Pengolahapan Emping Garut Sebagai Salan Satu Bentuk Penganekaragaman Pangan Dalam Rangka Mendukung Kegiatan Industri Rumah Tangga

Prosiding Seminar Nasional Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembangan lndustri Berbasis Pertanian

PENGOLAIPAN EMPING GARUT SEBGGAI SALAN SATU BENTUK
fENGANEKARAGAMAN PANGAN DALAM M N G K A MENDUKUNG
MEGIATAN lNDUSTRl RUMAW TANGGA
Titiek F. Djaafar, Siti Rahayu d a n Murwati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Tanaman garut (Marantha arundinacea L) atau kerut (Jawa Barat) atau irut (Jawa Timur) atau rare
(Minangkabau) dapat dijumpai di seluruh Indonesia. Akar tanaman garut atau yang dikenal
sebagai umbi garut berwarna putih, panjang mencapai 10-30 cm, diameter 2-5 cm dan dibungkus
daun-daun sisik berwarna kecoklatan. Selain diambil patinya, umbi garut dapat diolah menjadi
emping garut. Pengolahan emping garut bertujuan untuk pemanfaatan umbi garut dan
penganekaragaman rasa emping garut. Pengolahan emping garut meliputi pengupasan dan
pencucian, pernotongan melintang, perebusan dengan bumbu, pemipihan, pengeringan dan
pengemasan. Emping garut mentah berwama putih bening kekuningan dan terlihat jelas seratnya.
Emping garut memiliki keunggulan yaitu tidak mengandung koiesreroi dengan indeks glisemik 14.
Emping garut yang paling disukai konsumen adalah emping garut yang diberi bumbu 1,5 % gararn
dan 2 % bawang putih. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini sudah berkembang industri
olahan ernping garut berskala industri rumah tangga,
Kata kunei : emping garut, industri rumah tangga.


The arrowroot crop ( Marantha arundinacea L) or kerut ( West Java) or irut ( East Java) or rare
(Ninangkabau) can be met in Indonesia. The root of arrowroot which is known as tuber arrowroot
that white color, the length reach 10-30 cm, diameter 2-5 cm and wrapped by thin leaves that
brown color. Besides taken starch, arrowroot can be the arrowroot's chip. The processing of
arrowroot's chip was aim to the exploiting of anowroot'stuber and diversification of arrowroot's
chip taste. The processing of arrowroot's chips were peeling and washing, cutting, boiling with the
spices, Ili~tting,tlryiny and pitcki~gittg.'I'lle riiw o f i~rrowroot'schip t11it1 white Irtttispiimt~t c o l o ~ ,
and fibre was seen. l'he taste of arrowroot's chip was exceiietice that did not contain cholzsteroi
with the glycemic index 14. The arrowroot's chip which gave salt (1,5 %) and garlic (2 %) was
liked by consumer. This time in Daerah Istimewa Yogyakarta, have expanded the industry of
arrowroot's chips that home industry scale..

Keywords :arrowroot's chips, home industry.

PENDANULUAN
Pemaniapan ketal~anan pangan tlasional yang mcigadi salal~ satu prograrn
pembangunan
pertanian
diupayakan

pada
peningkatan
diversifikasi
atau
penganekaragarnan pangan. Penganekaragaman pangan ini dianggap berhasil apabila
terjadi peningkatan investasi pada berbagai proses industrialisasi seperti investasi di
bidang budidaya, pengolahan dan distribudi pangan yang berbasis pada potensi lokal.
Keberhasilan ini dapat ditunjukkan dengan peningkatan keanekaragaman produksi bahan
pangan dan peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan. Bangsa Indonesia memiliki

Boioi Besor Penelition don Pengembangon Pascopanen Pertanian

549

Prosiding Semfnor Nosional Teknologi lnovotif Poscaponen untuk Pengembangon lndustri Berbosis Pertonian

&

?


berbagai sumber pangan lokal baik sumber pangan karbohidrat non beras maupun protein
yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Usaha penganekaragaman pangan telah dilakukan sejak tahun 1950-an melalui
Panitia Perbaikan Makanan Rakyat; kemudian pada tahun 1963 dikembangkan Usaha
Perbaikan Cizi Keluarga; selanjutnya tahun 1974 dikeluarkan Inpres No. 14 tentang
Perbaikan Menu Makanan Rakyat yang kemudian disempurnakan dengan Inpres No. 20
Tahun 1979 tentang Program Diversifikasi Pangan dan Gizi. Usaha-usaha tersebut
diaktualisasikan kembali mefalui Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Propenas
yang menetapkan Progrm Peningkatan Ketahanan Pangan (Anonim, '2003). Namun
usaha yang sudah dilakukan tersebut belum mampu mengubah pola konsumsi masyarakat
Indonesia yang rnasih tergantung pada beras dan terigu. Untuk mengatasi permasalahan
yang tirnbul dalarn program diversifikasi pangan, maka upaya penganekaragaman pangan
periu dikaitkan dengan sasaran penurunan konsumsi beras per kapita yang saat ini
mencapai 125 kgkapitdtahun. Padahal berdasarkan Pola Pangan Marapan Nasional,
standar konsumsi beras hanya sebesar 109,5 kg/kapita/tahun sesuai jumlah kaiori yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia (Anonim, 2000). Untuk itu, pangan sumber karbohidrat
non beras yang dikembangkan harus kompetitif dalam hal citarasa, citra (image) dan
l~argaterhadap pangan dari beras. Sehubungan dengan itu, peran industri pengolahan
pangan dalam pengembangan produk olahm menjadi sangat penting (Suryana, 2003).
Industri pengolahan yang berkembang di pedesaan merupakan industri kecil

berskala rumah tangga yang sangat lemah dalam berbagai bidang antara lain teknologi,
daya tawar, temasuk aset permodalan. Oleh karena itu, pengembangan industri di
pedesaan perlu didukung dengan pendampingan penerapan teknologi pengolahan yang
inovatif, sederhana dan dapat diterima oleh masyarakat pedesaan. Tanaman garut yang
merupakan tanaman pangan lokal dapat kita jumpai harnpir diseluruh wilayah di
Indonesia. Umbi garut yang merupakan hasil dari tanaman garut, berpotensi
dikembangkan sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat.

TANA

GARUT DAN UMBINUA

Tanaman garut bukan merupakan tanaman asli Indonesia tetapi berasal dari
daerah Amerika tropik yang kemudian menyebar ke daerah tropik lainnya. Daerah
penyebarannya rnerata meliputi India, Indonesia, Srilangka, Wawai, Filipina, Australia,
dan St. Vincent. Di daerah St. Vincent dan Brazil, tanaman ini sudah dibudidayakan
secara lugs dan intensif karena garut dari daerah ini rnerupakan komoditsls ekspor
khususnya dalam bentuk pati garut. Tanaman garut di St. Vincent telah diusahakan secara
komersial. Sekitar 95 % kebutuhan dunia dipasok negara tersebut. Negara pengekspor
garut di kawasan Asia Tenggara adalah Filipina (Anonim, 199th). Di Indonesia sendiri,

tanaman garut dapat dijumpai di berbagai tempat, yaitu di Jawa Timur, Vogyakarta, Jawa
Barat $an tempat-tempat lainnya.
Tanarnan garut ( M a r a ~ t h aarundinmea L.) termasuk balam fami 1ia Maranfama.
Tanarnan ini merupakan suatu jenis herba, tegak, berumpun dan merupakan tanaman
tahunan. Tinggi tanaman mencapai 1,0 - 1,5 m, dengan batang berdaun dan mempunyai
percabangan menggarpu. Tanarnan garut dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan
ketinggian tempat serta di bawah naungan (Arirnbi, 1998).
Akar garut atau yang dikenal dengan umbi garut benvarna putih, panjangnya
mencapai 10 - 30 cm, diameter 2 - 5 cm dan dibungkus oleh daun-daun sisik yang
b e w a r ~ akecoklatan (Anonim, 1998b). Sebagai sumber karbohidrat, komposisi umbi
garut sangat didominasi oleh karbohidrat terutama pati. Bahan segar yang baru saja
dipanen mengandung gati antara 20 - 35 %, dengan kandungan air yang sangat tinggi.

550

Bolui Besor Penelitfan dun Pengembongon Pascaponen Pertanion

Prosiding Seminar Nasional Teknologi lnovatif Pascapanen untuk Pengembangan lndustri Berbasis Pertanian

Hal ini menyebabkan umbi mudah mengalami kerusakan mikrobiologis. Komposisi kimia

utnbi garut disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut
Komponen
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Serat kasar
Surnber : Malimud, et al. (1990).

Jurnlah (%)
7330
1,20
1,OO
0,20
24,lO
1,70

Selain sebagai sumber karbohidrat, umbi garut juga rnemiliki manfaat kesehatan

terutama bagi penderita diabetes atau penyakit kencing manis yang merupakan penyakit
yang disebabkan oleh terlalu tingginya kadar gula darah, Umbi garut memiliki indeks
glisemik yang rendah. Indeks glisemik merupakan ukuran yang menyatakan kenaikan
gula darah setelah seseorang mengkonsumsi makanan yang bersangkutan. Semakin tinggi
indeks glisemik berarti semakin tidak baik (Truswell, 1992). Pada Tabel 2, disajikan
indeks glisemik umbi garut dan beberapa umbi lainnya.
Tabel 2. Indeks glisemik urnbi-umbian.
Jenis umbi
Garut
Gembili
Kimpul
Ganyong
Ubijalar
Sumber : Marsono (2000).

Indeks glisemik
14
90
95
105

179

Pembuatan emping garut merupakan salah satu upaya diversifikasi olahan umbi
garut. Selain itu dengan mengolah umbi garut menjadi emping dimaksudkan untuk
menumbuhkan kegiatan industri mmah tangga di pedesaan dan meningkatkan nilai
tambah serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat pedesaan.
Emping garut yang dikembangkan saat ini berbentuk bulat seperti emping mlinjo.
Sedangkan pada jaman dulu, umbi garut yang diolah menjadi emping dalam keadaan utuh
dan tidak dikupas kulitnya sehingga apabiia dimakan terasa berserat (Djaafar dan Rahayu,
2003). Adapun cara pembuatan ernping sebagai berikut :

Umbi garut sebelum dicuci dikupas kulit arinya, kemudian dicuci untuk
membersihkan umbi garut dari kotoran dan tanah yang menempel pada umbi garut

Baloi Besar Penelition don Pengembongan Pascapanen Pertanian

55 1

'


Prosfding Sernfnm Nosionol Teknologi lnovotif Pascoponen untuk Pengembangon lndustri Berbmls Pertonion

Pelnotongan
Umbi garut yang sudah dicuci bersih, dipotong melintang setebal ruas (* 1 cm).

Perebusan dimaksudkan untuk memasak umbi garut agar lunak sehingga mudah
.dipipihkan. Perebusan dilakukan dengan penambahan bumbu dalam air rebusan. Selama
perebusan ini akan terjadi proses gelatinisasi pati yang dikandung umbi garut. Hal ini
akan menyebabkan umbi garut menjadi kenyal dan tidak hancur pada saat dipipihkan.
Perebusan dilakukan kurang lebih 1 jam (tergantung banyaknya umbi yang direbus).

Umbi garut setelah direbus, dipipihkan. Pemipihan dilakukan langsung di atas
plastik lembaran. Pemipihm dilakukan dengan cara meietakan potongan umbi garut satu
per satu di atas lembaran plastik kemudian dipukul dengan d a t pemukul yang terbuat dari
besi atau kayu (gmden). AIat pemukul tersebut sebaiknya dibungkus plastik supaya tidak
lengket pada umbi selarna proses pemipihan.

Pengeringan atau penjemuran langsung dengan menggunakan plastik lembaran
yang di pakai sebagai alas untuk memipihkan umbi garut seperti menjemur pakaian.
Setelah agak kering, emping dilepas dari plastik dan dipindahkan ke nyirdpara-para

untuk pengeringan selanjutnya hingga kering.

Emping garut dapat dijual dalam bentuk mentah maupun matang (digoreng).
Emping garut sebelum dipasarkan dikemas dalam kantong plastik sebanyak 500 - 1000
gram per kantong. Kantong plastik sebaiknya diberi label sesuai ketentuan yang
dianjurkan oleh Departemen Kesehatan sehingga menarik pembelikonsumen. Tujuan
pengemasan selain untuk menarik pembelikonsumen juga berguna untuk mengawetkan
emping gamt, menjaga kebersihan dan mempemudah transportasi dan distribusi. Bahan
pengemas emping garut dari bahan plastik yang memenuhi standar mutu (ketebalan 0,8
mm) dan diberi label yang menarik (Heid dan Joslyn, 1967; Anonim, 2001; Puwaningsih
et al., 2003).
Emping garut merupakan salah satu bentuk olahan umbi garut. Komposisi kimia
:mping garut dapat dilihat dalam Tabel 3. Emping garut mentah benvarna putih bening
kekuningan dan terlihat jelas serat umbinya. Emping garut dapat dijadikan carnilan,
sebaiai makanan ringan pendamping minum teh, pada resepsi maupun acara-acara resmi
lainnya.
Emping garut memiliki keunggulan, yaitu tidak mengandung kolesterol (0,0 %).
Dengan demikian, emping garut dapat dikatakan sebagai makanan sehat. Emping garut
saat ini sudah banyak diproduksi dalarn industri berskala rumah tangga. Di Desa
Argodadi, Kecamatan Sedayu, Bantul, emping garut sudah diproduksi terutama saat

panen garut (Mei - September) dan dijual dengan harga Rp. 14.000,-/kg hingga Rp.
20.000,-/kg.

552

Bolo1 Besor Penelition don Pengembongon Pascopanen Pertonlon

Prosiding Seminar Nosional Teknologi lnovatif Pascoponen untuk Pengembongon lndustri Berbasis Pertonion

Tabel 3. Komposisi kimia emping garut
Jumlah (%)
20 - 23

Komponen
Rendemen
Air
Serat kasar
Protein
Lemak
Kolesterol
Sumber : Djaafar dan Rahayu (2003b)

0,00

ORGANOLEPTIK ENZPmG GARUT

Ernping garut diolah dengan penamballan berbagai bumbu pada saat perebusan.
Bumbu-bumbu yang digunakan ada 7 variasi sebagai berikut :
A = 1,5 % garam + 2 % bawang putih
B = 1,5 % garam + 2 % bawang putih + 0,5 % ebi
C = 1,5 % gararn + 2 % bawang putih + 0,115 % keturnbar
Empiug garut yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik untuk mengetahui
kesukaat~konsumen dengan metode hedonic scale (Resurrection, 1998). Panelis yang
digunakan berjumlah 100 orang yang terdiri atas umur dan pendidikan yang beragarn.
Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, konsumen lebih menyukai emping garut yang
diberi bumbu 1,s % garam dan 2 % bawang putih (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai organoleptik ernping garut.
Perlakuan

C

Warna

Aroma

Kerenyahan

Rasa

Kesukaankeseluruhan

3,6

4,0

4,0

4Y3

4,1

Keterangan : Niiai 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak suka; 4 = suka;
5 = sangat suka
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari pengujian organoleptik konsumen lebih
menyukai emping garut dengan perlakuan bumbu A, baik terhadap warna, aroma,
kerenyahan, rasa maupun kesukaan secara keseluruhan.
ANALISA INPUT OUTPUT PENGOL

E W I N G GARUT

Pengembangan industri olahan umbi garut sangat menguntungkan ditinjau dari
segi ekonominya. Emping garut yang sudah diolah dalarn bentuk bulat seperti ernping,
rnlinjo memiliki nilai jual yang lebih tinggi (Rp. 14.000,-/kg hingga Rp. 20.000,-/kg)'
dibanding emping garut yang diolah dengan bentuk utuh (Rp. 10.000,-/kg). Keuntungan
bersih per bulan yang diperoleh dengan mengolah emping garut bentuk bulat dari 600 kg

Balai Besor Penelition don Pengembangon Pascaponen Pertanion

553

Prosiding Seminor Naslonal Teknologl InovdtiJ Pascaponen untuk Pengembongan jndustri Berbasis Pertanlan

bahan baku dapat mencapai Rp. 1.182.200,-. Dengan. demikian, ada peningkatan
pendapatan dengan penerapan teknologi pengolahan ernping garut yang baik (Djaafar r?f
al., 2003).
Secara rinci, analisa output input pengolahan ernping garut saat panen selama
satu bulan sebagai berikut :
a. Sarana Produksf
1. Kompor 1 buah
2. Panci I buah
3. Para-para
4. Pemukul3 buah
5. Plastik 10 meter
Jum Iah
Urnur Ekonomis
Nilai Ekonomis

Rp.
Rp.
Rp.
Rp.

Rp.

100.000,85.000,50.000,75.000,50.000,-

= 3 tahun
= 0

b. Penyusutan
- Sarana produksi Rp. (360.000 - 0)136
- Bunga Bank (I 8 % x Rp. 360.000,-)I36

c. Ketentuan
,, - Produksi per bulan
= 30 hari
' - Kapasitas produksibutan
= 20 kg x 30 hari = 600 kg
-,Rendemen 20 %, sehingga produksi emping per bulan = 120 kg.
d. Biaya Produksi per Bulan
I . Bahan = 600 kg x Rp. 900,2. Tenaga kej a = 30 x 2 x Rp. 7.500,3. Bahan bakar = I x 30 x Rp. 1.200,4. Bahan pengemas = 2 x 120 x Rp. 150,-

e. Biaya Operasional
Rp. 1.062.000,- + Rp. 11.800,Harga jual emping per kg

f. Penerirnaan per Bulan
120 kg emping x Rp. 17.000,g. Keuntungan emping per Bulan

*

Rp.

2.040.000,-

Rp.

966.200,-

Rp.

1,182.200,-

h. Penjualan kasil samping (pati garut)
4,5 % x 600 kg = 27 kg
Warga jual patilkg = Rp. 8.000,-

Total ikeuntungan per bulan

554

Bala1 Besar Penelition dan Pengembongon Pascapanen Pertanion

Prosiding Seminar Nosional Teknologi Inovalif Pascoponen untuk Pengembangon lndustri Berbasis Pertanian
L

Umbi garut sebagai sumber karbohidrat dan sumber serat memiliki potensi untuk
dikembangkan. Sebagai Bahan pangan lokal, umbi garut merupakan bahan pangan sehat
karena tidak tnengandung kolesterol dan berserat tinggi dan memiliki indeks glisernik
rendah dibanding dengan jenis-jenis umbi yang lain. Pengolahan umbi garut menjadi
emping garut dapat mernberikan keuntungan yang cukup berarti bagi kegiatan rumah
tangga tani di pedesaan.
Dengan mengolah umbi garut menjadi emping garut memberikan perubahan
penampilan dan citarasa sehingga iebih disukai oleh masyarakat. Dengan demikian &an
memberikan nilai tambah pada produk tersebut, yang oleh masyarakat tani hanya diolah
dengan direbus atau pun dioIah menjadi emping dalam bentuk utuh tanpa rasa.

Anonim, 1998. Garut, ciri dan teknik budidaya. Koran Sinar Tani, 9 September 1998.
Anonim, 2001. Kemasan fleksibel untuk makanan. Bulletin Food & Beverage Industry,
Edisi Kedua, Mei 200 1, Hal 32-35.
Anonim, 2003. Prakarsa swasta dan pemerintah daerah menuju keanekaragaman pangan
rnasyarakat Indonesia. Forum Kerja Pe~lganekaragamanPangan 2003, Hal 1- 19.
Arimbi, N.W., 1998. Pengembangan tanaman garut (Marantha arundinacea L.) dan
industri kecil oiahannya bertumpu pada prakarsa petani. Fakultas Pertanian Univ.
Wangsa Manggala Yogyakarta.
Djaafar, T.F., S. Rahayu, B.A. Usboko, A.M. Sudihardjo, 2001. Uji Adaptasi Diversifikasi.
Teknologi Pengolahan Tanaman Pmgan Non Beras untuk Pengembangan Pangan
Lokal di DlY. Laporan Kegiatan Proyek AMP-II, BPTP Yogyakarta, 18 ha!.
Djaafar, T.F., S. Rahayu, Wiryatmi dan Al Amin SEP., 2002. Penelitian Adaptasi
Teknologi Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian Lahan Mering Dataran
Rendah dalam Menunjang Agroindustri di MY. Laporan Kegiatan Proyek
ARMP-II, BPTP Yogyakarta, 37 hal.
Djaafar, T.F., S. Rahayu, Murwati, N.Widayat dan H; Puwaningsih, 2003. Pemberdayaan
Agroindustri Rumah Tangga Pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan
Kegiatan Proyek Pembinaan Kelembagaan Litbang Pertanian DIY, 30 hal.
Djaafar, T.F. dan S. Rahayu, 2003. Teknologi Pernanfaatan Umbi Garut. Unpublish, 29 ha!.
Heid, J.L. and Joslyn, M.A., 1967. Fundamental of Food Processing Operations
Ingredients Metods and Packing. The AVI Publishing Company, Inc., Westport,
Connecticut.
Mahmud, M.K., D.S. Slamet, R.R. Apriyantono dan Wermana, 1990. Komposisi zat gizi
pangan Indonesia. Depkes RI, Jakarta,

Bnloi Besar Penelition don Pengembongon Pascoponen Pertanian

555

Prosfding Seminar Nasfonal Teknologi lnovatif Pascapanen unluk Pengembangan lndustri ~erbaslsPertanlan

Marsono, Y., 2002. Indeks Glisemik Umbi-umbian.'~akalahSeminar Nasional Industri
Pangan, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Surabaya 101 1 Oktober 2002.
Punvaningsih, H., T.F. Djaafar dan S. Rahayu, 2003. Pengemasan. Materi disampaikan
dalam Pelatihan Cara Memproduksi Makanan yang Baik, BPTP Yogyakarta, 13
ha!.

Resurrection, A.V.A., 1998. Consumer Sensoiy Testing for Product Development. Aspen
Publisher, Inc., Maryland, Hal 9-37.
Suryana, A., 2003. Refleksi 40 tahun dan perspektif penganekaragaman pangan dalarn
pemantapan ketahanan pangan nasional. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan
2003. Hal 2 1 -40.
Truswell, A.S., 1992. Glycemic index of foods. Eur. J. Clin. Nutr., 46(suppl2):91-101

556

Bola1 Besor Penelltlan don Pengembangan Pascapanen Pertanlan