PENGUJIAN UU SISDIKNAS Kedudukan Hukum Legal Standing Para Pemohon

180 pendidikan yang berstandar nasional sesuai dengan kemampuan sosial ekonomi setiap orang Pasal 35 UU Sisdiknas. 3. Berdasarkan uraian-uraian di atas, DPR berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Oleh karena itu kami memohon agar Yang Mulia KetuaMajelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan a quo, sehingga sudah sepatutnya Yang Mulia KetuaMajelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard.

D. PENGUJIAN UU SISDIKNAS

Terhadap permohonan pengujian Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu salah satu aspek pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan di bidang Pendidikan guna mencerdasakan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan suatu usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran danatau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 2. Untuk menjalankan amanat UUD 1945, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pedidikan Nasional. Pembentukan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional didasarkan pada pertimbangan bahwa sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, 181 dan global perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. 3. Selanjutnya dalam rangka menghadapi era globalisasi yang tidak mungkin lagi dihindari, pembentuk Undang-undang mengantisipasi dengan membuat sejumlah kebijakan yang diharapkan mampu menyiapkan bangsa Indonesia dalam menghadapi kompetisi global. Kebijakan yang paling strategis adalah dengan merintis penerapan program pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah yang memungkinkan lulusannya siap berkiprah dalam kancah percaturan dan kompetisi global. Sekolah tersebut kemudian disebut sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau yang lebih dikenal SBI dan RSBI. Penyelenggaraan RSBISBI tidak bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi justru memperkuat dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang mampu berkompetisi dan tidak tertinggal dengan system pendidikan di negara lain. Dalam UU Sisdiknas Pasal 53 ayat 3 disebutkan secara eksplisit “Pemerintah danatau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. 4. Dalam permohonannya para Pemohon beranggapan bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan semangat UUD 1945, khususnya berkaitan dengan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya negara berkewajiban untuk menyiapkan segala fasilitas dan anggaran yang cukup untuk warga negara sehingga dapat mengakses pendidikan dengan baik dan layak, DPR tidak sependapat dengan para Pemohon dan DPR berpandangan bahwa hak pendidikan adalah hak asasi setiap manusia yang telah dijamin dalam pembukaan UUD 1945 maupun dalam batang tubuh, sehingga setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, memilih pendidikan dan pengajaran [Pasal 28C ayat 1, Pasal 28E ayat 1, dan Pasal 31 ayat 1 UUD 1945], prinsip pendidikan adalah untuk semua, setiap warganegara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Program wajib belajar merupakan realisasi hak untuk memperoleh pendidikan dan mengadakan pemerataan kesempatan pendidikan. 182 5. Lebih lanjut perlu dijelaskan bahwa RSBI dan SBI tidak menimbulkan anggapan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan, karena seleksi penerimaan calon siswa yang dilakukan oleh SBI dan RSBI memperhatikan kemampuan intelektual dan mengedepankan kompetensi calon siswa. Sekolah bertaraf internasional dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional diperuntukan bagi setiap orang dengan tidak ada pengecualian bahkan untuk orang yang tidak mampu dibebaskan dari pungutan biaya sekolah, hal ini sejalan dengan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, bahkan di sekolah bertaraf internasionaldiwajibkan untuk mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik WNI yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 dari jumlah seluruh peserta didik. Dengan demikian anggapan para Pemohon bahwa SBI dan RSBI adalah bentuk liberalisasi pendidikan, jiwa dan semangat RSBI dan SBI merupakan komersialisasi pendidikan dengan membawa para penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar hal tersebut tidak dapat dibenarkan. 6. Demikian pula dengan penggunaan kurikulum, Pasal 35 Undang-Undang a quo telah menjawab tantangan dan tuntutan perubahan kehidupan baik secara nasional maupun global. UU Sisdiknas mengatur bahwa sistem pendidikan mengacu kepada standard nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdasar Pasal 36 Undang-Undang a quo ditentukan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional. Oleh sebab itu sistem pendidikan pada setiap jenjang pendidikan hendaknya mengacu pada standard nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bahwa atas dasar ketentuan tersebut anggapan adanya dualisme sistem pendidikan adalah tidak tepat. Kurikulum telah disusun, dikembangkan, diperluas, diperdalam melalui adaptasi dan adopsi indicator pendidikan dari negara- negara maju. Sehingga setiap peserta didik mempunyai kualitas kompetensi sesuai standar nasional pendidikan namun diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara OECD atau 183 negara maju lainnya. Jadi harus memenuhi standar nasional terlebih dahulu kemudian dikembangkan menjadi bertaraf internasional, hal ini bukan berarti kurikulum nasional lebih rendah mutunya daripada kurikulum asing. Hasilnya diharapkan siswa-siswa SBI dan RSBI memiliki daya saing komparatif yang tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional. 7. Salah satu landasan yang digunakan untuk merumuskan sistem pendidikan nasional antara lain adalah landasan sosial dan budaya. Dari sisi sosial dan budaya pendidikan adalah wahana untuk membentuk manusia Indonesia yang berbudaya dan berdaya. Pendidikan merupakan perangkat sosial yang penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang beradab. Peserta didik dididik untuk menghargai budaya bangsa Indonesia, oleh karena itu dalam proses belajar dan mengajar di SBI dan RSBI tetap menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa pengantar bahasa Inggris danatau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional hanya bagi mata pelajaran tertentu sistem Billingual. Kemudian untuk pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sejarah, dan muatan lokal tetap menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. 8. Anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas menimbulkan diskriminasi. Pengertian diskriminasi hendaknya memperhatikan rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap batasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada Pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Menurut DPR, Undang-Undang a quo tidak membedakan manusia atau masyarakat atas dasar hal-hal tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang a quo tidak bersifat diskriminatif dan terkait dengan 184 pengujian Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas, DPR berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma oleh satuan pendidikan yang bersangkutan yang menimbulkan anggapan adanya diskriminisasi dalam bidang pendidikan. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, DPR berpendapat tidak terdapat pertentangan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan Pasal 28C ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28I ayat 2, Pasal 31 ayat 1, Pasal 31 ayat 2, Pasal 31 ayat 3, dan Pasal 36 UUD 1945. Demikian keterangan DPR memohon kiranya KetuaMajelis Hakim Konstitusi yang mulia memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum legal standing sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima; 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima 3. Menyatakan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28I ayat 2, Pasal 31 ayat 1, Pasal 31 ayat 2, Pasal 31 ayat 3, dan Pasal 36 UUD 1945. 4. Menyatakan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 Mei 2012 dan Pemerintah pada tanggal 12 Juni 2012 yang pada pokoknya para pihak tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; 185 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan para Pemohon adalah menguji Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301, selanjutnya disingkat UU Sisdiknas, terhadap Pembukaan, Pasal 28C ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28I ayat 2, Pasal 31 ayat 1, Pasal 31 ayat 2, Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum legal standing Pemohon; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK, serta Pasal 29 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma yang terdapat dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;