Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif Dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut

STUDI PERBANDINGAN PEMETAAN RISIKO BENCANA
LONGSOR BERBASIS PENDEKATAN NORMATIF DAN
PENDEKATAN KUANTITATIF DI KABUPATEN GARUT

NURUL HIKMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Perbandingan
Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan
Kuantitatif di Kabupaten Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Nopember 2016
Nurul Hikmah
NRP A153130031

RINGKASAN
NURUL HIKMAH. Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor
Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut.
Dibimbing oleh BABA BARUS dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Kabupaten Garut sering dipengaruhi tanah longsor. Berdasarkan data dari
penelitian-penelitian sebelumnya, tanah longsor disebabkan oleh hujan, lereng,
jenis tanah, penggunaan lahan, dan geologi. Beberapa metode untuk pemetaaan
risiko longsor dibuat berdasarkan skor dan bobot yang dibuat BNPB. Sejauh ini,
peta bahaya longsor hanya dibuat oleh RTRW Kabupaten Garut dan PVMBG.
Peta tersebut tidak mencerminkan data yang sebenarnya, banyak tanah
longsor terjadi di kelas bahaya rendah. Oleh karena itu, penelitian perlu dilakukan
untuk menemukan metode yang tepat dalam pemetaan bahaya longsor yang
kemudian dilanjutkan dengan pembuatan peta kerentanan dan risiko longsor.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis
pola ruang dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif di Kabupaten Garut, (2)

Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level Kabupaten dan
berbasis normatif level detil, (3) Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis
normatif level detil dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil, (4)
Mengevaluasi pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten Garut
dan berbasis penggunaan lahan level detil dan (5) Mengevaluasi pemetaan risiko
longsor berbasis normatif level kabupaten dan berbasis kuantitatif level detil.
Hasil penelitian menunjukkan formula berdasarkan skor dan bobot
parameter yang dibuat BNPB (2012) untuk bahaya longsor dengan rumus
(LH)=(0,25*Penggunaan Tanah dan Konservasi)+(0,35*Tanah)+(0,40*Lereng),
dan berbasis pada skor dan bobot berdasarkan data aktual kejadian longsor di
wilayah penelitian dengan cara Analisis Regresi Linier dengan rumus Bahaya
Longsor (LH)= -2,059+(1,762*Penggunaan Lahan dan Konservasi)+(0,022*
Tanah)+(0,002*Lereng). Formula untuk menilai kerentanan berbasis batas
administrasi adalah V=wVf+wVs+wVe+wVl dan berbasis penggunaan lahan
V=(0,5*Penggunaan Lahan dan Konservasi)+(0,2*Kepadatan Penduduk)+(0,3*
Nilai Lahan). Rumus risiko longsor adalah R = H x V.
Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya longsor level Kabupaten dengan
pola ruang pada Peta RTRW Kabupaten Garut 2011-2030 memiliki nilai
inkonsistensi 96,95 %. Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya longsor metode
normatif level Kabupaten pada Skala 1 : 10.000 dengan metode normatif level detil

memiliki nilai inkonsistensi 89,06 %. Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya
longsor metode normatif level detil dengan metode kuantitatif level detil memiliki
nilai inkonsistensi 57,78 %. Peta bahaya longsor metode kuantitatif lebih akurat
ditunjukan dengan nilai determinasi yang tinggi sebesar R2 = 0,907. Hasil pemetaan
kerentanan longsor berbasis penggunaan lahan menunjukan kelas sangat tinggi
didominasi oleh tanaman wortel, kubis, teh dan kopi yang tidak memiliki
konservasi, kepadatan penduduk 47,94 dengan nilai lahan sebesar Rp.1.617.000 Rp.29.655.150,-/hektar. Evaluasi hasil pemetaan risiko longsor level detil
menunjukan kelas risiko longsor tinggi memiliki luas area sebesar 30,62 %.
Kata kunci: Longsor, mitigasi risiko, pendekatan normatif dan kuantitatif, Garut

SUMMARY
NURUL HIKMAH. Comparative Study of Landslide Disaster Risk Mapping based
on Normative and Quantitative Approaches in Garut District, West Java.
Supervised by BABA BARUS and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Garut District is often affected by landslides. Based on data from researchs
some landslides were induced by rainfall, slopes, type of soil, landuse, and geology.
Some methods for a landslide risk zonation maps were created based on score and
weight. So far only landslide hazard zonation maps created in Garut RTRW and
PVMBG.
Some of the results do not reflect actual data, as many landslides occur in low

hazard class. Therefore, it is needed to find what appropriate method to create land
slide hazard and furthermore to vulnerability and risk map. This research aims to
(1) Evaluate spatial planning based hazard mapping on RTRW and normative based
hazard mapping (score and weight approach), (2) Evaluate normative based hazard
mapping (score and weight approach) district level and normative based hazard
mapping detailed level, (3) Evaluate normative based hazard mapping (score and
weight approach) detailed level and quantitative (real data in research area) detailed
level based in riset area, (4) Evaluate mapping based vulnerability-based land use,
(5) Evaluate risk level in Garut.
The results showed that the formula for assessing hazard based on scores and
weighting parameters following method of BNPB (2012) as Landslide Hazard =
(0,25*Land Use and Conservation) + (0,35*Soil) + (0,40*Slope), and based on
scores and weighting parameters from actual landslide extracted from Linear
Regression Analysis as Landslide Hazard = -2,059 + (1,762*Land Use and
Conservation) + (0,022*Soil) + (0,002*Slope). The formula for assessing
vulnerability based administrative boundaries is V= wVf + wVs + wVe + wVl and
based land use is V = (0,5*Land Use and Conservation) + (0,2*Population Density)
+ (0,3*Land Rent). The formula of landslide risk is R = H x V.
Based on these formulas, evaluate spatial planning based hazard mapping on
RTRW and normative based hazard mapping (score and weight approach) has an

inconsistency value 85,52 %. Evaluate normative based hazard mapping (score and
weight approach) district level and normative based hazard mapping detailed level
has an inconsistency value 89,06 %. Evaluate normative based hazard mapping
(score and weight approach) detailed level and quantitative (real data in research
area) detailed level based in riset area has an inconsistency value 57,78 %. Evaluate
landslide hazard map quantitative method has a correlation value of R2 = 0.907. The
high vulnerability class dominated by carrot, cabbage, tea, and coffee with no
conservation, population density 47,94, a land rent Rp.1.617.000 - Rp.29.655.150,/hectares. The high landslide risk class has an area of 17.25 hectares or 30.62 % of
research area.
Keywords: landslide, risk mitigation, normative and quantitative approaches, Garut

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


STUDI PERBANDINGAN PEMETAAN RISIKO BENCANA LONGSOR
BERBASIS PENDEKATAN NORMATIF DAN PENDEKATAN
KUANTITATIF DI KABUPATEN GARUT

NURUL HIKMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Boedi Tjahjono, MSc

Judul Tesis : Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis

Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten
Garut
Nama
: Nurul Hikmah
NRP
: A153130031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan


Dr Boedi Tjahjono, MSc

Tanggal Ujian: 14 Nopember 2016

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan September – Desember 2015 adalah
Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan
Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Baba Barus, MSc dan Dr Ir Dwi
Putro Tejo Baskoro, MSc, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
motivasi, arahan kepada penulis selama menjalani penelitian tesis. Terimakasih

kepada Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
Bogor, Nopember 2016
Nurul Hikmah

ii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

ii
iv
v
v


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Longsor
Macam-Macam Longsoran
Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karakteristik Area Rawan Longsor
Dampak dan Penanggulangan Longsor

Mitigasi Bencana
Risiko Bencana
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Longsor
Penelitian Terdahulu

5
5
5
7
9
10
11
11
12
13

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Teknik Analisis Data
Evaluasi Pemetaan Bahaya Longsor
Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Kabupaten
Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Detil
Pemetaan Bahaya Longsor Berbasis Pendekatan Kuantitatif
Level Detil
Evaluasi Kerentanan Longsor
Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Batas Administrasi
Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Penggunaan Lahan
Level Detil
Analisis Risiko Longsor

15
15
16
16
19
19
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Pemetaan Bahaya Longsor
Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Normatif Level Kabupaten
Inkonsistensi Zonasi Bahaya Longsor berbasis Normatif Level
Kabupaten dan Zonasi Bahaya Longsor berbasis Pola Ruang
Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Normatif Level Detil
Inkonsistensi Peta Bahaya Normatif Level Kabupaten Skala
1 : 10.000 dengan Peta Bahaya Normatif Level Detil

31
31
31

23
26
26
28
30

35
37
39

iii

DAFTAR ISI (Lanjutan)
Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Kuantitatif Level Detil
Evaluasi Pemetaan Kerentanan
Hasil Pemetaan Kerentanan Longsor berbasis Batas Administrasi
Hasil Pemetaan Kerentanan Longsor berbasis Penggunaan Lahan
Evaluasi Pemetaan Risiko Longsor
Hasil Pemetaan Risiko Longsor berbasis Normatif
Hasil Pemetaan Risiko Longsor berbasis Kuantitatif
Ulasan Umum

41
44
44
45
48
48
50
51

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

55
58

iv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41

Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber data, Sumber, teknik analisis, dan
hasil yang diharapkan
Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Geologi
Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Penggunaan Lahan
Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng
Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Tanah
Klasifikasi dan Nilai Skor Intensitas Hujan Harian Maksimun
Pembobotan Peta Parameter
Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah
Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Penggunaan Lahan
Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng
Pembobotan Peta Parameter
Klasifikasi dan Nilai Skor Kemiringan Lereng
Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah
Klasifikasi dan Nilai Skor Konservasi dan Penggunaan Lahan
Pembobotan Peta Parameter
Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi
Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik
Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial
Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan
Pembobotan Peta Parameter
Nilai Skor Konservasi Penggunaan Lahan, dan Nilai Lahan
Skor Peta Parameter Kerentanan Kepadatan Penduduk
Pembobotan Peta Parameter
Klasifikasi Bahaya Longsor dan Persentase Luasan Skala Kabupaten
Persebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan
Matrik Inkonsistensi Zonasi Bahaya Longsor berbasis Normatif
Level Kabupaten dan Zonasi Bahaya Longsor berbasis Pola Ruang
Faktor Penyebab Longsor di Kelas Parameter
Jumlah Titik Longsor Aktual pada setiap Kelas Parameter
Jumlah Titik Longsor pada Klasifikasi Bahaya Longsor
Matriks Inkonsistensi pada Zona Bahaya Longsor antara Dua Level
Faktor Penyebab Longsor di Kelas Parameter
Jumlah Titik Longsor Aktual pada setiap Kelas Parameter
Klasifikasi Bahaya Longsor dan dan Jumlah Titik Longsor
Matriks Inkonsistensi Zona Bahaya Longsor antara Dua Metode
Klasifikasi Kerentanan Longsor dan Persentase Luasan
Parameter Kerentanan Longsor Pada Setiap Kelas Bahaya
Klasifikasi Kerentanan Longsor dan Persentase Luasan
Parameter Kerentanan Dominan dalam Setiap Kelas Kerentanan
Klasifikasi Risiko Longsor dan Persentase Luasan
Persebaran Risiko Longsor Berdasarkan Kecamatan
Klasifikasi Risiko Longsor dan Persentase Luasan

17
19
19
20
20
20
21
21
22
23
23
24
24
25
26
26
27
27
28
28
29
29
30
32
34
36
38
38
39
40
41
41
42
43
44
46
46
47
48
49
50

v

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11.

12.

13
14
15
16
17
18
19
20

Kerangka Pikir Penelitian
Rayapan (Creep)
Luncuran (Slide)
Jatuhan (Fall)
Aliran (Flow)
Translasi
Pergerakan Blok
Peta Lokasi Penelitian
a. Peta Geologi
b. Peta Penggunaan Lahan
c. Peta Kemiringan Lereng
d. Peta Jenis Tanah
e. Peta Curah Hujan
Peta Bahaya Longsor Metode Normatif Kabupaten Garut
a. Peta Kawasan Rawan Bencana
b. Peta Pola Ruang pada RTRW 2011-2030 Kabupaten Garut
c. Peta Bahaya Longsor Metode Normatif
a. Peta Penggunaan Lahan
b. Peta Konservasi
c. Peta Tekstur Tanah
d. Peta Warna Tanah
e. Peta Kemiringan Lereng
Peta Bahaya Longsor Metode Normatif Level Detil
Klasifikasi Bahaya Longsor Metode Normatif Level Kabupaten
Klasifikasi bahaya longsor menggunakan metode kuantitatif
Frekuensi Densitas pada Kelas Bahaya Longsor
Peta Kerentanan Longsor Berbasis Batas Administrasi Kabupaten Garut
Klasifikasi Kerentanan Longsor berbasis Penggunaan Lahan
Peta Risiko Longsor Menggunakan Metode Normatif Kabupaten Garut
Peta Risiko Longsor Menggunakan Metode Kuantitatif

4
6
6
6
7
7
7
15
31
31
31
31
31
32
35
35
35
37
37
37
37
38
39
40
42
43
45
47
48
51

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil Cek Lapangan
Foto Lokasi Penelitian
Pedoman Wawancara
Hasil Wawancara
Hasil Perhitungan SPSS
Rata-Rata Analisis Usaha Tani dalam Satu Kali Musim

59
61
62
64
66
67

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan suatu wilayah yang memiliki potensi alam tidak bisa terlepas
dari adanya potensi bencana. Indonesia memiliki kondisi alam yang tergolong
rawan terhadap bencana seperti longsor, gempa, tsunami, kebakaran hutan, banjir,
puting beliung dan gunungapi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015
menunjukan dari seluruh kejadian bencana alam di Indonesia tahun 2009-2014
tercatat 70 % adalah bencana banjir, longsor dan puting beliung. Berdasarkan data
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2014 sekitar 45% luas lahan di
Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan
erosi yang disertai curah hujan yang tinggi.
Menurut data BNPB Provinsi Jawa Barat tahun 2011 terdapat 11
kabupaten di Jawa Barat yang masuk ke dalam kategori daerah rawan longsor
tinggi, yakni Kabupaten Garut, Cianjur, Bandung, Bogor, Majalengka,
Tasikmalaya, Cirebon, Ciamis, Kuningan, Purwakarta, Sukabumi, Kota Cimahi
dan Sumedang. Dari data tersebut Kabupaten Garut merupakan salah satu
kabupaten pada urutan pertama yang memiliki daerah rawan longsor tinggi.
Kabupaten Garut merupakan kawasan yang berada pada Zona Pegunungan
Selatan Jawa Barat dan Zona Bandung dengan topografinya berbukit-bukit dan
bergunung-gunung. Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri
dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar
permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat
labil terhadap bencana longsor. Data curah hujan menunjukan iklim daerah
Kabupaten Garut mempunyai iklim tropika dengan curah hujan tahunan berkisar
dari 2500 mm - 3000 mm sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai
3500 - 4000 mm (Pemda Garut, 2010).
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut 20112030 dalam bentuk peta pola ruang menunjukan bahwa daerah ini dikategorikan
zona gerakan tanah menengah hingga tinggi, sedangkan peta kawasan rawan
bencana Kabupaten Garut yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) tahun 2014 menunjukan bahwa daerah ini memiliki
kawasan rawan gerakan tanah rendah, menengah dan tinggi. Kondisi demikian
menyebabkan Kabupaten Garut mempunyai riwayat kejadian longsor paling
tinggi di Jawa Barat.
Metode yang telah dilakukan untuk membuat peta zonasi bahaya longsor
pada pola ruang Kabupaten Garut maupun yang dibuat PVMBG hanya mengacu
pada skor dan pembobotan yang telah dibuat oleh BNPB dimana kawasan rawan
gerakan tanah tersebut dibuat hanya memasukan faktor bahaya saja, sedangkan
informasi tentang risiko bencana longsor belum ada. Dalam kenyataannya, faktor
sosial dan ekonomi setiap individu, keluarga, dan organisasi mempunyai tingkat
kerentanan yang berbeda ke bahaya yang ada.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mukti (2012) titik longsor
yang sering terjadi pada tahun 2000 hingga 2012 di Kabupaten Garut berada di
bagian Selatan. Data BNPB juga menunjukan bahwa kejadian longsor tahun 2012
hingga 2015 paling banyak terjadi di Selatan Kabupaten Garut. Salah satunya
berada di Kecamatan Banjarwangi.

2

Peta zonasi bahaya longsor pada peta pola ruang dan yang dibuat PVMBG
dilakukan uji akurasi dengan data titik kejadian longsor (Mukti, 2012) dan
(BNPB, 2015), hasilnya menunjukan bahwa tidak semua wilayah yang terkena
longsor berada pada zona kawasan gerakan tanah menengah hingga tinggi, artinya
longsor juga terjadi di zona gerakan tanah rendah. Hal tersebut membuktikan
bahwa metode penentuan bahaya longsor berbasis normatif masih belum tepat.
Berdasarkan identifikasi data tersebut, kemudian dilakukan ground check
di salah satu wilayah yang memiliki daerah rawan longsor paling tinggi yaitu di
Desa Tanjungjaya, Kecamatan Banjarwangi. Dari hasil pengamatan di lapangan
didapatkan informasi mengenai lahan pertanian yang dikelola petani adalah milik
Pemprov Jabar yang ditelantarkan. Sehingga petani mengelola dan secara tidak
formal menyewa lahan tersebut kepada pengawas lapangan bukan pada Pemprov
Jabar. Kuat dugaan potensi longsor yang tinggi terjadi selain kondisi fisik juga
sudah pasti kondisi sosial dan ekonomi terkait pengelolaan lahan yang dilakukan
petani di lokasi tersebut.
Melihat dampak dari bencana longsor terhadap keselamatan jiwa dan kerusakan
bangunan fisik tersebut sudah selayaknya perencanaan tata ruang daerah
memasukkan faktor risiko sebagai salah satu parameter pembangunan. Substansi
tata ruang dalam konteks penanggulangan bencana sudah diamanatkan dalam UU
Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dengan tujuan utamanya
adalah untuk mengurangi risiko bencana dengan cara menyerap hasil kajian risiko
bencana ke dalam rencana tata ruang.
Memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kajian risiko bencana
longsor tidak hanya melalui studi kepustakaan maupun berbasis normatif, dengan
menemukenali karakteristik wilayah studi diharapkan analisis zonasi risiko
longsor melalui pendekatan kerentanan fisik, sosial dan ekonomi yang mengarah
pada peta Land Use atau Land Cover dilakukan dengan studi yang lebih detail,
membuat data dasar secara historical, mencari dan memprediksi data sebelum
bencana dengan membuat perkiraan dampak total bencana dan estimasinya.
Penilaian risiko dengan pendekatan berbasis normatif
memiliki
kelemahan, hasil uji akurasi dengan titik kejadian longsor menunjukkan bahwa
skor yang ada belum tentu berlaku untuk semua wilayah yang menjadi parameter.
Hal tersebut tidak membantu dalam memecahkan masalah, sehingga evaluasi
perlu dilakukan untuk membandingkan metode yang paling baik antara pemetaan
risiko longsor berbasis normatif dengan pemetaan risiko longsor berbasis
kuantitatif.
Informasi mengenai wilayah risiko bencana tanah longsor menjadi penting
dalam proses pembangunan sebagai upaya dalam manajemen bencana dengan
ketersediaan informasi yang cukup detil dan komprehensif sehingga dampak
negatif dari bencana alam dapat dihindari atau paling tidak diminimalisir.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pemetaan bahaya longsor berbasis pola ruang dan pemetaan
bahaya longsor berbasis normatif skala 1 : 50.000 di Kabupaten Garut?

3

2.

3.

4.
5.

Bagaimana pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten skala
1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 :
10.000?
Bagaimana pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 :
10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil skala 1 :
10.000?
Bagaimana pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten Garut
1 : 50.000 dan berbasis penggunaan lahan level detil skala 1 : 10.000?
Bagaimana pemetaan risiko longsor berbasis normatif level kabupaten skala
1 : 50.000 dan pemetaan risiko longsor berbasis kuantitatif level detil skala
1 : 10.000?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis pola ruang dan pemetaan
bahaya longsor berbasis normatif skala 1 : 50.000 di Kabupaten Garut.
2. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten
skala 1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil
skala 1 : 10.000.
3. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 :
10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil skala 1 :
10.000.
4. Mengevaluasi pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten
Garut skala 1 : 50.000 dan berbasis penggunaan lahan skala 1 : 10.000.
5. Mengevaluasi pemetaan risiko longsor berbasis normatif level kabupaten
skala 1 : 50.000 dan berbasis pemetaan risiko longsor berbasis kuantitatif
skala 1 : 10.000.
Manfaat Penelitian

1.

2.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menentukan metode yang paling tepat untuk melakukan
analisis bahaya, kerentanan, dan risiko longsor, sehingga informasi yang
diperoleh masyarakat khususnya di Kabupaten Garut lebih spesifik dan
akurat.
Memberikan masukan kepada pemerintah dan beberapa instansi terkait yang
dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dan keputusan dalam arahan
pemanfaatan lahan serta manajemen risiko bencana di Kabupaten Garut.

Kerangka Pemikiran
Sebagai langkah pertama, pada kerangka yang merupakan gambaran
umum alur berpikir dari studi yang dilakukan ini adalah mendiskripsikan isu,
fenomena dan permasalahan sebagai latar belakang pemilihan tema, yaitu

4

mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan bencana longsor wilayah di
Kabupaten Garut, baik dari segi teoritis atau empiris melalui studi kepustakaan
dan melakukan cek lapangan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
tentang faktor-faktor tersebut. Tahapan berikutnya adalah melakukan evaluasi
dengan cara membandingkan metode yang paling tepat antara peta bahaya longsor
berbasis normatif level kabupaten dengan peta zonasi bahaya longsor pada pola
ruang Kabupaten Garut maupun yang dibuat PVMBG, peta bahaya longsor
berbasis normatif level Kabupaten skala 1 : 10.000 dengan peta bahaya longsor
berbasis normatif data detil dan peta bahaya longsor berbasis normatif data detil
dengan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif.
Setelah menemukan metode yang paling tepat dalam pemetaan bahaya
longsor, selanjutnya dilakukan pemetaan kerentanan yang mengarah pada peta
Land Use berdasarkan pendekatan kerentanan fisik, sosial dan ekonomi dan pada
bagian akhir dilakukan analisis risiko longsor. Adapun analisis deskriptif
dilakukan untuk menggambarkan risiko longsor sebagai upaya mengurangi
mitigasi bencana. Secara diagramatis, kerangka berpikir peneliti dapat dilihat pada
Gambar 1.
Bahaya (H)
Metode Normatif (BNPB)
Pola Ruang
dan
PVMBG

Level Kabupaten
Land Use,
Geologi, Jenis
Tanah, Curah
Hujan, dan
Lereng

Inkonsistensi

Metode Kuantitatif
Level Detil

Level Detil

Titik Longsor Aktual
Land Use Detil

Land Use Detil

Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng

Tekstur dan Warna Tanah

Tekstur dan Warna Tanah
Evaluasi Metode
yang lebih baik

Evaluasi Skala
Kerentanan (V)
Berbasis Batas Administrasi

Berbasis Land Use

Kabupaten Garut

Wilayah Penelitian

Fisik, Sosial,
Ekonomi dan
Lingkungan

Jenis Konservasi
Kepadatan Penduduk
Nilai Lahan

Keterangan :
Output
Data

Risiko (R)
Metode Normatif (BNPB)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Metode Kuantitatif

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Longsor
Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya
kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2012). Para ilmuwan
mengkategorikan tanah longsor sebagai salah satu bencana geologis yang paling
bisa diperkirakan. Menurut Yulaelawati dan Syihab (2008) dalam buku
Mencerdasi Bencana, ada beberapa parameter umum untuk memantau
kemungkinan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dalam bentuk
longsor, yaitu :
1. Keretakan pada lantai dan tembok bangunan atau pada tanah;
2. Amblasnya sebagian lantai konstruksi bangunan ataupun amblasnya tanah
pada lereng;
3. Terjadinya penggembungan pada tebing lereng atau dinding konstruksi;
4. Miringnya pohon-pohon atau tiang-tiang pada lereng;
5. Munculnya rembesan air pada lereng secara tiba-tiba;
6. Mata air pada lereng menjadi keruh secara tiba-tiba;
7. Muka air sungai naik beberapa sentimeter dan air sungai menjadi keruh
secara tiba-tiba; dan
8. Runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar.
Secara umum kejadian Longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
pendorong atau faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi material itu sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor
yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. faktor-faktor lainnya yang turut
berpengaruh, yaitu :
1. Erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai
atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam;
2. Lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang di
akibatkan hujan lebat;
3. Gempa bumi yang menyebabkan getaran tekanan pada partikel-partikel
mineral dalam bidang lemah pada masa batuan dan tanah yang
mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut.
4. Gunung-api menciptakan simpanan debu yang lengang hujan lebat dan
aliran-aliran debu;
5. Getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak dan
bahkan petir; dan
6. Berat yang terlalu berlebihan, misalnya berkumpulnya hujan atau salju.

Macam-Macam Longsoran
Klasifikasi Longsoran dapat dibedakan dari tipe gerakan dan material
tanah penyusunnya:
1.

Tipe Gerakannya
a. Rayapan: gerakan massa tanah atau batuan bergerak dengan kecepatan

6

lambat, kurang dari 1 meter/tahun. Jenis tanah longsor ini terjadi pada lereng
landai (kemiringan 10o sampai dengan kemiringan kurang dari 20 o) dan
umumnya tidak menimbulkan korban jiwa tetapi merusak bangunan. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak
dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

Gambar 2. Rayapan (Creep)
Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008

b. Luncuran: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk cekung sehingga lebih sering terjadi pada lereng dengan
kemiringan 20o hingga 40o. Kecepatan geraknya mencapai 25 meter/menit.

Gambar 3. Luncuran (Slide)
Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008

c. Jatuhan: sejumlah besar batuan atau materi lainnya bergerak kebawah
dengan cara jatuh. Kondisi ini yang paling umum terjadi di sepanjang jalan
dan pematang yang terjal atau tebing yang curam (lebih dari 40 o) terutama di
daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan
parah.

Gambar 4. Jatuhan (Fall)
Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008

d. Aliran bahan rombakan: campuran tanah, batuan, dan air yang membentuk
suatu cairan kental. Aliran pada mulanya adalah endapan longsoran dalam
suatu lembah, kemudian karena kemiringan, ia meluncur dan berkembang
sebagai massa pekat yang menuruni lereng. Gerakannya terjadi di sepanjang
lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa

7

sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai disekitar gunungapi.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.

Gambar 5. Aliran (Flow)
Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008

e. Translasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.

Gambar 6. Translasi
Sumber : Pengenalan Gerakan Tanah, Departemen ESDM

f. Pergerakan Blok: perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir
berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

Gambar 7. Pergerakan Blok
Sumber : Pengenalan Gerakan Tanah, Departemen ESDM

2. Material Yang Bergerak
a. Batuan Dasar (Bed Rock)
b. Lapisan Tanah dalam ukuran kasar dan halus.

Faktor Penyebab Tanah Longsor
Menurut Sari (2015) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah
longsor adalah sebagai berikut :
1. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya di mulai pada bulan November seiring
meningkatnya intensitas hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan

8

terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Muncullah
pori-pori atau rongga tanah, kemudian terjadi retakan dan rekahan tanah di
permukaan. Pada saat hujan, air akan menyusup kebagian yang retak. Tanah pun
dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada
tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat
menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah itulah air akan masuk
dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral.
Apabila ada pepohonan dipermukaan, pelongsoran dapat dicegah karena air akan
di serap tumbuhan. Akar tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.
2. Lereng Terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng
yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, laut dan angin.
Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180° apabila ujung
lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.
3. Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2, 5 meter dan sudut lereng >220. Tanah jenis ini memiliki
potensi untuk terjadinya tanah longsor, terutama bila terjadi hujan. Selain itu, jenis
tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanag karena menjadi lembek jika
terkena air dan pecah jika udara terlalu panas.
4. Batuan yang kuat
Pada umumnya, batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir
dan campuran atara kerikil, pasir, lempung kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah jika mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan
tehadap tanah longsor apabila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis Tata Lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata guna lahan persawahan,
perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah
menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan
untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohon tidak dapat
menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah
longsoran lama.
6. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan,
getaran mesin dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkan adalah
tanah, badan jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak.
7. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng
menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan
penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Adanya beban tambahan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng dan
kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di
sekitar tikungan jalan pda daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya
penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

9

9. Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing
Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing
akan menjadi terjal.
10. Bekas Longsoran lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan
material gunung-api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah
terjadi patahan kulit bumi. bekas longsoran lama memiliki ciri:
a. Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.
b. Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena
tanahnya gembur dan subur.
c. Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
d. Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
e. Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil
pada longsoran lama.
f. Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya di jumpai retakan dan longsoran
kecil.
g. Longsoran lama ini cukup luas.
11. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung) dengan ciri-ciri:
a. Bidang perlapisan batuan.
b. Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar.
c. Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat.
d. Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan
yang tidak melewatkan air (kedap air).
e. Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
f. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi
sebagai bidang luncuran tanah longsor.
12. Penggundulan Hutan
Tanah Longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul
dimana pengikatan tanah sangat kurang.
13. Daerah Pembuangan Sampah
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam
jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi di tambah dengan
guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Leuwigajah Cimahi. Bencana ini menyebabkan lebih dari 120 orang meninggal.

Karakteristik Area Rawan Longsor
Berdasarkan Pedoman Pembuatan Peta Rawan Longsor dan Banjir
Bandang Akibat Runtuhnya Bendungan Alam (Kementerian Pekerjaan Umum,
2012), area yang rawan terhadap longsor memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi
Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori
atau rongga tanah sehingga tanah permukaan retak dan merekah. Ketika hujan
turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke bagian yang retak
membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan dapat terakumulasi di

10

bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan lateral dan terjadi longsoran.
2.

Tergolong sebagai area lereng/tebing yang terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong
sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.
3.

Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal.
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap pergerakan
tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan mudah pecah ketika
hawa terlalu panas.
4.

Memiliki batuan yang kurang kuat
Batuan endapan gunung-api dan batuan sedimen berukuran pasir dan
merupakan campuran batuan antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya
merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah
bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan terhadap tanah
longsor.
5.

Jenis tata lahan yang rawan longsor
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan
perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat butir
tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, oleh sebab
itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah
perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam
dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Adanya pengikiran/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu,
penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing menjadi terjal
dan menjadi rawan terhadap longsoran.
7. Merupakan area bekas longsoran lama yang memiliki ciri sebagai berikut :
a. Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda;
b. Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya
gembur dan subur;
c. Adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah;
d. Adanya tebing-tebing yang relatif terjal; dan
e. Adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran
kecil.
8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras)

Dampak dan Penanggulangan Longsor
Dokumen rencana penanggulangan bencana daerah tahun 2015 - 2019
Kabupaten Garut menunjukan bahwa di daerah yang terjal, kecepatan luncuran
tanah longsor dapat mencapai 75 km/jam sehingga sulit bagi seseorang untuk
menyelamatkan diri. Itulah sebabnya ketika tanah longsor terjadi banyak rumah
dan penduduk, binatang dan fasilitas umum tertimbun longsor. Bencana ini pun
banyak memakan korban jiwa.
Itulah sebabnya penting bagi kita untuk menanggulanginya dengan meng -

11

hindari penyebab timbulnya tanah longsor. Caranya dengan tidak menebangi
hutan, menanam tumbuhan berakar kuat seperti lamtoro, bambu, akar wangi dan
tumbuhan lainnya pada lereng yang gundul, membuat saluran air hujan,
memeriksa keadaan tanah secara rutin dan berkala, membangun tembik penahan
di lereng yang terjal juga mengukur tingkat kederasan air hujan.
1.

Menghindari Bencana Longsor
a. Membangun pemukiman yang jauh dari area yang rawan longsor (seperti
di dekat tebing yang curam dan terjal).
b. Berkonsultasi pada orang paham sebelum membangun pemukiman.
c. Melakukan deteksi dini pada area-area yang di curigai Rawan Longsor.

2.

Tindakan yang harus dilakukan ketika tertimpa Longsor
a. Pindahlah ke daerah yang tanahnya stabil ketika longsor terjadi
b. Bila tidak mampu melarikan diri, lingkarkan tubuh seperti bola untuk
melindungi kepala tertimpa atap.

3.

Tindakan yang harus dilakukan setelah terjadi Longsor
a. Pergi dari daerah longsoran untuk menghindari terjadinya tanah longsor
susulan.
b. Bantu arahkan SAR ke lokasi.
c. Bantu penduduk yang tertimpa longsoran, periksa lukanya, dan pindahkan
ke tempat yang aman.
d. Waspada pada banjir dan aliran reruntuhan yang dapat terjadi setelah tanah
longsor.
e. Laporkan fasilitas umum yang rusak kepada pihak yang berwenang.
f. Periksa kerusakan fondasi rumah akibat longsor.
g. Tanamlah tumbuhan di daeray bekas longsoran untuk mencegah terjadinya
erosi yang dapat menyebabkan banjir bandang.

Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Menurut Susilawati (2007 : 36)
mitigasi merupakan suatu upaya memperkecil korban manusia dan atau kerugian
harta benda sebagai akibat dari bencana. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan
yang luas dari aktivitas–aktivitas dan tindakan tindakan perlindungan yang
mungkin diawali dari yang fisik sampai dengan prosedural. Jadi mitigasi bencana
merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak
bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika
bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam melakukan tindakan
mitigasi bencana, langkah awal yang harus lakukan adalah melakukan kajian
risiko bencana terhadap daerah tersebut.

Risiko bencana
Menurut Carter dalam Syarif (2013:11) secara umum risiko bencana
merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability).

12

Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposur) dan kemampuan (capacity)
individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian risiko. Risiko
bencana menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh buruk dimasa yang akan
datang yang disebabkan oleh proses interaksi sosial dan lingkungannya, sebagai
kombinasi dari bahaya fisik dan elemen kerentanan (Cardona, 2012). Risiko
bencana adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga
menyebabkan tingkat kerugian khusus. Risiko perlu dikaji sehingga dapat
menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan dapat diantisipasi di
suatu wilayah.
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun
ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang meyebabkan bencana
antara lain:
1. Bahaya (Hazard) alam adalah suatu peristiwa fisik yang berdampak pada
masyarakat dan lingkungan mereka. Bahaya mengacu pada kemungkinan
terjadinya peristiwa alami maupun ulah manusia, dan peristiwa fisik yang
mungkin memiliki pengaruh buruk pada kerentanan dan elemen eksposur
(Cardona, 2012).
2. Kerentanan (Vulnerability) adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, struktur,
layanan atau daerah geografis yang berpotensi terganggu oleh dampak bahaya
tertentu. Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan
apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan
dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi,
umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan
tindak-tanggap terhadap dampak bahaya. Jenis-jenis kerentanan :
a. Kerentanan Fisik
: Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
b. Kerentanan Sosial
: Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat
pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita,
lansia.
c. Kerentanan Mental
: ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya
percaya diri, dan lainnya.
3. Eksposur (Eksposure)
risiko.

adalah fungsi dari lokasi geografis dari penilainan

4. Kapasitas adalah kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu
masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi risiko atau dampak dari
bencana.
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Longsor
Daerah rawan bencana, khususnya longsor merupakan suatu peristiwa
geologi yang terjadi karena pergeseran masa batuan atau tanah dengan berbagai
tipe dan jenis seperti jatuhnya batuan atau gumpalan besar tanah. Longsor
merupakan bencana yang sangat merugikan baik dalam segi materil dan moril.
Perencanaan dan pengelolaan lahan yang tepat dapat mengurangi resiko terjadinya
longsor.

13

Untuk itu, diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai untuk
pengambilan keputusan, termasuk diantaranya menggunakan aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) yaitu melalui monitoring, pemetaan dan lain
sebagainya. Informasi bila dilihat sebagai input dasar dari perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi.
Sebagaimana diketahui, inventori dan monitoring merupakan dasar dari
pengelolaan lahan yang baik. Kendala utama dalam inventori dan monitoring
adalah keterbatasan dalam pengambilan data karena luasnya area, sulitnya
mencapai area, panjang waktu yang diperlukan dan keterbatasan sumber daya
manusia. Dengan SIG mampu menjangkau area yang luas dengan dukungan
frekuensi yang cukup tinggi merupakan sebuah terobosan dalam aspek inventori
dan monitoring dengan menggunakan SIG masih sangat jauh dari optimal.
SIG dapat membantu memonitoring dan atau memetakan zonasi rawan
longsor di Kabupaten Garut. Masalah daerah rawan longsor dalam tahap
penelitian dan pemetaan lokasi, tahap monitoring dan evaluasi dengan lima
parameter yaitu penggunaan lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan
dan kemiringan lereng.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini sudah banyak di teliti di
berbagai daerah sebelumnya. Akan tetapi dari berbagai macam topik ini memiliki
teknis analisis yang berbeda tergantung dengan kondisi wilayah penelitian.
Adapun penelitian-penelitian yang terkait dengan topik ini diantaranya adalah :
1.

2.

3.

4.

5.

Mukti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul pola sebaran titik longsor
dan keterkaitannya dengan faktor-faktor biogeofisik lahan (studi kasus :
Kabupaten Garut Jawa Barat) menjelaskan bahwa, hasil penelitiannya
terdapat beberapa titik longsor periode tahun 2000-2012. Kejadian longsor
paling banyak terjadi adalah di bagian Selatan Kabupaten Garut.
Yunarto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul penyusunan peta zona
potensi bencana alam geologi gerakan tanah berbasis penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat lebih fokus
kepada faktor bahayanya saja dan menekankan kepada metode penelitian
dengan menggunakan aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis.
Penelitian yang dilakukan oleh Iqkra (2012) melakukan studi geomorfologi
Pulau Ternate dan penilaian risiko longsor hanya berbasis pendekatan
normatif saja, berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan adalah berbasis
data lapangan dengan pendekatan kuantitatif.
Alhasanah (2006) yang berjudul pemetaan dan analisa daerah rawan bencana
tanah longsor serta upaya mitigasinya menggunakan SIG dalam penelitiannya
hanya memfokuskan pada daerah bahayanya saja dan upaya mitigasi di
kawasan rawan bencana longsor tersebut.
Silviani (2013) dalam penelitiannya hanya menganalisis bahaya dan risiko
longsor di DAS Ciliwung Hulu dan keterkaitannya dengan penataan ruang.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, studi yang dilakukan ini
bersifat metodologis, melakukan evaluasi dengan cara membandingkan beberapa
peta dengan tujuan untuk memperoleh metode yang paling tepat. Peta yang

14

dievaluasi antara lain peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten
dengan peta zonasi bahaya longsor pada Pola Ruang Kabupaten Garut maupun
yang dibuat PVMBG, dilanjutkan dengan mengevaluasi peta bahaya longsor
berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 10.000 dengan peta bahaya longsor
berbasis normatif data detil dan juga mengevaluasi peta bahaya longsor berbasis
normatif data detil dengan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif.
Setelah menemukan metode yang paling tepat untuk pemetaan bahaya
longsor, selanjutnya dilakukan pemetaan kerentanan yang mengarah pada peta
bahaya sebelumnya dan peta Land Use yang berbasis pendekatan kerentanan fisik,
sosial dan ekonomi dan pada bagian akhir dilakukan analisis risiko longsor.

15

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian pada level kabupaten berada di Kabupaten Garut yang
terletak di Propinsi Jawa Barat bagian Selatan, secara Astronomis terletak antara
06º 56' 49'' - 07º 45' 00'' LS dan 107º 25' 8'' - 108º 7' 30'' BT. Kabupaten Garut
memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha dengan batas-batas
sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang
Sebelah Barat
: Kabupaten Tasikmalaya
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Timur
: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur
Lokasi penelitian pada level detil berada di Desa Tanjungjaya Kecamatan
Banjarwangi Kabupaten Garut, secara Astronomis terletak antara 070 16’ 00” –
070 28’ 00” LS dan 1070 44’ 00” – 1070 56’ 00” BT. Lokasi penelitian ini diambil
berdasarkan pemetaan dasymetric (pada batas area yang disurvei) yang memiliki
luas 52,52 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Kecamatan Bayongbong dan Cilawu
Sebelah Timur
: Kabupaten Tasikmalaya
Sebelah Selatan
: Kecamatan Cihurip dan Singajaya
Sebelah Barat
: Kecamatan Cigedug dan Cikajang
Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai Desember 2015.
Lokasi disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Lokasi Penelitian

16

Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari survei langsung ke lapangan baik
melalui wawancara maupun pengamatan langsung di lapangan, sedangkan sumber
data sekunder didapatkan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data
baik pada buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu, maupun
dari beberapa instansi terkait, baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat,
atau instansi/lembaga independen lainnya, data curah hujan, peta geologi, peta
digital wilayah administrasi kabupaten, peta lereng, peta tanah, dan peta
penggunaan lahan.
Gambaran mengenai kondisi fisik wilayah, khususnya mengenai
penggunaan lahan aktual, diperoleh dari hasil survei/cek di lapangan. Pada data
yang terkait dengan aspek spasial. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang
sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya analisis
spasial, atribut, dan deskriptif. Analisis spasial dan atribut menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dengan cara pemberian skor untuk setiap kriteria dalam
masing-masing parameter yang ditentukan. Setelah dilakukan skoring kemudian
dilanjutkan dengan pembobotan dari setiap parameter yang menjadi acuan. Dalam
hal ini semakin tinggi skor dan bobot dari parameter maka pengaruhnya akan
semakin besar terhadap bahaya atau risiko longsor dan begitu