KAJIAN TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DALAM RANGKA MENGURANGI RAWAN PANGAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

KAJIAN TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DALAM RANGKA MENGURANGI RAWAN PANGAN

DI KOTA BANDAR LAMPUNG Oleh

Citra Safitri1, Fembriarti Erry Prasmatiwi 2, dan Adia Nugraha2

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji tingkat ketahanan pangan rumah tangga di daerah rawan pangan di Kota Bandar Lampung (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumahtangga di Kota Bandar Lampung (3) Mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengurangi rawan pangan di Kota Bandar Lampung.

Penelitian ini dilakukan di 3 Kelurahan di Kota Bandar Lampung. Sampel dalam penelitian ini adalah 99 rumahtangga yang diambil secara acak. Didalam

penelitian ini, tingkat ketahanan pangan dilihat dari pangsa pengeluaran pangan dan tingkat kecukupan energi (TKE). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan dianalisis dengan metode ordinal logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Rumahtangga yang tahan pangan didaerah rawan pangan di Kota Bandar Lampung adalah 32,32 %, rumahtangga kurang pangan 29,30 %, rumahtangga rentan pangan 24,24% dan rumahtangga rawan pangan 14,14% ; (2) Faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kota Bandar Lampung adalah pendidikan orang tua (ibu) dan suku; (3) Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam mengurangi rawan pangan adalah adanya raskin, meningkatkan pendapatan dengan menaikkan upah minimum kota (UMK), penyuluhan kebutuhan gizi melalui Posyandu, program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP) dan keamanan pangan segar.

Keterangan :

1

(Magister Agribisnis)

2


(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OF FOOD SECURITY LEVELS OF HOUSEHOLD TO DECREASE FOOD INSECURITY AT KOTA BANDAR LAMPUNG

By

Citra Safitri1, Fembriarti Erry Prasmatiwi 2, dan Adia Nugraha2

The research goals are: (1) How is Food security level of household at Kota Bandar Lampung; (2) to analize factors affecting the food security level of

household at Kota Bandar Lampung; (3) How is effort to decrease Food insecurity at Kota Bandar Lampung.

This research is held in 3 Kelurahan in Kota Bandar Lampung. The location of research method is applied to all 99 household which consist of 44 household in Kelurahan Keteguhan, 44 household in Kelurahan Kemiling Permai and 11 household in Kelurahan Sukamenanti. In this research, food security levels are graded objectively based on the segment of food expenditure, the energy

sufficiency rate (“TKE”). The factors affecting food security level are analyzed by using logistical method.

The results of the research were as the following: (1) Food security of household in food insecurity area are 32,32 % at food security level, 29,30 % at defect food level, 24,24% at food sustainable level and 14,14% food insecurity level; (2) affecting factor the food security rate of household are education of parent and ethnic group; (3) The effort which Government do to decrease food insecurity were having raskin, increase minimum wage, socialization of food nutrient through Posyandu activities, P2KP program and security of food.

1

(Magisterof Agriculture)

2


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung tanggal 21 Juni 1984 dari pasangan Bapak H. Safari Mursalin dan Ibu Hj. Jamila Wahab, SE. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Dasar di SDN 1 Langkapura pada tahun 1996 , tingkat SLTP di SLTPN 2 Bandar Lampung pada tahun 1999, tingkat SMA di SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2002, dan tingkat Universitas di Universitas Brawijaya pada tahun 2007.

Di luar kegiatan akademik, penulis pernah memiliki pengalaman kerja di Samsat Provinsi Lampung sebagai honorer. Pada tahun 2011 – 2012, penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil dan bertugas di instansi Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Bandar Lampung. Mulai tahun 2012 hingga sekarang penulis bertugas di instansi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung.


(8)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdullilahirobbil ‘alamin, segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan teladan dalam setiap kehidupan baik kepada keluarga, sahabat, dan penerus-penerus risalahanya hingga akhir zaman.

Dalam penyelesaian tesis yang berjudul Kajian Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dalam Rangka Mengurangi Rawan Pangan di Kota Bandar Lampung banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasihat, serta saran saran yang membangun, karena itu dengan rendah hati penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga nilainya kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.Si selaku pembimbing utama atas kesediaannya memberikan bimbingan dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Ir. Adia Nugraha, M.S selaku pembimbing kedua atas kesediaannya memberikan bimbingan dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.


(9)

nasehatnya.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Ibrahim Hasyim, M.S. selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah

memberikan motivasi dan dukungan.

5. Suami tercinta yang telah memberikan dukungan, dorongan, perhatian, motivasi, kasih sayang dan do’a yang tak henti-hentinya.

6. Kedua orang tuaku tercinta serta saudara-saudaraku tercinta yang telah memberikan dukungan dan doanya.

7. Teman-teman Magister Ekonomi Pertanian/Agribisnis Universitas Lampung angkatan 2009 (Hamartoni, Zaini, Rahmad, Irsan Dalimunthe, Kaizan, Yuliana Yamin, Eka, Yuli P, Erma, Nuzleha, Sugiarti, Heni) yang senantiasa memberikan dukungan, saran, masukan, nasehat, dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini serta kebersamaan dan keceriaaan yang kita lalui bersama.

8. Seluruh Pejabat, karyawan dan karyawati Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung yang senantiasa membantu dan memberikan dukungan, saran serta motivasinya.

9. Karyawan-karyawati di Program Pascasarjana Magister Agribisnis (Mbak Maria Ayi, Mbak Iin Kuntari, Mas Buchari, Mas Ibrahim dan Mas Sukardi) atas bantuannya.


(10)

yang membutuhkan. Akhirnya, penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan kepada Allah SWT penulis mohon ampun.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 12

C. Kegunaan Penelitian... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ... 13

A. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Definisi ketahanan pangan ... 13

2. Cara mengukur ketahanan pangan ... 17

3. Rawan pangan ... 26

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ... 30

5. Upaya meningkatkan ketahanan pangan ... 34

6. Tinjauan penelitian dahulu ... 36

B. Kerangka Pemikiran ... 40

C. Hipotesis ... 42

III. METODE PENELITIAN ... 43

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ... 43

B. Lokasi dan Waktu Penelitan... 46


(12)

2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ... 50

3. Analisis upaya mengurangi rawan pangan ... 53

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG ... 54

A. Kota Bandar Lampung ... 54

1. Geografi... 54

2. Topografi ... 55

3. Pemerintahan ... 56

B. Kelurahan Keteguhan, Sukamenanti dan Kemiling Permai ... 57

1. Luas wilayah ... 57

2. Jumlah penduduk dan rumah tangga ... 58

3. Penggunaan lahan... 58

4. Pelaksanaan raskin ... 59

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Keadaan Umum Responden ... 60

1. Umur ... 60

2. Suku daerah responden ... 61

3. Jumlah anggota rumah tangga ... 62

4. Pendidikan kepala dan ibu rumah tangga... 63

5. Tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga ... 65

6. Jenis pekerjaan ... 67

7. Pendapatan rumah tangga ... 71

8. Harga pangan ... 73

B. Ketahanan Pangan ... 74

1. Ketersediaan ... 74

2. Distribusi (akses pangan) ... 80

3. Konsumsi ... 82

4. Tingkat ketahanan pangan... 87

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan ... 89


(13)

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN ... 107


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data penduduk miskin kota Bandar Lampung 2012 ……..…... 6 2. Tabel jumlah kepala keluarga menurut status pekerjaannya ... 7 3. Banyaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial menurut

kecamatan di kota Bandar Lampung Tahun 2012 …..……… 9 4. Penggunaan lahan pertanian menurut kecamatan di kota

Bandar Lampung tahun 2011 (ha) ………..……... 10 5. Derajat ketahanan pangan rumah tangga ……….…... 19 6. Angka kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat

dan air yang dianjurkan untuk Indonesia (per orang per hari) 21 7. Jumlah rumahtangga yang mendapatkan raskin ……….… 59 8. Sebaran responden umur ibu rumahtangga berdasar kelompok

Umur ………..…… 60

9. Sebaran suku responden ………..…… 61

10. Sebaran besar anggota rumah tangga berdasar klasifikasinya 62 11. Sebaran pendidikan formal kepala rumah tangga …….…… 63 12. Sebaran pendidikan formal ibu ………..…… 64 13. Sebaran pengetahuan gizi ibu rumah tangga ………. 67 14. Persentase pekerjaan utama kepala dan ibu rumah tangga … 68 15. Sebaran pekerjaan sampingan kepala rumah tangga ………… 69


(15)

17. Sebaran pendapatan rumah tangga ……….……... 72

18. Rata –rata harga pangan tahun 2013 ….………... 73

19. Rata- rata pengeluaran pangan rumahtangga (Rp/bln) ……….. 76

20. Pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan rumahtangga perbulan ……… 77

21. Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga ……… 78

22. Sebaran Kelompok rumahtangga ……… 80

23. Konsumsi energi per kapita per hari ……….... 83

24. Tingkat kecukupan Energi ……...……… 84

25. Konsumsi protein per kapita per hari ……….... 85

26. Tingkat kecukupan protein ……...……… 86

27. Rumah tangga berdasar tingkat ketahanan pangan ………… 87

28. Analisis Regresi Ordinal Logistic Faktor-faktor yang mempengaruhi Ketahanan Pangan ………... 90

29. Upah minimum Kota (UMK) tenaga kerja di Kota Bandar Lampung Tahun 2007 – 2013 ……… 94

30. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengurangi rawan Pangan……… 97


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Gambar Halaman

1. Peta Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan di Kota

Bandar Lampung Tahun 2012 ………... 4

2. Bagan Konseptual Ketahanan Pangan ………... 17 3. Alur pikir penanganan Kerawanan Pangan ……... 31 4. Bagan Alur Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan di Kota

Bandar Lampung Tahun 2012 ………... 4

2. Bagan Konseptual Ketahanan Pangan ………... 16 3. Alur pikir penanganan Kerawanan Pangan ……... 30 4. Bagan Alur Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya manusia untuk mengelola dan mengolah sumber kekayaan alam tersebut, sehingga bermanfaat bagi ketahanan pangan masyarakat. Menurut Undang – undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan

perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai bahan makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman (Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup


(19)

terpenting bagi manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga dan komunitas merupakan hak azasi manusia.

Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti yang terjadi pada 2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013.Untuk mencegah krisis pangan di Indonesia, ketahanan pangan mutlak diperkuat.(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, 2012). Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan. Purwantini, Rachman, dan Marisa (2007) mengemukakan bahwa ketahanan pangan mencakup tingkat rumah tangga dan tingkat nasional/ regional. Lebih lanjut lagi dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa secara regional status pangan wilayah atau propinsi dapat tergolong tahan pangan. Namun demikian masih dapat ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi di daerah kasus.

Sasaran Pembangunan Pangan di Indonesia antara lain adalah terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga

dimaksudkan dengan kemampuan sebuah keluarga untuk cukup tahan dalam hal pangan untuk menjamin kecukupan makanan bagi seluruh anggota keluarga.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Apabila ketiga subsistem tersebut tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan (Suryana, 2003). Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup


(20)

dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktifitas dengan baik. Masalah rawan pangan masih menjadi ancaman bagi ketahanan pangan Indonesia. Walaupun selama periode 2002 – 2005 proporsi rumah tangga rawan pangan dan sangat rawan pangan

mengalami penurunan, namun pada tahun setelah 2005, proporsi rumah tangga rawan pangan masih cukup tinggi, sekitar 25% di kota dan 37 % di desa (Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Menurut Ariningsih dan Handewi (2008) proporsi rumahtangga rawan pangan di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Hal tersebut disebabkan karena daerah pedesaan mengalami keterbatasan pengembangan infrastruktur (fisik dan

kelembagaan) dan kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan, khususnya untuk sektor industri, perdagangan dan jasa (Sayogyo, 2002) selain itu, rumah tangga di pedesaan masih berbasis di sektor pertanian. UNDP China (2001) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya rawan pangan pada rumah tangga pertanian sangat kompleks, antara lain situasi sosial politik pertanian dan petaninya, rendahnya luas lahan pertanian produktif per kapita, rendahnya produktivitas dan kesuburan lahan, anomali iklim, rendahnya teknik pertanian modern yang berdampak pada rendahnya produksi pangan serta rendahnya daya beli rumah tangga akibat terbatasnya

pendapatan dari off farm. Walaupun demikian, permasalahan utama terjadinya kerawanan pangan yang sering muncul adalah terbatasnya pendapatan masyarakat. Gambaran daerah rawan dan tahan pangan tervisualisasikan dalam peta ketahanan dan kerentanan pangan.

Dalam peta ketahanan dan kerentanan pangan Kota Bandar Lampung, terdapat pembagian ketahanan pangan berdasar prioritasnya. Prioritas 1 merupakan prioritas


(21)

utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain, wilayah prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang lebih besar dibanding wilayah lainnya, sehingga memerlukan perhatian segera. Pada Gambar 1. terlihat bahwa dari 13 Kecamatan yang ada, menunjukkan daerah yang terindikasi prioritas 1 sampai 6. Desa rentan terhadap pangan prioritas 1 di wilayah Teluk Betung Barat, Kecamatan Tanjung Karang Barat dan Kedaton. Desa rentan prioritas 2 terdapat di wilayah kecamatan Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara dan Kemiling. Sedangkan desa rentan prioritas 3 terdapat di wilayah kecamatan Teluk betung Barat, Teluk Betung Selatan, Panjang, Tanjung Karang Timur, Teluk Betung Utara, Tanjung Karang Pusat, Kedaton dan Rajabasa.

Gambar 1. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Bandar Lampung tahun 2012.

Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung, 2012

Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Bandar Lampung

tersebut, dari 98 desa yang ada di Kota Bandar Lampung didapatkan 5 desa (prioritas 1), 8 desa(prioritas 2) dan 47 desa (prioritas 3), 8 desa ( prioritas 4), 6 desa (prioritas


(22)

5) dan 24 desa (prioritas 6). Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 1 terdapat di wilayah Kecamatan Teluk Betung Barat (2 desa), Kecamatan Tanjung Karang Barat (1 desa), Kecamatan Kemiling (1 desa) dan Kecamatan Kedaton (1 desa). Desa yang rentan terhadap kerawanan pangan dan termasuk kategori 1 secara umum disebabkan oleh: (1) penduduk miskin, (2) kematian balita dan ibu saat melahirkan, (3) rumah tangga tanpa akses listrik (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung, 2012).

Pada Lampiran 1 dijelaskan bahwa indikator ketahanan pangan yang digunakan untuk menentukan daerah prioritas 1 sampai dengan 6 dijelaskan bahwa tiap- tiap subsistem menunjukkan standarisasi untuk menjelaskan suatu keadaan. Alasan penyebab terjadinya kerentanan pangan di prioritas 1 yaitu kemiskinan dan rumah tangga tanpa akses listrik termasuk dalam subsistem akses pangan (distribusi). Data pendukung tentang kemiskinan yang terdapat di wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. yaitu :


(23)

Tabel 1. Data penduduk miskin Kota Bandar Lampung 2012

Ket ;Persentase miskin ; 20% = tahan, 20%-40 % = rentan 40 % bobot =rawan

Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung, 2012

Tabel 1. menjelaskan bahwa jumlah rumah tangga miskin dengan persentase kurang dari 20% menunjukkan adanya ketahanan, kisaran persentase 20-40% masih dalam posisi tengah menunjukkan keadaan rentan terhadap ketahanan pangan dan

persentase diatas 40% menunjukkan kerawanan. Pada Tabel 1. menjelaskan pula bahwa hanya 2 Kecamatan saja di Kota Bandar Lampung yang menunjukkan rentan kemiskinan yaitu Kecamatan Rajabasa dan Tanjung Senang dan 11 Kecamatan lainnya termasuk 3 daerah prioritas 1 (Kecamatan Kemiling, Teluk Betung Barat dan Kedaton) merupakan daerah yang mempunyai persentase jumlah penduduk miskinnya > 40% yaitu rawan terhadap terjadinya ketahanan pangan. Lebih rinci lagi dikaji dari jumlah kepala keluarga menurut status pekerjaannya yang terdapat di Kota Bandar Lampung padaTabel 2.

No Kecamatan

Jml Keluarga KK Pra Sejahtera KK Sejahtera I KK Miskin (Total) % Miskin

1 Teluk Betung Barat 15.784 5.020 3.306 8.326 53

2 Teluk Betung Selatan 22.646 9.161 5.664 14.825 65

3 Panjang 16.056 5.066 3.241 8.307 52

4 Tanjung Karang Timur 23.625 6.782 5.440 12.222 52

5 Teluk Betung Utara 15.397 4.466 3.302 7.768 50

6 Tanjung Karang Pusat 20.421 4.697 7.107 11.804 58

7 Tanjung Karang Barat 15.586 5.311 2.655 7.966 51

8 Kemiling 19.436 4.267 5.358 9.625 50

9 Kedaton 21.492 4.517 7.125 11.642 54

10 Rajabasa 10.164 2.136 1.799 3.935 39

11 Tanjung Senang 9.261 922 2.146 3.068 33

12 Sukarame 17.929 4.644 4.140 8.784 49

13 Sukabumi 15.693 5.354 3.301 8.655 55


(24)

Tabel 2. Tabel jumlah kepala keluarga menurut status pekerjaannya

No Kecamatan Jml KK menurut status

pekerjaannya % Jumlah yg

tidak bekerja

Bekerja Tidak Bekerja

1 Teluk Betung Barat 11.593 4.191 27

2 Teluk Betung Selatan 19.835 2.811 12

3 Panjang 13.058 2.998 19

4 Tanjung karang Timur 19.461 4.164 18

5 Teluk Betung Utara 11.679 3.718 24

6 Tanjung Karang Pusat 16.066 4.355 21

7 Tanjung Karang Barat 11.627 3.959 25

8 Kemiling 18.713 723 4

9 Kedaton 21.155 337 2

10 Rajabasa 9.971 193 2

11 Tanjung Senang 8.968 293 3

12 Sukarame 15.460 2.469 14

13 Sukabumi 11.928 3.767 24

Sumber : Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung, 2012

Tabel 2. terlihat bahwa Kecamatan Teluk Betung Barat memiliki persentase yang paling tinggi untuk masalah jumlah kepala keluarga yang tidak bekerja. Kisaran nilai kepala keluarga yang tidak bekerja sebesar 27 % . sedangkan pada Kecamatan Kemiling dan Kedaton hanya memiliki persentase kurang dari 5 % untuk kepala keluarga yang tidak bekerja. Hal tersebut tidak memastikan bahwa daerah tersebut tahan terhadap ketahanan pangan karena ada dari pada daerah tersebut jumlah rumahtangga miskinnya termasuk tinggi. Alderman dan Gracia (1993) menerangkan bahwa terdapat 9 indikator kemiskinan yaitu : (1) pengeluaran per kapita; (2)

pendapatan per kapita; (3) pendapatan ditambah transfer per kapita; (4) pengeluaran ekivalen dewasa; (5) pengeluaran pangan per kapita; (6) konsumsi kalori per kapita; (7) penguasaan lahan nol; (8) prediksi pendapatan per kapita; (9) pangsa pengeluaran untuk pangan. Hal ini selaras dengan pernyataan Dewan Ketahanan Pangan (2011)


(25)

yang menyatakan bahwa banyaknya jumlah penduduk miskin mengindikasikan kecilnya pendapatan penduduk.

Lebih lanjut, dijelaskan pada Tabel 3 dampak dari kemiskinan timbulnya masalah masalah kesejahteraan sosial seperti anak terlantar, gelandangan/ pengemis dan fakir miskin yang terdapat di Kota Bandar Lampung. Pada Tabel 3 menerangkan bahwa jumlah fakir miskin penyandang masalah kesejahteraan sosial tertinggi terdapat di Kecamatan Teluk Betung Barat dengan jumlah anak terlantar 114 orang, jumlah gelandangan/ pengemisnya 25 orang dan jumlah fakir miskinnya 1249 orang. Kecamatan Kemiling juga memiliki jumlah yang termasuk tinggi untuk masalah anak terlantar dan fakir miskin yaitu 102 orang dan 54 orang, sedangkan untuk masalah gelandangan/ pengemis hanya terdapat 1 orang saja yang terdapat di Kecamatan tersebut. Pada Kecamatan Kedaton, jumlah fakir miskinnya 399 orang, anak terlantar hanya 34 orang dan jumlah pengemis / gelandangannya hanya 2 orang saja.


(26)

Tabel 3. Banyaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial menurut Kecamatan di Kota Bandar Lampung Tahun 2012

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2012

Data Rekapitulasi hasil pendataan keluarga tingkat Berdasarkan golongan pengeluaran penduduk rata-rata per kapita, setiap bulannya penduduk dengan pengeluaran per kapita yang rendah yaitu kurang dari Rp. 500.000,- per kapita per bulan ternyata memiliki persentase pengeluaran untuk pangan yang lebih tnggi dibandingkan dengan penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita lebih besar dari Rp. 500.000,-. Dewan Ketahanan Pangan (2011) pula mengemukakan bahwa persentase penduduk miskin dapat disebabkan oleh : (a) adanya perbedaan tingkat pendidikan penduduk, (b) sebagian mata pencaharian penduduknya adalah buruh tani atau mengelola lahan dengan luasan sangat kecil dan (c) terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana transportasi, komunikasi dan kesehatan.

No Kecamatan

Masalah kesejahteraan Sosial Anak terlantar (org) Gelandangan/ Pengemis (org) Fakir Miskin (org)

1 Teluk Betung Barat 114 25 1249

2 Teluk Betung Selatan 68 22 1170

3 Panjang 66 10 658

4 Tanjung Karang Timur 33 4 481

5 Teluk Betung Utara 84 9 599

6 Tanjung Karang Pusat 36 4 576

7 Tanjung Karang Barat 34 2 446

8 Kemiling 102 1 540

9 Kedaton 34 2 399

10 Rajabasa 20 2 389

11 Tanjung Senang 3 1 238

12 Sukarame - 8 316


(27)

Subsistem selanjutnya adalah pemanfaatan konsumsi. Masalah konsumsi bukanlah masalah sederhana dan dapat diatasi dengan sesaat saja karena berkaitan dengan ketahanan pangan. Terjadinya rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah dapat ditunjukkan dengan kematian ibu dan balita saat melahirkan. Subsistem terakhir adalah ketersediaan pangan. Seperti yang kita ketahui bahwa Kota Bandar Lampung adalah kota merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan. Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan

perekonomian daerah Lampung, sehingga dalam penyediaan akan kebutuhan serelia tidak mencukupi jika diproduksi sendiri. Hal ini dapat terlihat dari lahan pertanian yang terbatas seperti terlihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4. Penggunaan lahan pertanian menurut Kecamatan di Kota Bandar Lampung Tahun 2011 (ha)

No Kecamatan

Sawah Tanah Kering

Sawah Irigasi Sawah Tadah hujan Tidak Diusaha- kan

Pekara-ngan Kebun

Tidak di Usaha- kan

1 Teluk Betung Barat - 1 - 54 510 250

2 Teluk Betung Selatan - - - 270 - 5

3 Panjang - 15 - 160 210 65

4 Tanjung karang Timur - 66 - 217 120 15

5 Teluk Betung Utara 27 - - 15 - 53

6 Tanjung Karang Pusat - 1 - 4 - 10

7 Tanjung Karang Barat - 23 - 38 200 15

8 Kemiling - 24 - 80 434 20

9 Kedaton - 9 - 75 50 -

10 Rajabasa 385 187 - 22 188 30

11 Tanjung Senang - 117 - 235 365 -

12 Sukarame - 85 - 660 60 84

13 Sukabumi - 43 - 79 35 100

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung, 2012

Teluk Betung Barat mempunyai lahan sawah 1 ha, begitu pun daerah lainnya sangat sedikit sekali peruntukan untuk lahan sawah, hanya Rajabasa saja yang memiliki


(28)

lahan sawah yang cukup luas sehingga perolehan beras dipastikan tidak mencukupi dan pemenuhan bisa didapat dengan langkah perdagangan sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung (2012) yang menyatakan salah satu aspek ketahanan pangan yaitu

ketersediaan pangan menjelaskan bahwa tersedianya pangan secara fisik di suatu daerah diperoleh dari hasil produksi domestik, perdagangan maupun bantuan pangan.

Tabel 4 dijelaskan juga bahwa pemanfaatan lahan sekecil apapun dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Pemanfaatan lahan

pekarangan seperti menanam sayuran merupakan akses dalam memanfaatkan lahan tidur di perkotaan. Akan tetapi implementasi pemanfaatan lahan pekarangan di lapangan kurang dilaksanakan sehingga akses ketersediaan pangan untuk tiap rumah tangga kurang pula.

Daya dukung alam untuk menghasilkan produk pangan yang cenderung terus berkurang dan rentan terhadap berbagai macam perubahan, senantiasa mengancam masyarakat ke arah kekurangan panngan. Oleh karena itu penanganan secara serius dan komprehensif terhadap daerah – daerah yang rentan terhadap kerawanan pangan sangat diperlukan. Penanganan yang terlambat akan memicu terjadinya kerawanan pangan yang berkepanjangan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan :

1)Bagaimanakah tingkat ketahanan pangan rumah tangga yang terdapat di daerah rawan pangan Kota Bandar Lampung


(29)

2)Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga di daerah rawan pangan Kota Bandar Lampung.

3)Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengurangi rawan pangan di Kota Bandar Lampung

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan :

1) Mengkaji tingkat ketahanan pangan rumah tangga di daerah rawan pangan Kota Bandar Lampung.

2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga Kota Bandar Lampung.

3) Mengetahui upaya yang dilakukakan untuk mengurangi rawan pangan di Kota Bandar Lampung.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1) Sebagai bahan informasi dan masukan bagi rumah tangga dalam meningkatkan ketahanan pangan.

2) Dinas terkait sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan

pengambilan keputusan yang terkait dengan program perbaikan pangan dan gizi masyarakat.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Ketahanan Pangan

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012, tentang pangan, dijelaskan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air baik yang dioleh maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/ atau pembuatan makanan atau minuman.

Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi,

penyerapan (absorbsi) dan penggunaan zat gizi makanan (utilisasi) yang dapat dinilai dengan berbagai cara yaitu melalui antropometri, konsumsi makanan, biokimia dan penilaian klinis. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan infeksi penyakit, yang mana antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik (Suharjo, 1996). Masih relatif tingginya masalah gizi masyarkat menunjukkan


(31)

bahwa aspek kemampuan ekonomi atau daya beli berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping faktor kurangnya kesadaran akan gizi, kondisi sanitasi lingkungan dan keterbatasan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu (Karyadi dan Santoso, 1996).

Ketahanan Pangan menurut Undang-Undang nomor : 18 tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Ada 3 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan rumah tangga yaitu :

(1) Kecukupan ketesediaan pangan (2) Tercukupinya kebutuhan konsumsi (3) Distribusi pangan yang merata

Fungsi subsistem ketersediaan ini menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun keamanan. Komponen ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, cadangan serta keseimbangan impor dan ekspor pangan, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu ke waktu.


(32)

Komponen distribusi mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas pangan. Hal ini ditujukan untuk

meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/ masyarakatnya. Subsistem ini menyangkut aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan dan bantuan pangan. Akses fisik berupa infrastruktur mauun kondisi sumber daya alam dan lingkungan.

Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Komponen konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).

Ketiga komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Ukuran tingkat ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan ketiga komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan suatu indeks ketahanan pangan.


(33)

Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, Chung et al (1997) telah merangkum berbagai indikator

ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah bagan konseptual yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan konseptual ketahanan pangan Sumber : Chung et.al., 1997

Berdasarkan bagan konseptual tersebut, dapat digambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub sistem ketersediaan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Kinerja dari masing-masing subsistem tercermin dalam hal stabilitas pasokan pangan, akses (distribusi) masyarakat terhadap pangan serta pengaturan menu pangan dalam keluarga dalam mengkonsumsi pangan. Kinerja dari ketiga subsistem tersebut akan terlihat pada status gizi masyarakat yang dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak usia di bawah lima tahun ( balita).

Ketersediaan Pangan

Akses sosial Akses ekonomi : pendapatan pertanian

dan non Akses Fisik :Distribusi

Produksi Pangan Sumberdaya : Fisik, Manusia, Sosial Akses Pangan Konsumsi Pangan Output Pemanfaatan Pangan

Status Gizi : anak dan dewasa


(34)

2. Cara Mengukur Ketahanan Pangan

Pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dilakukan deang dua cara yaitu: metode kualitatf dan kuantitatif. Metode Kualitatif merupakan pendekatan yang baru

dikembangkan untuk memenuhi tuntutan untuk mendapatkan cara praktis dalam penggunaannya dan mudah menganalisa dan menginterpretasikannya dibandingkan metode kuantitatif yang telah lama digunakan untuk mengukur ketahanan pangan. Metode ini menggali dan mengukur persepsi rumah tangga tentang ketahanan pangan, frekuensi dan beratnya kekurangan pangan yang dialami, serta coping strategy yang dilakukan oleh rumah tangga dalam menghadapi masalah kekurangan pangan (Kennedy, 2002).

Pengukuran ketahanan pangan dengan menggunakan metode kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode survei pengeluaran rumah tangga dan intik pangan individu. Terdapat empat variabel yang digunakan untuk mengukur

ketahanan pangan dari survei pengeluaran rumah tangga adalah : a) jumlah konsumsi energi rumah tangga b) tingkat kecukupan energi, c) diversifikasi pangan dan d) persen pengeluaran untuk pangan (Smith, 2002).

Terdapat banyak indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan rumah tangga. Frankberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur melalui beberapa indikator. Indikator yang mereka temukan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak dapat digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan.


(35)

Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanan Penyuluhan Kota Bandar Lampung (2012) menyatakan dalam memetakan ketahanan dan kerentanan pangan kota Bandar lampung menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analys) dan Analisis Kelompok ( Cluster Analysis). komposit terhadap indikator yang terkait dengan ketahanan. 3 indikator dalam menganalisisnya yaitu (1) ketersediaan pangan dengan jumlah warung dan toko sebagai penunjuk apakah suatu wilayah tersedia atau tidak penyedia pangan. (2) akses pangan dan mata pencarian dengan persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, akses penghubung yang memadai dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik sebagai media analisisnya. (3)

pemanfaatan pangan dengan jumlah sarana/fasilitas kesehatan, jumlah penderita gizi buruk dan jumlah kematian balita dan ibu melahirkan sebagai media penunjuk pemanfaatan atas panganyang ada.

Dalam analisis ini, kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan secara komposit ditunjukkan berdasar prioritas. Adapun prioritas tersebut menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu wilayah (Kecamatan) yang disebabkan oleh kombinasi berbagai dimensi kerawanan pangan. Berdasar PCA dan Cluster Analysis, kecamatan-kecamatan dikelompokkan ke dalam 6 prioritas : Prioritas 1merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain, wilayah (Kecamatan) prioritas 1 memiliki tingkat resiko

kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan wilayah kecamatan lainnya, sehingga memerlukan perhatian segera. Pada Tabel 1 (Lampiran 1) terlihat penjelasan tentang batasan prioritas 1 hingga prioritas 6.


(36)

Indikator Jonsson dan Toole (1991) yang diadopsi oleh Maxwell et all (2000) digunakan dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga adalah dengan

menggunakan klasifikasi silang antara dua indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi rumah tangga dan kecukupan energi (kkal). Seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Pada tabel tersebut tampak bahwa batasan 80 persen dari konsumsi energi (per unit ekivalen dewasa) akan dikombinasikan dengan pangsa pengeluaran pangan 60 persen dari total pengeluaran rumah tangga.

Tabel 5. Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Konsumsi energi per

unit ekuivalen dewasa

Pangsa pengeluaran pangan Rendah ( 60 %

pengeluaran total)

Tinggi (≥ 60 % pengeluaran total) Cukup ( 80 %

kecukupan energi) Tahan pangan Rentan pangan

Kurang ( ≤ 80 %

kecukupan energi) Kurang pangan Rawan pangan

Sumber : Johnsson and Toole, 1991 dalam Maxwell 2000

Penjelasan dari Tabel 5. lebih rinci sebagai berikut :

(a) Rumah tangga tahan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan rendah (

60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi ( 80% dari syarat kecukupan energi);

(b) Rumah tangga kurang pangan yaitu proporsi pengeluaran pangan rendah (

60% pengeluaran rumah tangga) dan kurangmengkonsumsi energi (≤ 80% dari syarat kecukupan energi);

(c) Rumah tangga rentan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi (≥ 60% pengeluaran rumah tangga) dan cukup mengkonsumsi energi


(37)

(d) Rumah tangga rawan pangan yaitu bila proporsi pengeluaran pangan tinggi (≥ 60% pengeluaran rumah tangga) dan tingkat konsumsi energinya kurang (≤ 80% dari syarat kecukupan energi).

Sebanyak 60 – 70% kebutuhan energi tubuh manusia diperoleh dari karbohidrat, sisanya berasal dari protein dan lemak. Sumber utama karbohidrat diperoleh dari beras (hasil olahannya), jagung ubi dll. (Rimbawan dan Siagian, 2004). Hardinsyah, Riyadi, Napitupulu (2012) mengemukakan bahwa protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewani sangat penting pula untuk dikonsumsi, dimana fungsi protein dalam tubuh berguna sebagai sumber pembangun atau pertumbuhan, pemeliharaan jaringan yang rusak, pengatur serta untuk mempertahankan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit tertentu. Sumber utama protein berasal dari nabati (berasal dari tumbuhan) dan hewani (daging susu dan hasil olahannya).

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X (WKNPG) tahun (2012), syarat kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan adalah sebesar 2.150

kkal/kapita/hari dan 57 gram/kapita/hari. Lebih lanjut mengenai angka kecukupan energi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari tersadur dalam Tabel 6.


(38)

Tabel 6. Angka kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat dan air yang dianjurkan untuk Indonesia (per orang per hari)

Kelompok BB TB Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Air

Umur (Kg) (cm) (Kkal) (g) (g) (g) (g) (ml)

Bayi/ anak

0 - 6 bln 6 61 550 12 30 58 0 800

7 - 11 bln 9 71 700 16 36 80 10 800

1 - 3 th 13 91 1.050 20 40 145 15 1.200

4 - 6 th 19 112 1.550 28 60 210 22 1.500

7 - 9 th 27 130 1.800 38 70 250 25 1.900

Pria

10 -12 th 34 142 2.100 50 70 290 29 1.800

13 - 15 th 46 158 2.550 62 85 350 35 2.000

16 - 18 th 56 166 2.650 62 88 350 37 2.200

19 -29 th 60 168 2.700 62 90 370 38 2.500

30 - 49 th 62 168 2.550 62 70 380 36 2.600

50 - 54 th 62 168 2.250 62 60 330 32 2.600

65 - 80 th 60 168 1.800 60 50 300 25 2.500

80+ 56 168 1.500 58 42 250 21 2.500

Wanita

10 -12 th 36 145 2.000 52 70 270 28 1.800

13 - 15 th 46 155 2.150 60 70 300 30 2.000

16 - 18 th 50 157 2.150 58 70 300 30 2.100

19 -29 th 54 159 2.250 58 75 320 32 2.300

30 - 49 th 55 159 2.100 58 60 300 30 2.300

50 - 54 th 55 159 1.900 57 50 280 26 2.300

65 - 80 th 54 159 1.500 57 40 250 21 2.300

80+ 53 159 1.400 55 40 220 20 2.300

Hamil

Trimester 1 180 18 6 25 0 +300

Trimester 2 300 18 10 40 0 +300

Trimester 3 300 18 10 40 0 +300

Menyusui

0 - 6 bln 330 17 11 45 0 +650 – 870

7 -12 bln 400 17 13 55 0 +650 – 870

Sumber : Hardinsyah, Riyadi, Napitupulu, 2012

Untuk mengetahui pola konsumsi masyarakat baik nasional maupun regional, AKE tersebut perlu diterjemahkan ke dalam satuan yang lebih dikenal oleh para perencana pengadaan pangan atau kelompok bahan pangan. Bahan pangan untuk konsumsi


(39)

sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/ kota sesuai

sumberdaya pangan yang tersedia. Secara nasional bahan pangan dikelompokkan sebagai berikut yaitu :

(1) Padi-padian : beras, jagung shorgum dan terigu

(2) Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar, kentang,talas dan sagu (3) Pangan hewani : ikan, daging susu dan telur

(4) Minyak dan lemak : minyak kelapa, minyak sawit (5) Buah/ biji berminyak : kelapa daging

(6) Kacang-kacangan : kedelai, kacang tanah, kacang hijau (7) Gula : gula pasir, gula merah

(8) Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi

(9) Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi.

Semakin tinggi akses suatu rumah tangga terhadap pangan maka semakin tinggi ketahanan pangan. Kemampuan rumah tangga memiliki akses terhadap pangan tercermin dalam pangsa pengeluaran untuk membeli makanan. Pangsa pengeluaran pangan adalah besarnya pengeluaran rumah tangga untuk belanja pangan dari jumlah total pengeluaran rumah tangga (pangan dan non-pangan). Adapun besarnya pangsa pengeluaran pangan menunjukkan besarnya tingkat pendapatan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang rendah memiliki pangsa pengeluaran yang tinggi. Sebaliknya rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi


(40)

memiliki pangsa pengeluaran pangan yang rendah. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan didapatkan dari hasil perbandingan antara besarnya pengeluaran yang dikeluarkan untuk belanja pangan dengan total pengeluaran yang dikeluarkan.

Lebih lanjut Soekirman (2000) menyatakan pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen/ keluarga akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan proporsi yang semakin kecil. Sebalknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan makin meningkat. Sedangkan menurut BPS (2012) menurut pengeluaran pangan, maka kelompok rumah tangga dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu :

1) Kelompok tidak miskin adalah mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari Rp 350.610

2) Kelompok hamper tidak miskin dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 280.488 – Rp 350.610

3) Kelompok hamper miskin dengan pengeluaran per bulan per kepala Rp 233.740 – Rp 280.488

4) Kelompok miskin dengan pengeluaran per orang per bulan dibawah Rp 233.740

5) Kelompok sangat miskin (kronis) tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang per hari. Namun diperkirakan sampai tahun 2011 mencapai 15 juta jiwa.

Menurut pemikiran yang terkandung dalam undang – undang nomor 10 tahun 1992, indikator dan kriteria kesejahteraan keluarga terdiri dari :


(41)

1) Keluarga pra sejahtera

Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasar (basic need) sebagai keluarga sejahtera 1, seperti kebutuhan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.

2) Keluarga sejahtera tahap 1

Adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu :

a) Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga

b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah,

bekerja/ sekolah dan bepergian

d) Bagian yang terluas dari rumah bukan dari tanah

e) Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

3) Keluarga sejahtera II

Yaitu keluarga yang disamping telah memenuhi kriteria sebelumnya (keluarga sejahtera I), harus pula memenuhi syarat :

a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur

b) Paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ ikan / telur sebagai lauk-pauk

c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun


(42)

e) Paling kurang 1 orang anggota keluarga yang berusia 15 tahun keata mempunyai penghasilan tetap

f) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10 – 60 tahun bisa membaca tulisan latin

g) Seluruh anak yang berusia 5 – 15 tahun bersekolah pada saat ini h) Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur

memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil) 4) Keluarga sejahtera III

Yaitu keluarga yang disamping memnuhi kriteria keluarga sebelumnya dan dapat pula memenuhi syarat yaitu :

a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama

b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga

c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga

d) Ikut serta dala kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya e) Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali per 6

bulan

f) Dapat memperoleh berita dari surat kabar/ TV / Majalah

g) Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat

5) Keluarga sejahtera III+

Keluarga yang dapat memenuhi keseluruhan kriteria dari tiap kelompok keluarga dan dapat pula memenuhi kriteria yaitu :


(43)

a) Sacara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalm bentuk materiil b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

perkumpulan/ yayasan/ institusi masyarakat. 6) Keluarga miskin

Adalah keluarga pra sejahtera alasan ekonomi tidak memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :

a) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ ikan / telur

b) Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian.

Pakpahan et al (1993) menyatkan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin rendah pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, semakin tinggi ketahanan pangannya.

3. Rawan Pangan

Suryana (2003) menyatakan bahwa apabila ketiga subsistem ketahanan pangan tidak tercapai, maka ketahanan pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya

menimbulkan kerawanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktifitas dengan baik. Rawan pangan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu : (a) rawan pangan kronis, yaitu ketidakcukupan pangan secara menetap akibat


(44)

ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian dipasar atau melalui produk sendiri. Kondisi ini berakar pada kemiskinan. (b) rawan pangan transien/ transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga panen, produksi atau pendapatan (Baliwati, 2004).

Agar penangganan masalah kerawanan pangan di daerah dapat lebih terfokus, perlu adanya indikator dan peta kerawanan pangan sebagai alat (tool) pemantauan dan analisis rawan pangan, dalam memberi informasi kepada pihak pengambil kebijakan di daerah, agar mampu menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efisien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan baik yang sifatnya transient maupun kronis (Pramoedyo,H.,dkk.,2010)

Analisis komponen utama (principal component analysis) dalam pemetaan kerawanan pangan secara nasional menggunakan 10 indikator yang dianggap

berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan (memiliki pengaruh yang signifikan). Kesepuluh indikator yang tercakup di dalam 3 aspek/ dimensi ketahanan pangan tersebut adalah :

1) Dimensi Ketersediaan pangan (Food Availability)

Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia (Consumtion to Net Cereal Avaibility Ratio);

2) Indikator akses terhadap pangan (Food Access)

- Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (Population Below Poverty Line);


(45)

- Persentase keluarga yang tidak dapat mengakses listrik (Access to Electricity);

- Persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat (Villages with connectivity);

3) Indikator penyerapan pangan (Utilization)

- Angka kematian bayi waktu lahir (Infant Mortality Rate) - Umur harapan hidup anak usia 1 tahun (life expectancy); - Persentase anak yang kurang gizi (Childern under weight);

- Persentase Penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to safe drinking water)

- Persentase penduduk yang tinggal >5 km dari puskesmas (Access to Puskesmas);

- Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy)

Berdasarkan indikator – indikator kerawanan pangan maka dapat disajikan dalam peta kerawanan pangan. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (nasional per kabupaten) merupakan peta tematik yang menunjukan adanya kerawanan pangan di suatu daerah yang diindikasikan oleh 10 indikator dan dikelompokkan ke dalam 3 dimensi

ketahanan pangan yaitu: Dimensi ketersediaan pangan (Food available) dimensi akses (Food Access), dan penyerapan pangan (Food Consumtion, Health, and Nutrition). Ketiga dimensi tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan yang bersifat kronis (cronic food insecurity) yang memerlukan penanganan jangka panjang. Sedangkan untuk kerawanan pangan yang bersifat transient (transient food security) terjadi akibat adanya bencana alam, yaitu pada daerah yang rentan terhadap bencana alam dan memerlukan penanganan jangka


(46)

pendek. Kerentanan pangan (Food Vulneralbility) yang berakibat terjadinya kerawanan pangan dan antara lain dipengaruhi oleh persentase area tak berhutan, persentase area yang terkena puso, persentase wilayah yang rawan terhadap banjir dan tanah longsor, serta fluktuasi curah hujan. (Pramoedyo,H.,dkk.,2010)

Penanganan daerah rawan pangan merupakan upaya untuk menangani suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Komponen penanganan rawan pangan meliputi : (1) kegiatan SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) yang menghasilkan analisis / peta situasi pangan dan gizi digunakan untuk rekomendasi bagi pengambilan keputusan dalam penanganan daerah rawan pangan; (2) investigasi yang merupakan kegiatan peninjauan ke tempat kejadian rawan pangan untuk melihat langsung dan melakukan cross check terhadap kejadian rawan pangan dan gizi, sekaligus

mengumpulkan data dan informasi guna mengidentifikasi masalah; dan (3) intervensi yaitu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat dalam menanggulangi kejadian rawan pangan transien maupun kronis, untuk mengatasi masyarakat yang mengalami rawan pangan sesuai dengan kebutuhannya secara tepat dan cepat. Intervensi yang ditetapkan dapat berupa intervensi dalam jangka pendek, menengah atau panjang.


(47)

Gambar 3. Alur pikir penanganan kerawanan pangan Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian, 2012

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

Menurut Rachman dan Suhartni (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi

ketahanan pangan ditingkat rumah tangga selain ketersediaan dan distribusi pangan di tingkat wilayah, juga dipengaruhi oleh :

(1) Surplus padi

(2) Daya beli yang dapat dilihat dari tingkat pendapatan perkapita

(3) Aksesibilitas terhadap pangan, yang tercermin pada harga pangan ditingkat rumah tangga

Rawan Pangan

Kronis Transien

Bencana Kemiskinan

Analisis Pangan dan gizi (SKPG)

INVESTIGASI

Teratasinya kerawanan pangan Intervensi

Jangka menengah

Intervensi Jangka panjang Intervensi

Jangka pendek


(48)

(4) Kegagalan panen karena adanya serangan hama/ penyakit tanaman (padi) dan bencana alam.

Fatimah (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga, maka semakin kecil persentase pengeluaran untuk pangan. Hal ini

dikarenakan pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kesadaran seorang ibu rumah tangga untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dalam usaha

mensejahterakan keluarganya, termasuk informasi tentang pangan dan pengetahuan gizi. Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan pendidikan rendah maka rata-rata pengetahuan gizi ibu rumah tangga ini pun rendah.

Tingkat pendapatan menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi dari pendapatan yang akan dikeluarkan untuk membeli pangan. Daya beli atau kemampuan keluarga untuk membeli pangan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan harga pangan itu sendiri. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih bak. Sebaliknya, penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang hendak dibeli. Tidak cukupnya persediaan pangan keluarga menunjukkan adanya kerawanan pangan keluarga (household food insecurity), artinya kemampuan keluarga untuk membeli pangan keluarga untuk memenuhi pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya bagi seluruh keluarga belum terpenuhi. Peningkatan pendapatan berlebih lanjut tidak hanya meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsumsi lemak, protein hewani dan gula, termasuk peningkatan konsumsi pangan


(49)

dari luar rumah. Sedangkan disisi lain terjadi penurunan konsumsi pangan yang lebih murah, yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati ( Soekirman, 2000).

Lebih lanjut Sayekti (2008) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah historis konsumsi beras dan non beras, daerah pedasaan dan perkotaan. Semakin tinggi pendapatan semakin rendah konsumsi pangan sumber karbohidrat padi-padian dan semakin tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur dan susu serta makanan dan minuman jadi. Sedangkan untuk kelompok pangan lain bervariasi.Ketahanan pangan dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup (Soetrisno 1995). Hal ini sejalan dengan pendapat Suharjo (1989) yang menyatakan kesamaannya tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga yang dipengaruhi oleh hal yang sama tetapi penambahannya pada beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan gizi dan aspek sosio budaya. Begitu pula dengan pendapat Harper (1986) bahwa rumah tangga yang

berpendapatan rendah dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar akan lebih sulit dalam mencukupi kebutuhan pangan dan gizi. Sebaliknya, rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih sedikit akan lebih mudah dalam memilih membuat dan menyediakan bahan makanan sehingga kebutuhan pangan dan gizi dapat mudah terpenuhi.

Rose (1999) menyatakan bahwa keluarga dengan ukuran yang lebih besar yakni dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak memerlukan konsumsi pangan yang lebih besar pula untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Besar keluarga merupakan prediktor yang baik bagi kecukupan kalori, total pengeluaran per kapita atau pendapatan per kapita (Hadded et al, 1996). Besar keluarga akan mempengaruhi


(50)

status gizi dan kesehatan seseorang atau keluarga karena akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah (Sukarni, 1994). Faktor

budaya,pendidikan, gaya hidup juga merupakan faktor penentu konsumsi pangan namun dalam penentuan pemilihan pangan, kadangkala faktor prestise menjadi sangat penting dan menonjol (Martianto dan Ariani, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa tingginya konsumsi pangan “luxury” di kota dibandingkan di desa karena (a) tingkat pendidikan di kota lebih baik (b) variasi makanan dan minuman di kota lebih mudah diperoleh baik di pasaran tradisional maupun di supermarket.

Menurut Siswono (2002), status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginyan pendapatan tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup akan menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dalam pola makan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan pada

pertimbangan selera ketimbang gizi.

Pola pemilihan makanan juga dipengaruhi oleh suku. Jerome Pelto dan Kandel (1980) dalam Handayani (2012) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi pembentukan kebiasaan makan serta pemilihan makanan salah satunya adalah budaya. Pada konsep kebudayaan Jawa, terdapat satu anggapan bahwa belum dapat dikatakan makan bila belum makan nasi dengan lauk-lauknya, biarpun misalnya sudah rebus singkong satu piring tetap saja beranggapan dirinya belum makan makan, walaupun saat memakan makanan tersebut perutnya terasa kenyang, akan tetapi bila belum makan nasi tetap saja belum dikatakan sudah makan. Pada konsep budaya makan suku lainnya yaitu melayu, lauk-pauk tidak akan sempurna bila tidak


(51)

diiringi dengan nasi. Nasi dihidangkan dengan berbagai lauk-pauk dan ulam-ulaman. Bahan yang digunakan dalam masakan melayu berkisar pada cabe, terasi dan santan.

Faktor lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah pengeluaran. Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan

masyarakat. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran maka semakin membaik tingkat perekonomian masyarakat (BPS, 2006). Pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh, sementara kebutuhan bukan pangan termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Sehingga besaran pendapatan dapat diproksi dengan pengeluaran total yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga tersebut atau dengan kata lain semakin tinggi pangsa

pengeluaran pangan ( 60%) berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya semakin kecil pangsa pengeluaran pangan ( 60%) maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Purwantini dan Ariani, 2008).

5. Upaya meningkatkan ketahanan pangan

Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan 2010 – 2014 adalah program peningkatan diversifikasi pangan dan peningkatan pangan masyarakat. Program tersebut mencakup empat kegiatan, yaitu : (1) pengembangan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, (2) pengembangan distribusi dan stabilitas harga pasar, (3) pengembangan penganekaragaman konsumsi dan peningkatan keamanan


(52)

pangan segar, (4) dukungan manajemen dan teknis lainnya pada Badan Ketahanan Pangan. Program aksi dari kegiatan pengembangan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan adalah : (1) pengembangan desa mandiri pangan dan (2) penanganan daerah rawan pangan (PDRP).

Strategi Badan Ketahanan Pangan tahun 2010 – 2014 khususnya pada program aksi tersebut diimplementasikan dengan langkah operasional melalui mendorong kemandirian pangan melalui swadembada pangan untuk komoditas strategis (beras, jagungm kedelai, gula dan daging sapi); revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); memberdayakan masyarakat di daerah rawan pangan dan meningkatkan akses pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga.

Proporsi rumah tangga rawan pangan dan potensi di setiap daerah berbeda-beda maka, dalam era desentralisasi ini, upaya penanggulangan kerawanan pangan harus dimulai dari daerah, yang berarti terwujudnya ketahanan pangan nasional harus dimuai dengan penguatan ketahanan pangan daerah (Ariani, 2005). Namun demikian, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya tanggungjawab Pemerintah pusat maupun daerah) melainkan juga merupakan tanggungjawab bersama dengan masyarakat, dimana Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan masyarakat berperan sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dan

individu. Pemberdayaan posyandu, dasawisma, kepedulian sosial, aktivitas sosial keagamaan merupakan sarana bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam upaya penangulangan rawan pangan (Ariningsih dan Handewi, 2008).


(53)

6. Tinjauan penelitian terdahulu

Pada kelompok masyarakat yang berpendapatan Rp 500.000 konsumsi terhadap

padi-padian, daging, telur dan susu, makanan jadi dan minuman jadi serta sayur-sayuran menunjukkan nilai yang tinggi (padi-padian 900 kkal, daging, telur dan susu 110 kkal, makanan dan minuman jadi 380 kkal, sayur-sayuran 45 kkal), kecuali pada pengkonsumsian umbi-umbian yang hanya 25 kkal. Sedangkan pada masyarakat yang berpenghasilan Rp 60.000 tingkat konsumsi umbi-umbian sangat tinggi 260 kkal setelah padi-padian 700 kkal. Untuk daging, telur dan susu serta makanan dan minuman jadi, tingkat konsumsinya nol kkal dan untuk sayur-sayuran 25 kkal (E. Harso Kardhinata dan Zulhery Noer 2008). Hasil penelitan Herawati, T (2011) menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap ketahanan pangan keluarga adalah pendapatan perkapita, jumlah anggota keluarga dan jumlah aset yang dimiliki.

Sianipar dkk (2012) dalam penelitiannya tingkat ketahanan pangan pada petani transmigrasi dan petani lokal menunjukkan tidak ada perbedaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa antara petani transmigrasi dan petani lokal memiliki tingkat ketahanan pangan yang sama. Hal ini dmungkinkan bahwa petani lokal lebih survive dalam kebutuhan pangannya. Ada 2 hal yang memungkinkan petani lokal lebih tahan dari petani transmigrasi yaitu : 1) ketersediaan pangan yang ada di alam masih mencukupi kebutuhannya dan pola konsumsi petani lokal yang tidak variatif dan 2) diversifikasi pangan sebagai alternatif apabila harga pangan meningkat seperti harga beras yang meningkat tidak terlalu berefek kepada petani lokal sebagai akibat untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat selain beras dapat diganti dengan umbi-umbian.


(54)

Desfaryani (2012) manyatakan bahwa faktor yang berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani padi adalah etnis sedangkan yang

berpengaruh negatif adalah jumlah anggota rumah tangga, harga beras, harga gula, harga minyak dan harga tempe. Hal ini berarti setiap terjadinya peningkatan besar anggota rumah tangga akan menyebabkan penurunan peluang rumah tangga untuk mencapai rumah tangga tahan pangan. Senada dengan Yuliana (2013) bahwa besar anggota rumah tangga memiliki koefisien yang negatif pula. Akan tetapi untuk faktor lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga nelayan di Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar lampung yaitu

pengeluaran rumah tangga dan pengetahuan gizi rumah tangga memilki koefisien yang positif. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi peningkatan jumlah pengeluaran pangan rumah tangga dan pengetahuan gizi ibu rumah tangga akan menyebabkan peningkatan peluang rumah tangga untuk mencapai rumah tangga tahan pangan.

Lebih lanjut, Rusyantia (2010) menyatakan berdasar model regesi logistik yang dilakukannya,semakin banyak jumlah anggota dalam rumah tangga dengan

pendapatan yang rendah dan pengeluaran pangan terhadap pendapatan yang tinggi, serta memperoleh sumber pangan pokok beras dari membeli ataupun bantuan atau subsidi serta berasal dari masyarakat sekitar akan memiliki peluang lebih besar untuk rentan terhadap ketidaktahanan pangan.

Pengetahuan gizi yang baik merupakan salah satu faktor penentu dalam pemilihan pangan yang akan dikonsumsi. Jika pengetahuan gizi maka seseorang dapat melakukan pilihan yang sesuai dengan kaidah kesehatan sesuai dengan akses yang dimiliki. Cahyani (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat


(55)

perbedaan nyata pengetahuan gizi antar wilayah, Rata-rata nilai pengetahuan gizi pada wilayah urban lebih baik dibanding wilayah sub urban dan rural. Keluarga contoh diwilayah urban lebih mudah dan cepat mendapatkan informasi dibanding wilayah rural maupun sub urban. Hal ini dikarenakan pada wilayah urban sarana dan prasarana yang mendukung akses informasi lebih tersedia di bandingkan wilayah rural dan sub urban. Menurut Mangkuprawira (1988) diacu dalam Ariani (1993), makin tinggi daya beli rumah tangga makin beranekaragam pangan yang dikonsumsi, makin banyak pangan yang dikonsumsi memiliki nilai gizi tinggi. Tingkat

pendapatan yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jummlah maupun jenisnya.

Gray (1982) menganalisis aplikasi parameter konsumsi untuk kebijakan pangan di Brazil. Dengan menggunakan data penampang lintang tahun 1974-1975 diestimasi fungsi menurut kelompok pendapatan dan kelompok konsumsi kalori rumah tangga di Brazil. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsumsi kalori berkorelasi tinggi dengan pendapatan dan kekurangan gizi dengan cepat menyesuaikan dengan pola pangan untuk merespon perubahan harga. Temuan tersebut mengandung arti bahwa kebijaksanaan harga dan pendapatan secara potensial mempunyai pengaruh yang kuat terhadap status gizi penduduk. Dalam kaitan ini, status gizi yang diukur dari kekurangan konsumsi kalori oleh penduduk merupakan salah satu dimensi dari kemiskinan.

Pakpahan (1989) menganalisis permintaan pangan di daerah perkotaan Jawa Barat dan bertujuan untuk mempelajari perilaku rumah tangga dalam mengkonsumsi pangan dipengaruhi oleh perubahan harga, pengeluaran dan komposisi serta jumlah


(56)

anggota rumah tangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa : (1) elastisitas pengeluaran rumah tangga tunggal lebih kecil dari rumah tangga dengan jumlah rumah tangga lainnya; (2) padi-padian, gula dan tembakau merupakan komoditas kebutuhan. Ikan, daging, unggas, telur dan susu merupakan komoditas mewah. Umbi-umbian, sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan tidak terpengaruh oleh tingkat pendapatan; (3) peningkatan harga oleh masing-masing komoditas yang dianalisis secara nyata menurunkan permintaan terhadap komoditas pangan yang bersangkutan; (4) penurunan jumlah anggota rumah tangga menurunkan permintaan terhadap padi-padian dan meningkatkan permintaan komoditi lainnya.

Teklu dan Johnson (1988) mengkaji sistem permintaan rumah tangga didaerah perkotaan. Dalam analisis, komoditas pangan dikelompokkan menjadi 6 kelompok yaitu : padi; palawija; kacang-kacangan; buah-buahan dan sayuran; ikan; daging dan produk susu. Data total pengeluaran pangan yang digunakan adalah total pengeluaran untuk ke enam kelompok komoditas tersebut, dan data itu digunakan untuk

mengukur pendapatan dalam sistem permntaan pangan. Indeks harga dari enam komodit yang dianalisis dihitung secara geometrik menggunakan rata-rata nilai pangsa di tiap –tiap Kabupaten. Studi tersebut menyimpulkan bahwa : (1) elastisitas pengeluaran untuk ikan, daging dan produk susu, sayuran dan buah-buahan lebih besar dari satu (elastis); (2) jumlah anggota rumah tangga mempunyai pengaruh positip untuk pangan pokok, namun berpengaruh negatif terhadap pangan yang elastik; (3) peningkatan jumlah anggota rumah tangga mendorong realokasi anggaran dari kelompok pangan mewah ke pangan pokok; (4) beras memberikan respon yang paling kecil terhadap perubahan harga sendiri; (5) nilai elastisitas harga silang mengisyaratkna bahwa permintaan pangan responsif terhadap perubahan harga


(57)

relatif,semua kelompok pangan umumnya responsif terhadap perubahan harga beras dan perubahan harga kelompok pangan lainnya kurang mempunyai dampak terhadap permintaan beras. Hal ini didukung oleh Ariani et al. (2007) dimana menunjukkan bahwa beras merupakan sumber energy dan protein utama bagi rumah tangga rawan pangan dan beras menempati posisi sangat penting bagi Indonesia, terlebih bagi rumah tangga rawan pangan.

Ariningsih dan Handewi (2008) mengemukakan bahwa perwujudan ketahanan pangan merupakan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Masing-masing tingkatan Pemerintahan melaksanakan kebijakan dan program ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan sesuai mandat dan tupoksinya. Dalam jangka waktu panjang, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganan rawan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui : (a) menjaga stabilitas harga pangan; (b) perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan; (c) pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan; (d) peningkatan efektivitas program raskin; (e) penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan.

B. Kerangka Pemikiran

Ketahanan pangan rumah tangga merupakan kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup baik dari segi kuantitas, kualitas serta aman dan terjangkau. Ketahanan rumah tangga dari 3 subsistem yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi rumah tangga, dimana ketiga sistem ini saling berkaitan satu sama lain. Ketersediaan pangan rumah tangga dipenuhi dengan cara memproduksi dan membeli pangan. Pangan yang tersedia akan didistribusikan untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota rumah tangga. Tidak tercukupinya ketersediaan pangan rumah


(58)

tangga dan kurangnya konsumsi pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : pendidikan ibu rumah tangga,besar anggota rumah tangga, pengeluaran rumah tangga, pendapatan dan pengetahuan ibu rumah tangga tentang gizi, harga beras dan suku (etnis). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 4. Bagan alur kerangka pikir ketahanan pangan rumah tangga di kota Bandar Lampung

Ketahanan pangan rumah tangga

ketersediaan

Pangsa pengeluaran pangan

Kecukupan energi Akses

konsumsi distribusi

Tingkat Ketahanan Pangan rumah tangga:

- Rawan pangan

- Rentan pangan

- Kurang pangan

- Tahan pangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi :

1. Besar anggota

rumah tangga

2. Pendidikan orang

tua

3. Pendapatan

4. Pengetahuan gizi

5. Harga beras

6. Etnis/suku

Pengurangan rawan pangan dan peningkatan ketahanan pangan


(59)

C. HIPOTESIS

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Diduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga kota Bandar Lampung adalah pendidikan ibu rumah tangga, besar anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pengetahuan gizi ibu rumah tangga, harga beras dan etnis/suku.


(60)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian yang

dipergunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk memperjelas dan membatasi istilah-istlah pada masing-masing variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan definisi sebagai berikut.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Ketahanan pangan diukur dengan menggunakan klasifikasi silang antara dua indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi rumah tangga dan kecukupan energi (kkal).

Pengeluaran pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang yang dinilai dengan uang untuk konsumsi makanan dan minuman seluruh anggota rumah tangga.

Pengeluaran non pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan dan barang yang dinilai dengan uang, bukan untuk konsumsi makanan dan minuman seluruh anggota rumah tangga.


(61)

Pengeluaran total rumah tangga adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh seluruh anggota rumah tangga yang meliputi pengeluaran pangan dan non pangan diukur dalam persen.

Angka kecukupan energi dan protein adalah sejumlah energi dan protein yang butuhkan oleh seseorang dalam mencapai kehidupan sehat yang diukur dalam kkal/kapita/hari. Dalam penelitian ini digunakan standar kecukupan energi dan protein per kapita per hari menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Syarat

kecukupan konsumsi energi dan protein sesuai dengan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X (WKNPG) tahun (2012), syarat kecukupan konsumsi energi yang

dianjurkan adalah sebesar 2.150 kkal/kapita/hari dan 57 gram/kapita/hari.

Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Akses pangan adalah kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang

cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.


(62)

Konsumsi pangan rumah tangga adalah jumlah makanan yang diasup oleh seluruh anggota rumah tangga baik didalam rumah maupun diluar. Konsumsi pangan dikonversikan ke dalam zat gizi energi dan protein.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah faktor / karakteristik masyarakat yang meliputi besar anggota rumah tangga, pendidikan formal, pendapatan, pengetahuan gizi ibu, harga beras, etnis dan lain sebagainya yang mungkin akan mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

Besar anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang bertempat tinggal di suatu rumah tangga. Besar anggota rumah tangga dikelompokkan menjadi rumah tangga kecil (≤ 4 orang), rumah tangga sedang (5-7 orang) dan rumah tangga besar (≥ 8 orang).

Pendidikan orangtua (ibu) adalah jumlah tahun pendidikan yang pernah ditempuh dalam pendidikan formal oleh orangtua (ibu). Lama pendidikan dikategorikan menjadi 0 tahun, 1-6 tahun, 7-9 tahun, 10-12 tahun dan ≥ 12 tahun.

Pendapatan/ kapita/ bulan adalah semua penerimaan yang diperoleh dari kegiatan atau pekerjaan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dan memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan anggota rumah tangga yang nilainya diperoleh dengan membagi total uang yang diterima selama satu bulan dengan jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah ( rupiah/kapita/bulan).

Pengetahuan gizi ibu rumah tangga adalah pengetahuan ibu rumah tangga tentang gizi, pangan dan kesehatan. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan nilai angka yang


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Subagyo, dkk. 2012. Antisipasi Masalah Rawan Pangan di Kabupaten Tuban sebagai Prioritas Kedua Daerah Rawan Pangan di Provinsi Jawa Timur 2012. Jawa Timur.

Adnyana, M.O. Sumaryanto, M. Rachmat, R, Kustiarti,SH. Susilowati, E. Suryani dan Suprapto. 2000. Assesing The Rural Development Impact of The Crisis in Indnesia. CASER, Bogor, Indonesia and The World Bank, Washington D.C.

Alderman, H dan Gracia, M. 1994. Food Security and Health Security: Explaining The Levels Of Nutritional Status In Pakistan. Economic Development and Cultural Change.

Ariani M. 1993. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan serta Proyeksi Kebutuhan Pangan pada Repelita VI di tiga Provinsi di Indonesia (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institrut Pertanian Bogor.

Ariani, M., E. Ariningsih, I.K. Kariyasa, dan M. Maulana. 2007. Kinerja dan Prospek Pemberdayaan Rumahtangga Rawan Pangan dalam Era Desentralisasi Kerjasama Penelitian Biro Perencanaan, Departeemen Pertanian, dan UNESCAPCAPSA, Bogor. Departemen Pertanian. 2004. Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2000-2003. Jakarta

Ariningsih, E. dan Rachman, Handewi P S. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Rawan Pangan. Jurnal Analis Kebijakan Pertanian. Bogor. Vol 6 No 3. September 2008 : 239-255.

Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kota Bandar Lampung. 2012. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota Bandar Lampung. Bandar lampung : BKP3

Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung. 2012. Rekapitulasi Hasil Pendapatan Keluarga Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung.

Baliwati. YF. 2004. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penilaian Gizi Neraca Bahan Makanan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor: IPB.


(2)

Badan Pusat Statistik (BPS). 2001. Statistik Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

. 2006. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006. Jakarta : BPS.

. 2011. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2011. Jakarta : BPS.

. 2012. Kota Bandar Lampung dalam Angka Tahun 2012. Bandar Lampung : BPS

. 2012. Kriteria Kemiskinan di Indonesia Menurut Badan Pusat Statistik (BPS). http://fokedki.blogspot.com/2012/08/kriteria-kemiskinan-di-Indonesia.html. Diakses tanggal 3 Januari 2014.

Cahyani. Indah. Gayatri. 2008. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Keanekaragaman Konsumsi Ppangan Berbasis Agribisnis di Kabupaten Banyumas (Tesis). Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.

Cantrell, R.P and T.G. Reeves. 2002. The cereal of the world’s poor takes center stage. Special selection : The Rice Genome. Rice Today. IRRI. Sept 1 (2) : 8 – 9.

Chung, K,L. Hadded, J. Rama, Khristina. dan F. Riely. 1997. Identifying The Food Insecure: The Aplication of Mixed Methode Approaaches in India. Dampa, Y. 2003 Dampak pengembangan Kakao Bagi Ekonomi Rumahtangga

Tani Arfak di Kabupaten Manokwari. Tesis S2 Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Desfaryani, R. 2012. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi si Kabupaten Lampung Tengah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Dewan Ketahanan Pangan. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan

2010-2014. Jakarta.

E. Harso Kardhinata dan Zulhery Noer. 2009. Kajian Perubahan Pola Konsumsi Pangan di Sumatera Utara. Jurnal Agrobio Volume 1 No 1 Mei 2009. Fatimah. 2004. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran dan

Tingkat Konsumsi Pangan Keluarga (Studi Kasus di Kelurahan Tanah Sareal, Bogor) Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(3)

Frankberger. 1992. Household Food Security : Concepts, Indicators,

Measurements, A Techncal Review, International Fund for Agricultural Development – United Nations Childrens Food. Rome.

Gray C, P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L Maspaitella, R. C.G, Valey. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hadded, L, Bhatterai, S, Kumar, Sand Immink, M.1996. Managing Interactions between Household Food Security and Pre-Schooler Health. Aprl.

International Food Policy Researh. Institute Washington DC.

Handayani, Irma. 2012. Gambaran Pola Makan Suku Melayu dan Suku Jawa di Desa Selemak Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. Medan

Hardinsyah. 1988. Kuantitas dan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Menurut Strata Ekonomi dan Wilayah di Indonesia (Tesis). Bogor : Program Pasca Sarjana IPB.

Hardinsyah, Riyadi, Hadi. dan Napitupulu, Victor. 2012. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia WNPG X 2012. Departemen Gizi FK UI. Jakarta.

Harper, LJ., BJ. Deaton, JA. Driskel. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Diterjemahkan oleh Suharjo UI Press. Jakarta.

Herawati, Tin dkk. 2011. Ketahanan Pangan Keluarga Peserta program

Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan. Jurnal Gizi dan Pangan. Volume VI No.3, 2011. Halaman 208 – 216.

Hurlock, E, B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan, Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

Karyadi, D. dan D, Santoso. 1996. Masalah Kemiskinan : Telaah Kebijaksanaan Pelayanan Kesehatan, Gizi dan Keluarga Berencana. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Kennedy, E. 2002. Qualitative Measures of Food Insecurity and Hunger. International Scientific Symposium on Measurement and Assessment of Food Deprivation and Under Nutrition. 26-28 Juni 2002. Rome : FAO – Netherlands Partnership Programme.

Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Tahun 2012. Tentang Pedoman Umum Penyaluran Raskin. Jakarta. Khomsan. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Fakultas


(4)

Maxwell, D., McLevin, M.A. Klemeser., M. Rull., S. Morris and C. Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for Medical Researce and World Health Organization, Researce Report

No.112.Washington, D.C.

Martianto, D., dan Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola

Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “ Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi “ . Jakarta.

Nurfarma. M. 2005. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Sumatera Barat (Tesis) Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pakpahan, A., dan Suhartini, Sri Hastuti. 1989. Permintaa Rumahtangga Kota di Indonesia terhadap Keanekaragaman Pangan “ Jurnal Agroekonomi “ vol 8 no 2 Oktober.

Pakpahan, A., H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa’at. 1993. Penelitian tentang Ketahanan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Peraturan Menteri Pertanian nomor 43 tahun 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Jakarta.

Pramoedyo H. dkk. 2010. Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa timur; Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya- Malang. Purwantini, T.B, H.P.S. Rachman dan Y. Marisa, M. 2007. Analisis Ketahanan

Pangan Regional dan Tingkat Rumahtangga. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Purwantini, T.B, dan Ariani, M. 2008. Pola Pengeluaran Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Padi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Rachman, H.P.S dan Suhartini, S.H. 1996. Ketahanan pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi Vol XV No.2, 1996.

Rimbawan dan Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan : Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta : Penebar Swadaya.


(5)

Rusyantia, Anggun. 2010. Kajian Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan (Tesis). Lampung. Program Pasca Sarjana Universitas Lampung. Rose, D. 1999. Economic Determinants and Dietary Consequences of Food

Insecurity in the United States. International Scientific Symposium on Measurement and Assessment of Food Deprivation and Under Nutrition. 26-28 Juni 2002. Rome : FAO – Netherlands Partnership Programme.

Sayekti, A. Ayieksih. 2008. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Wilayah Historis Pangan Beras dan Non Beras di Indonesia. Institut Pertanian Yogjakarta. Yogyakarta.

Sajogyo. 1982. Menelaah Garis Kemiskinan. Lokakarya Metodelogi “Kaji -Tindak” Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani. Cisarua 20 -23 Desember 1982. Institut Pertanian Bogor.

Sayogyo. 2002. Pertaniaan dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun 1 No. 2. Jakarta.

Sianipar, Jefry, Slamet Hartono, Ronal TP Hutapea. 2012. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani di Kabupaten Manokwari. Jurnal SEPA : Vol.8 No. 2 Februari 2012 : 51-58.

Smith, LC. 2002. The Use Household Expenditure Surveys for the Assesment of Food Security. Deprivation and Under Nutrition. 26-28 Juni 2002. Rome : FAO – Netherlands Partnership Programme.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia : Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan. Vol V No 21. Puslitbang Bulog. Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryana, Ahmad. 2003. Refleksi 40 Tahun dan Perspektif Penganekaragaman Pangan dalam Pemantapan Ketahanan Nasional. Dalam

“Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”. Forum Kerja Pengaanekaragaman Pangan

Suyastiri , Ni Made. 2012. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumahtangga Pedesaan Di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi pembangunan Hal 51 – 60.


(6)

Sukarni, M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Yuliana, Pramita. 2013. Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Nelayan di Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Yuliarso, M.Z. 2010. Perilaku Komunikasi Ibu Rumahtangga Dalam

Meningkatkan Pengetahuan Ketahanan Pangan : Studi pada rumahtangga nelayan di Kota Bengkulu. “ Jurnal Agrisep” Vol 9 No 2, September 2010. Yuwono, Prapto. 2005. Pengantar Ekonometri. ANDI Yogyakarta. Yogyakarta. Umar, H. 2000. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Thesis Bisnis. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan. Jakarta

UNDP China. 2001. Food Security and Sustainable Agriculture.

http://www.occd.org/sgt/an, Diakses tanggal 25 April 2014.

Undang – Undang Republik Indonesia No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Jakarta.