakan NaOH 1% (b/v) nisbah
(s:a) 1:5, metode pengeringan inklusi pelarut.
Nilai kadar asetil yang didapat pada prosedur
tersebut sebesar 36.27%.
Tabel 3 Syarat mutu selulosa asetat (SNI
1991)
Parameter
Persyaratan
Kadar asetil
39.0-40.0%
Kekentalan intrinsik
1.5-1.8 dl/g
(pelarut aseton)
Kestabilan terhadap
Tidak terjadi
kalor
pengarangan saat
dipanaskan (180ºC,
8 jam)

Membran
Membran adalah lapisan semipermeabel
berupa padatan polimer tipis yang menahan
pergerakan bahan tertentu (Scott & Hughes,
1996). Menurut Osada & Nakagawa (1992),
membran merupakan lapisan semipermeabel
yang tipis dan dapat digunakan untuk
memisahkan dua komponen dengan cara
menahan dan melewatkan komponen tertentu
melalui pori-pori. Menurut Eryan (2004),
membran adalah film tipis dari suatu material
berpori yang dapat digunakan untuk beberapa
proses pemisahan.
Klasifikasi Membran
Menurut Mulder (1996) dan Wenten
(1999), klasifikasi membran ada beberapa
macam, yaitu berdasarkan material asal,
morfologi, bentuk, dan fungsi. Selain itu
membran juga dapat dikategorikan sebagai
membran simetrik, asimetrik, berpori atau
tidak berpori, sifat penyaringannya, material
yang digunakan, dan proses pembuatannya.
Biasanya, membran dibuat dari polimer,
material komposit campuran dari dua polimer
atau polimer dengan material lain (Ho &
Sirkar 1992).
Pencirian Membran
Pencirian, desain dan aspek teknik kimia
merupakan bebrapa faktor yang harus diperhatikan dalam kinerja membran. Menurut
Brocks (1983), Osada & Nakagawa (1992),
dan Wenten (1999), karakteristik membran
terdiri dari struktur, ukuran pori, dan sifat fisik
mekanik serta kimia membran.
.

Jenis bahan pembuat dan proses
pembuatan dapat mempengaruhi karakteristik
membran itu sendiri. Pada umumnya
membran yang terbuat dari selulosa dan
turunannya memiliki daya tarik yang besar
dibandingkan dengan membran sintetis.
Keunggulan membran sintetis adalah tahan
terhadap pH umpan. Menurut Zeman &
Zydney (1996), bahwa terdapat empat
morfologi pori membran antara lain sel tutup,
sel terbuka, jaringan serat, dan granula.
Nilai fluks dan rejeksi merupakan
parameter utama dalam menilai kinerja
membran (Wenten 1999, Osada & Nakagawa
1992). Penurunan fluks terjadi karena adanya
fouling pada membran tetapi adanya fouling
dapat meningkatkan rejeksi, untuk mencegah
terjadinya fouling maka membran harus selalu
dibersihkan. Faktor yang mempengaruhi nilai
fluks antara lain tekanan transmembran,
kecepatan cross-flow dan konsentrasi larutan.
Mulder (1996) menyatakan kisaran fluks dan
tekanan berbagai jenis membran dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Kisaran fluks dan tekanan berbagai
jenis membran (Mulder 1996)
No
Jenis
Kisaran
Kisaran
Membran
Tekanan
Fluks
(bar)
(L/m2jam)
1 Mikrofiltrasi 0.1-2.0
>50
2 Ultrafiltrasi
1.0-5.0
10-50
3 Nanofiltrasi
5.0-20
1.4-12
4
Osmosis
10-100
0.05-1.4
Balik
Pada proses filtrasi, sebagian molekul atau
partikel diteruskan melalui pori membran dan
sebagian lagi tertahan di atas permukaan
membran. Perbandingan antara bagian yang
tertahan dengan bagian yang dapat melewati
membran disebut sebagai rejeksi (Baker
2004).
Rejeksi
berhubungan
dengan
permselektivitas membran, yaitu suatu ukuran
kemampuan untuk menahan spesi atau
melewatkan spesi tertentu (Mulder 1996).
Kompaksi Membran
Menurut
Mulder
1996,
kompaksi
membran adalah perubahan mekanik suatu
matriks membran polimer yang terjadi dalam
proses membran dengan gaya dorong ∆P.
Selama proses berlangsung pori-pori membran merapat sehingga menghasilkan penurunan nilai fluks, bahkan setelah relaksasi
(dengan
cara menurunkan tekanan pada
proses) nilai fluks tidak dapat kembali
sebagaimana nilai awalnya karena fenomena

4

ini bersifat tidak balik. Biasanya kompaksi
terjadi pada proses osmosis balik yang dikenai
tekanan yang sangat tinggi, tetapi pada
ultrafiltrasi dan nanofiltrasi kompaksi juga
bisa terjadi, yaitu bergantung pada tekanan
yang dikenakan dan morfologi membran
(Mulder 1996).

Membran Selulosa Asetat
CA merupakan salah satu bahan dasar
membran asimetrik, baik untuk osmosis balik,
ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi. Membran dapat
dipreparasi dengan menggunakan beberapa
metode antara lain pelelehan, pengepresan,
dan pembalikan fasa. Pembuatan membran
CA biasanya dilakukan dengan cara pembalikan fasa melalui proses pencelupan
(immersia) (Mulder 1996). Pembalikan fasa
adalah
proses
dimana
polimer
ditransformasikan dari bentuk larutan menjadi
bentuk padatan secara terkontrol. Proses
pemadatan sangat sering diawali dengan
transisi dari suatu bentuk larutan menjadi
larutan lain (pencampuran kembali larutanlarutan). Pada keadaan yang tepat selama
pencampuran kembali fasa dengan konsentrasi
polimer yang tinggi akan membentuk padatan
atau matriks membran, sedangkan fasa dengan
konsentrasi polimer yang rendah akan
membentuk pori-pori. Dengan mengontrol
keadaan pada fase transisi, morfologi
membran akan terkontrol (Mulder 1996).
Tahapan pembuatan membran melalui
pembalikan fase dengan cara pencelupan
adalah pertama pembuatan larutan homogen
dengan kekentalan yang diinginkan, lalu
pencetakan larutan polimer sebagai lapisan
tipis. Selanjutnya, penguapan sebagian pelarut
dari polimer. Setelah itu, pengendapan
polimer dengan cara pencelupan. Tahap akhir
adalah perlakuan suhu (annealing) untuk
menyusutkan ukuran pori. Tahapan di atas
berpengaruh terhadap karakteristik akhir
membran yang terlihat (Mulder 1996).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan dalam
penelitian ini ialah limbah buah nanas dari
pedagang rujak di depan kampus IPB
Baranangsiang, cuka pekat teknis (±98%
[v/v]), kertas saring, bibit nata (Balai Besar
Industri Agro), gula pasir, anhidrida asam

asetat, asam asetat glasial (100%), aseton
teknis (±95%), diklorometana, dimetilsulfoksida (DMSO), kristal NaOH, H2SO4 teknis
(95-97%), (NH4)2SO4, K2Cr2O7 teknis, bovine
serum albumin (BSA), dan air suling.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini ialah penghancur National Mega & Philips,
panci, pisau pemotong, neraca analitik,
pengaduk listrik kecepatan tinggi versamix
(Fisher), wadah fermentasi berukuran
30x20x4.5 cm3 merk Komet Star Plastics jenis
Tripoly nomor 3, kertas koran, karet pengikat,
pompa vakum, termometer, Pemanas listrik,
oven, sentrifus Hermle Z300 (Labnet), botol
bertutup ganda, alat-alat kaca, serta alat saring
cross-flow.

Pembuatan Selulosa Bakteri dari
Limbah Nanas (Nata de Pina)
Pembuatan nata de pina dilakukan dengan
modifikasi prosedur Susanto et al. 2000.
Limbah buah nanas dihancurkan menggunakan penghancur hingga didapatkan bubur
limbah nanas, lalu bubur diperas menggunakan kain kasa sehingga didapatkan
sarinya. Sari limbah nanas tersebut masih
banyak mengandung endapan atau pengotor,
sehingga untuk mendapatkan sari buah yang
baik perlu disaring menggunakan kertas saring
dengan bantuan pompa vakum menggunakan
corong-Büchner.
Tahap selanjutnya sari nanas diencerkan
menggunakan air dengan perbandingan sari
nanas:air (1:4) dengan jumlah total larutan
600 ml, lalu larutan tersebut dididihkan.
Setelah mendidih, ditambahkan gula pasir
sebagai sumber karbon sebanyak 7.5 % (b/v)
dan ditambahkan (NH4)2SO4 0.5% (b/v).
Larutan diaduk sampai terbentuk larutan yang
homogen.
Larutan yang terbentuk diatur pHnya
menjadi 4.5 dengan penambahan cuka pekat
teknis, diukur dengan menggunakan kertas pH
indikator. Larutan yang telah disesuaikan pHnya dimasukan ke dalam tiap-tiap wadah
fermentasi plastik kemudian ditutup dengan
kertas koran yang telah dipanaskan menggunakan pemanas listrik dan diikat dengan
karet pengikat.
Keesokan harinya ditambahkan bibit nata
sebanyak 10% (v/v) dan diinkubasikan selama
4-7 hari pada suhu kamar. Pada hari ke-7, jika
tidak terkontaminasi, nata de pina siap
dipanen dengan ketebalan 0.6-1 cm.

5

Penyiapan Contoh Kering
Selulosa Bakteri
Penyiapan contoh kering ini dilakukan
berdasrkan modifikasi prosedur Safriani
(2000). Lembaran nata de pina selanjutnya
dicuci dengan air, kemudian dipotong-potong
dengan pisau, sehingga berbentuk lembaran
kecil dengan ukuran 4×5 cm (p×l). Lembaran
tersebut direbus mendidih selama 20 menit
untuk menghilangkan bakteri yang tersisa atau
menempel pada lembaran nata. Selanjutnya,
direndam dalam larutan NaOH 1% pada suhu
kamar selama 24 jam, kemudian dinetralkan
dengan perendaman ke dalam cuka pekat
teknis 1% selama 24 jam. Jumlah NaOH dan
asam asetat yang digunakan sesuai dengan
jumlah nata de pina yang akan dimurnikan.
Selama belum digunakan, lembaran nata kecil
ini dapat disimpan dalam kantong plastik di
lemari pendingin.
Tahap selanjutnya lembaran nata dimasukkan ke dalam corong-Büchner untuk disaring-vakum guna menghilangkan air di
dalam nata. Setelah disaring-vakum terbentuk
lembaran tipis nata. Lembaran tipis ini
dikeringkan dalam suhu kamar. Nata de pina
kering selanjutnya dihancurkan dengan menggunakan penghancur sampai berbentuk
serbuk. Serbuk nata de pina kering yang
dihasilkan diuji kadar air dan kadar
selulosanya. Prosedur penetapan kadar air dan
kadar selulosa dapat dilihat pada Lampiran 2.

Sintesis Selulosa Asetat
Asetilasi contoh uji selulosa kering
dilakukan dengan modifikasi prosedur Arifin
(2004). Sebanyak 1.8 g contoh uji ditimbang
teliti di dalam botol plastik bertutup-ganda.
Ke dalam botol, ditambahkan 100 ml cuka
pekat teknis, dan botol dikocok kuat selama 1
menit lalu ditaruh di dalam shaker selama 20
menit. Setelah 20 menit, contoh disaringvakum dengan corong-Büchner, diperas
sekuat-kuatnya,
lalu
perendaman
dan
penyaringan yang sama diulangi sekali lagi.
Tahap selanjutnya contoh uji direndam dalm
50 ml asam asetat glasial pada botol yang
sama. Setelah 3 jam, contoh kembali disaringvakum dan diperas sekuat-kuatnya. Perendaman dalam asam bertujuan menarik air, karena
tidak diharapkan adanya air pada contoh, yang
akan mengganggu proses asetilasi.
Contoh uji bebas air dikembalikan ke
botol, lalu dimasukkan pereaksi-pereaksi

asetilasi. Volume yang digunakan disesuaikan dengan bobot α-selulosa dalam contoh.
Contoh uji α-selulosa yang digunakan
sebanyak 1.8 g. Mula-mula dipipet 20.2 ml
larutan asam asetat glasial–H2SO4 95-97%
(v/v) (100:1). Botol digoyang kuat selama 1
menit agar katalis H2SO4 terserap oleh contoh.
Setelah itu, ditambahkan anhidrida asam
asetat dengan pipet tetes sedikit demi sedikit
sambil di aduk dengan batang pengaduk, hal
ini dimaksudkan agar menjaga suhu reaksi
tidak terlalu tinggi karena reaksi asetilasi yang
terjadi bersifat eksoterm. Digunakan nisbah
selulosa:anhidrida asam asetat (1:5), yang
setara dengan volume anhidrida asam asetat
sebanyak 9 ml.
Selanjutnya, suspensi diaduk dengan batang pengaduk kaca sampai mengental, lalu
dibiarkan selama 2 jam, terhitung dari dimulainya penambahan anhidrida asam asetat.
Suspensi yang terbentuk berwarna merah
muda kecoklatan dan kental, serta sulit
terpisahkan. Asetilasi dihentikan dengan
menambahkan 2.4 ml larutan asam asetat
glasial-air suling (2:1). Suspensi dibiarkan
selama 30 menit, dengan pengadukan pada
beberapa menit pertama, lalu dipindahkan ke
dalam tabung sentrifus plastik 50 ml. Waktu
30 menit dihitung dari saat menambahkan
pereaksi untuk hidrolisis, sampai saat
sentrifugasi dimulai. Sentrifugasi dilakukan
pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit.
Supernatan lalu didispersikan ke dalam 500
ml air suling (CA yang terbentuk seperti pita
kertas putih) diaduk sekuat mungkin dengan
pengaduk magnetik dalam gelas piala 1 l.
Serpihan CA yang diperoleh (berwarna
putih) disaring-vakum dengan corongBüchner, dicuci dengan NaHCO3 1N teknis
sampai tidak terbentuk gelembung gas CO2
lagi, lalu dicuci dengan air suling. Serpihan
netral (pH 6.5-8.5) ini diperas, lalu
dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml yang
sebelumnya telah diketahui bobotnya lalu
dikeringkan dalam oven dengan suhu
(50±3)ºC selama 24 jam, bila belum kering
didiamkan kembali selama 24 jam sampai
contoh CA yang didapat benar-benar kering.
Produk CA yang dihasilkan selanjutnya
dianalisis kadar air dan kadar asetilnya
(Lampiran 3). Selanjutnya, Contoh CA yang
didapat ditimbang teliti bobotnya, guna
penentuan rendemen. Perhitungan besar
rendemen sebagai berikut (ASTM 1991):

6

Rendemen (%) = (1 − M 2 )(W 3 − W 2 ) × 100 %
C (1 − M

1

)W 1

dengan: W1 = bobot contoh uji (gram)
M1 = kadar air contoh uji (%)
C = kadar α-selulosa (%)
W2 = bobot gelas piala (gram)
W3 = bobot gelas piala+selulosa
Asetat kering (gram), dan
M2 = kadar air selulosa asetat (%).

Pembentukan Membran Selulosa
Asetat
Pembuatan membran melalui fasa inversi
dengan cara pencelupan. Tahap pertama CA
dilarutkan ke dalam pelarut organik diklorometana dengan Jumlah CA yang digunakan
sebanyak 14% (b/v). Larutan polimer dituangkan ke atas penampang kaca (20×15 cm)
lalu dicetak sebagai lapisan tipis dengan cara
menekan lalu menarik larutan polimer
tersebut, sampai diperoleh lapisan tipis.
Lapisan tipis ini menempel pada kaca dan
dibiarkan selama 15 menit. Kemudian,
penampang kaca direndam di dalam air
sampai lapisan tipis yang menempel terlepas
dari penampang kaca. Selanjutnya, lapisan
tipis tersebut dikeringkan lalu dibentuk dalam
bentuk lingkaran berdiameter 5 cm.

Pencirian Membran
Fluks air
Sampel membran berbentuk lingkaran
ditempatkan dalam modul alat saring crossflow. Modul tersebut dihubungkan dengan
selang pengalir umpan, rentetat, permeat, serta
selang pengatur tekanan. Kemudian umpan
dialirkan lalu tekanannya diatur untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan. Variasi
tekanan yang digunakan sebesar 2.5, 5.0, 7.5,
dan 10.0 psi. Fluks masing-masing diukur
dengan fungsi waktu sampai tercapai kondisi
tunak. Fluks dinyatakan dengan persamaan
berikut (Mulder 1996).
J =

V
A ⋅t

J : Fluks (L/m2 jam)
V : Volume permeat (L)
A : Luas membran yang dilalui (m2)
t : Waktu (jam)

Rejeksi membran
Perolehan rejeksi pada membran dilakukan
dengan menggunakan alat yang sama pada
penentuan fluks membran, hanya untuk
memperoleh nilai rejeksi membran parameter
yang perlu diperhatikan dan dicatat ialah
jumlah konsentrasi permeat dan umpan.
Larutan BSA 200 ppm disiapkan untuk
menjadi larutan umpan. Analisis untuk BSA
dalam volume permeat menggunakan spektrofotometer (spectronic 20) pada panjang gelombang 520 nm yang sebelumnya telah
dibuat kurva standar BSA. Persen rejeksi BSA
dihitung dari per-bandingan antara konsentrasi
permeat (Cp) dan umpan (Cf), sebagai berikut
(Baker 2004). 1 − ⎛⎜ C p ⎞⎟ × 100 %
⎜C


f




Diagram alir keseluruhan penelitian ini disajikan pada Lampiran 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar α-selulosa dan Kadar Air
Nata de Pina kering
Selulosa bakteri yang didapatkan dalam
penelitian ini dimurnikan dengan cara melarutkan selulosa yang diperoleh dengan larutan
NaOH 1% [larutan NaOH 1% telah di
optimasi oleh Arifin (2004)] dan didapatkan
kadar α-selulosa sebesar 88.72% (Lampiran
5b). Hal ini menunjukan bahwa selulosa yang
diperoleh dalam penelitian ini cukup murni.
Perendaman dalam NaOH 1% dapat
menyebabkan pembengkakan pada struktur
selulosa. Pembengkakan yang terjadi akan
membuka serat-serat selulosa. Jika alkali ini
dinetralkan dengan asam, maka akan
mengurangi kristalinitas selulosa dan strukturnya membengkak. Proses ini dinamakan
merserisasi (Munk 1989). Struktur selulosa
yang membengkak dapat meningkatkan
aksesibilitas gugus –OH pada selulosa,
sehingga proses penetrasi pereaksi ke bagian
dalam selulosa menjadi lebih mudah.
Kadar air selulosa untuk memproduksi CA
berkisar antara 4-7%, menurut Ullmann’s
Encyclopedia
(1999).
Kadar
air
mempengaruhi reaktivitas selulosa pada saat
asetilasi. Serbuk kering selulosa nata de pina
yang dihasilkan sebesar 7.65% (Lampiran 5a).
Hal ini menunjukkan bahwa serbuk nata de
pina cukup memenuhi syarat sebagai bahan
baku pembuatan CA. Gugus –OH dalam air
bersifat lebih reaktif jika dibandingkan dengan
gugus –OH pada selulosa, sehingga kadar air
yang tinggi pada selulosa akan mempercepat

7

berlangsungnya proses hidrolisis daripada
substitusi (Metshisuka & Isogai 1996). Kadar
air yang didapatkan pada penelitian ini relatif
lebih tinggi bila dibandingkan dengan
penelitian yang serupa, seperti Yulianawati
(2002) yang kadar air serbuk nata de coco
yang diperoleh sebesar 4.89%. Kadar air yang
relatif tinggi ini disebabkan metode
pengeringan yang digunakan berbeda. Pada
penelitian tersebut proses pengeringan
dilakukan
menggunakan
pemanasan
sedangkan penelitian ini tidak menggunakan
suhu atau pemanasan.
Metode pengeringan tanpa pemanasan
bertujuan untuk meningkatkan reaktivitas
selulosa. Asetilasi mensyaratkan kondisi
bebas-air untuk mencegah reversibilitas reaksi
esterifikasi, untuk itu diperlukan pengeringan
tanpa suhu tinggi. Deaktivasi akibat
pengeringan disebut hornifikasi, dan menjadi
penyebab rendahnya aksesibilitas selulosa
yang dikeringkan di bawah sinar matahari dan
di dalam oven (Arifin 2004).

Kadar Asetil, Kadar Air dan
Rendemen Selulosa Asetat
Kadar asetil CA yang diperoleh dalam
penelitian ini sebesar 42.99%, Kadar asetil
CA komersial juga ditetapkan sebagai
perbandingan yang kadar asetilnya sebesar
39.87%. Kadar asetil merupakan ukuran
jumlah asam asetat yang diesterifikasi pada
rantai selulosa yang akan menentukan nilai
derajat substitusi. Perhitungan penentuan
kadar asetil ini dapat dilihat pada Lampiran
6b. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
besarnya kadar asetil ialah metode
pengeringan selulosa, konsentrasi NaOH pada
tahap merserisasi, dan nisbah antara bobot
selulosa dengan volume anhidrida asam
asetat, faktor-faktor di atas telah di optimasi
pada penelitian sebelumnya seperti oleh Arifin
(2004) dan Yulianawati (2002).
Faktor-faktor di atas yang digunakan pada
penelitian ini merupakan hasil modifikasi
penelitian-penelitian sebelumnya guna menghasilkan aksesibilitas gugus –OH yang tinggi.
Nisbah antara bobot selulosa dengan volume
anhidrida asam asetat yang digunakan pada
penelitian ini sebesar 1:5, dengan volume
anhidrida asam asetat sebanyak 4.5 ml.
Volume pereaksi sebaiknya tidak digunakan
terlalu banyak karena proses akan menjadi
tidak ekonomis. Selulosa contoh diusahakan
mengandung kadar air yang rendah, karena
kadar air dapat mempengaruhi jalannya reaksi
esterifikasi. Gugus –OH pada air lebih mudah

bereaksi dengan pereaksi anhidrida asam
asetat dibandingkan dengan gugus –OH pada
selulosa. Aksesibilitas gugus –OH selulosa
yang tinggi akan mempermudah pereaksi
asetilasi masuk ke dalam serat-serat selulosa.
Aksesibilitas yang tinggi dapat dilihat dari
kadar asetil yang tinggi. Kadar asetil CA
sebesar 42.99% setara dengan derajat
substitusi 2.8 sampai 2.9. Derajat substitusi
adalah jumlah rerata atom H pada gugus
hidroksil, yang diubah menjadi gugus asetil,
dalam setiap residu anhidroglukosa (Arifin
2004).
Kadar air CA yang dihasilkan pada
penelitian ini sebesar 34.06% sebagai
perbandingan, ditetapkan juga kadar air pada
CA komersial sebesar 11.51 %. Perhitungan
kadar air dapat dilihat pada Lampiran 6a.
Perbedaan kadar air kedua CA ini cukup
signifikan, hal tersebut diduga disebabkan
metode pengeringan CA yang dihasilkan
belum
sempurna.
Lamanya
proses
pengeringan dan suhu yang digunakan diduga
sebagai faktor utama. Suhu yang digunakan
dan lamanya pengeringan pada penelitian ini
masing-masing 50ºC dan 24 jam. Selain kedua
faktor tersebut, cara penyimpanan CA contoh
juga diduga mempengaruhi besarnya kadar
air. Walaupun CA diketahui tidak bersifat
higroskopis.
Rendemen CA adalah perbandingan antara
bobot selulosa asetat yang diperoleh dengan
bobot selulosa sampel yang digunakan pada
proses asetilasi. Besarnya rendemen CA yang
diperoleh sebesar 148.33% (Lampiran 7).
Rendemen yang besar ini disebabkan oleh
lebih besarnya bobot CA yang diperoleh jika
dibandingkan dengan bobot selulosa yang
digunakan. Besarnya bobot CA yang
diperoleh sebesar 3.32 gram sedangkan
selulosa yang digunakan hanya 1.81 gram.

Kelarutan Selulosa Asetat
CA dapat larut dalam pelarut-pelarut
organik. Faktor yang mempengaruhi kelarutan
CA ialah derajat substitusinya, yang dapat
dilihat dari besarnya kadar asetil. CA dengan
kadar asetil sebesar 42.99% yang setara
dengan derajat substitusi (DS) 2.8 sampai 2.9;
larut dalam pelarut diklorometana. CA yang
dihasilkan juga larut baik dalam pelarut
dimetilsulfoksida (DMSO). Kelarutan yang
baik ini dapat dilihat dari terbentuknya larutan
yang homogen dalam kedua pelarut tersebut.
Hasil ini juga menyimpulkan bahwa CA yang
dihasilkan belum memenuhi syarat SNI, yaitu
dapat larut dalam pelarut aseton. CA yang

8

larut dalam diklorometana dapat diaplikasikan
pada industri tekstil.
Konsentrasi CA yang digunakan pada saat
pelarutan sebesar 14% (b/v). Angka ini
diambil dari hasil optimasi yang telah
dilakukan Yulianawati (2002). Kelarutan CA
yang baik akan mempengaruhi proses
pembuatan membran. Jika CA yang dilarutkan
tidak homogen, proses pencetakan akan
mengalami kesulitan. Larutan yang tidak
homogen akan menyebabkan terperangkapnya
gelembung-gelembung udara pada larutan
cetak yang juga akan menyebabkan
permukaan membran menjadi tidak rata
(Darwati et al. 2002).

Membran Selulosa Asetat
Membran CA yang dihasilkan dibuat
dengan menggunakan metode pembalikan
fasa (phase inversion). Pada saat tahap
pencetakan, larutan polimer dicetak dengan
cara menarik larutan tersebut menggunakan
gelas pengaduk. Metode ini diduga dapat
menyebabkan ketebalan membran yang tidak
rata pada tiap sisinya. Proses penguapan
pelarut diklorometana dilakukan pada suhu
ruang. Larutan CA yang telah dicetak,
dibiarkan kering sampai terbentuk lembaran.
Lembaran yamg telah kering direndam di
dalam air sampai membran terlepas dari kaca.
Membran yang dihasilkan berwarna putih
transparan seperti plastik terlihat pada Gambar
2.

akibat adanya polarisasi konsentrasi pada
larutan umpan yang dilewatkan pada
membran atau terjadinya fouling pada
permukaan membran. Pada fluks air murni
dalam proses ultrafiltrasi atau mikrofiltrasi,
penurunan nilai fluks biasanya kurang dari 5%
(Mulder 1996).
Pengukuran fluks air akuades terhadap
membran CA contoh pada variasi tekanan 2.5;
5.0; 7.5; dan 10.0 psi (Lampiran 8 dan
Lampiran 9) dilakukan dengan melewatkan air
akuades melalui alat saring cross-flow.
Penyaringan ini menunjukkan fenomena yang
sama, yaitu semakin lama waktu, nilai fluks
semakin turun hingga tercapai nilai yang
stabil atau tunak. Fenomena ini ditunjukkan
pada Gambar 3. Menurut Mulder (1996) jika
gaya dorong yang dikenakan terhadap
membran konstan maka nilai fluks membran
akan konstan setelah tercapai keadaan tetap.
Nilai fluks akuades membran CA tersebut
semakin turun dengan bertambahnya waktu
sampai tercapai kondisi tunak (tanda
lingkaran). Nilai rerata fluks pada tekanan 2.5;
5.0; 7.5; dan 10.0 psi masing-masing sebesar
101.02; 113.80; 123.97; dan 111.04 L/m2jam.
Dilihat dari nilai tersebut dapat dikatakan
bahwa membran CA yang dihasilkan
termasuk ke dalam kelompok mikrofiltrasi,
hal ini sesuai dengan pernyataan Mulder 1996,
bahwa membran mikrofiltrasi memiliki
kisaran nilai fluks lebih dari 50 L/m2 jam.
160
140
Fluks (L/m2jam)

120
100
80
60
40
20

P = 2.5 psi
P = 5.0 psi
P = 7.5 psi
P = 10.0 psi

0
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60
Waktu (menit)

Gambar 2 Membran selulosa asetat contoh.

Nilai Fluks Air
Nilai fluks membran berbanding terbalik
terhadap fungsi waktu. Semakin bertambahnya waktu, nilai fluks suatu membran
cenderung turun. Penurunan berlangsung terus
menerus hingga tercapai kondisi steady state
atau tunak. Fenomena tersebut dapat terjadi

Gambar 3 Perbandingan antara fluks akuades
membran selulosa asetat contoh
dengan waktu pada berbagai
tekanan.
Nilai fluks berbanding lurus dengan
variasi tekanan, semakin tinggi tekanan nilai
fluksnya bertambah, terlihat pada Gambar 4.
Hal tersebut tidak terjadi pada nilai fluks di
tekanan 10.0 psi. Hal ini diduga pada tekanan
10.0 psi telah terjadinya peristiwa kompaksi.
Kompaksi membran merupakan suatu

9

perubahan mekanik pada struktur membran
polimer yang terjadi dalam proses membran
dengan gaya dorong ∆P, akibatnya semakin
tinggi tekanan yang dikenakan maka kompaksi membran akan berlangsung lebih cepat
(Mulder 1996). Hal ini berhubungan dengan
jenis membran selulosa yang bersifat
hidrofilik. Kemampuan membran CA dalam
menyerap air (umpan) dapat mengubah
struktur CA itu sendiri. Struktur CA menjadi
lebih kompak dan selama proses berlangsung
pori-pori
membran
merapat
sehingga
menghasilkan penurunan nilai fluks, bahkan
setelah relaksasi (dengan cara menurunkan
tekanan pada proses) nilai fluks tidak dapat
kembali sebagaimana nilai awalnya karena
gejala ini bersifat tidak balik.

di dalam umpan. Semakin lama waktu, semakin banyak partikel yang tertahan pada membran yang dapat menyebabkan penyumbatan
pada pori membran. Nilai rerata fluks BSA
dan rejeksi membran CA contoh dalam waktu
30 menit masing-masing sebesar 114.22
L/m2jam dan 44.98 %.
Tabel 5 Nilai fluks permeat BSA dan rejeksi
(%) membran selulosa asetat contoh
pada 7.5 psi
Waktu
Fluks
Rejeksi (%)
(L/m2jam)
5
118.60
36.25
10
116.84
38.75
15
113.71
41.00
20
111.97
50.88
30
109.98
58.00

120

120

100

118

80

116

F lu k s (L /m 2 Ja m )

F lu k s A ir ( L /m 2 j a m )

140

60
40
20
0
2.5

5

7.5

114
112
110
108
106

10

104

Tekanan (psi)

5

10

15

20

30

20

30

Waktu (menit)

Gambar 4 Hubungan antara fluks selulosa
asetat contoh dengan perubahan
variasi tekanan.

(a)
70
60

Nilai Fluks dan Rejeksi BSA
Salah satu indikator pencirian membran
adalah nilai rejeksi. Larutan umpan BSA
disaring melalui alat saring cross-flow.
Larutan umpan BSA memiliki konsentrasi
sebesar 200 ppm. Pada tiap 5 menit, permeat
BSA diukur nilai fluks dan nilai rejeksinya
(%) dengan bantuan kurva standar BSA
menggunakan spectronic 20 pada panjang
gelombang 520 nm (Lampiran 10). Nilai fluks
dan rejeksi ditentukan pada tekanan 7.5 psi;
hal ini dilakukan atas dasar optimasi nilai
fluks air yang memiliki nilai fluks terbesar
pada tekanan tersebut. Terlihat pada Tabel 5
perbedaan nilai fluks dan rejeksi tiap 5 menit.
Nilai fluks semakin turun seiring bertambahnya waktu (Gambar 5a), sedangkan
nilai rejeksi bertambah seiring bertambahnya
waktu (Gambar 5b).
Perubahan nilai fluks dan rejeksi ini dapat
disebabkan terjadinya proses fouling pada pori
membran yang dapat menahan partikel terlarut

R e j e k s i (% )

50
40
30
20
10
0
5

10

15
W aktu (menit)

(b)
Gambar 5 Hubungan antara nilai fluks (a),
nilai rejeksi (b) seiring bertambahnya waktu pada tekanan tetap
7.5 psi selama 30 menit.
Dari nilai rerata rejeksi membran dapat
diambil kesimpulan membran ini belum cukup
baik untuk memisahkan protein dalam kurun
waktu yang ditentukan. Upaya untuk dapat
menghasilkan membran yang baik, dapat
dilakukan dengan menambahkan konsentrasi
CA yang terlarut atau dengan mencampurkan

10

bahan polimer yang diketahui dapat
memperkecil pori membran. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Mulder (1996) yang
menyatakan bahwa konsentrasi polimer
pembentuk membran sangat mempengaruhi
ciri membran yang terbentuk, semakin tinggi
konsentrasi polimer pembentuknya maka
membran yang dihasilkan akan semakin padat
sehingga fluks membran akan semakin kecil
(Mulder 1996). Selain konsentrasi CA,
konsentrasi sampel yang digunakan juga dapat
mempengaruhi nilai fluks dan rejeksi (Aprilia
et al. 2003).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
CA yang diperoleh mempunyai kadar air
sebesar 34.06% dan kadar asetil sebesar
42.99% serta rendemen sebesar 148.33%.
Membran CA yang terbentuk memiliki fluks
air yang optimal pada tekanan 7.5 psi sebesar
123.97 L/m2 jam. Nilai rerata fluks dan rejeksi
BSA selama 30 menit pada tekanan 7.5 psi
masing-masing sebesar 114.22 L/m2jam dan
44.98 %. Dilihat dari nilai rerata fluks air,
membran yang dihasilkan dapat dikategorikan
sebagai membran mikrofiltrasi.
Produk CA yang diperoleh lebih besar dari
kadar asetil 39-40%, dan kelarutannya tidak
larut baik dalam aseton sebagaimana
dipersyaratkan SNI (1991). Tetapi kadar asetil
yang diperoleh sebesar 42.99% dapat
diterapkan dalam industri tekstil.

Saran
Kadar air selulosa kering diharapkan
memiliki nilai yang rendah untuk menghasilkan aksesibilitas –OH selulosa yang
tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode
pengeringan yang lebih baik tanpa
pemanasan.
Proses pencetakan membran sebaiknya
dilakukan ditempat yang bersih dan suhunya
stabil, sehingga diperoleh membran yang
tanpa pengotor dan dapat dilihat pengaruh
suhu terhadap proses penguapan pelarut.
Konsentrasi CA dalam pembuatan
membran sebaiknya dibuat variasi agar
ditemukan konsentrasi yang optimal. Selain
itu, penambahan zat polimer lain perlu
dilakukan untuk mendapatkan membran yang
mempunyai kemampuan memisahkan lebih
baik.

Dalam pencirian membran menggunakan
alat saring cross-flow sebaiknya sebelum
dilakukan penyaringan membran dicuci
terlebih dahulu, dengan cara mengalirkan air
aquades selama 5-10 menit. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi pengotor yang dapat
menyumbat pori membran.
Pencirian lain untuk menguji kemampuan
membran selain fluks dan rejeksi sebaiknya
dilakukan, seperti uji tarik dan ketahanan
kimia.
Pengukuran
rejeksi
sebaiknya
dilanjutkan sampai membran dapat menahan
zat tertentu minimal sebesar 90% (molecular
weight cut off). Pencirian lain ini akan lebih
menguatkan fakta bahwa membran yang
diperoleh baik atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. tt. Cellulose. http://www.fibersource.com/f-tutor/cellulose.htm. [20 Desember 2005].
[Anonim]. tt. Processing routes to Acetic
Anhydride. http://www.chemsystems.com
/newsletters/perp/Jun04_N03S1.cfm. [9
Desember 2005].
Aprilia S, Aulia N, Aisyah C. 2003. Membran
selulosa untuk pemisahan protein secara
ultrafiltrasi [Laporan penelitian]. Aceh:
Universitas Syah Kuala.
Arifin B. 2004. Optimasi kondisi asetilasi
selulosa bakteri dari nata de coco
[Skripsi]. Bogor: Departemen Kimia
Institut Pertanian Bogor.
Arsatmojo E. 1996. Formulasi pembuatan
nata de pina [Skripsi]. Bogor:
Departemen Teknik Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor.
ASTM.1991. ASTM D871: Standard Methods
of
Testing
Cellulose
Acetate.
Philadelphia: Amer