Kajian spektroskopi inframerah transformasi fourier dan mikroskop susunan elektron membran selulosa asetat dari limbah nanas

KAJIAN SPEKTROSKOPI INFRAMERAH TRANSFORMASI
FOURIER DAN MIKROSKOP SUSURAN ELEKTRON
MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI LIMBAH NANAS

ASTIKA TRESNAWATI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
ASTIKA TRESNAWATI. Kajian Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier dan
Mikroskop Susuran Elektron Membran Selulosa Asetat dari Limbah Nanas. Dibimbing
oleh BETTY MARITA SOEBRATA dan SRI MULIJANI.
Produksi nanas di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Satu buah nanas yang
dapat dikonsumsi hanya 53%-nya, sedangkan sisanya menumpuk tanpa mengalami
pengolahan. Salah satu cara pemanfaatan limbah nanas adalah dengan mengolah kulit
nanas menjadi nata de pina yang lebih lanjut dapat diolah menjadi membran.
Penelitian ini diawali dengan pembuatan nata de pina, kemudian dimurnikan dan

diperoleh serbuk nata de pina. Serbuk ini diasetilasi dengan anhidrida asetat (1:5) selama
2 jam untuk memperoleh serpihan selulosa asetat. Membran dibuat dengan melarutkan
selulosa asetat dalam larutan diklorometana, lalu dianalisis dengan spektroskopi
inframerah transformasi Fourier (FTIR) dan mikroskop elektron susuran (SEM).
Selulosa yang dihasilkan mempunyai kadar air 7.56% dan kadar á-selulosa 88.72%.
Selulosa asetat yang diperoleh mempunyai kadar asetil 43.0% (setara dengan kisaran
derajat substitusi 2.8-3.0) dengan kadar air 34.06% dan rendemen 148.33%. Spektrum
FTIR menghasilkan karakteristik pita serapan gugus C=O ester pada bilangan gelombang
1733 cm-1. Hasil SEM menunjukkan bahwa membran ini tergolong mikrofiltrasi dengan
kisaran ukuran pori 0.7-6.0 µm dan tergolong asimetrik dari pembuatannya secara
pembalikan fasa.

ABSTRACT
ASTIKA TRESNAWATI. Study of Fourier Transform Infrared Spectroscopy and
Scanning Electron Microscope of The Cellulose Acetate Membrane from Pineapple
Waste. Under the direction of BETTY MARITA SOEBRATA and SRI MULIJANI.
Pineapple production in Indonesia increases annually. Only 53% of pineapple can be
consumed and the rest is thrown away. Pineapple peel can be converted into nata de pina
to get a more valuable product. Next, nata de pina can be used as a raw material to
produce membrane.

This research begun with preparing nata de pina, purifying it to obtain the nata de
pina powder. The powder were acetylated with acetic anhydride (1:5) for 2 h, to get
cellulose acetate flakes. The membran was formed by dilluting cellulose acetate in
dichloromethane solution and analyzed with Fourier transform infrared spectroscopy
(FTIR) and scanning electron microscope (SEM).
The produced celluloce has moisture content of 7.56% and á-cellulose content
88.72%. The produced cellulose acetate has acetyl content 43.0% (similar to substitution
degree range from 2.8 to 3.0), moisture content of 34.06%, and yield of 148.33%. The
FTIR spectra has a peak with a strong intensity seen at 1733 cm-1 for ester C=O group.
The SEM picture shown that this membrane is a microfiltration membrane with a pore
size range from 0,7 to 6,0 µm and is called an asymmetric membrane based on its
preparation by inversion phase method.

KAJIAN SPEKTROSKOPI INFRAMERAH TRANSFORMASI
FOURIER DAN MIKROSKOP SUSURAN ELEKTRON
MEMBRAN SELULOSA ASETAT DARI LIMBAH NANAS

ASTIKA TRESNAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul

: Kajian Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier dan Mikroskop Susuran
Elektron Membran Selulosa Asetat dari Limbah Nanas
Nama : Astika Tresnawati
NIM : G44201077

Menyetujui:
Pembimbing I,


Pembimbing II,

Betty Marita Soebrata, S.Si, M.Si.
NIP 131694523

Dra. Sri Mulijani, M.S.
NIP 131950978

Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999

Tanggal Lulus :

Penelitian ini didanai oleh Program Hibah Kompetisi A2, Departemen Kimia,
Institut Pertanian Bogor, tahun 2005.


PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini berjudul Kajian FTIR dan
SEM Membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Hasil Fermentasi Limbah Ananas
comosus, yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2005 bertempat
di laboratorium Kimia Anorganik dan Kimia Organik, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
terselesaikannya karya ilmiah ini, di antaranya Ibu Betty Marita Soebrata, S.Si, M.Si dan
Dra. Sri Mulijani, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan
pengarahan kepada penulis, juga kepada Kak Budi Arifin, S.Si, Bapak Drs. Ahmad
Sjahriza, Bapak Muhammad Farid, S.Si, dan Bapak Rudi Heryanto, M.Si atas diskusidiskusi berharga yang berkaitan dengan penelitian ini; laboran: Pak Sawal, Om Em, Pak
Sabur, Pak Caca, dan Mba Nur; dan teman-teman seperjuangan: Andri, Ebink, Rene,
Riya, BT, Akbar, dan Atik I serta rekan-rekan satu Lab. : Daeng, Aldi, Dyah, dan Eka.
Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada keluarga: papa, mama, ceu
Ella, ceu Ira, kak Heri, ceu Wiwit, dan kang Tami atas doa dan semangat yang diberikan
kepada penulis. Ungkapan terima kasih yang terdalam juga kepada Jaka atas segala doa,
nasihat, dorongan, semangat, senyum, cinta, dan kasih sayangnya kepada penulis. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ika, Maya, Woro, Anie, dan keluarga Cinta atas
keceriaan dan persahabatan yang telah terjalin. Terima kasih kepada Steven, Yanshen dan
rekan-rekan Kimia 37, 38, dan 39 serta Keluarga Besar M20 (Mba Atin, Teh Imas, Mba

Yayu, Kak Ullie, Mba Eva, Eris, Irma, Aan, Yance, Ika, dan Geril) atas canda tawa dan
semangat yang diberikan kepada penulis.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2006

Astika Tresnawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 10 Agustus 1983 sebagai anak
keempat dari pasangan Asri Usman Tanjung dan Wahyuwati. Tahun 2001, Penulis lulus
dari SMU Negeri 5 Bengkulu, dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Departemen Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Tahun 2004, Penulis mengikuti
kegiatan Praktik Lapangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan
Radiasi–Badan Tenaga Atom Nasional (P3TIR-Batan), Pasar Jumat, dengan judul
Pemantauan Pencemaran Surfaktan di Teluk Jakarta.
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis mengikuti berbagai organisasi di kampus
IPB. Periode kepengurusan 2002/2003 menjadi staf Biro Pengembangan Organisasi,
Ikatan Mahasiswa Kimia (IMASIKA) IPB dan pada periode kepengurusan 2002-2004

menjadi staf Departemen Biokimia, Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia
(IKAHIMKI). Penulis juga menjadi asisten praktikum Kimia Dasar I, Pengantar
Biokimia, Kimia Dasar II, Kimia Organik-TPB, Biokimia II, dan Kimia Lingkungan pada
tahun ajaran 2004/2005; dan Kimia Fisik-S1 dan Kimia Fisik-D3 pada tahun ajaran
2005/2006.

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Ananas comosus .......................................................................................
Selulosa Bakteri.........................................................................................
Selulosa Asetat ..........................................................................................
Membran...................................................................................................
Karakterisasi Membran..............................................................................
Membran Selulosa Asetat ..........................................................................


1
1
2
3
4
5

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ......................................................................................... 5
Metode ..................................................................................................... 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemurnian selulosa. .................................................................................. 7
Asetilasi .................................................................................................... 8
Membran Selulosa Asetat .......................................................................... 9
Analisis FTIR ............................................................................................10
Analisis SEM ............................................................................................11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..................................................................................................13
Saran ........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................13
LAMPIRAN............................................................................................................16

DAFTAR TABEL
Halaman

1 Syarat mutu selulosa asetat ............................................................................ 2
2 Hubungan derajat substitusi selulosa asetat, kadar asetil,
dan aplikasinya. ............................................................................................ 3

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1

Struktur selulosa. ....................................................................................... 2

2

Reaksi asetilasi selulosa asetat .................................................................... 2


3

Ilustrasi penggembungan struktur selulosa .................................................. 7

4

SEM membran selulosa contoh ................................................................... 8

5

SEM membran selulosa komersial (referensi).............................................. 8

6

Membran selulosa asetat contoh.................................................................. 9

7

FTIR membran selulosa murni ...................................................................10


8

FTIR membran selulosa asetat contoh ........................................................11

9

FTIR membran selulosa asetat komersial (referensi)...................................11

10 SEM membran selulosa asetat contoh .........................................................11
11 SEM membran selulosa asetat komersial.....................................................12
12 SEM membran selulosa asetat komersial (referensi)....................................12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1

Diagram alir penelitian. ..............................................................................16

2

(a) Penetapan kadar air selulosa; (b) Penetapan kadar á-selulosa .................17

3

Penetapan kadar air dan kadar asetil selulosa asetat .....................................18

4

Data kadar air dan kadar á-selulosa.............................................................19

5

(a) Data kadar air selulosa asetat contoh dan komersial; (b) Data
kadar asetil selulosa asetat contoh dan komersial ........................................20

6.

Perhitungan rendemen selulosa asetat contoh..............................................21

PENDAHULUAN
Usaha peningkatan hasil pertanian di
Indonesia untuk mendapatkan produk yang
bernilai ekonomis tinggi telah banyak
dilakukan. Salah satunya adalah pengolahan
limbah pertanian. Limbah pertanian merupakan bagian dari produk pertanian yang
belum
banyak dimanfaatkan.
Limbah
pertanian dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku untuk menghasilkan produk yang
bernilai ekonomis tinggi.
Menurut BPS (2005), produksi nanas di
Indonesia tahun 2001, 2002, dan 2003
masing-masing mencapai 494.968 ton,
555.588 ton, dan 677.089 ton. Satu buah
nanas yang dapat dikonsumsi hanya 53%-nya
saja, sedangkan sisanya dibiarkan menumpuk
begitu saja tanpa mengalami pengolahan lebih
lanjut. Hal ini menimbulkan permasalahan
lingkungan, sehingga diperlukan upaya
pemanfaatan limbah kulit nanas. Salah satu
cara adalah dengan mengolah kulit nenas
menjadi produk nata de pina yang kemudian
dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu
membran.
Nata adalah biomassa yang sebagian besar
terdiri dari selulosa, berbentuk agar, dan
berwarna putih. Massa ini berasal dari
pertumbuhan Acetobacter xylinum pada
permukaan media cair yang asam dan
mengandung gula. Nata dapat dibuat dari
bahan baku air kelapa, sari buah nanas, dan
limbah cair pengolahan tahu (whey tahu).
Nata yang dibuat dari air kelapa disebut
dengan nata de coco, dari sari buah nanas
disebut dengan nata de pina, dan yang dari
whey tahu disebut dengan nata de soya.
Bentuk, warna, tekstur dan rasa semua jenis
nata tersebut tidak berbeda (Warintek 2005).
Penelitian nata de pina pernah dilakukan
sebelumnya oleh Susanto et al. (2000) dan
Rulianah (2002) yang membuat nata de pina
dari kulit nanas. Akan tetapi, belum
ditemukan penelitian tentang nata de pina
yang diolah lebih lanjut menjadi selulosa
asetat, seperti beberapa penelitian sebelumnya
yang pernah dilakukan tentang aplikasi dari
nata de coco dan nata de soya. Penelitian
yang dilakukan Yulianawati (2002) dan Arifin
(2004) adalah mengolah nata de coco menjadi
selulosa asetat. Safriani (2000) juga
melakukan penelitian mengubah nata de soya
menjadi produk biopolimer yang berupa film
tipis. Penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan tersebut dapat dijadikan acuan
untuk mengolah nata de pina menjadi selulosa

asetat dan lebih lanjut dapat diaplikasikan
menjadi membran.
Membran dapat ditemui pada hampir
semua industri, seperti industri tekstil,
makanan, minuman, dan lain sebagainya.
Membran mengalami proses lebih lanjut
berdasarkan pertimbangan keselarasan teknik
dan nilai ekonomisnya. Perkembangan
teknologi membran dari waktu ke waktu
semakin
meningkat
sesuai
dengan
berkembangnya berbagai metode yang
digunakan untuk mengkarakterisasinya, seperti FTIR dan SEM. SEM dapat
memperlihatkan topografi dan morfologi
membran dengan batas resolusi sampai
dengan ukuran mikrometer, sedangkan FTIR
dapat mengidentifikasi senyawa berdasarkan
informasi dalam memprediksi gugus fungsi
berupa spektrum.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
sifat membran selulosa asetat melalui analisis
FTIR dan SEM. Analisis ini bermanfaat untuk
menentukan jenis membran yang dibentuk.
Hipotesis penelitian ini adalah nata de pina
merupakan selulosa bakteri yang dapat
dijadikan bahan baku dalam pembuatan
membran selulosa asetat.

TINJAUAN PUSTAKA
Ananas comosus
Ananas comosus yang dikenal sebagai
nanas di Indonesia termasuk dalam divisi
Plantae, subdivisi spermatophyta, klas
Monocotyledonae, ordo Farinosae, famili
bromoliaceae, genus Ananas, dan spesies
comosus (Collins 1968).
Bagian dari buah nanas adalah kulit,
daging, dan hati. Kulit nanas di berbagai
industri merupakan bagian yang paling
melimpah dan tidak mengalami pengolahan
lebih lanjut. Bagian kulit inilah yang akan
digunakan pada penelitian ini.
Nanas mengandung nutrisi yang lengkap
untuk pertumbuhan bakteri A. xylinum.
Pertumbuhan A. xylinum dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pH, suhu, sumber
nitrogen, dan sumber karbon.
Selulosa Bakteri
Tahun 1886, untuk pertama kalinya
dilaporkan oleh Brown bahwa galur
Acetobacter tertentu dapat menghasilkan
pelikel putih bergelatin ekstraseluler, yang
kelak diidentifikasi sebagai selulosa bakteri

2

(BC), pada permukaan media air dalam sistem
kultur diam (Toyosaki et al. 1995). A.
xylinum, yang baru-baru ini diklasifikasi ulang
sebagai Gluconobacter xylinus, ialah jenis
Acetobacter penghasil-selulosa yang telah
banyak dipelajari (Krystynowicz dan Bielecki
2001). Unit ulang dari rantai struktur selulosa
adalah unit selobiosa. Struktur selulosa
terlihat pada Gambar 1.

Tabel 1 Syarat mutu selulosa asetat (SNI
1991)
Parameter
Kadar asetil
Kekentalan intrinsik
(pelarut aseton)
Kestabilan terhadap kalor

Persyaratan
39.0-40.0%
1.5-1.8 dl/g
Tidak terjadi pengarangan
saat dipanaskan (180ºC, 8
jam); perubahan kekentalan
intrinsik akibat pemanasan
dicantumkan

Salah satu bentuk esterifikasi adalah asetilasi
selulosa dengan menggunakan asam asetat
yang menghasilkan selulosa asetat (dapat
dilihat pada Gambar 2.

n
Gambar 1 Struktur selulosa (Fengel dan
Wegener 1989).
Kekhasan BC
Produk BC dari suatu galur Acetobacter
adalah murni secara kimiawi, yaitu bebas dari
lignin dan hemiselulosa serta produk-produk
biogenik lainnya (Masaoka et al. 1993 &
Geyer et al. 1994). Pemurnian BC dari sel-sel
bakteri di dalamnya dapat dilakukan dengan
perlakuan menggunakan NaOH 0.1 N, selama
20 menit, pada suhu 80oC (Toyosaki et al.
1995).
Selulosa Asetat
Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil per
residu anhidroglukosa. Indikator kemurnian
suatu selulosa dapat dinyatakan sebagai kadar
á-selulosa (Tanaka et al. 2000). á-Selulosa
adalah komponen polisakarida yang setelah
dilarutkan dengan NaOH 17,5% (b/v), tetap
tidak larut ketika basa diencerkan ke sekitar
8% (b/v) (Fengel dan Wegener 1989). âSelulosa adalah komponen selulosa yang larut
dalam larutan alkali, namun dapat terendap
kembali jika larutan tersebut dinetralkan,
sedangkan ã-selulosa adalah komponen
selulosa yang larut dalam larutan alkali dan
tetap larut jika larutan tersebut dinetralkan
(Etherington dan Roberts 2005). K adar á-, â-,
dan ã-selulosa dibedakan hanya dari
kelarutannya dalam NaOH.
Selulosa dapat direaksikan melalui reaksireaksi seperti esterifikasi, eterifikasi dan lainlain. Selulosa asetat yang dihasilkan harus
memenuhi syarat SNI (Tabel 1).

selulosa

selulosa triasetat

asetat anhidrida

asam asetat

Gambar 2 Reaksi asetilasi selulosa asetat
(Anonim 2005).
Selulosa asetat merupakan ester organik
selulosa yang berupa padatan tidak berbau,
tidak beracun, tidak berasa, dan berwarna
putih yang dibuat dengan mereaksikan
selulosa dengan bantuan asam sulfat sebagai
katalis (Kroschwitch 1990). Menurut Mark et
al. (1965), produk-produk yang terbuat dari
plastik selulosa asetat di antaranya adalah
gagang obeng, gagang pisau, rambu-rambu
untuk di dalam dan luar ruangan, pipa gas
alam, tombol-tombol radio dan televisi,
kemasan, jendela pada amplop, pena, pensil,
boneka, dan mainan lainnya. Aplikasi ini
bergantung pada jenis selulosa asetat yang
diperoleh yang dapat dilihat dari derajat
substitusinya. Hubungan antara aplikasi
selulosa asetat terhadap pelarut dan derajat
substitusi disenaraikan pada Tabel 2.

3

Tabel 2 Hubungan derajat substitusi selulosa
asetat, kadar asetil, dan aplikasinya
(Fengel dan Wegener 1989)
Derajat
Substitusi
0.6-0.9
1.2-1.8
2.2-2.7
2.8-3.0

Kadar Asetil (%)

Aplikasi

13.0-18.6
22.2-32.2
36.5-42.2
43.0-44.8

plastik
benang, film
kain,
pembungkus

Praperlakuan
Sebelum proses asetilasi, perlu dilakukan
tahap praperlakuan dengan memberikan
aktivasi menggunakan asam asetat glasial.
Nisbah asam asetat dan selulosa bergantung
pada selulosa dan jumlah katalis (H2SO4) yang
digunakan. Tujuan aktivasi ialah untuk
meningkatkan reaktivitasnya, sehingga memudahkan difusi asam sulfat sebagai reagen
asetilasi ke dalam serat selulosa.
Asetilasi
Proses asetilasi bertujuan mensubstitusi
gugus hidroksil selulosa dengan gugus asetil,
sehingga terbentuk selulosa asetat. Asetilasi
dilakukan dalam kondisi asam dengan
pereaksi anhidrida asetat dan katalis H2SO4.
Reaksi asetilasi adalah reaksi eksoterm,
sehingga suhu harus dijaga kurang dari 50oC,
supaya tidak terjadi degradasi rantai selulosa
dan menghindari penguapan (Kirk dan
Othmer 1993).
Proses asetilasi berlangsung selama 5-10
jam atau sampai materi larut sempurna dalam
campuran asetilasi. Selanjutnya, selulosa
asetat yang diperoleh ditentukan kadar
asetilnya, yang kemudian dapat diketahui
seberapa besar derajat substitusi gugus
hidroksil dengan asetil (Tabel 2). Arifin
(2004) melakukan asetilasi dengan modifikasi
prosedur Geyer et al. (2004), menghasilkan
selulosa asetat pada lama asetilasi 1 jam dan
kadar asetil 36.27%. Yulianawati (2002)
melakukan proses asetilasi lebih lama dari
Arifin dengan variasi waktu asetilasi 2, 4, dan
6 jam dan menghasilkan selulosa asetat
dengan perlakuan terbaik dengan lama
asetilasi 2 jam; rendemen 14.95%; dan kadar
asetil 43.90%.
Hidrolisis
Tujuan utama hidrolisis ialah untuk
menghilangkan sebagian gugus asetil dari
selulosa triester. Laju hidrolisis dikendalikan
oleh suhu dan konsentrasi katalis. Konsentrasi
katalis yang lebih tinggi akan meningkatkan
laju hidrolisis. Suhu yang biasa digunakan
pada proses ini antara 40−80oC. Kandungan

air dan asam asetat yang ditambahkan pada
saat hidrolisis bervariasi antara 20−25% dari
bobot total cairan dan bergantung pada suhu
serta produk akhir yang diinginkan (Fengel
dan Wegener 1989).
Pengendapan
Sebelum proses pengendapan, larutan
produk biasanya dicampurkan dengan asam
asetat encer bertujuan menurunkan viskositas.
Jika diinginkan endapan dalam bentuk
serpihan (flake), larutan produk dituangkan ke
dalam asam asetat encer (10−15%) yang
diaduk dengan kuat (Kirk dan Othmer 1993).

Membran
Membran adalah lapisan semipermeabel
berupa padatan polimer tipis yang menahan
pergerakan bahan tertentu (Scott dan Hughes,
1996). Menurut Osada dan Nakagawa (1992),
membran merupakan lapisan semipermeabel
yang tipis dan dapat digunakan untuk
memisahkan dua komponen dengan cara
menahan dan melewatkan komponen tertentu
melalui pori-pori. Menurut Eryan (2004),
membran adalah film tipis dari suatu material
berpori yang dapat digunakan untuk beberapa
proses pemisahan.

Klasifikasi Membran
Menurut Mulder (1996) dan Wenten
(1999), klasifikasi membran ada beberapa
macam, yaitu berdasarkan material asal,
morfologi, bentuk, dan fungsi.
Material Asal
Membran bedasarkan material dibagi
menjadi dua golongan, yaitu membran
alamiah dan membran sintetis.
Membran alamiah terdapat pada sel
tumbuhan, hewan, dan manusia, sedangkan
membran sintetis dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan sifatnya disesuaikan dengan
membran alamiah. Membran sintetis dibagi
lagi menjadi membran organik dan anorganik.
Morfologi
Berdasarkan
morfologinya
membran
dibagi menjadi dua, yaitu membran asimetrik
dan simetrik. Membran asimetrik memiliki
truktur pori tidak seragam, sedangkan
asimetrik struktur porinya seragam. Membran
dengan struktur asimetrik memiliki dua
lapisan, yaitu lapisan pendukung (ketebalan
20-100 ì m) memiliki rongga pori makin ke

4

bawah makin besar dan lapisan aktif
(ketebalan 0,2-1,0 ì m) memiliki pori yang
rapat. Menurut Scott dan Hughes (1996),
membran asimetrik menggunakan bahan
pendukung bagi lapisan aktif yang berada di
atasnya dan berfungsi untuk kebutuhan
mekanik.
Bentuk
Bentuk membran dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu membran datar dan tubular.
Membran datar memiliki bentuk melebar dan
penampang lintang yang besar. Ada beberapa
macam membran datar, antara lain membran
datar yang terdiri atas satu lembar; membran
datar bersusun, terdiri atas beberapa lembar
yang disusun bertingkat dengan menempatkan
pemisah di antara dua membran yang
berdekatan; dan membran spiral bergulung
merupakan membran yang disusun bertingkat
dan digulung dengan pipa sentral membentuk
spiral. Membran tubular terbagi menjadi tiga,
yaitu membran serat berongga (diameter 5.0
mm).
Fungsi
Ada
beberapa
macam
membran
berdasarkan fungsinya, yaitu membran
mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, osmosis balik,
dialisis, dan elektrodialisis.
Mikrofiltrasi merupakan proses pemisahan
antar partikel (bakteri, ragi) dan berfungsi
untuk menyaring makromolekul > 500.000
g/mol atau partikel berukuran 0.1-10 ì m.
Tekanan yang digunakan 0.5-2.0 atm.
Membran ini memiliki struktur asimetrik dan
simetrik.
Ultrafiltrasi merupakan proses pemisahan
antar molekul dan berfungsi menyaring
makromolekul >5000 g/mol atau partikel
berukuran 0.001-0.1 ì m. Tekanan yang
digunakan 1.0-3.0 atm. Membran ini memiliki
struktur asimetrik.
Fungsi membran osmosis balik adalah
menyaring garam-garam organik >50 g/mol
atau partikel berukuran 0.0001-0.001 ì m.
Tekanan yang digunakan, yaitu 8.0-12.0 atm.
Fungsi dari membran dialisis adalah
memisahkan larutan koloid yang mengandung
elektrolit dengan berat molekul kecil. Berbeda
dengan membran elektrodialisis
yang
berfungsi memisahkan larutan dengan
membran melalui pemberian muatan listrik.
Gaya pendorongnya adalah gaya gerak listrik.

Karakterisasi Membran
SEM
Analisis SEM merupakan metode yang
tepat untuk mengkarakterisasi membran
mikrofiltrasi. Batas resolusi mikroskop
elektron 0.01 ì m (10 nm) dan sekitar 0.005
ì m (5 nm). Prinsip SEM adalah elektron
dengan energi kinetik tinggi dipancarkan dari
sumbernya mengenai sampel membran.
Pantulan elektron ini (elektron kedua) akan
ditangkap oleh detektor, sehingga membentuk
bayangan tertentu. Tampilan permukaan
sampel
bergantung
pada
intensitas
pengukuran elektron kedua (Darwo 2003).
Teknik SEM pada hakikatnya merupakan
pemeriksaan
dan
analisis
permukaan.
Tampilan merupakan data yang berasal dari
permukaan atau lapisan yang tebalnya sekitar
20 ì m dari permukaan. Hasil foto SEM
merupakan gambar topografi dengan segala
tonjolan, lekukan, atau lubang permukaan.
Gambar tersebut diperoleh dari penangkapan
elektron sekunder yang dipancarkan oleh
spesimen melalui celah logam lensa magnetik,
membentuk cahaya monokromatik. Sinar yang
mengenai sampel menyebabkan terjadinya
interaksi yang menimbulkan pancaran
elektron baru. Sinyal elektron yang dihasilkan
ditangkap oleh detektor, kemudian diteruskan
ke monitor. Pada monitor akan diperoleh
gambar yang khas yang memperlihatkan
struktur permukaan spesimen. Selanjutnya,
gambar di monitor dapat dipotret dengan
menggunakan film hitam putih atau dapat pula
direkam ke dalam suatu disket. (Sutiani 1997).
Sebelum dianalisis dengan SEM, sampel
harus dipreparasi terlebih dahulu. Hal-hal
yang harus dipenuhi untuk menyiapkan
sampel, yaitu menghilangkan seluruh pelarut,
air, atau bahan lain yang dapat menguap
ketika di dalam vakum dan menipiskan
sampel yang akan dianalisis. Jika spesimen
merupakan suatu isolator, seperti tanaman,
kuku jari, dan keramik, maka perlu dilapisi
dengan bahan konduktor. Bahan konduktor
yang biasa digunakan adalah emas, perak, dan
aliansi emas dan paladium. Pelapisan
dilakukan dalam ruang penguapan vakum
(Sutiani 1997).
FTIR
Analisis FTIR bertujuan mengidentifikasi
senyawa organik berdasarkan pembacaan
gugus fungsi yang dimiliki berupa spektrum.
Hal ini terjadi karena senyawa tersebut dapat
menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah
inframerah dengan panjang gelombang antara

5

0.78 sampai 1000 nm atau bilangan
gelombang dari 12800 sampai 10 cm-1 (Nur
dan Adijuwana 1989). Gugus fungsi yang ada
pada rantai selulosa adalah hidroksil. Gugus
tersebut terikat pada setiap unit glukosa.
Gugus hidroksil pada selulosa tidak hanya
menentukan struktur supramolekul, tetapi juga
menentukan sifat fisika dan kimia selulosa
(Fengel dan Wegener 1989).
FTIR merupakan instrumen standar untuk
analisis
secara
kimia.
FTIR
dapat
memperlihatkan informasi dalam memprediksi dan mengidentifikasi gugus fungsi yang
ada dalam suatu senyawa. FTIR merupakan
cara yang paling mudah dan cepat untuk
melihat senyawa-senyawa kimia pada
permukaan membran. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menganalisis spektrumspektum yang dihasilkan sesuai dengan
puncak-puncak yang dibentuk dari suatu
gugus fungsi. (Anonim tt).
Membran Selulosa Asetat
Selulosa asetat merupakan salah satu
bahan dasar membran asimetrik, baik untuk
osmosis balik, ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi.
Pembuatan selulosa asetat biasanya dilakukan
dengan cara pembalikan fasa melalui proses
pencelupan (Mulder 1996).
Perkembangan
pembuatan
membran
dengan cara pembalikan fasa dilakukan oleh
Loeb dan Sourajan. Membran yang dihasilkan
sering disebut sebagai membran tipe LoebSourajan.
Membran
yang
dihasilkan
berstruktur asimetrik, terdiri atas lapisan tipis
setebal 0.02−0.05 µm didukung substrat pori
dengan ketebalan 50−100 µm.
Tahapan pembuatan membran menggunakan metode pembalikan fasa diawali dengan
pembuatan
larutan
homogen
dengan
kekentalan yang diinginkan, lalu pencetakan
larutan polimer sebagai lapisan tipis.
Selanjutnya, penguapan sebagian pelarut dari
polimer. Setelah itu, pengendapan polimer
dengan cara pencelupan. Tahap akhir adalah
perlakuan suhu untuk menyusutkan ukuran
pori. Tahapan di atas berpengaruh terhadap
penampilan akhir membran yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang diperlukan dalam
penelitian ini
ialah
starter (bakteri
Acetobacter xylinum) yang diperoleh dari

pengusaha nata de coco di daerah Cipaku
Bogor, kulit buah nenas yang diperoleh dari
limbah penjual rujak depan kampus IPB
Baranangsiang, selulosa asetat komersial
teknis, kertas pH, kertas koran, kertas saring,
karet pengikat, cuka pekat teknis 98% (v/v),
asam asetat glasial 100% (v/v), anhidrida
asetat 98% (v/v), gula pasir, pelarut
diklorometana, NaOH pelet, HCl 25% (b/b),
etanol teknis 95% (v/v), H2SO4 95-97% (v/v),
air suling, (NH4)2SO4, K2Cr2O7, Na2CO3, dan
(COOH)2.2H2O.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini ialah alat-alat gelas laboratorium, kaca
masir, pompa vakum, hot plate, oven,
penangas, pengaduk magnetik, blender
Philips, panci, pisau pemotong, wadah
fermentasi berukuran 30x20x4,5 cm3 merk
Komet Star Plastics jenis Tripoly nomor 3,
neraca analitik, sentrifus Hermle Z300
(Labnet), pengaduk magnetik, plat kaca,
pelapis ion Polaron SC 7610 Sputter Coater,
SEM LEO 4201 Oxford Link Penafet model
6599, dan FTIR-8201PC Shimadzu FTCOM1. Analisis FTIR dilakukan di laboratorium
Quality Assurance, PT Abbot, Cibinong dan
SEM dilakukan di Laboratorium SEM,
Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas
Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Metode
Diagram alir penelitian ini dapat dilihat
secara garis besar pada Lampiran 1.
Pembuatan Selulosa Bakteri (Nata de pina)
(Susanto et al. 2000)
Kulit buah nenas dihancurkan, kemudian
disaring-vakum hingga didapatkan ekstrak
sari kulit buah nenas. Lalu, ekstrak diencerkan
sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan.
Pengenceran yang digunakan pada penelitian
ini adalah nisbah ekstrak nenas:air (1:4)
dengan total larutan 600 ml. Larutan ini
direbus sampai mendidih, lalu ditambahkan
gula pasir 7.5% (b/v) sebagai sumber karbon
dan amonium sulfat 0.5% (b/v) sebagai
sumber nitrogen. Larutan dipindahkan ke
dalam wadah fermentasi dan diatur pH-nya
menjadi 4.5 dengan penambahan asam asetat
glasial. Wadah langsung ditutup dengan kertas
koran yang sebelumnya telah dipanaskan dan
diikat dengan karet, kemudian dibiarkan
selama semalam pada suhu kamar.
Penambahan inokulum sebanyak 10% (v/v)
dilakukan apabila medium telah benar-benar

6

dingin dan diinkubasikan pada suhu kamar
selama 4-5 hari.
Pemurnian Selulosa (Safriani 2000)
Nata de pina lembaran dipotong –potong
dengan ukuran sekitar 4x5 cm. Potongan nata
ini selanjutnya direbus dalam air mendidih
selama ±20 menit. Setelah itu, nata direndam
dalam larutan NaOH 1% (v/v) pada suhu
kamar selama 24 jam, kemudian dinetralkan
dengan perendaman dalam asam asetat 1%
(v/v) selama 24 jam. Produk selanjutnya
dicuci beberapa kali dengan air, kemudian
disaring-vakum untuk menarik air sampai
diperoleh lembaran nata yang tipis. Lembaran
ini dikeringkan pada suhu kamar selama 1-2
hari. Nata de pina kering selanjutnya
dihancurkan dengan menggunakan blender,
sehingga berbentuk serbuk yang berukuran 40
mesh. Serbuk nata de pina kering ini
selanjutnya diuji kadar air dan kadar áselulosa (Lampiran 2).
Pembuatan Selulosa Asetat
Pembuatan selulosa asetat pada penelitian
ini merupakan modifikasi prosedur pembuatan
selulosa asetat yang dilakukan oleh Arifin
(2004). Prosedur pembuatan selulosa asetat
sebagai berikut:

Praperlakuan
Selulosa yang dihasilkan dari tahap
pemurnian sebanyak 0,9 gram dicampurkan
dengan 100 ml asam asetat glasial di dalam
botol bertutup ganda, lalu dikocok dengan
shaker (200 rpm, 20 menit) dengan
pengadukan kuat beberapa menit pertama.
Selanjutnya, selulosa disaring-vakum dan
diperas sekuat mungkin. Perlakuan ini
dilakukan duplo. Hasil perasan yang kedua
dikembalikan ke dalam botol bertutup ganda
dan direndam dalam 50 ml asam asetat glasial
murni selama 3 jam pada suhu kamar. Botol
dikocok dengan shaker (200 rpm). Setelah 3
jam, selulosa disaring-vakum dan diperas
sekuat mungkin.

Asetilasi
Asam asetat glasial 95% dan H2SO4 9597% ditambahkan pada selulosa hasil aktivasi
dengan perbandingan 100:1 (10.1 ml).
Campuran diaduk kuat selama 1 menit.
Anhidrida asetat 98% ditambahkan dengan
nisbah 1:5 tetes demi tetes, kemudian diaduk

dalam penangas bersuhu 40oC. Larutan
dibiarkan selama 2 jam dalam penangas
bersuhu 40 oC. Waktu 2 jam dihitung sejak
ditambahkannya anhidrida asetat 98%.
Hidrolisis
Setelah proses asetilasi, campuran air dan
asam asetat glasial (2:1) sebanyak 2,4 ml
ditambahkan ke dalam larutan hasil asetilasi
dan dilakukan pengadukan pada beberapa
menit pertama. Larutan dibiarkan pada suhu
40 oC selama 30 menit dihitung sejak
ditambahkannya asam asetat encer.
Pemurnian
Larutan hasil hidrolisis dipisahkan
menggunakan sentrifus selama 15 menit
dengan kecepatan 4000 rpm untuk
memisahkan
kotoran
sisa
asetilasi.
Selanjutnya, supernatan dituang ke dalam 500
ml air destilasi yang diaduk kuat dengan
pengaduk magnetik. Endapan yang terbentuk
disaring vakum. Serbuk selulosa asetat ini
dinetralkan pH-nya dengan NaHCO3 1 N, lalu
dicuci dengan air destilata. Hasil produk
selulosa asetat ini selanjutnya dimasukkan ke
dalam gelas piala yang telah diketahui bobot
kosongnya, lalu dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu ±50 °C selama 24 jam. Produk
selulosa asetat yang dihasilkan selanjutnya
dianalisis kadar air dan kadar asetilnya
(Lampiran 3), lalu dihitung rendemennya
dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
(1-M2) (W3 – W2)
Rendemen (%) = ----------------------- x 100%
C(1-M1)W1
dengan: W1 = bobot contoh uji (gram)
M1 = kadar air contoh uji (%)
C = kadar á-selulosa (%)
W2 = bobot gelas piala (gram)
W3 = bobot gelas piala+selulosa
asetat kering (gram), dan
M2 = kadar air selulosa asetat (%).
Pembuatan Membran Selulosa Asetat
Pembuatan membran dilakukan dengan
metode pembalikan fasa. Tahap pertama
diawali dengan pembuatan larutan polimer
selulosa asetat. Larutan polimer ini terdiri dari
selulosa asetat 14% (b/v) dan pelarut. Larutan
diaduk dengan pengaduk magnetik sampai
homogen. Larutan polimer dicetak sebagai
lapisan tipis di atas plat kaca yang telah diberi
selotip di kedua sisinya dengan tujuan

7

membuat membran dengan ketebalan yang
sama, selanjutnya sebagian pelarut dari
polimer
diuapkan.
Polimer
kemudian
diendapkan dengan cara pencelupan dalam
air. Membran dianalisis dengan FTIR dan
SEM.
Karakterisasi Membran
SEM
Suatu silinder logam steril yang
diameternya lebih besar daripada ukuran
contoh, direkatkan menggunakan double-tip.
Penutup sisi lain double-tip diungkit, lalu
contoh dengan ukuran 1x1 cm direkatkan.
Silinder diletakkan ke dalam pelapis ion untuk
divakum selama 3 jam dengan tekanan 0.1
mbar. Setelah 3 jam, contoh dilapisi dengan
logam Pt-Au menggunakaan pelapis ion, lalu
difoto dengan instrumen.
FTIR
Contoh
membran
yang
berbentuk
lembaran dipotong dengan ukuran 3x1,5 cm.
Contoh dijepit dengan pinset, lalu diletakkan
ke dalam tempat contoh. Tempat contoh itu
dimasukkan ke dalam instrumen yang telah
dipanaskan terlebih dahulu selama 15 menit,
lalu lampu dinyalakan tepat mengenai sampel,
dengan bilangan gelombang diatur pada 4004000 cm-1.

dibandingkan dengan hasil kadar air
Yulianawati (2002) dan Arifin (2004). Faktor
penyebab perbedaan nilai kadar air ini adalah
kondisi suhu pengeringan yang berbeda. Nilai
ini juga dianggap cukup tinggi. Kadar air yang
rendah dapat meningkatkan reaktivitas
selulosa karena gugus hidroksil dalam air
lebih reaktif daripada gugus dalam selulosa.
Jadi, untuk mendapatkan tingkat reaktivitas
yang tinggi dibutuhkan kadar air yang rendah,
sehingga proses substitusi dapat berlangsung
dengan baik.
K adar á-selulosa dapat ditingkatkan
dengan ekstraksi menggunakan alkali
Semakin tinggi kadar á-selulosa, maka
semakin efektif alkali yang digunakan.
Konsentrasi alkali yang digunakan dalam
pemurnian ini adalah NaOH 1%. Terjadinya
penggembungan struktur selulosa (swelling
process) dikarenakan perendaman dalam
NaOH 1% (b/v). Lalu, penetralan dengan
asam asetat 1% akan membuat serat-serat
selulosa menjadi lebih terbuka. Proses ini
dinamakan merserisasi (Munk 1989). Struktur
selulosa yang menggembung merupakan
proses perubahan ikatan hidrogen dalam
struktur selulosa. Awalnya, ikatan yang terjadi
adalah ikatan hidrogen antara selulosa dan
selulosa, kemudian berubah menjadi ikatan
hidrogen antara selulosa dan air. Ilustrasi
penggembungan struktur selulosa dapat dilihat
pada Gambar 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemurnian Selulosa
Nilai kadar á-selulosa yang diperoleh
dalam percobaan ini adalah sebesar 88.72%
dan kadar airnya sebesar 7.56% (Lampiran 2).
Persentase yang lainnya diperkirakan abu dan
â- serta ã-selulosa. á-Selulosa dapat
terdegradasi menjadi â-selulosa. Bila kadar áselulosa menurun, maka beberapa á-selulosa
telah terdegradasi menjadi â-selulosa. Akan
tetapi, â-selulosa dapat larut kembali dengan
peningkatan
konsentrasi
alkali
yang
digunakan (Arifin 2004). Nilai ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kadar á-selulosa
yang dihasilkan Yulianawati (2002) dan
Arifin (2004). Faktor utamanya kemungkinan
besar adalah kondisi pengeringan yang
berbeda. Nata de pina pada penelitian ini
disaring-vakum terlebih dahulu, kemudian
dikeringkan pada suhu kamar, sehingga tidak
terjadi degradasi rantai selulosa akibat
pemanasan pada suhu tinggi.
Kadar air selulosa yang diperoleh sebesar
7.56%. Nilai kadar air ini jauh lebih tinggi

Gambar 3 Ilustrasi penggembungan struktur
selulosa (Fengel dan Wegener
1989)
Struktur selulosa yang menggembung dapat
meningkatkan aksesibilitas gugus hidroksil
pada selulosa, sehingga proses penetrasi
pereaksi ke bagian dalam selulosa menjadi
lebih mudah. Hal ini dapat ditegaskan melalui
pengamatan dengan mikroskop elektron
transmisi (TEM) karena dengan SEM dapat
melihat
struktur
permukaannya
saja,
sedangkan TEM dapat menunjukkan struktur
membran tersebut hingga ke bagian dalam.
Gambar
4
menunjukkan
struktur
permukaan membran selulosa contoh,
sedangkan Gambar 5 menunjukkan foto SEM
selulosa komersil yang diperoleh dari

8

referensi (Meenakshi et al. 2002). Gambar 4
dan 5 menunjukkan keberadaan struktur serat
yang dihasilkan dari rantai selulosa. Jika
kedua gambar ini dibandingkan (dengan
pembesaran yang sama) akan memperlihatkan
struktur permukaan membran dengan seratserat yang berbeda. Struktur permukaan pada
membran selulosa contoh tidak begitu jelas
karena kemungkinan besar struktur selulosa
yang dianalisis terlalu rapat. Hasil analisis
SEM
hanya
memperlihatkan
bagian
permukaan membran, sehingga tidak dapat
dilihat struktur bagian dalam membran yang
diduga tidak sama kerapatannya dengan
bagian permukaan.

disebabkan sumber selulosanya berbeda. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Safriani
(2000) bahwa perbedaan selulosa dapat dilihat
dari sumber selulosa yang digunakan.
Membran selulosa contoh berasal dari selulosa
bakteri, sedangkan
membran selulosa
referensi berasal dari selulosa tanaman. Seratserat dari membran selulosa referensi terlihat
jauh lebih halus dibandingkan dengan seratserat pada membran selulosa contoh. Menurut
Geyer et al. (1994), selulosa yang bersumber
dari bakteri akan menghasilkan pita-pita fibril
yang jauh lebih halus daripada selulosa yang
bersumber dari tanaman.
Asetilasi

Gambar 4 SEM membran selulosa contoh.

Gambar 5 SEM membran selulosa referensi
(Meenakshi P et al. 2002).
Selulosa yang telah direndam dalam NaOH
selama 24 jam yang dilanjutkan penetralan
dengan asam asetat selama 24 jam akan
membuat permukaan selulosa menggembung.
Terlalu rapatnya struktur permukaan ini
mungkin disebabkan oleh konsentrasi NaOH
yang terlalu kecil.
Struktur permukaan SEM membran
selulosa contoh berbeda dengan struktur
permukaan membran selulosa referensi

Reaksi asetilasi diawali dengan aktivasi
selulosa menggunakan asam asetat glasial
sebanyak 50 ml selama 3 jam pada suhu
ruang. Asam asetat ini akan menggembungkan serat selulosa. Penggembungan serat
selulosa akan mengurangi ikatan hidrogen
intramolekul antara selulosa dan selulosa yang
dapat mempercepat difusi pereaksi asetilasi,
yaitu anhidrida asetat. Reaksi esterifikasi yang
terjadi berupa penggantian satu, dua, atau tiga
gugus hidroksil dari unit glukosa dengan
gugus asetil dari asam anhidrida. Selama
berlangsungnya reaksi, dibentuk ikatan-ikatan
hidrogen baru antara gugus hidroksil asam
asetat dan gugus hidroksil selulosa.
Selulosa yang telah diaktivasi diperas
sekuatnya dan divakum, sehingga benar-benar
bebas air. Kadar air selulosa memengaruhi
terhadap jalannya reaksi esterifikasi. Reaksi
asetilasi bersifat reversibel, sehingga kadar air
selulosa
yang
terlalu
tinggi
akan
menyebabkan hasil reaksi yang diinginkan
tidak tercapai. Kadar air juga akan
berpengaruh terhadap anhidrida asetat. Kadar
air yang terlalu banyak akan mengakibatkan
laju hidrolisis selulosa asetat lebih cepat
daripada substitusi.
Suhu asetilasi yang digunakan pada
penelitian ini adalah 40°C. Suhu asetilasi
harus dijaga di bawah 50°C, sehingga
penambahan anhidrida asetat dilakukan tetes
demi tetes. Volume peraksi asetilasi yang
digunakan adalah 4.5 ml dengan nisbah bobot
á-selulosa dan volume anhidrida asetat adalah
1:5. Volume pereaksi sebaiknya tidak
digunakan terlalu banyak karena proses akan
menjadi tidak ekonomis.
Aksesibilitas gugus hidroksil selulosa
yang tinggi akan mempermudah anhidrida
asetat masuk ke dalam serat-serat selulosa.
Aksesibilitas yang tinggi dapat dilihat dari

9

kadar asetil yang tinggi. Derajat substitusi
adalah jumlah rerata atom H pada gugus
hidroksil, yang diubah menjadi gugus asetil,
dalam setiap residu anhidro-glukosa (Arifin
2004). Kadar asetil yang diperoleh pada
penelitian ini sebesar 43.0% (Lampiran 5b)
yang setara dengan kisaran derajat substitusi
2.8-3.0 (Tabel 2). Jenis selulosa asetat yang
diperoleh adalah selulosa triasetat. Reaksi
yang terjadi pada selulosa triasetat ini diduga
mendekati dengan reaksi yang disenaraikan
pada Gambar 2 yang juga menghasilkan
selulosa triasetat.
Kadar asetil selulosa asetat contoh tidak
memenuhi syarat selulosa asetat yang
ditetapkan oleh SNI (Tabel 1). Hal ini berarti
proses hidrolisis yang dilakukan saat
pembuatan selulosa asetat kurang lama.
Hidrolisis berfungsi mengurangi sebagian
gugus asetil, sehingga diharapkan selulosa
asetat yang diperoleh mempunyai nilai kadar
asetil seperti yang ditetapkan oleh SNI. Kadar
asetil yang tinggi menunjukkan aksesibilitas
gugus hidroksil yang tinggi. Walaupun
struktur permukaan membran selulosa cukup
rapat, namun diperkirakan proses merserisasi
yang terjadi pada bagian dalam membran
cukup besar. Proses merserisasi menghasilkan
penggembungan serat-serat selulosa sampai
ke daerah kristalin, sehingga pereaksi dapat
berpenetrasi dengan mudah ke bagian dalam
selulosa. Hal ini berarti nilai kadar asetil yang
tinggi dihasilkan oleh gugus hidroksil di
bagian dalam membran.
Kadar air selulosa asetat yang diperoleh
sebesar 34.06% (Lampiran 5a) dan rendemen
yang diperoleh sebesar 148.33% (Lampiran
6). Sebagai perbandingan ditetapkan juga
kadar asetil dan kadar air selulosa asetat
komersial masing-masing sebesar 11.51% dan
39.87% (Lampiran 5). Kadar asetil selulosa
asetat komersil ini sesuai dengan yang
ditetapkan oleh SNI (Tabel 2). Penentuan
kadar air selulosa asetat dapat digunakan
untuk perhitungan rendemen dan kadar asetil.
Nilai kadar air selulosa asetat ini berbeda jauh
dari kadar air selulosa asetat yang diperoleh
Arifin (2004). Kondisi asetilasi yang tidak
sama pada setiap tahapnya dapat menjadi
faktor perbedaan kadar air. Selain itu, faktor
waktu dan suhu proses pengeringan selulosa
asetat juga diduga menjadi sebab utama dari
nilai kadar air selulosa asetat yang tinggi.

Membran Selulosa Asetat
Pembuatan membran selulosa asetat
dilakukan dengan pembalikan fasa. Tahap
pencetakan dilakukan di atas pelat kaca
dengan
gelas
pengaduk,
sehingga
dimungkinkan membran yang dihasilkan
mempunyai ketebalan yang tidak sama di
setiap sisinya. Selulosa asetat yang diperoleh
membentuk lembaran plastik berwarna putih
seperti terlihat pada Gambar 6. Selulosa asetat
yang dihasilkan larut baik dalam pelarut
diklorometana
dan
dimetilsulfoksida
(DMSO), tetapi tidak larut dalam aseton.

Gambar 6 Membran selulosa asetat contoh.
Konsentrasi selulosa asetat yang digunakan
pada saat pelarutan membran adalah 14%
(b/v), yang telah dioptimasi oleh Yulianawati
(2002). Selulosa asetat dengan kisaran derajat
substitusi 2.8-3.0 berarti mempunyai lebih
banyak gugus asetil dibandingkan dengan
gugus hidroksilnya. Banyaknya gugus asetil
ini akan membuat sifat nonpolar dari selulosa
asetat lebih dominan dibandingkan dengan
sifat polarnya, sehingga selulosa asetat ini
larut baik dalam diklorometana dibandingkan
dengan aseton. Membran selulosa asetat yang
larut dalam diklorometana dapat diaplikasikan
sebagai kain dan pembungkus (Tabel 2).
Hasil larutan selulosa asetat yang
diperoleh dalam pelarut diklorometana adalah
homogen, sehingga mempermudah dalam
pencetakan membran. Proses pengocokan
membran yang tidak homogen akan
menyebabkan terperangkapnya gelembunggelembung udara pada larutan cetak yang
akan menyebabkan membran berlubang atau
permukaan membran tidak merata (Darwati et
al. 2002).

10

Analisis FTIR

% Transmitan

Pembuktian membran selulosa asetat ini
menggunakan analisis FTIR. Analisis FTIR
ini juga dapat membuktikan bahwa gugus
hidroksil telah tersubstitusi oleh gugus asetil
melalui reaksi asetilasi. Spektrum FTIR dari
membran selulosa murni dan membran
selulosa asetat contoh dapat dilihat pada
Gambar 7 dan 8. Perbedaan kedua spektrum
FTIR ini terletak pada daerah bilangan
gelombang 1733.9 cm-1 yang diidentifikasi
sebagai gugus C=O ester. Hal tersebut
menunjukkan bahwa membran selulosa telah
diasetilasi. Spektrum FTIR selulosa asetat
referensi (Meenakshi et al. 2002) dapat dilihat
pada Gambar 9 yang dapat digunakan sebagai
perbandingan.
Spektrum FTIR membran selulosa asetat
contoh (Gambar 8) memperlihatkan pita
serapan pada beberapa bilangan gelombang.
Menurut Shriner et al. (2004), karakteristik
vibrasi ulur gugus hidroksil terlihat pada
daerah bilangan gelombang 3700-3100 cm-1.
Gugus -OH yang dihasilkan ini diduga adalah
gugus hidroksil dari selulosa yang tidak
tersubstitusi oleh gugus asetil. Pernyataan ini
didukung oleh hasil penetapan kadar asetil,

yaitu sebesar 43.0%, setara dengan kisaran
derajat substitusi 2.8-3.0, yang berarti belum
semua gugus hidroksil dari selulosa
tersubstitusi oleh gugus asetil dari anhidrida
asetat. Hasil spektrum FTIR membran
selulosa asetat (referensi) (Gambar 9)
mempunyai derajat substitusi 2.5 (Meenakshi
et al. 2002), yang juga berarti masih ada
gugus hidroksil yang belum disubstitusi,
sehingga menghasilkan karakteristik pita
serapan gugus hidroksil pada daerah bilangan
gelombang sekitar 3500 cm-1. Serapan pada
daerah bilangan gelombang 1750-1730 cm-1
adalah untuk vibrasi ulur C=O terlihat dengan
puncaknya yang tajam dan pada daerah 13001000 cm-1 untuk vibrasi ulur C-O pada puncak
1218 cm-1. Gugus fungsi yang dimiliki oleh
spektrum FTIR membran selulosa asetat
contoh menyerupai gugus fungsi yang
dimiliki spektrum FTIR membran selulosa
asetat referensi. Hal ini berarti bahwa proses
asetilasi membran selulosa menjadi selulosa
asetat dapat dikatakan berhasil. Serapan
lainnya ada pada daerah panjang gelombang
1370-1450 cm-1 untuk vibrasi ulur -CH dan
pada daerah 2944 cm-1 untuk vibrasi ulur
–CH3.

Bilangan gelombang

Gambar 7 Spektrum FTIR membran selulosa.

% Transmitan

11

Bilangan gelombang

% Transmitan

Gambar 8 Spektrum FTIR membran selulosa asetat contoh.

Bilangan gelombang

Gambar 9 Spektrum FTIR membran selulosa asetat (referensi) (Meenakshi P
et al. 2002).

Analisis SEM
Hasil gambar SEM membran selulosa
asetat contoh (Gambar 10) memperlihatkan
struktur permukaan pori yang tidak seragam.
Struktur permukaan yang terlihat pada Gam-

bar 10 jauh berbeda dengan Gambar 11
(SEM selulosa asetat komersial). Struktur
permukaan membran selulosa asetat contoh
menghasilkan bagian gambar yang lebih
gelap dari lainnya. Hal ini diperkirakan
sebagai bagian sisi membran yang
lapisannya lebih tebal dari yang lainnya.

12

Pori membran pada bagian ini tidak begitu
jelas disebabkan lapisan yang terlalu tebal.

Gambar 10 SEM membran selulosa asetat
contoh.
Lapisan membran
yang mempunyai
ketebalan yang tidak sama pada setiap
sisinya disebabkan proses pembuatan
membran ini secara manual menggunakan
gelas pengaduk untuk membuat permukaan
membran rata. Penetapan kisaran ukuran
pori membran selulosa asetat contoh diukur
dari pori yang paling besar dan pori yang
paling kecil, yaitu pori dengan kisaran
ukuran 0.7-6.0 µm, karena diameter pori
yang terlihat pada permukaan membran
beragam.
Berdasarkan kisaran ukuran porinya,
membran selulosa asetat ini dapat
digolongkan sebagai membran mikrofiltrasi.
Membran mikrofiltrasi dapat digunakan
pada proses pemisahan larutan garam,
penjernihan sari buah, dan juga mempunyai
permeabilitas yang tinggi terhadap air
(Anonim tt). Kisaran ukuran diameter pori
membran selulosa asetat contoh ini cukup
besar karena pori yang terdapat pada
membran
besarnya
tidak
seragam.
Kemungkinan
membran
ini
untuk
diaplikasikan sesuai dengan kegunaannya
yang disenaraikan pada Tabel 2, yaitu
sebagai kain dan pembungkus, adalah kecil.
Hal ini mengakibatkan kegagalan yang akan
terjadi cukup besar karena ukuran diameter
porinya akan menyebabkan beberapa materi
yang diharapkan dapat ditahan, tetapi dapat
dil