Studi Awal Pemetaan Risiko Bencana Indus

Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013

Studi Awal Pemetaan Risiko Bencana Industri Di Indonesia
Alam Baheramsyah, Trika Pitana, Amien Widodo, Tri Dani Widyastuti
Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya 60111

Abstrak. Sektor industri hingga saat ini masih memegang peranan penting khususnya dalam menjaga
pertumbuhan ekonomi Indonesia dan penyediaan lapangan kerja. Keberadaan industri yang terus tumbuh selain
memberikan dampak positif juga berpotensi menimbulkan ancaman bencana industri. Selama ini, belum ada
instrumen yang memberikan gambaran tentang ancaman bencana industri di tiap daerah. Sehubungan hal
tersebut, perlu disusun peta risiko bencana industri. Metode pembuatan peta bencana industri dilakukan dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan basis data lokasi industri berisiko tinggi di tiap
kecamatan di Indonesia. Sehingga, tersedianya peta risiko bencana industri dapat menjadi sebuah modal dasar
dalam menyusun strategi pengurangan risiko bencana industri di Indonesia selanjutnya.
Kata kunci : bencana industri, peta, risiko, keselamatan
Pendahuluan
Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2008 – 2012, besarnya sumbangan
dari setiap sektor ekonomi selama lima tahun
terakhir diketahui bahwa sektor industri

pengolahan menempati posisi pertama dengan
struktur sebesar 25,4%. Posisi kedua oleh sektor
pertanian sebesar 14,8% baru kemudian sektor
perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 13,7%
yang menempati posisi ketiga (Kemenkeu, 2013).
Data di atas menunjukkan bahwa selama ini
sektor industri menjadi sektor signifikan yang
memberikan
kontribusi
terbesar
dalam
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara umum
pada tahun 2012 lalu pertumbuhan dari industri
pengolahan non-migas saja mencapai 6,5% dengan
pertumbuhan tertinggi dicapai oleh industri pupuk
dan kimia.
Menurut data dari Biro Pusat Statistik,
perkembangan jumlah kendaraan bermotor di
Indonesia tahun 1987 – 2011 menunjukkan jumlah
yang terus naik setiap tahunnya. Pada tahun 2012

lalu pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
mencapai 12% yang didominasi oleh mobil
penumpang dan sepeda motor.
Dengan laju
pertumbuhan yang positif dari industri dan
kendaraan bermotor serta sektor-sektor lainnya
maka selanjutnya akan memaksa sektor industri
migas untuk berkembang serta meningkatkan
kapasitasnya.
Meningkatnya jumlah industri baik migas
maupun non-migas yang terus bertambah setiap
tahunnya tentu merupakan sinyal positif bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peningkatan
jumlah industri juga memberikan sinyal positif
khususnya dalam hal ketersediaan lapangan kerja.
Bagaikan sebuah mata uang yang memiliki
dua sisi, peningkatan jumlah industri juga

berpotensi memberikan tekanan atau ancaman
terhadap lingkungan. Fenomena lumpur Porong di

Sidoarjo yang terjadi pada akhir Mei 2006 di lokasi
dimana PT. Lapindo Brantas Inc. sedang
melakukan kegiatan pengeboran adalah sebuah
contoh telak dampak negatif dari kegiatan industri.
Sebuah bencana yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Umumnya bentuk ancaman bahaya
besar dari sebuah kegiatan industri adalah
kebakaran, ledakan, atau akibat yang ditimbulkan
oleh bahan berbahaya atau beracun namun tidak
pernah oleh lumpur.
Beberapa kejadian lainnya dari contoh kasus
kecelakaan besar industri di Indonesia adalah : (1)
Tanggal 5 Nopember 1993 terjadi kebocoran dan
ledakan dari tangki penampung chlorine di PT.
Indorayon Utama, Porsea, Kab. Tapanuli Utara, (2)
Tahun 1994 terjadi kebocoran amoniak di PT.
Pupuk Iskandar Muda, Lhokseumawe, Kab. Aceh
Utara, (3) Tahun 1995 terjadi kebakaran dan
ledakan dari tangki penimbun bahan bakar minyak
di Cilacap, (4) Tanggal 25 Maret 1999 terjadi

kebocoran gas amoniak di PT. Ajinomoto,
Mojokerto, (5) Tanggal 9 Agustus 2001 terjadi
tumpahan tetes tebu di PG. Ngadirejo, Kediri yang
kemudian mencemari badan air Kali Brantas mulai
dari Kediri hingga Surabaya sejauh 170 km, (6)
Tanggal 20 Januari 2004 terjadi ledakan dan
kebakaran unit maleic anhydride dan phytalic
anhydride di PT. Petrowidada, Gresik, (7) Tanggal
7 Juli 2013 terjadi kebocoran gas sulfur dioksida di
PT. Smelting, Gresik.
Industri berikut potensi bencana serta dampak
negatif ikutannya adalah sebuah keniscayaan, tidak
bisa dihindari apalagi dihilangkan sama sekali.
Oleh karenanya strategi untuk mengantisipasi
potensi bencana atau dampak negatif dari industri
menjadi sangat penting dilakukan. Sehubungan
dengan hal ini maka keberadaan atau tersedianya

peta risiko bencana industri di Indonesia menjadi
sangat krusial.


Metodologi
Dalam pembuatan peta risiko bencana industri
ini telah dilakukan beberapa teknik atau pendekatan
utamanya untuk mendapatkan data primer maupun
sekunder. (a) Studi literatur digunakan untuk
mengkaji berbagai dokumen terkait dengan hasilhasil penelitian tentang bencana / kecelakaan
industri, aturan perundangan, dokumentasi tentang
berbagai peristiwa bencana industri baik yang
terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri. (b)
Survey, observasi lapangan dan depth interview ke
berbagai lokasi pusat industri dan instansi yang
terkait dengan masalah jika terjadi bencana
industri. (c) Workshop membahas tentang
berbagai
pandangan tentang bencana industri
dari berbagai elemen masyarakat khususnya para
peneliti tentang bencana industri. (d) Focused
Group Discussion (FGD) dilakukan dengan
mengundang berbagai elemen masyarakat baik dari

akademisi, swasta, instansi pemerintahan maupun
lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk
membahas tema-tema diskusi yang disiapkan
berkaitan dengan bencana industri (e) Konsultasi
dilakukan untuk mendapatkan pandangan dan
kajian yang lebih mendalam dari para akademisi ,
pakar , dan praktisi tentang bencana industri.
Risiko (R) bencana merupakan fungsi dari
bahaya (H), kerentanan (V) dan kemampuan suatu
daerah (C). Sehingga, untuk memetakan tingkat
risiko bencana industri digunakan rumusan (1)
sebagai berikut:
R = f(HxV/C)

(1)

Hasil dan Diskusi
Dalam pembuatan peta risiko bencana industri
ini penentuan jenis atau macam dari industri
berbahaya besar dilakukan dengan mengacu kepada

beberapa dokumen yaitu SK Menperin No.
620/2012 tentang Obyek Vital Nasional Sektor
Industri, SK Menteri ESDM No. 3407
K/07/MEM/2012 tentang Obyek Vital Nasional
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, SK
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
187/MEN/1999 tentang Pengendalian Bahaya
Kimia Berbahaya di Tempat Kerja, dan Peraturan
Menteri LH No. 3/2013 tentang Audit Lingkungan
Hidup dimana di dalamnya terdapat jenis/macam
usaha dan atau kegiatan berisiko tinggi.
Dari sektor industri beberapa industri yang
dinilai memiliki potensi bahaya besar adalah
industri bahan peledak, industri logam, industri

pertahanan, industri petrokimia, industri pupuk, dan
industri-industri yang berada dalam kawasan
industri.
Kawasan industri dipertimbangkan
memiliki potensi bahaya besar karena di dalamnya

terdapat beberapa industri yang saling bersebelahan
sehingga ada kemungkinan satu peristiwa
kecelakaan di satu industri dapat memberikan efek
domino (berantai) yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan di industri sebelahnya.
Di sektor energi dan sumber daya mineral
beberapa instalasi yang dinilai memiliki potensi
bahaya besar adalah kilang minyak, kilang LPG,
kilang LNG, depo BBM, terminal BBM, dan
fasilitas-fasilitas pengeboran.
Dari industri yang sudah didefinisikan
memiliki potensi bahaya besar, kemudian
dilakukan pendefinisian tingkat kerentanan dengan
mengacu pada pedoman umum pengkajian risiko
bencana, yang sesuai dengan peraturan BNPB. No
02 Tahun 2012. Tingkat kerentanan bencana
industri, disesuaikan berdasaran tingkat kerentanan
gagal teknologi, yang mengacu pada kepadatan
penduduk dan kelompok rentan. Tingkat
kerentanan di bagi menjadi tiga kelas indeks, yaitu

rendah, sedang dan tinggi, dengan kriteria tingkat
kepadatan penduduk secara berurutan adalah 1000
jiwa/km2. Berdasarkan pengelompokan kriteria
diatas, kemudian dibuat peta rawan bencana,
seperti terlihat pada Gambar 1-6. Dalam hal ini
Pulau Jawa menjadi contohnya. Peta rawan ini
dikembangkan hanya mempertimbangkan kriteria
kerentanan, akan tetapi belum mempertimbangkan
kriteria lainnya seperti jenis ancaman, indeks
kerentanan fisik, kerentanan ekonomi dan
kerentanan ekologi, indeks kerugian dan juga
indeks kapasitas.
Berdasarkan peta rawan bencana tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Provinsi Jawa Barat yang
memiliki tingkat kerentanan paling tinggi, dengan
jumlah 13 wilayah kecamatan yang mungkin
terkena dampak dari bencana industri dengan
tingkat kerentanan tinggi, kemudian diikuti oleh
provinsi Banten dengan jumlah 4 wilayah
kecamatan yang memiliki kriteria tingkat

kerentanan tinggi; Jawa Timur dengan jumlah 7
wilayah kecamatan dengan komposisi 3 kecamatan
dengan tingkat kerentanan tinggi, 3 kecamatan
dengan tingkat kerentanan sedang dan 1 kecamatan
dengan tingkat kerentanan rendah; berikutnya,
Jawa Tengah dengan jumlah 3 wilayah kecamatan
memiliki kriteria tingkat kerentanan tinggi; DI
Jogyakarta dengan jumlah 2 wilayah kecamatan
memiliki kriteria tingkat kerentanan tinggi; dan
terakhir DKI Jakarta dengan jumlah wilayah 1
kecamatan dengan memiliki tingkat kriteria
kerentanan tinggi seperti dijelaskan pada Tabel 1.

Gam
mbar 1. Peta R
Rawan Bencan
na Provinsi Baanten

Gambaar 2. Peta Raw
wan Bencana Provinsi

P
DKI Jakarta

Gamb
bar 3. Peta Raw
wan Bencana Provinsi Jawaa Barat

Gambaar 4. Peta Raw
wan Bencana Provinsi
P
Jawa Tengah

Gambarr 5. Peta Rawaan Bencana Provinsi
P
DI Jog
gyakarta

Gambaar 6. Peta Raw
wan Bencana Provinsi
P
Jawaa Timur

No
1
2
3
4
5
6

Tabel 1. Jumlah daerah rentan di tiap provinsi
Provinsi
Jumlah Daerah
Tingkat Kerentanan
Rentan
Tinggi
Sedang Rendah
Jawa Barat
13
13
Banten
4
4
Jawa Timur
7
3
3
1
Jawa Tengah
3
3
DI Jogyakarta
2
2
DKI Jakarta
1
1

Peta
rawan
bencana
ini
belum
merepresentasikan tingkat risiko dari suatu
wilayah, karena belum mempertimbangkan kriteria
lainnya seperti, tingkat kerentanan ekonomi,
kerentanan fisik, tingkat kapasitas setiap wilayah
kecamatan dan tingkat ancaman. Kedepan,
diharapkan peta rawan bencana ini dapat
dikembangkan lebih komprehensif menjadi peta
risiko bencana industri yang nantinya akan
digunakan sebagai modal dasar dalam menyusun
strategi pengurangan risiko bencana industri di
Indonesia selanjutnya.
Akan tetapi, pengembangan peta risiko
bencana industri tidak mudah dilakukan karena
diperlukan data pendukung yang cukup banyak,
diantaranya adalah data fisik, misalnya data harga
properti; data lingkungan misalnya luas area hutan
lindung; dan juga data tingkat kapasitas pada
masing-masing wilayah.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil studi awal pemetaan risiko bencana
industri dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Provinsi yang memiliki tingkat kerentanan yang
paling tinggi, ditinjau dari kepadatan penduduk
di masing-masing wilayah adalah Provinsi Jawa
Barat kemudian diikuti Provinsi Banten,
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, DI
Jogyakarta dan terakhir DKI Jakarta.

2. Peta rawan bencana belum dapat mewakili
tingkat risiko masing-masing wilayah, karena
masih banyak kriteria lainnya yang perlu
dipertimbangkan seperti tingkat ancaman,
tingkat kapasitas dan tingkat kerentanan lain
seperti kerentanan fisik, lingkungan dan
kerentanan ekologi.
3. Perlunya data pendukung yang lebih
komprehensif untuk mengembangkan peta
risiko bencana industri.
4. Perlu adanya penyederhaan metode untuk
penilaian risiko bencana industri, seperti
menggunakan worst case scenario untuk matrik
risiko.
Ucapan Terima Kasih
Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim, LPPM ITS mengucapkan banyak terima kasih kepada Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia atas
dukungannya dalam kegiatan penelitian bencana industri ini
melalui Kegiatan di Bidang Pengurangan Risiko Bencana Tahun
Anggaran 2013.

REFERENSI
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2013)
Nota
Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2014
Badan Nasional Penanggulan Bencana(BNPB) (2013), Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana Nomor 02
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana.